Saturday, February 28, 2015

Ahlus Sunnah Untuk Keutuhan NKRI

Persatuan kaum Muslimin akan tercapai, jika Ahlus Sunnah wal Jamaah bisa bersatu
Oleh: Wildan Hasan

KEHIDUPAN kaum Muslimin di tanah air saat ini  banyak masalah, beban kehidupan dan tantangan yang harus dihadapi.
Di negeri sendiri, kita menghadapi masalah kemiskinan, kebodohan, liberalisasi ekonomi dan pemikiran, konflik sosial, merebaknya budaya barat, tirani media, tirani minoritas, korupsi birokrasi, eksploitasi kekayaan nasional, berkembangnya aliran-aliran sesat, dekadensi moral, kriminalitas, apatisme publik dan lain-lain.
Masalah-masalah ini saling kait-mengkait, terkoneksi secara komplek satu jalur dengan jalur lainnya.
Dalam kondisi demikian, mestinya kita berfikir arif dan bijak, menghemat energi kehidupan (waktu, tenaga, pemikiran dan harta), memaksimalkan kerja dan peluang, merapatkan barisan, menambal kebocoran, saling menolong mewujudkan kebaikan, saling menjaga, mengasihi, peduli dan setia kawan antara sesama Muslim. Namun kenyataannya, ternyata tidak mudah mewujudkan harapan-harapan itu. Dalam situasi penuh tantangan ini, kita tidak tergerak untuk bersatu, atau mencari jalan mengishlahkan perselisihan; tetapi kita justru banyak terlibat dalam konflik dan perselisihan antar sesama.
Salah satu masalah besar yang dihadapi kaum Muslimin di nusantara yang menghalangi terwujudnya persatuan umat, ialah sulitnya menyatukan barisan Ahlus Sunnah wal Jamaah atau kerap disingkat ASWAJA.
Kita patut bersyukur, bangsa ini didominasi oleh kalangan Ahlus Sunnah. Eksistensi Ahlus Sunnah sendiri tersebar di berbagai organisasi, lembaga, sikap politik, dan bidang aktivitas. Andaikan semua ini dipandang sebagai sebuah keragaman yang saling melengkapi, tentu kita sangat mensyukurinya. Namun dalam kenyataannya, antara sesama Ahlus Sunnah kerap terlibat dalam perselisihan sengit yang akhirnya saling menegasikan.
Ketika Ahlus Sunnah masih terpuruk dalam labirin pertikaian, akibatnya umat Islam di Nusantara terus-menerus didera kelemahan, penderitaan, dan akhirnya berujung pada kelemahan yang berdampak pada kelamnya wajah Indonesia saat ini. Karena kondisi bangsa ini adalah cerminan dari kondisi umat Islam sebagai mayoritas rakyat tanah air. Saat ini kita sangat dituntut untuk mencari jalan  titik temu dan jembatan penghubung yang bisa menyatukan hati-hati sesama Ahlus Sunnah. Kita harus berusaha sekuat tenaga membangun kekuatan umat. Kalau tidak bisa menyatukan pemikiran, setidaknya memiliki komitmen untuk saling menghormati dan mengasihi.
Kalau tidak mampu berkomitmen, berarti kita harus mampu menahan diri dari sikap-sikap yang bisa memperlebar jurang perpecahan. Apalagi musuh-musuh Islam terus berupaya memerangi umat Islam dengan memecah belah dan mengadu domba berbagai kalangan Ahlu Sunnah satu sama lainnya. Sebagai contoh, mereka mengadu domba antara Wahabi dan NU yang keduanya sejatinya berada di rumah besar Ahlus Sunnah wal Jamaah yang sama dengan meniup-niupkan isu Takfiri dan sebagainya.
Tidak diragukan lagi, bahwa persatuan umat adalah dambaan kita semua. Banyak dalil syariat yang menyerukan umat Islam agar bersatu padu, merapatkan barisan dan saling tolong menolong dalam kewajiban dan takwa. Hingga disebutkan dalam riwayat, “Berjamaah itu adalah rahmat, sedangkan perpecahan adalah adzab.” [HR: Al Qadha’i, dari Nu’man bin Basyir]. Persatuan kaum Muslimin akan tercapai, jika Ahlus Sunnah wal Jamaah bisa bersatu. Karena Ahlus Sunnah merupakan mayoritas dari kalangan umat Islam di seluruh dunia; mereka adalah pengikut salah satu dari imam-imam Ahlus Sunnah, seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Asy Syafi’i dan Imam Hambali. Ahlus Sunnah inilah yang dijanjikan mendapatkan keselamatan dan pertolongan.
Namun dalam praktiknya, tidak mudah menyatukan Ahlu Sunnah, karena disana terdapat perselisihan antara elemen-elemen Ahlus Sunnah sendiri yang tidak jarang dijadikan celah bagi musuh-musuih Islam untuk merusak ukhuwah Islamiyah. Mereka berselisih dalam perkara fiqih, cabang-cabang aqidah, pemikiran, hingga kepentingan politik. Salah satu perselisihan yang menonjol ialah antara paham Asy’ariyah dan Maturidiyah di satu sisi dan Salafiyah di sisi lain. Inilah yang kemudian mengemuka pada beberapa opini di harian Republika belakangan ini. Tulisan KH. Ali Mustofa Ya’qub yang mengangkat tema “Titik Temu Wahabi-NU” dikomentari oleh dua orang cendekiawan; Mohammad Khoiron dan Asyhari Masduki yang juga dari kalangan internal NU.*

Bila diantara Ahlus Sunnah mau saling terbuka dan jujur, akan mudah dihilangkan serta menutup celah para pendengki Ahlus Sunnah memecah barisan Muslimin

TRADISI ilmiah para cerdik cendekia kita dalam berdiskusi tentu saja sangat baik. Namun salah satu yang patut diperhatikan dalam tradisi baik ini adalah komitmen dalam menetapkan prioritas dan tujuan bersama demi kemaslahatan umat secara keseluruhan. Apa yang dikemukakan sebagaian orang bahwa antara NU dan Wahabi tidak mempunyai titik temu sama sekali, sepertinya perlu ditinjau ulang. Karena pernyataan ini berkonsekuensi salah satu di antara NU atau Wahabi di luar Ahlus Sunnah dan ini bisa bermakna bahwa salah satu dari keduanya bukan golongan yang selamat.
Istilah Wahabi sendiri tidak dipakai bahkan tidak disukai oleh para pengikut dakwah Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Banyak kalangan kurang cermat dalam membaca pernyataan-pernyataan Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang bisa jadi telah diselewengkan dan dimaknai lain oleh kalangan yang tidak menyukai dakwahnya.
Tidak cukup ruang di sini untuk meluruskan pandangan-pandangan yang kurang tepat terhadap riwayat hidup Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan sejarah pergerakan dakwahnya.
Namun bila di antara Ahlus Sunnah mau saling terbuka dan jujur berdiskusi maka sekat-sekat ini akan mudah dihilangkan serta menutup celah para pendengki Ahlus Sunnah untuk memecah belah barisan kaum Muslimin.
Meski sebagian kalangan sering  mengungkap perbedaan-perbedaan antara Ibnu Taimiyah dan Hasyim Asy’ari, namun masalah ini mesti didiskusikan lebih lanjut. Karena bisa jadi hal itu adalah syubhat yang dihembus-hembuskan oleh para pembenci dakwah Islam.
Seperti contoh terkait paham Mujassimah (Meyakini bahwa Allah memiliki jasad seperti makhluk-Nya). Ibnu Taimiyah bahkan sampai dikafirkan oleh kalangan yang tidak menyukai dakwah beliau karena beliau dianggap melegalkan kidah Mujassimah ini. (Lihat Cobaan Para Ulama, Syeikh Syarif Abdul Aziz: 2012). Padahal dalam kitabnya, Al Aqidah Al Wasitiyah, pada pasal Al-Iman bima Washafallahu bihi Nafsahu fi Kitabihi, hlm 8, beliau sama sekali tidak berpaham Mujassimah dan menolak paham tersebut. Terkait penjelasan atas isu penghancuran situs-situs sejarah di Saudi Arabia yang dituduhkan kepada Wahabi serta lain sebagainya, memerlukan silaturahmi dan diskusi yang terbuka serta penuh persaudaraan untuk menjelaskannya secara lebih luas dan mendalam.
Setiap kelompok kaum Muslimin yang meyakini kemurnian dan kebenaran paham Ahlus Sunnah wal Jamaah memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dalam proses pengajaran dan pergerakan dakwahnya. Ada banyak sekali kebaikan ormas-ormas Islam Indonesia yang masih keluarga Ahlus Sunnah, termasuk Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU) bagi umat dan bangsa.
Peran warga Nahdliyyin dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia amatlah besar. Di sisi lain ada banyak pula kebaikan pada gerakan dakwah Salafiyah terutama dalam dakwah pemurnian kidah Islam, di samping kekurangan yang ada pada gerakan ini;  (maaf) kurang santun dalam berdakwah yang tentu saja masih bisa dan harus diperbaiki.
Akhirnya, berkaca kepada sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Umat Islam adalah elemen paling penting dan paling berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan umat Islam di tanah air ini adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Oleh karena itu sangat penting untuk mengupayakan persatuan dengan saling menghormati dan memahami di antara kelompok-kelompok Ahlus Sunnah di nusantara. Sebab, bila Ahlus Sunnah di nusantara ini tidak bersatu maka akan membahayakan keutuhan NKRI. NKRI dibangun, dipelihara dan dijaga oleh umat Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah, karena Indonesia ada dengan adanya umat Islam.
Maju dan mundurnya bangsa ini sangat bergantung kepada maju mundurnya kaum Muslimin di tanah air. Marilah kita jaga NKRI ini dengan menjaga persatuan di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan bersama-sama menyelesaikan masalah-masalah internal maupun eksternal umat demi terwujudnya Indonesia yang Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.*

Penulis Ketua MIUMI Kota Bekasi dan Bidang Penelitian dan Pengkajian MUI

Dr. Mohammad Baharun: Ahlus Sunnah Tak Bersatu, NKRI Akan Terpecah Belah
Selasa, 28 Oktober 2014 - 07:48 WIB
Jika umat Islam baik dari ormas manapun dan partai apapun mau serta mampu bersatu padu maka bisa jadi tidak akan muncul aliran-aliran sesat di Indonesia seperti Syi’ah Rafidhoh, Ahmadiyah, ujar Baharun

Kalau umat Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) yang ada di Indonesia tidak bersatu, pasti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan terpecah belah. Sebab potensi bangsa ini adalah umat Islam Aswaja serta bagi negarawan-negarawan Muslim NKRI merupakan sesuatu yang final.
Demikian pernyataan yang disampaikan oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indoensia (MUI) Pusat, Prof. DR. Mohammad Baharun dalam orasinya pada Deklarasi Nasional Gabungan Masyarakat Penyelamat NKRI dari Konspirasi Aliran-Aliran Sesat: Syi’ah, Zionis dan Komunis Gaya Baru (KGB) di Ma’had Tahfidzul Qur’an Al Firqoh An Najiyah, Utara PUSDIK ARHANUD Desa Donowarih, Kecamatan Karang Ploso, Kabupaten Malang, Ahad (26/10/2014).
“Jika umat Islam terpecah belah, maka perpecahan NKRI tinggal menuggu di depan mata. Dan naudzubillah, jika NKRI terpecah belah lebih kejam dari perpecahan Uni Soviet yang hancur berkeping-keping menjadi Negara-negara kecil yang lemah,” tegas Baharun.
Menurut Baharun umat Islam harus menyusun strategi diantaranya ialah dengan cara bersatu padu. Sebab aliran-aliran sesat sedang menari-nari di atas perpecahan umat Islam saat ini.
“Umat Islam sendiri yang bertanggung jawab untuk menjaga kerukunan internal Aswaja yang merupakan mayoritas tunggal di Indonesia,” tegas Baharun.
Menurut Baharun, jika umat Islam baik dari ormas manapun dan partai apapun mau serta mampu bersatu padu maka bisa jadi tidak akan muncul aliran-aliran sesat di Indonesia seperti Syi’ah Rafidhoh, Ahmadiyah, Liberal, Komunisme, Zionisme dll.*