Tuesday, August 4, 2015

Sumber Agama Islam itu Alquran dan Hadis, bukan Nusantara. Terima Saja Bahwa Islam Itu ya Arab

Prof KH Ali Musthafa Ya'qub, MA
Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Rais Syuriah PBNU
Tapi kalau Islam yang bersumber dari apa yang ada di Nusantara, baik akidah maupun ibadah harus asli dari Nusantara, maka itu tidak tepat. Islam Itu Agama, Nusantara Itu Budaya.
Kemunculan "Islam Nusantara" ini membuat sebagian orang membandingkan dengan "Islam Arab", bagaimana menurut Pak Kiai?
Saya tidak sependapat dengan bandingan-bandingan seperti itu. Islam itu Islam saja.

Kedua, NU dan “Wahabi” tidak ada pertentangan, yang ada perbedaan. Persamaannya banyak dan perbedaannya sedikit. Perbedaannya itu tidak menimbulkan kekafiran dan perbedaan itu tidak terjadi setelah NU dan “Wahabi” ada. Jadi perbedaannya hanya dalam hal furu’iyyah, bukan hal yang prinsip
Cuplikan dari :
“Islam Sudah Moderat, Tidak Perlu Ditambahi Istilah Islam Nusantara”
Ketua Umum PP Pemuda Persatuan Islam (PERSIS), Ustadz Tiar Anwar Bachtiar mengatakan tidak perlu memunculkan istilah-istilah baru untuk mengajarkan moderatisme Islam seperti istilah Islam Nusantara belakangan ini.
“Islam disebut Islam saja sudah moderat dan anti ekstrimisme,” katanya saat dihubungi kiblat.net, pada Kamis (18/6).
Lanjutnya, bila Islam dijalankan dengan benar dan serius sudah pasti moderat dan menolak ekstrimisme. Sehingga tidak perlu ditambahkan embel-embel Nusantara.
Cuplikan dari :
Politikus Demokat: Terima Saja Bahwa Islam Itu ya Arab

Politikus Partai Demokrat Muhammad Husni Thamrin berkicau tentang Islam dan Arab. Dia pun membuka ruang diskusi dengan bertanya, mengapa banyak pihak yang seolah tidak mengaku bahwa Islam itu adalah Arab.



"Kenapa ya banyak yg bilang Islam itu bukan Arab?" katanya melalui akunTwitter, ‏@monethamrin. " Terima saja bahwa Islam itu ya Arab. Ia lahir dari sejarah dan budaya di Arab kok."


Dia pun menantang argumen orang yang tetap berpendirian bahwa Islam itu bukan Arab. "Buat yg ngotot Islam itu bikan Arab apakah berani baca Al Quran dgn bhs Indonesia atau sholat dengan Indonesia atau tdk berkiblat ke Makkah?"

Dia melanjutkan, "My point: kalau percaya scr universal agama mengajarkan kebajikan & jln lurus, serta tdk mengakui Islam itu Arab, ya buat agama baru."

Husni Thamrin pun menggugat wacana Menag Lukman Hakim Saifuddin dan PBNU yang terus menggembar-gemborkan wacana Islam Nusantara. "Sy msh blm paham dgn kampanye menteri agama dan bbrp teman sy ttg Islam Nusantara. Islam ya Islam. Nusantara soal kita."

Gara-gara cuitannya itu, argumennya didebat balik oleh para pengikutnya. Namun, ia terus menjawabnya dengan lugas. "Sy tdk menyalahkan soal gaya berpakaian Anda saat sholat. Lalu Anda menyebutnya dgn gaya itu Islam Nusantara?" katanya menjawab akun @ErwinBeneran, yang menyatakan Islam Indonesia dan Arab itu beda.

Husni Thamrin menambahkan, "Masa Anda menyangkal bhw Nabi Muhammad SAW itu orang Arab? Dan turun di Arab, itu tak bisa diingkari. Rukun Islam percaya pd Al Quran (dlm bhs Arab) & menunaikan haji ke Makkah. Kiblat pun ke Ka'bah di Makkah.
http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/15/07/26/ns1w6c334-politikus-demokat-terima-saja-bahwa-islam-itu-ya-arab

Mirip Sikap Yahudi, Gagasan Islam Nusantara Diminta Jangan Bermotif Benci pada Arab
Namun, Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) menilai wacana Islam Nusantara justru bertentangan dengan motivasi dakwah Wali Songo.
“Kesalahan terbesar gagasan Islam Nusantara ini adalah salah niat. Dimana salahnya? Niat Walisongo itu mengislamkan nusantara. Gagasan walisongolas ini malah ingin menusantarakan Islam,” kata Ustadz Bachtiar Nasir saat berbincang dengan sejumlah wartawan seusai acara Launching Program Spesial Ramadhan 1436 H di sekretariat AQL, pada Jumat malam (12/06).
Ustadz Bachtiar berpendapat, gagasan Islam Nusantara berawal darisuuzhan atau prasangka buruk bahwa Islamisasi artinya Arabisasi. Padahal, menurut dia, Islamisasi tidak selalu artinya Arabisasi.
“Ini mispersepsi lagi, tidak mesti dong Islamisasi itu Arabisasi” cetusnya.
Lulusan Pesantren modern Gontor ini menilai, ada sebagian orang yang benci dengan bangsa Arab menunggangi gagasan tersebut. Sementara, menurutnya, bila itu muncul dari sikap benci kepada bangsa Arab, maka sama saja dengan sikap kaum Yahudi dahulu saat mereka menolak kenabian Rasulullah Muhammad Saw karena berasal dari bangsa Arab.
Bahkan, Yahudi menilai malaikat Jibril ‘salah’, karena dia menurunkan wahyu kepada orang Arab, yakni Nabi Muhammad SAW, bukan kepada Bani Israil.?
“Kepada orang yang benci sama Arab, janganlah jadi penerus perasaan Bani Israel. Cobalah mereka bertaubat jangan-jangan perasaan ini sudah tersusupi oleh iblis-iblis yang pernah berhasil menyusupi perasan Bani Israel masa lalu yang nggak suka sama Arab,” tandas Direktur AQL Islamic Center itu.
Reporter: Bilal Muhammad
http://www.kiblat.net/2015/06/14/mirip-sikap-yahudi-gagasan-islam-nusantara-diminta-jangan-bermotif-benci-pada-arab/

KH Misbahul Anam: Istilah Islam Nusantara Kalimat Berbahaya
Istilah Islam Nusantara dinilai sebagai sebuah kalimat yang berbahaya. Menurut Ketua Dewan Syuro Front Pembela Islam (FPI) KH Misbahul Anam, kalimat tersebut akan berpotensi merusak akidah.
Misbahul Anam menambahkan bahwa dengan satu istilah Islam Nusantara maka akan berpotensi memunculkan istilah-istilah lain. Dari satu istilah tersebut maka akan muncul pemikiran boleh memiliki nabi Nusantara.
Selain itu karena orang Nusantara, lanjut Misbahul, Al-Quran tidak harus dibaca dengan bahasa Arab. Demikian juga dalam salat, dengan alasan orang Nusantara maka salat tidak harus memakai bahasa Arab. Potensi lain, akan muncul anggapan karena dasar Islam Nusantara saat salat tidak harus menghadap ke Ka’bah, dan haji tidak harus ke Mekah.
“Hati-hati, dengan kalimat yang akan bermunculan karena dimulai dengan satu kalimat yang berbahaya yang merusak akidah kita,” tandasnya.

Mustofa Nahra: Islam Nusantara, Upaya Mengotak-ngotakkan Islam
Jadi ini adalah bagian dari upaya untuk membangun opini terkait dengan upaya-upaya seluruh dunia untuk menjauhi Islam, yang seolah-olah Islam itu digambarkan seperti yang terjadi di Timur tengah. Yaitu dengan membentuk seolah-olah ini (Islam Nusantara, red) adalah sebuah solusi Islam yang tepat, tidak seperti yang ada di Timur tengah.
Kalau di Indonesia namanya sekarang diusulkan Islam Nusantara. seolah-olah ide ini solusi yang terbaik bagi Islam seluruh dunia. Disuruh menyontoh, ini lho Islam nusantara. Dugaan saya mereka inginnya seperti itu. Jadi kalau mau mencontoh Islam yang baik, itu adalah Islam nusantara yang ada di Indonesia, itu secara umum.
Tapi secara khusus, ini kan ada huruf ‘nu’. Itu di pas-paskan. Kan bisa saja Islam Indonesia juga bisa. Kenapa tidak Islam Indonesia? Kenapa Islam Nusantara, karena di situ inisiatornya adalah berasal dari organisasi yang ada huruf ‘nu’, maka dinamakanlah Islam Nusantara.
Lazimnya, kalau tidak mau dikait-kaitkan dengan nama organisasi tentu lebih tepat adalah Islam Indonesia. kan begitu, jadi bukan Islam Nusantara lagi.
Untuk level besarnya begini, nanti ide Islam Nusantara ini akan berbahaya misalkan nanti ada Islam Nusantara, ada Islam Malaysia, ada Islam Brunei, itu yang besar, makronya.
Padahal, Islam datang itu kan untuk memperbaiki budaya seluruh dunia, bukan sebaliknya. jadi ketika Arab rusak, begitu ada Islam jadi baik. Indonesia mestinya sama, Indonesia rusak ada Islam jadi baik. Jangan dipelintir-pelintir dong, seolah-olah Islam tidak cocok. Indonesia jadi rusak karena Islam. Tidak begitu, ini manusianya.
Banyak sekali kadang dia beragama tapi tidak paham kitab sucinya, sehingga nilai yang diangkat adalah bukan nilai agama itu tapi nilai budaya yang dicampur dengan agamanya, lalu disebut abangan. Itu yang terjadi.
Cuplikan dari :
Islam Nusantara Seperti Kacang Lupa Kulitnya
Penamaan Islam Nusantara ini, menurut saya adalah penamaan yang salah. Karena secara historis Islam telah mengislamkan Nusantara,” kata intelektual muda Hamid Fahmi Zarkasyi kepada Kiblat.net, seusai menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Islam dan Nusantara di Gedung Joeang Jakrta, Ahad (05/07).
Menurutnya munculnya istilah Islam Nusantara itu adalah sesuatu yang terbalik. Jadi terkesan Islam telah menjadi nusantara, yang sangat sempit dan terbatas.
“Berarti seperti kacang lupa kulitnya itu. Jadi, menurut saya perlu ditinjau kembali,” tandas Gus Hamid.
Cuplikan dari :

Seharusnya Nusantara Bersyukur dengan Datangnya Islam

Sebelum datangnya Islam, bumi Nusantara pernah punya tradisi ‘manuya’, ritual mengorbankan manusia untuk kemudian dimakan dagingnya dan diminum darahnya
Pemerhati sejarah Jawa dan Islam Susiyanto, MSI mengatakan, seharusnya Nusantara bersyukur dengan datangnya Islam. Sebab sebelum Islam datang, banyak tradisi kurang baik di Nusantara.
“Harusnya Nusantara bersyukur dengan adanya Islam, karena jika kita mengetahui yang sebenarnya tentang sejarah tradisi agama sebelum Islam di Indonesia, sungguh banyak tradisi dan ajaran-ajaran yang tidak baik untuk masyarakat kita,” demikian disampaikan ujar Susiyanto pada kajian spesial berjudul “Dinamika Hubungan Raja dan Ulama di Tanah Jawa”, di Masjid Nurruzaman Universitas Airlangga Jumat (05/06/2015).
Ia mencontohkan beberapa tradisi dan ritual aliran Bhairawa pada zaman Hindu-Budha dahulu yang cenderung merusak diri dan masyarakat secara umum.
Salah satunya seperti dalam tradisi manuya yang mengorbankan manusia pada ritualnya untuk kemudian dimakan dagingnya dan diminum darahnya.
“Justru dengan datangnya Islam, semua itu dirubah secara perlahan. Di sana terjadi proses desakralisasi, ada proses subtitusi budaya ke arah yang lebih baik. Islam tidak lantas melakukan dekulturalisasi dengan menghilangkan sekaligus budaya yang ada,” tegas  dosen mata kuliah ‘Islam dan Budaya Jawa’ IAIN Surakarta ini.
Pria yang juga merupakan kandidat doktoral di Universitas Ibnu Khaldun Bogor ini menambahkan bahwa banyak budaya Nusantara yang tetap dipertahankan oleh para ulama dahulu, seperti Tata Krama dalam budaya Jawa misalnya.
Karena jika memang mengandung nilai-nilai yang selaras dengan Islam maka tidak perlu diluruskan. Akan tetapi jika budaya atau tradisi yang ada telah menyimpang maka akan diluruskan secara perlahan, ujar penulis buku ‘Strategi Misi Kristen Memisahkan Islam dan Jawa’ini mengatakan.*/Yahyaghulam

Islam Nusantara, Antitesa Islam Ala Timur Tengah?

Di tengah khusuknya kaum Muslimin menunaikan ibadah berpuasa, sekonyong-konyong umat ini seolah disibukkan dengan kemunculan istilah baru bernama “Islam Nusantara”. Dalam pembukaan Munas Alim-Ulama NU di Masjid Istiqlal, pada Ahad (14/06), Presiden Jokowi mengatakan, “Islam kita adalah Islam Nusantara, Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh tata krama, itulah Islam Nusantara, Islam yang penuh toleransi.”
Cuplikan dari :
http://www.kiblat.net/2015/06/18/islam-nusantara-antitesa-islam-ala-timur-tengah/

Nah, belangnya ketahuan !!

Ulil: Ciri Islam Nusantara 'Tidak Memusuhi Syiah', Beda Dengan Islam Wahabi
Diskursus Islam Nusantara kencang didengungkan aktivis-aktivis JIL (Jaringan Islam Liberal). Lantas, apa ciri-ciri Islam Nusantara?

Salah seorang tokoh utama JIL, Ulil Abshar Abdalla, mengungkapkan dengan tegas dinatara ciri Islam Nusantara.

"Ciri Islam Nusantara: tidak memusuhi Syiah. Dan menganggap mereka bagian sah dari umat Islam. Beda dg Islam Wahabi atau simpatisannya," kata Ulil yang disampaikan di akun twitternya @ulil tadi malam, Jumat (27/6/2015). 

Beberapa netizen berkomentar menanggapi twit Ulil.
"@ulil JIL nggak laku, skrg islm nusantara. hehe," tulis netizen @aries5_86.
"@ulil ko bisa ente gandengan tangan sama agama syiah yg jelas", menghina, mencaci, memfitnah umm mukminin dn para sahabat," cuit akun @mat_condet.


“Islam Nusantara”, Makhluk Apakah Gerangan?
Apakah yang dimaksud adalah “agama Islam ala Indonesia”? Jika ya lantas seperti apa wujudnya? Apa seperti di Turki pada zaman Mustafa Kemal Attaturk dulu yang adzan dikumandangkan dalam bahasa Turki
Apakah proses (yang disebut) “pribumisasi Islam” itu selalu melahirkan ekspresi keberagamaan yang kental dengan nuansa esoteris dan atau kelemah-lembutan dalam beragama?
Alhasil, wacana “Islam Indonesia” ala para akademisi, birokrat, politisi dan tokoh ormas Islam itu lebih bersifat politis ketimbang sebuah usaha intelektual yang jujur