Thursday, August 14, 2014

Muslimkah Orang Tua Nabi ?

Muslimkah Orang Tua Nabi ?
[Menjawab Dakwah Kaum Salafi Karya Prof. DR. Ali Jumuah BAB 12. Mengklaim Kedua Orang Tua Rasulullah SAW Sebagai Ahli Neraka di Hari Kiamat ]
Sanggahan terhadap Wartawan Republika [Kedua Orang Tua Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di Neraka]
Sanggahan terhadap Wartawan Republika [Kedua Orang Tua Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di Neraka]
Oleh Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah -hafizhahullah-
(Pengasuh Ponpes Al-Ihsan Gowa, Sulsel)
Sebuah kenyataan yang sering luput dari wawasan kita bahwa kedua orang tua Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- ternyata meninggal dalam keadaan kafir dan kelak akan kekal di dalam neraka!! Sebuah realita yang mungkin terasa pahit dan sulit diterima oleh sebagian orang jahiltentang sunnah dan berita dari Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Adapun orang yang beriman kepada beliau, maka mereka membenarkan berita yang beliau sampaikan bahwa kedua orang tua beliau di neraka.
Tulisan ini kami angkat, karena pernah lewat di telinga kami bahwa sebagian orang tidak percaya jika kedua orang tua Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- akan dimasukkan ke dalam neraka. Pengingkaran mereka ini didasari oleh perasaan dan taklid buta.
Diantara mereka yang mengingkari keberadaan orang tua Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- di neraka, seorang Penulis dan Wartawan Republika, Nashih Nashrullah[1] saat ia menulis sebuah tulisan aneh dengan judul“Apakah Kedua Orang Tua Rasulullah SAW akan Masuk Surga?”[2]
Si Wartawan ini membawakan khilaf dalam perkara ini, lalu menguatkan salah satu dari keduanya bahwa kedua orang tua Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- akan masuk surga. Semuanya tanpa hujjah yang dapat dipertanggungjawabkan. Tak satu dalil pun yang ia bawakan dapat menyokong dirinya. Ia hanya menukil beberapa nama dan ucapan ulama yang masih mungkin untuk diperdebatkan oleh setiap orang yang menanggapinya.[3]
Nashih Nashrullah berusaha menguatkan pendapat itu dengan berbagai syubhat yang akan kami sanggah -insya Allah- di akhir tulisan ini, sehingga anda mengetahui kelemahan hujjahnya!! Dalam tulisannya, ia hanya berpegang dengan ucapan sebagian ulama, tanpa berpegang dengan hujjah yang kuat dan gamblang!!!
Ulama dalam berijtihad, mungkin salah dan benar. Jika ia salah karena menyelisihi dalil, maka kita tinggalkan ucapannya[4]. Jika ia benar karena mencocoki kebenaran, maka kita terima karena dalil kebenaran yang ia pegangi, bukan karena ia seorang ulama.
Inilah yang pernah dikatakan oleh Al-Imam Malik bin Anas, Imam Darul Hijrah dalam sebuah ucapannya yang patut diabadikan dengan tinta emas,
كُلُّ أَحَدٍ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُتْرَكُ إِلاَّ صَاحِبَ هَذَا الْقَبْرِ
“Setiap orang boleh diambil ucapan dan pendapatnya, dan juga boleh ditinggalkan, kecuali penghuni kubur ini”.[5] Maksud beliau adalah Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-.
Para pembaca yang budiman, jika kita meneliti kitab-kitab hadits dan aqidah, maka pendapat yang benar dan dikuatkan oleh dalil adalah pendapat yang menyatakan bahwa kedua orang Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- adalah kafir dan akan masuk neraka.
Sebagai beban ilmiah di pundak kami, kini kami akan turunkan sejumlah dalil yang mendasari pendapat yang kuat ini agar para pembaca tak lagi ragu tentang kebenarannya setelah datangnya dalil dan hujjah.
Dalil Pertama
Dari Sahabat Anas -radhiyallahu anhu- berkata,
أَنَّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِى؟ قَالَ: « فِى النَّارِ ». فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ: « إِنَّ أَبِى وَأَبَاكَ فِى النَّارِ ».
“Seorang lelaki pernah berkata, “Wahai Rasulullah, dimanakah bapakku?” Beliau menjawab, “Di neraka”. Tatkala orang itu berbalik pergi, maka beliau memanggilnya seraya bersabda, “Sesungguhnya bapakku dan bapakmu di neraka”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 203)]
Ini merupakan dalil shohih yang amat gamblang dalam menetapkan eksistensi (keberadaan) orang tua Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- ketika di akhirat nanti. Tentunya beliau menyatakan demikian, karena beliau mendapatkan wahyu dari Allah -Ta’ala-.
Seorang ulama Syafi’iyyah, Al-Imam An-Nawawiy -rahimahullah- berkata,
فيه أن من مات على الكفر فهو في النار ولا تنفعه قرابة المقربين وفيه أن من مات في الفترة على ما كانت عليه العرب من عبادة الأوثان فهو من أهل النار وليس هذا مؤاخذة قبل بلوغ الدعوة فان هؤلاء كانت قد بلغتهم دعوة ابراهيم وغيره من الأنبياء صلوات الله تعالى وسلامه عليهم وقوله صلى الله عليه و سلم أن أبي وأباك في النار هو من حسن العشرة للتسلية بالاشتراك في المصيبة
“Di dalam hadits ini (terdapat keterangan) bahwa barangsiapa yang mati di atas kekafiran, maka ia di neraka dan kekerabatan orang-orang dekat tak akan memberikannya manfaat. Di dalam hadits ini (terdapat keterangan) bahwa yang mati di masa “fatroh” (vakum) di atas sesuatu yang dipijaki oleh bangsa Arab berupa penyembahan berhala, maka ia termasuk penduduk neraka. Ini bukanlah hukuman sebelum sampainya dakwah. Karena, mereka itu sungguh telah dicapai dakwahnya Ibrahim dan selainnya dari kalangan para nabi –sholawatullahi ta’ala wa salamuhu alaihim-. Sabda beliau -Shallallahu alaihi wa sallam-, “Sesungguhnya bapakku dan bapakmu dalam neraka”, termasuk bentuk pergaulan yang baik demi menghibur karena adanya kesamaan (antara bapak beliau dan bapak orang itu) dalam sebuah musibah”. [Lihat Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim Ibnil Hajjaj (3/79)]
Disini kita mendapatkan sebuah faedah bahwa tidak semua ahlul fatroh (orang yang berada di masa vakum), mendapatkan udzur di sisi Allah -Azza wa Jalla-. Jika suatu kaum vakum dari seorang rasul, dalam artian bahwa tak ada diantara mereka seorang rasul hidup bersama dengan mereka, namun mereka masih mendapatkan syariat dan risalah mereka dari para pengikut mereka, maka dalam kondisi seperti ini ahlul fatroh tak memiliki udzur di sisi Allah -Azza wa Jalla-. Inilah kondisi kedua orang tua Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Betul di zaman orang tua beliau tak ada lagi rasul, tapi risalah dan syariat Ibrahim masih terwarisi dan dipertahankan oleh kaum hunafa’. Dengan ini, hujjah telah sampai kepada mereka.
Ahlul fatroh yang kedua, mereka yang betul-betul kosong dari rasul dan risalah mereka. Jadi, mereka tak pernah mendengar, melihat, dan hidup bersama dengan seorang sebagaimana halnya risalah dan syariat seorang rasul tak pernah sampai kepada mereka. Mereka ini –menurut pendapat yang kuat- urusannya akan dikembalikan kepada Allah dan di akhirat kelak mereka diuji dengan api. Jika mereka memasuki api yang Allah siapkan sebagai ujian bagi mereka, maka mereka akan masuk surga. Sebab itu adalah tanda bahwa andaikan sampai kepada mereka suatu agama, syariat dan kerasulan, maka pasti mereka akan menaati dan mengikutinya.
Sebaliknya jika mereka diperintahkan masuk ke dalam api tersebut, namun mereka enggan masuk, maka kelak mereka akan masuk neraka. Karena dengan ujian itu, tampaklah bahwa andai ada agama atau rasul yang datang kepada mereka, maka pasti mereka akan menolaknya.
Orang tua Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bukanlah ahlul fatroh jenis kedua ini, bahkan ia tergolong dalam jenis pertama di atas!!
Jenis kedua inilah yang diisyaratkan oleh firman Allah -Ta’ala-,
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً  [الإسراء/15]
“Dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul”. (QS. Al-Israa’ : 15)
Para pembaca yang budiman, jawaban Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- kepada orang itu bahwa bapak beliau dan bapak orang itu sama-sama dalam neraka, juga telah diisyaratkan dalam hadits yang lain:
Dalil Kedua :
Kini tiba saatnya kami bawakan hadits dan dalil kedua yang semakna dengan hadits di atas, walaupun sebagian orang menyangkanya bertentangan. Andaikan demikian, maka kita dahulukan hadits pertama berdasarkan penjelasan dalam bantahan kami kepada Ust. Nashih di akhir tulisan ini, insya Allah.
Dari Ibnu Umar -radhiyallahu anhuma-, ia berkata,
جاء أعرابي إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقال يا رسول الله إن أبي كان يصل الرحم وكان وكان . فأين هو ؟ قال ( في النار ) قال فكأنه وجد من ذلك . فقال يا رسول الله فأين أبوك ؟ فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( حيثما مررت بقبر مشرك فبشره بالنار ) قال فأسلم الأعرابي بعد . وقال لقد كلفني رسول الله صلى الله عليه و سلم تعبا . ما مررت بقبر كافر إلا بشرته بالنار
“Seorang badui pernah datang kepada Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- seraya berkata, “Sesungguhnya bapakku dahulu menyambung kekerabatan, begini dan begini. Nah, dimanakah ia? Beliau bersabda, “Di neraka”. Ia (Ibnu Umar) berkata, “Seakan-akan orang badui itu bersedih karena hal itu. Kemudian orang itu bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, dimanakah bapakmu?” Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Dimana pun engkau melewati kubur seorang musyrik, maka kabarilah ia dengan neraka”. Ia (Ibnu Umar berkata, “Lalu orang badui itu masuk Islam setelah itu seraya berkata, “Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- sungguh telah membebaniku dengan kepayahan; tidaklah aku melewati sebuah kubur orang kafir, kecuali aku kabari dengan neraka”. [HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (no. 1573). Hadits ini dinilai shohih oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (no. 18)]
Ini merupakan dalil yang amat gamblang menerangkan bahwa kaum kafir yang meninggal di atas kekafiran dan kesyirikannya, maka ia akan disiksa dalam neraka, walaupun ia tergolong kaum yang vakum dari kenabian, sepanjang hujjah telah tegak diantara mereka!!
Al-Hafizh Ibnu Qoyyim Al-Jawziyyah -rahimahullah- berkata,
“Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa barangsiapa yang mati musyrik, maka ia di neraka, walaupun ia mati sebelum diutusnya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Karena, kaum musyrikin sungguh telah mengubah Al-Hanifiyyah (Islam), agama Ibrahim, mereka menggantinya dengan kesyirikan dan melakukannya, sedang mereka tak ada hujjah yang mengiringinya dari Allah tentang hal itu.
Keburukan syirik dan ancaman atasnya dengan neraka, senantiasa diketahui dari agama para rasul seluruhnya dari orang yang paling diantara mereka sampai yang terakhir. Berita-berita hukuman Allah bagi pelakunya telah tersebar di antara umat-umat dari suatu generasi ke generasi lain. Allah memiliki hujjah yang dalam atas kaum musyrikin dalam setiap waktu”. [Lihat Zaadul Ma'ad (3/599)]
Dari penjelasan Ibnul Qoyyim, nyatalah bagi anda kebatilan sebagian orang yang menyangka bahwa ahlul fatroh yang vakum dari kenabian adalah kaum yang tak akan disiksa, walaupun masih ada ajaran para nabi!!
Kondisi Quraisy bukanlah seperti yang digambarkan oleh sebagian orang bahwa mereka betul-betul kosong dari hujjah dan risalah Islam yang pernah diajarkan oleh nabi sebelumnya. Andaikan tak ada hujjah yang tersisa, maka manusia tak akan mengenal “Kaum Hanifiyyah” atau “Hunafa’” yang masih mempertahankan ajaran Islam dari nabi mereka!!!
Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- berkata,
“Sesungguhnya orang-orang jahiliah yang mati sebelum diutusnya beliau –alaihish sholatu was salam- akan disiksa dengan sebab kesyirikan dan kekafiran mereka. Hal itu menunjukkan bahwa mereka bukanlah termasuk ahlul fatroh yang belum pernah dicapai oleh dakwah seorang nabi, berbeda dengan sesuatu yang disangka oleh sebagian orang belakangan”. [Lihat As-Silsilah Ash-Shohihah (1/297)]
Dalil Ketiga:
Para pembaca yang budiman, dalil yang menunjukkan bahwa kedua orang tua Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- akan masuk neraka, sebuah hadits dari Abu Hurairah -radhiyallahu anhu-, ia berkata,
أَتَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى تَعَالَى عَلَى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى فَاسْتَأْذَنْتُ أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِى فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ بِالْمَوْتِ ».
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mendatangi kubur ibunya. Beliau pun menangis dan membuat orang-orang yang ada di sekitarnya juga menangis. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Aku telah meminta izin kepada Tuhan-ku -Ta’ala- agar aku memohonkan ampunan baginya. Namun aku tak diizinkan. Kemudian aku meminta izin agar aku dapat menziarahi kuburnya, lalu Allah izinkan bagiku. Jadi, ziarahilah kuburan, karena ia akan mengingatkan tentang kematian”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 976), Abu Dawud dalamSunan-nya (3234), An-Nasa'iy dalam Sunan-nya (2034), Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1572) dan lainnya]
Dari Buraidah -radhiyallahu anhu-, ia berkata,
(كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم [ في سفر، وفي رواية: في غزوة الفتح ].فنزل بنا ونحن معه قريب من ألف راكب، فصلى ركعتين، ثم أقبل علينا بوجهه وعيناه تذرفان، فقام إليه عمر بن الخطاب، ففداه بالاب والام، يقول: يا رسول لله مالك؟ قال: إني سألت ربي عز وجل في الاستغفار لامي، فلم يأذن لي، فدمعت عيناي رحمة لها من النار، [ واستأذنت ربي في زيارتها فأذن لي ]، وإني كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها، ولتزدكم زيارتها خيرا).
“Dahulu kami bersama Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- (dalam suatu safar. Dalam riwayat lain, pada Perang Penaklukan Kota Makkah). Kemudian beliau pun singgah bersama kami. Sedang kami bersama beliau hampir seribu pengendara. Kemudian beliau sholat dua rakaat, lalu menghadapkan wajahnya kepada kami, sedang kedua matanya bercucuran. Lalu berdirilah Umar bin Al-Khoththob kepada beliau, seraya menebus beliau dengan ayah dan ibunya. Umar berkata, “Wahai Rasulullah, kenapakah anda?” Beliau bersabda, “Aku memohon kepada Tuhan-ku -Azza wa Jalla- untuk memohonkan ampunan bagi ibuku. Namun Dia tak mengizinkan aku. Karenanya, kedua mataku bercucuran, karena kasihan kepadanya terhadap neraka; dan aku meminta izin kepada Tuhan-ku untuk menziarahinya. Lalu Dia mengizinkan aku. Sesungguhnya dahulu melarang kalian dari ziarah kubur. Ziarahilah (sekarang) kuburan. Sungguh ziarah kubur akan memberikan tambahan kebaikan kepada kalian”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (5/355, 357 dan 359), Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (4/139), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok  (1/376), Ibnu Hibban dalam Shohih-nya (791) dan lainnya. Hadits ini dinilai shohih oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ahkam Al-Jana'iz (hal. 188)]
Kematian orang tua Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- di atas kekafiran menyebabkan ayah dan ibu beliau masuk ke neraka. Mereka telah mati di atas kemusyrikan dan tidak mengikuti agama Islam yang dibawa oleh para nabi dan rasul.
Seorang ulama Syafi’iyyah yang masyhur, Al-Imam Abu Bakr Al-Baihaqiy -rahimahullah- berkata dalam menjelaskan sebab keduanya masuk neraka, usai membawakan beberapa hadits di atas,
وكيف لا يكون أبواه وجده بهذه الصفة في الآخرة وكانوا يعبدون الوثن حتى ماتوا ولم يدينوا دين عيسى بن مريم عليه السلام وأمرهم لا يقدح في نسب رسول الله لأن أنكحة الكفار صحيحة ألا تراهم يسلمون مع زوجاتهم فلا يلزمهم تجديد العقد ولا مفارقتهن إذا كان مثله يجوز في الإسلام وبالله التوفيق
“Bagaimana tidak kedua orang tua beliau dalam gambaran seperti ini di akhirat. Dahulu mereka (kaum Quraisy) menyembah berhala dan tidak mengikuti agama Isa bin Maryam –alaihis salam-. Urusan mereka (demikian halnya) tidaklah menodai nasab Rasulullah. Karena, pernikahan orang kafir adalah sah. Tidakkah kalian melihat mereka masuk Islam bersama istri-istri mereka. Mereka tidaklah diharuskan memperbaharui akad nikah dan tidak pula menceraikan mereka, jika semisalnya boleh dalam Islam. Wa billahit tawfiq”. [Lihat Dala'il An-Nubuwwah (1/192-193)]
Para pembaca yang budiman, terlarangnya beliau mendoakan ampunan bagi ibunya, disebabkan ibu beliau kafir!! Andaikan tak kafir, maka tak mungkin beliau akan dilarang memohonkan ampunan bagi sang ibu yang telah melahirkannya.
Al-Imam Ahmad bin Abdil Halim Al-Harroniy Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata tentang tata cara ziarah kubur, sebelum membawakan hadits di atas,
وإنما كانوا يزورونه إن كان مؤمنا للدعاء له والاستغفار كما يصلون على جنازته وإن كان غير مسلم زاروه رقة عليه كما زار النبي صلى الله عليه وسلم قبر أمه فبكى وأبكى من حوله
“Hanyalah mereka (para salaf) dahulu menziarahi kubur –jika si mayit mukmin-, maka untuk mendoakan kebaikan dan ampunan baginya, sebagaimana halnya mereka menyolati jenazahnya. Jika ia bukan muslim, maka mereka (para salaf) menziarahinya, karena kasihan kepadanya, sebagaimana halnya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- menziarahi kubur ibunya. Akhirnya, beliau menangis dan membuat orang-orang yang ada di sekitarnya jadi menangis”. [Lihat Ar-Rodd ala Al-Akhna'iy (hal. 179), cet. Al-Mathba'ah As-Salafiyyah, dengantahqiq Al-Mu'allimiy]
Jadi, seorang muslim terlarang keras mendoakan ampunan bagi kaum kafir, walaupun mereka adalah orang tua dan kerabat kita.
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman menjelaskan larangan itu,
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ (113) وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلاَّ عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لأَوَّاهٌ حَلِيمٌ (114) [التوبة/113، 114]
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memintakan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.  Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi Penyantun”. (QS. At-Taubah : 113-114)
Dalil Keempat
Sebagian ulama membawakan hadits lain dalam menetapkan aqidah bahwa orang tua Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- akan masuk ke neraka.[6] Dari Abu Rozin Al-Uqoiliy -radhiyallahu anhu-, ia berkata,
قلت: رسول الله أين أمي، قال: أمك في النار، قال: قلت فأين من مضى من أهلك، قال: أما ترضى أن تكون أمك مع أمي
“Aku katakan, “Wahai Rasulullah, dimanakah ibuku?” Beliau bersabda, “Ibumu di neraka”. Ia (Abu Rozin) berkata, “Aku katakan, “Lalu diamanakah keluargamu yang telah lalu?” Beliau bersabda, “Tidakkah engkau ridho jika ibumu bersama ibuku”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (4/11), Ath-Thoyalisiy dalam Al-Musnad (1090), Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (417), Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (638). Syaikh Al-Albaniy menyatakannya shohih dalam Zhilal Al-Jannah (hal. 344)]
Inilah sejumlah dalil yang menguatkan pendapat para ulama yang menyatakan bahwa kedua orang tua Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- adalah kafir dan akan masuk neraka.
Dengan sejumlah dalil ini, maka runtuhlah pendapat yang menyatakan bahwa kedua orang tua beliau adalah muslim dan akan masuk surga!!
Catatan Khusus Buat Ust. Nashih Nashrullah
Terakhir, kami akan utarakan beberapa catatan khusus bagi tulisan Nashih Nashrullah dalam Republika.co.idagar semakin jelas kekuatan pendapat yang kami kuatkan sekaligus sebagai jawaban atas beberapa syubhat yang dilontarkan oleh si Penulis tersebut.
Ust. Nashih berkata,
“Tetapi, di sisi lain ada satu fakta bahwa kedua orang tua Nabi hidup pada masa kevakuman seorang nabi dan rasul. Pasca meninggalnya Nabi Isa AS belum ada lagi sosok Rasul yang diutus untuk berdakwah dan membimbing segenap umat. Karena itu, mereka yang berada pada periode kekosongan risalah itu dinyatakan selamat dan tidak mendapat siksa. “Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS al-Isra’ [17]: 15)”.
Jawab: Kami telah jelaskan bahwa ahlul fatroh (orang yang berada di masa vakum) ada dua jenis: ada yang diberi udzur dan ada yang tidak.
Jika suatu kaum berada dalam kevakuman dari seorang rasul, dalam artian bahwa tak ada diantara mereka seorang rasul hidup bersama dengan mereka, namun mereka masih mendapatkan syariat dan risalah mereka dari para pengikut mereka, maka dalam kondisi seperti ini ahlul fatroh tak memiliki udzur di sisi Allah -Azza wa Jalla-. Inilah kondisi kedua orang tua Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Betul di zaman orang tua beliau tak lagi rasul, tapi risalah dan syariat Ibrahim masih terwarisi dan dipertahankan oleh kaum hunafa’. Dengan ini, hujjah telah sampai kepada mereka.
Ust. Nashih berkata,
“Namun Lembaga Fatwa Mesir, Dar al-Ifta, menyanggah keras pernyataan Syekh Abdullah bin Baz tersebut. Menurut lembaga yang pernah dipimpin oleh Mufti Agung Syekh Ali Juma’h itu, pernyataan bahwa kedua orang tua  Rasul termasuk kufur dan akan menghuni neraka merupakan bentuk arogansi dan ketidaksopanan”.
Jawab: Khilaf di kalangan ulama adalah perkara yang sering terjadi, sehingga pernyataan kafirnya orang tua Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tak boleh kita nilai sebagai sikap arogansi dan ketidaksopanan. Apalagi pendapat itu didasari oleh sejumlah dalil yang telah kami utarakan di atas. Justru sikap arogansi itu –andaikan boleh menuduh- ada pada orang yang menyatakan bahwa orang tua Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- muslim dan masuk surga, tanpa disertai dalil yang menetapkannya!!
Ust. Nashih berkata,
“Justru fakta kuat mengatakan, kedua orang Rasul akan selamat dan bukan termasuk penghuni neraka. Pendapat ini menjadi kesepakatan mayoritas ulama. Tak sedikit ulama yang secara khusus menulis risalah sederhana untuk menjawab kegamangan menyikapi topik ini”.
Jawab: Bagaimana mungkin pendapat yang dikuatkan oleh Ust. Nashih menjadi ijma’ (kesepakatan) ulama, sementara pendapat itu tak didasari oleh sebuah dalil yang kuat dan jelas. Ijma’ itu dibangun di atas dalil dan hujjah. Yang menunjukkan bahwa perkara ini bukan ijma’, adanya dua kubu ulama dalam hal ini sebagaimana yang kita lihat dalam tulisan kami dan juga di awal tulisan Ust. Nashih.
Adapun adanya ulama yang menulis dan mendukung pendapat yang dikuatkan oleh Ust. Nashih, maka itu bukan hujjah yang dapat menguatkan pendapatnya. Hujjah itu ada pada Al-Kitab dan Sunnah.
Ust. Nashih berkata,
“Imam as-Suyuthi mengarang dua kitab sekaligus untuk menguatkan fakta bahwa orang tua Muhammad SAW akan selamat. Kedua kitab itu bertajuk Masalik al-Hunafa fi Najat Waliday al-Musthafa dan at-Ta’dhim wa al-Minnah bi Anna Waliday al-Mushthafa fi al-Jannah. Selain kedua kitab tersebut, ada deretan karya lain para ulama, seperti ad-Duraj al-Munifah fi al-Aba’ as-Syarifah, Nasyr al-Alamain al-Munifain fi Ihya al-Abawain as-Syarifain, al-Maqamah as-Sundusiyyah fi an-Nisbah al-Musthafawiyyah, dan as-Subul al-Jaliyyah fi al-Aba’ al-Jaliyyah. Masih banyak kitab lain yang membantah dugaan bahwa orang tua Rasul akan masuk neraka”.
Jawab: Banyaknya kitab tanpa hujjah, tak ada nilainya jika tak ditopang dengan hujjah.
Ust. Nashih berkata,
“Dar al-Ifta memaparkan, mengacu ke deretan kitab tersebut, kedua orang tua Rasul hidup pada masa fatrah atau kekosongan risalah. Ketika itu, dakwah tidak sampai pada masyarakat Makkah. Ulama ahlussunnahsepakat, mereka yang hidup pada periode kevakuman risalah itu dinyatakan selamat. Ini merujuk pada ayat ke-15 surah al-Isra’ di atas”.
Jawab: Acuan yang terbaik adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Adapun pengakuan Ust. Nashih bahwa dakwah belum sampai pada masyarakat Makkah, maka ini adalah klaim batil. Dalam sejarah telah disebutkan bahwa kelompok hunafa’ yang masih menjaga agama Islam yang dibawa oleh Ibrahim, hidup bersama dengan masyarakat Quraisy. Ini menunjukkan bahwa hujjah telah sampai kepada mereka. Demikian pula kaum hunafa’ yang mempertahankan Islam yang mereka warisi dari Isa –alaihis salam- juga terdapat di Makkah, seperti Waroqoh bin Naufal.
Kesepakatan (ijma’) yang disebutkan oleh si Wartawan ini, sekali lagi tak benar. Bagaimana bisa masalah khilaf dikatakan ijma’?!
Ust. Nashih berkata,
“Tuduhan bahwa keduanya termasuk kaum musyrik yang menyekutukan Allah dengan berhala, tidak benar. Abdullah dan Aminah tetap konsisten dalam keautentikan agama Ibrahim, yaitu tauhid. Fakta kesucian keyakinan kedua orang tua Rasul ini dikuatkan antara lain oleh Imam al-Fakhr ar-Razi dalam kitab tafsirnya Asrar at-Tanzil kala menafsirkan ayat ke 218-219 surah as-Syu’ara”.[7]
Jawab: Ini adalah ucapan perasaan, bukan ucapan ilmiah!! Pendapat yang menyatakan bahwa kedua orang tua Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- adalah musyrik bukanlah tuduhan. Sebab, kalau tuduhan, maka berarti hanya dilandasi oleh asumsi!!! Padahal tidaklah demikian!!!! Ulama yang menyatakan musyriknya kedua orang tua Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- telah melandasi pendapatnya dengan sejumlah hadits shohih lagi gamblang sebagaimana telah kami bawakan tadi.
Ust. Nashih berkata,
“Imam as-Suyuthi menambahkan, dalil lain tentang fakta bahwa garis keturunan Rasul yang terdekat terjaga dari aktivitas penyimpangan akidah. Ini seperti ditegaskan hadis bahwa Rasululllah dilahirkan dari garis nasab yang istimewa dan terpilih yang konsisten terhadap tauhid”.
Jawab: Ucapan ini batil!! Sebab, ia akan mengharuskan bahwa semua kakek Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- ke atas adalah muslim, bukan musyrik. Syarat bahwa garis keturunan Rasul yang terdekat terjaga dari aktivitas penyimpangan akidah. Andaikan terjaga, maka pasti Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- tak perlu mendakwahi paman-pamannya yang merupakan keluarga terdekat beliau. Tapi nyatanya, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tetap menasihati mereka, bahkan memerangi mereka.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- memang dipilih dari nasab yang mulia dan terhormat di kalangan bangsa Arab. Namun hal itu tak mengharuskan bahwa kakek-kakek dan keluarga dekat beliau jauh dari penyimpangan aqidah.
Ust. Nashih berkata,
“Imam as-Suyuthi kembali menerangkan soal hadis Muslim pada paragraf pertama. Tambahan redaksional “Dan ayahku di neraka” sangat kontroversial di kalangan pengkaji hadis. Para perawi tidak sepakat tambahan tersebut. Sebut saja al-Bazzar, at-Thabrani, dan al-Baihaqi yang lebih memilih tambahan redaksi “Jika engkau melintasi kuburan orang kafir maka sampaikan berita neraka” dibanding, imbuhan bermasalah tersebut”.
Jawab: Syubhat ini kami akan jawab dalam beberapa sisi:
1)      Jika suatu hadits telah shohih dan tak ada cacatnya, lalu ada yang sepaham dengannya, maka hadits itu tak boleh dianggap kontroversial hanya karena ingin menolaknya.
2)      Adapaun As-Suyuthiy menguatkan riwayat lain dari Ma’mar bin Rosyid Al-Azdiy dibandingkan riwayat Hammad bin Salamah[8], maka ini adalah pendapat yang keliru dari beliau. Sebab para ulama kita telah menjelaskan bahwa jika Hammad bin Salamah meriwayat suatu hadits dari Tsabit Al-Bunaniy, maka ia adalah orang yang kuat riwayatnya dari Al-Bunaniy.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal -rahimahullah- berkata,
حماد بن سلمة أثبت في ثابت من معمر
“Hammad bin Salamah lebih kuat pada Tsabit dibandingkan Ma’mar”. [Lihat Al-Jarh wa At-Ta'dil (3/141) oleh Ibnu Abi Hatim, cet. Dar Ihya' At-Turots Al-Arobiy]
Diantara perkara yang menguatkan riwayat Hammad dan melemahkan riwayat Ma’mar bahwa Muslim seringkali meriwayatkan hadits Hammad dari Tsabit dalam golongan hadits-hadits ushul (pokok). Lain halnya dengan Ma’mar, walaupun beliau adalah tsiqoh, hanya saja para ulama hadits telah melemahkan secara khusus riwayat Ma’mar dari Tsabit Al-Bunaniy. Sisi lain, Imam Muslim dalam Shohih-nya tidaklah meriwayatkan dari Ma’mar dari Tsabit, kecuali sebuah riwayat saja dalam golongan hadits mutaba’at (pendukung) dan diiringi oleh rawi lain yang bernama Ashim Al-Ahwal. Semua ini adalah bukti bagi kita semua tentang kelemahan riwayat Ma’mar dari jalur Tsabit.
Lantaran itu, Ibnu Ma’in -rahimahullah- berkata,
معمر، عن ثابت: ضعيف.
“Ma’mar dari Tsabit adalah lemah”. [Lihat Mizan Al-I'tidal (4/154)]
Para pembaca yang budiman, dengan keterangan ini, jelaslah bahwa perbandingan yang dilakukan oleh As-Suyuthiy antara kedua rawi itu adalah perbandingan yang salah dan terbalik. Justru riwayat Hammad bin Salamah adalah riwayat yang kuat, sedang riwayat Ma’mar dari Tsabit adalah lemah lagi munkar!!
Ust. Nashih berkata,
“Ada banyak argumentasi yang membantah dugaan bahwa kedua orang tua Rasul akan masuk neraka. Semestinya, tuduhan tersebut tidak ditudingkan kepada ayahanda dan ibunda Rasul yang terhormat. Karena, itu adalah bentuk arogansi terhadap Rasul”.
Jawab:
Argumentasi sebanyak apapun bila tak ditopang oleh dalil, maka ia bagaikan buih yang tak bernilai di lautan. Pernyataan bahwa kedua orang tua Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- akan masuk neraka, bukanlah tudingan dan tuduhan. Bahkan ia adalah pernyataan dari Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- sendiri berdasarkan wahyu dari Allah -Azza wa Jalla-. Jadi, tak benar jika hal itu dianggap sebagai arogansi!!! Justru pernyataan yang menyatakan bahwa kedua orang tua beliau akan masuk surga adalah sikap arogan kepada Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Sebab, si pengucapnya telah menyalahi sejumlah hadits yang menyatakan keberadaan orang tua beliau di neraka!!
Ust. Nashih berkata,
“Qadi Abu Bakar Ibn al-Arabi pernah ditanya soal topik serupa. Tokoh bermazhab Maliki ini pun menjawab, bila soal itu direspons dengan jawaban bahwa keduanya masuk neraka maka terlaknatlah orang yang menjawab demikian. Menganggap keduanya ahli neraka adalah bentuk melukai perasaan Rasul. “Tak ada penganiayan lebih besar ketimbang menyebut kedua orang tua Muhammad SAW penghuni neraka,” kata Ibn al-Arabi”.
Jawab:
Jika ucapan ini betul dari Ibnul Arabiy Al-Malikiy -rahimahullah-, maka ucapan ini kita tolak karena menyelisihi hadits Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Dalam pembahasan seperti ini, seseorang tak boleh berpegang dengan ro’yu (pendapat semata) dan perasaannya. Intinya, ada tidak dalilnya. Jika ada dalilnya, maka kita ambil pendapat yang didukung oleh dalil.
Jika setiap orang menguatkan pendapat dengan perasaan, maka hancurlah agama ini!!
Kemudian Ust. Nashih membawakan kisah Umar bin Abdil Aziz -rahimahullah-  yang marah saat mendengar ada pegawainya yang menyatakan kafirnya kedua orang tua Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Kita katakan bahwa andaikan kisah ini benar, maka kita berbaik sangka kepada beliau bahwa mungkin beliau belum pernah mendengar hadits-hadits yang menyatakan kafirnya kedua orang tua Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- sebagaimana hal ini juga mungkin dialami oleh Ibnul Arabiy -rahimahumallah-.
Ust. Nashih berkata,
“Atas dasar inilah, seyogianya tidak mudah menjustifikasi status kedua orang tua Rasul. Mantan Mufti Dar al-Ifta, Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi’I, mengimbau supaya umat berhati-hati. Tuduhan kekufuran Abdullah dan Aminah salah besar dan pelakunya berdosa”.
Jawab : ini adalah sikap yang menyelisihi petunjuk Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, dimana beliau telah menjelaskan kepada umatnya bahwa kedua orang tua beliau adalah kafir dan akan masuk neraka!!
Ini bukanlah justifikasi (putusan yang didasari hati nurani) semata, bahkan ia adalah wahyu yang Allah sampaikan melalui lisan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Kesimpulan
Demikianlah diskusi ringan dengan Ustadz Nashih Nashrullah, Wartawan Republika yang telah berbicara panjang lebar, tanpa dasar hujjah dari Al-Qur’an dan Sunnah[9].
Sebagai kesimpulan dan penutup, kami nukilkan kepada anda sebuah ucapan yang kokoh dari seorang ahli hadits dari Negeri Syam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- saat beliau membantah As-Suyuthiy dan lainnya, usai menguatkan hadits di atas,
“Ketahuilah –wahai saudaraku yang muslim- bahwa sebagian orang pada hari ini dan sebelum hari ini, tak ada kesiapan pada mereka untuk menerima hadits-hadits yang shohih ini dan mengadopsi sesuatu yang ada di dalamnya berupa hukum kafir bagi kedua orang tua Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Bahkan sungguh diantara mereka ada yang dianggap termasuk dai (yang mengajak) kepada Islam, betul-betul ia mengingkari dengan pengingkaran yang keras terhadap penyebutan hadits-hadits ini dan penunjukannya yang benar!! 
Menurut keyakinanku, pengingkaran ini dari mereka hanyalah tertuju kepada Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang telah mengucapkannya, jika memang mereka membenarkannya. Ini –sebagaimana telah tampak- adalah kekafiran yang nyata; atau paling minimal (pengingkaran itu) tertuju kepada para imam yang telah meriwayatkan dan menyatakannya shohih. Ini merupakan kefasikan atau kekafiran yang nyata. Karena terharuskan darinya sikap yang membuat kaum muslimin terhadap agamanya. Sebab, tak ada jalan bagi mereka untuk mengenal dan mengimani agamanya, kecuali dari jalur Nabi mereka -Shallallahu alaihi wa sallam- sebagaimana hal ini tak samar bagi setiap muslim yang mengenal agamanya.
Jika mereka tidak membenarkannya, karena tidak cocoknya hadits-hadits ini terhadap perasaan dan keinginan mereka -sedangkan manusia dalam perkara seperti itu berbeda dengan perbedaan yang amat mencolok-[10], maka di dalam seperti itu ada pembuka pintu besar sekali dalam menolak hadits-hadits shohih. Ini adalah perkara yang disaksikan pada hari dari kebanyakan penulis-penulis yang kaum muslimin terkena bala (ujian) akibat tulisan-tulisan mereka, seperti Al-Ghozaliy, Al-Huwaidiy, Bulaiq, Ibnu Abdil Mannan dan semisalnya dari kalangan orang-orang yang tidak memiliki timbangan dalam men-shohih-kan hadits-hadits dan melemahkannya, kecuali hawa nafsu mereka.
Ketahuilah wahai muslim –yang khawatir atas agamanya karena dirobohkan dengan pena-pena sebagian orang yang menisbahkan diri kepadanya — bahwa hadits-hadits ini dan semisalnya yang di dalamnya terdapat pengabaran tentang kafirnya beberapa person (pribadi) dan keimanan mereka. Sesungguhnya hal itu termasuk perkara-perkara gaib yang wajib diimani dan diterima dengan pasrah, berdasarkan firman Allah -Ta’ala-,
الم (1) ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (2) الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ (3) [البقرة/1-3]
“Alif laam miin. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,  (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka”. (QS. Al-Baqoroh : 1-3),
dan firman-Nya,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ …(36)  [الأحزاب/36]
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka”. (QS. Al-Ahzab : 36) 
Jadi, berpaling dari hadits-hadits itu dan tidak beriman kepadanya, maka terharuskan darinya dua hal, tak ada yang ketiganya. Yang paling manisnya adalah pahit: entah pendustaan kepada Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan entah pendustaan terhadap rawi-rawinya yang tsiqoh sebagaimana yang telah berlalu.
Ketika aku menulis ini, aku tahu bahwa sebagian orang-orang yang mengingkari hadits-hadits ini atau menakwilnya dengan takwil yang batil sebagaimana yang dilakukan oleh As-Suyuthiy –semoga Allah memaafkan kami dan beliau- dalam sebagian risalah-risalahnya. Yang menyeret mereka kepada hal itu hanyalah ghuluw (sikap berlebihan)nya mereka dalam mengagungkan dan mencintai Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Akhirnya, mereka mengingkari keberadaan kedua orang tua Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- –sebagaimana yang dikabarkan oleh beliau sendiri tentang keduanya–, sehingga seakan-akan mereka lebih sayang atas keduanya dibandingkan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-!!
Terkadang sebagian diantara tidak berhati-hati untuk condong kepada sebuah hadits yang masyhur pada lisan sebagian orang yang di dalamnya (dijelaskan) bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- menghidupkan ibu beliau. Dalam suatu riwayat, “…kedua orang tua beliau”. Itu adalah hadits palsu lagi batil di sisi para ulama, seperti Ad-Daruquthniy, Al-Jauroqoiy, Ibnu Asakir, Adz-Dzahabiy, Al-Asqolaniy dan selainnya sebagaimana hal ini telah dijelaskan pada tempatnya. Rujuklah –kalau anda mau- “Kitab Al-Abathil wal Manakir” oleh Al-Jauroqoniy dengan ta’liq (komentar) dari Doktor Abdur Rahman Al-Furyawa’iy (1/222-229).
Ibnul Jawziy berkata dalam Al-Mawdhu’at (1/284), “Ini adalah hadits palsu, tanpa ragu. Orang yang memalsukannya adalah kurang pemahaman lagi tak berilmu. Sebab, andaikan ia punya ilmu, maka ia akan tahu bahwa barangsiapa yang mati kafir, maka keimanannya tak akan berguna setelah ia dikembalikan (ke dunia). Bahkan tidak pula andaikan ia beriman saat ia melihat (malaikat maut). Cukuplah yang membantah hadits (palsu) ini, firman Allah -Ta’ala-,
فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِر [البقرة/217]
“…lalu dia mati dalam kekafiran…” (QS. Al-Baqoroh : 217)[11]
dan sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam Kitab Shohih,

اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لأُمِّى فَلَمْ يَأْذَنْ لِى
“Aku meminta izin kepada Robb-ku untuk memohonkan ampunan bagi ibuku. Namun Dia tak memberiku izin”.[12]
Syaikh Abdur Rahman Al-Yamaniy -rahimahullah- sungguh amat baik ucapan beliau mereka ini dengan ungkapan yang terang lagi ringkas, dalam komentar beliau terhadap Al-Fawa’id Al-Majmu’ah fil Ahadits Al-Mawdhu’ah, karya Asy-Syaukaniy dengan . Beliau berkata (hal. 322), “Seringkali rasa cinta mengalahkan sebagian orang. Akhirnya, ia pun melangkahi hujjah dan memeranginya. Barangsiapa yang diberi taufiq, niscaya ia akan mengetahui bahwa hal itu menyalahi cinta yang syar’i. Wallahul Musta’an”.
Aku katakan, “Diantara orang yang dikalahkan oleh rasa cinta, As-Suyuthiy –semoga Allah memaafkannya-. Karena, ia cenderung men-shohih-kan hadits tentang menghidupkan (ibu Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-) yang batil di sisi para ulama besar sebagaimana yang telah berlalu.
Sungguh ia (As-Suyuthiy) berusaha dalam kitabnya Al-La’ali (1/265-268) untuk mengompromikan antara hadits ini dengan hadits permintaan izin ini dan yang semakna dengannya bahwa ia (hadits tentang permintaan izin Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-) adalah mansukh (terhapus hukumnya). Padahal ia tahu dari ilmu ushul bahwa penghapusan hukum tak akan terjadi dalam berita-berita, hanyalah dalam hukum-hukum. Demikian itu, karena tak masuk akal kalau orang yang benar lagi dibenarkan (yakni, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-) mengabarkan tentang seseorang bahwa ia di neraka, lalu beliau menghapusnya lagi dengan sabdanya, “Sesungguhnya ia di surga”, sebagaimana hal ini telah jelas lagi dikenal di sisi para ulama.
Di antara kekalahan As-Suyuthiy dalam hal itu, ia berpaling dari menyebutkan hadits Muslim dari Anas yang cocok dengan hadits dalam judul dengan sikap berpaling secara mutlak dan ia tak mengisyaratkan hadits itu sedikitpun. Bahkan ia sungguh telah digelincirkan oleh pena dan bersikap ekstrim. Akhirnya, ia pun menghukumi hadits itu[13]. Akhirnya ia hukumi hadits itu lemah dalam keadaan ia bergantung (berpegang) dengan komentar sebagian diantara mereka tentang riwayat Hammad bin Salamah. Padahal ia tahu ia (Hammad) adalah termasuk diantara para imam kaum muslimin dan orang tsiqoh diantara mereka dan bahwa riwayat Hammad dari Tsabit adalah shohih. Bahkan Ibnul Madini, Ahmad dan lainnya berkata, “Murid-murid Tsabit yang paling kuat adalah Hammad, lalu Sulaiman, lalu Hammad bin Zaid”. Sedang ia  (riwayat-riwayat itu) shohih.
Pelemahan As-Suyuthiy tersebut aku pernah membacanya sejak dulu sekali dalam sebuah risalahnya tentang hadits menghidupkan (ibu Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-), cetakan India. Tanganku tak mampu menjangkaunya sekarang agar aku dapat menukil ucapannya dan meneliti kesalahan-kesalahannya. Silakan dirujuk risalah itu bagi orang yang mau mengecek.
Sungguh diantara pengaruh pelemahannya terhadap hadits itu, aku perhatikan ia berpaling dari menyebutkan hadits itu juga dalam sesuatu diantara kitab-kitabnya yang mencakup segala yang ada, seperti Al-Jami’ Ash-Shoghier wa Ziyadatih dan Al-Jami’ Al-Kabir. Oleh karena itu, Kanzul Ummal kosong dari hadits itu. Wallahul Musta’an walaa haula walaa quwwata illa billah.
Perhatikanlah perbedaan antara As-Suyuthiy dengan Al-Hafizh Al-Baihaqiy yang telah mendahulukan keimanan dan pembenaran atas perasaan dan hawa nafsu. Karena, Al-Baihaqiy tatkala menyebutkan hadits,
خَرَجْتُ مِنْ نِكَاحٍ غَيْرِ سِفَاحٍ
“Aku keluar (lahir) dari suatu pernikahan, bukan zina”.[14]
Beliau (Al-Baihaqiy) berkata setelahnya, “Kedua orang tua beliau (Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-) adalah musyrik berdasarkan (hadits) yang telah kami kabarkan”. Kemudian beliau membawakan hadits Anas ini[15]dan hadits Abu Hurairah yang telah berlalu[16] tentang ziarahnya beliau ke kubur ibunya -Shallallahu alaihi wa sallam-”. [Lihat Ash-Shohihah (6/180-182) karya Al-Albaniy]
Faedah Penting
Risalah yang paling bagus tentang keberadaan orang tua Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- adalah risalah yang ditulis oleh Syaikh Ibrahim Al-Halabiy -rahimahullah-, seorang imam dan khothib di Masjid Jami’ As-Sulthon Muhammad Al-Fatih (wafat 945 H) dengan judul Risalah fi Abawair Rasul Shollallahu alaihi wa sallam, dengan tahqiq Ali Ridho Al-Madaniy, cet. Darul Ma’arij, 1429 H.
Di dalamnya, Penulis tersebut membantah syubhat-syubhat orang-orang yang menyatakan bahwa orang tua Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- akan masuk surga dan keduanya adalah muslim!! Beliau menetapkan dengan hujjah yang kuat dan sulit dibantah bahwa kedua orang tua Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- kafir dan akan masuk neraka!!

[1] Ia adalah seorang alumnus Al-Azhar Mesir asal Tuban yang pernah nyantri di Denanyar Jombang dan lanjut di SPS UIN Syahid Jakarta. Belakangan ia menjadi wartawan Republika, Jakarta. Orang ini punya beberapa tulisan yang agak sedikit nyeleneh jika ditinjau dari sisi syar’iy.
[3] Adapun tulisan ini, insya Allah kami landasi dengan dalil yang kuat, dan jelas dari sejumlah hadits Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Dengannya, anda akan melihat sisi kuat argumen ulama yang menyatakan kafirnya kedua orang tua Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-.
[4] Meninggalkan ucapan mereka, bukan berarti kita merendahkan mereka. Bahkan memuliakan mereka, karena kita tidaklah mengangkatnya pada derajat rasul yang ma’shum.
[5] Lihat  Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih (2/91)oleh Ibnu Abdil Barr
[6] Hadits ini sedikit diperbincangkan oleh sebagian ulama. Walaupun sebagian lagi –seperti Syaikh Al-Albaniy- memandang bahwa hadits ini dapat dikuatkan oleh riwayat lain yang semakna dengannya.
[7] Jangan dipahami bahwa ayat yang diisyaratkan Ust. Nashih merupakan dalil bagi pendapatnya. Sama sekali bukan!! Tak ada kaitannya. Ayat itu hanya berbicara tentang sholatnya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
[8] Jadi, As-Suyuthiy melemahkan riwayat Hammad bin Salamah. Ini adalah pendapat lemah sebagaimana kami akan jelaskan, insya Allah.
[9] Itu tampak dari artikel yang ia tulis di situs Republika. Ia menyajikan materi dan membuat kesimpulan tanpa membawakan sebuah hadits pun. Padahal ia berbicara tentang agama. Andaikan ia bicara tentang dunia, yah mungkin wajar kalau tak ada dalilnya.
[10] Yakni, dalam hal perasaan!! Sebab perasaan manusia bertingkat dan beragam, sehingga perasaan tak boleh dijadikan tolok ukur dalam menetapkan suatu perkara yang berkaitan dengan agama. Jika perasaan dituruti, maka hancurlah agama ini!!
[11] Kelengkapan ayat ini, bunyinya,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ مِنْهُ أَكْبَرُ عِنْدَ اللَّهِ وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُواوَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ  [البقرة/217]
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al-Baqoroh : 217)
[12] HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 976).
[13] [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 203)]. Ini adalah hadits pertama dalam tulisan kami. Haditsnya shohih dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
[14] HR. Al-Baihaqiy dalam As-Sunan Al-Kubro (7/190).
[15] Maksudnya, dalil pertama dalam tulisan kami ini.
[16] Maksudnya, dalil ketiga dalam tulisan kami ini.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Akidah Kedua Orang Tua Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم

بسم الله الرحمن الرحيم
Sebelumnya kami tekankan bahwa tulisan ini tidak ada maksud buruk apapun. Tulisan ini semata-mata kami tuliskan untuk menyampaikan kebenaran dan meluruskan salah satu kekeliruan fatal yang tersebar dan diyakini oleh sebagian besar kaum muslimin. Kekeliruan tersebut adalah keyakinan bahwa ayah dan ibu Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم keduanya adalah termasuk orang-orang yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala (mukmin).
Ternyata keyakinan ini adalah tidaklah benar. Kedua orang tua Nabi Muhammad 
صلى الله عليه وسلم mereka hidup dan mati dalam keadaan musyrik, yaitu menyekutukan Allah di dalam peribadatan dengan sesuatu selain Allah (berhala). Mereka di masa hidupnya hingga matinya tetap menganut keyakinan dan ibadah syirik sebagaimana keumuman keadaan masyarakat Mekkah dan bangsa Arab di masa itu. Kenyataan dan keadaan seperti inilah yang membuat mereka kelak akan dimasukkan ke dalam neraka oleh Allah ‘azza wa jalla.
Pernyataan ini bukanlah datang dari akal pikiran, hawa nafsu, atau sekedar perkataan dusta yang tidak dilandasi dalil dan bukti yang kuat. Berikut ini akan kami sampaikan dalil-dalil shahih yang menunjukkan atas kekafiran ayah dan ibu Nabi Muhammad 
صلى الله عليه وسلم . Wallahul musta’an.
Dalil yang menunjukkan atas kafirnya Abdullah bin Abdil Muththalib, ayahanda Nabi Muhammad
صلى الله عليه وسلم .
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
أَنّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُولَ اللّهِ، أَيْنَ أَبِي؟ قَالَ: فِي النّارِ. فَلَمّا قَفّى دَعَاهُ فَقَالَ: إِنّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النّارِ
 “Seorang lelaki bertanya: “Wahai Rasulullah, di manakah ayahku berada?” Nabi menjawab: “Di dalam neraka.” Ketika orang itu berpaling untuk pergi, Nabi memanggilnya. Lalu Nabi berkata: “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu berada di dalam neraka.” [HR Muslim (203)]
Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa ayahanda Rasulullah 
صلى الله عليه وسلم mendapatkan hukuman yang sama dengan ayah dari lelaki tersebut, yaitu sama-sama berada di dalam neraka. Sebab yang membuat ayah Nabi Muhammad masuk ke dalam neraka adalah karena dia mati dalam keadaan menganut kepercayaan syirik penyembahan berhala, sebagaimana yang akan dijelaskan oleh Imam An Nawawi setelah ini.
Imam An Nawawi rahimahullah di dalam kitab Syarh Shahih Muslim memberikan judul untuk hadits di atas:
باب بيان أن من مات على الكفر فهو في النار ولا تناله شفاعة ولا تنفعه قرابة المقربين

Artinya: “Bab: Keterangan bahwasanya barangsiapa yang mati di atas kekufuran maka dia akan masuk neraka. Dia tidak akan mendapatkan syafaat dan hubungan kekeluargaan tidak memberikan manfaat baginya.”
Imam An Nawawi memberikan penjelasan mengenai hadits di atas. Beliau berkata:
“Di dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa barangsiapa yang mati di atas kekufuran maka dia akan masuk neraka dan tidak bermanfaat baginya hubungan kekeluargaan. Di dalam hadits ini juga terdapat keterangan bahwa barangsiapa yang mati pada masa fatrah (masa kekosongan/ ketiadaan nabi dan rasul) dalam keadaan dia menganut kepercayaan bangsa Arab yaitu penyembahan berhala, maka dia termasuk penghuni neraka.
Hal ini tidaklah bisa digugat dengan mengatakan bahwa hal ini terjadi sebelum sampainya dakwah (Islam) kepada mereka, karena sesungguhnya dakwah Nabi Ibrahim dan para nabi yang lain (yaitu dakwah tauhid) -shalawatullahi ta’ala wa salamuhu ‘alaihim- telah sampai kepada mereka.
Adapun perkataan Nabi 
صلى الله عليه وسلم : “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di dalam neraka.” Ini merupakan suatu budi pekerti yang baik, yaitu menghibur seseorang dengan mengatakan bahwa mereka sama-sama mendapatkan musibah yang sama.” Demikianlah penjelasan dari Imam An Nawawi rahimahullah ta’ala.
Dalil yang menunjukkan atas kafirnya Aminah bintu Wahb, ibunda Nabi Muhammad
صلى الله عليه وسلم .
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
زَارَ النّبِيّ صلى الله عليه وسلم قَبْرَ أُمّهِ. فَبَكَىَ وَأَبْكَىَ مَنْ حَوْلَهُ. فَقَالَ: اسْتَأْذَنْتُ رَبّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأذِنَ لِي
 “Nabi صلى الله عليه وسلم pergi berziarah ke kubur ibundanya. Lalu beliau menangis sehingga membuat orang-orang yang disekitarnya ikut menangis pula. Beliau berkata: “Saya telah meminta kepada Rabbku agar saya diizinkan untuk memohon ampun baginya, namun Allah tidak mengizinkanku. Saya meminta kepada-Nya agar saya diizinkan untuk menziarahi kuburnya, dan Allah mengizinkanku.” [HR Muslim (976)]
Hadits di atas dengan jelas menerangkan bahwa ibunda Rasulullah 
صلى الله عليه وسلم mati dalam keadaan kafir. Buktinya adalah karena Rasulullah dilarang untuk memintakan ampun bagi ibundanya.  Kalau seandainya dia seorang mukminah, maka tentunya beliau tidak akan dilarang untuk memintakan ampun untuk sang ibunda. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Allah ta’ala di dalam Al Qur`an:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
 “Tidaklah boleh bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik walaupun orang-orang musyrik itu adalah kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.” [QS At Taubah: 113]
Inilah sebabnya mengapa Nabi Muhammad 
صلى الله عليه وسلم dilarang untuk memintakan ampun bagi ibundanya.
Imam An Nawawi memberikan penjelasan mengenai hadits di atas. Beliau berkata: “Di dalam hadits ini terdapat keterangan tentang larangan meminta ampun bagi orang-orang kafir.”
Beberapa Syubhat tentang Masalah Ini.

Ada beberapa syubhat yang biasa dilontarkan oleh orang-orang yang mengatakan bahwa kedua orang tua Nabi 
صلى الله عليه وسلم adalah orang mukmin dan tidak masuk ke dalam neraka. Kebanyakan syubhat mereka adalah berdasarkan perasaan dan akal semata, bukan berlandaskan dalil yang shahih dan ilmiah. Di antara syubhat tersebut adalah:
Syubhat Pertama:
Nabi Muhammad 
صلى الله عليه وسلم adalah manusia pilihan Allah yang diangkat menjadi khalil dan utusan Allah. Orang yang demikian, tentunya berasal dari keluarga yang terbaik pula, sehingga tidak mungkin Nabi Muhammad dilahirkan dari orang tua yang kafir dan dibesarkan di keluarga yang kafir pula.
Jawaban:
Tidak diragukan lagi bahwa para nabi dan rasul merupakan orang pilihan Allah dan manusia yang terbaik di masanya. Begitu pula keluarga beliau merupakan keluarga yang terpandang dan disegani di kalangan bangsa Arab. Namun kelebihan mereka ini adalah dalam hal sosial kemasyarakatan, bukan dalam hal keimanan dan ibadah kepada Allah. Buktinya ada sebagian dari anggota keluarga Nabi Muhammad 
صلى الله عليه وسلم yang menyembah berhala dan melakukan berbagai kesyirikan, seperti kakek beliau (Abdul Muththalib), sebagian paman beliau (Abu Thalib dan Abu Lahab), dan kedua orang tua beliau.
Bukti yang menunjukkan bahwa Abdul Muththalib dan Abu Thalib mati dalam kemusyrikan adalah sebuah hadits dari Al Musayyab bin Hazn radhiallahu, dia berkata:
أَنَّهُ لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلِ بْنَ هِشَامٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَبِي طَالِبٍ يَا عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيَعُودَانِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا وَاللَّهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ
 “Ketika Abu Thalib hampir meninggal, datanglah Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjenguknya. Beliau mendapati di sana telah hadir Abu Jahl bin Hisyam dan Abdullah bin Abi Umayyah ibnul Mughirah. Lalu Rasulullah صلى الله عليه وسلم berkata kepada Abu Thalib: “Wahai pamanku, ucapkanlah “Laa ilaaha illallah” agar aku dapat bersaksi dengan kalimat tersebut di hadapan Allah atas (keimanan) dirimu.” Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah berkata: “Wahai Abu Thalib, apakah engkau memusuhi agamanya Abdul Muththalib?” Rasulullah صلى الله عليه وسلم berulangkali mengulangi perkataan beliau, dan begitu pula mereka berdua terus mengulangi perkataan mereka. Akhirnya perkataan terakhir yang diucapkan Abu Thalib adalah dia tetap mengikuti agamanya Abdul Muththalib dan enggan untuk mengucapkan “Laa ilaaha illallah”. Lalu Rasulullah صلى الله عليه وسلم berkata: “Demi Allah, aku benar-benar akan memintakan ampun (kepada Allah) untukmu sebelum aku dilarang untuk melakukannya.”
Setelah itu, turunlah ayat yang melarang beliau untuk memintakan ampun bagi pamannya. Ayat tersebut adalah:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
 “Tidaklah boleh bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik walaupun orang-orang musyrik itu adalah kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.” [QS At Taubah: 113]
Kisah di atas diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari (1360) dan Muslim (24) di dalam kedua kitab Shahih mereka.
Di dalam hadits yang lain dari Abbas bin Abdil Muththalib radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ نَفَعْتَ أَبَا طَالِبٍ بِشَيْءٍ فَإِنَّهُ كَانَ يَحُوطُكَ وَيَغْضَبُ لَكَ قَالَ نَعَمْ هُوَ فِي ضَحْضَاحٍ مِنْ نَارٍ لَوْلَا أَنَا لَكَانَ فِي الدَّرَكِ الْأَسْفَلِ مِنْ النَّارِ
 “Wahai Rasulullah, apakah ada suatu manfaat yang anda berikan kepada Abu Thalib, karena sesungguhnya dia dahulu telah melindungi anda dan membela anda?” Nabi menjawab: “Ya, ada. Dia berada di tempat yang dangkal di dalam neraka. Kalau bukan karena (syafaat) saya, pastilah dia berada di bagian yang paling bawah dari neraka.” [HR Al Bukhari (6208) dan Muslim (209)]
Sedangkan dalil yang menunjukkan bahwa Abu Lahab adalah seorang kafir adalah firman Allah di dalam surat Al Lahab.
Syubhat Kedua:
Para nabi dan rasul adalah manusia yang paling beriman kepada Allah. Tentunya ini juga berlaku kepada keluarga mereka, karena tidak mungkin seorang nabi dan rasul itu memiliki keluarga yang ingkar kepada Allah. Demikian pula halnya Nabi kita Muhammad 
صلى الله عليه وسلم .
Jawaban:
Cara berpikir demikian tidaklah sepenuhnya benar. Buktinya, ada di antara para nabi dan Rasul yang keluarganya tidak mengikuti mereka dalam hal keimanan dan ketaatan kepada Allah.
Di antara contohnya adalah Nabi Nuh 
صلى الله عليه وسلم . Istri dan anak beliau hidup dan mati di dalam kekafiran. Silakan membaca surat At Tahrim ayat 10 dan surat Hud ayat 42, 43, dan 46.
Contoh lainnya adalah Nabi Ibrahim 
صلى الله عليه وسلم . Ayah beliau yang bernama Azar adalah seorang pembuat dan penyembah berhala dan mati di dalam kekafiran. Silakan membaca surat Maryam ayat 41-48, surat At Taubah ayat 114, dan surat Al An’am ayat 74.
Begitu pula halnya dengan Nabi Luth 
صلى الله عليه وسلم . Istri beliau adalah termasuk orang yang dibinasakan oleh Allah ‘azza wa jalla bersama kaum Sodom. Silakan membaca surat At Tahrim ayat 10, surat Al A’raf ayat 80-84, surat Hud ayat 81, surat Al Hijr ayat 58-60, surat Al Hijr ayat 170-173, surat An Naml ayat 57-58, surat Al ‘Ankabut ayat 32, dan surat Ash Shaffat ayat 133-136.
Kesimpulan dan pelajaran yang bisa kita ambil di sini adalah keimanan itu bukanlah suatu warisan dari leluhur dan orang tua, dan ia juga tidak dapat diwariskan kepada anak cucu dan keturunan. Keimanan itu semata-mata hidayah dari Allah subhanahu wa ta’ala yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki.
Syubhat Ketiga:
Sejarah mencatat bahwa kakek Nabi Muhammad 
صلى الله عليه وسلم  yang bernama Abdul Muththalib adalah penjaga Ka’bah, rumah Allah. Penjaga Ka’bah tentu bukanlah orang sembarangan. Ini menunjukkan bahwa kakek Nabi adalah seorang yang beriman kepada Allah.
Jawaban:
Kenyataan bahwa Abdul Muththalib merupakan penjaga Ka’bah adalah benar. Bahkan dia adalah termasuk orang-orang yang mengatur pelaksanaan haji dan yang memberikan makanan dan minuman kepada para haji.
Namun kenyataan ini tidak serta-merta menunjukkan bahwasanya dia adalah seorang yang beriman, karena pada kenyataannya bangsa Arab pada masa itu meskipun mereka sangat menghormati dan memuliakan Ka’bah namun mereka tetap menyekutukan Allah dengan menyembah berhala yang dipasang di sekitar Ka’bah.
Allah mengatakan bahwa pemuliaan mereka terhadap Baitullah dan orang-orang yang berhaji bukanlah jaminan atas keimanan mereka sepanjang mereka masih melakukan kesyirikan. Bahkan Allah menamakan mereka sebagai orang yang zhalim karena tidak mau beriman kepada Allah.
Allah berfirman:
أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَوُونَ عِنْدَ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
 “Apakah kalian menganggap (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang berhaji dan mengurus Masjidil Haram adalah sama dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat serta berjihad di jalan Allah? Mereka itu tidaklah sama di sisi Allah! Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” [QS At Taubah: 19]
Silakan melihat kembali dalil tentang kafirnya Abdul Muththalib di jawaban syubhat yang pertama.
Syubhat Keempat:
Kedua orang tua Nabi Muhammad 
صلى الله عليه وسلم hidup di masa tidak adanya nabi dan rasul. Ketika mereka berdua meninggal, agama Islam belum lagi ada. Dengan ini berarti mereka termasuk ke dalam golongan orang-orang yang dimaafkan karena tidak/belum adanya dakwah tauhid yang sampai kepada mereka (ahlul fatrah). Contohnya adalah Waraqah bin Naufal yang hidup pada masa kekosongan nabi/rasul dan beliau dikatakan mati dalam keadaan beriman.
Jawaban:
Tidaklah benar apabila dikatakan pada masa itu di kalangan bangsa Arab bahwa tidak ada dakwah tauhid yang sampai kepada mereka. Justru mereka telah mengetahui tentang dakwah tauhid yang dibawa oleh Nabi Ibrahim ‘alaihish shalatu was salam kepada bangsa Arab melalui anak beliau nabi Ismail ‘alaihissalam. Nabi Ismail merupakan leluhur bangsa Arab.
Disebutkan oleh Imam An Nawawi rahimahullah di dalam kitab Syarh Shahih Muslim ketika menerangkan hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
أَنّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُولَ اللّهِ، أَيْنَ أَبِي؟ قَالَ: فِي النّارِ. فَلَمّا قَفّى دَعَاهُ فَقَالَ: إِنّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النّارِ
 “Seorang lelaki bertanya: “Wahai Rasulullah, di manakah ayahku berada?” Nabi menjawab: “Di dalam neraka.” Ketika orang itu berpaling untuk pergi, Nabi memanggilnya. Lalu Nabi berkata: “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu berada di dalam neraka.” [HR Muslim (203)]
Beliau rahimahullah berkata: “Di dalam hadits ini juga terdapat keterangan bahwa barangsiapa yang mati pada masa fatrah (masa kekosongan/ ketiadaan nabi dan rasul) dalam keadaan menganut kepercayaan bangsa Arab yaitu penyembahan berhala, maka dia termasuk penghuni neraka. Hal ini tidaklah bisa digugat dengan mengatakan bahwa hal ini terjadi sebelum sampainya dakwah (Islam) kepada mereka, karena sesungguhnya dakwah Nabi Ibrahim dan para nabi yang lain (yaitu dakwah tauhid) -shalawatullahi ta’ala wa salamuhu ‘alaihim- telah sampai kepada mereka.”
Benar, mungkin saja ada sebagian individu bangsa Arab yang tidak pernah mendengar tentang dakwah para nabi. Urusan mereka akan diselesaikan oleh Allah kelak di hari Akhirat. Adapun bagi orang-orang yang telah jelas datang keterangan dari dalil-dalil naqli tentang kekafirannya, maka wajib bagi kita untuk mengikuti dalil tersebut.
Adapun Waraqah bin Naufal, memang benar beliau hidup pada masa tersebut di tengah bangsa Arab yang melakukan kesyirikan. Namun perlu diketahui bahwa beliau sama sekali tidak mengikuti kesyirikan yang dianut oleh mayoritas bangsa Arab pada masa itu. Beliau tetap berpegang teguh dengan ajaran Nasrani yang masih murni yang dibawa oleh Nabi Isa ‘alaihis salam. Bahkan beliau bertekad akan melindungi Nabi Muhammad 
صلى الله عليه وسلم dan beriman kepadanya apabila dia diberikan umur yang panjang hingga Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul.
Mirip dengan kisahnya Waraqah bin Naufal adalah kisahnya Zaid bin ‘Amr bin Nufail yang tidak mau mengikuti kesyirikan yang dilakukan oleh bangsa Arab pada masa itu.
Syubhat Kelima:
Mengatakan bahwa kedua orang tua Nabi Muhammad 
صلى الله عليه وسلم sebagai orang kafir penghuni neraka merupakan bentuk kelancangan dan penghinaan yang luar biasa terhadap Nabi dan kedua orang tua beliau yang sangat beliau cintai.
Jawaban:
Di dalam Islam, kita dilarang untuk mengatakan seseorang adalah penghuni surga atau neraka dengan akal dan perasaan. Untuk memastikan seseorang itu adalah penghuni surga atau neraka, maka kita harus memiliki bukti dan dalil yang shahih yang menerangkan demikian.
Dalam hal ini, yang mengatakan bahwa kedua orang tua Nabi Muhammad 
صلى الله عليه وسلم adalah penghuni neraka bukanlah kita. Akan tetapi, yang menerangkan demikian adalah Nabi Muhammad sendiri di dalam hadits yang shahih sebagaimana yang telah kita sebutkan di atas. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk menerima perkataan beliau karena beliau tidak berbicara dengan menggunakan hawa nafsu. Apa yang beliau sampaikan merupakan wahyu dari Allah. Allah berfirman:
مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى (2) وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
 “Sahabat kalian itu (Muhammad) tidaklah sesat dan tidak pula keliru. Dia tidak berbicara menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain merupakan wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [QS An Najm 2-4]
Justru sebaliknya, jika kita menolak pernyataan Rasulullah 
صلى الله عليه وسلم dalam hal ini, berarti sebenarnya kitalah yang telah melecehkan beliau karena tidak mau mengikuti kebenaran dan kenyataan yang  beliau sampaikan kepada kita.
Syubhat Keenam:
Kedua orang tua Nabi Muhammad 
صلى الله عليه وسلم adalah orang yang paling beliau cintai di dalam hidupnya. Maka bagaimana mungkin kedua orang yang paling dicintainya masuk ke dalam neraka? Ini sungguh mustahil!
Jawaban:
Sudah merupakan fitrah bahwa seorang anak itu sangat mencintai kedua orang tuanya. Seorang anak itu tentunya menginginkan kebaikan kepada kedua orang tuanya. Terutama sekali adalah kebaikan yang berupa keimanan. Namun hidayah kepada Islam itu semata-mata merupakan pemberian dari Allah. Keimanan itu tidak bisa diwariskan atau dibagi-bagi. Allah ta'ala berfirman:
وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
 “Allah memberikan hidayah bagi orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” [QS Al Baqarah: 213]
Di antara orang yang paling beliau cintai dan yang paling beliau harapkan keislamannya adalah paman beliau yang selalu membelanya, yaitu Abu Thalib. Senantiasa beliau mendakwahkan Islam kepada pamannya bahkan hingga di akhir hayat dengan harapan agar beliau mau masuk Islam. Namun kenyataannya Nabi tidak dapat menyelamatkan pamannya dari kesyirikan. Nabi tidak mampu untuk memberikan hidayah kepada pamannya yang sangat dicintainya itu.
Dalam hal ini Allah ta'ala berfirman:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
 “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” [QS Al Qashash: 56]
وبالله التوفيق
- See more at: http://dakwahquransunnah.blogspot.com/2013/04/akidah-kedua-orang-tua-nabi-muhammad_6041.html
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Orang tua Rasulullah saw kafir dan masuk neraka? Fitnah yang keji!

Roqi Muqorrobin Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menziarahi kubur ibunya, lalu beliau menangis sehingga orang-orang yang ada di sekitar beliau-pun ikut menangis. Karenanya beliau bersabda, “Aku telah meminta izin kepada Rabb-ku untuk saya beristighfar (memintakan ampun) baginya, namun Dia tidak mengizinkan. Dan aku meminta izin untuk menziarahi (mengunjungi) kuburnya, maka Dia mengizinkan untukku. Karenanya, lakukan ziarah kubur, sebab hal itu bisa mengingatkan kepada kematian.”
Dalam riwayat lain yang disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir, dari hadits Ibnu Mas’ud bahwa kisah ini menjadi sebab turunnya firman Allah,
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahanam.” (QS. Al-Taubah: 113) dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengutarakan bahwa kesedihan ini merupakan naluri sayang seorang anak terhadap orang tuanya. (Lihat: Al-Hakim dalam Mustadrak: 2/336 beliau mengatakan, “Shahih sesuai syarat keduanya –Bukhari dan Muslim-; Al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwah: 1/189)
Dan terdapat tambahan keterangan dalam al-Mu’jam al-Kabir milik al-Thabrani rahimahullaah, bahwa Jibril ‘alaihis salam berkata kepada beliau,
فَتَبَرَّأَ أَنْتَ مِنْ أُمِّكَ، كَمَا تَبَرَّأَ إِبْرَاهِيمُ مِنْ أَبِيهِ
“Berlepas dirilah engkau dari ibumu sebagaimana Ibrahim berlepas diri dari bapaknya.” (Lihat juga Tafsir Ibni Katsir dalam menafsirkan QS. Al-Taubah: 113-114)
Maka sangat jelas status Aminah (ibunda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), meninggal di luar Islam dan berada di neraka.
Maka sangat jelas status Aminah (ibunda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), meninggal di luar Islam dan berada di neraka.
Sedangkan riwayat yang menunjukkan bahwa ayah beliau (Abdullah) meninggal sebagai musyrik dan berada di neraka adalah hadits yang diriwayatakan Muslim dari Anas: Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Di manakah bapakku?” Beliau menjawab, “Di neraka.” Maka ketika ia berbalik, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilnya dan bersabda:
إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ
“Sesungguhnya bapakku dan bapakmu berada di neraka.”
Hadits ini menunjukkan bahwa ayah beliau meninggal sebagai orang kafir. Dan siapa yang meninggal di atas kekafiran maka dia di neraka, hubungan kekerabatan tidak berguna dan tidak bisa menyelamatkannya. (Lihat: Syarah Shahih Muslim, Imam al-Nawawi: no. 302)
——————————————————————————————————————————————————————————-

BAB I
PENDAHULUAN 
Segala puji syukur hanya bagi Allah dan Shalawat beserta Salam semoga dicurahkan kepada Bagina Rasulullah saw para keluarga dan Sahabat seluruhnya serta para pengikutnya yang setia hingga hari akhir. Amin
Di atas adalah sekelebat tanya jawab saya dengan kawan facebooker yang mempertanyakan tentang kekafiran orangtua Rasulullah saw dan ihwal mereka masuk neraka.
Maka oleh sebab itu dengan segala keterbatasan penulis mencoba mengurai benang kusut yang sengaja dibuat oleh antek-antek Kafirin yang menyudutkan orangtua Rasulullah saw dengan tujuan akhir adalah menistakan keluarga beliau.
BAB II
PEMBAHASAN
Berikut penulis akan mencoba mengurai hadits-hadits yang dikutip oleh penanya satu persatu:
1. Hadits Riwayat Imam Bukhari:
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ، أَخْبَرَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ صَالِحٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ المُسَيِّبِ، عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ: أَنَّهُ لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلِ بْنَ هِشَامٍ، وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ المُغِيرَةِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَبِي طَالِبٍ: ” يَا عَمِّ، قُلْ: لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ ” فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ: يَا أَبَا طَالِبٍ أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ المُطَّلِبِ؟ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ، وَيَعُودَانِ بِتِلْكَ المَقَالَةِ حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ: هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ المُطَّلِبِ، وَأَبَى أَنْ يَقُولَ: لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَمَا وَاللَّهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ» فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِ: {مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ} [التوبة: 113] الآيَةَ
“Telah menceritakan kepada kami Ishaq telah mengabarkan kepada kami Ya’qub bin Ibrahim berkata, telah menceritakan apakku kepadaku dari Shalih dari Ibnu Syihab berkata, telah mengabarkan kepada saya telah mengabarkan kepada saya Sa’id bin Al Musayyab dari bapaknya bahwasanya dia mengabarkan kepadanya: “Ketika menjelang wafatnya Abu Tholib, Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam mendatanginya dan ternyata sudah ada Abu Jahal bin Hisyam dan ‘Abdullah bin Abu Umayyah bin Al Mughirah. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam berkata, kepada Abu Tholib: “Wahai pamanku katakanlah laa ilaaha illallah, suatu kalimat yang dengannya aku akan menjadi saksi atasmu di sisi Allah”. Maka berkata, Abu Jahal dan ‘Abdullah bin Abu Umayyah: “Wahai Abu Thalib, apakah kamu akan meninggalkan agama ‘Abdul Muthalib?”. Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam terus menawarkan kalimat syahadat kepada Abu Tholib dan bersamaan itu pula kedua orang itu mengulang pertanyaannya yang berujung Abu Tholib pada akhir ucapannya tetap mengikuti agama ‘Abdul Muthalib dan enggan untuk mengucapkan laa ilaaha illallah. Maka berkatalah Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam: “Adapun aku akan tetap memintakan ampun buatmu selama aku tidak dilarang”. Maka turunlah firman Allah subhanahu wata’ala tentang peristiwa ini: (“Tidak patut bagi Nabi …”) dalam (QS AT-Taubah ayat 113).”[1]

2. Hadits riwayat Imam Muslim: 
وحَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى التُّجِيبِيُّ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ قَالَ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيُعِيدُ لَهُ تِلْكَ الْمَقَالَةَ حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا وَاللَّهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ {مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ} وَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِي أَبِي طَالِبٍ فَقَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ} وحَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ قَالَا أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ وحَدَّثَنَا حَسَنٌ الْحُلْوَانِيُّ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ قَالَا حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ وَهُوَ ابْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ صَالِحٍ كِلَاهُمَا عَنْ الزُّهْرِيِّ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ غَيْرَ أَنَّ حَدِيثَ صَالِحٍ انْتَهَى عِنْدَ قَوْلِهِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِيهِ وَلَمْ يَذْكُرْ الْآيَتَيْنِ وَقَالَ فِي حَدِيثِهِ وَيَعُودَانِ فِي تِلْكَ الْمَقَالَةِ وَفِي حَدِيثِ مَعْمَرٍ مَكَانَ هَذِهِ الْكَلِمَةِ فَلَمْ يَزَالَا بِهِ
“Dan telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya at-Tujibi telah mengabarkan kepadaku Abdullah bin Wahb dia berkata, telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dia berkata, telah mengabarkan kepadaku Said bin al-Musayyab dari bapaknya dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menziarahi Abu Thalib di saat-saat dirinya tengah menghadapi sakaratul maut. Beliau mendapati Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umaiyyah bin al-Mughirah turut berada di sana. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Paman! Ucaplah Dua Kalimah Syahadat, aku akan menjadi saksi kamu di hadapan Allah.” Lalu Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah mencelah, ‘Wahai Abu Thalib sanggupkah kamu meninggalkan agama Abdul Muththalib? ‘ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berputus asa malah tetap mengajarnya mengucap Dua Kalimah Syahadat serta berkali-kali mengulanginya. Sehingga Abu Thalib menjawab sebagai ucapan terakhir kepada mereka, bahwa dia tetap bersama dengan agama Abdul MuThalib, dan enggan mengucapkan Kalimah Syahadat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: “Demi Allah, aku akan mohonkan ampunan dari Allah untukmu, ” sehingga Allah menurunkan ayat: ‘(Tidak dibenarkan bagi Nabi dan orang-orang yang beriman meminta ampun bagi orang-orang yang syirik sekalipun orang itu kaum kerabat sendiri setelah nyata bagi mereka bahwa orang-orang syirik itu adalah ahli Neraka) ‘ (Qs. AtTaubah: 113). Lalu Allah menurunkan firman-Nya berkenaan dengan peristiwa Abu Thalib: ‘(Sesungguhnya kamu wahai Muhammad tidak berkuasa memberi hidayat petunjuk kepada siapa yang kamu kasihi supaya dia menerima Islam tetapi Allah jualah yang berkuasa memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Dia jualah yang lebih mengetahui siapakah orang-orang yang (bersedia) untuk mendapat petunjuk memeluk Islam) ‘. (Qs. Al Qashash: 56). Dan telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim dan Abd bin Humaid keduanya berkata, telah mengabarkan kepada kami Abdurrazzaq telah mengabarkan kepada kami Ma’mar. (dalam riwayat lain disebutkan) Dan telah menceritakan kepada kami Hasan al-Hulwani dan Abd bin Humaid keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ya’qub -yaitu Ibnu Ibrahim bin Sa’ad- dia berkata, telah menceritakan kepada kami bapakku dari Shalih keduanya dari az-Zuhri dengan sanad ini semisalnya. Hanya saja hadits Shalih selesai pada perkataannya, ‘lalu Allah menurunkan firman-Nya tentangnya, ‘ dan dia tidak menyebutkan dua ayat tersebut. Dan dia menyebutkan di dalam haditsnya, ‘Dan keduanya kembali mengucapkan perkataan tersebut, pada hadits Ma’mar adalah sebagai pengganti kalimat ini. Dan mereka berdua tetap berpedoman padanya.” (HR. Muslim).[2]
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dan perawi-perawi lainnya. Asbab al-Nuzul Hadits ini bukan lah karena wafatnya ibu Rasulullah, AKAN TETAPI BERKAITAN TENTANG WAFATNYA PAMAN RASULULLAH ABU THALIB.
Jadi Rasulullah menangis dan mendoakan ibunya adalah KEDUSTAAN BESAR, karena Nabi Muhammad sudah Yatim Piatu sebelum menjadi Rasul.
Dan dalam kitab Mustadrak milik Imam al-Hakim[3] yang dikutip penanya di atas tidaklah juga menyebut demikian. Jelas ini adalah perkara-perkara dusta yang dibuat oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
3. Hadits yang penanya kutip:
فَتَبَرَّأَ أَنْتَ مِنْ أُمِّكَ، كَمَا تَبَرَّأَ إِبْرَاهِيمُ مِنْ أَبِيهِ
“Berlepas dirilah engkau dari ibumu sebagaimana Ibrahim berlepas diri dari bapaknya.” (Lihat juga Tafsir Ibni Katsir dalam menafsirkan QS. Al-Taubah: 113-114)

Hadits di atas adalah Hadits Riwayat Imam Thabraniy yang merupakan hadits yang sangat panjang, baiklah penulis akan menuliskannya sebagian saja:
فَدَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يَأْذَنَ لِي فِي شَفَاعَتِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَأَبَى اللَّهُ أَنْ يَأْذَنَ لِي، فَرَحِمْتُهَا وَهِيَ أُمِّي، فَبَكَيْتُ، ثُمَّ جَاءَنِي جِبْرِيلُ فَقَالَ: {وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لأبِيهِ إِلا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ} فَتَبَرَّأْ أَنْتَ مِنْ أُمِّكَ، كَمَا تَبَرَّأَ إِبْرَاهِيمُ مِنْ أَبِيهِ، فرحمْتُها وَهِيَ أُمِّي…..
“Aku berdoa kepada Allah agar aku dapat memberikan Syafa’at kelak pada hari Kiamat, dan Allah pun menolak untuk memberiku izin. Karena sayang kepadanya yaitu ibuku maka akupun menangis. Kemudian datanglah Jibril dan berkata: “Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri daripadanya.” Maka berlepas dirilah Engkau dari Ibumu sebagaimana Ibrahim berlepas diri dari Bapaknya” (kata Jibril). “Tapi aku menyayanginya yaitu ibuku.” (HR. Thabraniy).[4]
Ibnu Katsir menyebutkan dengan sangat jelas bahwa Hadits di atas (فَتَبَرَّأَ أَنْتَ مِنْ أُمِّكَ، كَمَا تَبَرَّأَ إِبْرَاهِيمُ مِنْ أَبِيهِ) adalah Hadits Gharib (tidak dikenal/asing) yang haditsnya diriwayatkan menyendiri dan cenderung hadits Munkar yang diriwayatkan oleh al-Khathiyb al-Baghdaadiy yang sanadnya Majhul (tidak diketahui). Bahkan al-Hafizh Ibnu Dihyah mengatakan bahwa hadits ini Maudhu’ (Palsu) yang menyalahi al-Qur’an dan Ijma’.[5]
3. Hadits yang penanya kutip:
إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ
“Sesungguhnya bapakku dan bapakmu berada di neraka.”
Adalah Hadits Riwayat Imam Muslim maka Matan aslinya adalah berikut ini:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيْنَ أَبِي؟ قَالَ: «فِي النَّارِ»، فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ، فَقَالَ: “«إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ
“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Affan telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas bahwa seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulullah, di manakah bapakku?” Beliau menjawab, “Dia di dalam neraka.” Ketika laki-laki tersebut berlalu pergi, maka beliau memanggilnya seraya berkata: “Sesungguhnya bapakku dan bapakmu di dalam neraka.” (HR. Muslim).[6]
Menurut Imam Qurthubiy Sanad Hadits ini (yaitu Muhammad bin Ka’ab) adalah Dha’if (Lemah).[7]Sedangkan menurut Imam Qurthubiy bahwa berargumentasi dengan hadits ini sangat tidak bijaksana (karena kedha’ifannya).[8]

BAB III
KESIMPULAN

Dari hadits-hadits yang diuraikan di atas sangatlah jelas bahwa argumentasi orang yang mengatakan orangtua Rasulullah adalah Kafir adalah lemah dan sudah terbantahkan. Tidak bermaksud menyudutkan, akan tetapi kemungkinan orang yang berpendapat demikian  adalah dari golongan Wahabi dan/atau Salafi.   ????????????? [ yang nulis syi’ah rafidhah ]
Semua argumentasi mereka adalah kering dari kebenaran, karena memakai hadits yang Gharib, dan Dha’if meskipun diriwayatkan oleh Imam Muslim sekalipun. Karena Imam Muslim sendiri mengatakan bahwa hadits dalam kitabnya tidak luput dari kesalahan.
Wallahu A’lam.

[1] Muhammad bin ‘Isma’iyl bin ‘Abu ‘Abd Allah al-Bukhoriy al-Ja’fiy, al-Jami’ al-Musnad al-Shahiyh al-Mukhtashar Min Umuwr Rosuwl Allah saw Wa Ayyaamih (Shahih Bukhooriy), Damascus: Dar el-Thuwq el-Najah, 1422 H, cet. I, vol. II, h. 95/vol. V, h. 52/vol. VI, h. 69.
[2] Muslim bin al-Hajjaaj Abuw al-Hasan al-Qusyairiy al-Niysabuwriy, al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar bi Naql al-’Adl ‘An al-’Adl Ilaa Rasuwl Allah saw (Shahih Muslim), Beirut: Dar Ehya el-Turath el-’Arobiy, t.t., vol. I, h. 54.
[3] Abu ‘Abd Allah al-Haakim Muhammad bin ‘Abd Allah bin Muhammad bin Hamdawayh bin Nu’aym bin al-Hakam al-Dhabiy al-Thahmaaniy al-Naysabuwriy, al-Mustadrok ‘Ala al-Shahiyhayn, Beirut: Dar el-Kutub el-’Ilmiyyah, 1990 M/1411 H, cet. I, vol. II, h. 365-366.
[4] Sulaiman bin Ahmad bin Ayyuwb bin Muthiyr al-Lakhmiy al-Syaamiy al-Thabraniy, al-Mu’jam al-Kabiyr, Riyadh: Dar el-Shamiy’iy, 1415 H/1994 M, cet. I, vol. XI, h. 374.
[5] Abuw al-Fadaa’ Isma’iyl bin ‘Umar bin Katsiyr al-Qurosiy al-Bashoriy al-Damisyqiy, Tafsiyr al-Qur’an al-’Azhiym (Tafsir Ibnu Katsir), Cairo: Dar el-Thaybah Li al-Nasyr wa al-Taqziy’, 1999 M/1420 H, vol. IV, h. 223.
[6] Muslim bin al-Hajjaaj Abuw al-Hasan al-Qusyairiy al-Niysabuwriy, al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar bi Naql al-’Adl ‘An al-’Adl Ilaa Rasuwl Allah saw (Shahih Muslim), Beirut: Dar Ehya el-Turath el-’Arobiy, t.t., vol. I, h. 54.
[7] Abuw al-Fadaa’ Isma’iyl bin ‘Umar bin Katsiyr al-Qurosiy al-Bashoriy al-Diamsyqiy, Tafsiyr al-Qur’an al-’Azhiym (Tafsir Ibnu Katsir), Cairo: Dar el-Thaybah Li al-Nasyr wa al-Taqziy’, 1999 M/1420 H, vol. I, h. 401.
[8] Muhammad bin Jariyr bin Yaziyd bin Katsiyr bin Ghaalib al-Aamiliy al-Thabariy, Jaami’ al-Bayaan Fiy Ta’wiyl al-Qur’aan (Tafsir Thabariy), Beirut: Mu’assasah el-Risaalah, 2000 M/1420 H, cet. I, vol. II, h. 559.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Kedudukan Orang Tua Nabi: Kafir atau Muslim?
Posted by Fadhl Ihsan
KAJIAN ILMIYAH TENTANG KEDUA ORANG TUA NABI (menjawab syubhat Syi’ah 1)
1. Berkata Al Imam An Nawawi ketika menjelaskan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam: “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka.”
“Di dalam hadits ini terdapat faidah bahwa siapa yang mati di atas kekafiran maka dia di neraka dan tidak akan bermanfaat baginya kerabat dekat.”
2. Al Imam Al Baihaqi berkata di dalam kitabnya “Dalailun Nubuwah” (1/192-193) setelah menyebutkan sejumlah hadits yang menjelaskan bahwa kedua orang tua Nabi di neraka: “Bagaimana mungkin keduanya tidak mendapatkan sifat yang demikian di akhirat, sedang mereka menyembah patung-patung sampai mereka mati, dan tidak beragama dengan apa yang dibawa oleh Nabi Isa alaihi salam, …………”
Dan beliau berkata juga didalam “As Sunanul Kubro” (7/190): “Kedua orang tua beliau adalah Musyrik.” Kemudian beliau menyebutkan dalil-dalilnya.
Masih banyak lagi pernyataan para ulama yang senada, bahkan Al Imam ‘Ali Al Qori menukilkan kesepakatan ulama atas perkara tersebut. Lalu bagaimana dengan sangkaan kaum syi’ah yang menyatakan bahwa kedua orang Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mukmin?
Memang di sana terdapat hadits-hadits yang menguatkan pendapat mereka itu, akan tetapi sayang sungguh disayang, bahwa hadits-hadits tersebut sebagiannya lemah, sebagiannya lagi palsu, baik ditinjau dari rangkaian para periwayat haditsnya atau ditinjau dari kandungan haditsnya -yang insya Allah kita akan bahas satu persatu hadits-hadits yang mereka jadikan sandaran tersebut-. Semoga Allah memberikan kepada kita semua petunjuk untuk selalu berada di atas jalan yang lurus ini, amin ya Rabbal ‘alamin.
Hujjah mereka:
1. Bahwa kedua orang tua nabi memang mati dalam keadaan kafir akan tetapi Allah akan menghidupkannya kembali untuk kemudian beriman kepada beliau shalallahu ‘alaihi wasallam. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan Ibnu Syahin dari A’isyah radhiallahu ‘anha:
……. Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku pergi ke kubur ibuku, kemudian aku memohon kepada Allah untuk menghidupkannya kembali agar dia beriman kepadaku. Maka Allah Azza Wajalla mengabulkannya.”
Kedudukan hadits:
Para ulama ahlul hadits sepakat bahwa hadits ini lemah.
1. Berkata Ibnu Katsir: “Sesungguhnya hadits tersebut adalah munkar dan para perowinya tidak dikenal,” beliau juga berkata di dalam tafsirnya (1/167): Dan hadits yang diriwayatkan berkaitan dengan hidupnya kedua orang tua Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tidak terdapat di dalam kitab yang enam dan tidak pula pada selainnya, dan sanadnya (rangkaian para perowinya) lemah. Wallahu ‘alam.
2. Berkata Al Imam As Suhaili di dalam “Ar Raudhul Anf” (1/194): “(hadits tersebut diriwayatkan) dengan sanad yang di dalamnya terdapat para perowi yang tidak dikenal.”
3. berkata Al Hafidz Ibnu Dihyah sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Katsir: “Sesungguhnya hadits ini palsu, menyelisihi Al Qur’an dan kesepakatan, Allah berfirman: “Dan tidak pula orang-orang yang mati dalam keadaan kafir.“ -Selesai ucapan beliau-.
Maksudnya adalah: Bahwa taubat tidak akan diterima dari orang yang telah mati dalam keadaan kafir. Walhasil, bahwa tidak ada satu haditspun yang sah yang menjelaskan bahwa kedua orang tua nabi akan dihidupkan kembali.
Adapun mereka berhujjah bahwa Allah Maha mampu untuk menghidupkannya. Maka tidak ada yang meragukan hal itu, akan tetapi pembicaraan kita adalah sebatas keabsahan hadits di atas. Agar kita dapat beragama berlandaskan hujjah dari Al Qur’an dengan penjelasan dari Nabi, dan tidak beragama dengan kemungkinan-kemungkinan…
Masih banyak syubhat-syubhat kaum syi’ah yang lainnya, insya Allah akan kita bongkar satu persatu….
Wallahu Ta’ala A’la wa ‘alam bish shawab.
* * *
KAJIAN ILMIYAH TENTANG KEDUA ORANG TUA NABI (menjawab syubhat Syi’ah 2)
Mungkin bagi sebagian pembaca heran dengan tema yang kami sajikan dalam kesempatan kali ini, masak sih orang tua nabi mati musyrik?! Tentunya yang namanya mati musyrik pasti tempatnya di neraka.
Terasa berat kami untuk menjawabnya, akan tetapi inilah kenyataan yang harus kami jelaskan, agar kaum muslimin paham dan tidak tertipu dengan syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh para pengusung paham sesat. Dengan slogan “membela ahlu baitin nabi shalallahu ‘alaihi wasallam” segala carapun dihalalkan, dari menafsirkan ayat seenak perutnya, memahami hadits dengan hawa nafsu bahkan membuat hadits-hadits palsu atau dengan melontarkan syubhat-syubhat dan memolesnya dengan kata-kata indah agar para awam tertipu. Bi’sa ma kaanu yaf’aluun.
Akan tetapi, bagaimana sih sikap islam sebenarnya? Bukankah agama ini telah sempurna? Nah bagi para pencari kebenaran yang hakiki berikut ini kami hadirkan beberapa hadits yang berkaitan dengan pembahasan kita kali ini. Selamat membaca dengan mata dan hati yang terbuka.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda di dalam beberapa haditsnya yang shahih tentang keadaan kedua orang tua beliau sendiri, di antaranya adalah:
2. Hadits yang diriwayatkan Al Imam Muslim di dalam “Shahihnya” (203), Abu Daud “As Sunan” (4718), Ibnu Hibban “As Shahih” (578), Al Baihaqi “Sunanul Kubro” (13856), Ahmad “Al Musnad” (7/13861), Abu ‘Awanah “Al Musnad” (289), Abu Ya’la Al Mushili “Al Musnad” (3516), dari Anas bin Malik radhiallahu anhu:
“Bahwasanya seseorang bertanya: “Wahai Rasulullah! Di mana ayahku?” Beliau menjawab: “Di neraka.” Ketika orang tersebut beranjak pergi, beliau memanggilnya dan berkata: “Sesungguhnya ayahmu dan ayahku di neraka.”
2. Hadits yang diriwayatkan Al Bazzar di dalam “Al Musnad” (2/1089), At Thabarani “Al Mu’jamul Kabir” (1/326), Ibnu Qudamah Al Maqdisi “Al Ahadits Al Mukhtarah” (1005) dari Sa’ad bin Abi Waqqash:
“Bahwasanya seorang badui mendatangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kemudian bertanya: “Wahai Rasulullah! Di mana ayahku?” Beliau menjawab: “Di neraka.” Kemudian dia bertanya lagi: “Di mana ayahmu?” Beliau menjawab: “Setiap kali kamu melewati kuburan orang kafir maka berilah kabar gembira dia dengan neraka.”
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah di dalam “As Sunan” (1/1573) dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma dengan tambahan: “Wahai Rasulullah! Dahulu ayahku penyambung silaturahmi dan dia… dan dia…(kemudian dia menyebutkan beberapa kebaikannnya), di mana dia? (kemudian Rasulullah menjawab dengan jawaban di atas…..”
Berkata Abu Bakr Al Haitsami di dalam kitabnya “Majmu’ Az Zawa’id” setelah menyebutkan hadits di atas: “Para perowinya, perowi Shahih Bukhari.”
3. Hadits yang diriwayatkan Muslim di dalam “Shahihnya” “Kitabul Janaiz bab Isti’dzanun Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam rabbahu ‘azza wajalla Fii Ziyaroti Qabri Ummihi” (976), Ibnu Hibban “As Shahih” (3169, Ibnu Majah “As Sunan” (1572) Al Baihaqi “Sunanul Kubro” (6949,6984,13857), Abu Bakr bin Abi Syaibah “Al Mushannaf” (11807) dan Abu Ya’la “Al Musnad” (6193), dari Abu Hurairah radhiallahu anhu:
“Aku meminta ijin kepada Rabbku (Allah) untuk memintakan ampunan untuk ibuku, akan tetapi Dia tidak mengijinkanku, dan aku meminta ijin untuk menziarahi kuburnya, maka Dia mengijinkanku.”
Di dalam riwayat lain disebutkan: “Bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menziarahi kuburan ibunya kemudian beliau menangis maka menangislah para shahabat seluruhnya, beliau berkata:… (kemudian beliau menyebutkan lafadz diatas) dan melanjutkan: “Hendaklah kalian berziarah kubur, karena ziarah kubur akan mengingatkan kematian.”
Berkata Syamsul Haq Al ‘Adzim Abadi di dalam kitabnya “‘Aunul Ma’bud” (9/Bab Fii Ziyarotil Qubur): “(perkataan nabi) “Akan tetapi Dia tidak mengijinkanku” ini disebabkan dia (Aminah) mati dalam keadaan kafir, maka tidak boleh memintakan ampun untuk orang kafir (yang sudah mati).”
Pernyataan para ulama’:
1. Al Imam Al Baihaqi berkata di dalam kitab beliau “Dalailun Nubuwah” (1/192-193) setelah menyebutkan sejumlah hadits-hadits yang menunjukan bahwa kedua orang tua Nabi di neraka: “Bagaimana keduanya tidak mendapatkan sifat yang demikian di akhirat, sedang mereka menyembah patung-patung sampai mereka mati, dan mereka tidak beragama dengan agamanya Nabi Isa alaihis salam, …………”
Dan di dalam “As Sunanul Kubro” (7/190) beliau berkata: “Kedua orang tua beliau adalah musyrik,” kemudian beliau menyebutkan dalil-dalilnya.
2. Al Imam Ath Thabari menyebutkan di dalam “Tafsirnya” ketika menjelaskan firman Allah subhanahu wata’ala:
“Kamu tidak akan ditanya tentang para penghuni jahannam.” (Al Baqarah: 119)
Dan kedua orang tua beliau termasuk di antaranya. (Tafsir Ath Thabari 1/516)
3. Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i berkata ketika menjelaskan hadits “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka”. Hadits ini mengandung faidah bahwa siapa saja yang mati dalam keadaan kafir, maka ia termasuk dari penduduk neraka, tidak akan bermanfaat pembelaan orang yang membela, dan barang siapa yang mati pada masa fathrah (kosongnya masa kenabian) dari para penyembah berhala, maka dia termasuk dari penghuni neraka, ini bukan dikarenakan belum sampai kepada mereka dakwah akan tetapi telah sampai kepada mereka da’wah Ibrahim dan nabi-nabi setelahnya shalatullah wa salamullahu alaihim. (Syarhun Nawawi:1/79)
4. Berkata Al ‘Adzim Abadi di dalam “Aunul Ma’bud” ketika menjelaskan hadits, “Allah tidak mengijinkanku untuk memintakan ampunan untuk ibuku” : “Karena ibunya adalah kafir, dan memintakan ampunan untuk orang kafir (yang sudah mati) adalah dilarang… dan di dalam hadits ini terdapat faidah bolehnya ziarah ke kuburan orang musyrikin dan larangan untuk memintakan ampunan untuk orang kafir (yang sudah mati).”
5. Al Imam Al Qori’ menukilkan ijma’ para ulama’ salaf (yang terdahulu dari kalangan shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in) dan khalaf (setelah shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in) bahwa kedua orang tua Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam termasuk dari penghuni neraka, dia berkata: “Telah bersepakat para ulama’ salaf dan khalaf, imam yang empat (Imam Malik, Ahmad, Syafi’i, Abu Hanifah) dan seluruh mujtahidiin bahwa kedua orang tua Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam akan masuk neraka……..
6. Al Imam Al Baidhawi ketika menafsirkan ayat ﻭﻻ ﺗﺴﺄﻝ berkata: “Al Imam Nafi’ dan Ya’qub membacanya dengan huruf ta’ berharokat fathah yang artinya: “Janganlah kamu bertanya tentang penghuni neraka”. Ini adalah larangan terhadap beliau shalallahu ‘alaihi wasallam untuk bertanya tentang keadaan kedua orang tua beliau.” (Tafsir Al Baidhawi, 1/185)
Masih banyak lagi hujjah-hujjah yang lainnya yang menunjukkan bahwa kedua orang tua Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mati kafir dan termasuk penghuni neraka kekal di dalamnya. Akan tetapi kita cukupkan sampai di sini dulu.
Mungkin ada yang menyatakan: bahwa orang-orang yang mengatakan kedua orang tua Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam di dalam neraka adalah orang-orang yang tidak memiliki adab kepada beliau shalallahu ‘alaihi wasallam !!! Untuk syubhat yang satu ini, insya Allah akan kita kupas pada pembahasan yang akan datang. Wallahu a’lam.
Penutup
Di antara akhlak seorang mukmin dan mukminah adalah menerima terhadap ketentuan Allah dan Rasul-Nya dengan sepenuhnya. Allah berfirman:
“Dan tidaklah pantas bagi seorang mukmin dan mukminah apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan untuk memilih yang lain dari urusan mereka. Barangsiapa yang menentang Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata” (QS. Al Ahdzab: 36)
Dan di antara yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya adalah apa yang telah kami sebutkan di atas berupa hadits-hadits shahih dengan penjelasan para ulama’ bahwa kedua orang tua beliau mati musyrik. Inilah adab seorang mukmin.
Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam bish shawab.
[Di nukil dari kitab Adillah Mu’taqad Abi Hanifah Al A’zham fii Abawai Ar Rasul ‘Alaihis Shalatu Wasallam, dengan penambahan yang tidak merubah makna]

Sanggahan terhadap Pendapat yang Mengatakan Orangtua Nabi Saw Musyrik dan Berada di Neraka
Jumat, 06 September 20130 komentar

Dalil Kaum Yang Memvonis Orangtua Nabi Musyrik ada 2:
1. Hadits Nabi Saw riwayat Imam Muslim:
‏‏‏‏حَدَّثَنَا ‏أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، ‏حَدَّثَنَا ‏عَفَّانُ، ‏حَدَّثَنَا ‏حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، ‏‏عَنْ ‏ثَابِتٍ، ‏ ‏عَنْ ‏أَنَسٍ: ‏‏أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِي؟ قَالَ فِي النَّارِ، فَلَمَّا ‏‏قَفَّى ‏دَعَاهُ، فَقَالَ: ‏إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ ‏
Artinya: Menyampaikan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, menyampaikan kepada kami ‘Affan, menyampaikan kepada kami Hammad bin Salamah, dari Tsabit, dari Anas: bahwasanya seorang laki-laki berkata: Ya Rasulullah, dimanakah ayahku? Nabi Saw bersabda: Di dalam neraka. Ketika orang itu pergi, Nabi memanggilnya kembali dan bersabda: Sesungguhnya ayahku dan ayahmu berada di dalam neraka.
2. Hadits Nabi Saw riwayat Imam Muslim:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Zuhair bin Harb keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ubaid dari Yazid bin Kaisan dari Abu Hazim dari Abu Hurairah ia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menziarahi kubur ibunya, lalu beliau menangis sehingga orang yang berada di sekelilingnya pun ikut menangis. Kemudian beliau bersabda: "Saya memohon izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan baginya, namun tidak diperkenankan oleh-Nya, dan saya meminta izin untuk menziarahi kuburnya lalu diperkenankan oleh-Nya. Karena itu, berziarahlah kubur karena ia akan mengingatkan kalian akan kematian."
A. Jawaban untuk dalil pertama:
a. Kritik Sanad
Dalam sanad HR Imam Muslim (1) di atas terdapat rawi yang diperbincangkan para ulama keadaannya, yakni Hammad bin Salamah.
Mengenai Hammad bin Salamah ini, para ulama terbagi menjadi dua kelompok dalam hal ini :
1. Para ulama ahli hadits yang men-tsiqah-kannya secara muthlaq, di antaranya: Ibnu Mahdi, Ibnu Mu’in dan Al-Ajli dan Ibnu Hibban.
2. Para ulama ahli hadits yang membuat perinciannya, antara lain: Yahya bin Sa’id al-Qaththan, Ali bin Al-Madini, Ahmad bin Hanbal, An-Nasai, Adz-Dzhabai, Ya’qub bin Syaibah, Abu Hathim dan yang lainnya, termasuk Imam Muslim sendiri.
Imam Muslim berkata mengenai Hammad :
وحماد يعدّ عندهم إذا حدّث عن غير ثابت؛ كحديثه عن قتادة، وأيوب، ويونس، وداود بن أبي هند، والجريري، ويحيى بن سعيد، وعمرو بن دينار، وأشباههم فإنه يخطىء في حديثهم كثيراً
“Dan Hammad dipermasalahkan menurut para ulama besar ahli hadits jika meriwayatkannya dari selain Tsabit; seperti periwayatannya dari Qatadah, Ayyub, Yunus, Dawud bin Abu Hindi, Aljariri, Yahya bin Sa’id, Amr bin Dinar dan semisal mereka. Karena Hammad melakukan kesalahan yang banyak dalam hadits periwayatan mereka.” (At-Tamyiz: 218)
Permasalahan: Para ulama ahli hadits sepakat, bahwa ketika Hammad menginjak usia lanjut, hafalannya mengalami gangguan. Bahkan dicurigai anak angkatnya melakukan penyisipan teks pada hadits-hadits Hammad.
Imam al-Baihaqi berkata:
حماد ساء حفظه في آخر عمره، فالحفاظ لا يحتجون بما يخالف فيه
“Hammad buruk hafalannya di akhir usianya, maka para ulama hadits tidak menjadikan hujjah dengan hadits Hammad yang terdapat kontradiksi di dalamnya.” (Syarh al-‘Ilal: 2/783)
Imam Abu Hathim berkata:
حماد ساء حفظه فى آخر عمره
“Hammad buruk hafalannya di usia lanjutnya.” (Al-Jarh wa At-Ta’dil: 9/66)
Imam Az-Zaila’i berkata:
لما طعن فى السن ساء حفظه. فالاحتياط أن لا يُحتج به فيما يخالف الثقات
“Ketika Hammad berusia lanjut, hafalannya menjadi buruk, maka untuk lebih hati-hatinya hendaknya tidak menjadikannya sebagai hujjah pada hadits-haditsnya yang menyelisihi periwayat-periwayat tsiqah lainnya.” (Nashbu Ar-Rayah : 1/285)
Perbandingan dengan Riwayat Ma’mar
Jalur sanad Ma’mar dari Tsabit dari Anas, yang bunyinya:
اِنَّ اَعْرَابِيًّا قَالَ لِرَسُوْلِ الله، اَيْنَ اَبِي؟ قَالَ فِي النَّارِ. قَالَ فَأَيْنَ اَبُوْكَ؟ قَالَ حَيْثُمَا مَرَرْتَ بِقَبْرِكَافِرٍ، فَبَشِّّرْهُ  بِالنَّارِ
Artinya: Sesungguhnya seorang A’rabi berkata kepada Rasulullah Saw: Di mana ayahku?Rasulullah bersabda: Dia di neraka. A’rabi pun bertanya kembali: Di mana ayahmu? Rasulullah pun menjawab: Sekiranya engkau melewati kuburan orang kafir, maka berilah kabar gembira (padanya) dengan neraka.
Dalam sanad Ma’mar ini sama sekali tidak disebutkan tentang ayah Nabi Saw. Di sisi lain sanad Ma’mar ini lebih kuat (atsbat) daripada sanad Hammad. Para ahli hadits mencatat bahwa Hammad bin Salamah ini daya ingatnya dipertanyakan (diragukan) dan sebagian riwayatnya telah ditolak. Ini terbukti Imam Bukhari sama sekali tak mengambil apa pun darinya, demikian pula Imam Muslim dalam Ushul(hadits-hadist yang berhubungan dengan prinsip-prinsip syariat), kecuali melalui Tsabit. Dilihat dari segi apa pun, Ma’mar tidak bercacat. Hal itu lebih dikuatkan lagi dengan sikap Imam Bukhari dan Imam Muslim yang sama-sama mengambil hadits darinya. Dengan demikian, riwayatnya jelas lebih dapat dipercaya.
b. Hadits Imam Muslim dari jalur Hammad bin Salamah adalah Hadits Ahad
Para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah mengatakan bahwa hadits Muslim dari jalur Hammad tersebut merupakan hadits Ahad yang matruk ad-zhahir. Hadits Ahad jika bertentangan dengan nash Al-Quran, atau hadits mutawatir, atau kaidah-kaidah syariat yang telah disepakati atau ijma’ yang kuat, maka zhahir hadits tersebut ditinggalkan dan tidak boleh dibuat hujjah dalam hal aqidah.
Imam Nawawi berkata:
ومتى خالف خبر الاحاد نص القران او اجماعا وجب ترك ظاهره
“Kapan saja hadits Ahad bertentangan dengan nash ayat Quran atau ijma’, maka wajib ditinggalkan zhahirnya.” (Syarh Al-Muhadzdzab, juz :4 hal : 342)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Atsqalani berkata:
قال الكرماني : ليعلم انما هو اي - خبر الاحاد – في العمليات لا في الاعتقاد
“Imam al-Karamani berkata, “Ketahuilah sesungguhnya hadits Ahad hanya boleh dibuat hujjah dalam hal amaliah bukan dalam hal aqidah.” (Fath Al-Bari juz : 13 hal : 231)
Ibnu Taimiyyah berkata:
ان هذا من خبر الاحاد فكيف يثبت به اصل الدين اللذي لا يصح لايمان الا به
“Sesungguhnya ini termasuk hadits ahad, bagaimana (mungkin) pondasi agama yang merupakan standar keabsahan iman, bisa menjadi tsubut/tetap dengannya.” (Minhaj As-Sunnah, juz 2 hal : 133)
Sementara hadits dengan kata-kata yang serupa dengan riwayat Ma’mar muncul melalui jalur sanad yang lain.
Al-Bazzar, Thabrani, dan Baihaqi mengutipnya dari Ibrahim bin Sa’ad dari Al-Zuhri dari Amir bin Sa’ad dari Sa’ad bin Abi Waqqash. Sanad hadits ini shahih berdasarkan syarat Imam Bukhari dan Muslim.
Imam Ibnu Majah mengutip hal serupa melalui sanad Ibrahim bin Sa’ad dari Al-Zuhri dari  Salim dari ayahnya.
Imam Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak dengan sanad yang shahih meriwayatkan hadits berikut:
Dari Luqait bin Amir, bahwa ia pergi ke Madinah bersama rombongan yang di dalamnya terdapat Nuhaik bin ‘Ashim bin Malik bin Al-Muntafiq untuk menemui Nabi Saw. Nuhaik bertanya: Adakah kebaikan di antara sebagian kami yang hidup di zaman Jahiliyah? Nabi Saw bersabda: Ayahmu, Al-Muntafiq, berada di dalam neraka. Nuhaik berkata: Aku merasakan kulit wajah dan dagingku benar-benar terpisah ketika aku mendengar beliau berkata tentang ayahku di hadapan banyak orang. Aku ingin berkata: Bagaimana dengan ayahmu sendiri, Ya Rasul?, tetapi aku merasa lebih pantas untuk mengatakan yang lain: Bagaimana tentang keluargamu, Ya Rasul? Nabi Saw menjawab: Jika engkau melihat makam orang kafir, katakanlah: Muhammad mengutusku untuk mengatakan kepadamu tentang api neraka.
Nah, ini semakin memperjelas bahwa kalimat terakhir pada hadits melalui jalur Hammad bin Salamah itu diragukan, karena banyak hadits lainnya dengan predikat shahih dengan nada yang sama, tidak mencantumkan seperti apa yang ada pada jalur Hammad. Dengan demikian, zhahir hadits tersebut mesti ditinggalkan dan tidak boleh dibuat hujjah atau ditakwil sehingga memiliki keselarasan dengan dalil-dalil yang lebih kuat.
c. Kritik Matan
Dari segi matan, maka ungkapan   ‏إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِkontradiksi dengan dalil-dalil yang lebih kuat dan mutawatir. Selain bertentangan dengan hadits-hadits yang telah disebutkan sebelumnya (riwayat Ma’mar, Thabrani, al-Bazzar, Baihaqi, Ibnu Majah dan al-Hakim), hadits tersebut juga bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi yang mengisyaratkan kesucian nasab Rasulullah SAW yang insya Allah akan dipaparkan.
d. Komentar Imam Nawawi
Saat mensyarah hadits tersebut, Imam Nawawi berkata:
وَقَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( إِنَّ أَبِي وَأَبَاك فِي النَّار ) هُوَ مِنْ حُسْن الْعِشْرَة لِلتَّسْلِيَةِ بِالِاشْتِرَاكِ فِي الْمُصِيبَة
“Dan Nabi Saw: (Sesungguhnya bapakku dan bapakmu di neraka) ia daripada bentuk luwesnya pergaulan (Rasulullah) untuk menghibur (si penanya) dengan mengatakan sama-sama tertimpa musibah.”
Keterangan:
Lalu kenapa Rasul juga mengatakan bahwa bapaknya berada di neraka?
Itulah wujud kebaikan hati Rasulullah SAW. Beliau tidak ingin si penanya sedih dan kecewa dengan jawabannya. Terlebih si penanya adalah orang pelosok, lemah iman, susah paham dan gampang kembali pada kemurtadan. Dikhawatirkan jika tidak diberitahu dengan kalimat yang demikian, ia akan keluar dari Islam. Karena terlalu sedih dan kecewa dengan agama barunya. Maka Rasul menyamarkan jawabannya yang kedua dengan mengatakan bapaknya juga masuk dalam neraka.
Inilah yang dimaksud dengan tawriyah (menampakkan kalam namun tidak sesuai dengan apa yang ada di hati). Agar jawaban menjadi kabur antara bapak kandung dengan bapak dalam artian paman. Sebab orang Arab menyebut paman (‘ammu) juga dengan bapak (abu). Itulah yang dimaksud Imam Nawawi dalam kalamnya:
هُوَ مِنْ حُسْن الْعِشْرَة لِلتَّسْلِيَةِ بِالِاشْتِرَاكِ فِي الْمُصِيبَة
“…ia daripada bentuk luwesnya pergaulan (Rasulullah) untuk menghibur (si penanya) dengan mengatakan sama-sama tertimpa musibah.”
e. Hadits Imam Muslim dari jalur Hammad bin Salamah tersebut mengandung Ihtimal
Seandainya kata-kata “Ayahku dan ayahmu di dalam neraka” dianggap shahih, tapi tetaplah ia mengandung ihtimal, yakni bahwa lafadz Abi (ayahku) di situ bermakna ‘Amm (paman) dengan qarinah-qarinah yang ada. Karena sudah maklum dan terkenal dalam bahasa Arab penamaan paman dengan ayah. Yaitu ayah yang mengasuhnya.
Maka ayah yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah ayah asuh Rasulullah Saw yang tidak lain adalah pamannya, yaitu Abu Thalib. Sebab Abu Thalib juga hidup saat Rasul Saw diangkat menjadi Rasul dan beliau menolak permintaan Rasul Saw untuk bersyahadat.
Bahkan hal ini sudah masyhur di zaman Nabi Saw bahwa paman beliau Abu Thalib dipanggil Ab (ayah) Nabi Saw oleh orang-orang. Disebutkan dalam beberapa sirah Nabawiyyah:
كانوا يقولون له قل لابنك يرجع عن شتم آلهتنا وقال لهم أبو طالب مرة لما قالوا له أعطنا ابنك نقتله وخذ هذا الولد مكانه أعطيكم ابني تقتلونه وآخذ ابنكم أكفله لكم
“Orang-orang kafir berkata kepada Abu Thalib, “Katakan pada anakmu agar tidak lagi mencaci tuhan-tuhan kami.” Dan suatu hari Abu Thalib berkata pada mereka pada apa yang mereka katakan padanya, “Berikan anakmu pada kami agar kami membunuhnya dan ambillah anak ini sebagai gantinya, maka (akankah) aku berikan anakku untuk kalian bunuh dan aku mengambil anak kalian untuk kupelihara.”
Bahkan sebagian mufassirin berkata dalam ayat:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ آزَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا آلِهَةً إِنِّي أَرَاكَ وَقَوْمَكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
“Dan (Ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Azar, “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya Aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-An’am: 74)
Bahwa yang dmaksud abihi (ayahnya) Nabi Ibrahim yang bernama Aazar adalah pamannya, bukan ayahnya.
Imam Mujahid berkata: ليس آزر أبا إبراهيم
“Azar bukanlah ayah Nabi Ibrahim As.” (Atsar ini telah ditakhrij oleh Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Al-Mundzir dan Ibnu Abi Hathim dengan sebagian jalan yang shahih)
Ibnu Al-Mundzir telah mentakhrij dengan sanad yang shahih dari Ibnu Juraij tentang firman Allah Swt :
(وإذ قال إبراهيم لأبيه آزر)
Maka beliau berkomentar:
ليس آزر بابيه إنما هو إبراهيم بن تيرح أو تارح بن شاروخ بن ناحور بن فالخ
“Azar bukanlah ayah Nabi Ibrahim, sesungguhnya dia adalah Ibrahim bin Tirah atau Tarih bin Syarukh bin Nakhur bin Falikh.”
Ibnu Abi Hatim mentakhrij dengan sanad yang shahih dari As-Sadi bahwa beliau ditanya, “(Apakah) ayah Nabi Ibrahim itu Azar?” Maka beliau menjawab, “Bukan tapi Tarih.”
Dari Muhammad bin Ka’ab Al-Quradzhi bahwasanya beliau berkata, “Terkadang paman dari jalur ayah atau jalur ibu disebut ayah.”
Imam Fakhru Ar-Razi berkata :
إن آزر لم يكن والد إبراهيم بل كان عمه
“Sesungguhnya Azar bukanlah ayah Nabi Ibrahim, akan tetapi pamannya.”
Bukti lainnya:
Ibnu Abi Hatim mentakhrij hadits dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas ra beliau berkata:
قال ما زال إبراهيم يستغفر لأبيه حتى مات فلما مات تبين له أنه عدو لله فلم يستغفر له
“Nabi Ibrahim senantiasa beristighfar, memohon ampun untuk ayahnya hingga wafat, maka ketika ayahnya wafat, nyatalah baginya bahwa ayahnya adalah musuh Allah, sejak itu nabi Ibrahim tidak beristighfar untuknya lagi.”
Ibnu Al-Mundzir dalam kitab tafsirnya membawakan sebuah hadits dengan sanad yang shahih bahwa:
“Ketika orang-orang kafir mengumpulkan kayu bakar dan melemparkan Nabi Ibrahim ke dalamnya dengan api yang membara, maka berucaplah Nabi Ibrahim, “Cukuplah Allah sebagai penolongku.” Dan Allah berfirman, “Wahai api jadilah sejuk dan keselamatan bagi Ibrahim.” Maka berkatalah paman Nabi Ibrahim, “Karenaku Ibrahim tidak terbakar.” Maka ketika itu Allah mengirim secercik api yang jatuh ke telapak kakinya dan membakarnya hingga tewas.
Keterangan:
Nabi Ibrahim dilarang Allah mengistighfari ayahnya. Kemudian beliau diuji Allah dengan peristiwa pembakarannya. Dan saat itu pula pamannya ikut terbakar.
Namun setelah perisiwa itu berlalu, dan Nabi Ibrahim berhijrah ke beberapa daerah hingga beliau meninggalkan istri dan anaknya di Makkah, beliau memohonkan ampun untuk orangtuanya, sebagaimana doa yang diabadikan dalam al-Quran surat Ibrahim: 41:
ربنا اغفر لي ولوالدي وللمؤمنين يوم يقوم الحساب
“Wahai Tuhan kami, ampunilah aku dan kedua orangtuaku dan bagi orang-orang mukmin di hari berdirinya hisab.”
 Di atas cukup jelas, bahwa beliau selalu mengistighfari ayahnya hingga beliau tahu ayahnya tersebut adalah musuh Allah dengan terbakarnya di hari ujian Nabi Ibrahim tersebut dengan pembakaran. Dan beliau pun berhenti mengistighfarinya.
Namun setelah itu kenapa beliau masih tetap mengistighfarinya sebagaimana ayat di atas ?
Jawabannya tidak ada lain bahwa yang dimaksud ayah dalam hadits di atas adalah paman Nabi Ibrahim dan telah dikuatkan dengan hadits shahih yang telah dibawakan Imam Ibnu Al-Mundziri dalam tafsirnya di atas.
Dan terbukti beliau masih mengistighfari ayah kandungnya Tarih setelah kejadian pembakaran tersebut.
Maka dengan qarinah-qarinah ini semakin jelas bahwa yang dimaksud ayahku dalam hadits Muslim tersebut adalah ayah asuh Nabi Muhammad Saw yaitu paman beliau Saw Abu Thalib bukan ayah kandunganya Abdullah.
B. Jawaban untuk dalil kedua
Hadits kedua yang menyatakan bahwa Nabi Saw tidak diizinkan untuk berdoa di makam ibunya, (meski hadits itu shahih), haruslah dijelaskan dengan benar. Kaidah Ushul menyatakan bahwa jika dalil yang kuat bertentangan dengan hadits shahih, maka hadits tersebut harus ditafsirkan sedemikian rupa sehingga menghilangkan pertentangan itu.
Ada banyak dalil yang menjelaskan bahwa Nabi Saw tidaklah lahir dari rahim seorang perempuan yang layak masuk neraka:
Ali bin Abu Thalib ra meriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda: Aku lahir dari pernikahan dan tak pernah lahir dari perzinaan, dari Adam hingga ayah dan ibuku melahirkan aku. Perzinaan dan menyentuh diriku sekalipun pada zaman Jahiliyah. (HR Baihaqi, Abu Nu’aim, Ibnu Katsir, Ibnu Sa’ad, Thabrani, Al-Haitsami, Al-Hakim, dan lain-lain).
Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda: Kakek buyutku dan nenek buyutku tak pernah berkumpul kecuali dalam perkawinan yang sah. Allah senantiasa memeliharaku dari tulang sulbi yang baik ke alam rahim yang suci, dan garis itu tak pernah bercabang kecuali aku berada di dalam dua cabang yang terbaik. (Lihat: Tarikh (1:349) karya Ibnu Asyakir, Ad-Durul Mantsur (3: 294 dan 5::98) karya As-Suyuthi, dan Al-Wafa’ (Bagian Pertama, Bab 10) karya Ibnul Jauzi).
Hadits Abu Hurairah ra:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بُعِثْتُ مِنْ خَيْرِ قُرُونِ بَنِي آدَمَ قَرْنًا فَقَرْنًا حَتَّى كُنْتُ مِنْ الْقَرْنِ الَّذِي كُنْتُ فِيهِ
“Aku diutus dari sebaik-baik anak Adam, keturunan demi keturunan, hingga aku berada di dalam keturunan yang kemudian melahirkan aku.” (HR Imam Bukhari).
Di dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
وَتَقَلُّبك فِي السَّاجِدِينَ
Artinya: dan bolak balikmu diantara hamba yg bersujud. (QS Asyu’ara: 219)
Imam Ibn Abbas ra berpendapat bahwa makna ayat di atas adalah turun temurunnya engkau di tubuh ayah ayahmu yang kesemuanya hamba yang bersujud. Taqallubaka ditafsirkan sebagai terbolak balikmu maksudnya di antara ayah ke ibu, ke putra, lalu ke istrinya, lalu ke putra, lalu ke istrinya, dan kesemuanya mereka adalah hamba hamba Nya yang bersujud, yaitu bukan musyrikin.
Di dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
يَا أَيّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَس
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu adalah najis… (QS. At-Taubah: 28).
Pada ayat tersebut Allah telah menjelaskan bahwa syirik seperti yang telah dilakukan oleh orang-orang kafir adalah najis (najasa). Namun, semua hadist yang telah ditunjukkan sebelumnya menegaskan kesucian tulang sulbi dan rahim yang mengandung jiwa Nabi sejak penciptaan hingga lahir. Oleh karena itu, kedua orangtua Nabi tidaklah mungkin orang kafir.
Lalu, bagaimana seharusnya hadist shahih tersebut dipahami?
Keterangan Imam Suyuthi dalam kitab At-Ta’zhim wal Minnah fi anna Abaway Rasulillah fil Jannahhal 29 cet. Dar Jawami’ Kalim Kairo:
“Adapun hadits tersebut maka tidak mesti diambil daripadanya hukum kafir berdasarkan dalil bahwasanya Nabi SAW juga ketika di awal-awal Islam dilarang untuk menyolatkan dan mengistighfarkan orang mukmin yang ada hutangnya tapi belum dilunasi, karena istighfar Nabi SAW akan dijawab Allah dengan segera, maka siapa yang diistighfarkan Rasul dibelakang doanya akan sampailah kepada derajat yang mulia di surga, sementara orang yang berhutang itu tertahan pada maqomnya sampai dilunaskan hutangnya sebagaimana yang ada dalam hadits (jiwa setiap mukmin terkatung dengan hutangnya sampai hutangnya itu dilunaskan). Maka seperti itu pulalah ibu Nabi alaiha salam bersamaan dengan posisinya sebagi seorang wanita yang tak pernah menyembah berhala, maka beliaupun tertahan dari surga di dalam barzakh  karena ada sesuatu yang lain di luar kufur.” (At-Ta’zhim wal Minnah Suyuthi hal 29 cet. Dar Jawami’ Kalim Kairo)
Keterangan Al-Allamah al-Arif Billah Syaikh Zaki Ibrahim pimpinan Tariqat Syadziliyah Asyirah Muhammadiyah di Mesir dalam kitab ‘Ismatun Nabi, hal.96 Cet. Rasa’il Asyirah:
“Bahwasanya istighfar adalah bagian dari penghapusan dosa, maka seseorang tidak akan berdosa selama dakwah Islam belum sampai kepadanya. Maka tidak perlulah Rasulullah SAW memintakan ampun untuk orang yang belum terhitung telah melakukan dosa dan Allah pun juga tak akan mengiqobnya sebagai dosa. Maka memintakan ampun kepada ibunya, adalah suatu hal yang sia-sia, dan bukanlah daripada sifat para Nabi melakukan suatu hal yang sia-sia.
“Sesungguhnya ahlul bait Nabi tak akan masuk ke dalam neraka dan ibunya termasuk ahlul bait Nabi sebagaimana yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dan lainnya dari Rasulullah SAW: “Aku memohon kepada Allah supaya tidak ada satupun ahlul baitku yang masuk ke dalam neraka, maka Allah mengabulkan permhonanku.” Dan begitu pula yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir Ath-Thobari dari Ibnu Abbas tentang penafsiran ayat: wa la saufa yu’tika Rabbuka fa tardha:
في قوله : { ولسوف يعطيك ربك فترضى } قال : من رضا محمد صلى الله عليه وسلم ألا يدخل أحد من أهل بيته النار
“Dan dari keridhaan Muhammad, tidak ada satu pun dari ahlul bait beliau yang masuk ke dalam neraka.”
Maka memintakan ampun kepada ibunya dalam kondisi yang seperti ini juga merupakan suatu hal yang sia-sia dan percuma, dan Rasulullah SAW disucikan Allah dari hal yang percuma dan sia-sia.
Keterangan Syekh Ibrahim al-Baijuri dalam kitab Kifayatul 'Awam hal. 13, cetakan Dar Ihya al-Kutubil 'Arobiyah:
Jika anda sudah tahu bahwa Ahlul Fathroh (masa kevakuman atau kekosongan Nabi dan Rasul) itu termasuk orang-orang yang selamat (dari neraka) berdasarkan pendapat ulama yang kuat, maka tahulah anda bahwa bahwa kedua orangtua Nabi Muhammad SAW adalah orang-orang yang selamat juga (dari neraka). Karena, mereka berdua termasuk Ahlul Fathroh (termasuk juga kakek, buyut Nabi dan ke atasnya). Bahkan mereka berdua termasuk Ahlul Islam, karena Allah telah menghidupkan mereka berdua untuk Nabi Muhammad SAW sebagai pengagungan kepadanya. Kemudian berimanlah kedua orangtua Nabi itu kepadanya sesudah kebangkitannya menjadi rasul.
Hal ini berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Urwah dari Aisyah bahwa Rasulullah SAW memohon kepada Tuhan-Nya agar Dia menghidupkan kedua orangtuanya. Maka Allah pun menghidupkan kedua orangtua Nabi itu. Selanjutnya, keduanya beriman dengan Nabi Muhammad SAW. Kemudian, Allah mematikan keduanya kembali.
Berkata Suhaili: “Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, bisa saja Allah mengkhususkan Nabi-Nya dengan apa-apa yang Dia kehendaki dari sebab karunia-Nya dan memberi nikmat kepada Nabi-Nya dengan apa-apa yang dia kehendaki dari sebab kemuliaan-Nya.”
Tidak Ada Dalil dan Bukti yang Menunjukkan Bahwa Orangtua Nabi Musyrik
Kemusyrikan kedua orangtua Nabi Saw bukanlah kenyataan yang telah dapat dipastikan. Justru yang menjadi kemungkinan besar adalah bahwa mereka menganut Agama Suci (Hanifiyyah) leluhur mereka, Ibrahim As. Sekelompok orang Arab pun melakukan hal itu, misalnya, ‘Amr bin Nufail, Waraqah bin Naufal dan sebagainya.
Hal lain yang tak bisa dibantah adalah kedua orangtua Nabi Saw wafat sebelum ia diangkat menjadi Nabi. Artinya, keduanya wafat pada masa fatrah, yakni masa sebelum kedatangan rasul. Orang-orang yang hidup pada masa itu tidak sampai kepada mereka dakwah. Para imam mazhab Asy’ari dalam kalam, ushul,dan fiqh Syafi’i bersepakat menyatakan bahwa orang yang meninggal sebelum menerima dakwah, dia akan masuk surga.
Hal ini didasarkan pada firman Allah:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَث رَسُولًا
Artinya: Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul (QS. Al-Isra: 15).
Nabi Saw bersabda: “Barangsiapa yang wafat dalam (masa) fatrah akan berkata: Ya Tuhanku, tak ada kitab suci atau rasul yang sampai kepadaku. Dan dia membaca ayat:
وَلَوْلاَ أَنْ تُصِيْبَهُمْ مُصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ فَيَقُولُوا رَبَّنَا لَوْلا أَرْسَلْتَ إِلَيْنَا رَسُولا فَنَتَّبِعَ آيَاتِكَ وَنَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya: Dan agar mereka tidak mengatakan ketika azab menimpa mereka disebabkan apa yang mereka kerjakan: "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau tidak mengutus seorang Rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat Engkau dan jadilah kami termasuk orang-orang mukmin." (QS. Al-Qashash: 47).(HR Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan masa wafat kedua orangtua Nabi ini pun kita bisa simpulkan bahwa mereka tidak layak dituduh sebagai orang musyrik yang masuk neraka dan kekal di dalamnya.
Selain itu, nama ayah Nabi, Abdullah (hamba Allah) dan nama ibu beliau, Aminah (wanita yang amanah) telah mengisyaratkan bahwa mereka adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada Allah Ta’ala.
Penutup
Jumhur ulama bersepakat untuk menyatakan bahwa kedua orangtua Nabi Saw berada di dalam surga, dan bukan masuk ke dalam neraka sebagaimana yang getol didengungkan oleh kaum Salafi/Wahabi.
Cukuplah keterangan berikut ini sebagai peringatan bagi kita:
Telah berkata sebagian ulama: "Telah ditanya Qodhi Abu Bakar bin 'Arobi, salah seorang ulama madzhab Maliki mengenai seorang laki-laki yang berkata bahwa bapak Nabi berada di dalam neraka. Maka, beliau menjawab bahwa orang itu terlaknat, karena Allah ta'ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُهِينًا
Artinya:
"Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah akan melaknat mereka di dunia dan akherat dan menyiapkan bagi mereka itu adzab yang menghinakan". (QS. Al-Ahzab: 57).
Dan tidak ada perbuatan yang lebih besar dibandingkan dengan perkataan bahwa bapak Nabi berada di dalam neraka. Betapa tidak! Sedangkan Ibnu Munzir dan yang lainnya telah meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ketika kepada beliau dikatakan: “Engkau anak dari kayu bakar api neraka”, maka berdirilah Rasulullah SAW dalam keadaan marah, kemudian berkata:
ما بال أ قوام يؤذونني فى قرابتي و من أذاني فقد أذى الله
Artinya:
"Bagaimana keadaan kaum yang menyakiti aku dalam hal kerabatku, dan barangsiapa menyakiti aku maka sesungguhnya dia telah menyakiti Allah".

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[  tampak kebodohan ali jum’ah, argumen yang paling bodoh yg pernah ana baca ]

Benarkah Kedua Orang Tua Nabi SAW di Neraka?
By Admin on 28/02/2014
Benarkah Kedua Orang Tua Nabi SAW di Neraka?
Prof. Dr. Shaikh Ali Gomah Mantan Mufti Republik Arab Mesir

Pertanyaan: Ada yang mengatakan bahwa kedua orang tua Nabi saw termasuk orang-orang musyrik, dan keduanya masuk neraka. Apakah benar demikian?
Jawaban: Pada kesempatan lalu kita telah jelaskan bahwa “cinta Nabi” adalah salah satu jalan terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kita juga telah membahas tentang cinta Nabi ini. Untuk mengetahui keutamaan cinta Nabi, cukuplah hadis Nabi berikut sebagai dalil, “Demi Dzat yang jiwaku dalam gengaman-Nya, seorang di antara kalian belum dianggap beriman, sampai ia mencintaiku melebihi cintanya pada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.” (HR. Ahmad)
Tidak diragukan lagi bahwa cinta mampu meniadakan rasa ingin menyakiti pada orang yang dicintai. Dan bisa dipastikan bahwa mencela kedua orang tua Nabi saw. pasti juga akan menyakiti Nabi saw. Allah berfirman,
“Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah, bagi mereka azab yang pedih.” (QS. At-Taubah: 61)
“Sungguh, orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, akan dilaknat oleh Allah di dunia dan di akhirat. Dan Allah akan menyediakan siksa yang menghinakan bagi mereka.” (QS. Al-Ahzab: 57)
Secara jelas, Allah telah melarang kita menyakiti Nabi saw. dan menyamakan orang yang menyakiti Nabi saw. dengan kaum yahudi – semoga Allah melaknat mereka. Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian seperti mereka (Bani Israil) yang menyakiti Musa (dengan ucapan dan tuduhan). Lalu, Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka lontarkan. Dan Musa di sisi Allah adalah seorang yang terhormat.” (QS. Al-Ahzab: 69)
Al-Qadhi Iyadh mengatakan, “Kita tidak akan mengatakan apapun selain apa yang diridhai Allah dan Rasul-Nya. Kami tidak akan lancang dengan kedudukan Nabi saw yang mulia atau menyakiti beliau dengan perkataan yang tidak diridhai oleh beliau.”
Patut diketahui, bahwa jika ada orang tua atau kakek Nabi Saw. yang secara zahir berbuat syirik, namun sebenarnya mereka bukanlah termasuk orang-orang musyrik. Karena pada masa mereka tidak ada rasul yang diutus. Seluruh pengikut Ahlussunnah wa Al-Jama’ah meyakini bahwa siapapun yang berlaku syirik dan mengganti syariat tauhid selama masa senggang (fatrah) antara dua nabi, maka tidak diazab. Dalil tentang masalah ini cukup banyak. Di antaranya adalah firman Allah,
“Kami bukan penyiksa (siapapun), sampai kami mengutus seorang Rasul (kepada mereka).” (QS. Al-Isra: 15)
“Yang demikian itu (diutusnya para rasul) adalah karena Tuhanmu tidak pernah membinasakan kota-kota disebabkan kezaliman penduduknya, sedangkan mereka dalam kondisi lalai.” (QS. Al-An’am: 131)
“Kami tidak membinasakan sebuah negeri, melainkan setelah ada pemberi peringatan bagi mereka.” (QS. As-Syu’ara: 208)
“(Kami mengutus mereka sebagai) rasul-rasul pembawa berita gembira dan peringatan, agar manusia tidak dapat membantah Allah sesudah (datangnya) para utusan itu..” (QS. An-Nisa: 165)
Maka tidak ada alasan untuk menghukumi manusia kecuali setelah diutusnya para rasul. Tanpa diutusnya rasul, manusia tidak akan dihukum, karena adanya keutamaan dan rahmat Allah Swt.
Ayat-ayat tersebut menjadi dalil bagi keyakinan pengikut Ahlussunnah, bahwa Allah, dengan rahmat dan kemurahan-Nya, tidak akan mengazab seorang pun sebelum diutus seorang pemberi peringatan.
Mungkin ada yang berkata, bisa jadi Allah telah mengutus rasul kepada kedua orang tua Nabi saw., dan mereka berbuat syirik setelah sampainya risalah. Namun hal ini tidak didukung oleh dalil naqli. Teks-teks yang ada justru membantah pendapat tersebut dan menguatkan hal yang sebaliknya, seperti firman Allah,
“Dan kami tidak pernah memberikan kepada mereka (yakni kaum musyirikin arab) satu kitab pun yang dapat mereka baca (sebelum datangnya Al-Quran). Dan tak sekalipun kami mengirim pemberi peringatan sebelummu (Nabi Muhammad Saw).” (QS. Saba: 44)
“…supaya engkau memberi peringatan kepada kaum (arab) yang belum didatangi seorang pun pemberi peringatan sebelummu; kiranya mereka ingat.” (QS. Al-Qashash: 46)
“Dan tidaklah Tuhanmu membinasakan kota-kota sebelum Dia mengutus seorang Rasul di ibukotanya, yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka. Dan tidaklah kami membinasakan kota-kota, kecuali penduduknya adalah orang-orang zalim.” (QS. Al-Qashash: 59)
Teks-teks tersebut menjadi dalil bahwa kedua orang tua Nabi Saw. tidak diazab bukan karena menjadi orang tua Nabi, tapi karena keduanya termasuk golongan ahli fatrah sebagaimana telah kami jelaskan. Status mereka adalah seperti apa yang berlaku bagi orang muslim.
Imam Al-Syatibi mengatakan, “Sunatullah berlaku pada setiap makhluk-Nya, bahwa tak seorangpun yang durhaka dihukum, melainkan setelah diutusnya para rasul. Ketika risalah Allah telah ditegakkan bagi manusia, maka siapapun, boleh beriman atau kafir. Dan semua akan menerima balasan sesuai amalnya.”
Dalam tafsirnya atas surat Al-Isra: 16,
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا
“Kami bukan penyiksa (siapapun), sampai kami mengutus seorang Rasul (kepada mereka).” (QS. Al-Isra: 15)
Al-Qashimy mengatakan: “Apa yang benar dan berlaku bagi Kami, bahkan mustahil dalam hukum Kami (Allah), adalah mengazab suatu kaum tanpa mengutus kepada mereka seorang rasul, yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar, dan menyelamatkan mereka dari kesesatan; untuk menegakkan hujjah (Allah atas mereka-ed.) dan menolak alasan apapun.”
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Al-Quran dan Hadis dengan jelas menunjukkan bahwa Allah tidak mengazab siapapun kecuali setelah sampainya risalah. Jika risalah itu memang tak sampai sama sekali, maka ia tidak berhak diazab. Namun, jika risalah itu sampai secara global tanpa adanya beberapa perincian, maka dia hanya diazab atas pengingkaran hal yang sampai kepadanya.”
Adapun dalil tentang keselamatan kedua orang tua Nabi Saw. secara khusus, dan bukan dalil umum yang mencakup tentang keselamatan “ahli fatrah”, adalah firman Allah,  وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ
“Dan kegiatanmu di antara orang-orang yang sujud.” (QS. Al-Syu’ara: 219)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa “orang-orang yang sujud” adalah nenek moyang Nabi, yaitu Adam, Nuh, dan Ibrahim sampai lahirlah Nabi Saw.
Diriwayatkan dari Watsilah ibn Al-Asqa’, bahwa Nabi Saw. bersabda, “Allah memilih Ismail dari keturunan Ibrahim, memlilih Bani Kinanah dari keturunan Ismail, memilih suku Quraisy dari keturunan Bani Kinanah, memilih Bani Hasyim dari suku Quraisy, dan dari Bani Hasyim, Allah memilihku.” (HR. Ahmad dan Muslim)
Diriwayatkan dari Abbas – paman Nabi, bahwa Nabi bersabda, “Allah menciptakan makhluk, dan menjadikanku yang terbaik, dari generasi yang terbaik. Lalu Allah memilih kabilah-kabilah, dan menjadikanku dari kabilah terbaik. Lalu Allah memilih rumah-rumah dan menjadikanku berada dalam rumah terbaik. Jadi, aku adalah jiwa terbaik dan berada dalam rumah terbaik di antara mereka.”
Rasulullah mensifati keturunannya dengan kesucian dan kebaikan. Dua sifat itu tak mungkin ada bersamaan dengan kekufuran dan syirik. Allah mensifati orang-orang musyrik dalam firmannya,
إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
“Sungguh, orang-orang musyrik itu najis…” (QS. At-Taubah: 28)
Sementara mereka yang berbeda pendapat, berdalil dengan dua hadis ahad yang bertentangan dengan ayat-ayatqath’i. Keduanya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Pertama, sabda Nabi, “aku meminta izin pada Allah agar aku bisa memohonkan ampun untuk ibuku, namun Allah tidak mengizinkanku. Maka aku pun meminta kepada-Nya agar aku boleh berziarah ke kuburnya, dan Ia mengizinkan.”
Kedua, seseorang bertanya, “wahai Rasulullah, di manakah ayahku?” Nabi menjawab, “di neraka.” Setelah itu, Nabi memanggilnya dan bersabda, “ayahku dan ayahmu di neraka.”
Maka, dapat dibantah bahwa dalam hadits yang pertama tidak ada penjelasan bahwa ibu Nabi Saw. di dalam neraka. Tidak adanya izin dari Allah untuk beristigfhfar bukan berarti bahwa ibu Nabi Saw. adalah musyrik. Karena jika demikian, maka Allah tidak akan mengizinkan Nabi untuk berziarah ke kubur ibunya. Karena seorang muslim tidak boleh menziarahi kubur orang musyrik.
Pada hadis kedua, ada kemungkinkan bahwa yang dimaksud Nabi adalah pamannya. Karena Abu Thalib meninggal setelah Nabi diangkat menjadi rasul dan tidak diketahui keislamannya. Orang arab biasa menyebut paman dengan ‘ayah’, sebagaimana firman Allah Swt. tentang Nabi Ibrahim,
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, yaitu Azar, “pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan?..” (QS. Al-An’am: 74)
Padahal ayah Nabi Ibrahim adalah Tarih atau Tarikh, sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir dan para ahli tafsir.
Namun jika mereka masih saja menolak takwil di atas, dan tetap berpegang teguh pada zahir teks hadis kedua – karena zahir redaksi pada hadis pertama tidak cukup untuk mendukung pendapat mereka – maka kami katakan, bahwa, anggaplah menurut kedua hadis tersebut orang tua Nabi tidak selamat dari neraka. Namun, hal tersebut membuat kami menolak dua hadis tersebut, karena bertentangan dengan ayat-ayat qath’i yang jelas-jelas menunjukkan pemahaman yang berbeda. Inilah pendapat para imam dan ulama selama berabad-abad.
Dalam masalah ini, Al-Khatib Al-Baghdadi telah merumuskan sebuah kaidah: apabila seorang tsiqah, yang terpercaya meriwayatkan hadis dengan sanad bersambung, riwayatnya ditolak karena beberapa sebab, di antaranya adalah menyelisihi teks Al-Quran atau hadis mutawatir. Jika demikian, riwayatnya dianggap tak mempunyai sumber yang jelas, atau mansukh (dihapus hukumnya-pen). ?????????????
Para ahli hadis seperti Al-Bukhari dan Al-Madiny, menolak hadis, “Allah menciptakan bumi pada hari sabtu. Menciptakan gunung pada hari ahad. Menciptakan pohon pada hari senin. Menciptakan keburukan pada hari selasa. Menciptakan cahaya pada hari rabu. Menebar binatang di bumi pada hari kamis. Dan Allah menciptakan Nabi Adam setelah asar di hari jumat sebagai ciptaan terakhir pada saat terakhir di hari jumat diantara asar menjelang malam.” (HR. Muslim), mereka menolak hadis tersebut karena bertentangan dengan Al-Quran, sebagaimana disebutkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya,
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ
“Sungguh, Tuhan kalian adalah Allah, yang menciptakan langit dan bumi dalam waktu enam hari…” (QS. Al-A’raf: 54)
Begitu juga imam Nawawi yang menolak zahir hadis Aisyah, “sholat (dulunya) diwajibkan dua rakaat dua rakaat, baik di rumah atau dalam perjalanan. Kemudian (dua rakaat itu) ditetapkan untuk sholat safar (dalam perjalanan). Lalu (jumlah rakaat) itu ditambah untuk sholat hadhar (tidak dalam perjalanan).”
Meskipun hadis tersebut telah disepakati oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim, Imam Nawawi tetap menolak makna zahirnya. Beliau mengatakan, “secara zahir, hadis tersebut bermakna bahwa dua rakaat adalah shalat yang asli, bukan yang diqashar, dan shalat hadhar itu ditambah. Ini bertentangan dengan teks Al-Quran dan ijma’ tentang penamaan shalat qashar. Saat hadis ahad bertentangan dengan teks Al-Quran dan ijmak, maka wajib meninggalkan makna zahirnya.”
Oleh karena itu, bagi yang berbeda pendapat, agar memilih dari dua opsi. Pertama, takwil. Ini lebih baik supaya tidak ada pembatalan dalil apapun. Kedua, menolak hadis ahad, karena bertentangan dengan dalil qath’i dari Al-Quran yang sudah jelas. Inilah jalan tempuh para Imam besar.
Apapun itu, bisa jadi – dan semoga – sudah ditetapkan bahwa kedua orang tua Nabi Saw. selamat dari neraka, bahkan seluruh nenek moyang Nabi Saw. Semoga Allah menganugerahi kita cinta yang tulus pada Nabi Saw. dan menganugerahi kita pengetahuan sejati akan kedudukan Nabi Saw. Wallahu a’lam. (Ahmad Nurzein/mosleminfo.com)

Apakah Ayah dan Ibu Nabi Muhammad Salallahu’alaihi Wassalam masuk surga?
Ust. abu ibrohim  menulis  sbb:
Bismillah
Banyak terjadi perdebatan di kalangan umat Islam dari dulu hingga kini mengenai nasib ayah dan ibu Nabi Muhammad Salallahu’alaihi Wassalam di akhirat kelak, apakah berada di surga atau neraka. Sebagian mereka berpegang kepada hadits shahih sesuai dengan petunjuk Rasulullah Salallahu’alaihi Wassalam, sedangkan yang lainnya taklid dengan perkataan guru mereka yang tidak dijelaskan asal ilmu menafsirkan haditsnya dari mana ataupun mati-matian mengatakan bahwa hadits yang digunakan oleh pihak yang berseberangan pendapat dengannya adalah hadits ahad dan tak layak digunakan berdasarkan hawa nafsu mereka tanpa berpegang pada dalil Al Quran atau hadits, padahal Rasulullah  Salallahu’alaihi Wassalam telah berpesan dalam haditsnya yangberbunyi:

“Saya wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah dan mendengar serta taat walaupun yang menjadi pemimpin atas kalian seorang budak dari Habasyah (sekarang Ethopia) karena sesungguhnya siapa yang hidup di antara kalian maka ia akan melihat perselisihan yang sangat banyak maka berpegang teguhlah kalian kepada sunnahku dan kepada sunnah para Khalifah Ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah ia dengan gigi geraham dan hati-hatilah kalian dengan perkara yang baru, karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah.”. Hadits shohih dari seluruh jalan-jalannya.

Tulisan berikut ini membahas tentang bagaimana kondisi ayah dan ibu Rasulullah  Salallahu’alaihi Wassalam dengan berlandaskan kepada hadits yang berkaitan dengan hal ini, berpedoman dengan petunjuk dari Rasulullah Salallahu’alaihi Wassalam mengenai keharusan kita dalam berpegang teguh kepada sunnahnya Salallahu’alaihi Wassalam. Diambil dari bantahan terhadap situs dan blog penentang manhaj salafy ahlussunnah di http://www.darussalaf.or.id/myprint.php?id=1480 , selamat menyimak, semoga bermanfaat!

Barakallahu fiik
3) Keyakinan (dari blog penentang manhaj salafy ahlussunnah-admin) bahwa Ayah dan Ibu Nabi Muhammad masuk surga

Pada artikel di blog tersebut dengan judul : Ayah dan Ibu Nabi Muhammad SAW Masuk Sorga
Panjang lebar penulis blog tersebut menjelaskan bahwa ayah dan ibunda Nabi masuk surga. Padahal itu bertentangan dengan hadits yang shahih :

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِي قَالَ فِي النَّارِ فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ

” dari Anas bin Malik bahwasanya seorang laki-laki berkata : Wahai Rasulullah di mana ayahku ? Nabi bersabda : ‘ di neraka’ . Ketika orang tersebut berpaling, Nabi memanggilnya lagi dan bersabda : ‘Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di an-naar (neraka) (H.R Muslim).

Penulis blog tersebut berusaha mati-matian menolak hadits ini dengan alasan bahwa hadits ini adalah ahad. Subhaanallah, dia menolak hadits yang shohih dengan alasan hanya hadits ahad, karena bertentangan dengan hawa nafsunya, namun di saat lain ia berdalil dengan hadits yang bukan sekedar ahad, namun justru tidak memiliki sanad yang jelas (seperti pada poin ke-1 di atas dan akan dikemukakan pada poin ke-4, Insya Allah). Padahal, keyakinan Ahlusunnah adalah hadits shohih bisa digunakan sebagai hujjah dalam masalah hukum maupun akidah. (Untuk melihat penjelasan lebih lanjut tentang ini bisa dilihat pada blog albashirah.wordpress.com pada tulisan : Hadits Ahad Hujjah dalam Masalah Aqidah dan Hukum bag ke-1 sampai ke-4).
Imam AnNawawi menjelaskan dalam Syarh Shohih Muslim tentang hadits di atas :
(dalam hadits ini terkandung faidah) : ” Bahwasanya barangsiapa yang meninggal dalam keadaan kafir, maka dia masuk anNaar, dan tidaklah bermanfaat baginya kedekatan hubungan kekeluargaan dengan orang-orang yang dekat (dengan Allah). Di dalamnya juga terkandung faidah bahwa orang yang meninggal dalam masa fatrah, yang berada di atas kebiasaan orang Arab berupa penyembahan berhala, maka dia termasuk penghuni annaar. Dan tidaklah dianggap bahwa dakwah belum sampai pada mereka, karena sesungguhnya telah sampai pada mereka dakwah Nabi Ibrahim, dan Nabi yang lainnya -semoga sholawat dan keselamatan dari Allah tercurah untuk mereka.

Sedangkan berkaitan dengan ibunda Nabi, terdapat penjelasan dalam hadits yang shohih, Nabi bersabda :

اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لِأُمِّي فَلَمْ يَأْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي

“Aku memohon ijin kepada Tuhanku untuk memohon ampunan bagi ibuku, tetapi tidaklah diijinkan untukku, dan aku mohon ijin untuk berziarah ke kuburannya, dan diijinkan”(H.R Muslim dari Abu Hurairah)

dalam riwayat Ahmad :

إِنِّي سَأَلْتُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ فِي الِاسْتِغْفَارِ لِأُمِّي فَلَمْ يَأْذَنْ لِي فَدَمَعَتْ عَيْنَايَ رَحْمَةً لَهَا مِنْ النَّارِ

“Sesungguhnya aku meminta kepada Tuhanku ‘Azza Wa Jalla untuk memohon ampunan bagi ibuku, namun tidak diijinkan, maka akupun menangis sebagai bentuk belas kasihan baginya dari adzab anNaar” (hadits riwayat Ahmad dari Buraidah, al-Haitsamy menyatakan bahwa rijaal hadits ini adalah rijaalus shohiih).

Dalam riwayat lain :

عَنْ أبِي رَزِينٍ، قَالَ: قُلْتَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيْنَ أُمِّي؟، قَالَ:”أُمُّكَ فِي النَّارِ”، قَالَ: فَأَيْنَ مَنْ مَضَى مِنْ أَهْلِكَ؟، قَالَ:”أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ أُمُّكَ مَعَ أُمِّي

” dari Abu Roziin beliau berkata : Aku berkata : Wahai Rasulullah, di mana ibuku? Nabi menjawab : ‘Ibumu di an-Naar’. Ia berkata : Maka di mana ornag-orang terdahulu dari keluargamu? Nabi bersabda : Tidakkah engkau ridla bahwa ibumu bersama ibuku” (H.R Ahmad dan atThobarony, dan al-Haitsamy menyatakan bahwa perawi-perawi hadits ini terpercaya (tsiqoot)).

Nabi tidak diijinkan untuk memohon ampunan bagi ibunya, disebabkan alasan yang disebutkan dalam AlQur’an :

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam” (Q.S atTaubah :113).

Maka saudaraku kaum muslimin, telah jelas khabar dari hadits-hadits Nabi yang shohih bahwa sebenarnya ayah dan ibunda Nabi di an-Naar. Kita sebagai orang yang beriman merasa sedih dengan hal-hal yang membuat Nabi bersedih. Bukankah Nabi menangis sedih ketika beliau memintakan ampunan bagi ibundanya, namun Allah tidak ijinkan. Akan tetapi, dalil-dalil yang shohih di atas memberikan pelajaran penting bagi kita, bahwa kedekatan kekerabatan dengan orang Sholih, bahkan seorang Nabi, tidak menjamin seseorang untuk ikut-ikutan masuk surga. Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Imam AnNawawi di atas. Sebagaimana juga Nabi mewasiatkan kepada keluarga-keluarga dekatnya :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لَمَّا أُنْزِلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ } دَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُرَيْشًا فَاجْتَمَعُوا فَعَمَّ وَخَصَّ فَقَالَ يَا بَنِي كَعْبِ بْنِ لُؤَيٍّ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي مُرَّةَ بنِ كَعْبٍ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي عَبْدِ شَمْسٍ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي هَاشِمٍ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا فَاطِمَةُ أَنْقِذِي نَفْسَكِ مِنْ النَّارِ فَإِنِّي لَا أَمْلِكُ لَكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا غَيْرَ أَنَّ لَكُمْ رَحِمًا سَأَبُلُّهَا بِبَلَالِهَا

” Dari Abu Hurairah beliau berkata : Ketika turun firman Allah –QS Asy-Syuaroo’:213-(yang artinya) : ‘Dan berikanlah peringatan kepada kerabat dekatmu’, Nabi memanggil orang-orang Quraisy sehingga mereka berkumpul –secara umum dan khusus-Nabi bersabda : ‘Wahai Bani Ka’ab bin Lu-ay, selamatkan diri kalian dari anNaar, wahai Bani Murroh bin Ka’ab selamatkan diri kalian dari anNaar, wahai Bani Abdi Syams selamatkan diri kalian dari anNaar, wahai Bani Abdi Manaaf selamatkan diri kalian dari anNaar, wahai Bani Hasyim selamatkan diri kalian dari anNaar, wahai Bani Abdil Muththolib selamatkan diri kalian dari anNaar, wahai Fathimah selamatkan dirimu dari anNaar, sesungguhnya aku tidak memiliki kekuasaan melindungi kalian dari (adzab) Allah sedikitpun, hanyalah saja kalian memiliki hubungan rahim denganku yang akan aku sambung (dalam bentuk silaturrahmi)(H.R Muslim)
Hanya kepada Allahlah kita berharap Jannah-Nya dan hanya kepadaNya kita memohon perlindungan dari an-Naar.[1]
Komentarku ( Mahrus ali ):
Keterangan di atas bagus, dan saya  cocok  dengannya dan saya  juga telah membacanya.
Untuk hadis ini:
 “Saya wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah dan mendengar serta taat walaupun yang menjadi pemimpin atas kalian seorang budak dari Habasyah (sekarang Ethopia) karena sesungguhnya siapa yang hidup di antara kalian maka ia akan melihat perselisihan yang sangat banyak maka berpegang teguhlah kalian kepada sunnahku dan kepada sunnah para Khalifah Ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah ia dengan gigi geraham dan hati-hatilah kalian dengan perkara yang baru, karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah.”. Hadits shohih dari seluruh jalan-jalannya.
Komentarku ( Mahrus ali ):
Muhammad al amin berkata:
هَذِهِ اْلأَحَادِيْثُ يَنْطَبِقُ عَلَيْهَا قولُ الْحافِظِ اِبْنِ عَبْدِ الْبَرِّ فِي التَّمْهِيْدِ ( 10 \ 278 ):« وَلَمْ يُخْرِجِ الْبُخَارِيُّ وَلَا مُسْلِمٌ بْنُ الْحَجَّاجِ مِنْهَا حَديثًا وَاحِدًا.وَحَسْبُكَ بِذَلِكَ ضُعْفًا لَهَا ».
Hadis – hadis  ini berlaku kata-kata Hafiz Ibnu Abdul Barr di kitab Tamhid (10 \ 278): «Bukhari  dan Muslim bin Al Hajjaj tidak meriwayatkan   satu  hadis ini. Dan dengan nya  cukup hadis tsb untuk dikatakan lemah.

وَمَنْ نَقَلَ تَقْبَلُ الأُمَّةُ لِهَذَا الْحَديثِ بِالْقَبُولِ فَلَمْ يُصِبْ بِذَلِكَ أيضاً.فَقَدْ نَقَّلْنَا عَنْ أَحَدِ الْمُتَقَدِّمِينَ تَضْعِيفَهُ ، وَهَذَا يَكْفِي لِسُقُوطِهِ.
Barang siapa yang mengutip bahwa umat telah menerima hadis itu dengan baik, maka tidak benar. Sungguh kami telah mengutip salah satu tokoh terdahulu yang melemahkannya. Ini sudah cukup bahwa hadis tsb jatuh nilainya.

فَالْحَديثُ لَيْسَ لَهُ طَرِيقٌ يُعْتَبَرُ بِهَا إلّا عَنْ مَجْهُولَيْنِ ( مُثَنًّى مَجْهُولٍ ) عَنِالعرباض بْنِ سَارِيَةٍ.

Hadis itu tidak memiliki jalur periwayatan yang bisa di andalkan kecuali  dari dua anonim ( perawi yang tak dikenal )  dari Al Irbadh bin Saroyah.
Menurutku hadis tsb  tidak bisa dibuat pegangan, lepaskan saja.