Saturday, March 21, 2015

Tanggapan Atas Tulisan Ismatillah A. Nu'ad "Raja 'Abdullah, AS dan Wahabisme"

                                        
TANGGAPAN ATAS TULISAN ISMATILLAH A. NU’AD "RAJA ABDULLAH, AS DAN WAHABISME" di kolom Opini Jawa Pos.
OLEH : USTADZ YUSUF UTSMAN BAISA, Lc

Membaca tulisan Ismatillah A. Nu’ad di kolom opini Jawa Pos, saya meragukan akan kesahihannya sebagai sosok peneliti. Sungguh saya ragu terhadap akurasi, kecermatan dan ketelitian sosok peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan dari Universitas Paramadina ini. Seorang peneliti, seharusnya menjadi pribadi yang akurat, cermat dan teliti, sehingga tulisannya saat dipublikasikan di media massa, merupakan hasil penelitian yang bisa dipertanggungjawabkan.        

Pada artikel Ismatillah berjudul “Raja Abdullah, AS dan Wahabisme” saya sama sekali tidak mendapatkan nilai-nilai akurasi, kecermatan dan ketelitian itu. Justru sebaliknya sarat ungkapan agitatif, menyudutkan orang dan Negara Islam, serta menyikapi kebijakan sebuah negara tanpa melakukan survey dan memperhatikan dasar kebijakan yang diambil negara tersebut.

Perlu diketahui bahwa umat Islam sedunia memiliki lembaga yang mempersatukan para ulama dari seluruh negara Islam dunia, yang dikenal dengan nama “Robithoh Alam Islamy”.  Sehingga setiap akan mengambil tindakan dalam mengelola dan membangun dua kota yang sangat dimuliakan  oleh umat Islam sedunia yaitu Mekkah dan Madinah, Pemerintah Saudi Arabia terus bermusyawarah dengan “Robithoh Alam Islamy” itu.

Kepatuhan terhadap kewajiban bermusyawarah itu, selalu dilakukan Pemerintah Saudi Arabia dalam setiap akan mengambil tindakan dalam mengelola dan membangun Mekkah dan Madinah. Adapun pembangunan hotel, super market dan pusat-pusat bisnis tidak ada kaitannya dengan keyakinan agama tertentu. Hal itu murni tindakan para pebisnis yang pada saat ini saling bekerjasama dengan lembaga dan pelaku bisnis tingkat dunia.

Jika di Mekkah bermunculan pusat-pusat bisnis yang membawa brand-brand ternama di dunia, hal itu adalah efek dari globalisasi yang tidak bisa dihindari. Dengan demikian, mengaitkan tindakan Pemerintah Saudi Arabia dalam membangun dan mengelola dua kota termulia di dunia itu dengan “Wahabisme” adalah sikap yang tidak ilmiah. Mengapa? Karena tidak ada korelasinya.

Saudi Arabia tak beda dengan Indonesia. Negara kerarajaan ini bukan negara agama. Lain halnya dengan Iran dan Vatikan, pemerintahnya selalu menyuarakan keyakinan negara mereka dalam kancah pergaulan Internasionalnya.

Di bagian lain tulisannya, Ismatillah menulis nama Raja Saudi Arabia yang baru dengan nama “Abdullah Salman”. Penyebutan nama ini adalah penamaan yang salah, karena nama sebenarnya adalah “Salman” tanpa “Abdullah”. Inilah salah satu bentuk ketidak cermatan dan ketidaktelitian Ismatillah sebagai seorang peneliti.

Demikian pula, di bagian lain tulisannya, Ismatillah menyebut Raja yang  baru  ini sebagai “saudara tiri” dari Raja yang lalu. Ini satu bentuk kecerobohan yang tidak berdasar, karena ayah mereka sama yaitu Abdul aziz Al-Saud, sehingga mereka itu “saudara seayah” bukan“ saudara tiri”.

Di bagian lain, menterjemahkan ungkapan “Khodimul-Haromain” dengan “Penguasa dua kota suci” adalah tidak tepat.Mengapa? Karena kata “khodim” berarti “pembantu” bukan “penguasa”. Apalagi kata ini sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia dan diartikan juga “pembantu”. Terjemahan yang sesuai konteks adalah “penjaga”

Negara Saudi Arabia sama dengan Indonesia dan sama pula dengan Universitas Paramadina – tempat Ismatillah bekerja. Mereka semuanya sangat akrab dengan Amerika Serikat.Tentu saja jawaban mereka semuanya akan sama jika ditanya mengapa harus akrab dengan Amerika? Apakah akrab dengan Amerika Serikat sebuah dosa?

Perlu dimengerti, bahwa Pemerintah Saudi dalam melakukan pengelolaan dan pembangunan Mekkah dan Madinah adalah dalam rangka untuk memudahkan pelayanan bagi jama’ah haji dan umroh yang jumlahnya selalu meningkat.

Maka pertimbangan-pertimbangan dalam membesarkan daya tampung dua kota mulia ini mengalahkan pertimbangan-pertimbangan lainnya yang dinilai kalah skala prioriritasnya. 

Apalagi tuntutan negara-negara Islam pada saat ini untuk memperbesar kuota haji mereka harus segera dipenuhi. Terutama, Indonesia yang jumlah musliminnya melebihi dua ratus juta, sehingga untuk berhaji pada saat ini mereka harus mengantri belasan tahun.

Cobalah kita berfikir jernih dan berbaik-sangka kepada saudara-saudara kita seagama Islam. Utamakanlah persatuan dan kesatuan di antara Muslimin, dan hindari setiap sikap yang justru akan memecah-belah persaudaraan mereka.

Sampai kapan kita selalu dalam kelemahan karena berpecah-belah dan mengikuti musuh-musuh kita bersama, yang selalu mengadu-domba dan menebar fitnah terhadap Muslimin, dikarenakan sikap “Islamophobia” yang mereka pendam. (*)