Monday, May 18, 2015

Syiah Houthi, Yaman dan Uppercut Lengan Kanan

Oleh: H. Setiabudi
Lembaga Kajian Syamina

YAMAN merupakan satu unsur penting yang membentuk bangunan peradaban Islam sejak awal mula kedatangan agama ini. Penduduk Yaman mulai memeluk Islam secara massal sejak masa Nabi Muhammad. Sejak saat itu pula, partisipasi mereka dalam futuhat (ekspansi pembebasan) Islam sangat signifikan.
Hingga kini, di masa ketika Islam mengalami masa-masa surut dalam platform politik dunia, kaum jihadi sebagai representasi utama pejuang Muslim, memperlihatkan eksistensi mereka di Yaman sebagai lokasi yang memiliki nilai ‘sakral’ bagi dunia Islam.
Rangkaian pergolakan Arab Springs yang pecah Desember 2010 lalu telah menyeret Yaman ke dalam pusarannya sejak Januari 2011. Konflik yang melibatkan kekuatan-kekuatan dominan (key players) di Yaman sangat menentukan terjadinya eskalasi ketegangan. Kekuatan Muslim Sunni di Selatan, Syiah Al-Hautsi di utara dan rezim pemerintah di ibukota terlibat konflik bersenjata dan perebutan pengaruh sejak saat itu. Sementara itu, unsur-unsur Gerakan Yaman Selatan, suku-suku lokal, kepentingan regional dan internasional dari negara-negara berpengaruh juga turut hadir di Yaman dalam ranah politik yang cukup rumit.
Kini, situasi chaos mendera Yaman menyusul pengepungan istana dan pelengseran pemerintah yang dilakukan oleh militan Syiah Al-Hautsi. Kekacauan yang terjadi ini, oleh sebagian pejuang Sunni dipandang sebagai ‘rahmat’ yang membuka jalan menuju perubahan mendasar. Situasi ini merupakan momen penting yang selama ini ditunggu-tunggu oleh para jihadis untuk memuluskan proyek besar menegakkan khilafah. Namun, tentunya bukan hal ringan bermain di tengah situasi amat pelik semacam ini.
A. Syiah Al-Hautsi
Salah satu unsur penting dalam persoalan Yaman ialah kelompok Syiah Al-Hautsi. Kelompok bersenjata Al-Hautsi, yang lebih familiar dengan nama Ansar Allah di kalangan internal mereka, memiliki basis wilayah di provinsi Sa’ada, yang berjarak sekitar 240 km arah utara ibukota Shan’a. Provinsi ini berbatasan langsung dengan wilayah kerajaan Arab Saudi. Kelompok Al-Hautsi ini merupakan pengikut sekte Zaidiyah. Sebuah sekte Syiah yang dinisbatkan kepada nama Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (wafat 122 H).[1]
Zaidiyah merupakan salah satu sekte Syiah yang secara eksklusif eksis di Yaman. Kelompok ini memiliki andil dalam kekuasaan dalam waktu yang sangat lama, lebih dari beberapa abad, dan mereka tetap memimpin Yaman hingga tahun 1962 ketika terjadi revolusi Yaman.
Zaidiyah dinilai sebagai sekte Syiah yang paling banyak memiliki kemiripan dengan Sunni. Namun demikian, Zaidiyah meyakini konsep imamah sebagai unsur esensial dalam agama mereka. Mereka membatasi imamah hanya boleh dipegang oleh keturunan Fathimah, putri Nabi Muhammad. Keyakinan ini sekaligus menjadi pembeda antara mereka dengan Sunni. Al-Hautsi kerapkali dituduh—bahkan oleh antar-sesama Zaidi sendiri—bahwa secara rahasia telah berubah haluan menjadi pengikut sekte Syiah Imamiyah, yang menjadi agama resmi negara sekutu mereka, Iran.[2]
Sebagai sebuah catatan penting, Syiah Zaidiyah dahulu memang dinilai dekat dengan Ahlussunnah atau Sunni. Namun kini, banyak kalangan menilai bahwa sekte ini sudah banyak menyimpang dari generasi awalnya. Kalangan Zaidiyah tidak memiliki kaidah baku. Kadang mereka mencela sebagian Sahabat Nabi Muhammad, seperti Abu Hurairah, ketika ia meriwayatkan hadits yang tidak sesuai hawa nafsu mereka. Namun, saat sesuai nafsu mereka, maka mereka akan menerimanya.
Terlebih lagi, sekarang ini, Syiah Zaidiyah semakin merapat kepada Syiah Imamiyah Iran. Kedekatan mereka dengan Iran mulai kentara sejak Revolusi Syiah Iran tahun 1979. Apalagi hari ini, fakta-fakta bahwa Iran menyokong pemberontakan Syiah Al-Hautsi yang menisbatkan diri sebagai Syiah Zaidiyah, sudah menjadi rahasia umum.
Dari kalangan ulama Indonesia, paling tidak, kita dapati K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdhatul Ulama, mengingatkan tentang kesesatan Syiah. Bahkan secara spesifik menyebut Syiah Zaidiyah dalam tulisannya, Risalah fie Ta’akkudi al-Akhdzi bi al-Madzahib al-Arba’ah (Risalah tentang Penekanan untuk Mengambil Madzhab Empat Imam) sebagai ahli bid’ah. Ditulisnya, “Bukanlah yang disebut madzhab pada masa-masa sekarang ini dengan sifat yang demikian, melainkan Madzahib Arba’ah (Madzhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal). Selain daripada itu, seperti Syiah Imamiyah dan Syiah Zaidiyah, mereka adalah ahli bid’ah (heretik) yang pendapat-pendapatnya tidak boleh dipegangi (oleh umat Islam).”[3]
Perlu digarisbawahi bahwa penilaian tersebut mengambil standar minimal: Syiah Zaidiyah adalah sesat dan menyimpang. Dengan begitu, bisa disimpulkan bahwa jika Syiah yang dulunya dianggap paling “mirip” dengan Sunni saja sudah dianggap sesat, lalu bagaimana dengan yang tidak “mirip”? Untuk perkembangan selanjutnya, apakah Zaidiyah sudah keluar dari Islam secara total atau belum, maka dibutuhkan penelitian lebih jauh dan ruang pembahasan lebih luas. Namun yang pasti, kini kelompok minoritas Syiah Al-Hautsi memiliki hubungan erat dengan Syiah Imamiyah (Itsna Asyariah: yang percaya kepada dua belas imam) yang mayoritas terdapat di Irak, Lebanon dan terutama Iran.
Syiah Zaidiyah saat ini berkembang hanya di sebagian wilayah Yaman dan beberapa daerah di sekitarnya. Namun, itu pun dalam jumlah yang sangat kecil. Di Yaman sendiri, gerakan Al-Hautsi mengangkat nama aliran Syiah Zaidiyah ini yang sejatinya mulai tergerus oleh corak dominan Syiah Iran. Al-Hautsi dinilai sebagai kran pembuka pengaruh Syiah Itsna Asyariyah di Yaman. Sebab, sebelumnya tidak pernah ada eksistensi Syiah Itsna Asyariyah di sepanjang sejarah Yaman.
Kisah tentang Al-Hautsi, jika dirunut ke belakang, bermula di Sa’ada sebagai titik konsentrasi umumnya kaum Zaidiyah. Pada tahun 1986, terbentuklah lembaga Persatuan Pemuda (Ittihad Asy-Syabab). Lembaga ini bertujuan untuk mengajarkan paham Zaidiyah bagi para pemeluknya. Badruddin Al-Hautsi, salah satu ulama Zaidiyah saat itu, termasuk salah satu pengajar di lembaga tersebut.
Menyusul terjadinya penyatuan Yaman Utara dan Yaman Selatan pada tahun 1990, situasi politik berubah. Kesempatan multi partai terbuka lebar. Untuk itu, Ittihad Asy-Syababmenjelma menjadi Hizb Al-Haqq (Partai Kebenaran) yang merepresentasikan kepentingan kaum Zaidiyah. Husain Al-Hautsi—putra Badruddin Al-Hautsi—muncul ke permukaan sebagai tokoh terkemuka di partai ini.
Seiring dengan semua peristiwa itu, terjadi perselisihan besar antara Badruddin Al-Hautsi dengan ulama Zaidiyah lain di Yaman seputar fatwa historis yang disepakati ulama Zaidiyah Yaman. Khususnya, ulama yang menjadi rujukan bagi kalangan Zaidiyah, Majduddin Al-Mu’ayyadi, yang menyatakan bahwa syarat nasab keturunan Hasyim untuk menjadi pemimpin sudah tidak lagi diterima saat ini. Rakyat boleh memilih siapa saja yang layak untuk berkuasa tanpa syarat harus berasal dari keturunan Al-Hasan atau Al-Husain.
Badruddin Al-Hautsi menentang keras fatwa ini. Terlebih, dirinya berasal dari kelompok Jarudiyah, salah satu kelompok Zaidiyah yang relatif memiliki kesamaan dengan pemikiran-pemikiran Syiah Itsa Asyariyah. Bahkan, ia menulis sebuah buku berjudulAz-Zaidiyah fil Yaman. Dalam buku itu, ia memaparkan sisi kesamaan antara Zaidiyah dengan Itsna Asyariyah.
Karena adanya arus penentangan yang cukup hebat terhadap pemikirannya yang menyimpang tentang Zaidiyah, Badruddin terpaksa pindah ke Teheran, Iran. Ia tinggal selama beberapa tahun di sana.
Meski telah pergi dari Yaman, namun pemikiran Itsna Asyariyah yang ditinggalkan Badruddin Al-Hautsi mulai menyebar, khususnya di kawasan Sa’ada dan sekitarnya. Itu terjadi pada sekitar tahun 1997. Pada saat yang sama, Husain Al-Hautsi mengundurkan diri dari Hizb Al-Haqq dan membentuk kelompok tersendiri. Pada mulanya hanya berupa kelompok kajian ilmu pengetahuan agama dan pemikiran. Bahkan, kelompok ini menjalin kerjasama dengan pemerintah untuk melawan kekuatan Islam Sunni yang diwakili oleh Partai Persatuan dan Reformasi Yaman. Namun di kemudian hari berangsur berbalik menentang pemerintah dimulai sejak 2002.
Husain Al-Hautsi mampu menciptakan jaringan yang kuat dari pengikut setianya di utara Yaman, dimana kedudukan Zaidiyah masih tetap kuat meskipun pernah terjadi penggulingan Imamah Zaidiyah Yaman pada tahun 1962, sebagian karena liberalisasi politik yang disertai penyatuan Yaman pada tahun 1990 serta krisis dalam tubuh Zaidiyah sendiri yang dipicu oleh munculnya pengaruh Salafi di wilayah tersebut.
Pengaruh Al-Hautsi yang tumbuh di akhir 1990-an itu diiringi oleh perilaku semakin kontroversial pada sebagian pengikutnya, yang pada gilirannya mendorong pemerintah mengambil tindakan tegas dalam rangka merespon perubahan dinamika internasional. Perburuan pemerintah yang pada akhirnya berhasil membunuh Husain Al-Hautsi, telah melepaskan spiral kekerasan yang dimulai pada tahun 2004 yang dikenal sebagai enam rangkaian “Perang Sa`ada”. Kelompok ini kemudian berubah dari jaringan revivalis Zaidi akar rumput di bawah kepemimpinan Husain Al-Hautsi menjadi kekuatan tempur pemberontak yang kuat di bawah kepemimpinan saudara seayah Husain, Abdul Malik Al-Hautsi.[4]
Faktor Kekuatan Al-Hautsi
MELIHAT Al-Hautsi yang sudah sangat mengakar di Yaman, Dr. Raghib As-Sirjani[5] memberikan penilaian mengenai faktor-faktor penopang kekuatan Al-Hautsi yang membuat mereka mampu bertahan dan menunjukkan eksistensi mereka dalam rentang waktu yang panjang di negara itu.
Pertama, tidak mungkin bagi kelompok kecil di salah satu provinsi kecil di Yaman bisa bertahan dalam jangka panjang tanpa bantuan luar secara kontinyu. Dapat diketahui bahwa satu-satunya negara yang diuntungkan dengan semakin meningkatnya kekuatan pemberontak Al-Hautsi adalah Iran.
Iran adalah negara Syiah Itsna Asyariyah yang berusaha dengan segala cara untuk menyebarkan pahamnya. Jika negara ini mampu mendorong kekuatan Al-Hautsi untuk menguasai pemerintahan Yaman, tentu akan menjadi sebuah kemenangan besar baginya. Khususnya, Iran akan mengepung salah satu benteng besar yang memusuhinya, yakni Arab Saudi. Sehingga, Saudi akan terkepung oleh Irak di utara, Kuwait dan Bahrain dari timur, dan Yaman dari selatan. Situasi ini tentu akan memberikan kekuatan bagi Iran untuk menekan, baik dalam hubungannya dengan dunia Islam Sunni, maupun dengan Amerika.
Asumsi ini bukan teori, tapi nyata dan banyak buktinya. Di antaranya pergeseran pemikiran Badruddin Al-Hautsi yang tadinya menganut Zaidiyah ke arah Itsna Asyariyah. Padahal, lingkungan Yaman belum pernah mengenal pemikiran Itsna Asyariyah di seluruh fase sejarahnya.
Iran merangkul Badruddin Al-Hautsi dengan sekuat tenaga. Bahkan menjamunya di Teheran selama beberapa tahun. Badruddin mengadopsi pemikiran “kewalian faqih” yang disampaikan oleh Khomeini sebagai solusi tepat untuk naik ke tampuk kekuasaan, meski ia bukan keturunan Fathimah. Inilah prinsip yang tidak ada dalam pemikiran Syiah Zaidiyah.
Selain itu, Iran juga memberi bantuan politik, ekonomi, dan militer bagi kelompok pemberontak ini. Bukti kuatnya adalah adopsi media-media massa Syiah Iran yang terefleksikan dalam berbagai kanal udara, seperti Al-Alam, Al-Kautsar dan lainnya, untuk mendukung propaganda Al-Hautsi.
Al-Hautsi juga pernah meminta mediasi kepada ulama referensi Syiah tertinggi Irak, Ayatullah As-Sistani, yang juga berpaham Itsna Asyariyah. Hal tersebut semakin menegaskan paham pembangkangan yang dianut oleh kelompok Al-Hautsi.
Kedua, faktor simpati rakyat setempat terhadap gerakan pemberontakan, bahkan meski sebenarnya mereka tidak tertarik pada pemikiran sesat kelompok Al-Hautsi. Titik tekan masyarakat sebentulnya adalah karena situasi perekonomian dan sosial yang sangat buruk di kawasan tersebut. Kondisi kemiskinan di kawasan utara lebih parah dari yang lain. Di sana kurang mendapat perhatian pemerintah, berbeda dengan kota-kota besar Yaman. Secara umum dapat dimengerti bahwa bangsa manapun yang hidup terpinggirkan dan terabaikan akan cenderung melakukan tindakan pembangkangan, bahkan meski harus dilakukan bersama dengan kalangan yang tidak sepaham dan berbeda secara prinsip.
Ketiga, faktor kesukuan yang mendominasi Yaman. Berbagai suku dan klan hidup di Yaman. Hubungan antar-suku adalah persoalan yang amat riskan di Yaman. Sebab, pengaruh dan kekuatan masing-masing suku memiliki perimbangan yang cukup signifikan. Banyak sumber menyebutkan, para pemberontak Syiah Al-Hautsi mendapat bantuan dana dari berbagai kabilah yang menentang kekuasaan pemerintah pusat karena adanya gejolak antara mereka dengan pemerintah, tanpa memandang agama atau pun paham yang mereka anut.
Keempat, faktor alam pegunungan Yaman yang menyulitkan pasukan pemerintah untuk mengatasi gejolak yang terjadi. Kondisi geografis yang demikian merupakan hambatan tersendiri bagi pergerakan pasukan pemerintah untuk mengontrol wilayah tersebut. Disamping itu, terdapat banyak pula goa-goa dan tempat persembunyian, ditambah lagi dengan tidak adanya alat-alat canggih untuk memantau pergerakan secara detail.
Kelima, faktor terbelahnya konsentrasi pemerintah untuk mengurusi persoalan tuntutan Yaman selatan untuk memisahkan diri dari Yaman utara. Hal ini melemahkan kondisi pasukan dan intelijen pemerintah untuk mengendalikan kelompok Al-Hautsi.
Keenam, ada sebuah analisa yang menjelaskan bahwa keberlangsungan aksi pemberontakan memang sengaja dibiarkan karena pemerintah menginginkan situasi ini terjadi! Alasannya, gerakan pemberontakan ini dinilai sebagai ‘berkas penting’ yang dipegang pemerintah untuk mencari keuntungan-keuntungan internasional.
Yang paling penting adalah kerjasama dengan Amerika dalam proyek perang melawan terorisme. Amerika mengisyaratkan adanya hubungan antara Al-Hautsi dengan Al-Qaidah. Meskipun, kemungkinan sangat jauh sekali. Sebab, antara Al-Hautsi dan Al-Qaidah perbedaan prinsip mereka jelas sangat diametral. Namun apapun dalihnya, Amerika selalu ingin tampil di semua wilayah dunia Islam.
Yaman ingin memanfaatkan hubungan baik ini untuk menopang sisi politik dan ekonomi, atau minimal Barat tidak membuka dan memperkarakan lembaran-lembaran pelanggaran hak-hak asasi manusia, diktatrisme, dan lembaran-lembaran hitam lainnya melibatkan pemerintah Yaman.
Selain itu Yaman juga memanfaatkan hubungan dengan Arab Saudi, karena Saudi berusaha mendukung Yaman secara politik, militer, dan ekonomi untuk membendung proyek Syiah Al-Hautsi yang semakin merapat kepada Iran. Berlarutnya isu Al-Hautsi akan terus mendatangkan bantuan internasional bagi Yaman. Bantuan juga sangat mungkin datang dari negara-negara Teluk yang juga merasa terancam dengan eksistensi Syiah.
BERSAMBUNG…… Insya Allah
Catatan Kaki:
[1] Jarrod J.H. Gillam dan James E. Moran,“The United States and Yemen: Coin in the Absence of a Legitimate Government”, Desember 2011, Naval Post Graduate School, Monterey, California.
[2] http://en.wikipedia.org/wiki/Houthis.
[3] Teks aslinya yang berbahasa Arab dicantumkan oleh Tim Penulis MUI Pusat dalam buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia”, hlm. 34-35.
[4] Lucas Winter, “Yemen’s Huthi Movement in the Wake of the Arab Spring”, CTC Sentinel, Agustus 2012, Vol. 5, Issue 8.
 [5] Dalam buku Asy-Syî’ah Nidhâl am Dhalâl, bisa diakses melalui http://ketab4pdf.blogspot.com/2015/01/pdf-books-Shiites-struggle-astray-book.html.