Sunday, May 17, 2015

Kritik Hadits Menurut Tinjauan Ali Musthofa Ya’kub

Oleh: Drs. H. Suwardi, S.Ag, M.S.I. *)
ABSTRAK
      Pengertian Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur’an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
      Menurut ulama ahli hadis, sunnah adalah semua hal yang berasal dari Nabi, ‎baik perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun hal-hal yang lainya. Menurut ‎pengertian ini sunnah bisa meliputi fisik maupun perilaku Nabi dalam ‎kehidupan sehari-hari baik sebelum ataupun sesudah beliau diangkat menjadi ‎Rasul.
      Kritik hadits yang dilakukan para shahabat Nabi saw itu sudah muncul pada zaman Rasulullah saw ketika masih hidup, akan tetapi pengecekan itu dilakukan dengan tujuan menyakinkan bahwa berita atau hadits yang bersala dari Nabi saw, itu benar-benar ada dan bukan curiga terhadap pembawa berita (rawi) bahwa ia dusta.
      Fungsi dan kedudukan hadits terdapat empat hal; yaitu: 1) sebagai penjelas al-Qur’an, 2) sebagai suri tauladan bagi seorang muslim dalam perilaku hidupnya, 3) untuk ditaati dalam kehidupan sehari-hari bagi seorang muslim, 4) penetapan hukum Islam.
Kata Kunci : Kritik Hadits
BAB. I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
      Al-Hadits pada dasarnya merupakan landasan atau sumber pegangan ummat Islam kedua setelah al-Qur’an. Selain itu Hadits juga berfungsi sebagai pembimbing ummat Islam dalam keberagamannya dan hadits sebagai wahana as-sunnah adalah merupakan essensi hubungan atara sejarah, peristiwa sakral yang berlangsung pada permulaan Islam yang berasal dari Nabi Muhammad saw diinspirasi dari Tuhan di dalam maknanya tetapi secara verbal wahyu berbeda dengan al-Qur’an.
      Kerena al-hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw, maka Sejalan dengan perkembangan peradaban Islam al-hadits ini menuai beberapa kritik dari berbagai ahli hadits. Hal ini wajar saja terjadi bilamana pendapat para ahli hadits terdapat perbedaan dalam memahami dari essensi hadits itu.
      Hadist dalam pandangan beberapa ulama mempunyai arti tersendiri di mata mereka. Yang mana dalam menganalisa suatu hadist, di perlukan beberapa metode-metode yang pasti dan konkret, agar hadist yang di kaji mendapatkan tempat tersendiri. Dan dalam proses-proses pengkajian tersebut, haruslah mempunyai inti-inti dari kajian hadist itu sendiri.
      Hadist pun tak lepas dari kritik-kritik dari berbagai penjuru, baik itu dari para ahli-ahli hadist atau para mufassirun. Adapun mengenai kritik-kritik yang di sampaikan kepada para ahli hadist di maksudkan agar kandungan hadist yang mempunyai tingkat keshahihan tersebut tetap terjaga baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya.
       Dalam sejarah pula pernah mengatakan terdapat ulama Islam yang bernama Abu Hanifah yang paling banyak di kritik semasa hidupnya oleh para pengkritik hadist. Dan pernyataan tersebut di nyatakan oleh Ibnu Hibban bahwasanya hadist tersebut tidak bisa di jadikan sebagai Hujjah1. Akan tetapi Ibnu Hibban ini mendapat kritik pula dengan ulama lain, dan mengatakn bahwa Ibnu Hibban ini terlalu berlebihan dalam mengkritik hadist. Bahkan pengkritik Ibnu Hibban ini pernah menuduhnya sebagai kafir zindiq dan hampir di hukum mati.
      Adapun tokoh-tokoh pengkritik hadist lainnya ialah Ali musthafa Ya’qub. Yang mana Ali ini merupkan salah satu dari pengkritik hadist-hadist yang pernah ia pelajari. Ali mustafa ini merupakan salah satu pemikir hadist Indonesia modern. Dan Ali ini pula selain mengkritik hadist-hadist, beliau pula mengkritik para kritikus-kritikus hadist
      Untuk itu penulis akan membahas tentang kritik hadits dan bagian-bagian yang mengenai hadits, yang di dalam buku yang berjudul “Kritik Hadits” karangan Ali Musthafa Ya’qub yang semula bukan merupakan buku akan tetapi materi-materi yang ditulis dalam buku itu merupakan kumpulan dari berbagai artikel yang diterbitkan dalam majlaah Amanah yang kemudian dijadikan sebuah buku tersebut. Dan di dalam buku itu terdapat, banyak mengkaji tentang pendapat-pendapat para ahli hadits mengenai essensi hadits itu juga bagaimana pendapat para ahli hadits dikalangan orientalis mengenai hadits itu dan sebagainya.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
      Berdasarkan uraian tersebut di atas telah memberikan petunjuk, bahwa Karya tulis nâsikh dan mansûkh (Studi Kritis atas Konsep  Nâsikh–Mansûkh dalam Al-Qur’an) terjadi permasalah yang perlu ndikaji, untuk mengkaji secara mendalam, maka perlu pembatasan perumusan masalah yang akan dibahas dalam pembahasan Karya tulis ini adalah sebagai berikut:
1.Apa pengertian hadits menurut para ulama hadits?
2.Bagaimana konsep studi kritik Hadits?
3.Bagiamana kritik Hadits menurut tinjauan Ali Musthofa Ya’qub?
C. Tujuan Pembahasan
      Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan dan batasan perumusan masalah sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka tujuan pembahsan Karya tulis ini adalah :
1.Untuk menjelaskan pengertian hadits menurut para ulama hadits
2.Untuk menjelaskan Konsep Studi Kritik Hadits
3.Untuk menjelaskan  Kritik Hadits menurut Tinjauan Ali Musthofa Ya’qub
      Karya tulis yang akan dibahas tersebut disajikan untuk bahan Pendalaman Materi Al-Qur’an Hadits pada Diklat Kompetensi Guru Mata Pelajaran Al-Qur’an Hadits Kemenag Se Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta
BAB. II
KRITIK HADITS
(Tinjauan Ali Musthofa Ya’qub)
A. Pengertian Hadits Menurut Para Ulama Hadits
1. Pengertian tentang terminologi Hadis Nabawi
      Ada beberapa istilah yang perlu diketahui yaitu hadis, sunnah, atsar, dan ‎khabar. Jumhur ulama menyamakan arti hadis dan sunnah, atau dengan kata lain ‎keduanya merupakan kata sinonim (muradif). Hanya saja istilah hadis lebih sering ‎digunakan oleh ulama hadis. Sedangkan ulama ushul fiqh lebih banyak ‎menggunakan istilah sunnah ‎. Nabi sendiri menamakan ucapannya dengan sebutan ‎al-hadis untuk membedakan antara ucapan yang berasal dari beliau sendiri dengan ‎yang lain ‎. Berikut ini uraian dari beberapa istilah di atas: ‎
a. Hadis
Kata hadis secara etimologi (bahasa) berarti al-jadid (baru, antonim kata ‎qadim), al-khabar yang berarti berita dan al-Qarib (dekat). Sedangkan secara ‎terminologi hadis adalah segala ucapan, perbuatan, ketetapan dan karakter ‎Muhammad Saw setelah beliau diangkat menjadi Nabi.‎
b. Sunnah
Sunnah secara etimologi adalah perbuatan atau perjalanan yang pernah dilalui ‎baik yang tercela maupun yang terpuji ‎. Sedangkan secara terminologi sunnah ‎mempunyai pengertian yang berbeda-beda, karena ulama memberikan pengertian ‎sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing.
  • Menurut ulama ahli hadis, sunnah adalah semua hal yang berasal dari Nabi, ‎baik perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun hal-hal yang lainya. Menurut ‎pengertian ini sunnah bisa meliputi fisik maupun perilaku Nabi dalam ‎kehidupan sehari-hari baik sebelum ataupun sesudah beliau diangkat menjadi ‎Rasul. Mereka memandang Nabi adalah sosok suri tauladan yang sempurna ‎bagi umat Islam, sehingga dalam pandangan mereka segala sesuatu yang ‎berasal dari Nabi; baik yang ada kaitanya dengan hukum maupun tidak adalah ‎sunnah.‎
  • Ulama usul fiqh memberikan definisi yang hampir sama, namun mereka ‎membatasi sunnah hanya dengan yang bisa dijadikan acuan pengambilan ‎hukum. Hal ini disebabkan mereka memandang Nabi sebagai syari’ (pembuat ‎syariat) di samping Allah. Hanya saja ketika ulama usul mengucapkan hadis ‎secara mutlak maka yang dimaksud adalah sunnah qawliyah. Karena menurut ‎mereka sunnah memiliki arti yang lebih luas dari hadis, yaitu mencakup semua ‎hal yang bisa dijadikan petunjuk hukum. bukan sebatas ucapan saja.
  • Ulama fiqh mendefinisikan sunnah dengan suatu hal mendapatkan pahala bila ‎dikerjakan namun tidak sampai mendapatkan dosa bila ditinggalkan. Mereka ‎memandang Nabi saw sebagai pribadi yang seluruh perkataan dan ‎perbuatannya mengandung hukum syara’.‎
c. Khabar dan Atsar ‎
      Pengertian khabar dan atsar menurut ulama hadis adalah sama dengan hadis. ‎Namun sebagian ulama berpendapat bahwasannya sesuatu yang berasal dari Nabi ‎adalah hadis. Sedangkan yang berasal dari selain Nabi disebut khabar. Para ‎fuqaha Khurasan menyebut hadis mawquf dengan khabar dan hadis maqthu‘ ‎dengan atsar ‎. ‎
      Menurut arti bahasa khabar ialah berita ‎. Jadi, khabar memiliki arti yang ‎hampir sama dengan hadis, karena tahdits (pembicaraan) artinya tidak lain adalah ‎ikhbar (pemberitaan). Secara terminologi khabar  ada beberapa pendapat, di ‎antaranya “hadis yang disandarkan pada sahabat”, atau “segala berita yang ‎diterima dari selain dari Nabi”. Untuk terminologi khabar, peneliti lebih sepakat ‎dengan definisi yang pertama – sebagaimana juga dikemukakan oleh ulama ‎Khurasan- yaitu khabar ialah hadis yang disandarkan pada sahabat (mawquf). Hal ‎ini dimaksud untuk memudahkan klasifikasi serta untuk membedakan antara ‎khabar dengan hadis atau sunnah ‎. ‎
      Secara etimologi atsar berarti bekas atau sisa. Sedangkan secara terminologi ‎ada 2 pendapat; (1). Atsar sinonim dengan hadis (2). Atsar adalah perkataan, ‎tindakan, dan ketetapan sahabat ‎ ‎. Pendapat yang kedua ini mungkin berdasarkan ‎arti etimologisnya. Dengan penjelasan, perkataan sahabat merupakan sisa dari ‎sabda Nabi. Oleh karena itu, perkataan sahabat  disebut dengan atsar merupakan ‎hal yang wajar.‎
      Dari paparan tentang definisi hadis, sunnah, khabar dan atsar di atas, dapat ‎dilihat bahwa ada perbedaan terminologi yang digunakan oleh muhadditsin terkait ‎ruang lingkup dan sumber ke empat definisi tersebut. Hadis atau sunnah ‎memberikan pengertian bahwa rawi mengutip hadis yang disandarkan kepada ‎Rasulullah Saw (marfu‘). Sedangkan khabar tidak hanya mencakup hadis marfu‘ ‎saja tetapi juga mengakomodasi hadis mawquf (rawi hanya bersumber dari sahabat ‎saja tidak sampai pada Rasulullah). Bahkan juga yang hanya berhenti sampai ‎tingkatan tabi‘in (maqtu‘) saja. Sedangkan atsar oleh para muhadditsin lebih ‎diidentikkan hanya pada hadis mawquf atau maqtu‘ saja ‎.‎
      Untuk memudahkan pengidentifikasian hadis, maka akan lebih mudah apabila ‎istilah hadis, sunnah, khabar dan atsar dibedakan dalam pendefinisiannya. Hal ini ‎dilakukan bukan untuk mendistorsi makna dari istilah tersebut, tetapi lebih ‎dimaksudkan untuk memudahkan identifikasi. Selain itu, diharapkan akan lebih ‎mempermudah dalam memahami struktur hadis. Sehingga menurut hemat peneliti, ‎hadis dan sunnah dipergunakan adalah untuk hadis marfu‘, khabar untuk hadis ‎mawquf, dan atsar untuk hadis maqthu‘
      Pengertian Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur’an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
      Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits-haditsnya ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa’i, dan Imam Ibnu Majah.
2. Pengertian Definisi HadisMenurut Para Ahli.
      Bisa diambil suatu pertanyaan mana dalil dari hadistnya?  salah satu contoh pertanyaan yang mengandung kata hadis.. hadis adalah sebuah istilah ngga asing lagi bagi umat islam tentunya namun jika kita ditanya ma nak-anak apa itu pengertian hadis, kita bisa menjawabnya dengan benar atau tidak? malu donk lo kita orang islam ditanya ma anak-anak kita ga bisa jawabnya,,
      Setelah saya cari-cari ternyata Pengertian Definisi Hadis adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur’an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
      Namun tidak  cukup sampai distu aja,, kita juga mesti tahu jenis-jenis hadis itu sendiri karena banyak macam-macam hadis,,, dari pengumpulnya aja ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa’i, dan Imam Ibnu Majah.
B. Konsep Studi Kritik Hadits
      Meskipun demikian terlihat jeli dalam penelitiannya terhadap hadits, namun tidak dapat dipungkiri pula kapasitas Prof. Musthafa Ya’qub sebagai “pakar” hadits tetaplah belum lengkap sebagaimana yang ia akui sendiri:” Kami adalah tidak lebih dari seorang santri pinggiran yang baru belajar hadits kemarin sore” (mudah-mudahan ini sebagai ungkapan ketawaduannya). Hal ini jika dikomparasikan dengan kapasitas para ulama abad 20 ini. Sebut saja misalnya, Syeikh Nashiruddin Al-Albani, Syeikh Abdullah Bin Baz, Syeikh Ibnu Al-Utsaimin ataupun Syeikh Yusuf Qardhawi. Meskipun nama-nama para ulama tersebut juga tidak terlepas dari berbagai kesalahan sebagai manusia yang tidak ma’shum
      Namun demikian, karya tulis ini sama sekali tidaklah bermaksud membanding-bandingkan kemampuan antar individu atau bahkan menjatuhkan seseorang baik yang disebut sebagai pakar atau bahkan ulama.
      Karya tulis ini hanya akan secara singkat mengulas tentang beberapa catatan terhadap Musthafa Ya’qub sebagaimana judul besar diatas. Selain itu Karya tulis ini juga bersifat sejenis dengan aertikel atau opini yang tidak akan secara mendetail menyebutkan satu persatu sumber yang menjadi rujukan.
Musthafa Ya’qub menyebutkan beberapa hadits Nabi Saw. Yang menurut para ulama ahli hadits adalah sebagai hadits shahih tetapi bagi dia hadits-hadits berikut ini adalah sebagai hadits matruk (semi palsu) dan bahkan maudhu’ ( palsu). Hadits-hadits dimaksud adalah sebagai berikut:
  1. Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, “Ubay bin Ka’ab dating menghadap Nabi Saw. lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tadi malam ada sesuatu yang saya lakukan, maksudnya, pada bulan Ramadhan.” Nabi Saw kemudia bertanya, “Apakah itu wahai Ubay?” Ubay menjawab “Orang-orang wanita di rumah saya mengatakan bahwa mereka tidak dapat membaca al-Qur’an. Mereka meminta saya untuk mengimami shalat mereka. Maka saya shalat bersama mereka delapan raka’at, kemudian saya shalat witir.” Jabir kemudian berkata, “maka hal itu merupakan ridha Nabi Saw karena beliau tidak berkata apa-apa”Bagi Musthafa Ya’qub, Hadits ini kwalitasnya lemah sekali karena didalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Isa bin Jariyah.Hadits ini diriwayatkan oleh Ja’far bin Humaid dari Jabir bin Abdullah.Bagi Musthafa Ya’qub, hadits ini matruk (semi palsu) karena didalam sanadnya terdapat rawi Isa bin Jariyah juga.
  2. Nabi Saw. Pernah mengimami kami shalat pada suatu malam Ramadhan delapan raka’at dan witir.
  3. Rasulullah Saw. Tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selai bulan Ramadhan dari sebelas raka’at. Beliau shalat empat raka’at, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat raka’at, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga raka’at. Aisyah kemudian berkata, “Saya bertanya, :Wahai Rasulullah, apakah anda tidur sebelum shalat witir ?” Beliau menjawab, wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur tetapi hatiku tidak tidur”. (Dari Aisyah, diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmizdi, Nasa’i).
Dalam bukunya Hadits-hadits Palsu Seputar Ramadhan (hal 49-141), Musthafa Ya’qub telah melakukan beberapa kesalahan ilmiyah, yaitu : melakukan talbis dantadlis, melakukan takalluf, melakukan “pencelaan” terhadap ulama dan dapat pula disebut bahwa ia membantah dan “membodohi” dirinya sendiri.
Pada bab terpanjang dalam bukunya tersebut yaitu bab Shalat Tarawih 8 dan 20 raka’at (hal 49-75), Musthafa Ya’qub telah melakukan beberapa kesalahan berikut ini.
a). Takhrijnya, terhadap dua hadits Jabir bin ‘Abdillah diatas tentang perbuatan dan persetujuan Nabi Saw. Tentang shalat tarawih 8 raka’at.
      Ia mengatakan bahwa hadits ini sangat lemah atau semi palsu karena didalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Isa bin Jariyah seorang rawi yang sangat lemah haditsnya. Tentu kesimpulannya mengatakan hadits ini semi palsu adalah kekeliruan yang nyata, menyelisihi takhrijnya para ahli hadits (tidak hanya sebagai pakar); walaupun hal itu boleh saja jika memang benar.
b).  Kekeliruan dalam melakukan Jarh dan Ta’dil terhadap seorang rawi.
      Kesimpulannya terhadap Isa bin Jariyah bahwa ia adalah rawi yang matruk yaitu pendusta yang dituduh berdusta ketika meriwayatkan hadits, tentu juga merupakan sebuah kekeliruan. Karena tidak ada ulama ahli hadits yang men-Jarh (mencela) Isa bin Jariyah sebagai pendusta, bahkan memberikan ta’dil (pujian) walaupun pujian dalam nilai yang rendah. Seperti yang dikatakan oleh Abu Zuhrah kepada Isa bin Jariyah: Laa Ba’tsa Bihi (tidak mengapa dengan riwafa Ya’qubyatnya).Selain Abu Zuhrah, al-Hafizh Ibnu Hajar sebagai salah seorang dari Amirul Mukminin Fil Haditsjuga mengatakan di dalam kitabnya Taqribut Tahdzib: “Fiihi Layyin (padanya terdapat kelemahan)”. Satu bentuk jarh (celaan) yang ringan, yang haditsnya dapat terangkat menjadi hasan kalau ada syahidnya bahkan bisa naik lagi menjadi shahih kalau adasyawahidnya. Dan kenyataannya bahwa hadits Isa bin Jariyah telah memiliki syahiddari hadits ‘Aisyah riwayat Bukhari dan Muslim sehingga terangkatlah menjadi haditshasan lighairihi.
  1. Ia menolak hadits ‘Aisyah diatas sebagaisyahid (penguat) bagi riwayat Jabir di atas, yang dengannya riwayat Jabir diatas yang derajatnya dha’if naik menjadi hasan lighairihi
  2. Kekeliruan terakhir Musthafa Ya’qub dalam buku tersebut adalah ia juga menyatakan bahwa hadits Aisyah tersebut bukanlah untuk shalat tarawih, tetapi untuk shalat witir. Jika demikian halnya maka seolah-olah ia lebih faqih dariAmirul Mukminin Fil Hadits. Karena Imam al-Bukhari menyebutkan hadits Aisyah tersebut di dalam 000kitab Shahihnya dalam bab shalat tarawih (no. 2013). Padahal dalam shalat tarawih itu sendiri terdapat shalat witir, sehingga kedua shalat ini adalah hal yang berbeda.
      Selain beliau tidak mengakui hadits-hadits diatas sebagai dalil untuk melaksanakan shalat tarawih, beliau juga melakukan kesalahan dengan menggunakan dalil qiyam ramadhan berikut ini sebagai pembolehan melaksanakan tarawih sampai seratus raka’at. “Nabi tidak membatasi jumlah raka’at shalat malam ramadhan. Mau sepuluh raka’at silakan. Mau dua puluh raka’at silakan. Mau seratus raka’at silakan”
C. Kritik Hadits menurut Tinjauan Ali Musthofa Ya’qub
1. Kritik Hadits dalam Perspektif Sejarah
      Pengecekan hadits yang dilakukan para shahabat Nabi saw itu sudah muncul pada zaman Rasulullah saw ketika masih hidup, akan tetapi pengecekan itu dilakukan dengan tujuan menyakinkan bahwa berita atau hadits yang bersala dari Nabi saw, itu benar-benar ada dan bukan curiga terhadap pembawa berita (rawi) bahwa ia dusta. Dan hal inilah yang diakui sebagai cikal-bakal timbulnya kritik hadits (’Ilm Naql al-Hadits) yang belakangan ini berkembang menjadi salah satu cabang ilmu-ilmu hadits yang berjumlah 93 cabang.
      Kritik hadits yang dilakukan para shahabat nabi pada masa itu dilakukan pada hakekatnya adalah kritik terhadap materi hadits (Naqd matan al-Hadits) seperti yang dulakukan oleh Siti A’isyah r.a dengan versi Umar bin Khattab tentang ”Mayat itu akan disiksa karena ditangisi oleh keluarganya”. Tentang hadits itu menuai kontrofersi yang akhirnya melahirkan cabang ilmu yang baru yaitu Ikhtilaf al-Haditsyaitu ilmu yang menjelaskan hadits-hadits yang kontroversial.
      Selain itu juga ada kritik terhadap sanad hadits yang bermula muncul pada peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan. Segaimana ucapan Abdullah bin al-Mubarak (w. 181 H) menyatakan bahwa; sistem sanad itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari agama Islam.
2. Kajian Hadits dikalangan Orientalis
      Orang-rang Barat yang telah mempelajari Islam diantaranya; jerbert de Oraliac (1938-1003 M), Adelard of Bath (1070-1135 M), Pierre Le Venerable (1094-1156 M), Gerard de Gremona (1114-1187 M), Leonardo Fibonacci (1170-1241 M), dll. Diantara mereka yang telah berhasil menerjemahkan al-Qur’an dalam Bahasa Latin yang dibantu 2 orang Arab selesai pada tahun 1143 M. Dan ini merupakan terjemah al-Qur’an yang pertama kali dalam sejarah.2
      Menurut Prof. Dr. M.M. Azami, sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian tentang hadits adalah Ignaz Goldziher (1850-1921 M) dengan buku yang berjudul Muhammadanische Studien (Studi Islam) yang kemudian ± 60 tahun setelah buku itu, Joseph Schacht menerbitkan penelitian hadits yang berjudul ”The Origins of Muhammadan Jurisprudence” yang menyimpulkan bahwa ”tidak ada satupun hadits yang otentik dari Nabi saw khusunya hadits-hadits yang berkaitan dengan Hukum Islam”. Kemudian kedua buku tersebut oleh orang-orang orientalis dibuat sebagai ”kitab suci” (kitab rujukan dalam penelitian tentang hadits di Barat).
      Dari kajian tentang hadits yang dilontarkan kedua tokoh barat tersebut di atas ternyata setelah ditelusuri oleh beberapa Ulama ahli hadits diantaranya; Prof. Dr. Musthafa al-Siba’i (Guru Besar Universitas Damskus) dalam bukunya al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami (1949 M), Prof. Dr. Mohammad Ajjaj al-Khatib dalam bukunya al-Sunnah qabla al-Tadwin (1964 M), keduanya secara terpisah telah menyanggah argumen-argumen Goldziher. Dan ketiga Prof. Dr. Muhammad Musthafa Azami (Guru Besar Ilmu Hadits Universitas King Saud Riyadh) dalam bukunya Studies is Early Hadith Literature (1967), secara komprehenship membantah teori-teori Orientalis tentang Hadits Nabawi, terutama Goldziher dan Schacht.
3. Ignaz Goldziher dan Kritik Hadits
      Ignaz Goldziher adalah orientalis Hungaria yang dilahirkan dari kalangan Yahudi pada tahun 1850 M. Ia belajar di Budapest, Berlin dan Lipzig. Pada tahun 1873 ia pergi ke Syiria dan belajar pada Syeikh Tahir al-Jazairi, kemudian pindah ke Palestina, lalu ke Mesir dimana ia belajar dari sejumlah ulama al-Azhar yang kemudian pada akhirnya ia diangkat sebagai guru besar di Universitas Budapest. Ignaz Goldziher meninggal dunia pada tahun 1921 M.
      Menurut Prof. Dr. M.M. Azami, sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian tentang hadits adalah Ignaz Goldziher (1850-1921 M) dengan buku yang berjudul Muhammadanische Studien (Studi Islam) dengan kesimpulan bahwa; ”apa yang disebut hadits itu diragukan otentisitasnya sebagai sabda nabi saw”. Karena pada dasarnya Ignaz melakukan penelitian hadits adalah menggunakan metode kritik matan saja.
4. Teori ”Projecting Back” Joseph Schacht
      Joseph Schacht adalah orang Jerman yang lahir pada 15 Maret 1902 M. Ia menyelesaikan gelar Doktor pada tahun 1923 M. Kemudian pada tahun 1925 ia diangkat menjadi Dosen di Universitas Fribourg yang pada akhirnya 4 tahun kemudian ia dikukuhkan sebagai Guru Besar (umur 27 tahun). Pada tahun 1954 ia meninggalkan Inggris dan mengajar di Universitas Lieden Negeri Belanda sampai tahun 1959. kemudian ia pindah ke Universitas Colombia New York dan meninggal dunia tahun 1969.
      Karya tulisannya yang paling monumental diantaranya ”The Origins of Muhammadan Jurisprudence” tahun 1950, kemudian yang kedua adalah ”An Introduction to Islamic Law” tahun 1960 dalam dua karyanya inilah ia menyajikan hasil kajiannya tentang Hadits Nabawi. Dimana dalam teori ”Projecting Back” Schacht dalam mengkaji Hadits Nabawi lebih banyak menyoroti aspek sanad (tansmisi, silsilah keguruan) dari pada aspek matan (materi hadits).
      Adapun kitab-kitab yang dipakai ajang penelitian adalah kitab al-Muwattha’ karya Imam Malik, kitab al-Umm dan ar-Risalah karya Imam Syafi’i. Dengan hasil kajiannya terhadap kitab-kitab hadits nabawi tersebut menyimpulkan bahwa; Hadits Nabawi terutama yang berkaitan dengan Hukum Islam adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga hijriyah. Sementara rekonstruksi terbentuknya Hadits menurut Schacht adalah ”dengan memproyeksikan pendapat-pendapat itu kepada tokoh-tokoh dibelakang (Projecting Back).
5. Azami Meruntuhkan Teori Hadits Orientalis
      Muhammad Musthafa Azami dilahirkan di kota Mano India Utara tahun 1932. gelar Doktor ia sandang pada tahun 1964 dengan disertasi Studies in early Hadith Literature with A Critical Edition of Some Early (Kajian tentang Literatur Hadits Masa Dini dengan Kritikal-Edit Sejumlah Naskah Kuno). Ia merupakan pakar Muslim yang pertama kali melakukan penghancuran besar-besaran terhadap teori-teori orientalis dalam kajian hadits.
      Dalam disertasinya, Azami telah menepis teori orientalis Ignaz Goldziher dan Schacht, Azami dalam menepis teori orientalis tersebut adalah dengan cara penelitian khusus tentang hadits-hadits Nabawi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik, diantaranya Naskah milik Suhail bin Abu Shalih, Abu Shalih (ayah Suhail) murid Abu Hurairah shahabat Nabi saw.
      Disamping itu Azami juga telah melakukan pelurusan pemahaman tentang hadits yang semula tidak pernah ditulis pada masa nabi saw yang katanya orang yang pertama menulis hadits adalah Ibnu Syihab al-Zuhri. Padahal menurut penelitian Azami membuktikan bahwa tidak kurang dari 52 shahabat memiliki naskah-naskah catatan Hadits, demikian pula tidak kurang dari 247 Tabi’in juga memiliki hal serupa.
6. Urgensi Hadits dalam Agama Islam
Para ulama ahli hadits maupun fuqaha sepakat bahwa fungsi dan kedudukan hadits terdapat empat hal; yaitu 1) sebagai penjelas al-Qur’an, 2) sebagai suri tauladan bagi seorang muslim dalam perilaku hidupnya, 3) untuk ditaati dalam kehidupan sehari-hari bagi seorang muslim, 4) penetapan hukum Islam.
7. Ingkar-Sunnah
a. Ingkar sunnah Klasik
      Seorang tokoh generasi Tabi’in, Imam al-Hasan (w 110 H) menuturkan, ”ketika sahabat nabi Imran bin Husain (w 52 H) sedang mengajarkan hadits, tiba-tiba ada seorang memotong pembicaraan beliau. ”Wahai Abu Juaid”, demikian orang itu memanggil Imran, ”Beilah kami pelajaran al-Qur’an saja”. Lalu Imran meminta orang tersebut maju ke depan, setelah beliau itu bertanya; ”Tahukah anda, seandainya anda dan kawan-kawan anda hanya al-Qur’an saja, apakah anda dapat menemukan dalam al-qur’an bahwa shalat Dhuhur itu empat rakaat, dan shalat ashar itu empat rakaat, dan maghrib tiga rakaat?
       Petikan peristiwa tersebut merupakan cikal-bakal munculnya paham yang menolak hadits sebagai salah satu sumber Syari’at Islam, yang kemudian lazim dikenal dengan ingkar sunnah. Paham inkar-sunnah klasik kebanyakan masih merupakan pendapat perorangan dimana hal itu muncul akibat ketidaktahuan mereka tentang urgensi Sunnah, sementara lokasinya umumnya di Iraq, khusunya Bashrah.
b. Ingkar sunnah Modern
      Paham ingkar-sunnah ini muncul lagi pada abad keempat belas hijri di Cairo Mesir akibat dari pengaruh pemikiran kolonialisme yang ingin melumpuhkan Dunia Islam. Paham ini lahir ketika masa Syeikh Muhammad Abduh (1266-1323 H). Abu Rayyah menuturkan bahwa Syeikh Muhammad Abduh berkata; ”Umat Islam pada maa sekarang ini tidak mempunyai imam (pemimpin) selain al-Qur’an, dan Islam yang benar adalah Islam pada masa awal sebelum terjadinya fitnah (perpecahan)”. Beliau juga berkata, ”Umat Islam sekarang tidak mungkin bangkit selama kitab-kitab ini (maksudnya kitab-kitab yang diajarkan di al-Azhar dan sejenisnya) masih tetap diajarkan. Umat Islam tidak mungkin maju tanpa dengan semangat yang menjiwai umat Islam abad pertama, yaitu al-Qur’an. Dan semua hal selain al-Qur’an akan menjadi kendala yang menghalangi antara al-Qur’an dan ilmu serta amal
c. Argumentasi Ingkar-Sunnah
      Sebagai suatu paham atau aliran, ingkar-sunnah baik klasik maupun modern mempunyai argumen-argumen yang dijadikan pegangan mereka. Adapun argumen-argumen ingkar-sunnah diantaranya; 1) agama Islam harus berlandaskan di atas pondasi yang konkret dan pasti, 2) al-Qur’an juga dhanni, 3) al-Qur’an sudah lengkap, 4) pilih-pilih ayat dalam al-Qur’an 5) Mengubah tatacara Ibadah, 6) Umat Islam salah, 7) penulisan hadits.
8. Penulisan Hadits Pada Masa Nabi SAW
      Al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) adalah orang yang paling banyak melakukan kajian terhadap hadits-hadits tentang penulisan hadits pada masa nabi saw dalam bukunya yang berjudul Taqyid al-’Ilm (Penulisan Hadits). Al-Baghdadi menuturkan; ada tiga buah hadits yang melarang penulisan hadits, masing-masing diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri, Abu Hurairah dan Zaid bin Tsabit. Dari ketiga jalur ini, yang dapat dipertanggung jawabkan otentitasnya hanya satu yaitu hadits yang dari Abu Sa’id al-Khudri yang berbunyi ”janganlah kalian menulis sesuatu dari padaku, siapa yang menulis sesuatu darai padaku selain al-Qur’an, hendaknya ia menghapusnya”.
      Disamping itu hadits yang mengizinkan untuk menulis hadits ada delapan buah, antara lain; pada waktu kota Makkah dibebaskan (Fath Makkah). Para ulama sepakat menempuh cara metode jamak, yaitu menggabungkan pengertian kedua versi hadits tersebut di atas dengan alternatif sebagai berikut; 1) larangan penulisan hadits itu telah dihapus (Naskh) dengan hadits-hadits yang mengizinkan penulisan hadits, 2) larangan penulisan hadits itu berlaku apabila dilakukan dalam satu lembar kertas bersama-sama al-Qur’an, karena bila ini terjadi dikhawatirkan al-Qur’an akan tercampur dengan hadits.
9. Kitab-kitab Hadits Masa Awal Islam
      Pada saat dahulu belum ada sebuah karangan hatits dalam bentuk buku, namun bentuknya adalah shahifah, nuskhah. Namun pada saat itu ada shahabat nabi yang bernama Abdullah bin ’Amr bin al-’Ash ( 7 SH – 65 H), beliau sudah memberikan nama shahifahnya dengan nama al-shadiqah. Beliau memperoleh izin dari nabi saw untuk menulis hadits-haditsnya. Menurut Ibnu Katsir kitab tersebut memuat seribu buah hadits, tetapi menurut sumber lain hanya memuat lima ratus buah hadits saja.
      Disamping kitab tadi ada juga kitab al-shahifah al-shahihah karya Hammun bin Munabbih salah satu tokoh dari kalangan Tabi’in (40-131H). Apabila hadits telah ditulis pada masa nabi saw atas izin dan anjuran beliau, maka para pakar ilmu hadits berpendapat bahwa paruh pertama dari abad kedua hijri merupakan masa pembukuan kembali hadits secara besar-besaran. Seperti Suhail bin Abu Shalih juga telah menulis hadits yang telah ditemukan dalam bentuk manuskrip (tulisan tangan) pada tahun 1966 oleh Muhammad Musthafa Azami di perpustakaan al-Dhahiriyah Damaskus Syiria.
10. Metodologi Pembukuan Hadits
      Sejak masa nabi saw sampai kira-kira pertengahan abad kedua hijri, pembukuan hadits masih sangat sederhana. Penulisan hadits pada masa itu masih didasarkan pada guru yang meriwayatkan hadits kepada penulis kitab (metode juz’) yang secara kebahasaan diartikan bagian. Disamping itu ada juga metode athraf yang berarti pangkal-pangkal, yang dalam ilmu hadits adalah pembukuan dengan menyebutkan pangkalnya saja sebagai petunjuk matan hadits selengkapnya.
      Sampai kira-kira pertengahan abad kedua hijri, belum ada metode lain yang digunakan dalam pembukuan hadits. Maka hal ini disebut metode tahwib(klasifikasi hadits berdasarkan topiknya). Metode klasifikasi ini pada tahap perkembangannya menjadi sebuah metoda, yang akhirnya muncul pembukuan hadits dengan berbagai metode, diantaranya; metoda muwatta, metoda mushannaf, metoda musnad, metoda jami’, metoda mustakhraj, metoda mustadrak, metoda sunan, metoda mu’jam, metoda majma’, dan metoda zawaid.
11. Studi Sanad dalam Literatur Hadits
      Sistem sanad ini merupakan spesifik umat Islam, umat-umat sebelumnya tidak memiliki sistem ini. Seandainya umat Islam tidak memiliki sistem sanad, tentulah al-Qur’an dan ajaran-ajaran nabi saw sudah mengalami nasib seperti ajaran nabi sebelumnya. Karenanya dengan meneliti sanad dapat diketahui apakah silsilah rawi-rawi itu bersambung sampai kepada nabi saw atau tidak. Disamping itu dengan sanad juga dapat diketahui masing-masing rawi dapat dipertanmggung jawabkan pemberitaannya atau tidak, dan dapat pula untuk mengetahui hadits yang diriwayatkan itu shahih, hasan, atau dha’if bahkan maudhu’.
12. Mendeteksi Otentisitas Hadits
      Para ulama klasik maupun kontemporer mengatakan bahwa sebuah hadits dapat disebut shahih (otentik) apabila memenuhi empat sayarat, yaitu; 1) diriwayatkan dengan sanad (transmisi) yang muttashil (berkesinambungan) dari rawi terakhir yang membukukan hadits sampai kepada Nabi saw. sebagai sumber hadits, 2) para rawi itu terdiri dari orang-orang yang memiliki sifat ’adil dan dhabit. 3) hadits tersebut tidak mengandung unsur syadz (janggal atau asing), 4) hadits tersebut tidak mengandung unsur ’illah (cacat atau penyakit).
      Adapun cara untuk mengetahui seorang perawi itu disebut dhabit adalah dengan cara mencocokkan atau memperbandingkan hadits-hadits yang diriwayatkannya dengan hadits-hadits lain, atau membandingkan dengan al-Qur’an. Hal seperti itu dapat dilakukan melalui enam metode perbandingan hadits, yaitu;
  1. Memperbandingkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah shahabat Nabi, antara yang satu dengan yang lain.
  2. Memperbandingkan hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi pada masa yang berlainan.
  3. Memperbandingkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang berasal dari seorang guru hadits.
  4. Memperbandingkan suatu hadits yang sedang diajarkan oleh seorang dengan hadits semisal yang diajarkan oleh guru lain.
  5. Memperbandingkan antara hadits-hadits yang tertulis dalam buku dengan yang tertulis dalam buku lain, atau dengan hafalan hadits.
  6. Memperbandingkan hadits dengan ayat al-Qur’an.
      Hal semacam itu, dalam memperbandingkan atau mencocokkan hadits tadi, dalam ilmu hadits di sebut mu’aradhah atau muqaranah. Para ulama disamping menggunakan metode-metode tersebut di atas juga menggunakan metode ”kritik Akal” (al-Naqd al-Aqli). Penggunaan metode ini dapat dilakukan dengan langkah sebagai berikut;
  1. Ketika rawi menerima hadits.
  2. Ketika rawi mengajarkan hadits
  3. Ketika menilai kredibilitas rawi
  4. Ketika menilai otentisitas hadits.
13. Menyesatkan, Dikotomi Hadits Ahad-Mutawatir
      Secara kebahasaan, kata ahad adalah sinonim dengan kata wahid artinya satu. Dalam terminologi ilmu hadits, hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan satu orang atau lebih dalam setiap jenjang (tabaqah) periwayatannya, dan jumlah itu tidak mencapai jumlah periwayat yang ditentukan dalam hadits mutawatir. Jelasnya hadits ahad itu diriwayatkan dari Nabi saw oleh satu orang (shahabat) atau lebih, kemudian dari mereka hadits itu diriwayatkan oleh satu orang (tabi’in, murid shahabat) atau lebih, dan demikianlah seterusnya, namun jumlah mereka dalam setiap jenjangnya tidak mencapai jumlah yang ditentukan dalam hadits mutawatir.
      Sedangkan mutawatir dalam sudut pandang kebahasaan adalah berturut-turut. Menurut terminologi dalam ilmu hadits, Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang banyak jumlahnya secara berturut-turut dalam setiap jenjangnya dimana mustahil menurut situasi saat itu mereka melakukan persekongkolan untuk mendustai Nabi saw.
      Para ulama hadits, tidak pernah mengatakan bahwa hadits-hadits ahad tidak dapat dijadikan dalil dalam masalah-masalah aqidah, tetapi yang mereka katakan adalah bahwa hadits shahih, hasan adalah menjadi hujjah (dalil) dalam ajaran Islam, baik masalah aqidah, syari’ah maupun akhlaq. Sedangkan hadits dha’if tidak dapat menjadi hujjah dalam masalah aqidah, syari’ah, dan hanya dapat dipakai dalam masalah fadh’il al-’amal (amal-amal kebajikan) dengan syarat-syarat tertentu.
      Prinsip itu sebenarnya sudah dipakai oleh para shahabat semenjak nabi saw masih hidup. Dalam menerima hadits nabi saw mereka tidak pernah memilah-milahkan hadits menjadi ahad dan mutawatir.
      Dari kajian tentang hadits yang dilontarkan kedua tokoh barat mengenai otentisitas hadits, ternyata setelah ditelusuri oleh beberapa Ulama ahli hadits diantaranya; Prof. Dr. Musthafa al-Siba’i (Guru Besar Universitas Damskus) dalam bukunya al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami (1949 M), Prof. Dr. Mohammad Ajjaj al-Khatib dalam bukunya al-Sunnah qabla al-Tadwin (1964 M), keduanya secara terpisah telah menyanggah argumen-argumen Goldziher. Dan ketiga Prof. Dr. Muhammad Musthafa Azami (Guru Besar Ilmu Hadits Universitas King Saud Riyadh) dalam bukunya Studies is Early Hadith Literature (1967), secara komprehenship membantah teori-teori Orientalis tentang Hadits Nabawi, terutama Goldziher dan Schacht.
      Abdullah bin ’Amr bin al-’Ash (7 SH – 65 H), adalah salah satu sahabat yang telah menulis sebuah buku tentang hadits dengan pada shahifahnya dengan nama al-shadiqah.
BAB. III
Penutup
A. Kesimpulan
      Dari kajian tentang kritik hadits tinjauan Al- Musthofa Ya’qub tersebut diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
  1. Para ulama ahli hadits maupun fuqaha sepakat bahwa fungsi dan kedudukan hadits terdapat empat hal; yaitu 1) sebagai penjelas al-Qur’an, 2) sebagai suri tauladan bagi seorang muslim dalam perilaku hidupnya, 3) untuk ditaati dalam kehidupan sehari-hari bagi seorang muslim, 4) penetapan hukum Islam.
  2. Penulisan hadits pada masa itu masih didasarkan pada guru yang meriwayatkan hadits kepada penulis kitab (metode juz’) dan ada juga metodeathraf. Kemudian pada perkembangannya muncul pembukuan hadits dengan berbagai metode, diantaranya; metoda muwatta, metoda mushannaf, metoda musnad, metoda jami’, metoda mustakhraj, metoda mustadrak, metoda sunan, metoda mu’jam, metoda majma’, dan metoda zawaid.
  3. Para ulama klasik maupun kontemporer mengatakan bahwa sebuah hadits dapat disebut shahih (otentik) apabila memenuhi empat sayarat, yaitu; 1) diriwayatkan dengan sanad (transmisi) yang muttashil (berkesinambungan) dari rawi terakhir yang membukukan hadits sampai kepada Nabi saw. sebagai sumber hadits, 2) para rawi itu terdiri dari orang-orang yang memiliki sifat ’adil dan dhabit. 3) hadits tersebut tidak mengandung unsur syadz(janggal atau asing), 4) hadits tersebut tidak mengandung unsur ’illah (cacat atau penyakit).
 B. Saran
  1. Untuk memudahkan pengidentifikasian hadis, agar para ulama hadits menjelaskan secara lengkap dan singkat, maka akan lebih mudah apabila ‎mengistilahkan hadis, sunnah, khabar dan atsar dibedakan dalam pendefinisiannya. Hal ini ‎dilakukan bukan untuk mendistorsi makna dari istilah tersebut, tetapi lebih ‎dimaksudkan untuk memudahkan identifikasi. Selain itu, diharapkan akan lebih ‎mempermudah dalam memahami struktur hadis. Sehingga menurut hemat peneliti, ‎hadis dan sunnah dipergunakan adalah untuk hadis marfu‘, khabar untuk hadis ‎mawquf, dan atsar untuk hadis maqthu‘
  2. Dalam kritik hadits yang dilakukan para shahabat nabi pada masa itu dilakukan pada hakekatnya adalah kritik terhadap materi hadits (Naqd matan al-Hadits) seperti yang dulakukan oleh Siti A’isyah r.a dengan versi Umar bin Khattab tentang ”Mayat itu akan disiksa karena ditangisi oleh keluarganya”.Tentang hadits itu menuai kontrofersi yang akhirnya melahirkan cabang ilmu yang baru yaitu Ikhtilaf al-Hadits yaitu ilmu yang menjelaskan hadits-hadits yang kontroversial. Maksud dari kritik hadits yang dilkukan agar tidak yang berbentuk qauliyah tetapi yang berbentuk kauniyahnya atau penerapannya saja agar tidak terjadi bias.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Musthafa Ya’qub,Hadis-hadis Palsu Seputar Ramadhan, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. 4, 2007, hal 52-6
Abu Ubaidah,Syaikh Al-Albani Dihujat, Jakarta, Pustaka ‘Abdullah, tt, hal. xxiv
Abu Ubaidah,Syaikh Al-Albani Dihujat, hal. xxv-xxix
Mustahaf Ya’qub,Hadis-hadis Palsu……,  54
Abdurrahman Badawi, Mausu’ah al-Mustasyriqin, Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1989.
Al-Suyuti, Jalal al-Din, Tadrib al-Rawi, Editor ’Abd Wahab ’Abd al-Latif, Cairo: Dar al-Fikr, t.th.
Mahmud al-Tahhan, Tafsir Masthalah al-Hadits, Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1979.
Muhammad Musthafa Azami, Studies in Early Hadith Literature, Indiana: American Trust Publication, Indianapolis, 1978.
Muhammad Musthafa Azami, Dirasat fi al-Hadits al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, Beirut: al-Maktab al-Islami, 1980.
Muhammad Musthafa Azami, Manhaj al-Naqd ‘India al-Muhadditsin, Riyadh: Syirkah al-Tiba’ah al-‘Arabiyah al-Su’udiyah, 1982.
Nur al-Din, Manhaj al-Naqd fi ’Ulum al-Hadits, Damaskus: Dar al-Fikr, 1981.
Ya’qub, Ali M., Kritik Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.