Sunday, May 17, 2015

Sejarah Penulisan hadits Masa Rasulullah Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallam dan Shahabat Radhiyallahu'Anhu

Oleh: Lukman Ma'sa

Muqaddimah
Tidak dapat disangkal lagi bahwa kegiatan tulis menulis dan juga kegiatan pendidikan di dunia Islam telah berlangsung sejak zaman Nabi SAW masih hidup. Ini dapat dilihat dengan adanya bukti-bukti bahwa ketika nabi masih hidup, para sahabat banyak yang mencatat hal-hal yang diimlakan beliau kepada mereka. Ada juga sejumalah sahabat yang menyimpan surat-surat nabi atau salinannya. Hudzaifah r.a. menutukan bahwa Nabi meminta dituliskan nam orang-orang yang masuk Islam, maka Hudzaifah menuliskannya sebanyak 1500 orang. Selain itu ada juga aturan registrasi nama orang-orang yang mengikuti perang.[1]
Bahkan seperampat abad sesudah Nabi wafat, di Madinah sudah terdapat gudang kertas yang berhimpitan dengan rumah Utsman bin Affan. Dan menjelang akhir abad pertama pemerintah pusat membagi-bagi kertas kepada para gubernur.[2]
Rasulullah SAW yang menjadi kepala negara Madinah semenjak tahun pertama Hijriyah hidup di tengah-tengah masyarakat sahabat, para sahabat bisa bertemu dengan beliau secara langsung tanpa adanya birokrasi yang rumit seperti sekarang ini. Rasulullah SAW bergaul dengan mereka di masjid , di pasar, ruma dan dalam perjalanan.
Segala ucapan perbuatan dan kelakuan Rasulullah SAW-yang kita kenal sabagai hadits[3] – akan menjadi ushwah bagi para sahabat r.a. dan mereka akan berlomba-lomba mewujudkannya dalam kehidupan mereka. Tidak dapat kita sangkal bahwa tidak semua sahabat mendengar satu hadis secara bersamaan, sehingga ada sahabat yang menuliskan hadits dalam shahifah agar tidak tercecer, seperti shahifah Abdullah bin Amru bin Ash.
Bagaimana hal ini bisa terjadi sementara hadits dari Abu Said al Khudri meyebutkan
”Jangan kalian tulis apa yang kalian dengar dariku, barangsiapa yang menuliskan selain dari al-Qur’an, hendaklah dihapus”.(H.R. Muslim)
Dan ternyata setelah Rasulullah SAW meninggal dunia sahifah-sahifah berisi hadits-hadits Rasullah SAW seperti sahifah Sa’ad Ibnu Abu Ubadah, Sahifah Jabir Ibn Abdullah, Samurah Ibn Jundab dan yang lainnya[4]. Bahkan Muhammad Mustafa Azami PhD menulis dalam tesis doktoralnya yang berjudul Studies in Early Hadits Literature bahwa sejak awal pertama hijriyah buku-buku kecil berisi hadits telah beredar[5].
Walaupun ada sahifah-sahifah berisi hadits-hadits Rasulullah SAW, kodifikasi hadits ini tidak dilakukan secara formal seperti halnya al-Qur’an sampai abad pertama Hijriyah berlalu, padahal bisa saja para sahabat mengumpulkan hadits-hadits shahih dan mensarikannya dalam sebuah kitab. pengarang fajrul Islam memberi komentar
Mungkin hal itu juga terpikirkan oleh sebagian mereka, tetapi pelaksanaannya amat sukar. Sebab mereka tahu sewaktu Nabi SAW wafat jumlah sahabat yag mendengarkan dan meriwatkan dari beliau 114.000 orang. Setiap orang masing-masing mempunya satu, dua hadits seringkali nabi mengatakan sebuah hadits di hadapan segolongan sahabat yang tidak didengar oleh golongan lain[6].
Adapun dalam perkembangan penulisan hadits telah dicoba mengelompokkannya kedalam beberpa periode, seperti yang dirumuskan oleh M Hasbi Asyiddiqi yang membagi kedalam beberaa periode pada masa Nabi dan sahabat, yaitu  pada abad pertama, M Hasbi Asyiddiqi membagi menjadi tiga periode[7].
1. Periode Pertama (Masa Rasulullah SAW) 
Pada periode pertama para sahabat langsung mendengarkan dari Rasulullah SAW atau dari sahabat lain, karena para sahabat tersebar di penjuru negri, ada yang di Dusun, dan ada yang di kota. Adakalanya diterangkan oleh istri-istri rasul seperti dalam masalah kewanitaan dan rasulullah SAW juga memerintahkan para sahabat untuk menghapal dan menyebarkan hadits-haditsnya diantara sabda beliau yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim
”Dan ceritakanlah dariadaku, tidak ada keberatan bagimu untuk menceritakan apa yang kamu dengar daripadaku. Barang siapa yang berdusta terhadap diriku, hendaklah ia bersedia menempati kedudukannya di neraka.”
Perlu diketahui bahwa dalam menyampaikan hadits dilakukan dengan dua cara :
1.     Dengan lafadz asli, yakni menurut laafadz yang mereka dengar dari rasulullah Saw.
2.     Dengan makna saja, yakni hadits tersebut disampaikan dengan mengemukakan makna saja, tidak menurut lafadz seperti yang diucapkan Nabi. 
Kecuali itu, pada masa Rasulullah SAW sudah ada catatan hadits-hadits beliau seperti Abdullah bin Amru, dan pernah suatu waktu Rasulullah SAW berkhutbah, setelah seorang dari yaman datang  dan berkata. ”Ya Rasulullah tuliskanlah untukku”,tulislah Abu Syah ini.”[8]
Kembali kepada pelarangan Rasulullah SAW dalam penulisan hadits. Tujuan Rasulullah adalah agar al-Qur’an tidak bercampur dengan apapun, termasuk erkataan beliau sendiri. Ketika menemukan ternyata ada sahifah-sahifah berisi hadits pada masa Rasulullah SAW kita tidak akan berani mengatakan bahwa para sahabat menghiraukan perintah Rasulullah SAW. Setelah diteliti ternyata ada hadits yang menyatakan bolehnya penulisan hadits, seperti sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan Abu Daud;
”Tulislah, maka jiwaku yang berada ditangan-Nya tidaklah keluar dari mulutku kecuali kebenaran”
Hadits ini terlihat kontradiktif dengan hadits sebelumnya, berikut ini adalah pendapat para ulama untk mengkomromikan kedua hadits ini;
1.Bahwa larangan menulis hadits itu, telah dimansukh oleh hadits yang memerintahkan menulis
2.Bahwa larangan itu bersifat umum, sedang untuk beberapa sahabat khusus diizinkan
3.Bahwa larangan menulis hadits ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan mencampur adukannya denga al-Qur’an, sedangkan keizinan menulis ditujukan kepada mereka yang dijamin tidak akan mencampuradukannya.
4.Bahwa larangan itu dalam bentuk kodifikasi secara formal seperti mushaf al-Qur’an, sedang untuk diakai sendiri tidak dilaarang.
5.Bahwa larangan itu berlaku pada saat wahyu-wahyu yang turun belum dihafal dan dicatat oleh para sahabat, setelah dihafal dan dicatat, menulis hadits diizinkan.
2. Periode Kedua (Masa Khalifah Rasyidah)
Pada masa erintahan Abu Bakar r.a. dan Umar r.a., pengembangan hadits tidak begitu pesat, hal ini disebabkan kebijakan kedua khalifah ini dalam masalah hadits, mereka menginstruksikan agar berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Bahkan khalifah Uimar r.a dengan tegas melarang memperbanyak periwayatan hadits. Hal ini dimaksudkan agar al-Qur’an terpelihara kemudiannya dan ummat Islam memfokuskan dirinya dalam pengkajian al-Qur’an dan penyebarannya.
Hakim meriwayatkan; pernah suatu malam Abu Bakar r.a merasa bimbang sekali, pagi harinya ia memanggil putrinya Aisya r.a dan meminta kumpulan hadits yang ada padanya lalu Abu Bakar membakarnya.
Lain halnya ada masa khalifah Utsman dan Ali r.a, mereka sedikit memberi kelonggaran dalam mengembangkan hadits tetapi mereka masih sangat berhati-hati agar tidak bercampur dengan al-Qur’an, Khalifash Ali r.a, melarang penulisan selain al-Qur’an yang sesungguhnya ditujukan untuk orang-orang awam, karena beliau sendiri memiliki sahiofah yang berisi kumpulan hadits.[9]
3. Periode Ketiga ( Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar)
Setelah berakhirnya masa pemerintahan Ali r.a, ummat Islam dilanda fitna besar, dimana mereka terpecah menjadi 3 golongan; Golongan pendukung Ali (syi’ah), golongan pendukung Muawiyah dan golongan Khawarij.
Dalam perkembangannya golongan-golongan ini mulai memalsukan hadits dengan tujuan membenarkan golongan mereka dan menjatuhkan golongan lain. Hal ini mendorong para sahabat dan tabi’in lebih berhati-hati dalam meriwatkan dan mengumpulkan hadits. Tapi walau bagaimanapun belum ada kodifikasi secara formal.
Abad pertama seluruhnya mencakup masa sahabat, sebab sahabat-sahabat yang banyak meriwayatkan hadits meninggal pada abad pertama Hijriyah ini, walaupun ada yang meninggal sesudah itu. Tidak dipungkiri bahwa pada abad pertama penulisan hadits yang dilakukan oleh tabi’in juga sudah ada. Oleh karena itu perlu dipisahkan antara hadits-hadits yang di tulis oleh para Sahabat dan hadits-hadits yang ditulis oleh Tabi’in. Dalam pembahasan ini akan dikhususkan pada tulisan para Sahabat.
Disini akan dituliskan nama-nama sahabat, serta kegiatan mereka berkenaan dengan penulisan hadits, serta tahun mereka lahir dan kapan wafatnya. Hal ini penting kita ketahui dalam pembahasan sejarah penulisan hadits.
1.     Abu umamah al-Bahili
Nama aslinya Shudai bin ’Ajlan, RA (10 SH - 81 H). Beliau termasuk yang berpendapat membolehkan penulisan hadits. Hadits-hadits beliau ditulis oleh al-Qasim al-Syami.[10]
1.     Abu Ayyub al-Ansari
Nama aslinya Khalid bin Zaid, RA. (w. 52 H) beliau menulis beberapa hadits Nabi dan dikirimkan kepada kemanakannya, seperti yang dituturkan dalam kitab Musnad Imam Ahmad[11]. Cucu beliau, yaitu Ayyub bin Khalid bin Ayyub al-Ansari juga meriwayatkan 112 hadits. Yang biasanya hadits yang banyak semacam ini dalam lembaran-lembaran(shahifah).
1.     Abu Bakar al-Siddiq, RA. ( 50 SH – 13 H)
Dalam suratnya kepada Anas bin Malik, gubernur Bahrain, Abu Bakar mencantumkan beberapa hadits tentang wajibnya membayar zakat bagi orang-orang Islam[12]. Abu bakar juga berkirim surat kepada ’Amr bin al-’Ash, dimana dalam surat itu dicantumkan beberapa hadits Nabi[13].
1.     Abu Bakrah al-Tsaqafi
Nama sebenarnya Nufa’i bin Masruh (w. 51 H). Beliau menulis surat kepada anaknya yang menjadi hakim di Sijistan, dimana beliau mencantumkan beberapa hadits berkaitan dengan peradilan[14].
 Abu Rafi, Mantan Sahaya nabi SAW.
Beliau wafat sebelum tahun 40 H. Abu Bakr bin Abd Rahman mengatakan, ia diberi kitab oleh Abu Rafi’ yang berisi hadits-hadits tentang pembukaan shalat[15]. Hadits-hadits dari Abu Rafi’ ditulis oleh Abdullah bin ’Abbas; seperti yang dituturkan Salma, ia melihat Abdullah bin Abbas membawa papan-papan untuk menulis hadits-hadits amaliah Nabi dari Abu Rafi’[16].
1.     Abu Sa’id al-Khudri
Nama aslinya Sa’ad bin malik, RA, (w. 74 H). Beliau dekenal sebagai orang yang melarang murid-muridnya untuk menulis hadit-hadits daripadanya. Tetapi beliau menulis hadits untuk dirinya sendiri, sebagaimana dikutip al-Khatib al-Bagdadi dalam kitab Taqyyid al-’Ilm bahwa belai berkata ”Saya tidak menulis apapun selain al-Qur’an dan tasyahhud[17].
1.     Abu Syah, orang dari Yaman
Ketika Rasulullah SAW menaklukkan kota Makkah, beliau berpidato, lalu Abu Syah memohon kepada Rasulullah agar isi pidato itu dituliskan untuknya. Maka Rasulullah bersabda, ”Tuliskanlah untuk Abu Syah...”[18].
1.     Abu Musa al-Asy’ari
Nama aslinya Abdullah bin Qais, RA (w. 42 H). Konon beliau menentang penulisan hadits Nabi. Tetapi beliau menulis surat kepada Abdullah bin Abbas dengan mencantumkan beberapa hadits nabi[19].
1.     Abu Hurairah, RA (19 SH – 59 H)
Belaiu adalah tokoh orang-orang yang hafal hadits. Pada awalnya Abu hurairah tidak memiliki kitab hadits, tetapi pada masa-masa belakangan beliau menuturkan bahwa beliau mempunyai kitab-kitab hadits, seperti dalam kisah yang diriwayatkan oleh Fadlbin ’Amr bin Umayyah al-Dlamri[20].
1.     Abu Hind al-Dari, RA
Hadits-haditsnya ditulis oleh Ma,khul[21].
1.     Ubai bin Ka’ab bin Qais al-Anshari, RA (w. 22 H)
Beliau adalah tokoh sahabat ahli qira’at. Hadits-hadits beliau ditulis oleh Abu al-’Aliyah Rufai’ bin Mahran dalam sebuah naskah (buku) besar. Hadits-haditsnya menyangkut masaalah penafsiran al-Qur’an[22].
1.     Asma binti ’Umais, RA (w. Sesudah 40 H)
Semula beliau adalah istri Ja’far bin Abu Thalib, lalu menikah dengan Abu bakar, kemudian dengan Ali bin Abi Thalib. Dan dari ketiga suami tersebut beliau melahirkan putra-putra. Beliau nenyimpan sahifah yang berisi hadits-hadits Nabi[23].
1.     Usaid bin Hudhari al-Ansari, RA
Beliau wafat pada masa Khalifah Marwan bin al-Hakam. Beliau menulis hadits-hadits Nabi, keputusan-keputusan hukum yang yang ditetapkan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman. Tulisan beliau itu dikirimkannya keada Marwan[24].
1.     Anas bin Malik, RA. (10 SH – 93 H)
Beliau adalah seorang imam, pembantu Nabi dan ahli hadits, sangat pandai menulis. Dalam beberapa riwayat bahwa Anas bin Malik mempunyai banyak kitab. Abu Hubairah berkata, ”Apabila Anas bin Malik hendak mengajarkan haditsnya dan ternyata jumlah muridnya banyak sekali, beliau membawakan kitab-kitabnya, kemudian berkata ”ini adalah hadits-hadits yang saya dengar dari rasulullah SAW, saya menulisnya dari beliau dan kemudian saya perlihatkan kembali kepada beliau[25].
1.     al-Bara’ bin Azib, RA. (w. 72 H)
Murid-murid beliau menulis hadits di hadaan beliau. Seperti keterangan Waki’, ia diberitahu Ayahnya, dari Abdullah bin Hansy, katanya: “Saya melihat para murid itu menulis dengan kayu dan alas tas-tas yang biasa ditaruh di punggung hewan di kediaman al-Bara”[26].
1.     Jabir bin Samurah, RA. (w. 74 H)
Beliau menulis hadits kemudian mengirimkannya kepada ’Amir bin Saad. Kata Amir bin Sa’ad, ”Saya menulis surat kepada Jabir dibawah oleh budakkuyang bernama Nafi’, agar saya diberitahu hal-hal yang ppernah didengarnya dari Rasulullah. Maka Jabir membalas suratku seraya menyebutkan Hadits-hadits Nabi”[27].
1.     Jabir bin Abdillah bin Amr bin Haram, RA. (16 Sh – 78 H)
Beliau adalah sahabat yang wafat paling akhir di Madinah, disamping sebagai penulis buku pada masa-masa awal. Beliau mempunyai kitab tentang masalah haji yang kemudian ditulis kembali oleh Imam Muslim[28].
1.     Jarir bin Abdullah al-Bajali, RA. (w. 54 H)
Beliau menulis hadits dan mengirimkannya akepada Mu’awiyah. Seperti yang dituturkan oleh Abu Ishaq bahwa Jarir bin Abdullah termasuk rombongan yang dikirim ke Amernia. Mereka ditimpa kekurangan pangan. Lalu Jarir menulis surat kepada Mu’awiyah dimana disebutkan, ”Saya mendengar rasulullah bersabda, ”Barang siapa tidak kasih sayang kepada sesama manusia, maka Allah tidak akan mengasihinya”[29].
1.     Hasan bin Ali, RA. (3 – 50 H)
Beliau pernah beresan keada orang-orang yang tidak kuat hafalannya agar menulis hadits. Beliau juga menyimpan fatwa-fatwa Ali yang terhimpun dalam satu sahifah[30].
1.     Rafi’ bin Khadij al-Ansari, RA ( 12 H – 74 H)
Beliau menyimpan hadits-hadits Nabi yang tertulis di atas kulit[31].
1.     Zaid bin Arqom (w. 66 H)
Beliau menulis hadits dan mengirimkannya kepada Anas bin Malik. Dalam surat itu Zaid mengatakan, ”saya akan menyampaikan kabar yang menggembirakan dari Allah untukmu.yaitu saya mendengar Rasulullah SAW berdo’a,”wahai Allah, ampunilah dosa orang – orang anshor dan anak-anaknya”[32].
1.     Zaid bin Tsabit Al- Anshori, RA (w 45 H )
Beliau ahli qira’at dan menjadi sekertaris Nabi. Zaid terbukti menulis Hadits-hadits Nabi, sebagaimana beliau menulis juga menulis pendapat-pendapatnya sendiri misalnya dalam masalah kakek ( dalam hukum waris ), Zaid menulis hal itu kepada Umar bin Khatthab atas permintaan Umar. Tulisan Zaid itu termasuk buku yang pertama kali ditulis dalam masalah faraid[33].
1.     Subai’ah al-Aslamiyah
Beliau adalah  istri Sa’ad bin Kaulah. Meriwayatkan hadits dari nabi SAW. Beliau juga menuliskan hadit untuk para Tabi’in.
1.     Sa’ad bin Ubadah al-Anshari, Sayyid al-Khazraj, RA. (w. 15 H)
Sejak masa Jahiliyah beliau sudah aktif menulis. Beliau juga memiliki kitab-kitab yang kemudian diriwayatkan oleh beberaa anggota keluarganya. Bahwa didalam kitab-kitab Sa’ad bin Ubadah terdapat keterangan bahwa Raslullah SAW mengadili perkara dengan sumpah ditambah saksi[34].
1.     Salman al-Farisi, RA (w. 32 H)
Beliau menuliskan hadits-hadits Nabi untuk Abu Darda[35].
1.     al-Sa’ib bin Yazid, RA (2 – 92 H)
salah seorang murid beliau, yaitu Yahya bin Sa’id menulis sejumlah hadits yang berasal dari beliau, dan dikirimkannya kepada Ibn Lahi’ah. Ibn Lahi’ah sendiri menuturkan bahwa Yahya bin Sa’id mendengar sendiri hadiots-hadits itu dari al-Sa’ib bin Yazid[36].
1.     Samurah bin Jundub, RA (w. 59 H)
Beliau menghiompun hadits-hadits Nabi dalam bentk buku. Beliau juga menulis hadits kepada putranya damana dicantumkan banyak hadits-hadits Nabi.[37]
1.     Sahl bin Sa’ad al-Sa’idi al-Anshari, RA (9 SH – 91 H)
Hadits-hadits beliau diriwayatkan oleh putranya Abbas, al-Zuhri, dan Abu Hazim bin Dinar. Abu Hazim mengumpulkan hadits-hadits Sahl bin Sa’ad al-Sai’i, kemudian putranya Abu Hazim meriwayatkan hadits-hadits itu[38]
1.     Syaddad bin Aus bin Tsabit al-Anshari, RA. (17 SH-58 H)
Beliau adalah ahli fiqih, Saddad bin Aus mengimlakan haditsnya kepada sejumlah pemuda. Beliau berkata ”Saya akan memberitahu tentang hadits yang diajarkan Nabi SAW kepada kita untuk waktu beergian dan di rumah. Lalu beliau mengimlakannya.[39]
1.     Syamghun al-Anshari, Abu Raihana, RA.
Beliau termasuk tokoh penduduk Damaskus, dan orang pertama yang melipat sahifah yang lebar untuk menulis hadits mudraj dan maqlub. Urwah al-â’ma, hamba sahaya bani Sa’ad, menuturkan, pada waktu Abu Raihana naik perahu, beliau membawa sahifah-sahifah hadits.[40]
1.     al-Dhahhak bin Sufyan al-Kilabi, RA.
Rasulullah SAW mengirimkan surat kepada al-Dhahhak dan memerintahkan agar istri Asyim al-Dhababi diberi warisan dari diyat(denda pembunuhan) suaminya. Kemudian al-Dhahhak menulis surat keada Umar bin Khattab, menerangkan hadits tersebut.[41]
1.     al-Dhahhak bin Qais al-Kilabi, RA. (wafat terbunuh tahun 64 H atau 65 H)
Beliau menulis surat untuk Qais bin Haitsman seraya menyebutkan beberapa hadits Nabi.[42]
1.     Umm al-Mu’minin ’Aisyah binti Abu Bakar al-Siddiq, RA. (w. 58 H)
Beliau adalah wanita yang sangat cerdas sangat paham al-Qur’an sunnah dan perkara agama lainnya. Beliau bersama Rasulullah sejak umur 9 tahun sehingga beliau banyak meriwayatkan hadits yang jumlahnya mencapai 2210 buah hadits. Beliau pandai membaca dan sering menerima surat dari orang-orang yang menanyakan sutu masalah dalam agama.[43]
1.     ’Abdullah bin Abu Aufa, RA. (w. 86 H)
Beliau adalah Sahabat Nabi yang wafat aling akhir di Kufa. Ada beberapa murid beliau yang menuliskan hadits dari beliau ataupun ada yang memintakan agar dituliskan hadits.[44]
1.     ’Abdullah bin al-Zubair, RA. (2 - 73 H)
Beliau menulis surat kepada salah seorang hakimnya yang bernama Abdullah bin Utbah bin Mas’ud, seraya mencantumkan sebuah hadits Nabi.[45]
1.     ’Abdullah bin ’Abbas, RA. (3 SH - 68 H)
Beliau sangat alim, sampai disebut tintanya ummat islam. beliau menulis hadits-hadits Nabi dan terkadang menyuruh hamba-hambanya untuk menulis hadits.[46]
1.     ’Abdullah bin ’Umar bin al-Khattab, RA(10 SH - 74 H)
Beliau adalah alim, dan selalu melakukan hal-hal yang dilakukan Rasulullah baik hal yang kecil maupun yang besar. Dalam surat-suratnya beliau menulis hadits-hadits Nabi. Beliau juga memiliki buku-buku hadits serta mempunyai naskah kitab sadaqah milik Umar bin Khattab, yang ternya itu adalah naskah kitab sadaqah Nabi SAW.[47]
1.     ‘Abdullah bin ’Amr bin al-Ash, RA. (27 SH - 63 H)
Beliau banyak menuliskan hadit-hadits Nabi, mengimlakan haditsnya kepada muridnya. Dan menulis sebuah sahifah tentang maghazi (kisah peperangan Nabi SAW.[48]
1.     ‘Abdullah bin Mas’ud al Hadzali, (w.32 H)
Beliau ahli fiqih yang ulung, diutus ke Kufah sebagai guru dan wazir. Beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa beliau menulis hadits adalah Juwaibir dari al-Dhahhak dari Abdullah bin mas’ud, katanya “Ketika Nabi masih hidup, saya tidak menulis hadits kecuali hadits tentang tasyahhud dan istikharah. Dan juga diriwayatkan bahwa Abd Rahman bin Abdullah bin Mas’ud pernah memerlihatkan sahifah dan ia bersumpah bahwa sahifah itu tulisan tangan ayahnya.[49]
1.     ‘Utban bin Malik al-Anshari, RA. (wafat pada masa Mu’awiyah RA)
Beliau dipersaudarakan dengan Umar bin Khattab. Anas bin Malik pernah menyuruh putranya agar menulis hadits yang diriwayatkan Utban bin Malik.[50]
1.     ’Ali bin Abi thalib, RA. (23 SH - 40 H)
Beliau adalah hakimnya ummat Islam, termasuk salah seorang sekertaris Nabi. Beliau memiliki sahifah yang disebutkan dalam banyak sumber. Serta sangat menganjurkan murid-muridnya untuk menulis hadits Nabi.[51]
1.     Umar bin Khattab, RA. (40 SH – 23 H)
Beliau adalah wazir Nabi SAW. Menulis hadits-hadits Nabi dalam surat-surat resmi. Abu Ubaidah bin Jarrah juga menulis surat untukUmar, lalu Umar menjawab, dengan mencantumkan beberaa hadits Nabi. Umar juga mengelompokkan hadits-hadits yang khusus membahas Zakat dalam suatu surat.[52]
1.     Amr bin Hamz al-Anshari, RA (wafat sesudah 50 H)
Beliau ditugaskan oleh Nabi untuk menjadi kepala daerah Najran. Nabi SAW juga mengirimkan surat kepadanya dimana Nabi SAW menuliskan hadits-haditsnya.kemudian Amr bin Hazm membukukan surat-surat Nabi. Buku ini kemudian diriwayatkan oleh putranya. Dan sekarang buku ini dicetak bersama dengan buku ‘î’lam al Sailin ‘an kutub sayyid al-mursalin’ karangan Ibn Tulun.[53]
1.     Fatimah al-Zahra binti Rasulllah SAW (w. 11 H)
Beliau menyiman sahifah yang berisi wasiat beliau sendiri. Dalam wasiat itu terdaat juga hadits-hadits Nabi SAW.[54]
1.     Fatimah binti Qais, RA
Beberapa hadits beliau ditulis oleh Abu Salamah.[55]
1.     Muhammad bin Maslamah al-Anshari, RA 31 SH -  46 H)
Setelah beliau wafat, di dalam sarung pedangnya ditemukan sebuah sahifah yang berisi hadits-hadits Rasulullah SAW.[56]
1.     Mu’adz bin Jabal, RA (20 SH – 18 H)
Beliau diutus oleh Rasulullah ke Yaman dan dikirimi surat oleh rasulullah yang berisi hadits-hadits tentang zakat. Yang kemudian menjadi kitab Mu’adz (yang berisi surat-surat Nabi SAW).[57]
1.     Mu’awiyah bin Abu Sufyan, RA (w. 66 H)
Beliau termasuk sekertaris Nabi. Dan dari Nabi pula beliau belajar membuat titik huruf. Beliau pernah menulis surat kepada Ummul Mukminin Aisya agar dituliskan hadits-hadits yang didengarnya dari Rasulullah. Beliau juga pernah berkirim surat kepada Marwan dimana disebutkan beberapa hadits Nabi SAW.[58]
1.     al-Mughirah bin Su’bah (w. 55 H)
Warrad, sekertaris al-Mughira mengatakan bahwa ia menuliskan surat al-Mughirah yang mendiktekannya dan dikirim kepada Mu’awiyah, dalam surat tersebut terdapat hadits Nabi SAW.[59]
1.     Ummul Mukminin Maimunah binti Harits al-Hilaliyah, RA (w. 51 H)
Beliau dinikahi oleh Rasulullah pada tahun 7 H. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh eks hamba-hambanya.[60]
1.     Nu’man bin Basyir al-Anshari, RA (2 – 65 H)
Beliau menjadi walikota Hamsh di Syam. Ada tiga orang yang menyimpan tulisan hadits beliau, yaitu: Qais bin al-Haitsam, al-Dahhak bin Qais, Habib bin Salim.[61]
1.     Watsilah bin al-Asqa’, RA (22 SH – 83 H)
Beliau mengimlakan hadits kepada murid-muridnya. Seerti yang dikatakan oleh Ma’ruf al-Khayyat, beliau melihat Watsilah mendektekan hadits Nabi dihadapan murid-muiridnya.[62]
Penutup
Sebagai kesimpulan bahwa adanya larangan untuk menulis hadits pada masa wahyu masih turun, adalah merupakan sikap kehati-hatian Rasulullah dalam menjaga kemurnian al-qur’an yang diikuti oleh para Khalifa Rasyidah dengan memberikan batasan secara ketat dalam penulisan hadits. Sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang diperbolehkan menulis hadits. Itupun dalam rang memenuhi kebutuhan ummat akan suatu permasalah agama yang belum diketahui. Sehingga kita dapat melihat kegiatan tulis-menulis hadits lebih pada surat kepada Sahabat yang lain. Ataupun hadits-hadits Nabi ditulis sebagai koleksi pribadi Sahabat.
Akhirnya kita memohon dan berdo’a kepada Allah agar kita senantiasa dapat mengikuti sunnah-sunnah Rasul-Nya dan Menyebarkannya. Allahumma Amin.
Daftar Pustaka
1.Muhammad Mustafa Azami, Studes in Early Hadith Literature, Terj. Ali Mustafa Ya'qub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000
2.Qadir Hasan, Ilmu Musthalah Hadits, Bandung: Dipenegoro, 2007.
3.Rosnawati Ali, Pengantar Ilmu Hadits, Kualalumpur: Ilham Abati Enterprise, 1997.
4.Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadits, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.
5.Ahmad Amin, Fajrul Islam, Terj. Zaini Dahlan, Jakarta: Bulan Bintang, 1968.
6.M. Hasby Ash Shiddeqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta, 1998.
7.Bukhari, Shahih Bukhari

[1] Muhammad Mustafa Azami, Studes in Early Hadith Literature, Terj. Ali Mustafa Ya'qub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. Hlm. 103
[2] Ibn Abd al-Hakam, Sirah Umar bin Abdul Aziz, yang dikutip oleh M.M. Azami dalam buku beliau Studes in Early Hadith Literature, Terj. Ali Mustafa Ya'qub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. Hlm. 104
[3] Lihat A. Qadir Hasan, Ilmu Musthalah Hadits, Bandung: Dipenegoro, 2007. hlm. 17. ditambahkan dengan sifat-sifat beliau SAW.
[4] Rosnawati Ali, Pengantar Ilmu Hadits, Kualalumpur: Ilham Abati Enterprise, 1997. hlm. 67
[5] Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadits, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996. hlm. 121
[6] Ahmad Amin, Fajrul Islam, Terj. Zaini Dahlan, Jakarta: Bulan Bintang, 1968. hlm. 285
[7] M. Hasby Ash Shiddeqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta, 1998. hlm. 47 et Seq
[8] Lihat Bukhari dalam Shahihnya kitab Ilm yang diriwayatkan dari Abu Hurairah
[9] M. Hasby Ash Shiddeqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits
[10] ‘Abd al-Razzaq, al Mushannaf, i:50-51 yang dikutip oleh Muhammad Mustafa Azami, Studes in Early Hadith Literature, Terj. Ali Mustafa Ya'qub, hal. 132
[11] Musnad Imam Ahmad, v: 424, Ibid
[12] Shahih al-Bukhari, Hadits no. 1454. Ibid
[13] Al-Tabrani, al-Mu’jam al-Kabir, i: 5 A. Ibid
[14] Musnad Imam Ahmad, v:36. Ibid
[15] Al Kifayah, 330-331. Ibid
[16] Tabaqat Ibn Saad, ii:2: 123. Thaqyyid al-Ilm, 91-92.Ibid
[17] Taqyyid al-ilm, 93. Ibn al-Qayyim, Tahdzib al-Sunan, v:248.  Ibid
[18] Shahih Bukhari, al-Lugatah, 6, hadits 2434, 6880.Ibid
[19] Musnad Imam Ahmad, iv: 396, 414. Ibid
[20] Musnad Ibn Wahb, 66 â-B. al Ilal, 120 A. Ibid
[21] N. Abbot, Studies in Arabic Literary Papyri, ii: 238.Ibid
[22] al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, i:115. Ibid
[23] Tarikh al-Ya’qubi, ii:114.  Ibid
[24] Musnad Imam Ahmad, iv: 226. Ibid
[25] Tarikh Wasit, 38. Tarikh al Fasawi, iii:363A. Taqyyid al-‘Ilm, 95-96. disini tidak disebutkan bahwa Anas bin Malik memperlihatkan catatan haditsnya kepad Nabi. Ibid
[26] Al-Ilal, i: 42. Abu Khaitsamah, al-Ilm, 144. Ibid
[27] Shahih Muslim, al-Amarah, 10 dan al-Fadhail, 105. Ibid
[28] Tadzkirah al-Huffadh, 43 Ibid
[29] Musnad Imam Ahmad, iv: 361. Ibid
[30] Al-Ila, i: 104. Ibid
[31] Musnad Imam Ahmad, iv: 141. Ibid
[32] Musnad Imam Ahmad, iv: 370 . Ibid
[33] Ibn Sa’ad, ii/1:115. al-Mustadrak, i:75. Ibid
[34] Musnad Imam Ahmad, v:285. al-Tsiqat, 396. Ibid
[35] Al-Mizan, iv: 546 . Ibid
[36] Al-Amwal, 393, 395. Ibid
[37] Tahdzib, iv: 236-237. al-Isti’ab, Ibn al Madini, al-Ilal, 259 B. Ibid
[38] Al-Kamil, iii:4 B. al-Razi, ii/2:382. Ibid
[39] Siyar â’lam al-Nubala, ii:331. Ibid
[40] Al-Ishabah. i:157 . Ibid
[41] Sunan Ibnu Majah, al-diyat, 12 (hadits no. 2642) Ibid
[42] Musnad Imam Ahmad, iii:453 . Ibid
[43] Lihat misalnya Shahih Muslim, alhajj, 369. Ibid
[44] Musnad Imam Ahmad, iv: 353-354 . Ibid
[45] Musnad Imam Ahmad, iv:4. Ibid
[46] Ibn Sa’ad, ii/2:123. Ibid
[47] Al-Buukhari, Tarikh al-Kabir, i/1:325. Ibid
[48] Tabrani, al-Mu’jam al-Kubra, iii:176 Ibid
[49] Al Ilal, i:322 dan Jami, bayan al-Ilm, i:66. Ibid
[50] Shahih Muslim, al-iman, 54. taqyyid al-ilm, 54-55.Ibid
[51] Bisa dilihat antara lain di Musnad Imam Ahmad, i:79.Ibid
[52] Lihat, al-Amwal, 393. Bukhari, Tarikh al-Kabir, i/1:218 Ibid
[53] Ibn Tulun, I’lam al-Sailin, 48-52 Ibid
[54] Musnad Imam Ahmad, vi:283 . Ibid
[55] Shahih Muslim, al-Talaq, 39 . Ibid
[56] Al-Ramahurmuzi, 56 A . Ibid
[57] Musnad Imam Ahmad, v:228 . Ibid
[58] Musnad Imam Ahmad, iv: 94. Ibid
[59] Shahih Bukhari, Adzan, 155. tentang surat Mughirah kepada Mu’awiyah, lihat shahih Bukhari, Da’wat, 18. Ibid
[60] Musnad Imam Ahmad, vi:333 . Ibid
[61] Musnad Imam Ahmad, iv:277. Tarikh Ibn Abi Kaitsamah, 144-B. Ibid
[62] Siyar â’lam al-Nubala, iv:259 . Ibid

Tambahan :

Sejarah Penulisan Hadits Pada Masa Nabi Saw

                                                 
Pada masa Rasulullah SAW masih hidup hadits belum mendapat pelayanan dan perhatian sepenuhnya seperti al-Quran. Para sahabat, terutama yang mempunyai tugas istimewa, selalu mencurahkan tenaga dan waktunya untuk mengabadikan ayat-ayat Alquran di atas alat-alat yang mungin dapat dipergunakannya. Tetapi, tidak demikian halnya terhadap hadits. Kendatipun para sahabat sangat memerlukan petunjuk-petunjuk dan bimbingan Nabi SAW dalam menafsirkan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan di dalam al-Quran.

Larangan Menulis Hadits
Para sahabat menyampaikan sesuatu dari hadits Nabi SAW melalui lisan atau pendengaran saja. Pendirian ini mempunyai pegangan yang kuat, yakni sabda Nabi SAW “Jangan kamu tulis sesuatu yang telah kamu terima dariku selain al-Quran. Barang siapa menulis dariku selain al-Quran hendaklah ia hapus. Ceritakan saja yang kamu terima dariku, tidak mengapa. Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya di neraka.” (HR Muslim). Dalam riwayat lain Sa’id al-Khudri mengatakan: “Kami pernah meminta izin kepada Nabi SAW untuk menulis tetapi beliau tidak mengizinkannya.” (al-Muhadits al-Fashil: 4/5)
Hadits di atas, selain menganjurkan agar meriwayatkan hadits dengan lisan, juga sebagai larangan keras kepada orang yang membuat riwayat palsu. Larangan penulisan hadits tersebut ialah untuk menghindarkan adanya kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu memasukkan hadits ke dalam lembaran-lembaran tulisan al-Quran, karena dianggapnya segala yang dikatakan Rasulullah SAW adalah wahyu semuanya. Lebih-lebih bagi generasi yang tidak menyaksikan zaman dimana wahyu itu diturunkan, tidak mustahil adanya dugaan bahwa seluruh yang tertulis adalah wahyu semuanya, hingga bercampur aduk antara al-Quran dengan hadits.

Perintah Menulis Al-Hadits
Di samping melarang menulis hadits, Rasulullah SAW juga memerintahkan kepada beberapa orang sahabat tertentu untuk menulis hadits. Misalnya, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra menerangkan bahwa sesaat ketika kota Mekah telah dikuasai kembali oleh Rasulullah SAW beliau berdiri berpidato di hadapan para manusia. Pada waktu beliau berpidato, tiba-tiba seorang laki-laki yang berasal dari Yaman yang bernama Abu Syah berdiri dan bertanya kepada Rasulullah saw., ujarnya, “Ya Rasulullah! Tulislah untukku!” Jawab Rasul, “Tulislah oleh kamu sekalian unutknya!”
Dan tidak ada satu pun riwayat tentang perintah menulis hadits yang lebih sah, selain hadits ini. Sebab, Rasulullah SAW dengan tegas memerintahkannya. Sejarah telah mencatat adanya beberapa naskah tulisan hadits yang bersifat pribadi dari beberapa sahabat dan tabi’in. Para sahabat dan tabi’in yang mempunyai naskah hadits antara lain sebagai berikut.

Abdullah bin Amr bin Ash ra (65 H)
Abdullah bin Amr bin Ash ra adalah salah seorang sahabat yang selalu menulis apa yang pernah didengarnya dari Nabi Muhammad SAW. Tindakan ini pernah didengar oleh orang-orang Quraisy, mereka mengatakan, “Apa engkau menulis semua yang telah kau dengar dari Nabi? Sedang beliau itu hanya manusia, kadang-kadang berbicara dalam suasana suka dan kadang-kadang berbicara dalan suasana duka?” Atas teguran tersebut, ia segera menanyakan tentang tindakannya kepada Rasulullah SAW. Maka, jawab Rasulullah SAW, “Tulislah! Demi Zat yang nyawaku ada di tangan-Nya, tidaklah keluar daripadanya, selain hak.” (HR Abu Dawud) dan Abu Hurairah pernah mengatakan: “Tidak ada satu pun sahabat Nabi yang haditsnya melebihi aku selain Abdullah bin Amru, ia menulisnya sedangkan aku tidak menulisnya.” (Fathul Baari: 1/217)
Rasulullah SAW mengizinkan Abdllah bin Amr bin Ash untuk menulis apa-apa yang didengarnya dari beliau karena ia adalah salah seorang penulis yang baik. Naskah ini disebut dengan Ash-Shahifah ash-Shadiqah, karena ditulisnya secara langsung dari Rasulullah SAW.
Naskah hadits Ash-Shadiqah berisikan hadits sebanyak 1000 hadits, dan dihafal serta dipelihara oleh keluarganya sepeninggal penulisnya. Cucunya yang bernama Amr bin Syu’aib meriwayatkan hadits-hadits tersebut sebanyak 500 hadits. Bila naskah Ash-Shadiqah ini tidak sampai kepada kita menurut bentuk aslinya, dapat kita temukan secara kutipan pada kitab Musnad Ahmad, Sunan Abu Dawud, Sunan An-Nasai, Sunan At-Tirmizi, dan Sunan Ibnu Majah.

 Jabir bin Abdullah al-Anshari ra (78 H)
Naskah haditsnya disebut Shahifah Jabir. Qatadah bin Da’amah as-Sudusy memuji naskah Jabir ini dengan katanya, “Sungguh, shahifah ini lebih kuhafal daripada surat Al-Baqarah.”

Human bin Munabbih (131 H)
Ia adalah seorang tabi’in alim yang berguru kepada sahabat Abu Hurairah ra dan banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. Hadits-hadits tersebut kemudian ia kumpulkan dalam satu naskah yang dinamai Ash-Shahifah ash-Shahihah. Naskah itu berisikan hadits sebanyak 138 hadits.
Imam Ahmad di dalam musnadnya menukil hadits-hadits Humam bin Munabbih keseluruhannya. Dan Imam Bukhari banyak sekali menukil hadits-hadits tersebut ke dalam kitab sahihnya, terdapat dalam beberapa bab.
Ketiga buah naskah hadits tersebut di atas adalah di antara sekian banyak tulisan hadits yang ditulis secara pribadi oleh para sahabat dan tabi’i yang muncul pada abad pertama.
Nas-nas yang melarang menulis hadits di satu pihak dan yang mengizinkan di pihak lain bukanlah nas-nas yang saling bertentangan satu sama lain, akan tetapi nas-nas itu dapat dikompromikan sebagai berikut.
Bahwa larangan menulis hadits itu adalah terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadits itu tidak bercampur dengan al-Quran. Tetapi, setelah jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal al-Quran, maka hukum melarang menulisnya telah dihapus dengan perintah yang membolehkannya. Dengan demikian, hukum menulisnya adalah boleh.
Bahwa larangan hadits itu adalah bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang mempunyai keahlian tulis-menulis, hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya dan tidak dikhawatirkan akan salah, seperti Abdullah bin Amr bin Ash.
Bahwa larangan menulis hadits ditujukan kepada orang yang lebih kuat menghafalnya daripada menulisnya, sedang perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tidak kuat hafalannya, seperti Abu Syah.
Penjelasan di atas sekaligus sebagai bantahan kepada pengusung orientalis yang memiliki anggapan bahwa hadits baru ditulis pada abad kedua atau hadits tidak pernah ditulis pada masa  Nabi SAW.
Wallahu ‘Alambisshawab