Wednesday, December 10, 2014

NU dan Kekafiran syi'ah

Gus Aab: Kekafiran Syiah Karena Keyakinannya Bertentangan dengan Aswaja

KIBLAT.NET, Depok – “Seandainya ada orang yang mengatakan Ana Syi’iyun (Saya Syiah, red), tetapi dia tidak mengkafirkan para sahabat. Kalau perlu dia juga menerima kekhalifahan Khulafaur Rasyidin yang tiga, maka tidak perlu disesatkan kalau dia tidak meyakini terhadap aqidah-aqidah-aqidah yang bertentangan dengan Ahlus Sunnah.”
Itulah penggalan ceramah KH. Abdullah Syamsul Arifin dalam acaraSilaturahmi Nasional ‘Penguatan Aswaja dan Penanggulangan Terorisme dalam Ketahanan Nasional’ di Pesantren Mahasiwa Al-Hikam, Beji, Depok, pada Ahad (07/12).
Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Jember yang biasa disapa Gus Aab ini mengatakan NU menyesatkan Syiah bukan karena kesyiahannya, tetapi karena keyakinannya yang bertentangan dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja).
Menurutnya, jika seseorang mengaku Syiah tapi tidak memiliki keyakinan yang bertabrakan dengan aqidah Ahlus Sunnah wal jamaah, maka dia tidak dapat disesatkan.
Maka, Syiah disesatkan bahkan dikafirkan bukan karena kesyiahannya. Tapi, karena keyakinan Syiahnya atau takfirnya terhadap para Sahabat.
“Itu yang dijawab tegas oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asyari bahwa kita harus baariun (berlepas diri, red). Terlepas dari orang-orang yangyukaffiru (mengkafirkan) Aba Bakrin (Abu Bakar Shiddiq RA) termasuk terhadap orang yang yukaffiru (mengkafirkan) Sayyidina Utsman bin Affan dan Umar bin Khattab dan sebagainya,” jelas pria yang akrab dipanggil Gus Aab ini.

Ini Perbedaan Tegas Antara Nahdliyyin dan Syiah dalam Menyikapi Ahlul Bait Nabi SAW

KIBLAT.NET, Depok – Mendiang Gus Dur pernah berkata NU=Syiah minus Imamah. Di kesempatan lain Gus Dur juga pernah menyatakan bahwa NU itu lebih Syiah daripada Syiah itu sendiri. Ungkapan itulah yang kerap digembar-gemborkan kaum Syiah di Indonesia untuk mendekati kaum nahdliyyin.
Namun, Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Jember KH. Abdullah Syamsul Arifin menegaskan ada perbedaan yang tegas antara warga Nahdliyyin dengan kaum Syiah.
“Memang secara fungsionalis sosiologis ada kemiripan amaliyah kita (warga NU, red) dengan Syiah, tetapi jangan dianggap bahwa amaliyah kita mengambil dari Syiah,” ujar kyai yang akrab dipanggil Gus Aab ini dalam acara Silaturahim Nasional Penguatan Aswaja di Pesantren Al-Hikam, Depok, pada Ahad, (07/12).
Dia mencontohkan, memang ada persamaan antara NU dengan Syiah dalam hal mahabbah (kecintaan) Ahlul Bait, pujaan-pujaan kepada Rasulullah SAW dalam bingkai shalawat. Namun, ada perbedaan mendasar dalam hal tersebut.
“Kalau kita bicara Ahlul Bait, Ahlul Bait versi Syiah tidak ada yang ditolak oleh Sunni. Tapi, justru penyaringan oleh Syiah yang awalnya ketat menjadi lentur ketika tidak sesuai dengan keinginannya. Sekedar contoh, bagi Syiah, Ahlul Bait dibatasi pada lima, yaitu Rasulullah, Sayyidina Ali, Fatimah, Hasan dan Hussein,” ujarnya.
“Sementara di kalangan Sunni banyak definisi dari Ahlul Bait. Tapi, ketika bicara Syiah awalnya Ahlul Bait dibatasi lima, tapi ketika mereka harus memasukkan imam-imam mereka sebagai Ahlul Bait yang maksum, maka Imam 12 masuknya sekarang jadi Ahlul Bait, inilah ketidakkonsistenan Syiah, jadi beda dengan kita, dasarnya beda,” tambah Wakil Ketua MUI Jember ini.
Gus Aaab menegaskan, NU dengan Syiah memiliki kesamaan dalam konteks amal, tetapi memiliki perbedaan mendasar dalam konteks legal standing-nya (dasar hukum, red).
“Kalau boleh saya rumuskan, ada persamaan dalam tataran fungsional sosiologisnya, tetapi jelas berbeda dalam konteks strukturalis ideologis. Ketika kita punya mahabbah Ahlul Bait itu bukan dalam konteks yang diyakini oleh Syiah,” paparnya.
Bagi Syiah, mahabbah Ahlul Bait itu sebagai upah kenabian atau fungsional rasul. Namun bagi Sunni, mahabbah ahlul bait karena mengikuti mahabbah kepada Rasulullah SAW.
“Tapi, mahabbah ahlul baitpun harus dibatasi kepada ahlul bait yang aqidahnya, amaliyahnya, prakteknya yang sejalan dengan apa yang digariskan oleh Rasulullah. dengan demikian jika ada ahlul bait yang keluar dari konteks tersebut, kita tidak lagi mahabbah kepadanya, karena yang kita hormati itu selain ada unsur nasabnya tidak boleh keluar dari faktor aqidahnya,” jelas Gus Aab.


 Kyai NU: Syiah Mengkafirkan Sahabat untuk Hancurkan Otoritas Agama Islam

KIBLAT.NET, Depok – Wakil Ketua MUI Jember, KH. Abdullah Syamsul Arifin dalam acara Silaturahmi Nasional ‘Penguatan Aswaja’ menilai aksi caci-maki terhadap sahabat Nabi SAW yang kerap dilakukan oleh kelompok Syiah bukan persoalan besar ketika mereka mengaku tidak sebagai Islam, namun sebaliknya menjadi persoalan besar ketika mereka mengaku sebagai Islam.
“Kalau mereka tidak menganggap dirinya bukan Islam, sebetulnya selesai umat Islam. Tidak akan sakit hati dengan Syiah, Tapi, ketika mereka mengaku sebagai Islam kemudian mencederai keyakinanmainstream mayoritas, ini akan muncul masalah,” kata pengurus Nahdlatul Ulama Kabupaten Jember ini di Ponpes Mahasiswa Al-Hikam, Depok pada Ahad, (07/12).
Karena, menurut pria yang akrab disapa Gus Aab ini, persoalan menghormati sahabat bukan sekedar menghormati pribadinya. Namun, itu berkaitan dengan legitimasi sumber keagamaan umat Islam. Berarti, Syiah mengkafirkan para sahabat dengan tujuan untuk menghancurkan otoritas keagamaan dalam Islam.
“Persoalannya apa, ketika mencaci sahabat, bukan hanya persoalan kita harus menghormati sahabat Nabi SAW. Kita harus ingat, jalur transmisi keagamaan kita melalui para sahabat,” ucapnya.
“Ketika sahabat sudah dikafirkan, darimana kita akan mendapatkan sumber otoritatif keagamaan? Hadis menjadi tidak ada karena hadis melalui jalur sahabat,” tambah tokoh yang akrab dipanggil Gus Aab.
Jadi, kata Gus Aab, tidak bisa dianggap sederhana, bukan sekedar satu pihak menghormati dan satu pihak lainnya mencaci maki para sahabatradhiyallahu anhum.
“Kita tidak akan pernah mendapatkan Kutubus Sittah kalau bukan karena jalur perentetan melalui para Sahabat, Ketika Sahabat dibongkar dan semuanya dikafirkan maka secara otomatis semua kitab-kitab hadis sudah tidak dapat dipakai,” tegasnya kembali.

DEPOK (Jurnalislam.com) - Berkembangnya Syi'ah di tengah-tengah umat Islam Indonesia yang mayoritasnya warga Nadliyin membuat tokoh Nadlatul Ulama (NU) Jember KH. Abdullah Syamsul Arifin khawatir. Beliau melihat, perkembangan Syi'ah itu disebabkan ketidaktahuan umat tentang perkembangan Syiah dan liberal secara umum, karenanya hingga warga NU bersikap tenang-tenang saja.
“NU tidak boleh lagi kalem terhadap Syi'ah. Kalau Hadratus Syaikh Hasyim Asyari saja sebelum Syi'ah mengancam dan potensinya berkembang seperti saat ini, sudah secara tegas mengatakan bahwa Syiah itu tidak boleh diikuti dan sebagai mazhab yang sesat. Tentu, NU harus terus menjaga komitmen ini, tidak boleh mengakomodir apalagi mengirim mahasiwanya ke Iran,” tegasnya dalam acara Silaturahmi Nasional ‘Penguatan Aswaja dan Penanggulangan Terorisme dalam Ketahanan Nasional’ di Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, Beji, Depok, Ahad (7/12/2014).
Menurut Gus Aab, sapaan akrabnya, sikap penolakan NU terhadap Syiah perlu ditegaskan kembali karena situasinya sudah sangat mengkhawatirkan, banyak pengaburan perbedaan antara Sunni dengan Syiah, terutama ketika terbentuknya lembaga pendekatan (taqrib) antara Sunni-Syiah.
“Ketika terbentuknya Lajnah Taqrib Baina Mazahib (Majelis Pendekatan Antar Mazhab, red) yang ada di Mesir, banyak tokoh kita yang berbicara di sana. Itu yang kemudian banyak mengkaburkan sekat antara Syiah dengan Sunni, seakan-akan Syiah dengan Sunni itu tidak ada perbedaan dan bisa dipertemukan, walaupun secara teologis berbeda tetapi dapat dipertemukan dalam aspek-aspek fungsionalis sosiologis. Ini yang sangat membahayakan bagi warga Jam’iyah Nahdlatul Ulama, dimana Syiah itu berada ditengah-tengah mereka,” paparnya.
Oleh karena itu, menurutnya, NU tidak boleh bersikap tenang-tenang saja terhadap Syiah, terlebih mengakomodirnya di Indonesia. Dia pun berharap, penolakan Syiah oleh Hadratusy Syaikh Hasyim Asyari dapat diteruskan oleh mantan Ketua PBNU KH.Hasyim Asyari selaku tuan rumah acara. (kiblat)

KH. Hasyim Asyari Telah Fatwakan Syi'ah Sesat Sebelum Berkembang di Indonesia
DEPOK (Jurnalislam.com) - Sebelum Syi'ah berkembang di Indonesia, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asyari telah menentang dan mewaspadainya. Lebih dari itu, KH. Hasyim Asyari juga telah memfatwakan kesesatan Syi'ah. Pernyataan tersebut disampaikan oleh tokoh NU Jember, KH. Abdullah Syamsyul Arifin dalam acara Silaturahmi Nasional ‘Penguatan Aswaja dan Penanggulangan Terorisme dalam Ketahanan Nasional’ di Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, Beji, Depok, Ahad (7/12/2014).
“Jika melihat fatwa Hadratusy Syaikh Hasyim Asyari, beliau sangat mewaspadai Syiah, padahal pada masa itu di Indonesia Syiah belum berkembang. Syiah sendiri baru berkembang di Indonesia sejak terjadinya revolusi Iran tahun 1979,” kata pria yang akrab dipanggil Gus Aab ini seperti dilansir kiblat.net pada Senin (8/12/2014).
Beliau menambahkan, KH. Hasyim Asyari telah dengan tegas memfatwakan mazhab Syiah ini sesat dan tidak boleh diikuti, tidak boleh diambil fatwanya serta tidak boleh diambil hujjahnya.
“Ini fatwa yang dikatakan Hadratus Syaikh Hasyim Asyari dalam tulisan-tulisannya dan dalam Qanun Asasi Jam’iyah Nahdlatul Ulama,” ujar Wakil Ketua MUI Jember ini.
Meskipun belum mengkafirkan, namun NU telah memandang Syi'ah sebagai aliran sesat yang tidal boleh diikuti oleh Nahdliyin. 
“NU sudah memandang Syiah itu sesat kalaupun tidak dikatakan kafir karena kehati-hatian kita, tidak boleh diikuti oleh Jamiyah Nahdlatul Ulama,” katanya. (kiblat)