Tuesday, August 12, 2014

Ahlul-Bait Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam

Diposkan oleh Abu Al-Jauzaa' : di 09.04
Label: 'Aqidah
Pembahasan Ahlul-Bait menjadi pembahasan yang cukup penting untuk dikupas, karena ada di antara kaum muslimin yang berlebih-lebihan dalam mencintai seperti Syi’ah Rafidlah, dan di antara mereka ada yang berlebih-lebihan dalam membenci dan memusuhi seperti Nawaashib. Adapun golongan pertengahan di antara dua sisi ekstrim tersebut adalah Ahlus-Sunnah. Ahlus-Sunnah adalah ahlul-wasath. Mereka mencintai Ahlul-Bait menurut apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.
Siapakah Ahlul-Bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
Terjadi silang pendapat di kalangan ‘ulama dalam hal ini. Di antara pendapat-pendapat tersebut antara lain adalah :
1. Ahlul-Bait adalah istri-istri dan keturunan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Para ulama yang memegang pendapat ini membawakan dalil firman Allah ta’ala :
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلا مَعْرُوفًا * وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا * وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik, dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunah Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui” [QS. Al-Ahzaab : 32-34].
Ibnu Abi Haatim rahimahullah membawakan satu riwayat dalam tafsirnya :
من طريق عكرمة رضي الله عنه عن ابن عباس رضي الله عنهما في قوله : { إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ } قال : نزلت في نساء النبي صلى الله عليه وسلم خاصة. وقال عكرمة رضي الله عنه : من شاء بأهلته أنها نزلت في أزواج النبي صلى الله عليه وسلم.
Dari jalan ‘Ikrimah radliyallaahu ‘anhu, dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma, tentang firman Allah : “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait” ; ia berkata : “Ayat ini turun kepada istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara khusus”. ‘Ikrimah berkata : “Barangsiapa yang mau, aku tantang dia mubahalah, ayat ini turun tentang istri-istri Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam (saja)” [Tafsir Ibni Abi Haatim hal. 3132 no. 17675; tahqiq : As’ad Muhammad Thayyib; Maktabah Nizaar Mushthafaa Al-Baaz, Cet. 1/1417 H].
Pada awal ayat, Allah ta’ala berfirman mengenai istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Begitu juga pada akhir ayat. Pada pertengahan ayat, Allah berfirman :“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. Maka, tidak ada alasan bagi mereka yang mengatakan bahwa keluarga atau ahlul-bait yang dimaksudkan bukan istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Jika ada yang mengatakan istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bukan yang dimaksud oleh ayat, maka itu menyelisihi siyaq (susunan) ayat sebagaimana dhahirnya.
(-) Lantas bagaimana dengan kalimat yuthahhirakum dan ‘ankum pada ayat di atas yang menunjukkan jama’ mudzakkar (laki-laki) ?
(+) Maka dijawab : Sesungguhnya perkara yang disebutkan di awal ayat tertuju kepada para wanita secara khusus. Kemudian datang miim jama’ karena masuknya laki-laki bersama para wanita tersebut, yaitu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sebagai sayyidul-bait. Apabila laki-laki masuk pada kumpulan wanita, maka nun niswah berubah (kalah) menjadi miim jama’ (mudzakkar). Hal ini adalah sesuatu hal yang ma’lum (diketahui) dalam ilmu nahwu.
إذا اجتمع المذكر مع المؤنث غلب المذكر
“Apabila mudzakkar (laki-laki) dan muannats (wanita) berkumpul (dalam satu kalimat), maka dimenangkan mudzakkar”.
Selain itu, dalil yang dibawakan ulama yang merajihkan pendapat ini adalah hadits yang menyebutkan bacaan shalawat dalam tasyahud :
اللهم! صل على محمد وعلى أزواجه وذريته. كما صليت على آل إبراهيم. وبارك على محمد وعلى أزواجه وذريته. كما باركت على آل إبراهيم. إنك حميد مجيد
“Ya Allah, berikanlah kebahagiaan kepada Muhammad dan kepada istri-istrinya serta keturunannya, sebagaimana Engkau telah memberikan kebahagiaan kepada keluarga Ibrahim. Dan berikanlah barakah kepada Muhammad, dan kepada istri-istrinya serta keturunannya, sebagaimana Engkau telah memberikan barakah kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia”[HR. Al-Bukhari no. 3369 dan Muslim no. 407].
Lafadh “wa ‘alaa azwaajihi wa dzurriyyaatihi” (dan kepada istri-istrinya serta keturunannya) merupakan penafsir dari lafadh “wa ‘alaa aali Muhammad” (dan kepada keluarga Muhammad) sebagaimana terdapat dalam riwayat lain yang dibawakan oleh Al-Bukhari :
اللهم صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد اللهم بارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد
“Ya Allah, berikanlah kebahagiaan kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan kebahagiaan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Dan berikanlah barakah kepada Muhammad, dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan barakah kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia” [HR. Al-Bukhari no. 3370].
2. Ahlul-Bait adalah orang-orang yang diharamkan padanya menerima zakat.
Para ulama yang memegang pendapat ini membawakan dalil sebagai berikut :
عن يزيد بن حيان. قال: قال زيد بن أرقم: قام رسول الله صلى الله عليه وسلم يوما فينا خطيبا. بماء يدعى خما. بين مكة والمدينة. فحمد الله وأثنى عليه. ووعظ وذكر. ثم قال "أما بعد. ألا أيها الناس! فإنما أنا بشر يوشك أن يأتي رسول ربي فأجيب. وأنا تارك فيكم ثقلين: أولهما كتاب الله فيه الهدى والنور فخذوا بكتاب الله. واستمسكوا به" فحث على كتاب الله ورغب فيه. ثم قال "وأهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي". فقال له حصين: ومن أهل بيته؟ يا زيد! أليس نساؤه من أهل بيته؟ قال: نساؤه من أهل بيته. ولكن أهل بيته من حرم الصدقة بعده. قال: وهم؟ قال: هم آل علي، وآل عقيل، وآل جعفر، وآل عباس. قال: كل هؤلاء حرم الصدقة؟ قال: نعم.
Dari Yaziid bin Hayyaan ia berkata : Telah berkata Zaid bin Arqam : “Pada satu hari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri dan berkhutbah di sebuah mata air yang disebut Khumm. Beliau memuji Allah, kemudian menyampaikan nasihat dan peringatan kepada kami : “Amma ba’du, ketahuilah wahai sekalian manusia, bahwasannya aku hanyalah seorang manusia sama seperti kalian. Sebentar lagi utusan Rabb-ku (yaitu malaikat maut) akan datang dan dia diperkenankan. Aku akan meninggalkan kepada kalian dua hal yang berat, yaitu : 1) Al-Qur’an yang berisi petunjuk dan cahaya, karena itu laksanakanlah isi Al-Qur’an itu dan berpegangteguhlah kepadanya – beliau mendorong dan menghimbau pengamalan Al-Qur’an - ; 2) Ahlul-Baitku (keluargaku). Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlul-Bait-ku (beliau mengucapkan tiga kali)”. Hushain berkata kepada Zaid : “Wahai Zaid, siapakah ahlul-bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ? Bukankah istri-istri beliau adalah ahlul-baitnya ?”. Zaid bin Arqam menjawab : “Istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang ahlul-baitnya. Namun ahlul-bait beliau adalah orang-orang yang diharamkan menerima zakat sepeninggal beliau”. Hushain berkata : “Siapakah mereka itu ?”. Zaid menjawab : “Mereka adalah keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbas”. Hushain berkata : “Apakah mereka semua itu diharamkan menerima zakat ?”. Zaid menjawab : “Ya” [HR. Muslim no. 2408 dan Ibnu Khuzaimah no. 2357].
عن أبي هريرة يقول: أخذ الحسن بن علي تمرة من تمر الصدقة. فجعلها في فيه. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " كخ كخ. ارم بها. أما علمت أنا لا نأكل الصدقة ؟ ".
وفي رواية البخاري : أما علمت أن آل محمد لا يأكلون الصدقة
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Al-Hasan bin ‘Aliy pernah mengambil sebutir kurma dari kurma shadaqah yang kemudian ia masukkan ke dalam mulutnya. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Kikh, kikh, muntahkan ! Tidakkah engkau tahu bahwa kita tidak boleh memakan harta shadaqah (zakat) ?”.
Dan pada riwayat Al-Bukhari : “Tidakkah engkau tahu bahwa keluarga Muhammad tidak memakan harta shadaqah (zakat) ?” [HR. Al-Bukhari no. 1485 dan Muslim no. 1069].
عن ابن أبي مُلَيكة: ((أنَّ خالد بنَ سعيد بعث إلى عائشةَ ببقرةٍ من الصَّدقةِ فردَّتْها، وقالت: إنَّا آلَ محمَّدٍ صلى الله عليه وسلم لا تَحلُّ لنا الصَّدقة)).
Dari Ibnu Abi Mulaikah : Bahwasannya Khaalid bin Sa’iid pernah diutus untuk memberikan seekor sapi shadaqah (zakat) kepada ‘Aisyah, namun ia menolaknya seraya berkata : “Sesungguhnya keluarga Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallamtidak dihalalkan menerima shadaqah (zakat)“ [HR. Ibnu Abi Syaibah3/214 dengan sanad shahih].
Juga hadits ‘Abdul-Muthallib atau Muthallib bin Rabi’ah – terdapat perbedaan pendapat atas namanya – dan Al-Fadhl bin Al-‘Abbas, bahwasannya mereka berdua memohon kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam agar ditugasi menarik zakat. Ketika mereka meminta bagian dari harta zakat, maka beliau bersabda :
إن الصدقة لاتنبغي لآل محمد. إنما هي أوساخ الناس
“Sesungguhnya shadaqah itu tidak diperkenankan bagi keluarga Muhammad, sebab ia hanyalah kotoran manusia” [HR. Muslim no. 1072].
Dapat dipahami dari larangan beliau di atas bahwa ‘Abdul-Muthallib bin Rabi’ah dan Al-Fadhl bin Al-‘Abbas – keduanya berasal dari Bani Haasyim bin ‘Abdil-Manaaf – termasuk keluarga Muhammad (Ahlul-Bait) yang terlarang menerima harta shadaqah/zakat.
Selain Bani Haasyim, sebagian ulama (seperti Asy-Syafi’iy dan Ahmadrahimahumallah) juga menambahkan Bani Al-Muthallib bin ‘Abdil-Manaaf sebagai Ahlul-Bait, karena beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menganggap keduanya adalah satu :
عن جبير بن مطعم قال: مشيت أنا وعثمان بن عفان إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقلنا: يا رسول الله، أعطيت بني المطلب وتركتنا، ونحن وهم منك بمنزلة واحدة؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (إنما بنو المطلب وبنو هاشم شيء واحد).
Dari Jubair bin Muth’im ia berkata : “Aku dan ‘Utsman bin ‘Affaan berjalan menuju Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kami berkata : “wahai Rasulullah, Anda memberi bagian khumus kepada Bani Al-Muthallib, namun tidak memberikannya kepada kami. Padahal kedudukan kami dan mereka terhadapmu adalah sama”. Maka beliau menjawab : “Sesungguhnya Bani Al-Muthallib dan Bani Haasyim adalah satu (sama kedudukannya)” [HR. Al-Bukhari no. 3140].
Namun yang shahih, Bani Al-Muthallib bukan termasuk orang-orang yang diharamkan menerima zakat, karena hadits di atas hanyalah penyamaan dalam masalah khumus saja. Wallaahu a’lam.
3. Ahlul Bait adalah ‘Ali, Fathimah, Al-Hasan, dan Al-Husain; tanpa selain mereka.
Dalil yang mereka bawakan adalah hadits kisaa’ :
عن عمر بن أبي سلمة ربيب النبي صلى الله عليه وسلم قال نزلت هذه الآية على النبي صلى الله عليه وسلم {إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا} في بيت أم سلمة، فدعا النبي صلى الله عليه وسلم فاطمة وحسنا وحسينا فجللهم بكساء وعلي خلف ظهره فجلله بكساء ثم قال: اللهم هؤلاء أهل بيتي فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا. قالت أم سلمة وأنا معهم يا رسول الله؟ قال أنت على مكانك وأنت الى خير".
Dari ‘Umar bin Abi Salamah, anak tiri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata : “Ayat ini (“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya) turun kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam” di rumah Ummu Salamah. Maka Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam memanggil ‘Ali, Fathimah, Hasan, dan Al-Husain, lalu beliau menyelimuti mereka dengan kisaa’ (kain/baju), dan beliau pun menyelimuti ‘Ali yang berada di belakang punggungnya dengan kisaa’. Kemudian beliau bersabda : “Ya Allah, mereka semua adalah Ahlul-Bait-ku. Hilangkanlah dari mereka rijs dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya”. Maka Ummu Salamah berkata : “Apakah aku bersama mereka wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Tetaplah kamu di tempatmu, dan kamu di atas kebaikan” [HR. At-Tirmidzi no. 3205; shahih].
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menjelaskan berkaitan hadits kisa’ di atas :
و أهل بيته في الأصل هم " نساؤه صلى الله عليه وسلم و فيهن الصديقة عائشة رضي الله عنهن جميعا كما هو صريح قوله تعالى في (الأحزاب ) : *( إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت و يطهركم تطهيرا )*
بدليل الآية التي قبلها و التي بعدها : *( يا نساء النبي لستن كأحد من النساء إن اتقيتن فلا تخضعن بالقول فيطمع الذي في قلبه مرض و قلن قولا معروفا . و قرن في بيوتكن و لا تبرجن تبرج الجاهلية الأولى و أقمن الصلاة و آتين الزكاة و أطعن الله و رسوله إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت و يطهركم تطهيرا . و
اذكرن ما يتلى في بيوتكن من آيات الله و الحكمة إن الله كان لطيفا خبيرا )* , و تخصيص الشيعة ( أهل البيت ) في الآية بعلي و فاطمة و الحسن و الحسين رضي الله عنهم دون نسائه صلى الله عليه وسلم من تحريفهم لآيات الله تعالى انتصارا لأهوائهم كما هو مشروح في موضعه , و حديث الكساء و ما في معناه غاية ما فيه
توسيع دلالة الآية .
“Ahlul-Bait Nabi pada asalnya adalah istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk pula di dalamnya Ash-Shiddiqah ‘Aisyah binti Abi Bakr Ash-Shiddiqradliyallaahu ‘anhum jamii’an sebagaimana yang jelas dinashkan dalam firman Allahta’ala : “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. Bukti bila Ahlul-Bait di sini adalah istri-istri Nabi adalah ayat sebelum dan sesudahnya : “Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik, dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunah Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui”. Sedangkan anggapan Syi’ah (Rafidlah) bahwa Ahlul-Bait dalam ayat ini hanyalah ‘Ali, Fathimah, Al-Hasan, dan Al-Husain radliyallaahu ‘anhum, tanpa mengikutsertakan istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka hal itu adalah bagian dari tahrif mereka terhadap ayat-ayat Allah yang mereka lakukan untuk menolong, membantu, serta membela hawa nafsu dan kebid’ahan mereka. Adapun hadits kisaa’ dan yang semakna dengan itu, kemungkinan terbesar yang dimaksud adalah penunjukan perluasan ayat (yaitu ayat ini umum mencakup istri-istri Nabi, berikut ‘Ali, Fathimah, Al-Hasan, dan Al-Husain)” [Silsilah Ash-Shahiihah, 4/359-360 no. 1761].
Adapun yang paling kuat di antara ketiga pendapat tersebut mengenai makna Ahlul-Bait adalah orang-orang yang diharamkan menerima shadaqah/zakat, yang terdiri dari : istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan keturunannya serta seluruh muslim dan muslimah keturunan Bani Haasyim (termasuk di dalamnya keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbas). Ini adalah pendapat paling ‘adil yang mengambil semua hadits shahih yang berkaitan dengan Ahlul-Bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Adapun klaim Syi’ah Rafidlah bahwa Ahlul-Bait itu hanyalah khusus pada keluarga dan keturunan ‘Ali saja - itupun mengeluarkan keturunan Al-Hasan bin ‘Ali dan sebagian keturunan Al-Husain - tentu saja ini tidak benar. Mereka mengambil satu hadits yang sesuai dengan hawa nafsu mereka, dan namun membuang hadits-hadits yang lain yang bertentangan dengannya. Allaahul-Musta’aan.
‘Aqidah Ahlus-Sunnah terhadap Ahlul-Bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata ketika menjelaskan ‘aqidah Ahlus-Sunnah terhadap Ahlul-Bait :
ويحبون أهل بيت رسول الله ويتولونهم ويحفظون فيهم وصية رسول الله صلى الله عليه وسلم حيث قال يوم (غدير خم) : (أذكركم الله في أهل بيتي)، وقال أيضاً للعباس عمه وقد اشتكى إليه أن بعض قريش يجفو بني هاشم فقال : (والذي نفسي بيده لا يؤمنون حتى يحبوكم لله ولقرابتي (وقال) إن الله اصطفى بني إسماعيل واصطفى من بني إسماعيل كنانة واصطفى من كنانة قريشاً واصطفى من قريش بني هاشم واصطفاني من بني هاشم). ويتولون أزواج رسول الله صلى الله عليه وسلم أمهات المؤمنين ويؤمنون بأنهن أزواجه في الآخرة خصوصاً خديجة رضي الله عنها أم أكثر أولاده أول من آمن به وعاضده على أمره وكان لها منه المنزلة العالية والصِّدّيقة بنت الصّدّيق رضي الله عنها التي قال النبي صلى الله عليه وسلم : (فضل عائشة على النساء كفضل الثريد على سائر الطعام).
“Dan mereka (Ahlus-Sunnah) mencintai Ahlul-Bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, setia kepada mereka, serta menjaga wasiat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang mereka, yaitu ketika beliau bersabda di satu hari (Ghaadir-Khum) : “Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlul-Bait-ku”. Beliau juga berkata kepada pamannya, Al-‘Abbas, dimana ketika itu ia (Al-‘Abbas) mengeluh bahwa sebagian orang Quraisy membenci Bani Haasyim. Beliau bersabda : “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, mereka itu tidak beriman sehingga mereka mencintai kalian karena Allah, dank arena mereka itu sanak kerabatku”. Beliau juga bersabda : “Sesungguhnya Allah telah memilih dari Bani Isma’il yaitu suku Kinaanah, dan dari Bani Kinaanah, yaitu suku Quraisy, dari suku Quraisy, terpilih Bani Haasyim. Dan Allah memilihku dari Bani Haasyim”. Dan Ahlus-Sunnah senantiasa setia dan cinta kepada istri-istri Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka adalah Ummahatul-Mukminin, serta meyakini bahwasannya mereka adalah istri-istri beliau di akhirat nanti, khususnya Khadijah radliyallaahu ‘anhaa, ibu dari sebagian besar anak-anak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia adalah orang yang pertama kali beriman kepada beliau, mendukungnya, serta mempunyai kedudukan yang tinggi. Dan juga Ash-Shiddiqah binti Ash-Shiddiq radliyallaahu ‘anhaa dimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentangnya : “Keutamaan ‘Aisyah atas seluruh wanita adalah seperti keutamaan tsarid atas semua jenis makanan” [selesai - Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah].
Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzan berkata : “…kita diperintahkan untuk mencintai mereka (Ahlul-Bait), menghormati, dan memuliakan mereka selama mereka ber-ittiba’ kepada sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang shahihah, dan istiqamah di dalam memegang dan menjalankan syari’at agama. Adapun jika mereka menyelisihi sunnah-sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan tidak istiqamah di dalam memegang dan menjalankan syari’at agama, maka kita tidak diperbolehkan mencintai mereka, sekalipun mereka Ahlul-Bait Rasul…” [Syarh Al-‘Aqidah Al-Washithiyyah, hal. 148].
Oleh karena itu, orang-orang yang mengaku punya nasab dengan Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam namun ternyata mereka termasuk golongan penyeru bid’ah dan penggalak kesyirikan (seperti banyak habaaib di tanah air); kita tidak perlu mencintai mereka. Bahkan, mereka menjadi ‘musuh’ kita dalam agama, karena pada hakekatnya mereka merongrong dan ingin merubuhkan sendi-sendi agama dari dalam.
Asy-Syaikh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbad hafidhahullah berkata :
ويَرَون أنَّ شرَفَ النَّسَب تابعٌ لشرَف الإيمان، ومَن جمع اللهُ له بينهما فقد جمع له بين الحُسْنَيَيْن، ومَن لَم يُوَفَّق للإيمان، فإنَّ شرَفَ النَّسَب لا يُفيدُه شيئاً، وقد قال الله عزَّ وجلَّ: {إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ}، وقال صلى الله عليه وسلم في آخر حديث طويلٍ رواه مسلم في صحيحه (2699) عن أبي هريرة رضي الله عنه: ((ومَن بطَّأ به عملُه لَم يُسرع به نسبُه)).
“Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa ketinggian nasab mengikuti ketinggian iman. Barangsiapa yang Allah kumpulkan baginya dua hal tersebut, sungguh telah terkumpul baginya dua kebaikan. Dan barangsiapa tidak menetapi/konsekuen pada iman, maka ketinggian nasab tidak bermanfaat sedikitpun. Allah ‘azza wa jalla telah berfirman :“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling bertaqwa” (QS. Al-Hujuraat : 13). Dan juga berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam akhir satu hadits panjang yang diriwayatkan oleh Muslim dalamShahih-nya no. 2699 dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : ““Barangsiapa yang lambat amalnya, maka tidak akan bisa dipercepat oleh (kemuliaan) nasabnya” [Fadhlu Ahlil-Bait wal-‘Uluwwu Makaanatihim ‘inda Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah oleh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbad – www.dorar.net].
Demikianlah tulisan singkat mengenai ahlul-bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Semoga ada manfaatnya.
Abu Al-Jauzaa’ Al-Bogoriy
Direvisi tanggal 25 Nopember 2009 – [editing kalimat dan kata-kata yang salah dalam pengetikan].

COMMENTS
elfizonanwar mengatakan...
Bani Hasyim apakah semua warganya Ahlul Bait? Saya kira, juga tidak, apa lagi jika mereka itu tidak mempercayai Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Saya sependapat dengan uraian pada angka 1.
Kalau Fatimahnya jelas adalah Ahlul Bait, tapi apakah Ali bin Abi Thalib dan anak-anak-nya juga Ahlul Bait?. Karena, sistem nasab dalam Islam, ya diambil dari garis keturunan bapak bukan isterinya.
Salah satu hikmat terbesar dari Allah SWY mengapa Nabi Muhammad SAW tidak diberikan-Nya anak laki-lakinya yang sempat dewasa, adalah menjaga agar 'umat'-nya tidak ada yang mengkultuskan dinasti dari Nabi Muhammad SAW. Jadi Ahlul Baitnya putus sampai kepada anak beliau yang perempuan saja!.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Bani Hasyim adalah Ahlul-Bait. Dan sebagai tambahan keterangan, Bani Hasyim ini tidaklah meninggalkan keturunan kecuali berasal 'Abdul-Muthallib.
Namun sayangnya akh,... pernyataan antum di atas menyelisihi nash dan penjelasan banyak ulama salaf sebagaimana telah dituliskan di atas....
elfizonanwar mengatakan...
Assalamualaikum WW
Apakahh benar bahwa setiap 100 (seratus) tahun akan lahir seorang mujaddid?. Lalu, siapakah mujaddid dari Ahlus Sunnah yang hidup di abad sekarang ini?. Apakah Imam Khomaini yang telah berhasil menciptakan sistem negara dan pemerintahan yang mengacu ke prinsip-prinsip ajaran Islam di Iran dapat dimasukkan sebagai seorang mujaddid Islam abad ini?
Wassalamualaikum WW
elfizonanwar mengatakan...
Putri Khadijah ini adalah satu-satunya yang menurunkan garis keturunan Muhammad. Menjelang wafatnya, hanya Fathimahlah anak Muhammad yang masih hidup. Katanya: "Siapa yang menyakiti Fathimah, berarti menyakiti diriku". Dari Fathimahlah lahirnya keturunan yang dinamakan "ahl al-bayt" (Sirah Muhammad Rasulullah, Fuad Hashem, halaman 276).
Pendapat ini bisa dirujuk dengan QS. Al Ahzab: 4)
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda :
إن الله يبعث لهذه الأمة في رأس كل مائة سنة من يجدد لها دينها
Sesungguhnya Allah akan mengutus kepada umat ini setiap 100 tahun sekali orang yang akan melakukan pembaharuan (tajdiid) dalam agama" [HR. Abu Dawud, Al-Hakim, dan yang lainnya; shahih].
Makna tajdiid di sini secara ringkas adalah : "menghidupkan amal perbuatan yang telah lenyap dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, serta menghidupkan kembali perkara-perkara yang sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah; serta menghancurkan/memberantas bid'ah dan sesuatu yang diada-adakan yang telah nampak menyebar [lihat Aunul-Ma'bud Syarh Sunan Abi Dawud, 11/91].
Dari hadits di atas serta penjelasan mengenai tajdid, maka Al-Khomeini bukan merupakan mujaddid, karena ia adalah orang yang merobohkan Al-Qur'an dan As-Sunnah serta menghidupkan bid'ah-bid'ah. Bagaimana bisa disebut mujaddid jika ia mengkafirkan para shahabat yang mulia (terutama Abu Bakr dan 'Umar) ? Bagaimana disebut mujaddid seorang yang melecehkan dan menghina Ummul-Mukminin 'Aisyah radliyallaahu 'anhaa ? Bagaimana disebut mujaddid seorang yang mengklaim bahwa Al-Qur'an sekarang ini tidak asli lagi ?
Adapun komentar Anda tentang pernyataan Fathimah - jika itu Anda kaitkan dengan Ahlul-Bait - , maka memang benar bahwa ia merupakan ahlul-bait. Namun sekali lagi, hal itu bukan khusus kepadanya saja. Namun juga kepada istri-istri beliau, keluarga 'Ali, keluarga 'Aqil, keluarga Ja'far, dan yang lainnya.
Saya kira, kita harus memperhatikan keseluruhan nash hadits jika hendak menyimpulkan satu perkataan. Jangan hanya melihat kepada satu nash saja, namun kemudian meninggalkan yang lainnya.
Abul-Jauzaa'
Anonim mengatakan...
Berpendapat ayat tersebut khusus buat Ali, Fatimah, Hassan, Husain..saya rasa tidak menjadikan seseorang Syiah... Jangan karena kebencian terhadap syiah semua yg meninggikan Ali, Fatimah, Hassan dan Hussain harus di jegal...dengan membuatnya seolah2 tidak ada kelebihan..... Saya baca tentang Sejarah pembukuan alquran....
Bagai mana sahabat-sahabat lain menolak Mushaf yg disusun oleh Ali....Kemudian di zaman Ustman mereka meninggalkan Mushaf Inbu Masud (hanya karena mushafnya menta'wilkan tentang Ali diayat rukuk)....
elfizonanwar mengatakan...
dan Kami lebihkan (pula) derajat sebahagian dari BAPAK-BAPAK mereka, keturunan mereka dan saudara-saudara mereka. Dan kami telah memilih mereka (untuk menjadi nabi-nabi dan rasul-rasul) dan Kami menunjuki mereka ke jalan yang lurus (QS. 6:87).
dari ayat ini jelas, nasab itu hanya dari garis bapak BUKAN DARI IBU atau PEREMPUAN. Jadi nasab dari keturunan Bunda Fatimah (anak-anaknya) ya bernasab pada Saidina Ali, Ali bukan rasul dan bukan pula nabi.
jadi 'ahlulbait' dari Nabi Muhammad SAW ya 'hanya' Bunda Fatimah, tapi Bunda Fatimah tidak ada kewenangan bernasab. krn itulah, mukjizat Allah SWT pada Nabi Muhammad SAW pada Islam dan umatnya, Nabi SAW tidak diberikan anak laki-laki yang sampai dewasa apalagi mempunyai keturunan.
elfizonanwar mengatakan...
Dlm Al Quran yang menyebut 'ahlulbait', rasa ada 3 (tiga) ayat dan 3 surat.
1. QS. 11:73: Para Malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan kebrkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah".
Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka makna 'ahlulbait' adalah isteri dari Nabi Ibrahim.
2. QS. 28:12: Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusukan(nya) sebelum itu; maka berkatalah Saudara Musa: 'Maukahkamu aku tunjukkan kepadamu 'ahlulbait' yang akan memeliharanya untukmu, dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?
Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka makna 'ahlulbait' adalah Ibu Nabi Musa As. atau ya Saudara Nabi Musa As.
3. QS. 33:33: "...Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu 'ahlulbait' dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya".
Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya QS. 33: 28, 30 dan 32, maka makna ahlulbait adalah para isteri Nabi Muhammad SAW. Sedangkan sesudah ayar 33 yakni QS. 33:34, 37 dan 40 penggambaran ahlulbaitnya mencakup keluarga besar Nabi Muhammad SAW. isteri plus anak-anak beliau.
Coba baca catatan kaki dari kitab: Al Quran dan Terjemahannya, maka ahlulbaik yaitu KELUARGA RUMAHTANGGA RASULULLAH SAW. Berarti, anak Nabi SAW terakhir yang berkedudukan sebagai halulbait ya Bunda Fatimah, lalu apakah bunda Fatimah ini mempunyai hak bernasab sebagaimana dimaksud dlm QS. 33:4-5 dimana nasab keturunan itu diambul dari nasab bapaknya? Dengan demikian, anak-anak dari Bunda Fatimah tetap saja bernasab pada Saidina Ali bin Abi Thalib bukan pada Nabi Muhammad SAW.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Anda cuma berkutat pada sebagian dalil saja dan berlebihan dalam logika.
elfizonanwar mengatakan...
"Hai orang-orang yang beriman. Janganlah kamu HARAM-kan apa-apa yang baik yang telah Allah HALAL-kan bagi kamu, dan JANGANLAH KAMU MELAMPAUI BATAS. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang MELAMPAUI BATAS" (QS. 5:87)
elfizonanwar mengatakan...
lalu, apakah ada anak keturunan 'nabi'???
presiden jabatan buah karya manusia, nabi jabatan anugerah Tuhan, Allah SWT
anak keturunan yang ada, bukan anak presiden atau anak nabi,
tetapi ya ada anak keturunan Bung Karno atau Pak SBY atau anak keturunan Saidina Muhammad bin Abdullah
dlm Islan yg termuat dlam Al Quran, nasab itu diambil dari keturunan bapak krn itu kita tidak boleh menutupi, menghilangkan atau mengganti nasab seseorang, ya mengganti nasab dari bapak ke ibu dsb. Allah SWT saja memuliakan 'nasab' seorang anak angkat (QS. 33:4-5). Krn itu, nasab Saidina Hasan dan Saidina Husein ya bernasab pada Saidina Ali bin Abi Thalib.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Permasalahan ahlul-bait adalah permasalahan yang didasarkan pada nash. Bukan pada akal saya atau akal Anda.
'Umar saat akan menikahi Ummu Kultsum binti 'Aliy bin Abi Thaalib berkata :
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول كل سبب ونسب منقطع يوم القيامة إلا سببي ونسبي فأحببت أن يكون لي من رسول الله صلى الله عليه وسلم سبب ونسب
“Aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Setiap sebab dan nasab akan terputus pada hari kiamat, kecuali sebabku dan nasabku’. Oleh karena itu, aku ingin mempunyai sebab dan nasab dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy, lihat Silsilah Ash-Shahiihah no. 2036].
Keinginan 'Umar untuk menikahi Ummu Kultsum binti 'Aliy adalah karena keinginannya agar nasab dan keturunan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam ada pada (anak keturunan)-nya. Apakah Anda akan mengatakan 'Umar telah keliru karena bertentangan dengan logika yang Anda sebutkan ?
Anonim mengatakan...
Sdr.Elfizonanwar , kelihatan sekali kalau saudara tidak paham tentang yang saudara tanyakan maka sangat tepat kalau akhi Abul Jazaa mengatakan " Anda cuma berkutat pada sebagian dalil saja dan berlebihan dalam logika " .
Maka sebaiknya saudara baca dengan seksama isi bloq ini , kalau tidak jelas tanyakan dengan sopan maka insya Allah saudara akan memperoleh ilmu yang bermanfaat.
Kalaupun memang tidak sama dalam pemahaman , memang qadarrallah tidak akan pernah bersatu antara ahlus sunnah dengan ahlu bidah .
elfizonanwar mengatakan...
Alhamdulillah, yang penting saya sudah sampaikan ayat Al Quran, bahwa nasab itu tegas dari bapak dan jika ada dari garis ibu, ya itu hanyalah Nabi Isa As. bin Maryam. Terima kasih dan Insya Allah saya tak akan komentar ini lagi dlm blog ini.
Alhamdulillah
1syahadat mengatakan...
Ya Ustadz,
Saya ingin bertanya ttg hadith Al Baihaqi sebagaimana yg Anda sebutkan diatas, yg kalau tidak salah kelanjutannya adalah sbb:
"Semua anak yang dilahirkan oleh ibunya bernasab kepada ayah mereka kecuali anak Fatimah; akulah wali mereka, akulah nasab mereka dan akulah ayah mereka". Hadithnya seingat saya dari Aisyah ra. Sejauh yg saya pahami, hadith dari Thabrani juga ada yg meriwayatkan demikian.
Jadi anak dari Fatimah ra bernasab kepada Nabi saw, bukan kepada Ali ra. Kemudian Hasan dan Husain tetap dituliskan "bin Ali (bin Abu Thalib)", bukan "bin Muhammad (bin Abdullah)".
Mohon tanggapan/penjelasannya, bagaimana sebaiknya kita memahami hadith ini.
Terima kasih sebelumnya.
elfizonanwar mengatakan...
mhn maaf, soal hadits tsb. saya kira sebaiknya kita tanyakan pada ahli hadits, apakah ada kesan bertentangan dengan QS. 33:4-5 tsb.?
Menurut hemat saya, QS. 33:4-5 jelas dan terang benderang, cobalah mhn petunjuk pada Allah SWT dimalam hari, smg Allah SWT memberi petunjuk-Nya pada kita.
elfizonanwar mengatakan...
"Hai orang-orang yang beriman. Janganlah kamu HARAM-kan apa-apa yang baik yang telah Allah HALAL-kan bagi kamu, dan JANGANLAH KAMU MELAMPAUI BATAS. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang MELAMPAUI BATAS" (QS. 5:87)
ibnu abi irfan mengatakan...
tidak apa2 jika pertanyaan itu dilontarkan kepada ustadz abul jauza, karena jika kita tanyakan langsung pada ulama ahli hadits akan kesulitan.
toh, nantinya ustadz abul jauza akan menjawabnya dengan membawa penukilan kitab2nya ulama ahli hadits, bukan dari ijtihad beliau sendiri.
sepengetahuan ana, begitulah metode penulisan artikel2 beliau yang pernah ana baca. setahu ana, beliau bukan seorang yang sok pintar yang memaksakan diri menjawab pertanyaan yang diluar kapasitas ilmunya. wallohu 'alam.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
@elfizonanwar,...... tidak ada pertentangan antara hadits tersebut dengan ayat yang Anda sebutkan selama Anda menempatkan hadits shahih sebagai bayaan dari Al-Qur'an. Anda bukanlah nabi atau rasul yang diutus. Oleh karena itu, pemahaman Anda harus tunduk dengan pemahaman Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam terhadap ayat-ayat Al-Qur'an. Beliau lebih tahu tentang Al-Qur'an dibandingkan saya ataupun Anda.
Hadits tersebut shahih. Apa yang beliau katakan merupakan kekhususan beliau yang tidak dipunyai oleh selain beliau.
Tidakkah Anda perhatikan lafadh hadits tentang ucapan beliau tersebut ? Hadits tersebut mengandung takhshish.
Cobalah mohon petunjuk pada Allah ta'ala di malam hari. Semoga Allah ta'ala memberikan petunjuk-Nya pada kita semua.
elfizonanwar mengatakan...
Jika tidak bertentangan, Alhamdulillah
Tapi jika terjadi perbedaan, saya kira Ustad juga harus mohon kehadirat Allah SWT petunjuk, sehingga dapat yang lebih benar lagi.
Alhamdulillah, mohon maaf sudah menggangu Anda dll.
dewa mengatakan...
@elfizonanwar >> spertinya anda perlu belajar lagi tentang agama,,atau anda belajar dengan para habaib yang sering mengajarkan bidah-bidah dan syubhat-syubhat,,,banyak orang shalat tapi tidak diberi petunjuk contohnya seperti anda ini,,dibilangin masih aja ngeyel,,belajar sama ustadz yang sesuai Al Quran dan Sunnah,,biar terbuka syubhatnya...
elfizonanwar mengatakan...
@dewa terima kasih, slmt
Anonim mengatakan...
apakah kaum Nawaashib itu bagian dari Syi'ah?
sebab saya kok baca, katakanya yang membunuh Al Husain adalah Nawaashib? siapakah mereka itu?
Ibnu Taimyah berkata:
“Pasal: Si Rafidhi berkata, “Dan mereka menamakan Aisyah Ummul Mukimin dan tidak menamai selainnya dengan nama itu. Mereka juga tidak menggelari Muhammad putra Abu Bakar dengan gelar Paman kaum Muslimin padahal ia sangat mulia dan dekat kedudukannya di sisi ayah dan saudarinya; Aisyah Ummul Mukminin. Sementara itu mereka mengelari Mu’awiyah dengan gelar Paman kaum Mukminin dengan alasan karena Ummu Habibah bintu Abu Sufyan saudarinya adalah seorang dari istri Nabi saw. Saudarinya Muhammad ibn Abu Bakar dan ayahnya lebih agung dari saudarinya Mu’awiyah dan ayahnya.
Jawab: Dikatakan di sini bahwa perkataannya bahwa mereka (Ahlusunnah) menamakan Aisyah ra. dengan sebutan Ummul Mukminin dan tidak menggelari istri-istri lainnya dengan gelar itu adalah sebuah kepalsuan nyata yang tampak bagi setiap orang. Aku tidak mengerti apakah orang itu dan yang semisalnya menyengaja berdusta atau Allah membutakan mata mereka karena hawa nafsu yang berlebihan sampai-sampai samar bagi mereka bahwa yang demikian itu adalah dusta?! Sementara itu mereka mengingkari terhadap sebagian orang Nawâshib bahwa ketika Husain berkata kepada mereka, “Tidakkah kalian mengetahui bahwa aku ini adalah putra Fatimah putri Rasulullah saw.?!” Lalu mereka menjawab, “Demi Allah kami tidak mengetahuinya!” yang demikian itu tidak mungkin mengatakannya dan tidak mungkin mengingkari nasab Husain kecuali orang yang menyengaja berdusta dan mengada-ngada. Dan barang sispa yang dibutakan Allah mata hatinya karena mengikuti hawa nafsunya, sehingga ia mengingkari yang demikian. Dan mata hawa nafsu itu buta!

Dan kaum Rafidhah lebih dahsyat pengingkarannya terhadap kebenaran dan lebih buta dibandingkan mereka (yang mengingkari nasab Husain). Di antara mereka (Rafidhah) adalah kaum Nushairiyah daan selainnya yang berpendapat bahwa Hasan dan Husain bukan putra-putra Ali, akan tetapi anak Salman al Farisi. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa Ali tidak mati… dan demikianlah pendapat-pendapat lain.
Dan di antara mereka ada yang berkata, “Abu Bakar dan Umar tidak dikebumikan di samping Nabi saw.”
Dan di antara mereka ada yang berkata, “Ruqayyah dan Ummu Kultsum istri Utsman itu bukan putri Nabi saw. tetapi putri Khadijah dari suami lain.
Dan kaum Syi’ah punya sikap ngeyel dan menentang kebenaran pasti lebih dahsyat dari apa yang dilakukan kaum Nawâshib yang telah membunuh Husain. Dan ini adalah bukti bahwa mereka adalah paling pembohong, paling zalim dan lebih jahil dari para pembunuh Husain.”
(Baca: Minhâj as Sunnah,4/366-368)
Ibnu Jakfari Berkata:
Jadi jelaslah bagi kita semua sesuai apa yang dikatakan Syeikhul Islamnya kaum Salafi/Wahhâbi bahwa para pembunuh Imam Husain itu adalah kaum Nawâshib… bukan kaum Syi’ah seperti yang selama ini dilontarkan mulut kaum pembenci kebenaran dari kalangan Nawâshib dan antek-antek bani Umayyah, asy Syajarah al Mal’unah fil Qur’ân/pohon terkutuk dalam Al Qur’an!
Dan segala puji bagi Allah yang telah membukakan mulut Ibnu Taimiyah untuk mengucap kebenaran walaupun tidak ia kehendaki!
Atau jangan-jangan apa yang ditegaskan Ibnu Taimyah itu digolongkan para pemujanya sebagai ijtihad yang salah?!
Atau mungkin mereka akan menuduhnya sebagai menggigau, yahjuru?!
SUmber : jakfari.wordpress.com
Anonim mengatakan...
mohon penjelasan tentang kaum Nawaashib...
Anonim mengatakan...
apakah benar mereka kaum Nawaashib yang membunuh Al Husain?
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Nawaashib adalah kaum yang membenci ahlul-bait. Dalam persepsi teologi Syi'ah, Nawaashib itu diidentikkan dengan Ahlus-Sunnah. Ya, kita-kita ini telah menjadi bagian Nawaashib karena tidak beragama dengan agama Syi'ah.
Adapun Ahlus-Sunnah memandang bahwa Nawaashib itu adalah kelompok ekstrim yang berlebihan dalam membenci Ahlul-Bait; kebalikan dari Syi'ah yang ekstrim dalam mencintai Ahlul-Bait.
Menilik penjelasan Ibnu Taimiyyah, maka yang membunuh adalah kelompok Nawaashib. Ini dalam pengertian,yang membunuh Al-Husain adalah orang-orang yang sangat membencinyasehingga tega membunuhnya. Dalam pengertian ini, maka itu benar. Namun kalau mengglobalkan bahwa Nawaashib itu adalah Bani Umayyah sebagaimana dapat tersimpulkan dari perkataan Ibnu ja'fariy itu, tentu saja tidak benar.
Ibnu Ja'fariy Asy-Syi'iy itu mengambil perkataan Ibnu Taimiyyah dan mengartikannya sesuai dengan yang dimauinya, bukan dengan pengertian yang dimaui Ibnu Taimiyyah.
elfizonanwar mengatakan...
akar permasalahannya bukan karena membenci 'keturunan' ahlul bait, krn setiap kita shalat selalu kita baca shalawat pada Nabi Muhammad SAW dan ahlinya.
lalu, ahlinya siapa? lalu apakah ada 'keturunan' dari ahlul baitnya? lalu, jika ada yg merasa 'keturunan' ahlul bait, apakah tepat dasarnya, misal dikaitkan dengan makna QS. 33:4-5?
krn dari beberapa artikel, kita tak temukan kajian 'keturunan' ahlul bait itu dikaitkan dengan makna QS. 33:4-5.
kalau tdk mau dikaitkan dengan QS. 33:4-5, lalu apakah kita berani mengatakan bahwa Saidina Hasan dan Saidina Husein kita sebut 'bin Fatimah'? atau apakah kita berani menghilangkan identitas nasab dari Saidina Ali bin Abi Thalib atas keturunannya?
jadi masalah tersebut tidak ada kaitannya dengan pembunuhan atas Saidina Husein dsb. lalu dituding dan difitnahlah suatu kelompok tertentu.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Bicara dengan Anda memang 'susah'. Anda cuma mengulang-ulang propaganda pemahaman Anda sebagaimana komentar sebelumnya. Pemahaman Anda terhadap ayat Al-Qur'an hanyalah menurut standar akal Anda semata dengan menafikkan sunnah (al-hadits). Bagi saya, pemahaman model Anda ini jelas sekalitertolak, alias tidak terpakai. Maaf.
elfizonanwar mengatakan...
jika anda 'menolak' dasar QS. 33:4-5 silahkan saja, tp tolong anda cari artikel ttg seputar 'ahlul bait' yang di dlm artikel itu ada memuat kaitannya dengan QS. 33:4-5.
Ayat tsb. dan ayat-ayat ttg 'ahlul bait' seperti yg pernah sy kemukan terdahulu adalah kunci untuk kita menjawab masalah pengertian 'keturunan'. kita tdk bisa hanya berpegang pada QS. 33:33 lalu plus hadits saja.
terima kasih atas kesedian anda untuk berdialog dng saya, jika ada tulisan sy yang tdk berkenan ya saya mhn maaf. dan jika ada sy salah menafsirkan makna dan hakikat al Quran tsb. hanya kehadirat Allah SWT sy mohon ampunan-Nya. yang jelas, ayat-ayat tsb. sudah hamba sampaikan ya Allah, termasuk para pembaca web ini. smg Allah SWT memberkahi dean memberi kita petunjuk-Nya.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Saya menolak logika aneh Anda dalam memahami ayat. Dan Anda nyuruh saya nyari artikel yang 'membela' pendapat Anda itu ? ya, paling-paling saya akan menemui artikel yang Anda tulis yang inti pokoknya sebagaimana telah Anda tulis di atas.
Dalam QS. 33 ayat 4-5 (ayat 5 khususnya) adalah perintah untuk memanggil anak dengan memakai bapak-bapak mereka. Saya sepakat bahwa seorang anak itu pada asalnya dinasabkan kepada bapaknya. Namun itu bukan sebagai batasan mas... Bukankah seorang anak yang dihasilkan dari hubungan zina itu dinasabkan kepada ibunya ? Itu kita peroleh dari mana ? Ya dari hadits. Dan ingat, bahasan Ahlul-Bait ini bukan sekedar dalam sekup ini saja. Dan dari mana saya menolak bahwa cucu Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam itu tidak dinasabkan kepada 'Aliy ?
Aneh Anda ini. Al-Hasan dan Al-Husain itu ya dinasabkan kepada 'Aliy. Riwayat hadits menjadi saksi. 'Aliy bin Abi Thaalib pun kunyahnya Abul-Hasan. Tapi di sini, ta'rif Ahlul-Bait bukan sekedar itu ? Saya rasa saya tidak perlu mengulangnya....
Perkataan Anda :

kita tdk bisa hanya berpegang pada QS. 33:33 lalu plus hadits saja.
adalah kesalahan fatal. Kalau tidak dengan hadits, lantas dengan apa ? Dengan pemahaman Anda ?
Semoga Allah memberikan petunjuk kepada Anda (dan kita semua) yang telah berupaya 'menyampaikan' apa yang Anda anggap benar, padahal hakekatnya adalah kekeliruan.
Baarakallaahu fiikum.
Anonim mengatakan...
@elfizonanwar,
anda ga fair, harusny anda bawakan artikel yg anda maksud dan dpt mendukung pendapat anda, kok anda malah menyuruh ustadz abul jauzaa untuk mencarinya?? Aneh anda ini...
Al-Ikhlas mengatakan...
Yang menyanggah, yang membantah, bawalah dalil bantahannya
elfizonanwar mengatakan...
@anonim, sy kira sy fair, krn sy memakai nama lengkap, dan @ al ikhlas sy yakin dng makna yang tegas dan jelas bahwa dlm prinsip ajaran Islam khususnya Al Quran, maka QS. 33:4-5 sdh merupakan 'penegasan' Allah SWT bahwa jalur nasab itu hanya dari kaum lelaki, kecuali terhadap Nabi Isa As. yg berhak menggunakan 'bin'-nya adalah Maryam. Silahkan anda banding dengan dalil lainnya, monggo.

Mhn maaf, jika yang sy kemukakan ini salah, maka itu tanggungjawab saya kehadirat Allah SWT, maka dihadapan para pembaca ini 'saya mohon ampunan-Mu Ya Allah'. sebaliknya, jika ini 'benar'. maka 'memang' pasti ayat-ayat Allah SWT Maha Benar, kita aja yang menafsirkan 'salah'. seandainya tafsiran kita salah ya sportif dan fair kita mohon ampuan-Nya saja.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Ya, Anda memang akan bertanggung jawab dengan penafsiran Anda itu. Semoga Allah ta'ala mengampuni Anda....
elfizonanwar mengatakan...
terima kasih, semoga Allah SWT mengampuni saya, dan semoga tafsiran sy membela QS. 33:4-5 'benar'. Sy mhn kiranya disampaikan kebenaran ini karena ini ayat Al Quran.
Anonim mengatakan...
...Katakanlah (Wahai Rasul): "Aku tidak meminta kepadamu (umatku) sesuatu upahpun atas seruanku (ajaranku) kecuali Mawaddah fiil Qurba (kecintaan pada Ahlul Baitku)... (42:23). Orang2 kafir (hatinya tertutup), sama saja bagi mereka, apakah engkau beri peringatan kpd mereka atw tidak, mereka tak akan beriman. (2:6). Orang2 yg mmprdebatkan ayat2 Allah tanpa alasan yg sampai kpd mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi ALLAH Dan Di Sisi ORANG-ORANG yg BERIMAN (kata majemuk). Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yg sombong dan sewenang-wenang. (40:35)
Sholawat (Allahumma sholli 'ala Muhammad wa 'alii Muhammad)
elfizonanwar mengatakan...
Orang yang tak cinta pada Ahlul Bait itu, adalah mereka yang tak mau mengucapkan sholat pada nabi Muhammad SAW dan keluarganya, siapa keluarganya, ya sampai (terakhir) ya pada Bunda Fatimah.
Sholawat yang benar itu, ya yang sesuai dengan ajaran nabi kita sendiri, bukan yg dibuat-buat oleh 'orang' bukan nabi. Sholawat yang dibuat oleh manusia bukan nabi, silahkan tapi jangan berlebihan yang akhir punye kecendrungan pengkultusan melampaui batas.
Mengapa Ahlul Baitnya sampai Bunda Fatimah, ya itulah mukjizat Allah SWT sehingga dipertegas dengan prinsip-prinsip nasab sebagaimana termuat dalam QS. 33:4-5 tsb.
Kalau tidak dibatasi masalah Ahlul Bait, maka terbukti sampai saat ini sangat banyak yang 'ngaku' keturunan Ahlul Bait, kerennya 'ngaku keturunan nabi' ada yg dari Sunni, ada yang dari Syiah, ada yang dr Yaman,Indonesia dsb. ya kapan selesainya, missi Islam yang diajarkan oleh Nabi kita Muhammad SAW itu sampai kiamat.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Cyclic : Tidak perlu Anda mengulang-ulang statement Anda di sini. Di atas sudah penuh itu akan komentar Anda yang nadanya sama. Tidak ada yang baru.
Intinya, itu hanyalah deskripsi ilusi Anda atas pemahaman terhadap ayat, tanpa mau menengok hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Walhasil : Tertolak.
Anonim mengatakan...
Mr. elfizonanwar,
Biarkan mereka mnafsirkan dalil versi mereka sendiri. Anda sdh brusaha, sebagian yg mmbaca dialog trbuka ini sdh melihat dr awal akan sadar mana yg hak, mana yg doktrinasi.
Kebenaran adl Hak dg cahaya yg terangnya melebihi sinar matahari, kecintaan pd ahlul bayt adl Kebenaran.
Hak itu milik Muhammad saaw, dan beliau Milik Allah swt.
Wasalam, Doni
Fredy mengatakan...
Assalamu'alaykum.
Maaf, bila yang punya blog berkenan, saya mau urun pendapat. =)
Sebetulnya ada kesamaan tujuan antara pendapat ust. Abul Jauzaa, dengan ust. elfizonanwar.
yaitu pengingkaran beliau berdua terhadap pengkultusan individu, khususnya dari kalangan ahl bayt.
Ust. elfizonanwar membatasi ahl bayt Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam hanya smpai fatimah r.a. (tanpa menerima nash yang lain),
sebab di khawatirkan akan banyak yang mengaku-aku sebagai ahl bayt, kemudian mengkultuskan mereka, baik ahl bayt yang masih hidup, maupun ahl bayt yang sudah berganti status menjadi ahl qubr.
*dan pengkultusan yang beliau khawatirkan memang terbukti.
Sementara, ust. Abul Jauzaa memakai pendapat Ahl as-Sunnah di dalam perkara ini, dengan menerima semua nash yang berkaitan dengan perkara tsb.
dan hasilnya ahl bayt tidak hanya sampai sayyidah fatimah saja, tetapi masih ada ahl bayt sampai hari kiamat.
Namun begitu, ustadz berdua sama2 mengingkari perbuatan sebagian kaum muslimin yang ghuluw terhadap ahl bayt.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Untuk ust. elfizonanwar ::
Saya mau nyumbang pendapat neyh tadz, siapa tau bisa jadi pertimbangan. =)
Ust. tentunya beriman dengan hari akhir/kiamat kan?
kalo iya, ust. tentunya faham tanda2 hari kiamat, baik yang sudah terjadi, sedang terjadi, maupun yang akan terjadi.
Nah, salah satu tanda datangnya hari akhir yang belum/akan datang ialah :
Turunnya Nabi Isa 'alaihis salaam
Untuk apa?
Salah satu tujuan turunnya Beliau -'alaihis salaam- selain menghancurkan salib, yaitu untuk membunuh al-Masih Dajjal.
Lalu apa yangg di lakukan oleh Nabi Isa 'alaihis salaam pertama kali?
Beliau -'alaihis salaam- mengikuti syariat Rasulullah Shallallahu 'alaihiy wasallam, dengan sholat di belakang Imam Mahdi.
Lantas, siapakah Imam Mahdi itu?
Imam Mahdi adalah ahl bayt Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, yang namanya sama dengan nama Rasulullah, yaitu Muhammad bin 'Abdullah.
Jadi kesimpulannnya, ahl bayt masih ada sampai hari kiamat, tidak terbatas sampai fatimah r.a. saja.
Kecuali antum tidak mengimani turunnya Nabi Isa 'alaihis salaam, atau munculnya Imam Mahdi pada akhir zaman. ;)
*untuk nash yang berkaitan dengan Nabi Isa 'alaihis salaam dan Imam Mahdi saya serahkan urusannya kepada Ust. Abul Jauzaa, agar dapat me-rely informasinya (kalo sempat)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Untuk Ust. Abul Jauzaa ::
di posting atau tidaknya komentar ini, saya ucapkan Jazakallahu khayr atas ilmu yang sudah dibagikan kepada kaum muslimin.
*khususnya saya =)
Fredy mengatakan...
@ Anonim, 22 April 2011 16:59
a.k.a Doni.
Maaf mas, antum keliru jika mengira kaum muslimin yang menerima eksistensi ahl bayt sampai hari kiamat (tidak membatasi sampai fatimah r.a. ) telah terdoktrinasi. =)
Kalo boleh tau, terdoktrinasi dalam hal apa ?
Ust. Abul Jauzaa, dan kaum muslimin yang lain meyakini eksistensi ahl bayt sampai hari kiamat di karenakan adanya petunjuk dari al-Qur'an dan as-Sunnah (hadits).
dengan kata lain pendapat mereka (termasuk saya) ada dalilnya, ada dasarnya. =)
Sementara pendapat ust. elfozonanwar diatas hanya berdasarkan pada sebagian dalil saja.
Beliau ndak menerima dalil yang lain (hadits).
Kalo kaum muslimin yang menerima HADITS tentang keberadaan ahl bayt antum anggap terdoktrinasi.
saya mau nanya neyh,,,
antum sholat kan ?
kalo iya -alkhamdulillah-, dari mana antum dapatkan gerakan-gerakan sholat (bersedekap, ruku', sujud, salam, dsb)..?
bukankah semua gerakan tersebut dari hadits Nabi ?
Apakah orang yang mengimani sesuatu atau melakukan sesuatu, di karenakan adanya informasi dari HADITS shahih di anggap terdoktrinasi ?
al-Qur'an maupun Hadits berasal dari satu sumber, yaitu dari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam.
Keduanya sama-sama di bukukan, hanya saja untuk hadits harus di teliti (sanad.nya) karena tidak semua kitab hadits berisikan hadits yang shahih dari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, melainkan ada yang lemah atau palsu.
Salah satu penyebab munculnya hadits palsu yaa itu ...pengkultusan terhadap mazhab maupun individu.
al-Qur'an dan hadits shahih adalah hujjah, yang terangnya melebihi matahari di siang bolong. =)
Wallahu ta'ala a'lam
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Telah banyak bahasan tentang Ahlul-Bait dalam Blog ini, baik dengan judul khusus atau include dalam bahasan lain. Barangkali ada yang mau baca-baca :
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/04/berlepas-dirinya-imam-ahlul-bait.html
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/05/hadits-tsaqalain-ahlul-bait-jaminan.html
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/11/ahlul-bait-adalah-jaminan-keselamatan.html
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/01/hak-hak-ahlul-bait-menurut-ahlus-sunnah.html
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/02/imam-mahdi-mu-bukan-imam-mahdi-ku.html
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/02/konsisten-dalam-inkonsisten.html
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/02/al-husain-bin-ali-bin-abi-thalib.html
dan yang lainnya.
Anonim mengatakan...
اصبر ياأستاذ..فعليك أن تكون ملما بمفاتيحه هذه النفس البشرية، لتسبر أغوارها ولتغلغل إلى أعماقها....لأن فيها الإقبال والإحجام وفيها الحير والشر، فيها الطاعة المعصية، وفيها الفجور والتقوى....hehe,,walaupun sebenernya ana juga bacanya uagak kuesel... kepada mas elfizonanwar yang terhormat... Al Qur'an dan Hadits itu sama2 menjadi sumber hukum, dan tidak bertentangan, karena sama2 dari Allah... makanya kalo ada hadits dan qur'an,kedua-duanya di ambil.. bukan Qur'an di ambil hadits di buang... nanti kalo kita comot sebagian tinggalin sebagian, jangan2 kita mbaca al maidah 44,,bisa jadi tukang ngebom kita... seraya dengan penuh keyakinan bilang, "ini lho jelas yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka dia....!" wal'iyadzubillah...
Ane Nyimak Gan... mengatakan...
antara Syaikh. elfizonanwar dan Ust. Abul Jauzaa....kelihatannya akan sulit menemui titik temu.
(maaf sekedar bertanya bukan menghukumi)untuk syaikh elfizonanwar...apakah anda salah satu anggota penganut faham "inkarussunnah"..? kalau benar anda penganut paham tersebut maka jelaslah sudah sampai kapanpun diskusi ini tidak akan menemui titik temu...
apabila bukan demikian lalu dimanakah letak hadits terhadap alqur'an bagi anda...?
maaf (lagi) mungkin penyebab tidak di dapatinya titik temu antara Syaikh. elfizonanwar dan Ust. Abul Jauzaa adalah karena yang di inginkan Syaikh. elfizonanwar adalah pengertian ahlul bait secara BAHASA sedangkan yang di inginkan Ust. Abul Jauzaa adalah pengertian ahlul bait secara ISTILAH/SYAR'I...jadi ya...ga nyambung2...
sama halnya dengan orang yang mengartikan makna shalat yang satunya mengingikan arti secara bahasa yang satunya lagi mengartikannya secara ISTILAH /SYAR'I...
tapi tetap saja di sini yang saya anggap pendapatnya kurang tepat ialah pendapatnya Syaikh. elfizonanwar ...semoga anda kembali kejalan yang benar.
elfizonanwar mengatakan...
aneh ya jika sy dituding inkarsunnah, tapi ya terserah anda, yang pasti Allah SWT Maha Mengetahui.
satu kata yang kita lontarkan atau tulis di sini ya samahalnya dengan satu ucapan yang kita ucapkan. Allah SWT Maha Mengetahui dan malaikat dikanan kiri kita akan mencatat ucapan/kata kita ini.
soal 'keturunan' nabi atau ahlul bait (baca keturunan) ya monggo saja, yang penting temuan dalam Al Quran ini sudah saya sampaikan. soal percaya atau tidak ya tanyakan langsung pada Al Quran itu sendiri.
semoga Allah SWT memberkahi dan memberikan petunjuk dan yang penting ampunan-Nya pada saya yang penuh dosa ini.
ahmad nugroho mengatakan...
mohon ijin posting atas sedikit pengetahuan saya..
Kutinggalkan bagi kalian dua hal yang berharga, Al Quran dan Ahlul Baitku. (HR Muslim). Bahwa keduanya Al Quran dan Ahlul Bait adalah dua hal yang tak terpisahkan hingga hari kiamat.

Islam adalah keduanya (Al Quran dan Ahlul Bait) yang tidak akan terpisah hingga akhir zaman, hingga kehadiran Ahlul Bait Rasulullah yang terakhir, Imam Mahdi afs yang dinanti-natikan.
Anonim mengatakan...
Maaf atas ketidaktahuan saya
Apa nggak sebaiknya dibedakan antara "ahlul bait" dengan "keturunan nabi".
Dengan demikian maka "keturunan ahlul bait masih ada (dari jalur Ali ra), dan keturunan nabi Muhammad SAW sudah terputus, karena nabi tidak mempunyai anak laki-laki(?)
buat ente nih,, @@elfizonanwar yang mengedapankan akal dalam memahami nash. apalagi cuma pake terjemahan.
saya ambil contoh: keluarga besar presiden... di situ disebutkan menantu (padahal bukan keturunan)dari laki2, keponakan (padahal bukan keturunan, saudara kandung padahal bukan keturunan laki2 si bpk presiden), cucu presiden dari anaknya yang perempuan, dll kenapa disebut sebagai bagian dari keluarga (AHLUL BAIT) si bpk presiden??????? Ente ngerti gak sih maksud ahlul bait??
kalau ente merasa paling benar jawab deh pertanyaan ane,, sebelum islam datang keluarga besar sudah familiar di kalangan kerajaan di indonesia sampai sekarang berbentuk REPUBLIK.
elfizonanwar mengatakan...
pada sahabatku yang kurang sependapat atau kurang senang dng pendapat sy di atas, ya silahkan saja, Insya Allah yang benar itu akan dinampakkan pada kita. kini yang ngaku keturunan Ahl;ul Bait ada yg versi agama syiah, ada versi agama Islam, ada versi lainnya, lalu mana yang benar dan berhak itu???

Salah satu doktrin teologis primer bagi kaum Syi’ah menyatakan bahwa agama ini hanya akan tegak dengan wasilah (perantaraan) Ahlul-Bait. (Saat lawan bicara mereka adalah Ahlus-Sunnah), salah satu dalil penting yang mereka kemukakan adalah :
حَدَّثَنَا يحيى قَال حَدَّثَنَا جرير عن الحسن بن عبيد الله عن أبي الضحى عن زيد بن أرقم قَال النبي صلى الله عليه وسلم إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا كتاب الله عز وجل وعترتي أهل بيتي وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض
Telah menceritakan kepada kami Yahya, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Jariir, dari Al-Hasan bin ‘Ubaidillah, dari Abudl-Dluhaa, dari Zaid bin Arqam, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Aku tinggalkan untuk kalian yang apabila kalian berpegang-teguh padanya maka kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah ‘azza wa jalla dan ‘itrahku ahlul-baitku. Dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Al-Haudl” [Diriwayatkan oleh Ya’qub bin Sufyaan Al-Fasaawiy dalam Al-Ma’rifah wat-Taariikh, 1/536].
Yahya, menurut pen-tahqiq kitab Al-Ma’rifah (Dr. Akram Dliyaa’ Al-‘Umariy hafidhahullah) adalah Ibnu Yahyaa bin Bakiir, seorang perawi tsiqah. Sedangkan menurut jalan sanad Al-Haakim, ia adalah Ibnul-Mughiirah As-Sa’diy Ar-Raaziy. Abu Haatim mengatakan ia perawi shaduuq [Al-Jarh wat-Ta’diil, 9/191 no. 798]. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat [9/no. 16357]. Adapun perawi lain adalah perawi Shahihain, kecuali Al-Hasan bin ‘Ubaidillah, ia hanya dipakai oleh Muslim saja.
Al-Haakim (sebagaimana diisyaratkan sebelumnya) juga meriwayatkan dengan sanad dari Abu Bakr Muhammad bin Al-Husain bin Mushlih Al-Faqiih, dari Muhammad bin Ayyub, dari Yahyaa bin Al-Mughiirah As-Sa’diy, dan seterusnya sama dengan sanad seperti di atas; akan tetapi dengan lafadh :
إني تارك فيكم الثقلين كتاب الله وأهل بيتي وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض هذا حديث صحيح الإسناد على شرط الشيخين ولم يخرجاه
“Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain, (yaitu) : Kitabullah dan ahlul-baitku. Dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Al-Haudl” [Al-Mustadrak ­– bersama At-Tatabbu’ – 3/173-174 no. 4774. Al-Haakim berkata : “Hadits ini shahih sanadnya berdasarkan persyaratan Al-Bukhariy dan Muslim, namun keduanya tidak mengeluarkannya/meriwayatkannya”].
Atas dasar hadits ini, maka mereka menanamkan satu pemahaman bahwa Ahlul-Bait haruslahma’shum, terbebas dari kesalahan besar maupun kecil. Jaminan keselamatan (sebagaimana dalam hadits Zaid bin Arqam di atas) – menurut mereka – hanya ada pada pribadi-pribadi yang mendapat jaminan perlindungan Allah dari melakukan dosa dan kesalahan (baik sengaja ataupun tidak sengaja). Inilah secara ringkas ‘maunya’ mereka.
Apabila kita tengok cara pendalilan mereka (Syi’ah), sangat aneh rasanya jika mereka bersusah payah memakai dalil-dalil Ahlus-Sunnah (dalam kitab-kitab yang dipakai Ahlus-Sunnah). Mungkin mereka tahu jika mereka memakai nash-nash dari kitab-kitab Syi’ah akan menimbulkan reaksi penolakan dari Ahlus-Sunnah atas jajanan ‘aqidah yang coba mereka tawarkan, karena para imam/ulama telah menjelaskan pondasi dasar agama Syi’ah adalah kedustaan.
Sehubungan pendalilan berasal dari sumber Ahlus-Sunnah, tentu kita pun akan memahami, menyikapi, (mencoba) mengkritisnya, dan mengkomparasikannya dengan dalil-dalil lain yang diakui eksistensinya oleh Ahlus-Sunnah.
Pemahaman ala mereka menimbulkan banyak ke-musykil-an bagi Ahlus-Sunnah, di antaranya adalah :
Definisi Ahlul-Bait.
Dalam blog ini telah ada pembahasan sebelumnya mengenai Ahlul-Bait [silakan baca di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/05/ahlul-bait-nabi-shallallaahu-alaihi-wa.html]. Jika mereka menggunakan dalil-dalil Ahlus-Sunnah, apakah mereka sepakat untuk mengambil keseluruhan dalil, atau sebagian dalil saja yang kebetulan sesuai dengan ‘aqidah dan ‘selera’ mereka ? Kita lihat. Dalil-dalil Ahlus-Sunnah menunjukkan bahwa Ahlul-Bait meliputi istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan keturunannya, keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, serta keluarga ‘Abbas. Sebagian ulama lain menambahkan : seluruh keturunan Bani Hasyim, baik muslim dan muslimah. Merekalah golongan yang diharamkan menerima harta zakat. Apakah Syi’ah sepakat dengan dalil-dalil Ahlus-Sunnah ini ? Ternyata tidak. Mereka telah bersepakat bahwa para istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak termasuk bagian Ahlul-Bait [lihat Tafsir Al-Qummiy 2/293, Shawaarimul-Muhriqah oleh At-Tustariy hal. 146, dan Siyarul-Aimmatil-Itsnay ‘Asyar hal. 13].
Ath-Thabaathabaa’iy berkata :
فالآية لم تكن بحسب النزول جزء اً من آيات نساء النبي ولا متَّصلة بها و إنما وضعت بينها إمّا بأمرٍ من النبي أو عند التأليف بعد الرحلة
“Ayat tersebut (QS. Al-Ahzaab : 33 atau ayat tahthiir kepada alul-bait)[1] bukan merupakan bagian dari ayat-ayat yang berbicara tentang istri-istri Nabi dan tidak ada kaitan dengannya. Hanya saja, ia ditaruh di antara ayat-ayat tersebut, mungkin dengan dasar perintah Nabi atau (ditaruh) pada waktu Al-Qur’an dituliskan setelah beliau wafat (oleh para shahabat)” [Al-Miizaan, 16/321 - http://www.ahl-ul-bait.com/newlib/Quran/almizan/almizan16/f7-16.htm].
Al-Majlisiy berkata :
فقد ظهر من تلك الأخبار المتواترة من الجانبين بطلان القول بأن أزواج النبي صلى الله عليه وسلم داخلة في الآية، وكذا القول بعمومها لجميع الأقراب، ولا عبرة بما قاله زيد بن أرقم من نفسه مع معارضته بالأخبار المتواترة.
“Sungguh telah jelas/nyata dari khabar-khabar mutawatir tersebut sisi kebathilan pendapat yang mengatakan istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam masuk dalam cakupan ayat (QS. Al-Ahzaab : 33). Begitu pula dengan perkataan/pendapat yang menyatakan keumumannya bagi seluruh keluarga dekat. Tidak ada ‘ibrah (yang dapat diambil) dari perkataan Zaid bin Arqam atas dirinya karena bertentangan dengan khabar-khabar mutawatir” [Bihaarul-Anwaar, 35/333].[2]
Bahkan dalam Tafsir Farman ‘Aliy (tafsir yang dipakai kaum Syi’ah kontemporer – pada komentar QS. Al-Ahzaab : 33) dikatakan bahwa jika kita menghilangkan ayattahthir (penyucian terhadap ahlul-bait) dari tengah ayat, maka ayat yang berbicara tentang istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadi lebih baik dan lebih pas dibanding jika ada ayat tahthir tersebut.[3]
Padahal secara bahasa dan syari’at, kata ahlun (أَهْلٌ) dari seorang laki-laki itu termasuk istri-istrinya. Ayatullah Al-Khuu’iy – seorang ulama Syi’ah dari ‘Iraq – sendiri menjelaskan bahwa kata ahlun dari seseorang itu mencakup istri-istrinya.[4] Tapi entah kenapa jika dihubungkan dengan Ahlul-Bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dikeluarkan dari cakupan maknanya. Mengherankan !
Inilah wujud-wujud pengingkaran kaum Syi’ah tentang eksistensi istri-istri Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai bagian dari Ahlul-Bait beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu ‘Aasyuur rahimahullah (w. 1393 H) – ulama Ahlus-Sunnah – berkata :
أهل البيت : أزواج النبي صلى الله عليه وسلم، والخطاب موجه إليهن، وكذلك ما قبله وما بعده. لا يخالط أحداً شك.وقد تلقف الشيعة حديث الكساء، فغصبوا وصف أهل البيت، وقصروه على فاطمة وزوجها وابنيها عليهم رضوان، وزعموا أنَّ أزواج النبي صلى الله عليه وسلم لسن من أهل البيت.وهذه مصادمة للقرآن؛ بجعل هذه الآية حشواً بين ما خوطب به أزواج النبي صلى الله عليه وسلم، وليس في لفظ حديث الكساء ما يقتضي قصر هذا الوصف على أهل الكساء؛ إذ ليس في قوله : (هؤلاء أهل بيتي) صيغة قصر، وهو كقوله تعالى عن إبراهيم أنَّه قال : ((إِنَّ هَؤُلاءِ ضَيْفِي)) [الحجر : ٦٨]. ليس معناه : ليس لي ضيف غيرهم.وهو يقتضي أن تكون الآية مبتورة عمَّا قبلها وما بعدها.
“Ahlul-Bait adalah para istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan pembicaraan tersebut diarahkan kepada mereka. Demikian pula apa yang sebelum dan setelahnya, tidak ada keraguan menyelubungi seorang pun. Kalangan Syi’ah telah menelan hadits kisaa’ (kain), lalu merampas kriteria ahlul-bait dengan membatasinya pada Faathimah, suami (‘Aliy bin Abi Thaalib), dan kedua puteranya (Al-Hasan dan Al-Husain) ridlwanullahu ‘alihim, lalu mereka mengklaim bahwa para istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bukanlah termasuk ahlul-bait. Dan ini berbenturan dengan Al-Qur’an, dengan menjadikan ayat ini sebagai ‘sesuatu yang sia-sia’ di tengah nasihat-nasihat yang diarahkan kepada para istri Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam, sementara di dalam lafadh hadits kisaa’ itu tidak terdapat hal yang menuntut pembatasan kriteria ini pada orang-orang yang berada di dalam kisaa’ itu. Sebab di dalam sabda beliau : ‘Mereka adalah ahlul-bait-ku’ ; tidak terdapat shighah qashr (pembatasan). Ia seperti firman-Nya tentang Ibrahim ‘alaihis-salaam, bahwa ia berkata : ‘Sesungguhnya mereka adalah tamuku’(QS. Al-Hijr : 68). Maknanya bukan : ‘Aku tidak memiliki tamu selain mereka’. Dan ia berkonsekuensi pada terpenggalnya ayat tersebut dari apa yang sebelum dan setelahnya” [At-Tahriir wat-Tanwiir, 21/247-248].
Ketika mereka menggunakan hadits Zaid bin Arqam (yang diriwayatkan oleh Al-Fasawiy rahimahullah di atas) untuk berpegang teguh pada ahlul-bait yang jika kita berpegang-teguh dengannya, maka kita tidak akan tersesat; ternyata pada waktu yang bersamaan orang Syi’ah menolak hadits Zaid bin Arqam[5] yang mengatakan bahwa istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam termasuk Ahlul-Bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam !! Pilih-pilih hadits ?!!?!….
Tidak istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak keluarga ‘Aqil, tidak keluarga Ja’far, tidak pula keluarga ‘Abbas radliyallaahu ‘anhum ajma’iin. Yang diakui hanyalah keluarga ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu saja.
Tentang shahabat mulia Al-‘Abbas bin ‘Abdil-Muthallib radliyallaahu ‘anhu – paman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam – kaum Syi’ah berkata melalui riwayat dusta yang mereka sandarkan kepada Ahlul-Bait :
وعن علي بن الحسين أنه قرأ: إن قول الله عز وجل: ((وَمَنْ كَانَ فِي هَذِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِي الآخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيلاً)) ، وقول الله عز وجل: ((وَلا يَنفَعُكُمْ نُصْحِي إِنْ أَرَدْتُ أَنْ أَنصَحَ لَكُمْ)) نزلتا فيه
Dari ‘Aliy bin Al-Husain, bahwasanya ia membaca : “Sesungguhnya firman Allah‘azza wa jalla : ‘Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)’ (QS. Al-Israa’ : 72) dan ‘Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasihatku jika aku hendak memberi nasihat kepada kamu’ (QS. Huud : 34); keduanya turun mengenainya (‘Al-‘Abbas)” [Rijaalul-Kasysyiy hal. 52-53].
Al-Maamiqaaniy Asy-Syi’iy menambahkan kedustaannya :
وأقول : الأخبار في حقه مختلفة جداً، والذامة منها أقوى دلالة.
“Aku katakan : Khabar-khabar mengenainya sangat bertentangan. Dan khabar yang mencelanya lebih kuat penunjukannya” [Tanqiihul-Maqaal, 2/126-128].
Mengenai Turjumanul-Qur’an, ‘Abdullah bin ‘Abbas radliyallaahu ‘anhu, Syi’ah berkata tentangnya melalui riwayat dusta yang mereka sandarkan kepada Ahlul-Bait :
وعن علي أنه قال: (اللهم العن ابني فلان وأعم أبصارهما كما أعميت قلوبهما).
Dari ‘Aliy bahwasannya ia berkata : “Ya Allah, laknatlah dua anak dari si Fulan dan butakanlah mata keduanya sebagaimana telah Engkau butakan hati keduanya” [Rijaalul-Kasysyiy, hal. 52]. Muhaqqiq kitab ini berkata dalam hasyiyah-nya :
ابني فلان كناية عن عبد الله وعبيد الله ابني العباس عم النبي صلى الله عليه وسلم
“Dua anak dari si Fulan itu adalah kinayah dari ‘Abdullah dan ‘Ubaidullah, dua anak Al-‘Abbas paman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam”.
Itulah perkataan keji mereka pada ahlul-bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam sisi pandang ‘aqidah Ahlus-Sunnah !!
Mereka membatasi cakupan Ahlul-Bait berdasarkan pandangan sempit mereka akan hadits kisaa’ :
عن عمر بن أبي سلمة ربيب النبي صلى الله عليه وسلم قال نزلت هذه الآية على النبي صلى الله عليه وسلم {إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا} في بيت أم سلمة، فدعا النبي صلى الله عليه وسلم فاطمة وحسنا وحسينا فجللهم بكساء وعلي خلف ظهره فجلله بكساء ثم قال: اللهم هؤلاء أهل بيتي فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا. قالت أم سلمة وأنا معهم يا رسول الله؟ قال أنت على مكانك وأنت الى خير“.
Dari ‘Umar bin Abi Salamah, anak tiri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata : “Ayat ini (Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya) turun kepada Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam di rumah Ummu Salamah. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memanggil ‘Ali, Fathimah, Hasan, dan Al-Husain, lalu beliau menyelimuti mereka dengan kisa’ (baju), dan beliau pun menyelimuti ‘Ali yang berada di belakang punggungnya dengan kisaa’. Kemudian beliau bersabda : “Ya Allah, mereka semua adalah Ahlul-Bait-ku. Hilangkanlah dari mereka rijs dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya”. Maka Ummu Salamah berkata : “Apakah aku bersama mereka wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Tetaplah kamu di tempatmu,[6] dan kamu di atas kebaikan” [HR. At-Tirmidzi no. 3205; shahih].
Jumhur Syi’ah menyatakan bahwa yang dimaksud ahlul-bait adalah orang-orang yang diselubungi kisaa’ oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana hadits di atas.[7]
Namun ternyata jika kita pahami sesuai dengan kemauan mereka, maka keluarga dan/atau keturunan ‘Aliy, Al-Hasan ataupun Al-Husain pun juga masih dipilih-pilih. Tidak semua diakui sebagai Ahlul-Bait. Dalam praktek,…. sebagian di antara mereka pun diliputi oleh celaan-celaan. Otomatis ditendang dari ahlul-bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sedikit di antara banyak yang bisa dicontohkan :
Isma’il bin Ja’far Ash-Shaadiq – saudara Musa Al-Kadhiim – rahimahumallaah; ada riwayat yang disandarkan pada Ja’far Ash-Shaadiq bahwa ia pernah berkata tentangnya :
إنه عاص، لا يشبهني ولا يشبه أحداً من آبائي
“Sesungguhnya ia telah durhaka. Tidaklah ia menyerupaiku, tidak pula menyerupai seorang pun dari bapak-bapakku” [Bihaarul-Anwaar, 47/247].
Al-Hasan bin Al-Hasan (Al-Mutsannaa) dalam kitab Tanqiihul-Maqaal (1/35 & 273) ditemukan riwayat yang berbeda-beda apakah ia kafir atau fasik. Coba kita perhatikan pilihan antara kafir dan fasiq; dua-duanya tidak ada yang enak untuk diambil/dipilih. Semuanya tercela.
Muhammad bin ‘Abdillah bin Al-Hasan bin Al-Hasan yang dijuluki An-Nafsuz-Zakiyyahdisebut sebagai pendusta yang mengaku sebagai imam [Tanqiihul-Maqaal, tarjamah no. 10953].
Dan saya tutup sedikit contoh ini dengan perkataan Al-Maamiqaaniy :
إِنَّ سائر بني الحسن بن علي كانت لهم أفعال شنيعة، لا تحمل على التقية؛ باستثناء زيد فإنَّه يمكن أن تحمل أفعاله الشنيعة على التقية.
“Sesungguhnya seluruh Bani Al-Hasan bin Al-Hasan bin ‘Aliy melakukan perbuatan-perbuatan keji, yang tidak dapat dibenarkan dengan alasan taqiyyah, kecuali Zaid. Sebab perbuatan-perbuatan kejinya (?!!!) bisa dibenarkan dengan alasan taqiyyah” [Tanqiihul-Maqaal, 3/142].
Kita meyakini bahwa riwayat-riwayat yang dibawakan kaum Syi’ah itu adalah dusta yang diatasnamakan ahlul-bait. Mereka (ahlul-bait) telah memperingatkan lebih dari satu kesempatan terhadap riwayat para pendusta. Al-Kasysyiy meriwayatkan dari Abu ‘Abdillah bahwa ia berkata :
إِنَّا أهل البيت صادقون، لا نخلو من كذاب يكذب علينا، ويسقط صدقنا بِكَذبه علينا عند الناس…..
“Sesungguhnya kami, ahlul-bait, adalah orang-orang yang jujur, tidak terhindar dari pendusta yang berdusta atas nama kami, lantas jatuhlah kejujuran kami di mata manusia dengan kedustaannya atas kami”.
Kemudian ia (Al-Kasysyiy) menyebutkan para pendusta terhadap ahlul-bait, yaitu Maslamah, ‘Abdullah bin Saba’, Al-Mukhtar, Al-Haarits Asy-Syaamiy, Banaan, Al-Mughiirah bin Sa’iid, Buzaigh, As-Sariy, Abul-Khaththaab, Ma’mar, Basysyaar Asy-Sya’iiriy, Hamzah Al-Barbariy, dan Shaayid An-Nahdiy [selengkapnya lihat Majma’ur-Rijaal, 5/113].
Jadi, siapa sebenarnya yang mereka masukkan dalam Ahlul-Bait ? Jika kita lihat praktek Syi’ah, maka tidak ada dalil-dalil dalam kitab-kitab Ahlus-Sunnah yang dapat menjangkau pendefinisian mereka. Sebab, mereka memasukkan siapa saja yang mereka inginkan dan mengeluarkan siapa saja yang mereka inginkan berdasarkan riwayat-riwayat dusta yang mereka sandarkan kepada ahlul-bait. Diperparah lagi sikap taqlid pada marja’-marja’ mereka yang menjadi penentu arah kemana agama Syi’ah ini akan berjalan. 
Al-Bahraaniy Asy-Syi’iy menjelaskan definisi ahlul-bait dalam konteks al-‘itrah :
أما باعتبار العرف الشرعي فإن العترة هم أمير المؤمنين عليه السلام وفاطمة وولداها الحسن والحسين والأئمة من ذرية الحسين عليهم السلام
“Adapun yang dipertimbangkan/dianggap dalam ‘urf syar’iy, maka ‘itrah itu adalah Amiirul-Mukminiin ‘alaihis-salaam (yaitu ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu), Faathimah, dan dua anaknya Al-Hasan dan Al-Husain; serta para imam dari keturunan Al-Husain ‘alaihis-salaam” [Manaarul-Hudaa, hal. 571-572].
Al-Majlisiy meriwayatkan dengan sanadnya dari Ash-Shaadiq, dari ayah-ayahnya, dari Al-Husain ‘alaihis-salaam, ia berkata : “Amiirul-Mukminiin (yaitu ‘Aliy bin Abi Thaalib) ‘alaihis-salaam pernah ditanya tentang makna sabda Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain, yaitu Kitabullah dan ‘itrahku’. Siapakah yang dimaksud al-’itrah itu ?’. Maka ia menjawab :
أنا والحسن والحسين، والأئمة التسعة من ولد الحسين تاسعهم مهديهم وقائمهم
“Aku, Al-Hasan, Al-Husain, para imam yang sembilan dari anak turun Al-Husain.[8] Yang kesembilan dari mereka adalah Mahdi mereka dan penopang mereka” [Bihaarul-Anwaar, 23/147].
Ternyata definisi ahlul-bait (‘itrah) telah mengeluarkan keturunan Al-Hasan bin ‘Aliyradliyallaahu ‘anhuma dalam cakupan ini !!
Teori Kema’shuman Ahlul-Bait
Dilihat dari sub judulnya saja, kita sudah tahu bahwa ini sudah di luar konteks ‘aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Tidak ada dalil atau nash yang menunjukkan adanya orang yang ma’shum setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Apalagi, definisima’shum/’ishmah yang mereka pakai sangat berbeda jauh dengan Ahlus-Sunnah.
Muhammad Ridlaa Al-Mudlaffar menjelaskan tentang doktrin ‘ishmah dalam teologi Syi’ah sebagai berikut :
Al-‘Ishmah itu pengertiannya adalah suci dari dosa-dosa dan dari kemaksiatan yang besar maupun yang kecil. Juga suci dari kesalahan dan lupa, bahkan harus suci pula dari perkara yang mubah tetapi mengurangi kewibawaan, seperti terlalu banyak makan, tertawa terbahak-bahak, dan dari segala perkara yang dianggap rendah oleh masyarakat.Al-‘Ishmah seperti ini ada pada para Nabi dan para Imam dari kalangan Ahlul-Bait” [‘Aqiidatul-Imaamah 'Aqaaidul-Imaamiyyah oleh Muhammad Ridla Al-Mudlaffar, hal. 53-54; Al-Maktabah Al-Islamiyyah Al-Kubraa, tanpa tahun].
Muhammad Al-Husain Kaasyiful-Ghithaa’ menyatakan :
“…..dan para imam itu disyaratkan pula harus sebagai orang-orang yang ma’shum seperti Nabi, yaitu terjaga dari kesalahan dan terjaga pula dari berbuat salah….” [Ashlusy-Syii’ah wa Ushuuluhaa oleh Muhammad Al-Husain Kasyful-Ghithaa’, hal. 102; Manshurat Maktabah Al-Irfan, Beirut, Cet. 9].
Ia menambahkan :
“….. dan bahwasannya Muhammad itu adalah penutup para Nabi dan junjungan para Rasul. Dan bahwasannya ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari kesalahan dan perbuatan salah). Dan bahwasannya ia tidak pernah berbuat kemaksiatan sepanjang umurnya dan tidaklah berbuat suatu apapun kecuali yang sesuai dengan ridla Allah subhaanahu wa ta’alaa sehingga Allah mewafatkannya” [idem, hal. 106].
Definisi yang kelihatannya baik, namun keliru lagi salah besar karena bertolak belakang dengan nash. Dengan definisi ini, mereka pun menolak keberadaan beberapa riwayat shahih dalam kitab hadits standar Ahlus-Sunnah yang menyatakan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berbuat salah dan/atau lupa. Al-‘Ishmah dalam pemahaman Ahlus-Sunnah sama sekali tidak pernah menafikkan adanya kesalahan dan lupa. Hanya saja ‘ishmah itu menafikkan adanya dosa-dosa besar dan kesalahan-kesalahan yang menyangkut penyampaian risalah. Oleh karena itu, para Nabi dan Rasul tidak akan pernah lupa dari apa-apa yang Allah wahyukan kepada mereka kecuali sesuatu yang dihapuskan oleh Allah ta’ala.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
فإن القول بأن الأنبياء معصومون عن الكبائر دون الصغائر، هو قول أكثر علماء الإسلام وجميع الطوائف، حتى إنه قول أكثر أهل الكلام، كما ذكر أبو الحسن الآمدي‏ …….. أن هذا قول أكثر الأشعرية، وهو ـ أيضًا ـ قول أكثر أهل التفسير والحديث والفقهاء، بل هو لم ينقل عن السلف والأئمة والصحابة والتابعين وتابعيهم إلا ما يوافق هذا القول
“Sesungguhnya pendapat yang mengatakan bahwa para Nabi itu ma’shum dari dosa-dosa besar, bukan dari dosa-dosa kecil, merupakan pendapat kebanyakan ulama Islam dan seluruh kelompok (dalam Islam), hingga ia merupakan pendapat kebanyakan ahlul-kalaam sebagaimana disebutkan oleh Abul-Hasan Al-Aamidiy…. Ini juga merupakan pendapat dari Asy’ariyyah, ahli tafsir, ahli hadits, dan fuqahaa’. Bahkan, tidak ternukil dari salaf, para imam, para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in kecuali menyepakati pendapat ini….” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 4/319].
Oleh karena itu kaum Syi’ah Raafidlah menolak secara tegas hadits-hadits yang menerangkan beliau pernah lupa dalam raka’at shalat.[9] Juga hadits tentang asbaabun-nuzuul QS. ‘Abasa : 1-10[10] bahwa beliau pernah mendapat teguran dari Allah ta’alakarena berpaling dari Ibnu Ummi Maktuum,[11] dan hadits-hadits lain yang semisal.
Dalam Al-Qur’an pun banyak ditegaskan bagaimana para Nabi dan Rasul bertaubat dari dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan yang pernah mereka lakukan – dan mereka adalah orang yang paling banyak bertaubat kepada Allah ta’ala.
فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [QS. Al-Baqarah : 37].
وَنَادَى نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ * قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلا تَسْأَلْنِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ * قَالَ رَبِّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَسْأَلَكَ مَا لَيْسَ لِي بِهِ عِلْمٌ وَإِلا تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُنْ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku, termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.” Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat) nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” Nuh berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakikat) nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi.” [QS. Huud : 45-47].
وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لا إِلَهَ إِلا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ * فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Dzun-Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya daripada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman” [QS. Al-Anbiyaa’ : 87-88].
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاةَ أَزْوَاجِكَ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. At-Tahriim : 1].
Kesalahan yang mereka (para Nabi dan Rasul) lakukan tidaklah mengurangi kedudukan mereka sebagai hamba-hamba Allah yang paling mulia dan mempunyai kedudukan tertinggi di sisi-Nya ta’ala. Karena salah satu kemuliaan yang diberikan oleh Allah kepada manusia adalah taubat dari dosa-dosa, sebagaimana firman Allah ta’ala :
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri” [QS. Al-Baqarah : 222].
Para Nabi dan Rasul ‘alaihimus-salaam adalah manusia terdepan dalam bertaubat kepada Allah ‘azza wa jalla.
Jika permasalahannya demikian, maka sungguh aneh jika ahlul-bait – dalam teologi Syi’ah – bisa bersih dari segala kesalahan (baik besar dan kecil) dan juga lupa. Apakah kedudukan mereka bisa lebih tinggi dari para Nabi dan Rasul ? Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang…..
Pendalilan dengan hadits tsaqalain dalam riwayat Ahlus-Sunnah (sebagaimana telah disebutkan di awal tulisan) seringkali diarahkan (baik secara eksplisit maupun implisit) ke arah kemaksuman – untuk mendukung paham mereka. Dan mohon maaf sebesar-besarnya jika kita katakan pada mereka : Pendalilan Anda ngawur dan tidak nyambung. Bahkan dalil-dalil yang ada (tentu saja dalil yang termaktub dalam kitab Ahlus-Sunnah, bukan dari kitab Syi’ah) tidak ada yang menunjukkan kemaksuman imam-imam mereka. Beberapa hadits shahih telah mencatat sejumlah kekeliruan ijtihad dari penghulu imam mereka, yaitu ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu. Saya akan sebut beberapa di antaranya :
‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu pernah keliru dalam ijtihadnya saat ia membakar satu kaum yang murtad dari Islam.
عن عكرمة : أن عليا رضي الله عنه حرق قوما، فبلغ ابن عباس فقال: لو كنت أنا لم أحرقهم، لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (لا تعذبوا بعذاب الله). ولقتلتهم، كما قال النبي صلى الله عليه وسلم: (من بدل دينة فاقتلوه).
Dari ‘Ikrimah : Bahwasannya ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu pernah membakar satu kaum. Sampailah berita itu kepada Ibnu ‘Abbas, lalu ia berkata : “Seandainya itu terjadi padaku, niscaya aku tidak akan membakar mereka, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Janganlah menyiksa dengan siksaan Allah’. Dan niscaya aku juga akan bunuh mereka sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ‘Barangsiapa yang menukar agamanya, maka bunuhlah ia” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 3017].
Dalam riwayat At-Tirmidziy disebutkan :
فبلغ ذلك عليا فقال صدق بن عباس
“Maka sampailah perkataan itu pada ‘Aliy, dan ia berkata : ‘Benarlah Ibnu ‘Abbas” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1458; shahih. Diriwayatkan pula oleh Asy-Syafi’iy 2/86-87, ‘Abdurrazzaaq no. 9413 & 18706, Al-Humaidiy no. 543, Ibnu Abi Syaibah 10/139 & 12/262 & 14/270, Ahmad 1/217 & 219 & 282, Abu Dawud no. 4351, Ibnu Maajah no. 2535, An-Nasaa’iy 7/104, Ibnul-Jaarud no. 843, Abu Ya’laa no. 2532, Ibnu Hibbaan no. 4476, dan yang lainnya].
Ketika ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu berniat mempoligami Faathimahradliyallaahu ‘anhaa, maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam marah atas perbuatannya.
عن المسور بن مخرمة : أن علي بن أبي طالب خطب بنت أبي جهل. وعنده فاطمة بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم. فلما سمعت بذلك فاطمة أتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت له: إن قومك يتحدثون أنك لا تغضب لبناتك. وهذا علي، ناكحا ابنة أبي جهل.قال المسور: فقام النبي صلى الله عليه وسلم فسمعته حين تشهد. ثم قال “أما بعد. فإني أنكحت أبا العاص ابن الربيع. فحدثني فصدقني. وإن فاطمة بنت محمد مضغة مني. وأنما أكره أن يفتنوها. وإنها، والله! لا تجتمع بنت رسول الله وبنت عدو الله عند رجل واحد أبدا”.قال، فترك علي الخطبة.
Dari Al-Miswar bin Makhramah : Bahwasannya ‘Aliy bin Abi Thaalib pernah melamar anak perempuan Abu Jahl yang ketika itu ia masih beristri Faathimah binti Rasulullah. Ketika hal itu didengar oleh Fathimah, ia datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan kepada beliau : ‘Sesungguhnya kaummu mengatakan bahwa engkau tidak marah karena perlakukan terhadap anak-anak perempuanmu. Sekarang ini ‘Aliy akan menikahi anak perempuan Abu Jahl”. Al-Miswar berkata : “Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri (untuk berkhutbah) dan aku mendengar beliau saat beliau membaca syahadat. Setelah itu beliau bersabda : ‘Sesungguhnya akutelah mengawinkan Abul-‘Ash bin Ar-Rabii’, lalu ia memberitahuku dan membenarkanku. Sesungguhnya Fathimah bnti Muhammad adalah darah dagingku, karena itu aku tidak suka jika orang-orang memfitnahnya. Demi Allah, sungguh tidak boleh dikumpulkan selamanya antara anak perempuan Rasulullah dengan anak perempuan musuh Allah oleh seorang suami’. Miswar berkata : ‘Maka ‘Aliy membatalkan lamarannya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2449].
Ini menunjukkan bahwa perbuatan ‘Aliy melamar anak perempuan Abu Jahl adalah satu kekeliruan.
عن علي بن أبي طالب أن رسول الله صلى الله عليه وسلم طرقه وفاطمة بنت النبي عليه السلام ليلة، فقال: (ألا تصليان). فقلت: يا رسول الله، أنفسنا بيد الله، فإذا شاء أن يبعثنا بعثنا، فانصرف حين قلنا ذلك ولم يرجع إلي شيئا، ثم سمعته وهو مول، يضرب فخذه، وهو يقول: {وكان الإنسان أكثر شيء جدلا}.
Dari ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengetuk pintu kamar ‘Aliy bin Abi Thaalib untuk membangunkannya beserta Fathimah, putri Nabi ‘alaihis-salaam. Kemudian Rasulullah shallalllaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Mengapa kalian berdua tidak melaksanakan shalat (tahajjud) ?”. Aku (‘Aliy) menjawab : “Wahai Rasulullah, diri kami dalam genggaman tangan Allah. Apabila Ia berkehendak untuk membangunkan kami, Ia pasti membuat kami terbangun”. Ketika aku mengatakannya, beliau kembali tanpa berkata apa-apa. Kemudian ketika beliau berpaling, aku mendengar beliau membaca ayat Al-Qur’an sambil menepuk pahanya : “…Manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah” (QS. Al-Kahfiy : 54) [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 1127 dan Muslim no. 775].
Dan yang lainnya yang terdapat dalam beberapa riwayat.
Beberapa contoh di atas menunjukkan ‘Aliy bin Abi Thaalib bukanlah seorang pribadi yang ma’shum yang terjaga dari kesalahan dan kelalaian seperti yang dipahami Syi’ah dari para imamnya. Hal yang sama juga terjadi pada diri shahabat besar lainnya seperti Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman radliyallaahu ‘anhum.
Lagi pula, teori kemaksuman Syi’ah itu jelas-jelas bertentangan dengan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
كل بني آدم خطاء وخير الخطائين التوابون
“Setiap anak Adam pasti pernah bersalah, dan sebaik-baik orang-orang yang bersalah adalah orang-orang yang bertaubat”.[12]
Oleh karena itu, sangat tidak nyambung jika mereka mencari-cari dalil untuk membenarkan pemahaman mereka. Sangat tidak laku (useless) di hadapan Ahlus-Sunnah, tidak lain karena pemahaman mereka sangat bertentangan dengan ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kecuali….. jika mereka memakai riwayat-riwayat Syi’ah,… nah ini kita tidak terlalu ambil pusing. Iya to ?
Sekedar informasi saja (dan ini bukan hujjah primer), dalam Nahjul-Balaaghah ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu dicatat oleh pengarangnya pernah berkata :
فلا تكفروا عن مقالة بحق، أو مشورة بعدل، فإنِّي لست في نفسي بفوق أن أخطئ، ولا آمن ذلك من فعلي، إلَّا أن يكفي الله من نفسي ما هو أملك به منِّي.
“Janganlah kamu berhenti dari mengatakan kebenaran, atau bermusyawarah dengan adil. Sebab aku pada diriku tidak terbebas dari kesalahan dan aku tidak menjamin hal itu dari perbuatanku, kecuali bila Allah mencukupkan dari diriku sesuatu yang Dia lebih memilikinya daripadaku” [Nahjul-Balaaghah, hal 485; Daarul-Ma’rifah, tanpa tahun, Beirut].
اللهم اغفر لي ما تقربت به إليك بلساني ثم خالفه قلبي، اللهم اغفر لي روزات الألحاظ، وسقطات الألفاظ، وشهوات الجنان، وهفوات اللسان.
“Ya Allah, ampunilah aku atas apa yang aku persembahkan kepada-Mu dengan lisanku, kemudian hatiku menyelisihinya. Ya Allah ampunilah aku dari isyarat pandangan, kesalahan lafadh, hawa nafsu yang dibuat anggota badan dan ketergelinciran lisan” [Nahjul-Balaaghah, hal. 183].
Makna perkataan di atas adalah benar bahwa ia (‘Ali bin Abi Thaalib) bukanlah pribadi yang ma’shum yang tentu saja tidak akan luput dari perbuatan salah, lupa, dan dosa.
Kembali pada riwayat Zaid bin Arqam di awal pembahasan. Ada riwayat lain yang dibawakan oleh Zaid bin Arqam dengan lafadh berbeda (disertai kisah di dalamnya) :
عن يزيد بن حيان. قال : انطلقت أنا وحصين بن سبرة وعمر بن مسلم إلى زيد بن أرقم. فلما جلسنا إليه قال له حصين: لقد لقيت، يا زيد! خيرا كثيرا. رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم. وسمعت حديثه. وغزوت معه. وصليت خلفه. لقد لقيت، يا زيد خيرا كثيرا. حدثنا، يا زيد! ما سمعت من رسول الله صلى الله عليه وسلم. قال: يا ابن أخي! والله! لقد كبرت سني. وقدم عهدي. ونسيت بعض الذي كنت أعي من رسول الله صلى الله عليه وسلم. فما حدثتكم فاقبلوا. وما لا، فلا تكلفونيه. ثم قال: قام رسول الله صلى الله عليه وسلم يوما فينا خطيبا. بماء يدعى خما. بين مكة والمدينة. فحمد الله وأثنى عليه. ووعظ وذكر. ثم قال “أما بعد. ألا أيها الناس! فإنما أنا بشر يوشك أن يأتي رسول ربي فأجيب. وأنا تارك فيكم ثقلين: أولهما كتاب الله فيه الهدى والنور فخذوا بكتاب الله. واستمسكوا به” فحث على كتاب الله ورغب فيه. ثم قال “وأهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي”. فقال له حصين: ومن أهل بيته؟ يا زيد! أليس نساؤه من أهل بيته؟ قال: نساؤه من أهل بيته. ولكن أهل بيته من حرم الصدقة بعده. قال: وهم؟ قال: هم آل علي، وآل عقيل، وآل جعفر، وآل عباس. قال: كل هؤلاء حرم الصدقة؟ قال: نعم.
Dari Yaziid bin Hayyaan, ia berkata : “Aku pergi ke Zaid bin Arqam bersama Hushain bin Sabrah dan ‘Umar bin Muslim. Setelah kami duduk. Hushain berkata kepada Zaid bin Arqam : ‘Wahai Zaid, engkau telah memperoleh kebaikan yang banyak. Engkau telah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, engkau mendengar sabda beliau, engkau bertempur menyertai beliau, dan engkau telah shalat di belakang beliau. Sungguh, engkau telah memperoleh kebaikan yang banyak wahai Zaid. Oleh karena itu, sampaikanlah kepada kami – wahai Zaid – apa yang engkau dengan dari Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam’. Zaid bin Arqam berkata : ‘Wahai keponakanku, demi Allah, aku ini sudah tua dan ajalku sudah semakin dekat. Aku telah tua dan ajalku semakin dekat. Aku sudah lupa sebagian dari apa yang aku dengar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang bisa aku sampaikan kepadamu, maka terimalah dan apa yang tidak bisa aku sampaikan kepadamu janganlah engkau memaksaku untuk menyampaikannya’. Kemudian Zaid bin Arqam mengatakan : ‘Pada suatu hari Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri berkhutbah di suatu tempat perairan yang bernama Kumm yang terletak antara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah, kemudian menyampaikan nasihat dan peringatan, lalu beliau bersabda : ‘Amma ba’d. Ketahuilah wahai saudara-saudara sekalian bahwa aku adalah manusia seperti kalian. Sebentar lagi utusan Rabb-ku (yaitu malaikat pencabut nyawa) akan datang lalu dia diperkenankan. Aku akan meninggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain (dua hal yang berat), yaitu : Pertama, Kitabullah yang padanya berisi petunjuk dan cahaya, karena itu ambillah ia (yaitu melaksanakan kandungannya) dan berpegang teguhlah kalian kepadanya’. Beliau menghimbau/mendorong pengamalan Kitabullah. Kemudian beliau melanjutkan : ‘ (Kedua), dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku’ – beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali – . Hushain bertanya kepada Zaid bin Arqam : ‘Wahai Zaid, siapakah ahlul-bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ? Bukankah istri-istri beliau adalah ahlul-baitnya ?’. Zaid bin Arqam menjawab : ‘Istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang ahlul-baitnya. Namun ahlul-bait beliau adalah orang-orang yang diharamkan menerima zakat sepeninggal beliau’. Hushain berkata : ‘Siapakah mereka itu ?’. Zaid menjawab : ‘Mereka adalah keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbas’. Hushain berkata : ‘Apakah mereka semua itu diharamkan menerima zakat ?’. Zaid menjawab : ‘Ya’ [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2408].
Dalam riwayat lain :
وإني تارك فيكم الثقلين أولهما كتاب الله فيه الهدى والنور من استمسك به وأخذ به كان على الهدى ومن تركه وأخطأه كان على الضلالة وأهل بيتي أذكركم الله في أهل بيتي ثلاث مرات
“Dan sesungguhnya aku akan meninggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain. Yang pertama adalah Kitabullah yang padanya berisi petunjuk dan cahaya. Barangsiapa yang berpegang teguh padanya dan mengambilnya (dengan melaksanakan kandungannya), maka ia berada di atas petunjuk. Dan barangsiapa yang meninggalkannya dan menyalahinya, maka ia berada dalam kesesatan. Dan (yang kedua adalah) Ahlul-Baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlul-baitku” – beliau mengatakannya tiga kali [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 2357; shahih][13].
Dalam riwayat lain, hanya disebutkan Kitabullah saja :
إني تارك فيكم كتاب الله هو حبل الله من اتبعه كان على الهدى ومن تركه كان على الضلالة
“Sesungguhnya aku akan meninggalkan kepada kalian Kitabullah. Ia adalah tali Allah. Barangsiapa yang mengikutinya, maka ia berada di atas petunjuk. Dan barangsiapa yang meninggalkannya, maka ia berada dalam kesesatan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban no. 123; shahih li-ghairihi, dan sanad hadits ini hasan].[14]
Lafadh ini (terutama lafadh yang dibawakan oleh Muslim dalam Shahih-nya) lebih shahih dan lebih kuat dibandingkan lafadh yang dibawakan oleh Al-Fasawiy dalam Al-Ma’rifah pada awal tulisan. Apalagi di dalamnya disebutkan kisah (latar belakang), dimana sudah menjadi satu hal yang ma’ruf dalam hal ilmu hadits bahwa hadits yang disertai kisah lebih kuat (penunjukkannya) dibandingkan hadits semisal tanpa disertai kisah. Sementara itu kita mengetahui bahwa tempat keluarnya perkataan ini adalah satu dan dalam peristiwa yang satu (Ghadir Khum). Apa yang disebutkan ini tentu saja bukan dalam rangka menolak hadits shahih, namun untuk mencoba memahami apa yang terkandung dalam hadits. Kisah yang disebutkan oleh Zaid bin Arqam tersebut sama sekali tidak nampak sesuatu yang dimaui oleh Syi’ah bahwa ahlul-bait itu setara dengan Al-Qur’an dalam jaminan keselamatan dunia dan akhirat. Apalagi dihubungkan dengan teori ke-ma’shum-an. Jauh sekali lah !… Kemutlakan adanya cahaya dan petunjuk beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam ucapkan untuk Kitabullah. Adapun ahlul-bait, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan dan memerintahkan kita untuk menjaganya serta memenuhi hak-haknya. Perintah untuk berpegang teguh kepada ‘itrah (ahlul-bait) bukan bersifat mutlak. Namun ia muqayyad mengikuti pada Al-Qur’an (dan As-Sunnah), sebagaimana sabdanya :
من اتبعه كان على الهدى ومن تركه كان على الضلالة
“Barangsiapa yang mengikutinya (Al-Qur’an), maka ia berada di atas petunjuk. Dan barangsiapa yang meninggalkannya, maka ia berada dalam kesesatan”
Apabila di antara mereka (ahlul-bait) yang berkesesuaian dengan keduanya, maka ia wajib untuk diikuti; dan melalui perantaranya, insya Allah, ia akan menjadi petunjuk bagi manusia di dunia menuju kebahagiaan hakiki di akhirat. Ahlul-bait semacam inilah yang nantinya kelak akan berkumpul bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Haudl. Dan mungkin inilah sebab ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu menikahi Ummu Kultsum binti ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhuma. ‘Umar berkata :
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول كل سبب ونسب منقطع يوم القيامة إلا سببي ونسبي فأحببت أن يكون لي من رسول الله صلى الله عليه وسلم سبب ونسب
“Aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Setiap sebab dan nasab akan terputus pada hari kiamat, kecuali sebabku dan nasabku’. Oleh karena itu, aku ingin mempunyai sebab dan nasab dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Lihat Silsilah Ash-Shahiihah no. 2036].
Kebalikan dari hal tersebut di atas, jika ia (ahlul-bait) melenceng dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka wajib untuk tidak diterima dan ditolak. Betapa banyak orang yang mengaku punya kaitan dengan ahlul-bait, namun dalam sebagian perkataan dan perbuatannya bertentangan dengan syari’at yang suci. Nasab yang mulia bukan jaminan keselamatan jika lambat beramal. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
ومَن بطَّأ به عملُه لَم يُسرع به نسبُه
“Barangsiapa yang lambat amalnya, maka tidak akan bisa dipercepat oleh (kemuliaan) nasabnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2699].
Muhammad bin Ya’quub Al-Kulainiy Asy-Syii’iy membuat bab dalam kitabnya Al-Kaafiy : Baab Al-Akhdzi bis-Sunnah wa Syawaahidil-Kitaab, padanya terdapat riwayat : Abu ‘Aliy Al-Asy’ariy (tsiqah menurut kitab rijaal Syi’ah), dari Muhammad bin ‘Abdil-Jabbaar (tsiqah menurut kitab rijaal Syi’ah), dari Ibnu Abi Nahjaan (tsiqah menurut kitab rijaal Syi’ah), dari Abu Jamiilah (tsiqah menurut kitab rijaal Syi’ah), dari Jaabir, dari Abu Ja’far ‘alaihis-salaam, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi :
يا معاشر قراء القرآن اتقوا الله عز وجل فيما حملكم من كتابه فإني مسؤول وإنكم مسؤولون إني مسؤول عن تبليغ الرسالة وأما أنتم فتسألون عما حملتم من كتاب الله وسنتي .
“Wahai pembaca Al-Qur’an sekalian, bertaqwalah kepada Allah ‘azza wa jalla pada apa yang dibebankan kepadamu dari Kitab-Nya. Aku bertanggung jawab, dan kalian pun bertanggung jawab pula. Adapun aku bertanggung jawab untk menyampaikan risalah, dan kalian kelak akan dimintai pertanggungjawaban apa yang dibebankan kepadamu dari Kitabullah dan Sunnahku” [Al-Kaafiy, 2/606].
Kata riwayat di atas, kita akan dimintai pertanggungjawaban dari apa yang dibebankan oleh Kitabullah dan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bukan sunnah para imam dua belas….
Dan inilah keyakinan dan pemahaman tentang hadits berpegang teguh pada ‘itrah (ahlul-bait) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Al-Munawiy rahimahullah berkata saat menjelaskan hadits Ats-Tsaqalain :
قوله أولاً إني تارك فيكم تلويح بل تصريح بأنهما كتوأمين خلفهما ووصى أمته بحسن معاملتهما وإيثار حقهما على أنفسهما واستمساك بهما في الدين أما الكتاب فلأنه معدن العلوم الدينية والأسرار والحكم الشرعية وكنوز الحقائق وخفايا الدقائق وأما العترة فلأن العنصر إذا طاب أعان على فهم الدين فطيب العنصر يؤدي إلى حسن الأخلاق ومحاسنها تؤدي إلى صفاء القلب ونزاهته وطهارته قال الحكيم: والمراد بعترته هنا العلماء العاملون إذ هم الذين لا يفارقون القرآن أما نحو جاهل وعالم مخلط فأجنبي من هذا المقام وإنما ينظر للأصل والعنصر عند التحلي بالفضائل والتخلي عن الرذائل فإذا كان العلم النافع في غير عنصرهم لزمنا اتباعه كائناً ما كان ولا يعارض حثه هنا على اتباع عترته حثه في خبر على اتباع قريش لأن الحكم على فرد من أفراد العام بحكم العام لا يوجب قصر العام على ذلك الفرد على الأصح 
“Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang pertama : ‘Sesunguhnya akan aku tinggalkan kepada kalian’; merupakan isyarat, bahkan pernyataan jelas bahwa keduanya seperti saudara kembar yang beliau tinggalkan. Beliau berwasiat kepada umatnya agar memperlakukannya dengan baik, mendahulukan hak keduanya atas diri mereka dan berpegang kepada keduanya di dalam agama. Adapun Kitabullah, maka karena ia adalah sumber ilmu-ilmu agama, rahasia-rahasia, hikmah-hikmah syari’at, pusaka-pusaka, dan kekayaan-kekayaan terpendam dari dokumen-dokumen terpercaya. Adapun ‘itrah, maka karena kebaikan unsur yang dapat membantu memahami agama. Baiknya unsur menyebabkan baiknya akhlak, dan baiknya akhlak menyebabkan beningnya hati, kebersihan, dan kesuciannya. Al-Hakiim berkata : ‘Dan yang dimaksud dengan ’itrah di sini adalah pada ulama ‘amilun (yang beramal), sebab merekalah yang tidak akan berpisah dengan Al-Qur’an. Sedangkan orang jahil dan orang ‘alim yang mencampur-aduk, maka dia asing dari kedudukan ini. Asal-usul dan unsur seseorang hanya dipandang ketika ia berhias dengan akhlak-akhlak mulia dan menghindar dari perbuatan-perbuatan keji. Bila ilmu yang bermanfaat itu ada pada selain unsur mereka, maka kita harus mengikutinya, siapapun ia, dan anjuran Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam agar mengikuti ‘itrah-nya di sini tidak bertentangan dengan anjuran beliau agar mengikuti Quraisy dalam sebuah hadits (yang lain) karena pemberian hukum ‘aam (umum) kepada salah satu anggotanya tidak mengharuskan pembatasan dalil ‘aam tersebut hanya pada anggota tersebut menurut pendapat yang paling shahih…” [Faidlul-Qadiir no. 2631][15]
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata tentang ‘aqidah Ahlus-Sunnah tentang ahlul-bait Nabi :
ويحبون أهل بيت رسول الله ويتولونهم ويحفظون فيهم وصية رسول الله صلى الله عليه وسلم حيث قال يوم (غدير خم) : (أذكركم الله في أهل بيتي)، وقال أيضاً للعباس عمه وقد اشتكى إليه أن بعض قريش يجفو بني هاشم فقال : (والذي نفسي بيده لا يؤمنون حتى يحبوكم لله ولقرابتي (وقال) إن الله اصطفى بني إسماعيل واصطفى من بني إسماعيل كنانة واصطفى من كنانة قريشاً واصطفى من قريش بني هاشم واصطفاني من بني هاشم). ويتولون أزواج رسول الله صلى الله عليه وسلم أمهات المؤمنين ويؤمنون بأنهن أزواجه في الآخرة خصوصاً خديجة رضي الله عنها أم أكثر أولاده أول من آمن به وعاضده على أمره وكان لها منه المنزلة العالية والصِّدّيقة بنت الصّدّيق رضي الله عنها التي قال النبي صلى الله عليه وسلم : (فضل عائشة على النساء كفضل الثريد على سائر الطعام).
“Dan mereka (Ahlus-Sunnah) mencintai Ahlul-Bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, setia kepada mereka, serta menjaga wasiat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang mereka, yaitu ketika beliau bersabda di satu hari (Ghaadir-Khum) : “Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlul-Bait-ku”. Beliau juga berkata kepada pamannya, Al-‘Abbas, dimana ketika itu ia (Al-‘Abbas) mengeluh bahwa sebagian orang Quraisy membenci Bani Haasyim. Beliau bersabda : “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, mereka itu tidak beriman sehingga mereka mencintai kalian karena Allah, dan karena mereka itu sanak kerabatku”. Beliau juga bersabda : “Sesungguhnya Allah telah memilih dari Bani Isma’il yaitu suku Kinaanah, dan dari Bani Kinaanah, yaitu suku Quraisy, dari suku Quraisy, terpilih Bani Haasyim. Dan Allah memilihku dari Bani Haasyim”. Dan Ahlus-Sunnah senantiasa setia dan cinta kepada istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka adalah Ummahatul-Mukminin, serta meyakini bahwasannya mereka adalah istri-istri beliau di akhirat nanti, khususnya Khadijah radliyallaahu ‘anhaa, ibu dari sebagian besar anak-anak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia adalah orang yang pertama kali beriman kepada beliau, mendukungnya, serta mempunyai kedudukan yang tinggi. Dan juga Ash-Shiddiqah binti Ash-Shiddiq radliyallaahu ‘anhaa dimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda tentangnya : “Keutamaan ‘Aisyah atas seluruh wanita adalah seperti keutamaan tsarid atas semua jenis makanan” [selesai - Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah].
Begitu pula Asy-Syaikh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbad hafidhahullah yang berkata :
ويَرَون أنَّ شرَفَ النَّسَب تابعٌ لشرَف الإيمان، ومَن جمع اللهُ له بينهما فقد جمع له بين الحُسْنَيَيْن، ومَن لَم يُوَفَّق للإيمان، فإنَّ شرَفَ النَّسَب لا يُفيدُه شيئاً، وقد قال الله عزَّ وجلَّ: {إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ}، وقال صلى الله عليه وسلم في آخر حديث طويلٍ رواه مسلم في صحيحه (2699) عن أبي هريرة رضي الله عنه: ((ومَن بطَّأ به عملُه لَم يُسرع به نسبُه)).
“Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa ketinggian nasab mengikuti ketinggian iman. Barangsiapa yang Allah kumpulkan baginya dua hal tersebut, sungguh telah terkumpul baginya dua kebaikan. Dan barangsiapa tidak menetapi/konsekuen pada iman, maka ketinggian nasab tidak bermanfaat sedikitpun. Allah ‘azza wa jalla telah berfirman :“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling bertaqwa”(QS. Al-Hujuraat : 13). Dan juga berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam akhir satu hadits panjang yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya no. 2699 dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : ““Barangsiapa yang lambat amalnya, maka tidak akan bisa dipercepat oleh (kemuliaan) nasabnya” [Fadhlu Ahlil-Bait wal-‘Uluwwu Makaanatihim ‘inda Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah oleh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbad –www.dorar.net].
Inilah yang kita yakini dari hadits Ats-Tsaqalain. Kita mencintai ahlul-bait dengan ukuran-ukuran syari’at, bukan dengan ‘selera’ dan hawa nafsu. Tidak bersikap berlebih-lebihan, juga tidak meremehkan. Semoga Allah ta’ala mengumpulkan kita bersama ahlul-bait (yang shaalih) kelak di jannah-Nya. Dan semoga yang dituliskan di sini ada manfaatnya. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[Abul-Jauzaa’, 12 Dzulhijjah 1430 H – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor].
Diedit tanggal : 22 Desember 2009

Catatan kaki :
[1]   Yaitu firman Allah ta’ala :
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul-bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” [QS. Al-Ahzaab : 33].
[2]   Baca pula perkataan Al-Majlisiy yang mirip dengan Ath-Thabathaba’iy yang mengatakan bahwa kemungkinan ayat tahthiir (QS. Al-Ahzaab : 33 yang berbicara tentang Ahlul-Bait) diletakkan/ditambahkan oleh para shahabat agar ia disangka berhubungan dengan istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di :http://www.yazahra.net/ara/html/4/behar43/index.html (sumber : Bihaarul-Anwaar hal. 234-235).
Sungguh keji tuduhan ini. Sekaligus menguatkan pandangan Syi’ah bahwa Al-Qur’an yang ada sekarang ini tidak asli dan merupakan hasil rekayasa para shahabat Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallamAllaahul-Musta’aan [silakan baca artikel terkait : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/01/aqidah-syiah-tentang-al-quran.html].
[3]   Ini adalah scan kitabnya :
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEixh56k-YZsk6BKw4M8fZUwi2QZpBMF7KUwLwyJYwn3rJnMIWU_8wT1ckqOwrW05soLiP-9L47ub-nAuDUwz-fNp4AP7jm2EiNQKUlV02bosgDJV4OYCIPWrEXOHyL7yROz4Fy20kksb2_i/s640/farmanali1.JPGhttp://dreamcorner.files.wordpress.com/2009/11/farmanali2.jpg?w=194





[4]   Ia pernah ditanya :
“Telah ada penekanan perintah untuk beramar ma’ruf nahi munkar terhadap ‘ahl’ (أَهْلٌ). Siapakah yang dimaksud ‘ahl’ (أَهْلٌ) itu ? Apakah istri seseorang dianggap ‘ahl’ dan masuk cakupan dalam penekanan perintah tersebut ?”.
Ia (Al-Khuu’iy) menjawab :
“Benar, istri termasuk bagian dari ‘ahl’. Dan penekanan perintah tersebut ada pada mereka. Wallaahu a’lam” [Shiraathun-Najaah oleh Al-Khuu’iy, hal. 426].
Berikut scan kitab dimaksud :
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj2Nxs99eOkG9ffgw1RcU88gLaAHDeRiCkqJaIzT9yFHXWUX5p1vCFfelSgSov7Q0oCFl0Z7nGEmZS6x1KLIg8j8phAqmjYuoPZvoYNVn5k5XalMzvyLk2Ip6OoZAr7ybMPU47o_PluSlcp/s640/khoi1.jpghttp://dreamcorner.files.wordpress.com/2009/11/khoi2.jpg?w=212





[5]   Muslim dalam Shahih-nya membawakan riwayat sebagai berikut :
فقال له حصين: ومن أهل بيته؟ يا زيد! أليس نساؤه من أهل بيته؟ قال: نساؤه من أهل بيته. ولكن أهل بيته من حرم الصدقة بعده. قال: وهم؟ قال: هم آل علي، وآل عقيل، وآل جعفر، وآل عباس. قال: كل هؤلاء حرم الصدقة؟ قال: نعم.
Hushain bertanya kepada Zaid bin Arqam : ‘Wahai Zaid, siapakah ahlul-bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ? Bukankah istri-istri beliau adalah ahlul-baitnya ?’. Zaid bin Arqam menjawab : ‘Istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang ahlul-baitnya. Namun ahlul-bait beliau adalah orang-orang yang diharamkan menerima zakat sepeninggal beliau’. Hushain berkata : ‘Siapakah mereka itu ?’. Zaid menjawab : ‘Mereka adalah keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbas’. Hushain berkata : ‘Apakah mereka semua itu diharamkan menerima zakat ?’. Zaid menjawab : ‘Ya’ [Shahih Muslim no. 2408. Juga dalam Shahih Ibni Khuzaimah no. 2357].
[6]   Syi’ah mengeluarkan cakupan istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari ahlul-bait dengan hadits ini berdasar perkataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa : “Tetaplah kamu di tempatmu, dan kamu di atas kebaikan”. Mereka – dengan kepicikan akal mereka – beranggapan perbuatan Nabi tidak memasukkan Ummu Salamah ke dalam kisaa’ (kain) sebagai alasan ia bukan termasuk Ahlul-Bait !!
Jika kita ikuti logika pemikiran mereka, seharusnya mereka mengeluarkan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu dari ahlul-bait berdasarkan hadits ini juga !! Perhatikan penggalan hadits ini :
فدعا النبي صلى الله عليه وسلم فاطمة وحسنا وحسينا فجللهم بكساء وعلي خلف ظهره فجلله بكساء
“…Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memanggil ‘Ali, Fathimah, Hasan, dan Al-Husain, lalu beliau menyelimuti mereka dengan kisa’ (baju), dan beliau pun menyelimuti ‘Ali yang berada di belakang punggungnya dengan kisaa’”.
Di sini ‘Aliy berada di belakang punggung Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan tidak berada dalam satu kisaa’ dengan Faathimah, Al-Hasan, dan Al-Husain. Namun ia berada dalam kisaa’ yang lain. Dalam bahasan Arab, kata isyarat yang menggunakan هَؤُلاءِ hanya mencakup orang-orang yang berada di depan/di hadapan orang yang berbicara saja, tidak mencakup orang yang ada di belakangnya.
Oleh karena itu, cara pendalilan mereka justru kembali pada mereka sendiri…….
Sebagai tambahan : Saat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada Ummu Salamah : “Engkau berada di atas kebaikan” ; apakah mereka juga mengatakan bahwa ia (Ummu Salamah) berada di atas kebaikan ? Tanyalah mereka untuk mengatakan berdasarkan ‘aqidah yang diajarkan para ulama mereka tentang Ummahaatul-Mukminiin !
[7]   Jumhur ulama Syi’ah Itsna ‘Asyariyyah menetapkan cakupan ahlul-bait adalah ashhaabul-kisaa’ yang menjadi objek diturunkannya ayat tathhiir (QS. Al-Ahzaab : 33) yang berjumlah lima orang, yaitu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Aliy bin Abi Thaalib, Faathimah, ‘Al-Hasan, dan Al-Husain radliyallaahu ‘anhum ajma’iin [lihat As-Saqiifah oleh Sulaim bin Qais Al-Hilaaliy hal. 59 & 95, Tafsiir Al-‘Askariy hal 161, Tafsiir Furaat Al-Kuufiyhal. 123, Ath-Tharaaifiy oleh Ibnu Thaawus hal. 123 & 128, Al-Amaaliy oleh Ath-Thuusiy 2/20, Minhaajul-Karaamah oleh Al-Hulliy 151-152, dan yang lainnya].
[8]   Dalam riwayat ini ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu seakan-akan berbicara memprediksi masa depan dengan mengatakan anak turunnya yang sembilan yang menjadi imam dari anak turun Al-Husain. Apakah ia mendapat wahyu (dari Allah) tentang masalah ini ? Tentu saja ini hanya ada dalam kamus ‘aqidah Syi’ah.
[9]   Misalnya :
عن عبد الله قال : صلى النبي صلى الله عليه وسلم – قال إبراهيم: لا أدري – زاد أو نقص، فلما سلم قيل له: يا رسول الله، أحدث في الصلاة شيء؟ قال: (وما ذاك). قالوا: صليت كذا وكذا، فثنى رجليه، واستقبل القبلة، وسجد سجدتين، ثم سلم. فلما أقبل علينا بوجهه قال: (إنه لو حدث في الصلاة شيء لنبأتكم به، ولكن، إنما أنا بشر مثلكم، أنسى كما تنسون، فإذا نسيت فذكروني، وإذا شك أحدكم في صلاته، فليتحر الصواب فليتم عليه، ثم ليسلم، ثم يسجد سجدتين).
Dari ‘Abdullah (bin Mas’ud) ia berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat – Ibrahim (perawi) berkata : ‘Aku tidak tahu – apakah beliau menambah atau mengurangi shalatnya. Setelah selesai salam, beliau ditanya : ‘Wahai Rasulullah, apakah ada ketentuan baru mengenai shalat ?’. Beliau bertanya : ‘Apa maksudnya ?’. Para shahabat mengatakan : ‘Tadi engkau shalat begini dan begitu, tidak seperti biasanya’. Kemudian beliau menekuk kedua kakinya dengan menghadap ke kiblat, lalu beliau sujud (sahwi) dua kali, setelah itu salam. Ketika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menghadapkan wajahnya ke arah kami setelah salam, beliau bersabda : ‘Apabila ada ketentuan baru dalam shalat, niscaya telah aku beritahukan kepada kalian. Tetapi aku ini manusia seperti kalian. Aku juga pernah lupa sebagaimana kalian. Oleh karena itu, jika aku lupa, maka ingatkanlah aku. Apabila seorang ragu-ragu (tentang hitungan raka’at atau yang lainnya) dalam shalat, hendaklah ia memastikan apa yang ia anggap benar, lalu hendaklah ia menyempurnakan apa yang ia anggap kurang, kemudian melakukan salam dan sujud (sahwi) dua kali” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 401 & 404 & 667 & 7249, Muslim no. 572, Abu Dawud no. 1019-1022, At-Tirmidziy no. 392-393, dan An-Nasa’iy 3/28-33].
[10] Dalam kitab Ash-Shahihul-Musnad min Asbaabin-Nuzuul disebutkan sebagai berikut :
الترمذي ج4 ص209 حدثنا سعيد بن يحيى بن سعيد الأموي قال حدثني أبي قال: هذا ما عرضنا على هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة أنزلت {عَبَسَ وَتَوَلَّى} في ابن أم مكتوم الأعمى أتى رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم رجل من عظماء المشركين، فجعل رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم يعرض عنه، ويقبل على الآخر. ويقول: “ترى بما أقول بأسا” ففي هذا نزل.. هذا حديث حسن غريب وروى بعضهم هذا الحديث عن هشام بن عروة عن أبيه قال أنزل عبس وتولى في ابن أم مكتوم ولم يذكر عائشة.
“At-Tirmidzi (4/209) berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Yahyaa bin Sa’iid Al-Umawiy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ayahku, ia berkata : Inilah yang kami paparkan kepada Hisyaam bin ‘Urwah dari ayahnya, dari ‘Aisyah, ia berkata : “Telah turun (ayat) : ‘Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling’ mengenai Ibnu Ummi Maktuum, seorang buta yang datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan berkata : ‘Wahai Rasulullah, ajarilah aku’. Padahal saat itu di sisi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ada seorang dari pembesar kaum musyrikin. Sehingga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya (Ibnu Ummi Maktuum) dan menghadap kepada pembesar kaum musyrikin dan Ibnu Ummi Maktuum berkata : ‘Apakah kamu keberatan dengan apa yang aku katakan ?’. Maka mengenai hal ini turun (ayat) ini” [lihat Ash-Shahiihul-Musnad min Asbaabin-Nuzuul oleh Muqbil bin Hadiy Al-Wadi’iy, hal. 230].
[11] Hingga mereka (Syi’ah) perlu bersusah payah menyusun buku – yang katanya ingin membela Nabi, tapi pada kenyataannya malah mengingkari Nabi karena menolak hadits shahih – yang berjudul : ‘Nabi SAWW Bermuka Manis Tidak Bermuka Masam’ karangan Husein Al-Habsyiy, terbitan Al-Kautsar (Cet. 1/September 1992).
[12] Hadits hasan.
Diriwayatkan oleh Ahmad 3/198, Abu Ya’laa no. 2922, ‘Abd bin Humaid no. 1195, At-Tirmidziy no. 2499, Ibnu Majah no. 4251, Al-Haakim 4/272, Ibnu Abi Syaibah 13/187, dan Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal21/131; dari jalan Zaid bin Hubbaab, dari ‘Aliy bin Mas’adah, dari Qatadah, dari Anas bin Maalik secara marfu’. Diriwayatkan pula oleh Ibnu ‘Adiy 5/1850, Ad-Daarimiy no. 2727, dan Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iman no. 6725; dari Muslim bin Ibraahim, dari ‘Aliy bin Mas’adah, selanjutnya seperti sanad di atas.
‘Aliy bin Mas’adah dalam poros sanad ini diperbincangkan. Abu Dawud Ath-Thayaalisiy berkata : “Ia tsiqah”. Al-Bukhariy berkata : “Fiihi nadhar” (ada beberapa pembahasan dari para muhaqqiqiin mengenai peristilahan Al-Bukhariy ini). Ibnu Ma’in (riwayat Sa’id bin Manshuur) berkata : “Shaalih”. Dalam riwayat lain (Ad-Duuriy) : “Laisa bihi ba’s” – dantautsiq Ibnu Ma’iin ini disepakati oleh Ibnul-Qaththaan. Abu Haatim berkata : “Laa ba’sa bihi”. Disebutkan oleh Ibnul-Khalfuun dalam kitabnya Ats-Tsiqaat. An-Nasa’iy berkata : “Laisa bil-qawiy (tidak kuat)”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Hadits-haditsnya tidak mahfuudh”. Ibnu Hibbaan berkata : “Tidak dijadikan hujjah pada apa yang tidak berkesesuaian dengan para perawi tsiqah”. Adz-Dzahabiy saat berkomentar tentang tashhih Ibnu Hibban : “’Aliy adalah layyin (lemah)”. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq lahu auhaam“.
Para ulama berselisih pendapat mengenai hadits ini. Ada yang men-dla’if-kan, ada pula yang menghasankan. Anyway, makna hadits ini adalah shahih.
[13] Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dengan tahdits dari Yuusuf bin Musa, dengantahdits dari Jariir (bin ‘Abdil-Hamiid) dan Muhammad bin Fudlail, dari Abu Hayyaan Yahyaa bin Sa’iid At-Tamimiy, dari Yaziid bin Hayyaan, dari Zaid bin Arqam secara marfu’.
1.   Yusuf bin Musa Al-Qaththaan; menurut Yahyaa biun Ma’iin, shaduuq – Abu Haatim,shaaduq – An-Nasaa’iy, laa ba’sa bihi – Abu Bakr Al-Khathiib, tsiqah. 
2.   Jariir bin ‘Abdil-Hamiid; menurut Ad-Daaruquthniy, tsiqah – Al-‘Ijliy, tsiqah. 
3.   Muhammad bin Fudlail; menurut Ahmad, hasanul-hadiits – Ibnu Ma’iin, tsiqah – Abu Zur’ah, shaduuq – Abu Haatim, syaikh – An-Nasa’iy, laisa bihi ba’s – Ibnu Hibban, tsiqah. 
4.   Yahyaa bin Sa’iid At-Tamimiy/Abu Hayyaan At-Tamimiy; menurut Sufyan, tsiqah – Muhammad bin Fudlail, shaduuq – Yahya bin Ma’iin, tsiqah – Al-‘Ijliy, tsiqah – Abu Haatim, shaalih – Ibnu Hibbaan, tsiqah. 
5.   Yaziid bin Hayyaan; menurut An-Nasa’iy dan Ibnu Hibbaan, tsiqaah. 
[14] Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan dengan tahdits dari Al-Hasan bin Sufyaan, dengan tahdits dari Abu Bakr bin Abi Syaibah, dengan tahdits dari ‘Affaan, dengan tahdits dari Hassaan bin Ibraahiim, dari Sa’iid bin Masruuq dari Yaziid bin Hayyaan, dari Zaid bin Arqam secara marfu’.
1.   Al-Hasan bin Sufyaan; menurut Ibnu Abi Haatim, shaduuq – Ibnu Ma’iin dan Al-‘Uqailiy, majhuul.
2.   Abu Bakr bin Abi Syaibah, pengarang kitab Al-Mushannaf, imam masyhur.
3.   ‘Affaan (bin Muslim bin ‘Abdillah); Al-‘Ijliy, tsabt shaahibus-sunnah – Ibnu Ma’in, tsabt– Ibnu Hajar, tsiqah tsabt.
4.   Hassaan bin Ibraahiim; menurut Ahmad, tsiqah – Ibnu Ma’iin, laisa bihi ba’s (di lain riwayat : tsiqah) – Abu Zur’ah, laa ba’sa bihi - Al-Bazzaar, tsiqah – Ibnul-Madiiniy, tsiqah ­– An-Nasa’iy, laisa bil-qawiy (tidak kuat) – Ibnu ‘Adiy, laa ba’sa bihi.
5.   Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy (ayah Sufyaan Ats-Tsauriy, imam masyhur); menurut Ibnu Ma’iin, Abu Haatim, Al-‘Ijliy, dan An-Nasa’iy adalah tsiqah.
6.   Yaziid bin Hayyaan; menurut An-Nasa’iy dan Ibnu Hibbaan, tsiqaah.
[15] Sebenarnya di sini Al-Munawiy sedang menjelaskan salah satu hadits dla’if tentangAts-Tsaqalain (dengan lafadh : إني تارك فيكم خليفتين ‘Sesungguhnya aku akan meninggalkan kepada kalian dua khalifah…dst.). Namun di sini saya hanya ingin mencuplik penjelasannya yang bermanfaat dimana kaum Syi’ah seringkali mengutipnya secara terpotong hanya di awal-awal kalimat bahwa Kitabullah dan ‘itrah adalah bagaikan dua saudara kembar.





http://salafy.or.id/blog/tag/ahlul-bait/

ditulis oleh: Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
Istilah Ahlul Bait mungkin terdengar agak asing di telinga sebagian orang. Bisa dimaklumi, mengingat keadaan kaum muslimin yang memang semakin kurang peduli terhadap agamanya. Padahal ketika seseorang tidak dibimbing secara benar dalam memahami persoalan Ahlul Bait, ia sangat rentan terjatuh pada penyimpangan. Realita menunjukkan, pemahaman yang keliru terhadap kedudukan Ahlul Bait telah melahirkan demikian banyak kelompok menyimpang.
Seluruh Ulama Ahlus Sunnah mengakui keutamaan Ahlul Bait Rasulullah, karena telah jelas dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan mereka dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.Di antaranya adalah apa yang Allah Subhanahuwata’ala katakan tentang mereka dalam ayatnya:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Dan hendaklah kalian tetap di rumahmu,  janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah dahulu. Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai Ahlul Bait dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzab: 33)
Kemudian dalam hadits Ghadir Khum sebagai berikut:
“Zaid ibnu Arqam berkata: Rasulullah pada suatu hari pernah berdiri di depan kami sebagai khatib di daerah mata air yang bernama Khum1–daerah antara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya. Beliau memberi nasehat dan memberi peringatan, kemudian berkata:
‘Amma ba’du, wahai manusia, sesungguhnya aku adalah manusia biasa yang sebentar lagi akan datang utusan Rabbku (malaikat maut) dan aku akan menyambutnya. Aku tinggalkan di antara kalian dua perkara yang berat. Pertama adalah Kitab Allah, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Ambillah dengan Kitab Allah ini dan berpeganglah dengannya”.
Zaid berkata: Maka Rasulullah menganjurkan dan memberi semangat untuk berpegang dengan kitab Allah. Kemudian beliau berkata:
“Yang kedua Ahlul Baitku. Aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku, aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku. Aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya dengan syarah Al-Imam An-Nawawi, juz 15/174-175)
Siapakah Ahlul Bait?
Alangkah baiknya kita mengenal siapa sebenarnya Ahlul Bait sebagaimana dimaksud dalam ayat dan hadits di atas. Para ulama Ahlus Sunnah telah bersepakat bahwa Ahlul Bait adalah keluarga Nabi yang diharamkan memakan shadaqah. Mereka terdiri dari keluarga Ali, keluarga Ja’far, keluarga ‘Aqil, keluarga Abbas, serta para istri beliau n dan anak-anak mereka. Diriwayatkan dari Zaid bin Arqam :
Zaid ibnu Arqam berkata: Rasulullah  pernah berdiri di depan kami pada suatu hari sebagai khatib di daerah mata air yang bernama Khum –daerah antara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya. Beliau memberi nasehat dan memberi peringatan, kemudian berkata:
‘Amma ba’du, wahai manusia, sesungguhnya aku adalah manusia biasa yang sebentar lagi akan datang utusan Rabbku (malaikat maut), dan aku akan menyambutnya. Aku tinggalkan di antara kalian dua perkara yang berat.
Pertama kitab Allah, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Ambillah kitab Allah ini dan berpeganglah dengannya’. Berkata Zaid, maka Rasulullah menganjurkan dan memberi semangat untuk berpegang dengan kitab Allah. Kemudian beliau berkata:
“Yang kedua Ahlul Baitku. Aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku, Aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku, Aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku.” Maka Hushain berkata kepada Zaid:
“Siapakah Ahlul Baitnya, ya Zaid? Bukankah istri-istrinya termasuk Ahlul Bait?”
Zaid menjawab: “Istri-istri beliau termasuk Ahlul Baitnya. Ahlul Bait adalah orang yang diharamkan menerima shadaqah setelah beliau.”
Hushain berkata: “Siapakah (lagi) mereka?”
Zaid menjawab: “Mereka adalah keluarga Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far dan keluarga ‘Abbas.”  Hushain bertanya lagi: “Apakah semua mereka diharamkan menerima shadaqah?” Zaid menjawab:”Ya.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya dengan Syarh An-Nawawi juz 15/174-175  no. 6175)
Dalam hadits ini dapat dipahami beberapa kaidah, di antaranya:
Pertama, menunjukkan tentang keutamaan Ahlul Bait yang sangat tinggi. Nabi mewasiatkan kepada kita untuk memuliakan dan menghormati mereka.
Kedua, kita dapat mengetahui bahwa Ahlul Bait Nabi adalah semua yang tidak boleh menerima shadaqah (zakat). Mereka terdiri dari keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far dan keluarga ‘Abbas.
Ketiga, istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait yang harus kita hormati pula. Istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait Dengan hadits di atas kita mengetahui pula bahwa istri-istri Nabi adalah termasuk Ahlul Bait, yang juga diwasiatkan oleh Rasulullah untuk kita hormati dan kita muliakan. Oleh karena itu jika kaum Syi’ah konsekuen dalam menghormati Ahlul Bait, maka mereka harus menghormati pula semua turunan Ja’far, Aqil dan Abbas serta para istri Nabi n  terutama yang paling beliau cintai, yaitu Aisyah dan Khadijah.
Hanya saja istri-istri Nabi  tidak termasuk yang diharamkan untuk menerima shadaqah. Keterangannya sebagai berikut:
Pada hadits di atas Zaid bin Arqam  ketika ditanya tentang istri-istri Nabi beliau menjawab:
“Istri-istri beliau termasuk Ahli Baitnya tetapi…”. Sedangkan dalam hadits berikutnya dalam Shahih Muslim, Zaid bin Arqam ketika ditanya siapakah yang dimaksud Ahlul Baitnya, apakah istri-istri Nabi?
Beliau menjawab: “Tidak…, Ahlul Baitnya adalah yang tidak boleh menerima shadaqah setelahnya.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya dengan Syarh Nawawi juz 15/174-175  no. 6178)
Maka Al-Imam An-Nawawi mengomentari dua lafadz hadits yang kelihatannya bertentangan ini sebagai berikut:
“Ucapan Zaid dalam riwayat di atas: “Istri-istri beliau termasuk Ahli Baitnya” bermakna bahwa istri-istri Nabi termasuk keluarga beliau, yang tinggal di rumah beliau, yang diperintahkan untuk kita hormati dan kita muliakan, yang Rasulullah menamakannya tsaqalain (sesuatu yang berat dan penting, pen.). Dan yang Nabi menasihati dan memperingatkan manusia untuk memenuhi hak-hak mereka.
Maka istri-istri Nabi masuk dalam semua itu. Namun mereka tidak termasuk yang diharamkan untuk memakan shadaqah. Inilah yang diisyaratkan pada riwayat pertama: “Istri-istri Nabi termasuk Ahli Baitnya, tetapi Ahli Baitnya adalah yang diharamkan menerima shadaqah.” (Syarh Shahih Muslim, Al-Imam An-Nawawi, juz 15/174-175  no. 6178)
Namun, kaum Syi’ah justru mengeluarkan istri-istri Nabi dari Ahlul Bait kemudian melecehkannya. Dalil terkuat yang dijadikan sandaran oleh mereka adalah hadits yang diriwayatkan dari ‘Umar bin Abi Salamah, sebagai berikut:
Ketika turun kepada Nabi ayat Allah:
(Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, hai Ahlul Bait  dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya) di rumah Ummu Salamah, beliau memanggil Fathimah, Hasan dan Husain, kemudian beliau menyelimuti mereka dengan selimut (kisa`). Dan ‘Ali berada di belakang beliau lalu beliau juga menyelimutinya dengan selimut, beliau berkata: “Ya Allah, mereka adalah Ahlul Baitku, hilangkanlah kotoran dari mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya.” Maka Ummu Salamah berkata : “Apakah aku bersama dengan mereka, ya Nabi Allah?”Rasulullah n menjawab: “Engkau tetaplah pada tempatmu dan engkau berada dalam kebaikan.” (HR. At-Tirmidzi no. 3205)
Kaum Syi’ah menganggap ditolaknya Ummu Salamah untuk masuk dalam selimut menunjukkan bahwa para istri Nabi n tidak termasuk Ahlul Bait. Para ulama membantah ucapan mereka di atas sebagai berikut:
Pertama, disebutkan dalam Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ At-Tirmidzi bahwa tidak dimasukkannya Ummu Salamah dalam selimut bersama mereka, karena adanya ‘Ali bin Abi Thalib (‘Ali bukanlah mahram Ummu Salamah, pen.), dan bukan berarti bahwa Ummu Salamah tidak termasuk Ahlul Bait. (Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ At-Tirmidzi, juz 9 hal. 48)
Kedua,  konteks ayat dalam surat Al-Ahzab sangat jelas sekali, yakni menunjukkan bahwa yang dimaksud Ahlul Bait adalah istri-istri Nabi. Karena pada awal ayat dibuka dengan kalimat:
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَاءِ
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain.…” (Al-Ahzab: 32)
Kemudian diakhiri pada ayat berikutnya dengan kalimat:
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzab: 33)
Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa ayat ini tentang istri-istri Nabi adalah pendapat Ibnu  Abbas, Ikrimah, ‘Atha`, Al-Kalbi, Muqatil, Sa’id bin Jubair, dan lain-lain. Bahkan diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Asakir dari jalan Ikrimah, bahwa Ibnu Abbas  mengatakan ayat ini turun tentang istri-istri Nabi. Kemudian Ikrimah berkata:
“Barangsiapa yang mau, aku akan bermubahalah (saling mendoakan kebinasaan) dengannya bahwa ayat ini turun tentang istri-istri Nabi.” (Lihat Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ At-Tirmidzi, juz 9 hal. 48)
Keempat, memang diriwayatkan dari beberapa orang dari kalangan Salaf bahwa yang dimaksud juga Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Yang demikian bukan merupakan pertentangan karena disebutkan pula dalam hadits di atas bahwa mereka adalah Ahlul Bait juga. (lihat sumber yang sama)
Kelima, alasan lain kaum Syi’ah adalah ucapan mereka: “Apabila kita meneliti secara cermat, tampak perbedaan antara ayat tath-hir (  ) dengan ayat lastunna () yang ditujukan kepada istri-istri Nabi, dalam penggunaan dhamir (kata ganti). Dalam ayat tath-hir digunakan dhamir jamak untuk laki-laki (kum), sedangkan kepada istri-istri Nabi digunakan dhamir jamak untuk perempuan yang ditandai dengan nun ta`nits (). Maka pensucian (that-hir) tersebut bukan untuk istri-istri Nabi .”
Kita jawab, bahwasanya dhamir jamak untuk laki-laki dalam ayat tath-hir digunakan karena kembalinya kepada kalimat Ahlul Bait. Sedangkan kalimat ahli dapat dipakai untuk mu’anats dan mudzakar.  Seperti ucapan seseorang: “Kaifa ahluka?” yang dimaksud adalah: “Bagaimana istrimu?” Ini dapat dipahami oleh orang-orang yang mengerti bahasa Arab dengan dzauqul ‘Arabi. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ At-Tirmidzi, Al-Imam Muhammad Abdurrahman Ibnu Abdurrahim Al-Mubarakfuuri, juz 9 hal. 48-49).
Keenam, baik sekali pendapat para Ulama Ahlus Sunnah seperti Al-Qurthubi dan Ibnu Katsir yang menyatakan bahwa ucapan yang bijaksana dalam masalah ini adalah: “Ayat ini mencakup istri-istri Nabi dan mencakup pula Ali, Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husain. Adapun istri-istri Nabi karena konteks ayatnya tentang mereka, dan karena mereka tinggal di rumah-rumah Nabi.
Adapun masuknya Ali, Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husain karena mereka adalah kerabat Nabi dalam nasab. Maka barangsiapa yang mengkhususkan ayat ini untuk salah satunya berarti dia telah mengabaikan kewajibannya terhadap yang lainnya. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ At-Tirmidzi, juz 9 hal. 49)
Karena telah jelas bahwa ayat ini tentang istri-istri Nabi, maka Rasulullah  mengumpulkan Fathimah, Ali, Hasan dan Husain  dan menyatakan bahwa mereka juga Ahlul Bait, walaupun tidak disebut secara jelas dalam ayat di atas. Keutamaan Al-Hasan dan Al-Husain
Al-Hasan dan Al-Husain adalah putera dari Ali bin Abi Thalib , cucu Rasulullah dari anak perempuannya Fathimah.
Mereka termasuk kalangan Ahlul Bait Rasulullah n yang memiliki keutamaan-keutamaan yang besar dan mendapatkan pujian-pujian Rasulullah . Diantaranya beliau n bersabda:
“Sesungguhnya Al-Hasan dan Al-Husain adalah kesayanganku dari dunia.” (HR. Al-Bukhari, At-Tirmidzi dan Ahmad dari Ibnu ‘Umar )
Beliau n  juga bersabda:
“Al-Hasan dan Al-Husain adalah sayyid (penghulu) para pemuda ahlul jannah.” (HR. Tirmidzi, Hakim, Thabrani, Ahmad dan lain-lain dari Abu Sa’id Al-Khudri; Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Albani t dalam Silsilah Hadits Ash-Shahihah, hal. 423, hadits no. 796)
Keutamaan Al-Hasan di atas Keutamaan Al-Husain
Sedangkan khusus tentang keutamaan Al-Hasan, diriwayatkan bahwa Rasulullah n  bersabda:
“Al-Hasan dariku dan Al-Husain dari Ali.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ath-Thabrani dari Miqdam Ibnu Ma’dikarib; dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Silsilah Ahadits Ash-Shahihah, hal. 450, hadits no. 711)
“Dari Al-Bara` bin ‘Azib, dia berkata: Aku melihat Al-Hasan bin ‘Ali di atas pundak Nabi n dan beliau bersabda: “Ya Allah sesungguhnya aku mencintainya, maka cintailah dia.” (HR. Al-Bukhari dengan Fathul Bari, VII, hal. 464, hadits no. 3749 dan Muslim dengan Syarh Nawawi, juz XV, hal. 189, hadits no. 6208)
“Ya Allah, sesungguhnya aku mencintai dia, maka cintailah dia serta cintailah siapa yang mencintainya.” (HR. Muslim dengan Syarh Nawawi, juz XV, hal. 188, hadits no. 6206)
Dan dari Anas bin Malik z, ia berkata:
“Tidaklah seorang pun yang lebih mirip dengan Nabi  daripada Al-Hasan bin ‘Ali .” (HR. Bukhari dengan Fathul Bari, VII, hal. 464, hadits no. 3752)
Dari Al-Hasan , dia mendengar Abu Bakrah berkata: “Aku mendengar (ceramah) Nabi  di atas mimbar, sedangkan Al-Hasan berada di sampingnya, beliau sesekali melihat kepada manusia dan sesekali kepada Al-Hasan, dan bersabda:
“Anakku ini adalah sayyid dan semoga Allah akan mendamaikan dengannya dua kelompok dari kalangan muslimin.” (HR. Al-Bukhari dengan Fathul Bari, VII, hal. 463, hadits no. 3746)
Benarlah apa yang dikatakan oleh Rasulullah dalam hadits di atas. Setelah ayah beliau, Ali bin Abi Thalib terbunuh, sebagian kaum muslimin membai’at beliau, tetapi bukan karena wasiat dari Ali. Asy-Syaikh Muhibbudin Al-Khatib berkata bahwa diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya juz ke-1 hal. 130 –setelah disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib akan terbunuh – mereka berkata kepadanya: “Tentukanlah penggantimu bagi kami.” Beliau menjawab: “Tidak, tetapi aku tinggalkan kalian pada apa yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah n…”
(Lihat ta’liq kitab Al-‘Awashim Minal Qawashim, Ibnul Arabi, ha. 198-199). Akan tetapi setelah itu Al-Hasan menyerahkan ketaatannya kepada Mu’awiyyah untuk mencegah pertum
pahan darah di antara kalangan muslimin.
Kisah tersebut diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Ash-Shulh dari Imam Al-Hasan Al-Bashri. Di akhir hadits, Al-Hasan z meriwayatkan hadits dari Abu Bakrah bahwa ia berkata: “Aku mendengar (ceramah) Nabi di atas mimbar, sedangkan Al-Hasan berada di sampingnya, beliau melihat kepada manusia sesekali dan kepadanya sesekali yang lain dan bersabda:
“Anakku ini adalah sayyid dan semoga Allah akan mendamaikan dengannya dua kelompok dari kalangan muslimin.” (HR. Bukhari dengan Fathul Bari, VII, hal. 463, hadits no. 3746)
Demikianlah keutamaan Al-Hasan yang paling besar yang dipuji oleh Rasulullah.  Beliau berhasil mempersatukan kaum muslmin, hingga tahun tersebut dikenal dengan tahun jama’ah. Kaum muslimin selamat dari pertumpahan darah antara sesamanya. Dan kekhalifahan Mu’wiyah akhirnya berlangsung dengan persatuan kaum muslimin, dengan keutamaan dari Allah, kemudian sebab pengorbanan Al-Hasan bin Ali yang besar.
Namun yang mengherankan adalah kaum Syi’ah Rafidhah  –yang mengaku pencinta Ahlul Bait– justru menyesali kejadian ini, hingga menjuluki Al-Hasan z sebagai ‘pencoreng wajah-wajah kaum mukminin’. Sebagian di antara mereka menganggap beliau fasik, bahkan sebagian yang lain mengkafirkannya.
Asy-Syaikh Muhibbudin Al-Khatib berkata mengomentari ucapan Syi’ah Rafidhah ini sebagai berikut:
“Padahal termasuk dari dasar-dasar keimanan Rafidhah –bahkan dasar keimanan yang paling utama– adalah keyakinan mereka bahwa Al-Hasan, ayah, saudara dan sembilan ketu-runannya adalah ma’shum. Dan dari konsekuensi kema’shuman mereka, tentu mereka tidak akan berbuat kesalahan. Demikian pula, segala sesuatu yang bersumber dari mereka berarti benar dan tidak akan terbatalkan. Sedangkan apa yang bersumber dari Al-Hasan bin Ali  yang paling besar adalah pembai’atan terhadap Amirul Mukminin Mu’awiyah. Maka mestinya merekapun masuk dalam baiat ini dan beriman bahwa ini adalah hak, karena ini adalah amalan seorang yang ma’shum menurut mereka.“ (Lihat catatan kaki kitab Al-Awashim minal Qawashim, hal. 197-198)
Demikianlah keculasan kaum Syi’ah Rafidhah. Mereka menyelisihi imam mereka –yang mereka anggap ma’shum– menyalahkan, memfasikkan bahkan mengkafirkannya. Maka hanya terdapat dua kemungkinan bagi mereka:
Pertama, mereka berdusta atas ucapan mereka sendiri tentang kema’shuman dua belas imam mereka, maka hancurlah agama mereka (agama Syi’ah Itsna ‘Asyariyah).
Kedua, jika mereka meyakini kema’shuman Al-Hasan, maka mereka adalah para pengkhianat yang menyelisihi imam –yang mereka anggap ma’shum– dengan permusuhan dan kesombongan serta kekufuran.
Berbeda dengan Ahlus Sunnah yang beriman dengan kenabian kakek Al-Hasan  dan berpendapat bahwa berita perdamaian dan bai’at Al-Hasan z kepada Mu’awiyah z adalah salah satu bukti kenabian beliau n dan amal terbesar Al-Hasan serta mereka bergembira dengannya. Beliau mengganggap Al-Hasan yang memutihkan wajah kaum muslimin (yakni tidak mencoreng wajah-wajah kaum muslimin seperti anggapan Syi’ah, pent.).(lihat sumber yang sama).
Wallahu a’lam.


1 Riwayat tentang wasiat Rasululah n di Ghadir Khum yang shahih hanya ini, dan tidak disebutkan adanya wasiat agar ‘Ali menjadi khalifah.
sumber http://asysyariah.com/keutamaan-ahlul-bait.html

DITULIS OLEH: AL-USTADZ ABU KARIMAH ASKARI BIN JAMAL AL-BUGISI
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Sesungguhnya Allah hanya bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzab: 33)
Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
Sesungguhnya hanya, maknanya menunjukkan batasan. Yaitu menetapkan hukum yang disebutkan dan meniadakan yang lainnya. Batasan di sini adalah batasan secara idhafi, yang maknanya sesuatu yang dibatasi tersebut sesuai dengan keadaannya. Seperti halnya firman Allah:
إِنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ
“Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan melalaikan.” (Muhammad: 36)
Bukan berarti kehidupan dunia hanya itu saja, namun juga bisa menjadi wasilah dalam mengamalkan kebaikan. (lihat Syarah Arba’in, Ibnu Daqiqil ‘Ied, hal. 28, dan Tafsir Surat Al-Ahzab oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin )
Allah bermaksud hendak, yang dimaksud di sini adalah kehendak kauniyyah,yang maknanya Allah telah menghendaki hal tersebut secara taqdir. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Utsaimin, namun dalam masalah ini terdapat khilaf.
Menghilangkan.
Kotoran atau najis, yang dimaksud dalam ayat ini adalah kotoran atau najis secara makna, berupa akhlak dan amalan buruk dan rendah. (Lihat Tafsir Surat Al-Ahzab, Ibnu Utsaimin )
Pada Siapa Ayat ini Diturunkan?
Bagi yang memperhatikan konteks ayat-ayat yang terdapat dalam Surat Al-Ahzab ini, sebelum dan sesudah ayat at-tath-hir –pensucian– ini, nampak jelas bahwa ayat ini
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ مَن يَأْتِ مِنكُنَّ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ يُضَاعَفْ لَهَا الْعَذَابُ ضِعْفَيْنِ ۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا
وَمَن يَقْنُتْ مِنكُنَّ لِلَّهِ وَرَسُولِهِ وَتَعْمَلْ صَالِحًا نُّؤْتِهَا أَجْرَهَا مَرَّتَيْنِ وَأَعْتَدْنَا لَهَا رِزْقًا كَرِيمًا
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَاءِ ۚ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوفًا
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
“Hai isteri-isteri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipat gandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan yang demikian itu mudah bagi Allah. Dan barangsiapa di antara kamu sekalian (isteri-isteri Nabi) tetap taat pada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang shalih, niscaya Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezki yang mulia. Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berke-inginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (Sunnah Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” (Al-Ahzab: 30-34)
Dari ayat ini, sangat meyakinkan bahwa ayat-ayat ini diturunkan khusus berkenaan tentang para istri Nabi n. Bahkan pada ayat at-tathhir itu pun juga berkenaan tentang istri Nabi. Dalam hal ini, memang terjadi perselisihan di kalangan para ulama tentang siapa yang termasuk ke dalam Ahlul Bait dalam ayat ini:
Pendapat pertama mengatakan, yang dimaksud Ahlul Bait adalah istri Nabi secara khusus. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah, ‘Atha`, Sa’id bin Jubair, dan yang lainnya.
Pendapat kedua mengatakan, yang dimaksud adalah ‘Ali bin Abi Thalib, Fathimah dan Hasan serta Husain secara khusus. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri, Mujahid, Qatadah, dan yang lainnya.
Pendapat ketiga adalah pendapat yang menggabungkan kedua pendapat tersebut, bahwa ayat ini mencakup mereka semua. Adapun para istri beliau tercakup dalam ayat ini karena mereka yang dimaksud dalam konteks ayat-ayat ini sebelum dan sesudahnya dan mereka adalah orang-orang yang tinggal di rumah-rumah Rasulullah.
Adapun masuknya ‘Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan dan Husain g ke dalam Ahlul Bait, disebabkan hadits-hadits shahih yang datang dari Rasulullah . Maka barangsiapa yang mengkhususkan ayat ini untuk salah satunya dan mengeluarkan yang lain, maka sungguh dia telah mengamalkan sebagian nash dan menelantarkan yang lain. Pendapat terakhir inilah yang paling kuat dan dibenarkan keba-nyakan ahli tahqiq, seperti Al-Qurthubi, Ibnu Katsir, dan yang lainnya. (Tuhfatul Ahwadzi, 9/48-49)
Oleh karena itu, Ibnu Katsir t berkata dalam Tafsir-nya:
“(Ayat ini) merupakan nash yang menunjukkan bahwa para istri Nabi termasuk  Ahlul Bait (keluarga Nabi ), karena merekalah yang menjadi sebab turunnya ayat ini. Penyebab turunnya suatu ayat termasuk dalam ayat itu, (hal ini) merupakan pendapat yang disepakati. Boleh jadi ayat ini hanya berkenaan tentang mereka menurut satu pendapat atau ada yang lain yang masuk bersama mereka, berdasarkan pendapat yang shahih.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 3/484)
Adapun tercakupnya ‘Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan dan Husain ke dalam ayat tersebut berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dari ‘Aisyah , ia berkata: Nabi keluar di pagi hari dalam keadaan beliau memakai kain bercorak dari warna hitam. Lalu datanglah Hasan bin ‘Ali lalu beliau masukkan ke dalamnya. Lalu datanglah Husain dan beliau masukkan pula ke dalamnya. Datanglah Fathimah dan beliau masukkan pula ke dalamnya. Kemudian ‘Ali datang lalu beliau masukkan ke dalamnya. Kemudian beliau membaca firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (HR.Muslim, kitab Fadha`il Ash-Shahabah, bab Fadha`il Hasan wal Husain, 15/195)
Kalau ada yang mengatakan: Kalau yang dimaksud dengan Ahlul Bait dalam ayat ini para istri Nabi, lalu mengapa Allah menyebut dengan dhamir (kata ganti) “kum” yang menunjukkan jamak  untuk mudzakkar (laki-laki) dan tidak menyebut “kunna” (bentuk jamak untuk perempuan) seperti ketika menyebut para istri Nabi ?
Maka jawabannya adalah: Karena Allah ingin memasukkan selain dari istri Rasulullah  ke dalam seluruh yang termasuk lafadz “Ahlul Bait,” yang mencakup ‘Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan dan Husain. Ini adalah hal yang biasa digunakan dalam bahasa Arab. Seperti halnya firman Allah I, ketika para malaikat menjawab keheranan istri Khalilullah Ibrahim:
قَالُوا أَتَعْجَبِينَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ ۖ رَحْمَتُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ ۚ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَّجِيدٌ
“(Mereka menjawab): Apakah engkau heran dari ketetapan Allah? Rahmat Allah dan barakahnya atas kalian wahai Ahlul Bait, sesungguhnya Dia Maha Terpuji lagi Maha Mulia.” (Hud: 73)
Demikian pula ketika Allah mengkisahkan perkataan Musa kepada istrinya:
فَقَالَ لِأَهْلِهِ امْكُثُوا
“Musa berkata kepada keluarganya (istrinya): Tetaplah engkau.” (Thaha: 10)
Ayat ini juga menggunakan bentuk jamak mudzakkar, padahal yang dimaksud adalah istri beliau. (lihat kitab Mukhtashar At-Tuhfah Al-Itsna ‘Asyariah, hal. 150-151) Adapun hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari ‘Umar bin Abi Salimah bahwa ia berkata: Ketika turun ayat tersebut kepada Nabi di rumah Ummu Salamah, maka Nabi memanggil Fathimah, Hasan, dan Husain lalu menutupinya dengan selembar kain, dan Ali berada di belakang punggungnya, maka beliau pun memasukkannya ke dalam kain tersebut, lalu beliau berkata: “Ya Allah, mereka adalah keluargaku, maka hilangkanlah dari mereka kotoran dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya.”
Ummu Salamah berkata: “Aku bersama mereka, wahai Nabi Allah.” Beliau menjawab:  “Engkau tetaplah di tempatmu, engkau berada dalam kebaikan.” (HR. At-Tirmidzi, Bab Tafsir Surat Al-ahzab,no. 3129)
Hadits ini tidaklah menunjukkan bahwa Ummu Salamah tidak termasuk ke dalam ayat tersebut. Sebab ayat tersebut sangat jelas dalam konteks yang berkenaan tentang istri Nabi. Namun ketika Nabi hendak memasukkan ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain g, maka beliau membungkusnya dengan kain dan mengikutsertakan bersama istri Nabi dalam ayat tersebut. Sehingga Nabi tidak perlu menyertakannya dalam kain tersebut. Apalagi di dalam kain tersebut terdapat ‘Ali bin Abi Thalib -bukan mahram Ummu Salamah, red- Maka perhatikanlah hal ini. (lihat Tuhfatul Ahwadzi tentang syarah hadits ini)
Namun kaum Syi’ah Rafidhah tidak akan pernah berhenti dalam kedustaan mereka terhadap Ahlus Sunnah. Sehingga mereka menuduh bahwa Ahlus Sunnah telah mengubah ayat tersebut. Sebagaimana yang disebutkan salah seorang tokoh mereka yang bernama Al-Majlisi:
“Jangan-jangan pada ayat at-tath-hir tersebut mereka (para shahabat, pen.) meletakkannya pada tempat yang mereka sangka itu sesuai, lalu mereka pun memasukkannya dalam konteks pembicaraan yang ditujukan kepada para istrinya, untuk mendapatkan sebagian kemaslahatan dunia. Padahal telah nampak dari hadits bahwa hal itu tidak ada hubungannya dengan mereka.” (Al-Burhan, Abdullah bin Abdil Aziz An-Nashir: 1/2)
Kema’shuman Ahlul Bait
Kaum Syi’ah Rafidhah  telah mengklaim bahwa ayat ini diturunkan Allah berkenaan tentang Ashabul Kisaa` (mereka yang diselimuti Nabi dalam hadits yang lalu), dan bukan untuk istri Nabi. Lalu mereka membangun di atas keyakinan ini bahwa Ashabul Kisaa` adalah orang-orang yang terpelihara (ma’shum) dari dosa dan kesalahan, bahkan terpelihara dari kelalaian serta lupa. Sebab semua itu – menurut anggapan mereka– adalah rijs yang harus dihilangkan dari Ahlul Bait. Setelah itu mereka menyertakan para imam-imam sembilan yang lainnya sebagai para imam yang terpelihara dari dosa besar dan dosa kecil, kesalahan dan kekeliruan.
Ini adalah anggapan yang batil, ditinjau dari beberapa sisi:
1. Para Nabi adalah orang-orang yang jauh lebih mulia dari para Imam 12 tersebut. Bahkan ini berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh mereka sendiri dalam kitab mereka. Seperti apa yang diriwayatkan Al-Kulaini dari Hisyam Al-Ahwal dari Zaid bin ‘Ali: “Bahwa para nabi lebih mulia dari para imam.” Diriwayatkan pula oleh Ibnu Babuyah dari Ja’far Ash-Shadiq , menyatakan bahwa para nabi lebih dicintai Allah daripada ‘Ali.” (lihat Mukhtashar Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyyah, hal. 100)
Namun para nabi juga sebagai manusia biasa terkadang jatuh dalam kesalahan, lupa, dan lalai, sebagaimana yang telah diterangkan Allah dalam berbagai tempat dalam Al Qur`anul Karim. Bagaimana mungkin makhluk yang lebih rendah kedudukannya bisa terpelihara dari sesuatu yang menimpa orang yang lebih mulia dan lebih tinggi kedudukannya?
2. Apabila ayat ini menunjukkan kema’shuman Ahlul Bait, lalu Fathimah bintu Rasulillah termasuk dalam kedudukan yang mana? Nabi ataukah imam? Bukankah diapun termasuk yang ma’shum? Jika beliau tidak termasuk ke dalam salah satu dari keduanya, lalu mengapa beliau dijadikan sebagai wanita yang ma’shum, setingkat para nabi dan para imam menurut anggapan mereka?
3. Apabila ayat ini hanya diturunkan kepada ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, maka ayat ini bukanlah dalil yang menunjukkan kema’shuman para imam yang lainnya. Sebab ayat ini hanya ditujukan kepada Ashabul Kisaa` secara khusus. Namun apabila diambil keumuman kata “Ahlul Bait” untuk menetapkan kema’shuman para imam tersebut, maka ayat ini mencakup secara keseluruhan dari keturunan ‘Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan dan Husain g, maka kema’shuman tersebut tidak hanya terkhusus untuk para imam saja, namun keturunan Ahlul Bait yang lainnya pula.
4. Bahwa Allah tidaklah memerintahkan untuk merujuk dalam perkara-perkara yang diperselisihkan kecuali kepada Al Qur`an dan Sunnah Rasulullah. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa`: 59)
Kalaulah di sana ada yang ma’shum selain Rasulullah dalam menyampaikan perkara agama, tentunya akan dijelaskan oleh Allah.
5. Riwayat-riwayat yang dinukil dalam kitab-kitab Syi’ah sendiri dari para imam mereka menetapkan bahwa para imam tersebut juga terjatuh dalam kesalahan, kelalaian, kelupaan, dan yang semisalnya. Seperti apa yang mereka nukilkan sendiri dari ‘Ali bin Abi Thalib bahwa beliau berkata dalam salah satu khutbahnya:
“Maka janganlah kalian menahan diri dari berkata yang benar, atau bermusyawarah dengan cara adil, maka sesungguhnya aku tidak merasa pada diriku lebih daripada aku melakukan kesalahan,dan aku tidak merasa aman itu terjadi dari perbuatanku.” (Nahjul Balaghah, hal. 335)
Demikian pula –sebagaimana yang mereka riwayatkan– yang diucapkan oleh Abu Abdillah Ja’far Ash-Shadiq :
“Sesungguhnya kami berdosa,kemudian kami bertaubat kepada Allah dengan sebenar-benarnya.” (Biharul Anwar, 25/207)
Dan banyak lagi hal-hal yang seperti ini yang dinukil dalam kitab mereka sendiri. Para ulama menyebutkan bahwa keyakinan tentang kema’shuman para imam tersebut mulai muncul pada zaman Ja’far Ash-Shadiq, yang berasal dari para pendusta dan ahlul bid’ah seperti Hisyam bin Al-Hakam, dan Muhammad bin ‘Ali Al-Ahwal. Disebutkan oleh Muhibbuddin Al-Khathib ketika menjelaskan awal munculnya aqidah tentang kema’shuman Ahlul Bait:
“Orang yang paling awal memunculkan akidah sesat ini adalah seorang yang jahat, yang kaum muslimin menggelarinya setan atthaaq –syetan yang kuat– kaum Syi’ah menamainya ‘Orang yang beriman kepada keluarga Muhammad,’ dia bernama Muhammad bin ‘Ali Al-Ahwal.” (Ushul Madzhab Asy-Syi’ah, hal. 777)
Wallahul hadi ila sawaa`ish shirath (Allah-lah sang Pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus).
sumber http://asysyariah.com/ahlul-bait-dalam-al-quran-al-karim.html

ditulis oleh: Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
Kaum muslimin (baca: para shahabat) telah berijma’ bahwa khalifah pertama pengganti Rasulullah  adalah Abu Bakr Ash-Shiddiq. Namun ada sekelompok orang yang mengaku sebagai muslimin, tidak menerima keadaan ini. Orang-orang yang mengaku sebagai pecinta Ahlul Bait ini mengklaim bahwa Ali bin Abi Thalib lebih berhak menjadi khalifah dibanding Abu Bakr Ash-Shiddiq. Mereka adalah orang-orang Syi’ah. Uraian berikut mencoba membongkar berbagai kebohongan yang menjadi pijakan sikap mereka.
Ahlul Bait Mengakui Keabsahan Khilafah Abu Bakr Ash-Shiddiq
Syubhat terbesar kaum Syi’ah adalah meragukan keabsahan khilafah Abu Bakr Ash-Shiddik . Mereka menganggap dibai’atnya Abu Bakr adalah tidak sah, karena Ali dan keluarganya atau Ahlul Bait tidak diajak musyawarah, padahal Ali lebih berhak menjadi khalifah daripada Abu Bakr atau Umar . Demikianlah syubhat Syi’ah yang mereka hembuskan di mana-mana, dengan kalimat yang sama dari tokoh Syi’ah  yang berbeda-beda, bagaikan satu kaset yang diputar berulang-ulang.
Pemahaman sesat dari orang-orang Persia ini selalu mengatasnamakan Ahlul Bait dan menganggap pemahamannya sebagai “madzhab Ahlul Bait”. Sehingga yang paling mudah terbawa dengan pemahaman Syi’ah ini adalah orang-orang yang mengaku sebagai turunan Ali atau Alawiyyin, kecuali yang Allah rahmati. Ketika disampaikan kepada mereka bahwa Ahlul Bait terdzalimi bangkitlah emosi kekeluargaannya. Padahal apa yang disampaikan oleh kaum Syi’ah -yang merupakan jelmaan kaum Majusi Persia- adalah kedustaan yang nyata dan tidak memiliki bukti yang otentik.
Biasanya mereka mengambil riwayat-riwayat tersebut dari kitab yang paling terkenal di kalangan mereka yaitu Nahjul Balaghah, yang berisi ucapan-ucapan, khutbah-khutbah dan sya’ir-sya’ir yang semuanya diatasnamakan Ali bin Abi Thalib. Penulis buku tesebut mengesankan bahwa seakan-akan Ali tidak terima dengan keputusan para shahabat memilih Abu Bakr sebagai khalifah. Bahkan dinukil bahwa Ali mencaci dan mencerca Abu Bakr, Umar dan para shahabat yang lain. Namun sayang penulis buku tersebut tidak membawakan ucapan-ucapan Ali tersebut dengan sanadnya (rantai para rawi) sehingga tidak dapat diperiksa keotentikannya secara ilmiah dengan standar ilmu hadits.
Kitab ini -yang di kalangan kaum Syi’ah sejajar dengan Al-Qur’an- ternyata disusun dan dikarang oleh seorang tokoh sesat dari kalangan Syi’ah Imamiyyah Rafidah yang bernama Al-Murtadla Abi Thalib Ali bin Husain bin Musa Al-Musawi (meninggal th. 436 Hijriyah). Yang telah dinyatakan  oleh para Ulama Ahlus Sunnah sebagai pendusta atas nama Ali bin Abi Thalib . Al-Imam Adz-Dzahabi berkata ketika membahas biografi orang ini sebagai berikut: “Dia adalah penghimpun kitab Nahjul Balaghah yang menyandarkan kalimat-kalimat yang ada dalam kitab ini kepada Imam Ali tanpa disebutkan sanad-sanadnya. Sebagian kalimat itu batil, meskipun juga di dalamnya ada hal yang benar. Namun ucapan-ucapan palsu yang terdapat dalam kitab ini mustahil diucapkan oleh Al-Imam Ali.” (Siyar A’lamin Nubala`, 17/589-590)
Beliau juga berkata: “…Barangsiapa melihat buku Nahjul Balaghah, maka ia akan yakin bahwa ucapan-ucapan itu adalah dusta atas nama Amirul Mukminin Ali, karena di dalamnya terdapat caci-makian yang sangat jelas terhadap dua tokoh besar shahabat yaitu Abu Bakr dan Umar. Juga tedapat ungkapan-ungkapan yang kaku (menurut kaidah sastra Arab, pen.) bagi orang yang kenal jiwa bangsa Quraisy (dan tingginya bahasa mereka, pen.) dari kalangan para shahabat. Dan orang-orang setelahnya akan mengerti dengan yakin bahwa kebanyakan isi kitab tersebut adalah batil. (Mizanul i’tidal 3/124 Lisanul Mizan, 4/223)
Ibnu Sirin menilai bahwa seluruh apa yang mereka (kaum Syi’ah) riwayatkan dari Ali Radhiyallahu’anhu adalah kedustaan. (Al-‘Alamus Syamikh, hal. 237). Juga Al-Khathib Al-Baghdadi dalam kitabnya Al-Jami’ Li Akhlaqir Rawi wa Adabis Sami’ (juz 2 hal. 161) telah memberikan isyarat tentang kedustaan kandungan kitab ini.
Syaikhul Islam berkata: “… sebagian besar khutbah-khutbah yang dinukil penyusun kitab Nahjul Balaghah adalah dusta atas nama Ali Radhiyallahu’anhu. Beliau terlalu mulia dan terlalu tinggi kapasitasnya untuk berbicara dengan ucapan seperti itu. Tetapi mereka merekayasa kebohongan dengan beranggapan bahwa hal itu sebagai sanjungan (terhadap Ali, pent.). Sungguh Itu bukanlah kebenaran, apalagi merupakan sanjungan….” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, 8/55-56)
Sedangkan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah meriwayatkan dengan sanad dan sanad tersebut telah diteliti keshahihannya secara ilmiah ucapan-ucapan Ali  Radhiyallahu’anhu yang bertentangan dengan apa yang mereka riwayatkan 180 derajat. Di antaranya:
Pertama, riwayat yang menunjukkan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu’anhu setuju dengan keputusan para shahabat. Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Ibnu Sirin dari Ubaidah, bahwa ia mendengar Ali Radhiyallahu’anhu mengatakan:
“Putuskanlah sebagaimana kalian putuskan, sesungguhnya aku membenci perselisihan hingga manusia berada dalam satu jamaah atau lebih baik aku mati seperti para sahabat-sahabatku.” (HR. Al-Bukhari kitab Fadha`il Shahabah bab Manaqib Ali z dengan Fathul Bari juz 7 hal 424 no 2707)
Kedua, diriwayatkan pula secara mustafidh (dalam jumlah banyak) dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu’anhu sendiri, sebagaimana dalam Shahih Al-Bukhari dengan menyebutkan sanadnya sampai kepada Muhammad ibnul Hanafiyah :
“Aku bertanya kepada bapakku (yakni Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu’anhu): Siapakah manusia yang terbaik setelah Rasulullah ? Ia menjawab: “Abu Bakr”. Aku bertanya (lagi): “Kemudian siapa?” Ia menjawab: “Umar.” Dan aku khawatir ia akan berkata Utsman, maka aku mengatakan: “Kemudian engkau?” Beliau menjawab: “Tidaklah aku kecuali seorang dari kalangan muslimin.” (HR. Al-Bukhari, kitab Fadha`ilus Shahabah, bab 4 dan Fathul Bari juz 4/20)
Ketiga, Ibnu Taimiyah berkata bahwa riwayat yang seperti ini (yakni riwayat di atas) telah diriwayatkan dari Al-Imam Ali lebih dari 80 riwayat. Dan bahwasanya Ali ibnu Abi Thalib Radhiyallahu’anhu pernah berbicara di mimbar Kufah, mengancam orang-orang yang mengutamakan beliau di atas Abu Bakr dan Umar dengan cambukan seorang pendusta.
“Tidak didatangkan kepadaku seseorang yang mengutamakan aku diatas Abu Bakr dan Umar kecuali akan aku cambuk dengan cambukan seorang pendusta.”
Maka ketika itu seorang yang mengatakan beliau lebih utama dari Abu Bakr dan Umar dicambuk delapan puluh kali cambukan. (Majmu’ Fatawa, juz 4 hal. 422)
Keempat, Al-Imam Al-Bukhari juga meriwayatkan dengan sanadnya yang bersambung dan shahih sampai kepada Ibnu Abbas bahwa dia pernah menghadiri jenazah Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu’anhu, dia berkata yang artinya:
“Sungguh aku pernah berdiri di kerumunan orang yang bersama-sama mendoakan Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu’anhu yang telah diletakkan di atas pembaringannya. Tiba-tiba seseorang dari belakangku yang meletakkan sikunya di kedua pundakku berkata: “Semoga Allah merahmatimu (Umar), dan aku berharap agar Allah menggabungkan engkau bersama dua shahabatmu (Yakni Rasulullah  dan Abu Bakr) karena aku sering mendengar Rasulullah  bersabda: ‘Waktu itu aku bersama Abu Bakr dan Umar…’ ‘aku telah mengerjakan bersama Abu Bakr dan Umar…’, ‘aku pergi dengan Abu Bakr dan Umar…’. Maka sungguh aku berharap semoga Allah menggabungkan engkau dengan keduanya. Maka aku menengok ke belakangku ternyata ia adalah Ali bin Abi Thalib.” (HR. Al-Bukhari dalam Fadha`ilus Shahabah bab Manaqib Umar bin Al-Khaththab, 7/3685, 3677, dengan Fathul Bari)
Syarat Pemimpin adalah Quraisy, Bukan Ahlul Bait
Alasan lain kaum Syi’ah Rafidhah yang menganggap bahwa Ali lebih berhak menjadi khalifah adalah karena Ali termasuk keluarga Rasulullah . Alasan ini seperti alasan Yahudi yang mengatakan bahwa penguasa harus dari keluarga Dawud. Tidak ada satu pun dalil yang menyatakan bahwa kepemimpinan atau khilafah harus dari kalangan Ahlul Bait.
Syarat-syarat seorang untuk layak menjadi pemimpin sangat jelas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di antaranya syarat umum yang harus ada pada seorang pemimpin adalah Islam, baligh, berakal, merdeka (bukan hamba sahaya), laki-laki dan berilmu. Kemudian syarat-syarat khusus yaitu sifat-sifat yang harus ada pada seorang pemimpin yaitu keadilan, kesempurnaan mental, kesempurnaan fisik  seperti ucapan Allah tentang Thalut yang Allah I angkat menjadi pemimpin:
Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” Mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang dia pun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” Nabi (mereka) berkata:
“Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 247)
Juga harus ada pada seorang pemimpin sifat keshalihan dan ketaqwaan, karena Allah I akan mewarisi bumi ini untuk orang-orang yang shalih:
“Sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur,  sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini akan diwariskan kepada hamba-hamba-Ku yang shalih.” (Al-Anbiya`: 105)
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)
Oleh karena itu ketika Allah menjadikan Ibrahim sebagai imam dan Ibrahim meminta keturunannya juga menjadi pemimpin, Allah  menyatakan bahwa kepemimpinan tidak akan diberikan kepada orang-orang dzalim dari keturunannya.
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Rabbnya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman:
‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.”
Allah berfirman:
“Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang dzalim.”  (Al-Baqarah: 124)
Ibnu Katsir t berkata mengutip ucapan Mujahid dalam menafsirkan ayat ini: “Artinya adalah: Adapun orang-orang yang shalih dari mereka maka Aku (Allah) akan jadikan mereka sebagai pemimpin. Adapun orang yang dzalim dari mereka, maka Kami tidak akan menjadikannya sebagai pemimpin dan Kami tidak peduli.” (Tafsir Ibnu Katsir, juz I, hal. 167)
Dengan demikian berarti kepemimpinan itu didapat bukan karena faktor keturunan, tetapi karena faktor keshalihan. Disamping itu, juga sifat yang harus ada agar seseorang layak menjadi pemimpin adalah kesabaran dan keyakinan yang tinggi. Allah  juga berfirman:
“Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (As-Sajdah: 24)
Sedangkan syarat terakhir dari seorang pemimpin adalah Qurasyiyah (turunan Quraisy). Tentunya syarat ini adalah setelah syarat-syarat tadi di atas. Maka kalaupun turunan Quraisy, jika memiliki kekurangan-kekurangan dari sifat-sifat di atas, tentunya juga tidak layak menjadi pemimpin atau khalifah. Namun jika ada beberapa orang yang memiliki syarat-syarat di atas dan di antara mereka ada seorang turunan Quraisy , maka tentu saja yang paling layak untuk menjadi seorang pemimpin adalah dari turunan Quraisy .
Rasulullah  menyatakan bahwa  khalifah itu seluruhnya dari kaum Quraisy, sebagaimana dalam hadits:
“Dari Jabir bin Samurah z, ia berkata: Aku masuk bersama ayahku menemui Rasulullah n, maka aku mendengar beliau berkata: “Sesungguhnya urusan ini tidak akan lenyap hingga berakhir di antara mereka dua belas khalifah”. Kemudian beliau berbicara dengan ucapan yang tersamar atasku. Maka aku bertanya kepada ayahku: “Apa yang dikatakan oleh beliau?” Ia menjawab: “Seluruhnya dari kalangan Quraisy.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dengan riwayat yang shahih ini jelaslah bahwa  pemimpin tidak harus dari kalangan Ahlul Bait. Tetapi Rasulullah hanya mengatakan Quraisy. Maka setelah itu para ulama semuanya sepakat bahwa syaratnya hanya Qurasyiyah, baik dari Ahlul Bait ataupun tidak.
Al-Imam Ahmad t berkata: “Khilafah ada pada Quraisy, walaupun manusia hanya tersisa dua orang. Dan tidak seorang pun dari manusia yang berhak untuk merebutnya dari mereka. Tidak keluar dari mereka dan kami tidak menetapkannya untuk selain mereka sampai hari kiamat.” (Thabaqat Hanabilah, Ibnu Abi Ya’la; Lihat kitab Imamatul ‘Uzhma, Ad-Damiji, hal.  269)
Demikian pula Al-Imam Asy-Syafi’i t menetapkan syarat ini dalam kitabnya Al-Umm juz 1, hal. 143.
Al-Imam Malik t berkata: “Tidaklah menjadi seorang imam kecuali orang Quraisy.” (Ahkamul Qur’an, Ibnul ‘Arabi, juz IV, hal. 1721; lihat Imamatul Udhma, hal. 269)
Tidak ada yang menyelisihi pendapat ini, kecuali beberapa kelompok sempalan seperti Khawarij, Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Sedangkan kaum Syi’ah Rafidhah menyempitkannya dan menganggap bahwa yang dimaksud Quraisy adalah Ahlul Bait.
Orang-orang Syi’ah Rafidhah dari sekte Imamiyah atau Itsna Atsariyyah meyakini bahwa kepemimpinan setelah Rasulullah  harus dari kalangan Ahlul Bait yaitu Ali bin Abi Thalib, kemudian kepada Al-Hasan, kemudian Al-Husain kemudian terus kepada turunan Al-Husain hingga berakhir dengan Al-Mahdi Al-Muntazhar (Al-Mahdi yang ditunggu) yang dianggapnya Muhammad bin Al-Hasan Al-Askari yang sudah lahir dan masuk gua, kemudian ditunggu keluarnya sampai hari ini. Padahal sekian banyak hadits seluruhnya menyatakan dari Quraisy, dan tidak ada satu pun riwayat yang menyatakan dari Ahlul Bait.
Tidak Ada Wasiat Khilafah untuk Ali bin Abi Thalib
Di antara alasan kaum Syi’ah menganggap Ali lebih berhak menjadi khalifah adalah riwayat-riwayat  tentang wasiat.  Padahal Rasulullah n wafat dengan tidak memberikan wasiat apapun, kepada siapapun, kecuali dengan Al-Qur’an.
Diriwayatkan di dalam dua kitab Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Thalhah ibnu Musharrif:
Aku bertanya kepada Abdullah ibnu Abi Aufa: “Apakah Nabi memberikan wasiat? Beliau menjawab: “Tidak.” Maka saya katakan: “Kalau begitu bagaimana dia menuliskan buat manusia pesan-pesannya atau memerintahkan wasiatnya?” Dia menjawab: “Beliau mewasiatkan dengan Kitabullah.” (HR. Al-Bukhari; Fathul Bari juz 5 hal. 356, hadits 2340; dan Muslim dalam Kitabul Washiyyah juz 3 hal. 1256, hadits ke-16)
Demikian pula diriwayatkan dari Ummul Mukminin ‘Aisyah yang tentunya sebagai istri Rasulullah, yang beliau meninggal di pangkuannya, tentunya lebih tahu apakah Rasulullah  berwasiat atau tidak. Dia berkata dalam riwayat Muslim:
“Rasulullah n  tidak meninggalkan dirham; tidak pula dinar, tidak seekor kambing, tidak pula seekor unta dan tidak mewasiatkan dengan apa pun.” (HR. Muslim, dalam Kitabul Washiyyah, juz 3, hal. 256, hadits ke 18)
Dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim lainnya dari Aswad bin Yazid, dia berkata:
“Mereka menyebutkan di sisi ‘Aisyah bahwa Ali adalah seorang yang mendapatkan wasiat. Maka beliau (Aisyah) berkata: “Kapan Rasulullah  berwasiat kepadanya, padahal aku adalah sandaran beliau ketika beliau bersandar di dadaku -atau ia berkata:  pangkuanku- kemudian beliau meminta segelas air, tiba-tiba beliau terkulai di pangkuanku, dan aku tidak merasa ternyata beliau sudah meninggal, maka kapan dia berwasiat kepadanya?” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Demikianlah riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah tidak berwasiat ketika wafat sangat banyak, sehingga para shahabat seluruhnya memahami bahwa wasiat beliau secara umum adalah Al-Qur’an.
Diriwayatkan pula bahwa di antara keluarga Rasulullah yaitu Ibnu Abbas  menyatakan pula kekecewaannya, karena Rasulullah tidak sempat berwasiat disebabkan silang pendapat di antara Ahlul Bait. Sebagian menyatakan cukup Al-Qur’an karena Rasulullah sedang dalam keadaan sakit yang parah. Sedangkan sebagian yang lain, mengharapkan Rasulullah menulis wasiat, hingga datanglah ajal beliau dalam keadaan belum sempat memberikan wasiat. Maka Ibnu Abbas  berkata:
“Sesungguhnya kerugian dari segala kerugian adalah terhalangnya Rasulullah untuk menulis wasiat kepada mereka, karena perselisihan dan silang pendapat mereka.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Maghazi, bab Maradhun Nabi; Fathul Bari, juz 8, hal. 132 no. hadits 4432; Muslim dalam Kitabul Washiyyah, bab Tarkul Wasiat Liman Laisa Lahu Syai`un Yuushi bihi, juz 3 hal. 1259, no. 22)
Dalam memandang kejadian ini, Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak berburuk sangka kepada para shahabat, apalagi kepada Ahlul Bait dan keluarga dekat Nabi . Karena kedua belah pihak mengharapkan kebaikan. Sebagian mengharapkan ditulisnya wasiat untuk kebaikan umat, dan sebagian keluarga beliau merasa Rasulullah  dalam keadaan sedang merasakan sakit yang berat, maka tidak perlu diganggu, sedangkan kaum muslimin sudah memiliki Al-Qur’an sebagai wasiat Rasulullah.
Sebaliknya, kaum Syi’ah Rafidhah  menjadikan riwayat ini sebagai ajang pencaci-makian terhadap para shahabat. Mereka mengira bahwa perbuatan para shahabat adalah untuk menghalangi wasiat kepada Ali bin Abi Thalib dan untuk merebut tampuk kepemimpinan, untuk kemudian diberikan kepada Abu Bakr Ash-Shiddiq. Ucapan mereka jelas batil dan dusta, karena Abu Bakr sendiri ketika itu tidak ada di sana, beliau berada di daerah Sunh -di pinggiran kota Madinah- yaitu di rumah salah satu istrinya.  Bahkan ucapan mereka ini justru mencerca dan mencela Ahlul Bait sendiri, karena yang berkumpul di sana ketika itu kebanyakan adalah keluarga dekat beliau. Maka mereka tidak pantas disebut pecinta Ahlul Bait. Lihatlah dalam riwayat yang lebih lengkap sebagai berikut:
Dari Ibnu Abbas , bahwasanya Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu’anhu keluar dari sisi Rasulullah ketika sakitnya beliau menjelang wafatnya. Maka manusia berkata: “Wahai Abal Hasan (yakni Ali), bagaimana keadaan Rasulullah ?” Beliau menjawab: “Alhamdulillah, baik.” Maka Abbas bin Abdil Muththalib (paman Rasulullah ) memegang tangan Ali bin Abi Thalib, kemudian berkata kepadanya: “Engkau demi Allah setelah tiga hari menjadi orang yang dipimpin. Sungguh aku mengerti bahwa Rasulullah  akan wafat dalam sakitnya ini, karena aku mengenali wajah-wajah anak cucu Abdul Muththalib ketika akan wafatnya. Mari kita menemui Rasulullah  untuk menanyakannya, kepada siapa urusan ini dipegang? Kalau diserahkan kepada kita, maka kita mengetahuinya. Dan kalau pun untuk selain kita maka kitapun mengetahuinya dan beliau akan memberikan wasiatnya.” Maka Ali bin Abi Thalib menjawab: “Demi Allah, sungguh kalau kita menanyakannya kepada Rasulullah kemudian tidak beliau berikan kepada kita, maka manusia tidak akan memberikan kepada kita selama-lamanya. Dan sesungguhnya aku demi Allah tidak akan memintanya kepada Rasulullah n.” (HR. Al-Bukhari, Kitabul Maghazi, bab Maradhun Nabiyyi wa wafatihi; Fathul Bari, 8/142, no. 4447)
Dr. Ali bin Muhammad Nashir Al-Faqihi berkata: “Tidak cukupkah nash ini untuk membantah Rafidhah  yang mengatakan bahwa Rasulullah mewasiatkan kepada Ali bin Abi Thalib dengan khilafah? Kedustaan mereka jelas dengan hadits ini dari beberapa sisi:
Pertama, penolakan Ali untuk meminta khilafah atau menanyakannya.
Kedua, bahwa kejadian tersebut pada waktu wafatnya Rasulullah  (yang membuktikan beliau tidak berwasiat).
Ketiga, kalau saja ada nash (wasiat) sebelum itu untuk Ali  tentu dia akan menjawab kepada Abbas z, “Bagaimana kita menanyakan untuk siapa urusan ini, padahal dia telah mewasiatkannya kepadaku?” (Kitab Al-Imamah war Radd ‘Ala Rafidhah, Abu Nu’aim Al-Ashbahani dengan tahqiq Dr. Ali bin Muhammad Nashir Al-Faqihi dalam footnote-nya hal. 237-238; Lihat Badzlul Majhuud Fi Musyabahatir Rafidhah  bil Yahuud, juz I hal. 191, Abdullah bin Jumaili)
Sungguh sangat jelas sekali dengan riwayat ini, bahwa yang menolak untuk meminta wasiat justru Ali bin  Abi Thalib  sendiri. Tentunya banyak riwayat-riwayat lain tentang kejadian ini dan memang ketika itu beberapa hadirin ikut berbicara sehingga suasana menjadi ramai dan berakhir dengan wafatnya Rasulullah dengan tidak memberikan wasiat apapun tentang khilafah kepada siapa pun.
Bahkan diriwayatkan dari Aisyah kalau pun Rasulullah n memberi wasiat, niscaya beliau akan mewasiatkan penggantinya kepada Abu Bakr Ash-Shiddiq :
“Dari ‘Aisyah, ia berkata; Rasulullah  berkata kepadaku: “Panggillah Abu Bakr, ayahmu dan saudaramu, sehingga aku tulis satu tulisan (wasiat). Sungguh aku khawatir akan ada seseorang yang menginginkan (kepemimpinan, -pent.), kemudian seseorang berkata: “Aku lebih utama.” Kemudian beliau bersabda: “Allah dan orang-orang beriman tidak meridhai kecuali Abu Bakr.” (HR. Muslim 7/110 dan Ahmad (6/144); Lihat Ash-Shahihah, juz 2, hal. 304, hadits no. 690)
Terus bagaimana mereka -kaum Syi’ah tersebut- menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib mendapatkan wasiat untuk menjadi khalifah setelahnya, ketika di Ghadir Khum? Mengapa mereka tidak menanyakannya kepada Ali bin Abi Thalib sendiri, padahal mereka mengaku pecinta Ahlul Bait?!
Kalau mereka benar-benar cinta kepada Ahlul Bait dan mengaku pengikut setia Ahlul Bait khususnya Ali bin Abi Thalib z, maka dengarkanlah riwayat-riwayat dari beliau dengan sanad yang shahih sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Abu Thufail bahwa Ali z ditanya apakah Rasulullah n mengkhususkanmu dengan sesuatu? Maka Ali berkata: “Rasulullah n   tidak menghususkan aku dengan sesuatu pun yang beliau tidak menyebarkannya kepada manusia, kecuali apa yang ada di sarung pedangku ini. Kemudian beliau mengeluarkan lembaran dari sarung pedangnya yang tertulis padanya: Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah… “ (HR. Muslim)
Wallahu a’lam.


1 Ahlul bid’ah biasa mencampurkan kebenaran dengan kebatilan untuk menipu kaum muslimin. Maka kebenaran yang ada dalam buku tersebut merupakan umpan agar diterima kedustaan-kedustaan yang ada di dalamnya, pen.
sumber http://asysyariah.com/khilafah-tidak-mesti-pada-ahlul-bait.html