Thursday, March 26, 2015

Ibnu Bathuthah Bercerita tentang Syi’ah (Bagian 1,2,3)

                                                                                    
                                              
Ibnu Bathuthah adalah seorang pengelana Muslim terkenal tidak hanya di dunia Islam tapi juga dikenal oleh dunia barat. Ia lahir di Maroko, tahun 1304 M atau 703 H. Namanya tidak kalah dengan pengelana dunia seperti Marco Polo, Colombus, Laksamana Ceng Ho, dan lainnya.
Dalam bukunya, Tuhfah an-Nuzhar fi Gharaibil Amshar wa Ajaibil Asfar (Hadiah berharga dari Pengalaman Menyaksikan Negeri-negeri Asing dan Menjalani Perjalanan-perjalanan Ajaib), atau yang dikenal juga dengan Rihlah Ibnu Bathuthah, Ibnu Bathuthah banyak menceritakan perjalanannya ke berbagai negeri, tidak terkecuali Nusantara (Indonesia). Dan di antaranya juga, pengelana Maghrib yang bernama asli Muhammad bin Abdillah bin Muhammad bin Ibrahim Al-Lawati At-Thanji ini menceritakan tentang kondisi orang-orang syi’ah pada masa itu. Berikut kisah yang kami kutip dalam rihlah-nya itu.
Ibnu Bathutha bercerita,
“……Kemudian aku melanjutkan perjalanan menuju kota Ma’arrah, sebuah kota yang dinisbatkan padanya seorang penyair yang bernama Abul Ala Al-Ma’arri. Selain itu, masih banyak lagi nama-nama penyair yang dinisbatkan pada kota ini.
Ma’arrah adalah sebuah kota besar nan indah. Pohon tin dan kacang tanah paling banyak tumbuh di sana. Dari sana, hasilnya dipasarkan di Mesir dan Syam. Sejauh satu farsakh (1 farsakh kurang lebih setara dengan 8 km) dari sana, terdapat makam Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz. Di makam tersebut tidak dijumpai zawiyah (bangunan rumah bagi kaum sufi, khusus didirikan untuk berdzikir, shalat, dan membaca al-Qur’an) dan tidak pula ada pembantu yang merawat makam. Mengapa demikian? Karena di sana terdapat kelompok orang Rafidhah yang membenci sepuluh sahabat Nabi. Mereka membenci setiap orang yang bernama Umar, terutama Umar bin Abdul Aziz, karena ia menghormati Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Aku berjalan menuju kota Sarmin, sebuah kota indah yang penuh dengan kebun penghasil buah zaitun. Dari buah zaitun ini dibuat sabun, dan kemudian dijual di Mesir dan Syam. Selain itu, dari bahan yang sama dibuat sabun tangan yang harum, warnanya merah nyaris kuning. Di kota Sarmin juga dibuat baju katun yang indah.
Penduduk kota ini adalah para pencela yang membenci sepuluh sahabat Nabi (yang dijamin surga). Anehnya, mereka tidak mengucapkan kata “asyarah” (artinya: sepuluh) di pasar saat menawarkan barang dagangannya. Jika hitungan angka mencapai bilangan“asyarah”, maka mereka akan mengatakan tis’ah wa waahid (Sembilan tambah satu).
Pada suatu saat, penguasa Turki datang ke tempat itu dan mendengar para makelar mengucapkan tis’ah wa waahid. Penguasa Turki lantas memukul kepala sang makelar dengan dabus (sejenis penjepit pakaian). Lalu ia berkata, “Ganti kata asyarah dengan dabus!”
Di sana terdapat masjid yang berkubah. Mereka tidak menggenapkan jumlah kubah menjadi sepuluh karena berpegang pada keyakinan yang buruk itu.” (Tuhfah an-Nuzhar fi Gharaibil Amshar wa Ajaibil Asfar, Rihlah Ibnu Bathuthah, Pustaka Al-Kautsar, Cet I, Maret 2012, hal  70-71).

Demikian penggalan kisah tentang kebencian orang-orang Syi’ah Rafidhah terhadap para Sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang dikisahkan langsung oleh Ibnu Bathuthah. Karena alerginya terhadap para sahabat, terutama Abu Bakar dan Umar, mereka enggan untuk menyebut nama keduanya. Bahkan untuk menyebut angka “asyarah” (sepuluh) pun mereka tidak mau. Padahal, di antara sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga itu terdapat nama Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu yang mereka kultuskan dan anggap sebagai imam. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Abu bakar masuk surga, Umar masuk surga, Utsman masuk surga, Ali masuk surga, Thalhah masuk surga, Zubair masuk surga, Abdurrahman bin Auf masuk surga, Sa’ad masuk surga, Sa’id masuk surga, Abu Ubaidah bin Jarrah masuk surga.” (HR. Tirmidzi).
Apakah mereka juga berlepas diri dari Ali bin Abi Thalib, imam mereka?
(Mahardy/lppimakassar.com)
Dalam Rihlah-nya, (Tuhfah an-Nuzhar fi Gharaibil Amshar wa Ajaibil Asfar, Rihlah Ibnu Bathuthah, Pustaka Al-Kautsar, Cet I, Maret 2012, hal  220-223). Ibnu Bathuthah bercerita:
 “….Pada suatu ketika, Raja Irak yang bernama Sultan Muhammad Khadabandah berjalan ditemani oleh seorang faqih yang bernama Jamaludin bin Muthahhar. Kala itu, raja masih belum memeluk Islam. Setelah ia masuk Islam, maka seluruh bangsa Tartar yang berada dalam kekuasaannya juga masuk Islam. Setelah itu, mereka semua bertambah rasa hormat kepada Faqih Jamaludin. Raja menganut Madzhab Rafidhah. Faqih mengajarkan madzhab ini kepada raja dan mengistimewakannya di atas madzhab lain. Ia menjelaskan sejarah para sahabat Nabi dan para khalifah. Ia menjelaskan bahwa Abu Bakar dan Umar adalah menteri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ali adalah putra paman sekaligus menantu beliau. Faqih itu menjelaskan tema-tema semacam itu. Ia tahu, raja di hadapannya adalah pewaris kerajaan sang kakek dan kerabatnya. Dia tahu, raja baru saja memeluk Islam dan belum tahu banyak tentang sendi-sendi agama.
Raja menyeru agar rakyatnya mengikuti madzhab Rafidhah. Untuk itu, ia mengirim utusan kepada rakyat Irak, Persia, Azerbaijan, Isfahan, Kirman, dan Khurasan. Ia juga mengirim utusan ke berbagai negeri. Dan negeri pertama yang disinggahi utusan raja adalah Baghdad, Syiraz, dan Isfahan. Penduduk Baghdad menolak kedatangan penduduk Bab Al-Azj. Penduduk Baghdad menganut madzhab Ahlussunnah, mayoritas adalah pengikut Imam Ahmad bin Hanbal. “Kami tidak mau melaksanakan perintah raja.” Pada hari Jum’at, mereka datang ke masjid dengan membawa senjata, sementara di sana telah datang utusan raja. Saat khatib naik ke atas mimbar, 12.000 orang bersenjata mengelilingi khatib. Mereka adalah penjaga kota Baghdad. Mereka bersumpah akan membunuh khatib dan utusan raja, jika khutbah disampaikan dengan cara yang berbeda dari biasanya, dengan menambah atau mengurangi. Setelah itu, mereka akan menyerahkan diri.
Raja memerintahkan agar nama Abu Bakar, Umar, Utsman dan para sahabat lainnya tidak disebutkan dalam khutbah-khutbah. Yang boleh disebutkan hanyalah nama Ali dan para sahabat pendukungnya seperti Ammar bin Yasir. Karena takut dengan ancaman penduduk Baghdad, khatib menyampaikan khutbah dengan cara yang biasa dilakukan di masjid itu. Penduduk Syiraz dan Isfahan meniru apa yang dilakukan penduduk Baghdad.
Para  utusan raja melaporkan kenyataan ini kepada raja. Mendengar laporan itu, raja memerintahkan agar para qadhi di tiga kota itu dibawa menghadap. Syaikh Majdudin adalah qadhi yang pertama menghadap raja. Ketika itu, raja sedang duduk di sebuah tempat bernama Qarabagh, sebuah tempat berlibur raja di musim panas. Saat Syaikh datang, para pengawal raja melepaskan anjing-anjing besar berkalung rantai besi. Anjing-anjing itu disiapkan untuk menerkam manusia yang sengaja dijadikan mangsa. Jika mangsa datang, anjing-anjing itu dilepaskan, dan orang itu melarikan diri ke sana ke mari. Setelah berhasil menangkap mangsanya, anjing-anjing itu mencabik-cabik badannya dan melahapnya dengan rakus.
Anjing-anjing itu dilepas di hadapan Syaikh Majdudin. Mereka mengerlingkan mata dan menampakkan taring-taringnya di hadapan Syaikh. Namun, anjing-anjing itu tidak menyerang Syaikh. Peristiwa ini didengar oleh raja. Ia keluar istana, berjalan tanpa alas kaki. Ia bersimpuh di hadapan Syaikh dan mencium kedua kakinya. Ia mencium tangan Syaikh, lalu melepas pakaian kebesarannya. Menurut tradisi, apa yang dia lakukan itu menjadi bukti akan kemuliaan orang yang berada di hadapannya. Jika raja melepaskan pakaian kebesaran di hadapan seseorang, maka itu berarti bahwa raja memuliakan orang itu, termasuk anak-cucu dan seluruh keturunannya. Penghormatan itu terus dilakukan selama pakaian kebesaran raja, atau bagian tertentu dari pakaian itu, masih ada. Bagian paling istimewa dari pakaian kebesaran raja adalah celana.
Raja menggandeng tangan Syaikh Majdudin, mengantarnya masuk ke dalam istana. Ia memerintah seluruh istrinya untuk memberikan hormat kepada Syaikh dan bertabarruk dengannya. Raja kemudian meninggalkan madzhab Rafidhah. Ia menulis rakyat untuk menganut madzhab Ahlussunnah wal Jamaah.
Raja memberikan hadiah yang banyak kepada Syaikh Majdudin, mengantarnya kembali ke Syiraz dengan penuh penghormatan.(Mahardy/lppimakassar.com)
Ibnu bathuthah menceritakan kunjungannya ke kota Bashrah pada saat itu. berikut Kisahnya ketika mengunjungi mesjid Ali di Bashrah:
 “….Masjid Ali memiliki tujuh shauma’ah (tempat yang tinggi dipakai beribadah oleh para rahib, pendeta atau ahli ibadah –kamus Al-Munjid). Menurut anggapan penduduk Bashrah, salah satu shauma’ah akan bergerak di saat nama Ali Radhiyallahu anhu diucapkan. Aku naik ke atas shauma’ah itu melalui atap masjid, ditemani beberapa penduduk Bashrah. Pada satu sudutnya, terdapat sebuah pegangan pintu itu, lalu berkata kepadanya, “Dengan hak kepala Amirul Mukminin Ali Radhiyallahu anhu, bergeraklah!” Maka pegangan pintu itu menjadi bergetar dan shauma’ah bergerak. Aku memegang pegangan pintu itu, lalu aku berkata, “Dengan hak kepala Abu Bakar Radhiyallahu anhu, khalifahnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, bergeraklah!” maka pegangan pintu itu menjadi  bergetar dan seluruh bagian shauma’ah bergerak pula. Mereka takjub dengan pemandangan yang dilihatnya ini. Penduduk Bashrah adalah penganut madzhab Ahlus sunnah wal Jamaah. Dan apa yang aku katakan tadi bukan sesuatu yang ganjil bagi mereka. Jika seseorang mengatakan hal yang sama di makam Al-Husain, Hallah, Bahrain, Qum, Qasyan, Sawah, atau Thus, maka ia pasti akan mendapati masalah besar dan celaka.” (Tuhfah an-Nuzhar fi Gharaibil Amshar wa Ajaibil Asfar, Rihlah Ibnu Bathuthah, Pustaka Al-Kautsar, Cet I, Maret 2012, hal. 202)
Ibnu Bathuthah tahu betul kondisi ahlus sunnah (sunni) dan syi’ah pada masa itu. Dia juga tahu konflik yang terjadi antara keduanya, mengetahui wilayah-wilayah yang didominasi oleh Syi’ah dan wilayah-wilayah yang didominasi oleh ahlus sunnah. Pada kisah di atas Ibnu Bathuthah mengatakan bahwa seandainya seseorang menyebut nama Abu Bakar atau memujinya di kota Hallah, Bahrain, Qum, Qasyan, Sawah atau Thus yang kota-kota tersebut didominasi oleh Syi’ah Rafidhah maka pasti orang itu akan mendapat masalah besar dan celaka.
Lihat pula bagaimana penduduk ahlus sunnah di Bashrah sangat memuliakan ahlul bait -Ali bin Abi Thalib-, seorang yang diklaim Imam oleh orang-orang syi’ah.(Mahardy/lppimakassar.com)