Tuesday, August 12, 2014

Kritik Atas Tafsir Al-Mishba [bagian 1 ]

Kritik Atas Tafsir Al-Mishba
artikel lain :
Quraish Shihab, Tokoh Tafsir yang Akrab Dengan Kontroversi

Majalah Al-Furqon terbitan Ma’had Al-Furqon, Sidayu, Gresik, Jawa Timur, memuat tulisan Kritik Atas Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish Shihab. Kritikan itu dimuat pada edisi 09 tahun ke-8, Rabi’uts Tsani 1430H/ April 2009M halaman 41-44, dengan cover berjudul Di Balik Istilah Pemikiran Islam.
Masalah Quraish Shihab menyebarkan pendapat bolehnya katup jantung babi dijadikan pengganti katup jantung manusia dikritik pula dalam majalah ini. Krikitkan selengkapnya sebagai berikut:
Kritik Atas Tafsir Al-Mishbah
Oleh Ustadz Abu Ahmad as-Salafi hafidhahullah
Telah masuk kepada kami pertanyaan dari sebagian pembaca AL-FURQON perihal buku Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an karya M. Quraish Shihab.
 Atas kehendak Alloh telah sampai kepada kami volume yang ketiga daripada Tafsir tersebut yang berisi tafsir Surat Al-Ma’idah. Setelah kami telaah ternyata ada hal-hal yang perlu kami luruskan dan ada syubhat-syubhat yang perlu kami jelaskan.
Sebab itu, dalam pembahasan kali ini insya Alloh kami berusaha melakukan telaah kritis terhadap Volume Ketiga daripada Tafsir ini sebagai awal telaah terhadap Tafsir ini secara keseluruhan.
Penulis dan Penerbit Buku Ini
Buku ini ditulis oleh Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, MA dan diterbitkan oleh Penerbit Lentera Hati Ciputat Tangerang cetakan kelima Februari 2006M/ Muharrom 1427H.
Katup Jantung Babi Pengganti Katup Jantung Manusia
Penulis berkata dalam halaman 16 pada tafsir Surat al-Ma’idah ayat 3:
Atas dasar ini pula agaknya kita dapat berkata bahwa penggunaan katup jantung babi sebagai pengganti katup jantung manusia yang sakit dapat dibenarkan, karena tidak digunakan untuk dimakan. (halaman 16).
Kami katakan:
Imam Al-Qurthubi berkata dalam Al-Jami’li Ahkamil Qur’an 2/ 222:
{ ولحم الخنزير } خص الله تعالى ذكر اللحم من الخنزير ليدل على تحريم عينه ذكي أو لم يذك
“Dan ‘daging babi’ Allah khususkan penyebutan ‘daging’ dari babi untuk menunjukkan atas keharamanzatnya dalam keadaan disembelih atau tidak disembelih.”
Beliau juga berkata di dalam Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an 2/223: “Tidak ada khilaf (beda pendapat) bahwaseluruh tubuh babi haram kecuali bulunya maka sesungguhnya boleh digunakan untuk menjahit kulit.”
Nukilan di atas menunjukkan bahwa para ulama sepakat atas haramnya seluruh tubuh babi –termasuk katup jantungnya— selain bulunya. Tentang bulu babi atau babi hutan, Imam Al-Khoththobirahimahullah berkata: “Para ulama berbeda pendapat tentang menggunakan bulu babi. Sekelompok ulama memakruhkannya. Di anara yang melarangnya adalah Ibnu Sirin, Al-Hakam, Hammad, As-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Ahmad dan Ishaq berkata: ‘Sabut lebih kami sukai’. Sedangkan Hasan, Al-Auza’i, Malik, dan Ashabur Ra’yi memberi keringanan padanya.” (Aunul Ma’bud: 9/ 273).
Masalah Tawassul
Penulis berkata dalam halaman 88 di dalam tafsir ayat 35 dari Surat Al-Maidah:
Ayat ini dijadikan oleh sementara ulama sebagai dalil yang membenarkan apa yang diistilahkan dengan tawassul –yakni mendekatkan diri kepada Allah dengan menyebut nama Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam dan para wali (orang-orang yang dekat kepadanya), yakni berdoa kepada Allah guna meraih harapan demi Nabi dan atau para wali yang dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala. Sementara orang – tulis As-Sy’rawi— mengkafirkan orang-orang yang bertawassul. Tentu saja, bila ia percaya bahwa sang wali memberinya apa yang tidak diizinkan Allah atau apa yang tidak wajar diperolehnya, maka hal ini terlarang. Tetapi, jika ia bermohon kepada Allah dengan didasari kecintaannya kepada siapa yang ia yakini lebih dekat kepada Allah daripada dirinya, maka ketika itu cintanya yang berperanan bermohon, dan dalam saat yang sama ia yakin tidak akan memperoleh dari Allah sesuatu yang tidak wajar diperolehnya. Setelah menjelaskan hal di atas, Mutawalli As-Sya’rawi, ulama Mesir kontemporer kenamaan itu, mengemukakan sebuah hadits yang juga seringkali dijadikan oleh para ulama sebagai alasan pembenaran wasilah/ tawassul. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, dan An-Nasai bahwa Umar bin Khaththab berkata: “Pada masa Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam, jika kami kekeringan karena hujan tak turun, kami bertawassul dengan (menyebut nama) Nabi kiranya hujan turun. Setelah Nabi wafat, kami betwasassul dengan menyebut nama Al-‘Abbas paman Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam.
Kami katakan:
 Penulis menukil perkataan Mutawalli As-Sya’rawi di atas dan tidak memberikan sanggahan terhadapnya, adalah sekurang-kurangnya ada dua poin yang menjadi catatan bagi perkataan Mutawalli As-Sya’rawi di atas:
Pertama: Definisi tawassaul menurut As-Sya’rawi adalah: “mendekatkan diri kepada Allah dengan menyebut nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para wali (orang-orang yang dekat dengan-Nya), yakni berdoa kepada Alloh guna meraih harapan demi Nabi dan atau para wali yang dicintai oleh AllohSubhanahu wa Ta’ala.” Definisi ini definisi yang sempit karena seakan-akan yang disebut tawassulhanyalah hal itu saja. Yang benar, tawassul adalah “melakukan hal-hal yang bisa mendekatkan diri kepada Allah” sebagaimana dikatakan oleh Mujahid, Abu Wail, Hasan Al-Bashri, Abdullah bin Katsir, As-Suddi, Ibnu Zaid dan lain-lain. Al-Hafidh Ibnu Katsir menukil perkataan para imam tersebut kemudian berkata: “Yang dikatakan oleh para imam di atas tidak menimbulkan beda pendapat di kalangan ahli tafsir.” (Tafsir Ibnu Katsir: 2:52-53).
Kemudian yang perlu diketahui, tidak semua tawassul dibolehkan..Tawassul ada yang disyari’atkan dan ada yang dilarang.
Tawassul yang disyari’atkan adalah tawassul sebagaimana yang diperintahkan oleh Al-Qur’an, diteladankan oleh Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dipraktekkan oleh para sahabat. Di antara tawassul yang disyari’atkan:
1. Tawassul dengan nama-nama Allah, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
وَلِلّهِ اْلأَسْمَاءُ اْلحُسْنَى فَادْعُوْهُ بِهَا
Hanya milik Allah Asmaa-ul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaa-ul Husna itu…. (QS Al-A’raf / 7: 180).
2. Tawassul dengan sifat-sifat Allah sebagaimana do’a Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam:
« يَا حَىُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ ».
Wahai Dzat yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluq-Nya), dengan rahmatMu aku mohon pertolongan.” (HR At-Tirmidzi dalam Jami’nya: 5/ 539 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalamShohihul Jami’ : 4777).
3. Tawassul dengan amal sholih, sebagaimana tersebut dalam kitab Shohih Muslim (4/2099) sebuah riwayat mengisahkan tiga orang yang terperangkap di dalam guwa. Lalu masing-masing bertawassul dengan amal sholihnya. Orang pertama bertawassul dengan amal sholihnya berupa memelihara hak buruh. Orang kedua dengan baktinya kepada kedua orang tua. Orang yang ketiga bertawassul dengan takutnya kepada Alloh, sehingga menggagalkan perbuatan keji yang hendak ia lakukan. Akhirnya Alloh membukakan pintu guwa itu dari batu besar yang menghalanginya, hingga mereka bertiga selamat. Imam Muslim mebawakan riwayat tersebut di bawah judul: Bab Kisah Tiga Orang yang Terperangkap dalam Guwa dan Tawassul dengan Amal yang Sholih.
4. Tawassul dengan memohon do’a kepada para nabi dan orang-orang shalih yang masih hidup, sebagaimana tersebut dalam riwayat, bahwa seorang buta datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang itu berkata: “Ya Rosululloh, berdoalah kepada Alloh agar menyembuhkanku (sehingga bisa melihat kembali).” Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Jika engkau menghendaki aku akan berdoa untukmu dan jika engkau menghendaki bersabar adalah lebih baik bagimu.” Ia (tetap) berkata: “Doakanlah.” Lalu Rosululloh shallallohu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya berwudhu secara sempurna, lalu sholat dua raka’at, selanjutnya beliau menyuruhnya berdoa dengan mengatakan:
اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُك وَأَتَوَجَّهُ إلَيْك بِنَبِيِّك مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إنِّي أَتَوَجَّهُ بِك إلَى اللَّهِ فِي حَاجَتِي هَذِهِ فَتُقْضَى لِي وَتُشَفِّعُنِي فِيهِ وَتُشَفِّعُهُ فِيَّ قَالَ فَفَعَلَ الرَّجُلُ فَبَرِئَ
“Ya Alloh seungguhnya aku memohon kepadaMu, dan aku menghadap kepadaMu dengan (perantara) NabiMu, seorang Nabi yang membawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap dengan (perantara)mu kepada Tuhanku dalam hajatku ini, agar dipenuhi-Nya untukku. Ya Alloh jadikanlah ia pemberi syafa’at kepadaku, dan berilah aku syafaat (pertolongan) di dalamnya.” Ia (rowi hadits) berkata: “Laki-laki itu kemudian melakukannya sehingga ia sembuh. (HR Ahmad dalam Musnadnya: 4/ 138 dan At-Tirmidzi dalam Jami’nya, dan dia berkata: “hasan shohih ghorib”, dan dishohihkan oleh Al-Hakim dalam Mustadrok: 1/ 458, dan disetujui oleh Adz-Dzahabi dan Al-Albani dalam Shahihul Jami’: 1279).
Adapun Tawassul yang dilarang adalah tawassul yang tidak ada dasarnya dalam agama Islam, seperti: tawassul dengan orang-orang mati (sebagaimana disebutkan oleh As-Sya’rawi tadi), meminta hajat dan memohon pertolongan kepada mereka, tawassul dengan jah (kemuliaan) Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya, ucapan mereka: “Wahai Tuhanku, dengan kemuliaan Muhammad, sembuhkanlah aku” adalah perbuatan bid’ah. Sebab para sahabat tidak melakukan hal tersebut.
Tawassul bid’ah ini bisa menyebabkan kemusyrikan. Yaitu jika ia mempercayai bahwa Alloh membutuhkan perantara sebagaimana yang berlaku pada seorang pemimpin atau penguasa. Sebab kalau demikian, ia menyamakan Tuhan dengan makhluq-Nya. Para imam banyak yang mengingkari tawassul-tawassul bid’ah ini. Imam Abu Hanifah rahimahulloh berkata: “Tidak selayaknya bagi seorang pun berdoa kepada Alloh kecuali dengan-Nya, aku membenci jika dikatakan: ‘Dengan ikatan-ikatan kemuliaan dari arsy-Mu, atau dengan hak makhluq-Mu’.” Hal senada juga dikatakan oleh Imam Abu Yusuf. (Lihat Fatawa Hindiyyah: 5/ 280).
Kedua: Hadits tentang tawassul Umar, teksnya adalah begini:
عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا – صلى الله عليه وسلم – فَتَسْقِينَا ، وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا . قَالَ فَيُسْقَوْنَ .
Dari Anas bahwasanya Umar bin Khoththob radhiyallahu ‘anhu jika terjadi kekeringan maka bertawassul dengan (do’a) al-Abbas bin Abdul Muththalib radhiyallahu ‘anhu. Umar berkata: “Ya Alloh, dahulu kami bertawassul dengan Nabi kami hingga Engkau menurunkan hujan kepada kami. Dan sekarang kami bertawassul dengan pamannya Nabi kami, maka turunkan hujan kepada kami!” kemudian turunlah hujan.(HR. Bukhari: 4/ 99 no. 954 dan lain-lain).
Maksud bertawassul dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan “bertawassul dengan menyebut nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam“ sebagaimana disebutkan oleh penulis (M. Quraish Shihab) di atas atau dengan kedudukannya. Akan tetapi, maksudnya adalah bertawassul dengan do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana di dalam riwayat Mustakhraj al-Ismaili (dalam Fathul Bari: 2/495) terhadap hadits ini dengan lafazh;
” كَانُوا إِذَا قَحَطُوا عَلَى عَهْد النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَسْقَوْا بِهِ ، فَيَسْتَسْقِي لَهُمْ فَيُسْقَوْنَ فَلَمَّا كَانَ فِي إِمَارَة عُمَر ” فَذَكَرَ الْحَدِيث .
Pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam para sahabat meminta hujan dengan perantaraan Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengalami kekeringan (kemarau panjang ), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memintakan hujan kepada Alloh untuk mereka. Kemudian mereka diberi hujan . Pada zaman pemerintahan Umar …….. (dan menyebut hadits di atas ).
 Demikian juga bertawassul dengan al – ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu juga bukan menyebut namanya atau dengan jah (kemuliaan) al – ‘Abbas melainkan dengan do’anya sebagaimana dikatakannya oleh al- Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fatahul Bari 2/497 ; “ Zubair bin Bakkar dalam al- Ansab telah menjelaskan sifat do’a al-‘Abbas dalam kejadian ini.” Kemudian beliau sebutkan do’a al-Abbas pada waktu itu .
Manusia Bebas Menganut Keyakinan ?
Penulis berkata di dalam hlm .112 di bawah tafsir ayat 48 dari Surat al- Ma’idah:
Melalui tuntunan syari’at itu, kamu semua berlomba–lombalah dengan sungguh-sungguh berbuat aneka kebajikan, dan jangan menghabiskan waktu atau tenaga untuk memperdebatkan perbedaan dan perselisihan yang terjadi antara kamu dan selain kamu, karena pada akhirnya,hanya kepada Allahlah tidak kepada siapapun selainNya kembali kamu semuanya wahai manusia , lalu Dia memberi tahukan kepada kamu pemberitahuan yang jelas serta pasti apa yang kamu telahterus menerus berselisih dalam menghadapinya, apapun perselisihan itu, termasuk perselisihanmenyangkut kebenaran keyakinan dan praktek–praktek agama masing–masing.
Kami katakan:
Pernyataan penulis di atas mengesankan bahwa Alloh memberikan kebebasan kepada manusia untuk berkeyakinan karena toh semuanya akan kembali kepada Alloh. Padahal tidak demikian karena ada kalimat di dalam ayat yang ditinggalkan oleh penulis yaitu وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ (Tetapi Dia hendak menguji kalian terhadap apa yang diberikan–NYA kepada kalian). al-Hafizh Ibnu Katsir menjelaskan: “Bahwasanya Alloh Ta’ala menjadikan sayari’at-syari’at yang bermacam–macam untuk menguji hamba–hamba–Nya pada apa yang Alloh syari’atkan atas mereka dan memberikan pahala kepada mereka atas ketaatannya kepada-Nya atau menghukum mereka atas kemaksiatan kepada-Nya .” (Tafsir Ibnu Katsir : 2/84 )
Kemudian pada hlm . 114 penulis berkata :
Kata لَوْ lauw/ sekiranya dalam firmanNYA : لَوْ شَاءَ اللَّهُ lauw sya’a Allah / sekiranya Allah menghendaki, menunjukkan bahwa hal tersebut tidak dikehendakiNya, karena kata lauw, tidak digunakan kecuali untuk mengandaikan sesuatu yang tidak mungkin terjadi, yakni mustahil . Ini berarti, Allah tidak menghendaki menjadikan manusia semua sejak dahulu hingga kini satu umat saja, yakni satu pendapat, satu kencenderungan, bahkan satu agama dalam segala prinsip dan rinciannya. Karena jika Allah swt menghendaki demikian, Dia tidak akan memberi manusia kebebasan memilah dan memilih, termasuk kebebasan memilih agama dan kepercayaan. Kebebasan memilah dan memilih itu, dimaksudkan agar manusia dapat berlomba-lomba dalam kebajikan, dan dengan demikian akan terjadi kreativitas dan peningkatan kualitas, karena hanya dengan perbedaan dan perlombaan yang sehat, kedua hal itu akan tercapai.
Kami katakan:
Alloh memerintahkan kepada hamba-hamba–Nya untuk memilih jalan yang satu yaitu yang haq, dan bukan memberi kebebasan kepada mereka untuk memilih semua jalan, Syaikh Muhammad bin Sholih al–Utsaimin berkata: “Barang siapa berkeyakinan bahwa boleh hukumnya bagi seseorang untuk menganut agama apa saja yang dia kehendaki dan bahwa dia bebas di dalam memilih agamanya; maka dia telah kafir karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
( وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ ) [ آل عمران: 85]
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. ( QS , Ali Imron [ 3 ] :85 )
Dan firman –NYA:
إِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللهِ اْلإِسْلاَمِ
Sesungguhnya agama ( yang diridhoi ) di sisi Alloh hanya lah Islam …….( QS . Ali Imron [3] : 85 )
Oleh karena itu, tidak boleh seseorang berkeyakinan bahwa agama selain Islam adalah boleh, bagi manusia boleh beribadah melaluinya. Bahkan bila dia berkeyakinan seperti ini, maka para ulama telah secara jelas–jelas menyatakan bahwa dia telah kafir yang mengeluarkan dari agama ini (Islam) . ( lihat Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Fadhilah asy-Syaikh Ibn Utsaimin juz 3 hlm . 99-100)
Mentakwil Sifat Mahabbah
Penulis berkata di dalam hlm. 130:
Cinta Allah kepada hamba-Nya, dipahami oleh pakar-pakar Al – Qur’an dan Sunnah dalam arti limpahan kebaikan dan anugerah-Nya.
Kami katakan:
Penulis telah melakukan penolakan (ta’ thil ) sifat mahabbah (kecintaan) bagi Alloh dan memalingkannya kepada limpahan kebaikan dan anugrah–Nya, karena yang benar sebagaimana dipahami oleh Ahlu Sunnah wal Jama’ah bahwa Alloh memiliki sifat mahabbah ( kecintaan ) sesuai dengan keagungan-Nya tidak sama dengan sifat kecintaan dari para makhluk-Nya .
Penulis Tafsir Fathul Qodir (1/333) menafsirkan mahabbah di atas dengan anugerah nikmat dan ampunan. Namun, penafsiran ini dikomentari oleh Syaikh Muhammad al- Khummais: “Ini adalah tafsir dengan lazim (keharus)nya . Yang benar adalah jalan yang ditempuh oleh salaful ummah (pendahulu umat) dengan menetapkan sifat mahabbah bagi Alloh sesuai dengan keagungan–Nya . “ (‘Adzbul Ghodir fi Bayani Takwilat fi Kitab Fathul Qodir halaman 8.)
Penutup
 Demikianlah penjelasan atas sebagian kesalahan – kesalahan dan syubhat – syubhat buku ini yang bisa kami paparkan. Sebetulnya masih banyak hal – hal lainya belum kami bahas mengingat keterbatasan tempat. Semoga sedikit yang kami paparkan di atas bisa menjadi pelita bagi kita dari kesamaran syubhat – syubhat buku ini dan semoga Alloh selalu menunjukkan kita ke jalan – Nya yang lurus dan dijauhkan dari jalan –jalan kesesatan . Aamiin. Wallohu A’lamu bish – showab. (Majalah al-Furqon, Edisi 9 tahun kedelapan, Robbi’uts Tsani 1430/ April ’09, halaman 41-44).
Tergelincirnya Orang Alim
Setelah kita cermati, ternyata banyak masalah mengenai Islam yang ditimbulkan oleh Quraish Shihab. Kalau mengikuti Quraish Shihab, maka sikap seorang muslim kurang lebihnya bisa digambarkan:
-  Bolehkah katup jantung babi untuk manusia? Boleh karena tidak digunakan untuk dimakan.
-  Wajibkah Muslimah pakai jilbab? Tidak.
-  Bolehkah ikut atau bahkan aktif di aliran sangat sesat bernama Syi’ah? Boleh.
-  Bolehkah manusia menganut keyakinan apapun? Boleh
nBolehkah menolak sebagian sifat Allah? Boleh
Bagaimana jadinya, kalau yang seharusnya tidak boleh –seperti katup jantung babi– malah dikatakan boleh. Sebaliknya, yang seharusnya wajib –seperti jilbab bagi Muslimah— malah jadi tidak wajib. Kalau sudah seperti itu, maka apa bedanya dengan kaum sepilis (sekulerisme, pluralisme agama, dan liberalisme) yang dinyatakan sesat dan haram oleh Munas MUI (Majelis Ulama Indonesia) tahun 2005?
Imam Ibnu Taimiyah memperingatkan:
قَالَ ابْنُ مُجَاهِدٍ وَالْحَكَمُ بْنُ عُتَيْبَةَ وَمَالِكٌ وَغَيْرُهُمْ : لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ خَلْقِ اللَّهِ إلَّا يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُتْرَكُ إلَّا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ سُلَيْمَانُ التَّيْمِيُّ إنْ أَخَذْت بِرُخْصَةِ كُلِّ عَالِمٍ اجْتَمَعَ فِيك الشَّرُّ كُلُّهُ قَالَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ هَذَا إجْمَاعٌ لَا أَعْلَمُ فِيهِ خِلَافًا
Telah berkata Ibnu Mujahid, Al-Hakam bin ‘Utaibah, Malik dan lainnya: Tidak ada seorang pun dari makhluq Allah kecuali (ada yang) diambil dari perkataannya dan (ada yang) ditinggalkan kecuali (perkataan) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan telah berkata Sulaiman At-Taimi, apabila kamu memegangi rukhshoh (keringanan) setiap orang alim (ulama) maka terkumpullah padamu seluruh keburukan. Ibnu Abdil Barr berkata, ini adalah ijma’ (kesepakatan) tidak ada di dalamnya suatu perbedaan (pendapat).
Selanjutnya Ibnu Taimiyah mengutip perkataan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَقَالَ زِيَادُ بْنُ حُدَيْرٍ : قَالَ عُمَرُ : ثَلَاثٌ يَهْدِمْنَ الدِّينَ زَلَّةُ الْعَالِمِ وَجِدَالُ الْمُنَافِقِ بِالْقُرْآنِ وَأَئِمَّةٌ مُضِلُّونَ .
Ziyad bin Hudair berkata, Umar telah berkata: Tiga perkara yang merusak agama adalah tergelincirnya orang alim (ulama), bantahan orang munafiq dengan Al-Qur’an, dan pemimpin-pemimpin (imam-imam) yang menyesatkan.
وَقَالَ الْحَسَنُ : قَالَ أَبُو الدَّرْدَاءِ : إنَّ مِمَّا أَخْشَى عَلَيْكُمْ زَلَّةَ الْعَالِمِ وَجِدَالَ الْمُنَافِقِ بِالْقُرْآنِ,…) الفتاوى الكبرى – (ج 9 / ص 108)(
Al-Hasan berkata, telah berkata Abu Darda’: “Sesungguhnya di antara hal yang aku khawatirkan atas kamu sekalian adalah tergelincirnya orang alim (ulama), dan bantahan orang munafiq dengan Al-Qur’an… (Ibnu Taimiyyah, al-Fatawa Al-Kubro, juz 9 halaman 108).
Dalam hal ini Ibnu Taimiyyah menegaskan:
وَلِهَذَا قِيلَ : احْذَرُوا زَلَّةَ الْعَالِمِ فَإِنَّهُ إذَا زَلَّ زَلَّ بِزَلَّتِهِ عَالَمٌ . مجموع فتاوى ابن تيمية - (ج 4 / ص 296)
Oleh karena itu dikatakan: Awas hati-hati (hindarilah) tergelincirnya orang alim (ulama), karena sesungguhnya ketika ia tergelincir maka tergelincirlah dunia karena tergelincirnya (ulama itu). (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, juz 4 halaman 296). (haji). (Selesai, alhamdulillah).


Quraish Shihab, Tokoh Tafsir yang Akrab Dengan Kontroversi
1 bulan lalu 

KIBLAT.NET – Prof. DR. Quraish Shihab kembali mendapat sorotan dari umat Islam di Indonesia atas komentarnya yang kontroversial dalam program “Tafsir Al-Misbah” yang disiatkan di Metro TV pada 12 Juli 2014 lalu. Namun, bagi Quraish Shihab kontroversi bukanlah barang baru. Ulama lulusan Universitas Al-Azhar Kairo ini kerap mengeluarkan pernyataan yang bertentangan dengan jumhur ulama umat Islam dalam urusan syari’at.
Misalnya sekitar tahun 2006 lalu, pengarang Tafsir Al-Misbah ini mengeluarkan buku berjudul “Jilbab Pakaian Wanita Muslimah”. Prof. Quraish Shihab memaparkan pandangannya yang ‘kontroversial’ tentang jilbab. Sudah lama ia mempunyai pendapat bahwa jilbab adalah masalah khilafiah – satu pendapat yang ganjil menurut pandangan para ulama Islam terkemuka.
Dalam bukunya tersebut, Quraish menyimpulkan, bahwa: “ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi.” Juga, dia katakan: “bahwa ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat zhanniy yakni dugaan.”
Masih menurut Quraish, “Perbedaan para pakar hukum itu adalah perbedaan antara pendapat-pendapat manusia yang mereka kemukakan dalam konteks situasi zaman serta kondisi masa dan masyarakat mereka, serta pertimbangan-pertimbangan nalar mereka, dan bukannya hukum Allah yang jelas, pasti dan tegas.
Di sini, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah batas aurat wanita merupakan salah satu masalah khilafiyah, yang tidak harus menimbulkan tuduh-menuduh apalagi kafir mengkafirkan. (hal. 165-167). Dalam bukunya yang lain, “Wawasan Al-Quran”, (cetakan ke-11, tahun 2000), hal. 179), Quraish juga sudah menulis: “Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbeda
pendapat.”
Pandangan Quraish Shihab tersebut mendapat kritik keras dari Dr. Eli Maliki, doktor bidang fiqh yang juga lulusan Al-Azhar, Kairo. Membahas QS 24:31 dan 33:59, Eli Maliki menjelaskan, bahwa Al-Quran sendiri sudah secara tegas menyebutkan batas aurat wanita, yaitu seluruh tubuh, kecuali yang biasa tampak, yakni muka dan telapak tangan. Para ulama tidak berbeda pendapat tentang masalah ini. Yang berbeda adalah pada masalah: apakah wajah dan telapak tangan wajib ditutup? Sebagian mengatakan wajib menutup wajah, dan sebagian lain menyatakan, wajah boleh dibuka.
Salah seorang ulama lain yang sama-sama lulusan dari Universitas Al-Azhar, Kairo, DR. Ahmad Zain An-Najah bahkan membantah buku karangan Quraish Shihab dengan judul, “Jilbab Menurut Syariat Islam (Meluruskan Pandangan Quraish Shihab). Doktor bidang fiqh tersebut menguraikan dengan gamblang sejumlah kelemahan ilmiah Quraish Shihab, diantaranya ialah tidak cerman dan teliti dalam penukilan, sangat sedikit menggunakan referensi fiqh, tidak merujuk pada referensi primer, pengaburan terhadap pendapat para ulama, dan seabreg kurangnya pemenuhan amanah ilmiah dalam mengambil kesimpulan hukum. Untuk mendalami masalah ini anda bisa melihat tulisan DR. Ahmad Zain dan merujuknya ke situs ahmadzain.com.

Quraish Shihab
Quraish Shihab dan Syiah
Prof. Dr. Quraish Shihab, juga pernah dikecam karena secara halus memberikan pembelaannya terhadap kaum Syi’ah dengan menulis buku berjudul “Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?”. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Lentera Hati pada Maret 2007.
Namun, pembelaan Prof. Dr. Quraish Shihab tersebut mendapat kritikan tajam dari Tim Penulis Buku Pustaka Pondok Pesantren Sidogiri. Tim penulis ini menulis buku sanggahan pembelaan Quraish Shihab terhadap Syiah yang berjudul “Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah? Jawaban atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?” pada September 2007.
Kedekatan Quraish Shihab dengan  pemikiran Syiah juga terlihat ketika ia meluncurkan buku berjudul Ensiklopedi Al-Qur’an: Kajian Kosa Kata dan Tafsirnya, yang diterbitkan oleh Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal bekerjasama dengan Yayasan Bimantara (2007).
Salah satu indikasinya, dalam Ensiklopedi itu kerap menggunakan kitab tafsir yang populer di kalangan Syi’ah berjudul “Al-Mizan” karangan At-Thabathaba’i sebagai referensi dalam penulisan entri. Bahkan dapat dikatakan, rujukan utama Ensiklopedi ini adalah tafsir Syi’ah yang memberikan penafsiran terhadap Al-Qur’an sesuai dengan pemahaman aliran Syi’ah yang memusuhi sahabat-sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula dalam karyanya Tafsir-Al-Misbah, banyak di antara kutipannya yang merujuk pada kitab tafsir Al-Mizan yang sangat dipuja kalangan syi’ah.
Namun, seperti dikutip dari Republika Online, Quraish Shihab menampik tudingan bahwa dirinya adalah pengikut syi’ah.
“Nabi SAW saja difitnah, apalagi cuma Quraish Shihab,” ujarnya sambil tertawa ringan. Dia menjelaskan, prinsip syiah sangat jelas seperti percaya kepada imamah. Tak hanya itu, terdapat ritual khas yang kerap dijalankan penganut syiah seperti shalat di batu karbala dan menangguhkan puasa.
“Orang-orang yang menuding saya Syiah, apakah pernah melihat saya shalat di atas batu Karbala? Apakah, ketika Ramadhan, pernah melihat saya tangguhkan buka puasa 10 hingga 15 menit, sebagaimana keyakinan Syiah,” ujar Quraish seperti dikutip dari Republika pada Senin, 17 Februari 2014.
Meski Quraish Shihab menampik dituduh Syiah, namun kedekatannya dengan kelompok Syiah di Indonesia tak bisa dipungkiri lagi. Di Indonesia, Iran memiliki lembaga pusat kebudayaan Republik Iran bernama, ICC (Islamic Cultural Center). Lembaga ini telah berdiri sejak 2003 di bilangan Pejaten, Jakarta Selatan.
Menurut Majalah Hidayatullah yang mewawancarai pihak ICC, di antara orang-orang yang mengajar di ICC itu adalah kakak beradik: Umar Shihab (salah seorang Ketua Majelis Ulama Indonesia Pusat) dan Prof. Quraish Shihab. Ia mengajar di lingkungan Syiah bersama tokoh-tokoh syiah di Indonesia seperti Dr Jalaluddin Rakhmat, Haidar Bagir, O. Hashem dan sejumlah keturunan alawiyin atau habaib dari kalangan syiah, seperti Agus Abu Bakar al-Habsyi dan Hasan Daliel al-Idrus.

Ditulis Oleh: Fajar Shadiq

Orang beriman share informasi yang benar
6 Responses to “Quraish Shihab, Tokoh Tafsir yang Akrab Dengan Kontroversi”
Mr.B004 says:
MUI apa yang kalian lakukan ?
Pemerintah apa yang lakukan ??
Saudaraq apa dapat kita lakukan???
boy rafly says:
gak pantes disebut prof. dicabut aja gelarnya 004
siswa says:
SUDAH WAJAR KALO DIA BILANG GITU KARNA ORANG SYI’AH PUNYA CARA UNTUK BISA DI IYAKAN ORANG AWAM, APALAGI MEDIA AWAM SEPERTI METRO TV. DIA GAK TAU APA ITU SYI’AH APA ITU ISLAM, ATURAN KALO ACARA ISLAM YANG DI PAKE ORANG ISLAM DONG, JANGAN ORANG SYI’AH JADI BIKIN RESAH UMAT ISLAM, KARNA SYI’AH DENGAN TAQIYAHNYA DIA NGAKU ISLAM, PADAHAL DIA KAFIR ….
maze says:
Bagiku Agamaku, Bagimu agamamu..
Mulailah dari keluarga, Percayalah sama apa yg kita yakini, dan abaikan yg menurut kita menyimpang, jangan ragu untuk tidak menonton ato menghapus saluran TV yg kita anggap kurang pantas bagi diri dan keluarga, Tidak usah diperdebatkan lagi. nanti merujuk ghibah.
Paulus says:
Jangan mengganggap diri kita sempurna, karena hanya Allah hakim yang menentukan kita masuk Surga atau Neraka. Karena Imam dan perbuatan kita lah yang dapat membuat kita ke Surga. Karena Surga hanya ada di dalam Allah.
hariyantotheng says:
Jangan mengganggap diri kita sempurna, karena hanya Allah hakim yang menentukan kita masuk Surga atau Neraka. Karena Imam dan perbuatan kita lah yang dapat membuat kita ke Surga. Karena Surga hanya ada di dalam Allah.