Sunday, May 3, 2015

Sampai Kapan Rezim Assad Akan Bertahan di Suriah?

Belakangan ini, militer Suriah telah mengalami sederetan kekalahan dari kelompok oposisi yang kembali memperoleh energi mereka. Pihak militer saat ini sedang berjuang untuk mengisi kekosongan personil di barisan pasukannya. Pasalnya, keluarga-keluarga Suriah yang pro-pemerintah sekalipun, ramai-ramai menolak pengiriman anak-anak mereka ke unit-unit tempur di garis depan. Keluarga-keluarga itu beralasan karena anak-anak mereka tidak dilengkapi dengan senjata yang memadai.
Perkembangan situasi ini menimbulkan pertanyaan berapa lama lagi rezim Presiden Bashar Assad akan mampu bertahan?
“Grafik kemajuan rezim Assad cenderung menurun dan akan menjadi lebih buruk,” kata seorang pejabat senior AS di Washington yang berbicara dengan kondisi anonim saat mendiskusikan dokumen rahasia penilaian intelijen. Namun demikian, ia memperingatkan bahwa banyak hal belum mencapai fase “titik didih”.
Menurunnya kekuatan militer rezim Bashar Assad memaksa pemerintah untuk lebih mengandalkan para milisi pendukung mereka baik yang berasal dari Suriah maupun asing terutama Hizbullah, sebuah kelompok Syiah Lebanon yang bersekutu dengan Iran.
Menurut informasi sejumlah tentara Suriah, dan juga keterangan pejabat senior AS dan Suriah yang mempunyai hubungan dekat dengan upaya stabilisasi dan keamanan, saat ini, Syiah Hizbullah banyak memimpin dan bahkan mengendalikan langsung pertempuran di berbagai tempat yang membuat marah sejumlah perwira Suriah. Kebanyakan orang-orang Suriah yang diwawancarai meminta untuk dirahasiakan namanya karena khawatir terhadap ancaman atas diri mereka.
Mujahidin Suriah tengah shalat di Jisr Sughur pada Sabtu.
Mujahidin Suriah tengah shalat di Jisr Sughur pada Sabtu.
Pada bulan ini, pasukan pemerintah mengalami kekalahan telak serta melarikan diri dari area-area pertempuran yang selama ini dianggap oleh para pejabat pemerintah sebagai indikator kemampuan negara (rezim) untuk melakukan pertahanan.
Pejuang oposisi telah mengambil alih propinsi dan Kota Idlib, ibukota propinsi di wilayah utara, dan juga menguasai sepanjang garis perbatasan dengan Yordania di wilayah selatan. Upaya kontra-ofensif oleh rezim telah gagal, dan kemajuan oposisi yang terjadi pada minggu ini mendorong koalisi antar mereka yang semakin kohesif menjadi lebih dekat ke kantong-kantong pertahanan rezim di wilayah pesisir barat yang menghadap laut Mediterania. Koalisi tersebut terutama terdiri dari kelompok-kelompok Islamis termasuk JN (Jabhah Nusrah) yang merupakan afiliasi al-Qaidah di Suriah.
Tekanan untuk Assad
Di seluruh wilayah negeri ditemukan banyak indikasi yang memberi tekanan terhadap pemerintah, namun kondisi itu sangat kontras dengan kepercayaan diri Assad yang ditampilkan di depan publik. Baru-baru ini, pemerintah memecat dua orang kepala badan intelijen dari empat badan intelijen yang ada, setelah kedua kepala intelijen tersebut saling berseteru, akhirnya salah satu kepala intelijen itu tewas oleh pengawal kepala intelijen rivalnya.
Para pejabat di ibukota propinsi seperti Aleppo dan Dara’a sebelumnya juga telah membuat rencana untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan dengan cara menyimpan uang tunai dan barang-barang antik serta mengevakuasi warga sipil. Cadangan devisa yang mencapai $30 milyar di awal perang, kini telah menyusut hanya sekitar $1 milyar.
Kericuhan yang sudah terjadi saat ini di propinsi wilayah pesisir adalah ketegangan antara penduduk setempat dan pejabat lokal dengan para pendatang baru dari Idlib. Beberapa orang mengatakan para pejabat telah mengusir mereka.
Di Damaskus tengah, pos-pos checkpoint menjadi lebih sedikit dengan jumlah staf yang semakin berkurang. Sementara para milisi pro-rezim banyak yang dikirim untuk berperang di daerah pinggiran karena para pemuda banyak yang menghindar dari tugas militer.
Bahkan di beberapa area yang dihuni oleh minoritas seperti sekte Druse di selatan, Kristen Assyria di utara, dan Ismailiyah di Hama. Mereka khawatir terhadap kelompok Islamis seperti JN dan ISIS, dan banyak dari mereka yang mengirim anak-anak laki-laki mereka ke luar negeri untuk menghindari wajib militer, atau tetap membiarkan anak-anak itu supaya bisa menjaga keamanan desa-desa mereka.
Hal itu mempercepat transformasi pada pasukan rezim Suriah yang tadinya ter-sentralisasi berubah pola menjadi seperti kelompok oposisi yang terdiri dari gabungan antara pejuang lokal dan asing yang memiliki prioritas dan kepentingan yang tidak selalu sama.
Kehilangan Kedaulatan
Menurut sumber pejabat senior AS di Washington, empat tahun lalu tentara Suriah berjumlah sekira 250.000 orang. Dan sekarang, karena berbagai sebab seperti telah menjadi korban perang ataupun desersi, jumlah mereka menjadi sekitar 125.000 orang tentara reguler, ditambah 125.000 anggota milisi pro-pemerintah termasuk para milisi yang berasal dari Iraq, Pakistan, dan Hazara Afghanistan yang dilatih oleh Iran. Namun, militer Suriah tidak selalu memikul tanggung jawab pertempuran, terutama saat Syiah Hizbullah sebagai kelompok milisi asing yang memiliki pelatihan dan persenjataan terbaik ikut terlibat.
“Di setiap tempat yang ada Hizbullah, komando berada di tangan mereka,” kata anggota keamanan Suriah. Ia melanjutkan, “Jika anda mau melakukan sesuatu, anda harus meminta izin dulu kepada mereka”.
Hal itu, katanya, menimbulkan rasa sakit hati di kalangan para pejabat senior bidang keamanan, mengingat bahwa di era Hafiz Assad (ayah Bashar Assad) kelompok Hizbullah pendukung Iran tersebut hanya sebagai sekutu junior bagi Suriah.
Militan Syiah Hizbullah
Militan Syiah Hizbullah

Menurut pejabat senior AS, para pejabat Amerika kini sedang mencoba mengotak-atik segala kemungkinan bagaimana memanfaatkan hasil akhir ketegangan antara para komandan militer Suriah dengan kelompok Hizbullah.
Menanggapi hal itu, seorang pejabat lokal simpatisan Hizbullah berkilah bahwa musuh-musuh mereka sedang berusaha memanfaatkan ketegangan yang terjadi antar kelompok yang saling bersekutu, dan juga antar saudara sendiri di rumah yang sama. Tapi, menurutnya hal itu tidak akan berhasil. “Bahkan jika Hizbullah bertempur sendirian, warga Suriah akan setuju”, kata pejabat tersebut dengan kondisi anonim saat berdiskusi masalah internal mereka.
Ia mengumpamakan, ”Hizbullah adalah satu-satunya batu yang akan menolong untuk membangun rumah”.
Tetapi beberapa pihak lainnya melihat kedaulatan Suriah telah jatuh ke tangan Iran. Iran membutuhkan Suriah sebagai saluran untuk mempersenjatai Hizbullah. Seorang ahli masalah Suriah, Charles Lister di The Brookings Doha Center di Doha mengatakan bahwa Iran yang dibantu oleh Hizbullah dan para milisi lainnya sedang mendirikan negara di dalam negara (Suriah) sebagai kebijakan jaminan untuk melindungi dirinya dalam menghadapi kemungkinan kejatuhan rezim Assad di masa datang.
Ali, seorang prajurit berusia 23 tahun yang sedang cuti di Damaskus setelah bertempur di front selatan mengatakan bahwa salah satu komandannya seorang perwira berpangkat mayor mengeluhkan betapa setiap pejuang Hizbullah apapun posisinya dianggap lebih penting daripada seorang jenderal Suriah.
Lalu, ada kecemburuan di antara mereka ketika para pejuang Hizbullah dibayar dengan dolar sementara tentara Suriah dibayar dengan uang Suriah yang nilainya sudah anjlok. Milisi Hizbullah difasilitasi dengan mobil-mobil baru beserta daging dan beras, sementara tentara Suriah cuma diberikan truk-truk buatan Rusia yang sudah penyok beserta roti yang sudah basi.
Seorang mahasiswa yang baru-baru ini meninggalkan Damaskus mengatakan bahwa Hizbullah saat ini menguasai daerah sekitar di area Kota Tua. Ia bercerita, Syiah Hizbullah juga pernah membantu masalah yang terjadi antara saudaranya dengan pasukan keamanan. Di sepanjang perjalanan, mahasiswa itu selalu ditanya di setiap pos checkpoint untuk membuktikan bahwa dirinya bukan seorang desertir. Polisi juga terlihat semakin jarang sehingga banyak warga yang secara terbuka mengisap ganja.
Ia berkata, “Jika anda punya koneksi dengan Hizbullah, masalah anda akan mudah diselesaikan”. Mahasiswa itu tak mau menyebutkan identitas aslinya dan mengaku bernama Hamed al-Adem untuk melindungi anggota keluarganya yang masih berada di Damaskus.
Meskipun demikian, Hizbullah juga bukan dalam posisi untuk membantu Bashar Assad saat mereka mengirim ratusan pejuangnya menyerang basis mujahidin di Qusayr pada tahun 2013.
Menurut para pejabat intelijen Amerika, saat ini Hizbullah punya lebih banyak petempur dan penasehat di Suriah daripada sebelumnya, yaitu sebanyak 5.000 orang. Tetapi, menurut keterangan anggota keamanan Suriah itu bahwa Hizbullah hanya terlibat di beberapa area yang terkait dengan kepentingan mereka saja.
Pejabat simpatisan Hizbullah itu mengatakan mungkin Hizbullah memiliki ribuan pejuang di sepanjang perbatasan dengan Lebanon, ratusan pejuang di selatan yang berbatasan dengan Israel, dan hanya ada beberapa lusin yang tersebar di sekitar Aleppo. Di Kota Idlib mereka tidak punya pejuang, dan diperkirakan kota itu akan jatuh karena para perwira militer Suriah salah perhitungan.
Anggota keamanan Suriah itu menjelaskan bahwa para pemimpin mereka tidak punya prioritas untuk mempertahankan Idlib. Banyak tentara pemerintah yang melarikan diri setelah pejuang oposisi dan mujahidin menghancurkan jaringan komunikasi mereka, lalu kemudian meneriakkan “Allahu Akbar” di masjid-masjid.
“Damaskus dan wilayah pesisir Suriah, dan wilayah-wilayah lainnya dianggap tidak ada yang penting,” ujarnya saat menilai kepemimpinan Assad, “Ia tidak peduli meskipun seandainya Suriah ini hancur.”
Wajib Militer
Seorang tentara yang sudah lama berdinas mengatakan bahwa saudara sepupunya menelpon ibunya dari dalam parit-parit perlindungan untuk mengucapkan selamat tinggal. Tentara tersebut yang juga kehilangan paman dan sepupunya dalam pertempuran sangat marah saat mendengar ada 10 orang di sana yang ditembaki karena minimnya kendaraan untuk membawa mereka.
“Jika saya punya anak, saya tidak akan mengirimnya menjadi tentara”, katanya mengeluhkan gajinya yang hanya bisa untuk menutupi kebutuhan sepuluh hari. Lanjutnya,”Kenapa harus terbunuh atau disembelih?”
Di Suweida yang dihuni oleh sekte Druse yang pro-pemerintah, Abu Tayem seorang aktifis Druse mengatakan,”Di setiap rumah paling tidak ada satu orang laki-laki yang dicari untuk mengikuti wajib militer”.
Pekan lalu, ia mengatakan, setelah salah seorang temannya ditangkap karena menghindari wajib militer, para penduduk lalu menyerang para perwira militer dan menangkap salah seorang dari mereka untuk kemudian ditukar dengan tahanan temannya itu. Pada saat ini, pemerintah berusaha merekrut pasukan Druse untuk dilatih Hizbullah, tetapi sebagian mundur setelah mendengar kabar bahwa mereka akan diminta untuk memerangi orang-orang Sunni di wilayah tetangga di Dara’a.
Fayez Korko, seorang pria berusia 48 tahun mengatakan ia membantu mengorganisir milisi Assyiria di wilayah timur laut setelah para penduduk desa menyimpulkan bahwa janji pemerintah untuk melindungi mereka hanyalah omong kosong. Ia menyebut pemerintah dengan sebutan “yang terbaik di antara yang paling buruk”, namun ia mengatakan bahwa orang-orang Assyiria memilih mati mempertahankan desa-desa mereka ketimbang mati di front yang lebih jauh.
Peristiwa seperti jatuhnya Idlib, bagi anggota keamanan Suriah tersebut merupakan sesuatu yang membuat frustrasi bahkan bagi kalangan pendukung utama pemerintah, yaitu kelompok minoritas Alawiyyin yang juga merupakan sekte Assad sendiri. Padahal, selama ini mereka memiliki peran sangat tidak wajar dalam dinas kemiliteran pemerintah.
Kini, mereka mulai meragukan kemampuan Assad untuk melindungi mereka, sementara selama ini mereka telah bertaruh dengan mendekat ke rezim untuk mempertahankan eksistensi mereka. Demikian menurut seorang anggota sekte Syiah Alawiyyin (Nushairiyyah). Lalu ia melanjutkan pernyataannya tentang Bashar Assad,”Suriah itu bukan anda, dan anda bukan Suriah.”
Alih bahasa: Yasin Muslim
Sumber: Newyork Times