Thursday, April 23, 2015

Bukti-bukti Pengkhianatan Kaum Syiah terhadap Ahlul Bait

                                                          
Kaum Syi’ah menyangka bahwa mereka berloyalitas kepada Ahli Bait (keluarga) Rasulullahshallallâhu ‘alaihi wa sallam dan mencintai Ahlul Bait. Mereka juga menyangka bahwa madzhab mereka diambil dari ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Ahlul Bait dan dibangun di atas pendapat-pendapat dan riwayat-riwayat dari Ahlul Bait. Karena alasan kecintaan kepada Ahlul Bait, kaum Syi’ah mengafirkan para shahabat yang dianggap menzhalimi dan melanggar kehormatan Ahlul Bait. Inilah keyakinan yang tertanam pada akal-akal kaum Syi’ah.
Benarkah kaum Syi’ah mencintai Ahlul Bait?
Mari kita melihat bagaimana sebenarnya kecintaan kaum Syi’ah kepada Ahlul Bait dan bagaimana sikap Ahlul Bait itu sendiri terhadap kaum Syi’ah.
Definisi Ahlul Bait
Kaum Syi’ah Rafidhah bersepakat untuk membatasi Ahlul Bait Nabishallallâhu ‘alaihi wa sallam hanya pada Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu ‘anhû, Fathimah radhiyallâhu‘anhâ, Al-Hasan radhiyallâhu‘anhumâ, dan Al-Husain radhiyallâhu ‘anhumâ. Kemudian, mereka memasukkan sembilan orang imam dari keturunan Al-Husain radhiyallâhu anhû dalam hal tersebut: (1) Ali Zainul ‘Âbidin, (2) Muhammad Al-Bâqir, (3) Ja’far Ash-Shâdiq, (4) Musa Al-Kâzhim, (5) Ali Ar-Ridhâ, (6) Muhammad Al-Jawwâd, (7) Ali Al-Hâdy, (8) Al-Hasan Al-‘Askar, dan Imam Mahdi mereka, (9) Muhammad Al-‘Askar. [Al-Anwâr An-Nu’mâniyah 1/133, Bihâr Al-Anwâr35/333, dan selainnya. Bacalah Al-‘Aqidah Fî Ahlil Bait Bain Al-Ifrâd Wa At-Tafrîd karya Sulaimân As-Suhaimy hal. 352-356 dan Asy-Syi’ah Wa Ahlul Bait hal. 13-20 karya Ihsân Ilâhî Zhahîr]
Hakikat definisi kaum Syi’ah tentang Ahlul Bait di atas adalah celaan terhadap Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan, dan Al-Husain radhiyallâhu‘anhum.
Mereka meriwayatkan dari Abu Ja’far Muhammad Al-Bâqir bahwa beliau berkata, “Manusia menjadi murtad setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa âlihi, kecuali tiga orang.” Saya (perawi) bertanya, “Siapakan tiga orang itu?” Beliau menjawab, “Al-Miqdad, Abu Dzarr, dan Salman Al-Fârisy ….” [Raudhah Al-Kâfy 8/198]
Juga datang sebagian riwayat mereka tentang pengecualian untuk tujuh orang, yang Al-Hasan dan Al-Husain tidak tersebut dalam pengecualian itu.
Mereka meriwayatkan dari Amirul Mukmin Ali bin Abi Thalibradhiyallâhu‘anhû bahwa beliau berkata kepada Qunbur, “Wahai Qunbur, bergembiralah dan berilah kabar gembira serta selalulah merasa gembira. Sungguh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa alihi meninggal dan beliau murka terhadap umatnya, kecuali Syi’ah.” [Al-Amâly hal. 726 karya Ash-Shadûq]
Kaum Syi’ah juga tidak mengakui putri Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam sebagai Ahlul Bait beliau, kecuali Fathimah saja. Mereka berkata, “Ahli tarikh menyebut bahwa Nabi (sha) memiliki empat putri. Berdasarkan urutan kelahirannya, mereka adalah Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah. Namun, menurut penelitian cermat tentang nash-nash tarikh, kami tidak menemukan dalil yang menunjukkan (keberadaan) anak (untuk beliau), kecuali Az-Zahrâ` (‘ain), Bahkan, yang tampak adalah bahwa anak-anak perempuan yang lain adalah anak-anak Khadijah dari suaminya yang pertama sebelum Nabi Muhammad (sha) ….” [Dâ`irah Al-Ma’ârif Al-Islâmiyah Asy-Syi’iyyah 1/27 karya Muhsin Al-Amin]
Demikianlah kedunguan kaum Syi’ah dalam menentang Allah Ta’âlâ, padahal Allah menyebut anak-anak perempuan Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan konteks jamak yang menunjukkan jumlah lebih dari tiga sebagaimana dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin bahwa hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka ….” [Al-Ahzâb: 59]
Kaum Syi’ah juga tidak memasukkan istri-istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam lingkup Ahlul Bait, padahal ayat tentang keutamaan Ahlul Bait asalnya ada dalam konteks penyebutan istri-istri Nabishallallâhu ‘alaihi wa sallam. Perhatikanlah firman-Nya,
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا. وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا. وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
“Wahai istri-istri Nabi, kalian tidaklah seperti perempuan lain jika kalian bertakwa. Maka, janganlah kalian lembut dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. Hendaklah kalian tetap berada di rumah-rumah kalian, janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah dahuluserta dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai ahlul bait, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa-apa yang dibacakan di rumah kalian berupa ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabi). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” [Al-Ahzâb: 32-34]
Kebencian kaum Syi’ah terhadap para istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallamsangatlah besar, terkhusus terhadap Aisyah dan Hafshahradhiyallâhu‘anhmâ, sehingga salah seorang pembesar mereka dari Hauzah, Sayyid Ali Gharwy, berkata, “Sesungguhnya, sebagian kemaluan Nabi harus masuk ke dalam neraka karena beliau telah menggauli sebagian perempuan musyrik.” [Disebutkan dalam Kasyful Asrâr hal. 21 karya Husain Al-Musawy]
Mereka juga tidak memasukkan anak-anak Ali bin Abi Thalib –kecuali Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallâhu‘anhumâ – ke dalam golongan Ahlul Bait, padahal Ali memilliki beberapa anak selain Al-Hasan dan Al-Husain, yaitu Muhammad bin Al-Hanafiyyah, Abu Bakr, Umar, Utsman, Al-‘Abbâs, Ja’far, Abdullah, ‘Ubaidullah, dan Yahya. [Asy-Syi’ah Wa Ahlul Bait hal. 20 karya Ihsân Ilâhî Zhahîr]
Kaum Syi’ah juga tidak menganggap anak-anak Al-Hasan sebagai Ahlul Bait sebagaimana mereka juga tidak menganggap anak-anak Al-Husain sebagai Ahlul Bait, kecuali Ali Zainul ‘Abidin. Padahal, Al-Husain memiliki anak yang bernama Abdullah dan Ali (lebih tua daripada Ali Zainul ‘Abidin) yang keduanya ikut mati syahid bersama Al-Husain di Karbalâ`. [Huqbah Min At-Târikh hal. 242 karya Utsman Al-Khumayyis]
Sebagaimana pula, mereka juga tidak menganggap Bani Hasyim sebagai Ahlul Bait, padahal Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam memasukkan mereka ke dalam lingkup Ahlul Bait sebagaimana dalam kisah Abdul Muthlib bin Rabî’ah bin Harits bin Abdul Muthlib dan Al-Fadhl bin ‘Abbâs bin ‘Abdul Muthlib, yang meminta untuk dipekerjakan terhadap harta sedekah agar keduanya memperoleh upah untuk menikah maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada keduanya,
إِنَّ الصَّدَقَةَ لَا تَنْبَغِي لِآلِ مُحَمَّدٍ إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ
“Sesungguhnya sedekah tidaklah pantas bagi keluarga Muhammad. Hal tersebut hanyalah kotoran-kotoran manusia.” [Diriwayatkan oleh Muslim]
Bahkan, kaum Syi’ah menyebut bahwa Ali bin Abi Thalib berdoa, “Ya Allah, laknatlah dua anak Fulan -yaitu Abdullah dan ‘Ubaidullah, dua anak Al-‘Abbâs, sebagaimana dalam catatan kaki-. Butakanlah mata keduanya sebagaimana engkau telah membutakan kedua hati mereka ….” [Rijâl Al-Kisysyi hal 52]
Juga sebagaimana mereka menghinakan ‘Âqil dan Al-‘Abbâs dalam sejumlah riwayat mereka.
Beberapa Penghinaan kaum Syi’ah terhadap Ahlul Bait [1]
Tidak pernah suatu hari pun kaum Syi’ah mencintai dan menaati Ahlul Bait. Bahkan, buku-buku mereka telah menetapkan penyelisihan dan penentangan mereka terhadap Ahlul Bait.
Perhatikanlah kelancangan mereka terhadap Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat mereka, bahwa Ali memperbandingkan antara dirinya dan diri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Ali berkata, “Aku adalah pembagi Allah antara Surga dan Neraka. Aku adalah pembeda terbesar. Aku adalah pemilik tongkat dan misam. Sungguh seluruh malaikat dan rasul telah mengakui untukku apa yang mereka diakui untuk Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi. Sungguh aku telah dibebani seperti beban Ar-Rabb. Sungguh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi akan dipanggil kemudian diberi pakaian, Aku juga dipanggil kemudian diberi pakaian. Beliau diminta berbicara dan Aku juga diminta berbicara. Hingga di sini, Kami adalah sama. Adapun Aku, sungguh Aku telah diberi beberapa sifat yang tidak pernah diberikan kepada siapapun sebelumku. Aku mengetahui angan-angan, bencana-bencana, nasab-nasab, fashlul khithab. Tidaklah luput sesuatu yang telah mendahuluiku, dan tidaklah pergi sesuatu yang telah berlalu dariku.” [Ushûl Al-Kâfy, kitab Al-Hujjah 1/196-197]
Nash di atas bukanlah hal aneh dalam buku-buku kaum Syi’ah, bahkan buku-buku mereka berisi pengutamaan Ahlul Bait terhadap para nabi dan para malaikat.
Mereka juga menyebutkan riwayat tentang peremehan terhadap putra Nabishallallâhu ‘alaihi wa sallam, Ibrahim. Simpulannya adalah bahwa Jibril mendatangi Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang menimang-nimang anaknya, Ibrahim, dan cucunya, Al-Husain. Jibril pun berkata, “Allah telah mengutusku dan memberi salam kepadamu dan berfirman bahwa dua anak ini tidak berkumpul dalam satu waktu maka pilihlah salah satu di antara keduanya dan korbankanlah yang lainnya.” Kemudian Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam memandangi Ibrahim dan menangis, lalu beliau melihat kepada penghulu para syahid (Al-Husain) dan menangis. Beliau pun berkata, “Sesungguhnya Ibrahim, ibunya hanyalah seorang budak. Kalau dia meninggal, tak seorang pun yang bersedih terhadapnya, kecuali Aku. Adapun Al-Husain, ibunya adalah Fathimah dan ayahnya adalah Ali, sedang (Ali) adalah anak pamanku dan seperti kedudukan ruhku, serta dia adalah darah dan dagingku. Kalau (Al-Husain) meninggal, (Ali) akan bersedih dan Fathimah akan bersedih.” Kemudian beliau berbicara kepada Jibril, “Wahai Jibril, Aku mengorbankan Ibrahim untuk Al-Husain, dan Aku meridhai kematiannya agar Al-Husain dan Yahya tetap hidup.” [Hayâh Al-Qulûb1/593 karya Al-Majlisy]
Bahkan, terhadap Ali bin Abi Thalib sendiri, mereka menyebutkan kelemahan, ketakutan, dan kehinaan Ali saat Abu Bakr diangkat menjadi khalifah [kitab Salîm bin Qais hal 84, 89]. Ketika kaum Syi’ah menyikapi putri Ali, Ummu Kultsum, yang dinikahi oleh Umar, mereka menyebutkan riwayat dari Abu Abdillah Ja’far Ash-Shâdiq bahwa Ja’far berkata, “Itu adalah kemaluan yang telah Kami rampok.” [Furû’ Al-Kâfy 2/141 karya Al-Kulîny]. Dalam riwayat lain disebutkan, “Ali tidak ingin menikahkan putrinya, Ummu Kultsum, dengan Umar, tetapi (Ali) takut terhadap (Umar) sehingga (Ali) mewakilkan kepada pamannya, ‘Abbâs, untuk menikahkan (Umar).” [Hadîqah Asy-Syî’ah hal. 277 karya Muqaddas Al-Ardabîly]
Syaikh Ihsân Ilâhî Zhahîr juga menyebutkan penghinaan kaum Syi’ah terhadap Fatimah, Al-Hasan, Al-Husain, dan keturunannya hingga imam kesepuluh mereka. Makalah ini tidak cukup memuat seluruh hal tersebut.
Sikap Ahlul Bait terhadap Kaum Syi’ah [2]
Dalam buku-buku kaum Syi’ah, mereka menyebutkan bahwa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu‘anhû berkata, “Andaikata aku membedakan Syi’ahku, tidaklah Aku akan mendapati mereka, kecuali sifat yang jelas. Andaikata menguji mereka, tidaklah Aku mendapati mereka, kecuali bahwa mereka telah murtad. Andaikata menyaring mereka di antara seribu orang, tidak akan ada seorang pun yang selamat.” [Raudhah Al-Kâfy 8/338]
Mereka juga menyebutkan ucapan Ali bin Abi Thalib terhadap kaum Syi’ah tatkala mereka berkhianat terhadap beliau. Ali radhiyallâhu‘anhû berkata kepada kaum Syi’ah, “Wahai orang-orang yang mirip lelaki, tetapi bukan lelaki, orang-orang yang berakal anak-anak kecil, dan akal-akal para perempuan bergelang kaki, Aku sangatlah berharap agar tidak melihat kalian dan tidak mengenal kalian dengan pengenalan bergetir penyesalan, demi Allah, dan bertabrak celaan. Semoga Allah memerangi kalian. Sungguh kalian telah memenuhi hatiku dengan nanah, mengumpat dadaku dengan kemarahan, menegukkan tegukan kebusukan yang menyesakkan nafas-nafas kami, dan kalian telah merusak ideku dengan penentangan dan penggembosan sehingga orang-orang Quraisy berkata, ‘Sesungguhnya Ibnu Abi Thalib adalah seorang pemberani, tetapi tidak berilmu tentang peperangan dan tidak memiliki pendapat terhadap orang yang tidak ditaati.’.” [Nahj Al-Balâghah 70-71]
Al-Husain bin Ali radhiyallâhu‘anhumâ juga mendoakan kejelekan terhadap kaum Syi’ah sebagaimana yang mereka sebutkan bahwa beliau berdoa, “Ya Allah, kalau Engkau memberi mereka tenggat waktu, cerai-beraikanlah mereka berkelompok-kelompok, jadikanlah mereka bergolongan-golongan yang beraneka ragam, dan janganlah Engkau menjadikan para pemerintah meridhai mereka selama-lamanya. Sesungguhnya mereka telah memanggil kami untuk menolong kami, tetapi mereka melampaui batas lalu memerangi kami.” [Al-Irsyâd hal. 241 karya Al-Mufîd]
Al-Hasan bin Ali radhiyallâhu‘anhumâ berkata sebagaimana dalam riwayat mereka, “Demi Allah, aku melihat Mu’âwiyah lebih baik bagiku daripada mereka. Mereka menyangka bahwa mereka adalah Syi’ahku, (tetapi) mereka ingin membunuhku dan mengambil hartaku. Demi Allah, andaikata dari Mu’âwiyah aku mengambil sesuatu yang menjaga darahku dan aku melindungi keluargaku, hal itu lebih baik daripada mereka membunuhku sehingga keluargaku akan terlantar. Demi Allah, andaikata aku memerangi Mu’âwiyah, pastilah mereka mengambil leherku hingga mereka menyerahkanku kepada (Mu’âwiyah) dengan selamat. Demi Allah, andaikata aku berdamai dengan (Mu’awiyah) dan berada dalam keadaan mulia, hal itu lebih baik daripada dia membunuhku sebagai tawanan.” [Al-Ihtijâj 2/10]
Ali bin Al-Husain Zainul Abidin berkata, “Bukankah kalian mengetahui bahwa kalian menulis kepada ayahku, tetapi kalian memperdaya beliau serta memberi janji dan persetujuan dari diri-diri kalian, kemudian kalian memerangi dan menelantarkan beliau. Dengan mata apa kalian memandang kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi ketika beliau berkata, ‘Kalian telah membunuh keluargaku dan melanggar kehormatanku. Kalian bukanlah bagian dari umatku.” [Al-Ihtijâj 2/32]
Beliau juga berkata, “Sesungguhnya mereka menangisi kami, tetapi siapa yang membunuh kami kalau bukan mereka?” [Al-Ihtijâj 2/29]
Muhammad bin Ali Al-Bâqir berkata, “Andaikata seluruh manusia adalah Syi’ah kami, pastilah tiga perempatnya adalah orang yang ragu terhadap kami, sedang seperempatnya adalah orang dungu.” [Rijâl Al-Kisysyi hal. 79]
Ja’far bin Muhammad Ash-Shâdiq berkata, “Demi Allah, ketahuila. Andaikata aku menemukan tiga orang mukmin di antara kalian yang (mampu) menyembunyikan pembicaraanku, tentu aku tidaklah halal menyembunyikan pembicaraan terhadap mereka.” [Ushûlul Kâfy 1/496]
Banyak lagi riwayat dari Ahlul Bait yang mengandung celaan dan penjelasan mereka tentang kaum Syi’ah yang mengaku mencintai Ahlul Bait.
Pengkhianatan Kaum Syi’ah terhadap Ahlul Bait tentang Sikap kepada Para Shahabat
Dalam Irsyâd Al-Ghâby Ilâ Madzhab Ahlil Bait Fî Shahbin Naby, Imam Asy-Syaukany menyebutkan dua belas jalur kesepakatan para Imam Ahlul Bait dari berbagai masa tentang sikap mereka yang sesungguhnya terhadap para shahabat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Dalam riwayat-riwayat mereka sendiri, terdapat penyebutan ucapan-ucapan Ahlul Bait yang memuji dan memiliki hubungan baik dengan seluruh para shahabat, termasuk Abu Bakr, Umar, Utsman, dan selainnya.
Nash-nash dalam buku-buku Syi’ah tentang hal tersebut disebutkan dalam kitab Asy-Syî’ah Wa Ahlul Bait karya Syaikh Ihsân Ilâhî Zhahîrrahimahullâh.
Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu‘anhû sendiri memuji para shahabat dalam ucapan beliau, “Sungguh aku telah melihat para shahabat Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi. Aku tidak melihat seorang pun di antara kalian yang menyerupai mereka! Sungguh pada waktu pagi mereka kusut lagi berdebut, pada waktu malam mereka bersujud dan melakukan qiyâm. Mereka beristirahat antara dahi-dahi dan pipi-pipi mereka, dan berhenti seperti bara-bara api ketika mengingat hari kebangkitan, seakan-akan antara mata-mata mereka seperti bekasan kambing karena sujud mereka yang panjang. Apabila Allah disebut, berlinanglah mata-mata mereka sehingga membasahi dada-dada mereka, bergoyang seperti pepohonan bergoyang pada hari saat angin kencang, karena takut terhadap siksaan dan harapan akan pahala.” [Nahj Al-Balâghah hal. 143]
Selain itu, telah berlalu penyebutan beberapa anak dari Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan, dan Al-Husain radhiyallâhu‘anhum yang bernama Abu Bakr, Umar, dan Utsman. Hal ini menunjukkan kedekatan antara Ahlul Bait dan Khulafa` Ar-Rasyidin, yang berbeda dengan Syi’ah yang mengafirkan para shahabat, khususnya tiga Khulafa` Ar-Rasyidin.
Pembunuhan Al-Husain [3]
Di antara kamus pengkhianatan kaum Syi’ah adalah pembunuhan mereka terhadap Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu‘anhumâ. Berikut kisah tersebut secara ringkas.
Pada tahun 60 H, Yazîd bin Mu’âwiyah dibaiat sebagai khalifah, padahal umur beliau masih 34 tahun. Al-Husain dan Abdullah bin Az-Zubair tidak berbaiat kepada Yazîd bin Mu’âwiyah, padahal beliau berdua berada di Madinah. Kemudian keduanya keluar dari Madinah menuju Makkah tanpa berbaiat. Kejadian tersebut terdengar oleh penduduk Kufah yang notabene merupakan orang-orang yang mengaku loyal kepada Ali bin Abi Thalib dan anak-anaknya. Mereka pun mengirim berbagai surat kepada Al-Husain yang menyatakan, “Kami telah membaiatmu, kami tidak menginginkan, kecuali engkau. Di leher kami tiada baiat untuk Yazîd, tetapi baiat hanya untukmu.” Semakin banyak surat yang sampai kepada Al-Husain hingga lebih dari lima ratus surat. Semua surat itu berasal dari penduduk Kûfah.
Menanggapi hal tersebut, Al-Husain radhiyallâhu‘anhumâ mengirim anak pamannya, Muslim bin ‘Aqîl bin Abi Thalib, untuk mengetahui hakikat perkara. Begitu tiba di Kûfah, Muslim pun segera bertanya-tanya ke sana-sini sehingga Muslim mengetahui bahwa manusia tidak menginginkan Yazîd, tetapi menginginkan Al-Husain. Ketika Muslim berlabuh di rumah Hâni` bin ‘Urwah, manusia pun berbondong-bondong mendatangi rumah Hâni` dan membaiat Muslim di atas baiat kepada Al-Husain. Kemudian Muslim mengirim pesan kepada Al-Husain agar Al-Husain segera datang ke Kûfah.
Hal tersebut terdengar oleh Yazid, yang kemudian mengutus ‘Ubaidullah bin Ziyâd sebagai gubernur Kufah untuk menanggapi kejadian tersebut. Setelah memastikan dan menyelidiki kepastian berita, segeralah Ubaidullah menahan Hâni` bin ‘Urwah. Mendengar Hâni` bin ‘Urwah tertahan, Muslim keluar dengan membawa empat ribu orang penduduk Kûfah yang telah membaiat Al-Husain.
Hanya dalam hitungan beberapa saat, tidaklah tersisa di antara empat ribu, kecuali tiga puluh orang, setelah ‘Ubaidullah memberi janji-janji pemberian untuk sebagian orang terpandang agar membuat penduduk Kûfah takut terhadap tentara Syam, yang berada pada pihak Yazîd bin Mu’âwiyah. Setelah matahari terbenam, tidak tersisa seorang pun, kecuali Muslim bin ‘Aqîl seorang diri.
‘Ubaidullah bin Ziyâd kemudian menawan dan membunuh Muslim pada hari ‘Arafah. Namun, sebelumnya, Muslim telah mengirim wasiat kepada Al-Husain, menceritakan peristiwa tersebut agar Al-Husain kembali dan tidak tertipu oleh penduduk Kûfah.
Al-Husain, yang telah berangkat ke Kûfah semenjak hari Tarwiyah, menerima pesan dari Muslim bin Aqîl dan telah berniat kembali ke Makkah. Namun, sebagian anak Muslim yang ikut bersama rombongan memberi saran agar rombongan tetap berangkat supaya dia bisa menuntut darah ayahnya.
Akhirnya, Al-Husain tetap berangkat menuju Iraq hingga tiba di Karbalâ`, dan beliau terbunuh sebagai syahid di tempat tersebut berserta tujuh belas orang Ahlul Bait dari anak-anak Al-Husain, Al-Hasan, ‘Aqil, dan Abdullah bin Ja’far pada 10 Muharram 61 H.
Kaum Syi’ah bercerita, “Dua puluh ribu orang penduduk Iraq membaiat Al-Husain, tetapi kemudian berkhianat terhadap beliau dan keluar memerangi mereka, padahal baiat berada di leher-leher mereka, kemudian mereka membunuh (Al-Husain).” [Muhsin Al-Amin dalam bukunya, A’yân Asy-Syî’ah, bagian pertama hal. 34]
Al-Mas’ûdy berkata, “Seluruh tentara, yang menghadiri pembunuhan Al-Husain serta memerangi dan membunuh beliau, hanyalah penduduk Kufah. Tidak ada seorang penduduk Syam pun yang hadir.” [Murawwij Adz-Dzahab 3/76]
Al-Mas’ûdy juga berkata, “Begitu bala tentara semakin banyak (mengepung) Al-Husain, dan beliau menyangka tidak akan selamat lagi, beliau berdoa, ‘Ya Allah, tetapkanlah hukum antara kami dan kaum yang memanggil kami, tetapi kemudian mereka sendiri yang membunuh kami.” [Murawwij Adz-Dzahab 3/75]
Setelah kita mengetahui siapa sebenarnya pembunuh Al-Husainradhiyallâhu‘anhumâ, ternyata kaum Syi’ah tidak mencukupkan diri dengan pengkhianatan mereka. Bahkan, mereka membuat kedustaan-kedustaan terhadap Ahlul Bait akan anjuran untuk merayakan dan memperingati hari Karbalâ`(hari Âsyûrâ`, 10 Muharram).
Rujukan kaum Syi’ah, Ath-Thûsy, meriwayatkan dengan sanadnya dari Ali bin Musa Ar-Ridha bahwa Ali bin Musa berkata, “Siapa saja yang meninggalkan upaya menunaikan hajatnya pada hari Âsyûrâ`, Allah akan menunaikan hajatnya di dunia dan akhirat. Siapa saja yang menjadikan hari Âsyûrâ` sebagai hari musibah, bersedih, dan menangisnya, Allah ‘Azza Wa Jalla akan menjadikannya pada hari kiamat sebagai hari kegembiraan dan kesenangan, serta menyejukkan mata kami di surga ….” [Amâlî Ath-Thûsy hal. 194, Bihâr Al-Anwâr 44/284]
Al-Barqy meriwayatkan dengan sanadnya hingga Ja’far Ash-Shâdiq, bahwa Ja’far berkata, “Siapa saja yang Al-Husain disebut di sisinya, kemudian meneteskan air mata, walaupun seperti sayap nyamuk, dosanya akan diampuni, meskipun seperti buih di lautan.” [Al-Mahâsin hal. 36, Bihâr Al-Anwâr 44/289]
Bahkan, Al-Mufid meriwayatkan dengan sanadnya hingga Al-Husain bin Ali sendiri, bahwa Al-Husain berkata, “Tidak ada seorang hamba pun yang berlinang air mata untuk kami atau meneteskan satu tetes air mata untuk kami, kecuali bahwa Allah akan memasukkannya ke dalam Surga dalam kurun waktu yang panjang.” [Amâlî Al-Mufîd hal. 209, Bihâr Al-Anwâr44/279]
Demikianlah segelintir kedustaan kaum Syi’ah dalam pembunuhan terhadap Al-Husain bin Ali radhiyallâhu‘anhumâ.
Kami Perlu mengingatkan bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallambersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الخُدُودَ، وَشَقَّ الجُيُوبَ، وَدَعَا بِدَعْوَى الجَاهِلِيَّةِ
“Bukanlah dari kami, orang yang memukul pipinya, menyobek kantong bajunya, serta menyeru dengan seruan jahiliyah.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ûd radhiyallâhu‘anhû]

[1] Disadur dari kitab Asy-Syî’ah Wa Ahlul Bait karya Syaikh Ihsân Ilâhî Zhahîr rahimahullâh.
[2] Disadur dari Kasyf Al-Asrâr Wa Tabriah Al-A`immah Al-Athhâr hal. 14-18 karya Sayyid Husain Al-Musawy, seorang ulama Najaf.
[3] Diringkas dari Huqbah Min At-Târikh karya ‘Utsmân Al-Khumayyis hal. 229-259, Al-‘Aqidah Fî Ahlil Bait Bain Al-Ifrâd Wa At-Tafrîd karya Sulaimân As-Suhaimy hal. 490-504, dan Man Qatala Al-Husain karya Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz.