Saturday, May 16, 2015

Iran: "Pahlawan" dunia Islam atau penjahat kemanusiaan?

“Iran ‘pahlawan’ dunia Islam?” demikian barangkali pertanyaan yang disampaikan sebagian masyarakat Iran. Betapa tidak, negeri Persia yang tampil begitu “islami” itu ternyata menimbun segunung kisah kelam yang ditutupi pemerintahnya.
Revolusi Iran memang revolusi sosial, bukan militer. Tetapi perlu kita ketahui bahwa, pasca revolusi banyak terjadi pertumpahan darah dan masalah kemanusiaan. Korbannya bukan hanya masyarakat Sunni, tapi kebanyakannya justru dari kalangan syiah sendiri.
Pasca revolusi, Khomeini menerapkan konsep wilayatul faqih (pemerintahan mulah) di Iran. Tidak semua “Grand Ayatullah” -ulama besar syiah- setuju dengan penerapan konsep ini. Beberapa Ayatullah lainnya bahkan mengalami konflik denggan Khomeini karena perbedaan pandangan politik ataupun keagamaan. Banyak di antara mereka kemudian yang ditangkap, dikenai tahanan rumah, mengalami penyiksaan, atau dimarjinalkan.
Berikut Arrahmah paparkan beberapa tokoh Grand Ayatullah yang menjadi korban kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Pemerintahan Revolusi Iran di negerinya sendiri     
Ayatullah Mohammad Kazem Shariatmadari
Mohammad Kazem lebih senior daripada Khomeini. Sebelum dieksekusi rezim Shah Iran, ia sempat membantu Khomeini dengan mengakuinya sebagai Grand Ayatullah.
Pada masa Revolusi Iran ia berbeda pandangan dengan Khomeini, di antaranya dalam hal wilayatul faqih. Ia kemudian ditangkap pada tahun 1982 dengan tuduhan terlibat rencana pembunuhan Khomeini.

Karenanya, Mohammad Kazem disiksa di penjara, dan dipaksa mengakui perbuatannya di TV. Ia dikenai tahanan rumah sampai matinya pada tahun 1986.
Ayatullah Mohammad Taher Shubayr al-Khaqani
Mohammad Taher merupakan Grand Ayatullah dari wilayah Ahwaz yang penduduknya mayoritas Arab. Ia juga menolak penerapan wilayatul faqih oleh Khomeini dan menginginkan otonomi Ahwaz.

Rumahnya kemudian diserang oleh Pengawal Revolusi. Al-Khaqani ditangkap, dikirim ke Qom, dan dikenai tahanan rumah (house arrest) di sana.
Tak ada orang yang bisa menemuinya semasa menjadi tahanan rumah. Ia meninggal dalam keadaan misterius pada tahun 1986. Demikian menurut Said Amir Arjomand, editor The Rule of Law, Islam and Constitutional Politics in Egypt and Iran, pada halaman 81.
Sayyid Hassan Tabataba’i-Qomi dan lainnya
Sayyid Hassan merupakan Grand Ayatullah dari wilayah Masyhad. Ia banyak mengkritik penerapan wilayatul faqih oleh Khomeini.

Berdasarkan Arjomand, halaman 81-82, pada tahun 1984, ia ditangkap dan dikenai tahanan rumah. Ia tetap berada dalam status tahanan rumah sampai wafatnya pada tahun 1997.
Selain tiga Grand Ayatullah di atas, terdapat banyak tahanan rumah lain yang menjadi bukti kejahatan Iran. Sayyed Mohammad Sadeq Ruhani adalah salah satunya. Ia ditahan sejak tahun 1985 sampai 1997.
Bahkan, menurut laporan organisasi Muslim Inggris Real Islam, Sayyed Mohammad Husayni al-Shirazi diduga mati dibunuh rezim Ahamad Dinejad pada 2001. Banyak pengikutnya yang ditahan dan disiksa. Beberapa tahun kemudian, anaknya juga dikabarkan mati dalam keadaan mencurigakan.
Penyiksaan tahanan perempuan
Selain menyiksa dan membunuh para tahanan rumah dari kalangan Grand Ayatullah, rezim revolusi Iran juga menahan dan menyiksa kaum perempuan. Demikian tulis Alireza Jafazadeh dalam bukunya, The Iran Threat: President Ahmadinejad and the Coming Nuclear Crisis, halaman 17.

Alireza mengatakan bahwa demi menghentikan kekejaman rezim Ahmadinejad, ia memilih hijrah ke New York untuk bekerjasama dengan kelompok-kelompok HAM yang bersimpati kepada Mujahidin E Khalq dan kepada mereka yang berusaha mengadukan kekejaman itu ke Majelis Umum PBB. Kejahatan itu sebelumnya telah diterima dan diperhatikan Komisi HAM PBB dan akhirnya diperkarakan pada Desember 1985.
Alireza dan rekan-rekannya berupaya mengadakan konferensi pers di markas besar PBB untuk para wanita tahanan politik. Mereka dilaporkan telah melarikan diri dari penjara Iran dalam keadaan penuh luka bekas penyiksaan di sekujur tubuhnya. Robbana.

Alhamdulillah, para korban yang terluka dapat dipertemukan dengan banyak elemen misi PBB. Kisah-kisah tragis mereka membuat para delegasi negara bagian dan media tercengang ngeri. Bagi Alireza, saat itu resolusi melawan rezim kejam Iran berhasil satu langkah.
Pasca Revolusi Iran, kalangan Grand Ayatullah banyak yang dijadikan tahanan rumah oleh Khomeini. Rezim keji itu juga menahan dan menyiksa kaum perempuan. Demikian tulis Alireza Jafazadeh dalam bukunya, The Iran Threat: President Ahmadinejad and the Coming Nuclear Crisis, hal 17.
Alireza mengatakan bahwa demi menghentikan kekejaman rezim Ahmadinejad, ia memilih hijrah ke New York untuk bekerjasama dengan kelompok-kelompok HAM yang bersimpati kepada Mujahidin E Khalq dan kepada mereka yang berusaha mengadukan kekejaman itu ke Majelis Umum PBB. Kejahatan itu sebelumnya telah diterima dan diperhatikan Komisi HAM PBB dan akhirnya diperkarakan pada Desember 1985.
Alireza dan rekan-rekannya berupaya mengadakan konferensi pers di markas besar PBB untuk para wanita tahanan politik. Mereka dilaporkan telah melarikan diri dari penjara Iran dalam keadaan penuh luka bekas penyiksaan di sekujur tubuhnya. Robbana.

Alhamdulillah, para korban yang terluka dapat dipertemukan dengan banyak elemen misi PBB. Kisah-kisah tragis mereka membuat para delegasi negara bagian dan media tercengang ngeri. Bagi Alireza, saat itu resolusi melawan rezim kejam Iran berhasil satu langkah.
Penyerangan dan penutupan semua universitas
Atas perintah pemimpin tertinggi konstitusi Iran, para anggota Kantor Konsolidasi Penyatuan (OCU) –Ahamadinejad sebagai salah satu anggotanya- menyerang universitas-universitas. Mereka mengumpulkan semua profesor dan mahasiswa yang tak sepakat dengan ide Khomeini. Orang-orang tak berdosa itu kemudian dipukuli dengan mengatasnamakan Revolusi kebudayaan Iran (sebagian menyebutnya Revolusi mental Iran, red.).

Banyak dari target OCU ditangkap, ditawan, dan dieksekusi. Newsweek melaporkan pada 5 Mei 1980 bahwa, sebanyak 50 mahasiswa dibunuh saat kaum fundamentalis menyerang kampus-kampus universitas di Teheran dan provinsi-provinsi lainnya.
Pertumpahan darah itu rupanya menjadi fase baru kekerasan dari Revolusi (bukan) Islam Iran. Selanjutnya, guna menyapu pergerakan mahasiswa selama periode itu, Khomeini menutup semua universitas di Iran selama tiga tahun. Subhanallah.

Ahmadinejad sendiri, menurut berbagai sumber, termasuk salah seorang agen Iran yang mendulang reputasi sebagai “orang jahat terkenal” di penjara Evin di utara Tehran. Media Mesir Al-Ahram Weekly bahkan melansir, Ahmadinejad “membangun reputasi sebagai penginterogasi ‘jahat’ yang pupuler dan diyakini telah bekerja…di penjara Evin, dimana ribuan tahanan politik disiksa dan dieksekusi pada tahun 1980-an.”
Seorang tahanan yang berhasi melarikan diri mengatakan, bahwa Ahmadinejad selalu menggunakan penutup wajah saat melakukan penyiksaan dalam interogasinya. “Setelah beberapa hari, saya dibawa ke Seksi 4. Ketika itulah saya sendiri disiksa dan diinterogasi oleh dua orang bernama ‘Fakur’, Kepala Seksi 4, dan ‘Golpa’ atau Mahmud Ahmadinejad.” Tahanan itu dapat mengidentifikasi Golpa sebagai Ahmadinejad karena ia sempat melihat wajah Ahmadinejad beberapa kali selama di penjara. “Setiap penutup mata saya yang terbuat dari kabel turun, saya mendapati Ahmadinejad bersama para penyiksa. Setiap penutup mata saya turun pula, kabel itu diikat lebih kuat lagi ke mata saya dan meneruskan penyiksaan dengan mengikatkan kabel [ke seluruh tubuh saya],” ujarnya.
Tragedi pembantaian di penjara tahun 1988
Pada akhir Juli 1988, Republik (bukan) Islam Iran mulai melakukan interogasi, penyiksaan, dan mengeksekusi ribuan tahanan politik di seluruh pelosok negeri syiah itu. Pembantaian pun berlanjut. Secara terorganisir dan terjaga kerahasiaannya, pembantaian itu secara efektif mengeliminasi semua tahanan politik yang menjadi oposisi rezim Ayatullah Khomaeni. Meskipun jumlah korban pembantaian tidak diketahui pasti, namun ribuan tahanan diperkirakan telah disiksa dan dieksekusi hanya dalam waktu satu bulan saja.

Para korban juga termasuk tahanan yang telah habis masa penjaranya, namun menolak mengubah keyakinan politiknya; orang-orang yang telah habis masa tahanan rumahnya, mereka yang ditahan dalam jangka waktu lama tapi tanpa peradilan; dan mantan tahanan terbebas yang pernah ditangkap sebelumnya. Kebanayakan dari mereka pernah dipenjara saat remaja karena dituduh melakukan tindakan ofensif ringan seperti membagikan pamflet [oposisi]. Adapun pandangan politik para tawanan sangat beragam, mulai dari Mujahidin E Khalq (Mujahidin), sampai Partai Islam Marksis yang telah melakukan upaya penggulingan Khomeini, guna mendukung Partai Tudeh, sebuah partai Marksis sekuler yang hingga 1983 pernah mendukung rezim keji.
Pembantaian dan penyiksaan tersebut bukan pertama kalinya dilakukan Republik (bukan) Islam Iran. Hanya saja pembantaian 1988 sangat “istimewa” karena memperlihatkan langkah sistematik terorganisir, yang dilakukan pada waktu sigkat dan tersebar di seluruh negeri, dengan metode manasuka dalam menargetkan korban dengan jumlah masif. Lebih “gila” lagi, rezim Khomeine melakukan semua penyiksaan dan eksekusi itu secara rahasia dan terus menyangkal bahwa peristiwa keji itu benar adanya.
Eksekusi itu dimulai dengan sebuah fatwa yang dikeluarkan Khomeini segera setelah Iran mengumumkan gencatan senjata dalam perang Iran-Iraq yang berlangsung selama 8 tahun. Fatwa itu dibuat oleh komisi yang terdiri atas 3 orang, yang menentukan siapa yang harus dieksekusi. Komisi itu dikenal para tahanan dengan sebutan “Komisi Kematian”, yang bertugas mempertanyakan keyakinan agama dan keyakinan politik tawanan. Dari jawaban tawanan, lahirlah keputusan siapa yang layak dieksekusi atau disiksa. Proses penanyaan berlangsung ringkas, dirahasiakan, dan tahanan dieksekusi dalam hari yang sama atau segera setelah hari interogasi. Kebanyakan tahanan yang tidak dieksekusi langsung disiksa secara keji.
Keluarga tahanan tidak diberi informasi apapun tentang para tahanan. Kebanyakan tahanan ditimbun di kuburan masal tanpa ada penanda nisan. Para keluarga korban yang menerima jenazah tahanan dilarang melakukan pemakaman dan hingga saat ini dilarang berduka atas mendiang tahanan. Lebih kejam lagi, rezim Khomeini bahkan baru-baru ini membuldoser kuburan masal tahanan di Khavaran, Tehran.
Saksi kebenaran pembantaian 1988
Serapat apapun rahasia pembantaian 1988 ditutup-tutupi, akhirnya terbuka juga. Adalah Ayatullah Hussein Ali Montazeri, wakil Khomaeni sejak awal Revolusi hingga 1988 membenarkan kejahatan kemanusiaan Iran.

Karena banyaknya kasus kemanusiaan selama Revolusi Iran, Montazeri akhirnya mengundurkan diri. Sejak saat itu, ia dikucilkan.
Menurut Montazeri, setidaknya ada 3800 orang dieksekusi secara rahasia pada tahun 1988. Semuanya dieksekusi akibat fatwa sesat Khomeini. Innalillaahi wainna ilaihi raaji’uun.
Semoga masyarakat Indonesia dapat memahami hakikat syiah, sebelum terlambat. Menurut penilaian rakyat Iran sendiri -baik Sunni maupun syiah- mendukung syiah saat ini berarti telah membantu Khomeini memperluas kekuasaan tiraninya mencengkram dunia.
Tentu kita tidak ingin pembantaian akibat Revolusi Iran terjadi pula di negeri kita tercinta ini bukan? Allahu yahfidz. (adibahasan/arrahmah.com)