Wednesday, March 18, 2015

Mendahulukan Akidah Sebelum Ukhuwah

“Tinggalkanlah fikih untuk memelihara akhlak atau pilihlah fikih yang lebih memelihara persaudaraan ketimbang fikih yang menimbulkan perpecahan”. Ajakan Jalaluddin Rakhmat ini nampaknya baik-baik saja, yaitu mengedepankan persaudaraan (ukhuwah), dan menjauhkan dari hal-hal yang menyebabkan perpecahan. Tapi sebenarnya bisa merusak agama. Pes
an yang hendak disampaikan adalah, fikih memicu perpecahan. Fikih di sini adalah pemvonisan ini halal, haram, benar, salah, selamat, sesat dan sebagainya. Sepertinya, fikih didudukkan sebagai tersangka biang kekerasan.Persoalannya, ajakan di atas menyempitkan makna akhlak dan ‘memarahi’ fikih. Akhlak dibaca sebagai etika untuk kearifan sosial saja. Padahal, seperti ditulis oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, ber-akhlak adalah berfikir, berkehendak dan berperilaku sesuai dengan fitrah manusia (www.hamidfahmy.com). Sedangkan fitrah itu kecenderungan jiwa yang beriman. Jadi syarat utama ber-akhlak adalahberiman (berakidah benar). Yaitu, baik secara sosial sekaligus baik secara spiritual (iman).Orang beriman pasti mentaati hukum halal-haram, salah-benar, selamat-dan sesat (berfikih). Non-muslim tidak bisa disebut ber-akhlak, tapi bisa saja bermoral.
Jelas saja, seruan tersebut di atas sejatinya proyek pelemahan akidah. Atau sebuah upaya membuka peluang penyimpangan. Alasannya cukup jelas. Jika vonis benar dan salah lenyap, atau dipinggirkan dalam keberagamaan, maka tidak boleh ada tersangka bahwa si fulan sesat atau menyimpang. Akhirnya membangkitkan relativisme beragama.Akhir-akhir ini kata ukhuwah bagaikan ‘permen manis’. Sedangkan orang ta’at kepada syariat hampir mirip dengan orang sadis. Lebih baik ber-ukhuwah, meski ajaran Nabi dicaci dan dihina. Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) Jawa Timur pada Januari 2012 bahwa Syiah sesat dituduh biang kekerasan Sunnah-Syiah. Padahal MUI memberi peringatan, pembunuhan, penyerangan fisik dan tidak kekerasan lainnya adalah tindak kriminil yang harus dicegah. Namun, penyimpangan harus diluruskan. Pelurusannya juga tidak memakai pedang atau bom, tapi dengan dakwah. KH. Ma’ruf Amin, ketua bidang fatwa MUI Pusat, pernah mengatakan, perbedaan bisa ditoleransi, tapi penyimpangan harus ‘diamputasi’.
Ukhuwah sebenarnya bukan sekedar berati persaudaraan dalam arti luas. Ukhuwah adalah persudaraan yang diikat oleh keimanan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw, “Kamu melihat orang-orang mu’min di dalam saling belas kasih, saling mencintai, dan saling menyayangi adalah bagaikan tubuh yang satu, apabila salah satu anggota tubuh mengeluh kesakitan maka seluruh anggota yang lain akan menunjukkan pembelaan “.(HR. Bukhari). Maknya, Allah swt mengatakan orang mu’min itu bersaudara. Sehingga, yang tidak beriman, yang menista ajaran Allah bukan saudara.
Imam al-Qurtubi mengatakan faktor pemersatu adalah berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Meninggalkan keduanya menjadi sebab perpecahan. Allah swt berfirman, “Berpegang teguhlah kalian pada tali agama Allah, janganlah kalian bercerai-berai” (QS. Ali Imran:103). Maka, jika ingin berukhuwah, maka harus kembali kepada akidah yang diajarkan Nabi dan sahabatnya dulu. Yaitu kembali kepada ajaran fitrah.
Golongan yang memecah adalah golongan yang meninggalkan Kitab Allah dan Sunnah Nabi. Karena dengan itu mereka telah keluar dari rel-rel ajaran Islam. Maka solusi untuk mempersatukan ummat adalah mengembalikan mereka-mereka yang telah keluar dari rel Islam.
Adanya perbedaan prinsipil antara Sunnah-Syiah memang benar adanya. Kita tidak perlu menyembunyikannya atau memungkiri dengan aneka kampanye bahwa keduanya sama-sama saja. Ahlussunnah (Sunnah) menghormati semua sahabat Nabi saw, Syiah menaruh hormat sedikit saja di antara sahabat, yaitu Salman al-Farisi, Abu Dzar al-Ghifari, Ammar bin Yasir dan Miqdad bin Aswad ra dan sahabat dari kalangan Ahlul Bait. Pengikut Ahlussunnah diajarkan mengatakan radhiallahu ‘anhu jika mendengar atau menulis nama sahabat. Sedangkan Syiah menista sahabat di luar yang tiga tersebut. Sunnah meyakini otentisitas al-Qur’an, sedangkan ada kelompok Syiah yang berpendapat terjadi tahrif al-Qur’an.
Keduanya tidak bisa disamakan, karena perbedaannya bukan lagi pada dalil dzaniyyat lagi tapi sudah memasuki ranah qath’iyyat. Bahkan, dalam bidang furu’ juga terdapat perbedaan-perbedaan cukup tajam. Apalagi ada ajaran penistaan sahabat dalam Syiah. Maka, penyelesaiannya bukan dengan pendekatan (taqrib), tapi dengan toleransi. Bukan dengan ukhuwah, tapi dengan pengaturan tata cara mu’amalah.
Jangan diharap ada ukhuwah dan taqrib, jika ada penistaan dan penipuan. Dalam Sunnah, tetap tidak bisa diterima ajaran pengkafiran atau pemurtadan terhadap sahabat Nabi saw, menista Aisyah ra, kecaman terhadap hadis Bukhari-Muslim, dan meyatakan al-Qur’an itu mengalami perubahan. Jika ada penistaan pasti akan disambut dengan kecaman. Bahkan pertentangan. Cara-cara dakwah mengelabuhi juga memicu pertentangan dan memantik kekisruhan. Syiahisasi dengan cara memberikan image netral, dan memakai wajah Sunni (Syi’i biwajhin Sunniyyin) bukanlah dakwah yang baik. Cara dan usaha tidak ber-akhlak seperti ini menodai persaudaraan.
Bagi Ahlussunnah, menjaga akidah itu lebih penting. Justru pengokohan akidah itu pengikat ukhuwah. Setelah akidah terbenahi, ukhuwah dengan sendirinya terjaga dengan baik. Sedangkan para pengikut ajaran lain yang berbeda secara prinsipil, dapat diselesaikan dengan toleransi, bukan ukhuwah. Toleransi pun tidak diperkenankan ada olok-olok dan caci maki.
Mari kita galang persaudaran muslim. Hanya dengan ukhuwah Islamiyah kita akan menjadi ummat yang tangguh dan berwibawa. Persatuan tidak akan terealisasi bila saling egois, fanatik berlebihan, dan mengedepankan ambisi duniawi. Yang lebih penting lagi,ukuwah Islamiyah harus didasari pada akidah yang sama. Tidak akan terbentuk ukhuwah bila tidak didasar pada akidah yang haq.
Sumber : Hidayatullah.com

Pentingnya Aqidah Islamiyah


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan barangsiapa menta’ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya” (An-Nisa': 69).
Pendahuluan
Nilai suatu ilmu ditentukan oleh kandungan ilmu tersebut. Semakin besar nilai manfaatnya semakin penting untuk dipelajari. Ilmu yang paling penting adalah ilmu yang mengenalkan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , Sang Pencipta. Sehingga orang yang tidak kenal Allah Subhanahu wa Ta’ala disebut kafir. Adakah yang lebih bodoh daripada orang yang tidak mengenal yang menciptakannya?
Allah menciptakan manusia dengan seindah-indahnya dan selengkap-lengkapnya dibanding dengan makhluk/ciptaan lainnya. Kemudian Allah bimbing mereka dengan mengutus para RasulNya (Menurut hadits yang disampaikan Abu Dzar bahwa jumlah para Nabi sebanyak 124.000 semuanya menyerukan kepada Tauhid (diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam At-Tarikhul Kabir 5/447 dan Ahmad dalam Al-Musnad 5/178-179). Sementara dari jalan sahabat Abu Umamah disebutkan bahwa jumlah para Rasul 313 (diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al-Maurid 2085 dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir 8/139) agar mereka berjalan sesuai dengan kehendak Sang Pencipta melalui wahyu yang dibawa oleh Sang Rasul.
Orang yang menerima disebut mu’min, orang yang menolaknya disebut kafir serta orang yang ragu-ragu disebut munafik yang merupakan bagian dari kekafiran.
Begitu pentingnya aqidah ini sehingga Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wasalam, penutup para Nabi dan Rasul membimbing ummatnya selama 13 tahun ketika berada di Mekkah dengan menekankan masalah aqidah ini. Karena aqidah adalah landasan semua tindakan. Dia dalam tubuh manusia ibarat kepalanya. Maka apabila suatu ummat sudah rusak, bagian yang harus direhabilitasi adalah aqidah lebih dahulu. Di sinilah pentingnya aqidah ini. Apalagi ini menyangkut kebahagiaan dan keberhasilan dunia dan akhirat. Dialah kunci menuju Surga.
Aqidah secara bahasa berarti sesuatu yang mengikat. Secara definisi aqidah adalah suatu keyakinan yang mengikat hati manusia dari segala keraguan. Aqidah menurut istilah syara’ (agama) yaitu keimanan kepada Allah, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, para Rasul, Hari Akhirat, dan keimanan kepada takdir Allah yang baik maupun buruk. Ini disebut Rukun Iman.
Syariat Islam terdiri dua pangkal utama. Pertama: Aqidah yaitu keyakinan pada rukun iman itu, letaknya di hati dan tidak ada kaitannya dengan cara-cara perbuatan (ibadah). Bagian ini disebut pokok atau asas. Kedua: Perbuatan yaitu cara-cara amal atau ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan seluruh bentuk ibadah . Bagian ini disebut cabang. Nilai perbuatan ini baik buruknya, diterima atau tidaknya bergantung yang pertama, yaitu aqidah. Sehingga syarat diterimanya ibadah itu ada dua, pertama : Ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu berdasarkan aqidah Islamiyah yang benar. Kedua : Mengerjakan ibadahnya sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Ini disebut amal shalih. Ibadah yang memenuhi satu syarat saja, umpamanya ikhlas saja, tetapi tidak mengikuti petunjuk Rasulullah n maka tertolak. Sebaliknya mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam saja tapi tidak ikhlas, karena ingin dipuji manusia, umpamanya, maka amal tersebut juga tertolak. Inilah makna yang terkandung dalam firman Allah yang artinya: “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutu-kan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Al-Kahfi: 110).
Perkembangan Aqidah
Pada masa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, aqidah bukan merupakan disiplin ilmu tersendiri karena masalahnya sangat jelas dan tidak terjadi perbedaan-perbedaan faham, kalaupun terjadi langsung diterangkan oleh beliau.
Namun, pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib timbul pemahaman -pemahaman baru seperti kelompok Khawarij yang mengkafirkan Ali dan Muawiyah karena melakukan tahkim lewat utusan masing-masing yaitu Abu Musa Al-Asy’ari dan Amru bin Ash. Timbul pula kelompok Syiah yang menuhankan Ali bin Abi Thalib dan timbul pula kelompok dari Irak yang menolak takdir dipelopori oleh Ma’bad Al-Juhani yang dibantah oleh Ibnu Umar karena menyimpang dari kebenaran. (Riwayat ini dibawakan oleh Imam Muslim, lihat Syarh Shahih Muslim oleh Imam Nawawi, jilid 1 hal. 126) Para ulama menulis bantahan-bantahan dalam karya mereka. Terkadang aqidah juga digunakan dengan istilah Tauhid, Ushuluddin (pokok-pokok agama), As-Sunnah (jalan yang dicontohkan Nabi Muhammad), Al-Fiqhul Akbar (fiqih terbesar), Ahlus Sunnah wal Jamaah (mereka yang menetapi sunnah Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan berjamaah) atau terkadang menggunakan istilah Ahlul Hadits atau Salaf yaitu mereka yang berpegang atas jalan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dari generasi pertama sampai generasi ketiga yang mendapat pujian dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Ringkasnya : Aqidah Islamiyah yang shahih bisa disebut Tauhid, fiqih akbar, dan Ushuluddin. Sedangkan manhaj (methode) dan contohnya adalah Ahlul Hadits, Ahlul Sunnah dan Salaf.
Bahaya Penyimpangan Aqidah
Penyimpangan aqidah yang terjadi pada seseorang berakibat fatal dalam seluruh kehidupannya, bukan saja di dunia tetapi berlanjut sebagai kesengsaraan yang tidak berkesudahan di akhirat kelak. Dia akan berjalan tanpa arah yang jelas, penuh dengan keraguan dan menjadi pribadi yang sakit personaliti. Biasanya penyimpangan itu disebabkan oleh sejumlah faktor di antaranya :

• Tidak menguasai pemahaman aqidah yang benar karena kurangnya pengertian dan perhatian. Akibatnya berpaling dan tidak jarang menyalahi bahkan menentang aqidah yang benar.
• Fanatik kepada peninggalan adat dan keturunan. Karena itu dia menolak aqidah yang benar. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang ummat terdahulu yang keberatan menerima aqidah yang dibawa oleh para Nabi yang artinya: “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutlah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah : 170).
• Taklid buta kepada perkataan tokoh-tokoh yang dihormati tanpa melalui seleksi yang tepat sesuai dengan argumen Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga apabila tokoh panutannya sesat, maka ia ikut tersesat.
• Berlebihan (ekstrim) dalam mencintai dan menyanjung orang shalih yang sudah meninggal dunia, sehingga menempatkan mereka setara dengan Tuhan, atau dapat berbuat seperti perbuatan Tuhan. Hal itu terjadi karena anggapan bahwa mereka merupakah penengah (wasithah) antara dia dengan Allah. Kuburan-kuburan mereka dijadikan tempat meminta, bernadzar dan berbagai ibadah yang seharusnya hanya ditujukan kepada Allah. Demikian itu pernah dilakukan oleh kaum Nabi Nuh alaihi salam ketika mereka mengagungkan kuburan para shalihin. Lihat Surah Nuh 23 tentang perkataan kaum Nuh, yang artinya: “Dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr.”
• Lengah dan acuh tak acuh dalam mengkaji ajaran Islam disebabkan silau terhadap peradaban Barat yang materialistik itu. Tak jarang mengagung-kan para pemikir dan ilmuwan Barat serta hasil teknologi yang telah dicapainya sekaligus menerima tingkah laku dan kebudayaan mereka.
• Pendidikan di dalam rumah tangga, banyak yang tidak berdasar ajaran Islam, sehingga anak tumbuh tidak mengenal aqidah Islam. Padahal Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam telah memperingatkan, yang artinya: “Setiap anak terlahirkan berdasarkan fithrahnya, maka kedua orang tuanya yang meyahudikannya, menashranikannya, atau memajusikannya” (HR. Al-Bukhari). Apabila anak terlepas dari bimbingan orang tua, maka anak akan dipengaruhi oleh program televisi yang menyimpang, lingkungannya, dan lain sebagainya.
• Peranan pendidikan resmi tidak memberikan porsi yang cukup dalam pembinaan keagamaan seseorang. Bayangkan, apa yang bisa diperoleh dari dua jam pelajaran dalam, seminggu pada pelajaran agama. Itupun dengan informasi yang kering. Ditambah lagi mass media baik cetak maupun elektronik banyak tidak mendidik ke arah aqidah, bahkan mendistorsinya secara besar-besaran.

Tidak ada jalan lain untuk menghindar bahkan menyingkirkan pengaruh negatif dari hal-hal yang disebut di atas kecuali dengan mendalami, memahami dan mengaplikasikan Aqidah Islamiyah yang shahih agar hidup kita dapat berjalan sesuai kehendak Sang Khaliq demi kebahagiaan dunia dan akhirat kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Surah An-Nisa’ 69 yang artinya: “Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa': 69).
Dan firmanNya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97).
Faedah Mempelajari Aqidah Islamiyah
Karena Aqidah Islamiyah bersumber dari Allah yang mutlak, maka kesempurnaannya tidak diragukan lagi. Berbeda dengan filsafat yang merupakan karya manusia, tentu banyak kelemahannya. Faedah yang akan diperoleh orang yang menguasai Aqidah Islamiyah adalah:

• Membebaskan dirinya dari ubudiyah/ penghambaan kepada selain Allah, baik bentuknya menghamba kepada kekuasaan, harta, pimpinan maupun lainnya.
• Membentuk pribadi yang seimbang yaitu selalu taat kepada Allah, baik dalam keadaan suka maupun duka.
• Dia merasa aman dari berbagai macam rasa takut dan cemas. Takut kepada kurang rizki, terhadap jiwa, harta, keluarga, jin dan seluruh manusia termasuk takut mati. Sehingga dia penuh tawakkal kepad Allah.
• Aqidah memberikan kekuatan kepada jiwa, sekokoh gunung. Dia hanya berharap kepada Allah dan ridha terhadap segala ketentuan Allah.
• Aqidah Islamiyah adalah asas ukhuwah (persaudaraan) ukhuwah dan persamaan. Tidak berbeda antara miskin dan kaya, antara pejabat dan rakyat jelata, antara kulit putih dan hitam dan antara Arab dan bukan, kecuali takwanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
(Farid Achmad Okbah).
Sumber : Buletin An Nur