Sunday, April 26, 2015

Siapa yang Merusak Sejarah Islam?

Ketika saya membaca dan mempelajari sejarah Islam, saya mempelajari bahwa sejarah Islam tidak disajikan dengan metode yang benar. Baik itu untuk para pelajar maupun pembaca secara umum. Mayoritas yang kita baca tentang sejarah Islam di masa belakangan ini, adalah buah karya orientalis. Entah itu tulisan mereka sendiri dalam buku-bukunya, ataupun para muridnya, sejarawan Muslim yang menimba ilmu mereka. Seakan apa yang dikatakan para orientalis itu adalah perkataan pamungkas yang tidak bisa didebat. Padahal suatu hal yang mudah dijelaskan, bahwa mereka adalah orang-orang yang paling getol merusak dan mendistorsi sejarah Islam.” (Mohammad Qutb)
Tulisan Syafii Maarif di Republika 16 Desember 2014 kemarin terlihat mengikuti jejak orientalis. Syafii mengatakan : “Peradaban (Umayyah dan Abbasiyah –red) memang berkembang hingga mencapai puncak yang tertinggi, tetapi semua itu juga dibangun di atas tengkorak umat Islam yang berbeda pandangan politik.”
Entah kenapa Syafii sering mengorek-ngorek sejarah Islam dengan nada yang sinis. Mungkin dilatarbelakangi dengan pendidikannya di Amerika yang hampir ‘sepenuhnya’ sejarah diajarkan oleh para orientalis (non Musim). Para orientalis, sesuai dengan latar belakang agama mereka, tentu tidak ingin membahas sejarah Islam dengan tujuan mengagungkan kejayaan Islam. Mereka selalu mencari-cari kesalahan aktor-aktor atau peristiwa dalam sejarah Islam. Kesalahan sedikit saja dalam sejarah Islam, akan mereka hiperbolakan. Dan kesalahan besar dalam sejarah mereka (non Islam) akan mereka sembunyikan ‘sekuat mungkin’. Mungkin tidak semua orientalis bersikap demikian. Tapi yang ‘jujur terhadap sejarah Islam’ jumlahnya dapat dihitung dengan jari.
Tulisan Syafii dalam Republika itu diberi judul Islam Dalam Krisis (II). Mungkin mantan Ketua Umum Muhammadiyah ini mengambil ide judul dari orientalis terkemuka Barat, Bernard Lewis yang menulis buku sejarah Islam dengan judul ‘The Crisis of Islam’. Judul artikel Syafii itu saja bermasalah. Islam dalam Krisis. Yang krisis Islam atau Muslim dewasa ini? Memang Islam terwakili oleh tingkah laku Muslim. Tetapi tidak semua kemuliaan Islam –kalau kita yakin terhadap kemuliaan Al Quran dan as Sunnah- terwakili oleh kaum Muslim mayoritas dewasa ini.
Yang kedua masalahnya adalah benarkah Islam dalam Krisis? Kalau kita amati dengan jeli, islam tidak dalam kondisi krisis. Justru Islam sedang bangkit. Kaum Muslim di seluruh dunia –terutama sejak peristiwa 11 September 2001- justru sedang dalam kondisi ‘ectasy’ untuk mereguk kenikmatan Islam. Di Amerika perpindahan agama lain ke agama Islam prosentasenya tertinggi dibanding perpindahan agama lain ke agama lain. Begitu juga di berbagai negara belahan Eropa. Adagium yang mengatakan bahwa yang pindah ke Islam orang-orang yang pintar dan yang murtad dari Islam orang-orang yang bodoh, kini menemui kenyataan.
Di Indonesia, bila tahun 80-an jilbab dipasung oleh pemerintah, maka tahun 2000 ini jilbab menjadi trend. Iklan-iklan produk di televisi seolah-olah ‘tidak afdhal’ kalau hanya menampilkan gadis yang tidak berjilbab. Produk-produk kecantikan kini menampilkan bersamaan gadis yang berjilbab dan tidak. Sesuatu yang sulit ditemui di tahun-tahun sebelumnya.
Kajian-kajian Islam baik di kantor maupun di kampus-kampus kini marak oleh anak-anak muda. Mereka selain rajin mengaji, juga rajin beribadah. Meski fenomena ini masih terbatas dalam kota – di desa-desa kebanyakan yang jamaah di Masjid atau Musholla kaum tua- tapi kenyataan ini tentu meggembirakan. Karena merupakan sunnatullah sosiologi, bahwa perubahan masyarakat berasal dari kota (‘Madinah’) bukan dari desa. Perubahan dilakukan oleh orang-orang yang pintar, bukan oleh orang-orang yang bodoh.
Krisis Media
Bila dikatakan Islam dalam kondisi krisis, maka bisa dikatakan benar krisis dalam dunia pertelevisian. Lebih dari 9 televisi nasional, tidak ada satupun TV Islam. Ada TV-TV Islam, semisal Alif TV atau MU TV, tapi sifatnya berbayar. Sehingga sebagian besar masyarakat Indonesia tidak bisa menontonnya. Padahal TV kini masih berpengaruh besar pada keluarga-keluarga di Indonesia. Acara-acara televisi yang buruk –gaya berpakaian dan gaya hidup- menjadikan banyak kaum muda Islam berperilaku buruk juga. Karena actor-aktor televisi secara sadar atau tidak, telah menjadi pengkhotbah-pengkhotbah modern yang dengan mudah mengubah perilaku masyarakat.
Alhamdulillah kini ada internet yang membantu kaum Muslim untuk mendapat berita atau film-film yang positif. Meski internet ternyata juga membawa dampak yang buruk bagi Muslim. Yaitu karena banyaknya tayangan pornografi dan ‘game=game’ yang tidak mendidik bagi anak-anak dan kaum muda Muslim.
Media cetak, khususnya Koran di tanah air juga mengalami krisis. Republika yang di waktu kelahirannya diharapkan benar-benar menjadi wakil aspirasi umat Islam, kenyataannya kadang tidak sepeuhnya memihak ke umat Islam. Meski demikian Republika masih lebih baik dari Koran-koran yang ada di tanah air. Dan Republika meski bersikap ‘moderat’, tetap saja ‘diboikot’ iklannya oleh pengusaha-pengusaha non Islam. Pengusaha-pengusaha itu lebih suka iklan di Kompas daripada di media cetak lain. Maka tidak heran Kompas menjadi raja media di Indonesia. Dengan iklan yang melimpah milyaran tiap hari, Kompas –yang bayak digawangi oleh kaum non Islam- dapat membangun hotel, perkebunan, televise, jaringan internet dan juga melahirkan media-media untuk semua lapis masyarakat. Bila harian Abadi (dan Masyumi) tidak ‘dimatikan’ Soekarno, kemungkinan besar Abadi akan menjadi media yang lebih besar dari Kompas.
Hati-hati Syafii
Apa yang ditulis Syafii ini hampir sama dengan yang ditulis oleh ilmuwan politik terkemuka Amerika modern yaitu Samuel Huntington. Untuk menjelekkan sejarah Islam, Huntington menulis artikel berjudul “The Age of Muslim Wars” di Majalah Newsweek. Di majalah itu Huntington menguraikan bahwa abad ini adalah abad perang Muslim. Baik Muslim dengan Muslim lain, maupun Muslim dengan non Muslim. Seperti dalam perang Irak melawan Amerika, Afghanistan melawan Amerika dan lain-lain.
Huntington menutupi kenyataan bahwa jumlah perang yang dilakukan Muslim korbannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan perang yang dilakukan Barat. Khususnya dalam perang Dunia I dan perang Dunia II. Dalam Perang Dunia I korban yang mati sebanyak 10 juta orang dan dalam perang Dunia II korban yang jatuh sebanyak 70 juta orang. Peperangan Muslim non Muslim terjadi mayoritas karena pihak non Islam yang melakukan penyerangan terhadap kaum Muslim. Seperti serangan Amerika-Inggris-Israel ke Palestina, Rusia/Amerika ke Afghanistan, Amerika ke Irak dan lain-lain. Sedangkan antar Muslim terjadi peperangan, karena ‘terutama’ perbedaan mazhab, yaitu mazhab Sunnah dan Syiah. Seperti kejadian Perang Irak dan Iran. Intelektual-intelektual Barat tahu persis detil-detil perbedaan kedua mazhab ini, karena itu selalu dieksploitasi agar terus terjadi peperangan. Baik di Timur Tengah maupun dunia Islam lainnya.
Akhirnya kita kutip pendapat Syekh Yusuf Qaradhawi yang bagus tentang soal sejarah ini: “Sejarah adalah memori umat. Musuh umat selalu ingin menghapus memori tersebut. Hingga kita bisa memutuskan masa lalu, melupakan kegemilangan, serta menaburkan tanah ke atas tanah dan tradisi peradaban kita. Untuk akhirnya kita harus memulai lagi dari nol seperti umat yang tidak memiliki sejarah. Jika mereka tidak bisa menghapus memori tersebut, mereka berusaha untuk merusak serta mendistorsinya dengan informasi-informasi yang salah, terbalik dan palsu. Baik yang berhubungan dengan agama, peradaban, sejarah, tokoh dan tradisi umat. Dengan cara itulah umat pun kehilangan akarnya. Sehingga generasi yang baru menghina pendahulunya. Umat pun berjalan tanpa akar dan sejarah.

Sejarah sebuah umat adalah materi asli untuk mendidik generasi-generasi. Terutama bagi umat yang memiliki sejarah panjang, gemilang dan mempunyai peran serta jejak di atas dunia ini. Hal yang harus dilakukan oleh sebuat umat adalah belajar dari jejak, kegemilangan, kesalahan dan kelemahan sejarahnya.” (lihat buku Distorsi Sejarah Islam ‘Tarikhunal Muftara Alaihi’, Pustaka Al Kautsar hal 4).

Walhasil, sejarah Islam yang panjang –sejak Rasulullah saw diutus sebagai Nabi sampai saat ini- lebih banyak kegemilangannya daripada kelemahannya. Kaum Muslim jangan mengikuti orang-orang kafir yang terus menerus menonjolkan kelemahan sejarah Islam. Kaum Muslim berkewajiban memaparkan kegemilangan sejarah Islam dan memaparkan keburukan-keburukan sejarah kaum kafir. Al Quran menyatakan:
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah dan orang-orang kafir berperang di jalan thaghut. Maka perangilah kawan-kawan syetan itu, karena sesungguhnya tipu daya syetan itu lemah.” (QS an Nisa’ : 76).
Penulis: Nuim Hidayat

Terkait Syafii Maarif :