Friday, March 13, 2015

Hakikat Yang Terlupakan Dari Imam Asy-Syafi'i Dan Kesamaan Aqidah Imam Empat

Oleh
Syaikh Dr Muhammad bin Musa Al-Nashr
Imam Asy-Syafi’i adalah seorang ulama besar dan salah satu dari empat imam besar, yang ilmunya telah tersebar di penjuru dunia, serta jutaan kaum muslimin di negara-negara Islam, seperti Iraq, Hijaz, Negeri Syam, Mesir, Yaman dan Indonesia bermadzhab dengan madzhabnya.
Faktor yang menyebabkan saya memilih pembahasan ini, karena mayoritas kaum muslimin di negeri ini atau di negara ini berada di atas madzhab Asy-Syafi’i dalam masalah furu’, dan hanya sedikit dari mereka yang berada di atas madzhab Asy-Syafi’i dalam masalah ushul. Ironisnya ini menjadi fenomena.

Kita mendapati sejumlah orang mengaku bermadzhab Imam Malik dalam masalah furu’, namun tidak memahami dari madzhab beliau kecuali tidak bersedekap dalam shalat. Mereka menyelisihi aqidah Imam Malik yang Sunni dan Salafi.

Juga kita mendapati selain mereka mengaku berada di atas madzhab Imam Asy-Syafi’i dalam masalah furu’, dan tidak memahami dari madzhabnya kecuali masalah menyentuh wanita membatalkan wudhu. Dan, seandainya isterinya menyentuh walaupun tidak sengaja, maka ia sangat marah sembari berteriak : “Sungguh kamu telah membatalkan wudhu’ ku, wahai perempuan !”. Apabila ditanya, tentang siapakah Imam Asy-Syafi’i tersebut, siapa namanya dan nama bapaknya, niscaya sebagian mereka tidak dapat memberikan jawaban kepadamu, dan ia tidak mengenal tokoh tersebut ; dalam masalah aqidah, ia menyelisihi aqidah Imam Asy-Syafi’i, dan dalam masalah furu’ ia tidak mengerti dari madzhab beliau kecuali sangat sedikit.

Demikian juga, jika engkau mendatangi banyak dari pengikut madzhab Hanabilah kecuali yang tinggal di menetyap di Jazirah Arab dan sekitarnya dari orang yang terpengaruh oleh dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, seorang mujaddid (pembaharu) abad ke -12 Hijriyah. Kita mendapati, kebanyakan dari pengikut madzhab Ahmad di negeri Syam dan yang lainnya, mereka tidak mengetahui Aqidah Ahmad bin Hambal, sehingga engkau mendapati mereka dalam aqidahnya berada di atas madzhab Asy’ariyah atau Mufawwidhah. Padahal Imam Ahmad bin Hambal adalah seorang Salafi dan imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Beliau menetapkan nama dan sifat bagi Allah tanpa takyif, tamtsil dn tasybih.

Demikian juga pengikut madzhab Hanafiyah yang tinggal di wilayah India, negara-negara a’jam, Turki, Asia Timur, dan negara-negara Kaukasus serta lainnya. Kita mendapati mereka berada di atas madzhab Imam Abu Hanifah dalam masalah furu’, namun mereka tidak berada di atas madzhab Imam Abu Hanifah dalam masalah ushul. Mereka tidak beragama dengan aqidah imam besar ini dalam permasalahan tauhid, nama dan sifat Allah.

Empat Imam besar ini (aimmat al-arba’ah) tidak berbeda dalam masalah aqidah, tauhid dan ushul kecuali sedikit yang Abu Hanifah tergelincir padanya. Yaitu dalam masalah iman, tetapi kemudian beliau rujuk dan kembali kepada ajaran yang difahami para imam lainnya, seperti Asy-Syafi’i, Malik dan Ahmad bin Hanbal

[Diangkat dari ceramah Syaikh Muhammad bin Musa Al-Nashr, dalam pengantar pelajaran Aqidah Imam Syafi’i, yang disampaikan dalam “Daurah Syar’iyah Lil Masa’il Al-Aqdiyah wal Manhajiyah”, pada hari Kamis 7 Februari 2008M yang diadakan oleh Ma’had Aaliy Ali bin Abi Thalib bekerja sama dengan Markaz Al-Albani, Yordania]

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]

Aqidah Imam Empat

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim Al Atsari
“Bagilah masjid-masjid antara kami dengan Hanafiyah [1] karena Si Fulan, salah seorang ahli fiqih mereka, menganggap kami sebagai ahli dzimmah! [2]” Usulan ini disampaikan oleh beberapa tokoh Syafi’iyyah[3] kepada mufti Syam pada akhir abad 13 Hijriyah.

Selain itu, banyak ahli fiqih Hanafiyah memfatwakan batalnya shalat seorang Hanafi di belakang imam seorang Syafi’i. Demikian juga sebaliknya, sebagian ahli fiqih Syafi’iyah memfatwakan batalnya shalat seorang Syafi’i di belakang imam seorang Hanafi.

Ini di antara contoh sekian banyak kasus fanatisme madzhab yang menyebabkan perselisihan dan perpecahan umat Islam [4]. Realita yang amat disayangkan, bahkan dilarang di dalam agama Islam. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara. [Ali ‘Imran/3 : 103].

Mengapa orang-orang yang mengaku sebagi para pengikut Imam Empat itu saling bermusuhan? Apakah mereka memiliki aqidah yang berbeda? Bagaimana dengan aqidah Imam Empat?

Benar, ternyata banyak di antara para pengikut Imam Empat memiliki aqidah yang menyimpang dari aqidah imam mereka. Walaupun secara fiqih mereka mengaku mengikuti imam panutannya. Banyak di antara para pengikut itu memiliki aqidah Asy’ariyah atau Maturidiyah atau Shufiyah atau lainnya, aqidah-aqidah yang menyelisihi aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Padahal imam-imam mereka memiliki aqidah yang sama, yakni aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, aqidah Ahli Hadits.

IMAM EMPAT
Istilah Imam Empat yang digunakan umat Islam pada zaman ini, mereka ialah:
1. Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit rahimahullah, dari Kufah, Irak (hidup th 80 H – 150 H).
2. Imam Malik bin Anas rahimahullah, dari Madinah (hidup th 93 H – 179 H)
3. Imam Syafi’i Muhammad bin Idris rahimahullah, lahir di Ghazza, ‘Asqalan, kemudian pindah ke Mekkah. Beliau bersafar ke Madinah, Yaman dan Irak, lalu menetap dan wafat di Mesir (hidup th 150 H – 204 H).
4. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dari Baghdad, ‘Irak (hidup th 164 H – 241 H).

Empat ulama ini sangat masyhur di kalangan umat Islam. Kepada empat imam inilah, empat madzhab fiqih dinisbatkan.

AQIDAH IMAM EMPAT
Siapapun yang meneliti aqidah para ulama Salafush Shalih, maka ia akan mendapatkan bahwa aqidah mereka adalah satu, jalan mereka juga satu. Para ulama Salafush Shalih tidak berpaling dari nash-nash Al Kitab dan Sunnah, dan tidak menentangnya dengan akal, perasaan, atau perkataan manusia.

Mereka mempunyai pandangan yang jernih, bahwa aqidah itu tidak diambil dari seorang ‘alim tertentu, bagaimanapun tinggi kedudukannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Adapun i’tiqad (aqidah, keyakinan), maka tidaklah diambil dariku, atau dari orang yang dia lebih besar dariku. Tetapi diambil dari Allah dan RasulNya, dan keyakinan yang disepakati oleh salaful ummah (umat Islam yang telah lalu, para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Maka apa yang ada di dalam Al Qur’an wajib diyakini. Demikian juga yang hadits-hadits yang shahih telah pasti, seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim” [5]. Imam Al Ashfahani rahimahullah berkata: “Seandainya engkau meneliti seluruh kitab-kitab mereka (Ahlu Sunnah) yang telah ditulis, dari awal mereka sampai yang akhir mereka, yang dahulu dari mereka dan yang sekarang dari mereka, dengan perbedaan kota dan zaman mereka, dan jauhnya negeri-negeri mereka, masing-masing tinggal di suatu daerah dari daerah-daerah (Islam); engkau dapati mereka dalam menjelaskan aqidah di atas jalan yang satu, bentuk yang satu. Pendapat mereka dalam hal itu (aqidah) satu. Penukilan mereka satu. Engkau tidak melihat perselisihan dan perbedaan pada suatu masalah tertentu, walaupun sedikit. Bahkan seandainya engkau kumpulkan seluruh apa yang lewat pada lidah mereka dan apa yang mereka nukilkan dari Salaf (orang-orang dahulu) mereka, engkau mendapatinya seolah-olah itu datang dari satu hati dan melalui satu lidah”. [6]

Termasuk Imam Empat, mereka berada di atas satu aqidah. Para ulama terkenal dari berbagai madzhab telah menulis aqidah Imam Empat ini, dan mereka semua memiliki aqidah yang sama.

Secara terperinci, aqidah Imam Empat ini antara lain dapat dilihat di dalam kitab Ushuluddin ‘Inda Aimmatil Arba’ah Wahidah, karya Dr. Nashir bin ‘Abdillah Al Qifari, dosen aqidah Universitas Imam Muhammad bin Sa’ud Qashim dan kitab Mujmal I’tiqad Aimmatis Salaf, karya Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki, Rektor Universitas Imam Muhammad bin Sa’ud.

IMAM ABU HANIFAH
Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata: “Aku berpegang kepada kitab Allah. Kemudian yang tidak aku dapatkan (di dalam kitab Allah, aku berpegang) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika aku tidak mendapatkannya di dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, aku berpegang kepada perkataan-perkataan para sahabat Beliau. Aku akan berpegang kepada perkataan orang yang aku kehendaki, dan aku tinggalkan perkataan orang yang aku kehendaki di antara mereka. Dan aku tidak akan meninggalkan perkataan mereka (dan) mengambil perkataan selain (dari) mereka”. [Riwayat Ibnu Ma’in di dalam Tarikh-nya, no. 4219. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36, karya ‘Amr Abdul Mun’im Salim].

Imam Abu Ja’far Ath Thahawi (wafat 321 H), salah seorang ulama Hanafiyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah, yang kemudian terkenal dengan nama “Aqidah Ath Thahawiyah”. Beliau membukanya dengan perkataan: “Ini peringatan dan penjelasan aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah di atas jalan ahli fiqih-ahli fiqih agama: Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al Kufi, Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al Anshari, Abu Abdillah Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani, dan yang mereka yakini, berupa ushuluddin (pokok-pokok agama), dan cara beragamanya mereka (dengannya) kepada Rabbul ‘Alamin”. [Kitab Aqidah Ath Thahawiyah]

As Subki rahimahullah memberikan komentar terhadap “Aqidah Ath Thahawiyah” dengan perkataan : “Madzhab yang empat ini –segala puji hanya bagi Allah- satu dalam aqidah, kecuali di antara mereka yang mengikuti orang-orang Mu’tazilah dan orang-orang yang menganggap Allah berjisim [7], Namun mayoritas (pengikut) madzhab empat ini, berada di atas al haq. Mereka mengakui aqidah Abu Ja’far Ath Thahawi yang telah diterima secara utuh oleh para ulama dahulu dan generasi berikutnya”. [Ushuluddin ‘Inda Aimmatil Arba’ah Wahidah, hlm. 28, karya Dr. Nashir bin ‘Abdillah Al Qifari].

Penerimaan para ulama terhadap Aqidah Ath Thahawiyah adalah secara umum. Karena ada beberapa perkara yang perlu dikoreksi, sebagaimana hal itu telah dilakukan oleh pensyarah (pemberi penjelasan) Aqidah Ath Thahawiyah, (yaitu) Imam Ibnu Abil ‘Izzi Al Hanafi. Demikian juga oleh para ulama belakangan, seperti Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dalam ta’liq (komentar) beliau, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam syarah dan ta’liq beliau, dan Syaikh Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumais di dalam Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah Al Muyassar. Namun secara umum, para ulama menerima kebenaran aqidah tersebut.

IMAM MALIK BIN ANAS
Imam Malik bin Anas rahimahullah dikenal sebagai ulama yang tegas dalam menyikapi bid’ah. Di antara perkataan beliau yang masyhur ialah: “Barangsiapa membuat bid’ah (perkara baru) di dalam Islam (dan) ia menganggapnya sebagai kebaikan, maka ia telah menyangka bahwa (Nabi) Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah. Karena Allah Ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu. [Al Maidah:3]

Maka apa-apa yang pada hari itu bukan agama, pada hari ini pun tidak menjadi agama”. [8]

Imam Ibnu Abi Zaid Al Qairawani rahimahullah, (wafat 386 H), salah seorang ulama Malikiyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah, dan berisi aqidah Ahlu Sunnah, sama dengan aqidah ulama lainnya.

IMAM ASY SYAFI’I
Imam Syafi’i rahimahullah  berkata: “Selama ada Al Kitab dan As Sunnah, maka (semua) alasan tertolak atas siapa saja yang telah mendengarnya, kecuali dengan mengikuti keduanya. Jika hal itu tidak ada, kita kembali kepada perkataan-perkataan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , atau salah satu dari mereka”. [Riwayat Baihaqi di dalam Al Madkhal Ilas Sunan Al Kubra, no. 35. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36].

Dan telah masyhur perkataan Imam Syafi’i rahimahullah : “Aku beriman kepada Allah dan kepada apa yang datang dari Allah (yakni Al Qur’an, Pen), sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Aku beriman kepada utusan Allah dan kepada apa yang datang dari utusan Allah (yakni Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, -pen), sesuai dengan yang dikehendaki utusan Allah” [9]. Imam Abu Bakar Al Isma’ili Al Jurjani rahimahullah, (wafat 371 H), salah seorang ulama Syafi’iyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah. Beliau membukanya dengan perkataan: “Ketahuilah, semoga Allah memberikan rahmat kepada kami dan kalian, bahwa jalan Ahli Hadits, Ahli Sunnah wal Jama’ah, ialah mengakui kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, dan menerima apa yang dikatakan oleh kitab Allah Ta’ala, dan apa yang telah shahih riwayatnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [10].

IMAM AHMAD BIN HANBAL
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata: “Pokok-pokok Sunnah menurut kami ialah, berpegang kepada apa yang para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di atasnya, dan meneladani mereka … “ [Riwayat Al Lalikai]

Imam Abu Muhammad Al Hasan bin ‘Ali bin Khalaf Al Barbahari rahimahullah (wafat 329 H), salah seorang ulama Hanbaliyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah; aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah, yang bernama Syarhus Sunnah. Di antara yang beliau katakan di awal kitab ini ialah: “Ketahuilah, semoga Allah memberikan rahmat kepadamu. Bahwa agama hanyalah yang datang dari Allah Tabaraka wa Ta’ala (Yang Banyak Memberi Berkah dan Maha Tinggi), tidak diletakkan pada akal-akal manusia dan fikiran-fikiran mereka. Dan ilmunya (agama) di sisi Allah dan di sisi RasulNya. Maka janganlah engkau mengikuti sesuatu dengan hawa-nafsumu, sehingga engkau akan lepas dari agama dan keluar dari Islam. Sesungguhnya tidak ada argumen bagimu, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan Sunnah (ajaran agama/aqidah) kepada umatnya, telah menerangkannya kepada para sahabat Beliau, dan mereka adalah Al Jama’ah. Mereka adalah As Sawadul A’zham (golongan mayoritas). Dan As Sawadul A’zham (yang dimaksudkan) adalah al haq dan pengikutnya. Barangsiapa menyelisihi para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sesuatu dari urusan agama, (maka) dia telah kafir”.[11]

KESALAHAN YANG WAJIB DILURUSKAN
Ada beberapa kesalahan yang harus dibenarkan seputar kesatuan aqidah para ulama. Di antaranya:

1. Anggapan bahwa beragamnya madzhab (pendapat yang diikuti) dalam masalah fiqih, berarti beragamnya aqidah para imam.

Anggapan ini batil, sebagaimana telah kami sampaikan tentang kesatuan aqidah para ulama Ahlu Sunnah. Nampaknya, anggapan ini sudah ada semenjak lama. Pada zaman Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, beliau menampakkan aqidah Salafiyah Ahli Sunnah wal Jama’ah, (tetapi) beliau dituduh menyebarkan aqidah Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Kemudian beliau menjawab: “Ini adalah aqidah seluruh imam-imam dan Salaf (para pendahulu) umat ini, yang mereka mengambilnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini adalah aqidah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam“. Lihat Munazharah Aqidah Al Wasithiyah.

2. Anggapan bahwa perbedaan Ahlu Sunnah dengan firqah Syi’ah dan semacamnya dari kalangan Ahli Bid’ah, seperti perbedaan di antara madzhab empat.

Bahkan saat sekarang ini, di negara Mesir muncul lembaga yang disebut Darut Taqrib, dengan semboyan mendekatkan antara Madzhab Enam. Yaitu madzhab Hanafiyah, madzhab Malikiyah, madzhab Syafi’iyah, madzhab Hanbaliyah, madzhab (Syi’ah) Zaidiyah, dan madzhab (Syi’ah) Al Itsna ‘Asyariyah. Lembaga ini menganggap, bahwa madzhab empat yang beraqidah Ahlu Sunnah, sama seperti Syi’ah yang sesat. Padahal telah kita ketahui, sebagaimana kami sampaikan di atas, bahwa aqidah seluruh imam itu satu, yaitu aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Adapun Syi’ah, Rafidhah, maka para ulama telah sepakat bahwa mereka adalah ahli bid’ah.

Setelah kita mengetahui bahwa aqidah Imam Empat sama, yaitu aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah, bukan aqidah Asy’ariyah, bukan pula aqidah Maturidiyah, maka sepantasnya orang-orang yang menyatakan mengikuti imam-imam tersebut dalam masalah fiqih, juga mengikuti imam mereka dalam masalah aqidah. Dengan begitu mereka akan bersatu di atas al haq. Wallahul Musta’an.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Footnote
[1]. Hanafiyah, ialah orang-orang yang mengikuti madzhab Imam Abu Hanifah rahimahullah
[2]. Ahli dzimmah, ialah orang kafir yang menjadi warga negara di bawah kekuasaan negara Islam
[3]. Syafi’iyyah, ialah orang-orang yang mengikuti madzhab Imam Syafi’i rahimahullah
[4]. Lihat Tarikh Fiqih Islami, hlm. 171-176, karya Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar.
[5]. Lihat Majmu’ Fatawa (3/161).
[6]. Lihat Al Hujjah Fi Bayanil Mahajjah (2/224-225). Dinukil dari kitab Ushuluddin ‘Inda Aimmatil Arba’ah Wahidah, hlm. 73, karya Dr. Nashir bin ‘Abdillah Al Qifari.
[7]. Yakni menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk, Pen
[8]. Al I’tisham (1/64), karya Asy Syatibi.
[9]. Majmu’ Fatawa (4/2).
[10]. I’tiqad Aimmatil Hadits Lil Imam Abi Bakar Al Isma’ili , hlm. 49, karya, tahqiq: Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumais.
[11]. Syarhus Sunnah, hlm. 68, no. 5, karya Imam Al Barbahari, tahqiq Abu Yasir Khalid bin Qasim Ar Radadi.

Kesamaan Aqidah Imam Empat

Oleh
Syaikh Dr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais
Aqidah imam empat, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Adalah yang dituturkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sesuai dengan apa yang menjadi pegangan para sahabat dan tabi’in. Tidak ada perbedaan di antara mereka dalam masalah ushuluddin. Mereka justru sepakat untuk beriman kepada sifat-sifat Allah, bahwa Al-Qur’an itu dalam Kalam Allah, bukan makhluk dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan.

Mereka juga mengingkari para ahli kalam, seperti kelompok Jahmiyyah dan lain-lain yang terpengaruh dengan filsafat Yunani dan aliran-aliran kalam. Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyyah menuturkan, “… Namun rahmat Allah kepada hamba-Nya menghendaki, bahwa para imam yang menjadi panutan umat, seperti imam madzhab empat dan lain-lain, mereka mengingkari para ahli kalam seperti kelompok Jahmiyyah dalam masalah Al-Qur’an, dan tentang beriman kepada sifat-sifat Allah.

Mereka sepakat seperti keyakinan para ulama Salaf, di mana antara lain, bahwa Allah itu dapat dilihat di akhirat, Al-Qur’an adalah kalam Allah bukan makhluk, dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan.[1]

Imam Ibnu Taimiyyah juga menyatakan, para imam yang masyhur itu juga menetapkan tentang adanya sifat-sifat Allah. Mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah bukan makhluk. Dan bahwa Allah itu dapat dilihat di akhirat. Inilah madzhab para Sahabat dan Tabi’in, baik yang termasuk Ahlul Bait dan yang lain. Dan ini juga madzhab para imam yang banyak penganutnya, seperti Imam Malik bin Anas, Imam Ats-Tsauri, Imam Al-Laits bin Sa’ad, Imam Al-Auza’i, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Ahmad.[2]

Imam Ibnu Taimiyyah pernah ditanya tentang aqidah Imam Syafi’i. Jawab beliau, “Aqidah Imam Syafi’i dan aqidah para ulama Salaf seperti Imam Malik, Imam Ats-Tsauri, Imam Al-Auza’i, Imam Ibnu Al-Mubarak, Imam Ahmad bin Hambal, dan Imam Ishaq bin Rahawaih adalah seperti aqidah para imam panutan umat yang lain, seperti Imam Al-Fudhal bin ‘Iyadh, Imam Abu Sulaiman Ad-Darani, Sahl bin Abdullah At-Tusturi, dan lain-lain. Mereka tidak berbeda pendapat dalam Ushuluddin (masalah aqidah). Begitu pula Imam Abu Hanifah, aqidah tetap beliau dalam masalah tauhid, qadar dan sebagainya adalah sama dengan aqidah para imam tersebut di atas. Dan aqidah para imam itu adalah sama dengan aqidah para sahabat dan tabi’in, yaitu sesuai dengan apa yang dituturkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. [3]

Aqidah inilah yang dipilih oleh Al-Allamah Shidiq Hasan Khan, dimana beliau berkata : “ Madzhab kami adalaha mazhab ulama Salaf, yaitu menetapkan adanya sifat-sifat Allah tanpa menyerupakan-Nya dengan sifat makhluk dan menjadikan Allah dari sifat-sifat kekurangan, tanpa ta’thil (meniadakannya makna dari ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah). Mazdhab tersebut adalah madzhab imam-imam dalam Islam, seperti Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Imam Ats-Tsauri, Imam Ibnu Al Mubarak, Imam Ahmad dan, lain-lain. Mereka tidak berbeda pendapat mengenai ushuludin. Begitu pula Imam Abu Hanifah, beliau sama aqidahnya dengan para imam diatas, yaitu aqidah yang sesuai dengan apa yang dituturkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.”[4]

[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad) oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]
__________
Footnotes
[1]. Kitab Al-Iman, hal. 350-351, Dar ath-Thiba’ah al-Muhammadiyyah, Ta’liq Muhammad
[2]. Manhaj As-Sunah, II/106
[3]. Majmu’al-Fatawa, V/256
[4]. Qathf Ats-tsamar, hal. 47-48



WAJIBKAH BERPEGANG PADA SALAH SATU MADZHAB?

Dr Wahbah AzZuhaili dalam bukunya Ar Rukhas Asy Syar’iyyahmeletakkan satu judul: “Adakah beriltizam dengan mazhab tertentu perkara yang dituntut syarak?” Beliau menyebut tiga pendapat. Namun beliau telah mentarjihkan (memilih) pendapat yang menyatakan tidak wajib.
Kata beliau, “Kata jumhur ulama: Tidak wajib bertaklid kepada imam tertentu dalam semua masalah atau kejadian yang terjadi. Bahkan boleh untuk seseorang bertaklid kepada mujtahid manapun yang dia mau. Jika dia beriltizam (berkomitmen, berpegang teguh) dengan mazhab tertentu, seperti mazhab Abu Hanifah, atau Asy Syafi’i atau selainnya, maka tidak wajib dia memegangnya terus-menerus. Bahkan boleh untuk dia berpindah-pindah mazhab. Ini karena tiada yang wajib melainkan apa yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya. Allah dan Rasul-Nya tidak pula mewajibkan seseorang bermazhab dengan mazhab imam tertentu. Hanya yang Allah wajibkan ialah mengikut ulama, tanpa dibatasi hanya tokoh tertentu, dan bukan yang lain.
Firman Allah: “Maka bertanyalah kamu kepada Ahl al-Zikr jika kamu tidak mengetahui. “
Ini kerana mereka yang bertanya fatwa pada zaman sahabat dan tabi’in tidak terikat dengan mazhab tertentu. Bahkan mereka bertanya kepada siapa saja yang mampu tanpa terikat dengan hanya seorang saja. Maka ini adalah ijmak (kesepakatan) dari mereka baawa tidak wajib mengikut hanya seseorang imam, atau mengikut mazhab tertentu dalam semua masalah.
Katanya lagi: “Kemudian, pendapat yang mewajibkan beriltizam dengan mazhab tertentu membawa kepada kesusahan dan kesempitan, sedangkan mazhab adalah nikmat, kelebihan dan rahmat. Inilah pendapat yang paling kukuh di sisi ulama Ushul al Fiqh…Maka jelas dari pendapat ini, bahwa yang paling shahih dan rajih di sisi ulama Usul al-Fiqh adalah tidak wajib beriltizam dengan mazhab tertentu. Boleh menyelisihi imam mazhab yang dipegang dan mengambil pendapat imam yang lain. Ini karena beriltizam dengan mazhab bukan suatu kewajipan –seperti yang dijelaskan-. Berdasarkan ini, maka pada asasnya tidak menjadi halangan sama sekali pada zaman ini untuk memilih hukum-hakam yang telah ditetapkan oleh mazhab-mazhab yang berbeda tanpa terikat dengan keseluruhan mazhab atau pendetailannya”. (silakan merujuk: Al-Zuhaili, Dr Wahbah, al-Rukhas al-Syar’iyyah, halaman 17-19, Beirut: Dar al-Khair).