Tuesday, June 30, 2015

Mewaspadai Hubungan Bilateral Indonesia-Iran

Satu persatu negara Arab Sunni di Timur Tengah jatuh dibawah payung dominasi negara Syiah terbesar di dunia, Iran. Setelah Lebanon, Iraq, Suriah dan Yaman; kini menunggu giliran Bahrain, Qatar, Oman, Uni Emirat Arab, Kuwait dan akhirnya Arab Saudi.
Sejak meletusnya revolusi yang mereka sebut dengan “Revolusi Islam Iran”,  yang digerakkan para mullah dipimpin Ayatullah Khomeini sehingga berhasil menggulingkan Syah Mohammad Reza Pahlevi (1979) yang pro Barat, peranan Iran semakin menonjol di dunia.
Tidak hanya wilayah Timur Tengah, pengaruh Iran semakin meluas ke Afrika Utara, Asia Tengah bahkan Asia Tenggara. Posisi Iran yang sangat strategis di Teluk Persia dan pemilik Selat Hormuz yang menjadi pintu keluar bagi 40 persen konsumsi minyak dunia, menjadikan Iran selalu diperhitungkan di kancah politik internasional.
Posisi strategis Iran di Timur Tengah sama persis dengan posisi strategis Indonesia di Asia Tenggara bahkan Asia. Sebagai negara yang mendominasi  Selat Malaka dan pemilik Selat Lombok yang menjadi jalur perdagangan internasional serta  negara tempat pertemuan dua samudera besar di dunia,
Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, menjadikan Indonesia dengan jumlah penduduk mencapai 260 juta orang dan mayoritas umat Islam itu selalu menjadi rebutan pengaruh diantara negara-negara besar di dunia.
Kalau Barat dibawah payung AS dan Timur dibawah dominasi Cina, mereka ingin menanamkan pengaruh pada ekonomi dan politik serta merampok kekayaan alam Indonesia, sedangkan Iran ingin mengkespor ideologi Syiahnya ke Indonesia, negara Sunni terbesar di dunia.
Dengan demikian, Iran ingin mengubah Indonesia dari negara Sunni menjadi negara Syiah atau minimal bersimpati kepada ideologi Syiah, sebagaimana sekarang di Lebanon, Iraq, Suriah dan Yaman.        
Hubungan Sejarah
Sebenarnya sejarah hubungan antara Iran (Persia) dengan Nusantara (Indonesia) sudah lama, jauh sebelum Indonesia dibawah kolonial Belanda yang dimulai pada awal abad ke 17 M dengan berdirinya VOC (1602 M).
Meski kedua bangsa berbeda mahzab, Syiah dan Sunni, namun sejarah keduanya saling berkaitan satu sama lain. Bahkan Kerajaan Islam Pertama di Nusantara bahkan di Asia Tenggara,
Samudera Pasai di Aceh, didirikan dengan dukungan para ulama dari Persia yang bermahzab Syiah pada abad ke 13 M.  Mereka antara lain Qadi Sharif Amir Sayyid dari Kota Shiraj dan Taj Ad Din dari Kota Isfahan.
Bahkan jauh sebelumnya pada abad ke 7 M sudah terjadi hubungan perdagangan antara Kerajaan Sriwijaya (Budha) di Palembang dengan Kerajaan Persia (waktu itu masih Majusi). Sehingga beberapa abad kemudian Kerajaan Sriwijaya berhasil di Islamkan oleh para ulama dan pedagang dari Persia dan  Gujarat (India).
Dengan menguasai Selat Malaka, maka Kasultanan Samudera Pasai dapat mengontrol wilayah laut yang sangat strategis. Para pedagang dari Persia dan Gujarat selain memanfaatkannya untuk berbisnis juga berdakwah.
Maka tidaklah mengherankan jika banyak terdapat artefak berupa gelas, vas, botol, dan jambangan di Situs Barus, pantai barat Sumatera Utara, dan situs-situs Muara Jambi, Muara Sabak, dan Lambur, pantai timur Jambi, selain bentuk batu nisan khas Persia.
Kuatnya pengaruh Persia yang bermazhab Syiah dapat dibuktikan hingga ke Jawa dan Sulawesi. Bahkan sebagian anggota majelis Walisongo di Jawa juga diindikasikan bermazhah Syiah. Pengaruh tersebut antara lain adanya peninggalan-peninggalan aliran  Syiah seperti perayaan Tabot di Aceh, Bengkulu, dan Pariaman untuk mengenang Imam Hasan dan Husain.
Selain itu, perayaan Asyura atau Suro untuk bulan Muharram saat wafat Imam Husain dalam tragedy di Karbala. Di Jawa dikenal juga dengan perayaan Kasan dan Kusen, atau bulan Asan Usen di Aceh.
Di Makassar, perayaan Asyura ditandai dengan suka cita dan pembuatan bubur tujuh warna. Hari Arbain di Jawa Barat pun masih dilakukan dan diikuti ratusan umat  Syiah Indonesia dan Internasional. Debus yang dipraktikkan di daerah Banten, Aceh, Kedah, Perak, Cirebon, dan Maluku, merupakan pengaruh dari budaya Persia saat itu. 
Hubungan Diplomatik
Setelah Republik Indonesia merdeka dan lepas dari belenggu kolonialisme, maka dijalinkan hubungan diplomatik antara Iran dan Indonesia. Memang diakui, Iran bukanlah negara di wilayah Timur Tengah pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia karena telah didahului Mesir (1945),
Namun dijalinnya hubungan diplomatik Iran dengan Indonesia pada tahun 1950 pada tingkat Kedutaan menunjukkan adanya reaksi pengakuan yang cepat dari bangsa Iran atas kemerdekaan bangsa Indonesia. Pasalnya, Indonesia baru secara resmi mengakhiri perang dengan Belanda pada akhir tahun 1949 melalui Perjanjian Perdamaian di Den Haag.
Adapun Kepala Perwakilan Indonesia  pertama yang berkedudukan di Teheran adalah Mayjen TNI RH Abdul Kadir yang bergelar Duta Besar dan Menteri Berkuasa Penuh Republik Indonesia. Pada tahun 1960, Kedutaan Republik Indonesia di Teheran dinaikkan statusnya menjadi Kedutaan Besar Republik Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia selanjutnya menunjuk M Bachmid sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia yang pertama di Iran. Sejak itu, kedua negara menjalin berbagai kerja sama di berbagai bidang, antara lain, bidang politik, ekonomi dan perdagangan, pariwisata, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan, termasuk pertukaran atase pertahanan kedua negara.
Pasca dibukanya Kedutaan Besar Republik Indonesia di Teheran dan Kedutaan Besar Iran di Jakarta, hubungan bilateral Indonesia dan Iran terutama dalam bidang politik berkembang sangat cepat.
Peningkatan hubungan itu diantaranya ditandai dengan adanya saling kunjungan antara Presiden kedua negara, Ketua Parlemen dan para pejabat tinggi negara lainnya serta saling memberikan dukungan dalam pencalonan pada jabatan atau keanggotaan pada organisasi internasional.
Selanjutnya dalam bidang politik, hubungan kedua negara berjalan dengan baik, seperti ditandai dengan saling kunjung Presiden Iran dan Indonesia. Pada 1992, Presiden Iran Hujjatul Islam Ali Akbar Hashemi Rafsanjani mengunjungi Jakarta dalam rangka KTT GNB.
Kemudian Presiden Soeharto melakukan kunjungan balasan ke Teheran pada 1993 Sedangkan pada era reformasi, Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi Teheran untuk melakukan pembicaraan bilateral dengan para pemimpin Iran, termasuk pemimpin tertinggi Ayatullah Ali Khamenei.
Sementara itu kunjungan Presiden SBY pada tahun 2008 ke Teheran merupakan balasan atas kunjungan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad pada tahun 2006 ke Jakarta. Kedua negara juga menandatangani MoU pembentukan Komite Konsultasi Bilateral dalam bidang politik.
Menyusul pertemuan SBY-Ahmadinejad, telah ditandatanggani lima MoU dalam bidang kerjasama pertanian; pendidikan; kerjasama antara PT Pertamina dan mitra mereka di Iran; pembentukan Joint Business Councilantara Kadin RI dan Kamar Dagang Iran; serta kerjasama koperasi.
Presiden Mahmoud Ahmadinejad menyampaikan penghargaannya kepada Presiden SBY atas posisi yang diambil Indonesia dalam proses pengambilan keputusan di Dewan Keamanan PBB mengenai isu nuklir Iran yang menolak sangsi terhadap Iran.
Pasca kunjungan Presiden Mahmoud Ahmadinedjad ke Jakarta dan Presiden SBY ke Teheran, hubungan kedua negara semakin erat dengan ditandatanganinya kebijakan pemberian visa on arrival pemegang paspor biasa bagi kedua negara yang melakukan kunjungan singkat ke Indonesia dan Iran.
Kebijakan pemberian visa on arrival bagi kedua negara juga berdampak positif pada sektor pariwisata. Dalam tujuh tahun terakhir ini, cukup banyak wisatawan Iran yang berkunjung ke Indonesia, demikian pula sebaliknya, banyak wisatawan Indonesia yang mengunjungi Iran. Kedua negara telah menandatangani kerja sama di bidang Pariwisata sejak 2002 lalu.
Di sektor ekonomi dan perdagangan, Indonesia dan Iran juga gencar melakukan kerja sama. Hal ini ditandai dengan meningkatnya volume perdagangan kedua negara. Pada tahun 1990 volume perdagangan kedua negara baru mencapai  USD 200 juta. Jumlah ini meningkat hingga USD 400 juta pada awal 2000-an. Kini, volume perdagangan kedua negara telah mencapai lebih dari USD 1,5 miliar dan nampaknya akan terus tumbuh di masa-masa yang akan datang.
Sementara delegasi bisnis Iran Central Chamber of Cooperatives (ICC-Coop) juga melakukan kunjungan ke Indonesia untuk menjajaki kerja sama yang lebih luas di berbagai sektor seperti koperasi, konsultan keuangan, konsultan teknik, ekspor-impor, infrastruktur, industri pelabuhan, minyak tumbuh-tumbuhan, manufaktur, dan kerajinan tangan.
Ekspor utama Indonesia ke Iran di antaranya kertas dan produknya, benang, bahan baku tekstil, ban, suku cadang mobil, peralatan komputer dan elektronik, karet, peralatan rumah tangga, bubuk cokelat, biji kopi, dan produk kayu. Sedangkan Iran melakukan ekspor besi baja setengah jadi, alumunium, LPG, etilen, propilen, karpet dan kilim, lampu kerajinan tangan, dan kacang-kacangan ke Indonesia.
Kerja sama bilateral kedua negara juga dilakukan di sektor sosial budaya. Di bidang penerangan, kedua pemerintah telah memiliki MoU yang ditandatangani Menteri Penerangan RI dan Menteri Kebudayaan dan Bimbingan Islam Iran. Pada 1991, hubungan Indonesia dan Iran di bidang ini juga didukung kesepakatan kerja sama dalam kerangka OKI dan GNB.
Hubungan sosial budaya kedua negara juga terwujud dalam bentuk lain seperti kegiatan MTQ Internasional, olimpiade matematika dan kimia yang diselenggarakan setiap tahun oleh Iran.
Kedua negara juga mengadakan banyak event budaya seperti pembuatan peranko bersama, Konferensi Internasional di bidang Pendekatan Antar-Mazhab, Pekan Kebudayaan Iran-Indonesia, Pekan Persahabatan Wanita Indonesia-Iran, Festival Film Iran, Pekan Persahabatan Pemuda Indonesia-Iran, pameran Al-Quran, seminar internasional dalam rangka 60 tahun hubungan bilateral kedua negara dan sebagainya.
Di bidang pendidikan agama, Iran secara aktif memberikan beasiswa kepada pelajar asing dari tantangan berat berbagai negara, termasuk Indonesia melalui organisasi sosial keagamaan Iran. Mereka sengaja dididik dan dijejali ideologi Syiah, sehingga diharapkan nantinya setelah kembali ke Indonesia, mereka akan menjadi para pendakwah Syiah yang berjiwa militan.
Saat ini tercatat 5.000 mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di berbagai universitas di Iran terutama ilmu-ilmu agama. Mereka tesebar di berbagai universitas di Teheran, Qom, Isfahan, Najaf, Mashad, Tabriz,  Karbala dan kota-kota lainnya. Mereka siap menjadikan Indonesia negara Syiah di Asia Tenggara dan terbesar di dunia melebihi Iran yang saat ini hanya berpenduduk 80 juta orang, sementara Indoensia 260 juta orang.
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, dengan semakin pesatnya hubungan di sektor ekonomi, politik dan budaya serta keagamaan pada era kepemimpinan Presiden SBY dan Presiden Ahmadinejad dan diteruskan  Presiden Jokowi dan Presiden Hasan Rouhani sekarang ini.
Apakah hubungan bilateral ini tidak akan semakin meningkatkan kekhawatiran umat Islam Indonesia yang Sunni akan di-Syiah-kan, sehingga akan terjadi Syiahisasi terhadap umat Islam Indonesia. Padahal saat ini umat Islam Indonesia sudah menghadapi tantangan berat Kristenisasi.  (*) Oleh: Abdul Halim (voa-islam.com)