Friday, April 24, 2015

Sunni-Syiah Dalam Ukhuwah?

Tanggapan atas tulisan Dr. Muammar Bakri
Imam Malik pernah mengucapkan satu perkataan yang sangat masyhur, “Semua perkataan bisa diterima atau ditolak, kecuali perkataan pemilik kubur ini” sembari menunjuk ke arah kuburan Nabi Muhammad saw.
Termasuk perkataan dan pendapat yang ingin mempersatukan Sunni-Syiah, bisa diterima dan bisa juga ditolak, menurut kami itu perlu melalui pertimbangan dan penelitian yang matang. Salah satu indikasinya adalah penyimpangan Syiah dari ajaran Islam yang murni sudah terlalu parah, buktinya, di antara 10 kriteria aliran sesat versi MUI, Syiah masuk ke dalam tujuh poin, padahal kalau satu poin saja sudah bisa divonis menyimpang bahkan sesat.(lihat  http://lppimakassar.blogspot.com/2012/02/10-kriteria-aliran-sesat-versi-mui.html)
Tidak hanya itu, Depag sejak dahulu telah mengeluarkan surat edaran nomorD/BA.01/4865/1983 pada 5 Desember 1983, dengan tegas menyatakan Semua itu (paham Syiah) tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan ajaran Islam yang sesungguhnya. Ditambah Fatwa MUI yang merekomendasikan untuk mewaspadai paham Syiah.
Kadang bahkan selalu fatwa ini dipahami bahwa ini bukan fatwa yang memvonis sesat paham Syiah. Namun bagi kami, ungkapan meningkatkan kewaspadaan jelas bermakna WARNING (peringatan). Ajaran Syiah dianggap berbahaya, maka umat islam diingatkan agar waspada oleh MUI. Kalau ajaran Syiah lurus dan sah sesuai syariat Islam, tidak mungkin umat akan diberi peringatan agar waspada oleh MUI.
Ahlus Sunnah di Iran
Tentang kehidupan Ahlus Sunnah di Iran yang dikatakan tenang dan bebas perlu diteliti kembali, karena data-data yang kami dapatkan menunjukkan kebalikannya, banyak masjid Sunni yang disita dan dihancurkan dan para ulama Ahlus Sunnah dipenjara dan dibunuh. Di antara masjid-masjid itu adalah Masjid Sunnah di Baah Waz, Masjid Turbat Jam, Masjid Syaikh Faidh, Masjid Nakur di kota Jabhar di daerah Balusytan dan sampai sekarang tidak ada Masjid Sunni yang diizinkan berdiri di Teheran.
Para ulama Ahlus Sunnah banyak  yang diracun, dipenjara, disiksa dan dibunuh,, di antaranya Syekh Maulawi Abdul Aziz Surbazy, Syekh Abdul Wahab Khofi, Syekh Qudratullah Ja’fari, Syekh Nashir Subhani, Dr. Mudho Faryan, Syekh Ahmad Mufti Zaadah, Syaikh Abdus Sattar Bazar Kazadah dan masih banyak lagi. (silakan dilihat di Kedholiman Syi’ah Terhadap Ahlus Sunnah di Iran, LPPI, Jakarta, 1999)
Adapun klaim tentang Hamas yang Sunni yang di-back up dengan senjata dan finansial oleh Iran perlu diteliti dengan data yang valid.
Perbedaan Prinsipil Sunni-Syiah
Kalau kita masuk ke rumah-rumah penduduk warga Iran atau bahkan langsung ke tempat percetakan Al Quran di Iran, kita akan dapati Al Quran yang sama dengan kita  dan tidak ada bedanya sama sekali. Namun betulkah mereka meyakini keaslian Al Quran yang ada sekarang?
Adanya kitab Fashlul Khithab fi Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab (kata pemisah untuk menegaskan terjadinya perubahan pada Kitab Tuhannya para Tuhan) yang ditulis oleh ulama Syiah merupakan bukti bahwa mereka tidak meyakini keaslian Al Quran, di dalam kitab itu terdapat banyak contoh perubahan ayat-ayat Al Quran. (lihat daftarnya di buku “Mengapa Kita Menolak Syiah” terbitan LPPI Jakarta), bahkan dalam muqaddimah kitab itu penulisnya mencantumkan tidak kurang dari 30 nama ulama Syiah yang mendukung pendapatnya!, kemudian bagaimana menilai kondisi di Iran sekarang yang Al Qurannya sama dengan kita?, untuk menjawab ini mari kita simak penuturan ulama Syiah yang lain.
Al Kirmani mengatakan, “Terjadi perubahan dan pengurangan pada Al Quran!, Al Quran yang terjaga itu tidak ada melainkan ada pada Al Qa’im (Imam mahdi), dan Syiah itu terpaksa membaca Al Quran ini (Al Quran sekarang) sebagai bentuk taqiyyah (menyembunyikan yang diyakini) dari perintah keluarga Muhammad alaihis salam” (Al Kirmani, Ar Radd ‘ala Hasyim Asy-Syami, hal 13, cet Iran)
Tentang sahabat, bohong jika dikatakan bahwa orang Syiah tidak mencela sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw, Sebagai contoh, kuburan pembunuh Umar sangat diagung-agungkan, bangunan kuburannya seperti istana, bahkan ia dijuluki Pahlawan Pembela Agama, bukankah ini bukti konkret akan bencinya mereka terhadap Umar bin Khattab?
Al Majlisi berkata, “Perkataan alaihis salam ‘huma/ mereka berdua’ adalah Abu Bakar dan Umar, dan yang dimaksud dengan ‘Fulan’ adalah Umar, artinya Jin yang disebutkan di dalam ayat adalah Umar, dia dinamakan demikian karena dia merupakan setan, baik ia menyerupai setan karena ia anak zina atau karena makar dan tipu dayanya seperi setan, dan yang terakhir mengandung kebalikannya, yaitu yang dimaksud dengan ‘Fulan’ adalah Abu Bakar!!!” (Mir’aatul ‘Uquul, jilid 26, kitab Ar Raudhah, hal 488) bukankah ini bukti bahwa orang Syiah sangat membenci Abu Bakar dan Umar bin Khattab RA?
Ni’matullah Al Jaza’iri berkata, “Di Zaman Nabi Shallallahu alaihi wa aalihi, Utsman termasuk orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kemunafikan! ” (Al Anwar An Nu’maniyyah, jilid 1, hal 81)
Lebih dari itu, dalam acara-acara asyura mereka yang diadakan di Makassar juga di tempat lainnya mereka sangat mendiskreditkan sahabat (baca, Fajar, Selasa, 29 Des 2009)
Tentang Nikah Mut’ah MUI sudah memfatwakan keharamannya (silahkan lihat alasan dan dalil lengkapnya di Himpunan Fatwa MUI, tahun 2010, hal 350-355). Nabi Muhammad saw bersabda, “Wahai manusia, aku pernah membolehkan kamu melakukan mut’ah dengan wanita. Kemudian Allah telah mengharamkan hal itu sampai hari kiamat” (HR. Muslim)
Olehnya, sangat baik jika ada ayatullah yang berpendapat bahwa dalam konteks Indonesia tidak ada alasan untuk melegalkan Nikah Mut’ah, namun bagaimana dengan fakta yang terjadi di lapangan, Beberapa mahasiswi di Makassar sudah melakukan Nikah Mut’ah, bahkan salah satu di antara mereka mengatakan bahwa yang meninggalkan Nikah Mut’ah bisa termasuk golongan kafir! (lihat Skripsi Mahasiswa Fakultas Psikologi UNM tahun 2011 “Perempuan Dalam Nikah Mut’ah” hal 59)
Penulis pernah mendapatkan tarif Nikah Mut’ah di internet (http://www.eramuslim.com/berita/dunia/tarif-nikah-mut-ah-di-iran.htm) apakah ini mengindikasikan bahwa Nikah Mut’ah mudah dilakukan di Iran atau tidak. Wallahu a’lam
Shalat di belakang orang Syiah menurut Dr. Muammar Bakry adalah sah, namun menurut Ulama besar Islam Al Qadhi Abu Yusuf (w. 182 H) itu tidak sah, beliau mengatakan, “Saya tidak Shalat di belakang seorang Jahmiyah, Rafidhi (Orang Syiah), dan orang Qadariyah” (Syarhu Ushuul I’tiqaadi Ahlus Sunnah, jilid 1, hal 178), Imam Bukhari juga memandang demikian (Khalqu Af’aalil ‘Ibaad, hal 125)
Terakhir, Jika ingin dijabarkan lebih jauh kita akan menemukan perbedaan-perbedaan prinsipil antara Sunni dengan Syiah yang begitu banyak, perbedaan-perbedaan itu diungkap untuk menjaga aqidah umat Islam supaya tidak disusupi dengan aqidah yang rusak, karena jika aqidah rusak seluruh amalan tertolak. Hal ini dilakukan untuk memperjelas mana yang haq/ benar dan mana yang bathil/ salah, dan agar keduanya tak bercampur menjadi satu, bukan justru dikaburkan. Sunni dan Syiah akan bisa bersinergi untuk membangun peradaban Islam jika Syiah benar-benar berhenti menyakiti perasaan keagamaan kita. Apa  yang terjadi sekarang ini di Suriah menunjukkan bahwa jika mereka kuat tidak akan bertoleransi dengan kita.Wallahu a’lam
Oleh: Muhammad Istiqamah, Mahasiswa Semester 6 Jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh, STIBA Makassar


Oleh: Prof. Dr. Muhammad Baharun

Sejauh pengamatan saya, isu Syiah dan Ahlussunnah wal Jama’ah (selanjutnya disebut Sunnah) di Indonesia selama ini, sebenarnya tidak dipengaruhi secara langsung kondisi objektif ketegangan Sunnah-Syiah di Timur Tengah. Kasus-kasus Indonesia hakikatnya dipicu oleh provokasi buku-buku dan ceramah. 
Seperti sudah difahami, bahwa karakter Syiah sangat identik dengan kritikan terhadap para pembesar sahabat (Amirul Mukminin) dan isteri Nabi saw (Ummul Mukminin) -- yang secara terbuka sering dicerca. Prinsip doktrin yang menganggap para sahabat Nabi yang agung sebagai perampas hak kekhilafahan Ali, kemudian berujung dan berlarut-larut meneruskan tradisi kritik, kecaman, bahkan hinaan terhadap para sahabat dan istri Nabi saw. 

Kondisi alami “Syiah” seperti ini perlu dipahami, agar solusi yang diberikan pun bukan bersifat basa-basi. Apalagi, dunia semakin terbuka. Informasi semakin bebas beredar.  Ketersinggungan pihak Sunni saat ajaran-ajaran dasar dan tokoh-tokohnya dicerca juga perlu dimaklumi. Bukan hanya melihat dari aspek kebebasan beragama dan berendapat saja.  Apalagi ini berkaitan dengahn masalah agama, yang bagi kebanyakan masyarakat Muslim sudah dianggap sebagai perkara hidup-mati.
Dalam pencermatan saya yang sudah puluhan tahun mengamati dan menulis masalah Syiah di Indonesia, hampir semua kasus konflik dipicu oleh peredaran buku dan ceramah dari kalangan Syiah. Sebutlah penerbitanbuku  “Dialog Sunnah-Syiah” karangan Abdul Husain Al-Musawy, yang merupakan terjemahan dari buku aslinya “Al-Muraja’at”.Buku ini dianggap sebagai buku lama yang populer, dan konon dianggap sebagai buku yang ampuh untuk ‘menaklukkan’ Ahlu Sunnah. Ada juga buku berjudul “Sudah Kutemukan Kebenaran” (terjemahan) dan “Saqifah: Awal Perselisihan Umat”, yang menyerang keyakinan kaum Sunni. 
Yang lebih menyinggung perasaan kaum Sunni adalah banyaknya buku-buku Syiah yang mendekonstruksi ajaran-ajaran dasar Sunni, tetapi menggunakan sumber-sumber kaum Sunni. Hanya saja, setelah diperiksa,  memang ditemukan daftar pustakanya, namun setelah dicermati lebih jauh, ternyata sumber-sumber itu diselewengkan isi dan maknanya. Inilah yang membuat kaum Sunni terus menjadi cemas dan masalah ini menjadi semacam “bara dalam sekam” yang suatu ketika bisa meledak seperti kasus di Sampang, pada akhir tahun 2011. 
Setelah kasus Sampang tersebut, semua pihak, baik Sunni maupun Syiah harus berusaha mencari solusi, agar kasus serupa itu tidak terjadi.  Apalagi, As’ad Said Ali (Wakil Ketua Umum PBNU), menulis banyaknya lulusan Qum Iran, yang pulang ke Indonesia, dan kemudian mendirikan Yayasan-yayasan Syiah, melakukan mobilisasi opini publik, penyebaran kader ke sejumlah partai politik dan upaya membuat lembaga Marja’iyati Taqlid seperti di Iran menjelang revolusi. (www.nu.or.id, judul “Gerakan Syiah di Indonesia”, 30/05/2011). 
Saat mengikuti kursus PPSA XVII  Lemhannas RI, ada seorang peserta diskusi yang mengajukan pertanyaan, apakah benar Syiah bisa menerima Pancasila dan NKRI seperti Ahlu Sunnah (Aswaja) yang diwakili dua ormas besar yakni NU dan Muhammadiyah? Itu mengingat konsep imamah yang absolut tidak memungkinkan penerimaan ideologi apa pun di dunia ini, kecuali menerima keniscayaan pemerintahan model imamah
Perlu dipahami, bahwa untuk menyelesaikan atau mendamaikan masalah Syiah di Indonesia tidaklah mudah. Itu terkait dengan adanya perbedaan mendasar dalam ajaran Sunni dan Syiah. Dalam disertasi saya di IAIN Sunan Ampel  Surabaya – sudah diterbitkan menjadi buku berjudul “Dari Imamah Sampai Mut’ah” (2004), saya mengingatkan perlunya Indonesia belajar dari kasus Sunni-Syiah yang terjadi di berbagai negeri Muslim lainnya. Pada 4 Juli 2003, di Pakistan, terjadi serangan bom yang menewaskan 47 orang dan mencederai 65 orang lainnya. Berikutnya pada 2 Maret 2004, terjadi serangan yang menewaskan 271 warga Syiah dan melukai 393 lainnya. Kasus-kasus seperti ini juga terjadi  di negara-negara Muslim lainnya. 
Di samping adanya perbedaan dalam berbagai ajaran dalam soal aqidah, satu masalah yang akan menjadi problema pelik di tengah masyarakat adalah disahkannya perkawinan mut’ah (nikah temporal). Dalam nikah jenis ini, seorang wanita bisa berpasangan mut’ah dengan berbagai laki-laki. Status anak-anak dalam perkawinan jenis ini pun bisa bermasalah. Biasanya pihak Syiah akan menyalahkan Umar bin Khatab karena telah berani melarang nikah mut’ah yang pernah dihalalkan oleh Nabi saw.
Padahal, faktanya tidak demikian. Umar bin Khatab justru melaksanakan ketetapan dari Nabi sendiri. Keputusan Umar itu pun juga disetujui oleh Ali bin Abi Thalib. Sebab, Ali adalah mustasyar (penasehat) pada pemerintahan Umar. Sampai-sampai Umar pernah menyatakan, “Tanpa keterlibatan Ali, gagallah Umar.”  Nikah jenis ini mutlak haram bagi kaum Sunni dan sebagian kelompok Syiah (Zaidiyah) yang mendekati Sunni. 
Begitulah, jika kita ingin membangun ukhuwah, maka perlu diperhatikan benar masalah-masalah mendasar dalam soal keagamaan ini. Hal-hal yang menimbulkan sensitivitas pihak lain, perlu dihindari. Sebaiknya, kaum Syiah sebagai minoritas di negeri Indonesia, bisa menahan diri untuk tidak bersifat agreasif dalam menyebarkan ajaran mereka, disertai dengan menyerang dan melecehkan ajaran-ajaran pokok kaum Sunni. Faktanya, kita tidak hanya bisa mendasarkan pada aspek kebebasan semata. Mudah-mudahan umat Islam Indonesia mampu mengatasi masalah-masalah yang mereka hadapi, baik masalah eksternal maupun internal mereka. Amin. (***).

Sumber: 
Alhamdulillah, Puji syukur kepada Allah yang hanya menerima amal ibadah hamba yang aqidah dan ibadahnya sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw, Shalawat serta salam untuk sang Nabi pejuang aqidah islamiyah, Nabi yang kita yakini ajaran kebenarannya, Nabi yang kita harapkan syafaatnya kelak di hari kiamat yang tentunya didapatkan dengan izin Allah.

Sudah menjadi sunnatullah dalam kehidupan dunia ini kebenaran dan kebathilan akan terus berperang hingga pada akhirnya peperangan itu dimenangkan oleh pengusung dan pejuang kebenaran. Keduanya sudah ada sejak diciptakannya manusia dan jin yaitu Adam alaihis salam sebagai pengusung kebenaran dan Iblis sebagai pengusung kebathilan, peperangan al haq dan al bathil telah melewati masa yang panjang sepanjang umur dunia ini dengan dua cara berperang, perang hakiki dengan terjun di medang pertempuran fisik dan perang majazi yaitu perang pemikiran (Ghazwul Fikri).

Paragraf di atas ini tidaklah menjelaskan bahwa kita cinta peperangan dan perselisihan. Sungguh tidak, namun itulah sunnatullah kehidupan di dunia ini dan tidak akan ada yang dapat merubah ketetapan Allah itu. Yaitu adanya penantang-penantang kebenaran, penantang-penantang syariat agama Allah, Dan ini, bukan berarti Allah ridha akan perpecahan dan perselisihan, sama sekali tidak, ketetapan Allah yang telah menakdirkan umat Islam ini berpecah-pecah hanyalah untuk menguji kita, siapa yang bisa bertahan di tengah banyak tawaran akidah rusak itu dan ketika ia sudah mendapatkan hidayah dari Allah dengan akidah yang benar, Allah akan mengujinya apakah ia termasuk yang memperjuangkannya atau termasuk yang mengaburkannya.

Justru karena cintanya kita akan kedamaian dan persatuan untuk kebangkitan umat Islam di masa yang akan datang, kita melakukan ini, memperjuangkan kemurnian akidah yang dulu dibawa dan menjadi misi Rasulullah saw, karena kita semua yakin bahwa dua akidah yang berbeda tidak akan pernah bisa bersatu dalam satu payung agama! Apalagi tiga, empat, lima akidah yang berbeda.

Bersatu berpadu dan berukhuwah tidak mungkin dalam ranah akidah yang berbeda.

Justru akidah sempalan itulah yang mengacaukan indahnya persatuan umat Islam yang dulu di bawah satu akidah islamiyah yang benar, akidah palsu itulah yang meruntuhkan kejayaan umat Islam dan menghilangkan wibawanya di mata umat-umat yang lain.

Hidup tak akan tentram jika satu konsep keberagamaan dalam menjalani kehidupan ini tidak disepakati oleh semua pihak. Jika masing-masing sekte mempunyai cara pandang sendiri mengenai keyakinannya tentang Allah, tentang Rasulullah saw, tentang sahabat-sahabat Rasulullah saw, tentang al Quran, dan tentang semua rukun Iman dan rukun Islam bagaimana kita akan menjalani hidup dengan tentram dan damai kemudian bersatu padu dalam satu barisan memperjuangkan agama Allah?

Rasulullah saw tidak pernah menyampaikan solusi gila di tengah perbedaan tajam umat ini seperti yang ditawarkan oleh orang-orang yang mengaku cendikiawan muslim yang menginginkan penyatuan semua sekte-sekte itu tanpa melihat bagaimana akidah mereka.

Rasulullah saw pernah menyampaikan solusi yang sangat baik, solusi yang datang dari wahyu ilahi yang mengetahui kondisi umat saat ini, yang mengetahui kemaslahatan umat Islam untuk kejayaannya di masa yang akan datang.

Suatu ketika Rasulullah saw mengabarkan suatu kondisi yang akan menimpa umatnya di masa yang akan datang, beliau mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari kalangan ahlu kitab telah berpecah belah menjadi 72 golongan, sesungguhnya umat islam akan berpecah belah menjadi 73 golongan, 72 golongan tempatnya di dalam neraka dan hanya satu golongan di dalam surga, yaitu al jama’ah” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Al Hakim dan Ad Darimi). Dalam riwayat lain disebutkan, “Semua golongan tersebut tempatnya di neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para sahabatku berjalan di atasnya” (HR. Tirmidzi dan Hakim)

Ketika menyebutkan takdir dan ketetapan Allah yang beliau dapatkan informasinya dari langit yang ketujuh tidaklah dalam rangka meridhainya dan menyetujuinya. Jikalau begitu niscaya Rasulullah saw tidak memvonis 72 golongan dengan Neraka!, cobalah para cendikiawan berfikir bijak untuk kemaslahatan umat sebagaimana Rasulullah saw bersikap arif dalam masalah perpecahan ini.
Seruan dari para “cendikiawan” untuk menyatukan seluruh umat yang berkiblat ke ka’bah dalam shalatnya tanpa melihat separah dan serusak apa akidahnya adalah sama saja dengan membiarkan mereka dalam kesesatan dalam waktu yang lama, berjuanglah sebagaimana Rasulullah saw berjuang menegakkan agama ini, membersihkan manusia dari segala bentuk penyakit pemikiran dan pemahaman yang menyimpang.
Berukhuwah dengan Syiah
Syiah sebagai salah satu sekte dalam Islam tidaklah mungkin hidup berdampingan dan damai bertetangga dengan kaum Muslimin. Kaum Muslimin seluruh dunia menghormati sahabat-sahabat Nabi saw sebagai panutan mereka dalam beragama, sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulullah saw lewat hadis di atas untuk menghindari perpecahan, sedangkan Syiah menjadikan sahabat-sahabat Nabi sebagai tujuan pencaci-makian, pelaknatan dan sumpah serapah.
Jika pun seandainya terjadi,  maka ukhuwah yang akan dijalin adalah ukhuwah palsu dan persaudaraan semu dengan topeng taqiyah (sikap munafik). Tidak pernah tercatat dalam sejarah perjalanan panjang agama Islam adanya suatu komunitas kehidupan yang damai dan tentram jika berdampingan dan hidup di dalamnya orang-orang Syiah.
Nikmatullah Al Jazairi berkata, “Sesungguhnya kami tidak sama dengan mereka dalam malasah ketuhanan, tidak pula nabi, begitu pula Imam, itu karena mereka mengatakan bahwa Tuhan mereka yang Nabinya Muhammad, khalifah setelahnya adalah Abu Bakar!!!”
Ulama Syiah sendiri yang mengakui bahwa Tuhan dan Nabi kita tidak sama, itu mereka katakan karena Khalifah setelah Nabi adalah Abu Bakar.
Orang-orang Syiah sangat benci dengan sahabat-sahabat Nabi, semakin besar jasanya terhadap Nabi maka akan semakin dibenci, seperti Aisyah, istri Nabi sendiri, Abu Bakar, Umar, Utsman dan yang lainnya.
Sahabat di mata kaum Muslimin adalah generasi gemilang, generasi pertama yang mengambil tongkat estafet melanjutkan perjuangan Nabi Muhammad saw. Generasi yang telah dididik dan digodok oleh Rasulullah saw.
Menyatakan keadilan sahabat termasuk di antara akidah umat Islam, karena mencela sahabat merupakan perbutan dosa besar, di tangan merekalah Al Quran dikumpulkan, lewat kegigihan merekalah sabda-sabda dari sang Nabi tetap terjaga.
Merendahkan dan mencaci-maki mereka adalah meragukan Al Quran yang telah mereka kumpulkan dan hadis-hadis yang mereka sebarkan, Jika mereka para sahabat itu pantas dicaci dan dihina, maka bagaimana kualitas keaslian Al Quran dan hadis yang mereka bawa? Juga,  menilai sahabat dengan penilain negatif adalah mencela Allah swt yang telah memuji dan menyanjung mereka dengan pujian yang tinggi dan menjamin mereka dengan surga.
Mulut para ulama Syiah tak henti-hentinya mengeluarkan kata-kata yang keji untuk mencela sahabat-sahabat Nabi saw, Dalam kitab mereka “Miftah al Jinan” mirip “Dalail al Khairat”milik orang Sufi, tedapat wirid yang mencela keduanya, bunyinya, “Ya Allah berilah salawat kepada Rasulullah dan ahlu baitnya dan laknatlah dua berhala Quraisy, dua setan mereka, dua thagut mereka dan juga kedua anak mereka berdua” dan yang mereka maksud adalah Abu Bakar dan Umar bin Khattab, Aisyah, dan hafshah radiallahu ‘anhum.
Wirid ini sebagaimana yang dikatakan oleh Sayyid Hasan al Musawi, “Khumaini berdzikir dengannya tiap hari selesai shalat shubuh”

Ni’matullah Al Jaza’iri berkomentar tentang Amirul Mukminin, Umar, “Sesungguhnya Umar ditimpa suatu penyakit pada duburnya yang tidak dapat sembuh kecuali dengan mani laki-laki”
Ali bin Yunus al Bayadhi berkomentar tentang Utsman ra, “Sesungguhnya Utsman termasuk orang yang dipermainkan, dia termasuk khuntsa (seseorang yang mempunyai dua kelamin)”

Ibnu Rajab Al Bursi berkomentar tentang Ummul Mukminin, Aisyah, Istri Sayyidul Mursalin, “Sesungguhnya Aisyah mengunmpulkan empat puluh dinar pengkhianatan”

Kebencian orang Syiah sampai pada tahap memberi nama anjing-anjing mereka dengan nama “Abu Bakar” dan “Umar” ra, sekarang mereka membunuh di Irak sesuai dengan hawa nafsu mereka, setiap orang yang namanya Abu Bakar atau Umar atau Utsman maka akhir perjalanannya adalah pembunuhan.

Mereka sangat memuliakan Abu Lu’luah al Majusi, si pembunuh Umar, mereka juga menggelarinya dengan Abu Syuja’ (Sang Pemberani), mereka marayakan hari syahidnya (kematian) Umar, Al Qummi berkata, “Sesungguhnya hari dibunuhnya Umar bin Khattab adalah hari raya yang terbesar, hari berbangga, hari penghormatan (kepada pembunuh Umar-pent), hari penyucian yang besar dan hari keberkahan”

Dapatkah kita menerima, orang-orang yang menjadi panutan dan teladan kita itu dicaci dan dimaki oleh orang yang hidup berdampingan dengan kita sedangkan hati kita tidak panas mendengarnya? Kedamaian dan ketentraman yang bagaimanakah yang diimpikan oleh para “cendikiawan” itu?