Tuesday, October 27, 2015

Sama-sama Wafat Terbunuh, Kenapa Husein Diratapi Namun Ali Tidak?

Sama-sama Wafat Terbunuh, Kenapa Husein Diratapi Namun Ali Tidak?
Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW ini meninggal tepat hari Jumat tanggal 10 Muharram 61 H. Ia bersama 72 orang lainnya terbunuh saat berperang dengan pasukan suruhan Abdullah bin Ziyad yang dipimpin Umar bin Sa’ad. Korban dari Ibnu Sa’ad sendiri berjumlah 88 orang.
Selain Husein, saudara-saudaranya yang menjadi korban di antaranya Ja’far, Abbas, Abu Bakar, Muhammad, dan Utsman. Jika dihitung keseluruhan, korban meninggal dari keluarga Rasulullah SAW berjumlah 18 orang. Termasuk putera-putera Hasan dan Husein sendiri.
Dari peristiwa inilah kelompok Syiah memperingati Hari Asyura setiap tahunnya. Mereka menjadikan hari tersebut sebagai ajang untuk melakukan ratapan dan kesedihan atas meninggalnya Husein. Ritual ini bukan semata berbalut kesedihan, tetapi dibarengi dengan aksi penyiksaan diri. Tak jarang senjata-senjata tajam dan keras digunakan sebagai bentuk keprihatinan atas tragedi tersebut.
Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ritual ini dimulai tahun 352 H. Pencetusnya adalah Dinasti Buwaih beraliran Syiah yang mewajibkan penduduk Irak untuk melakukan ratapan terhadap Husein. Yaitu dengan menutup pasar, melarang memasak makanan, dan para wanita mereka keluar kemudian menampar-nampar wajah serta membuat fitnah di hadapan manusia.
Hal ini kemudian diikuti oleh Dinasti Fatimiyah yang merayakannya dengan tindakan serupa. Pada hari itu, khalifah duduk dengan muka masam sambil memperlihatkan kesedihan, begitu juga para hakim, dai, dan pejabat pemerintah. Para penyair membuat syair dan menyebutkan riwayat dan kisah-kisah karangan tentang pembunuhan Husein.
Hingga saat ini, perayaan yang dianggap agung oleh kelompok Syiah ini masih terus dilakukan. Wilayah-wilayah yang menjadi basis atau berkerumunnya kelompok Syiah selalu ramai ketika momen ini tiba. Para lelaki, wanita, hingga balita ikut turun menyemarakkan acara yang dibalut ratapan dan darah ini. Semua itu diklaim sebagai bentuk keprihatinan atas tragedi yang menimpa putra Ali.
Itikad untuk menghormati kematian Husein tersebut tidak dibarengi dengan penghormatan terhadap para sahabat lainnya. Bahkan, terhadap putra Ali yang ikut terbunuh dalam peristiwa itupun, kaum Syiah enggan untuk menyebutnya. Dalam kitab dan pujian-pujian yang terkait dengan pembunuhan Husein, tidak akan didapati nama-nama Abu Bakar dan Utsman bin Ali di dalamnya.
Selain bentuk diskriminasi terhadap para sahabat, ritual semacam ini juga tidak pernah ada contoh dari Nabi SAW. Maka, benarlah apa yang dikatakan Syaikh Abdul Aziz Ath-Thuraifi ketika menyangkal ritual bidah yang telah bertahun-tahun menjadi tradisi kaum Syiah tersebut. Alasan-alasan yang beliau kemukakan adalah sebagai berikut:
Pertama: Ketika terbunuhnya Hamzah bin Abdul Muthalib, tidak ada peringatan dan hari berduka cita yang diperuntukkan Nabi SAW untuknya. Padahal, Hamzah menjadi korban paling agung di zaman Nabi SAW. Ia dibunuh dan jasadnya dicincang-cincang. Saat melihat jenazahnya pun, Nabi SAW menangis dan berkata, “Saya tidak akan ditimpa musibah seperti ini selamanya.”
Kedua: Seandainya secara logika apa yang dilakukan Syiah seperti menangis dan menampar-nampar pada hari terbunuhnya Husain itu sah, maka akan diperbolehkan bagi umat untuk melakukannya tiap hari dalam setahun. Karena tidak ada hari dalam setahun yang kosong dari meninggalnya seorang Imam.
Ketiga: Ali bin Abi Thalib dibunuh dengan zalim, dan anak beliau, Husain hidup selama 21 tahun sepeninggalnya. Husain sama sekali tidak membuat peringatan duka cita atas meninggalnya sang ayah. Lantas, kenapa Syiah tidak melakukan peringatan yang sama kepada Ali, sebagaimana mereka memperingati hari kematian Husain? Padahal, Ali lebih afdhal daripada Husain.
Penulis: Rudy M.
http://www.kiblat.net/2015/10/26/sama-sama-wafat-terbunuh-kenapa-husein-diratapi-namun-ali-tidak/


Membantah Syi’ah: Masalah Pengingkaran terhadap Keturunan Al-Hasan


بِسْمِ اللهِ الرَّ حْمٰنِ الرَّ حِيْمِ
Masalah Pengingkaran terhadap Keturunan Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu[101]
Di antaranya adalah ucapan mereka bahwa Al-Hasan bin Ali tidak meninggalkan keturunan, anak cucu beliau telah musnah dan bahwasanya tidak tersisa seorang laki-laki pun dari keturunan beliau. Ucapan ini tersebar luas di kalangan mereka. Mereka bersepakat padanya dan tidak butuh untuk menetapkannya, demikianlah yang dikatakan.
Di antara mereka ada yang mengklaim bahwa Al-jajj seperti mereka seluruhnya. Hal itu mereka jadikan sebagai jembatan untuk membatasi kepemimpinan hanya pada anak cucu Al-Husain[102] dan dari merekalah kedua belas imam tersebut. Juga untuk membatalkan kepemimpinan orang yang mengaku dari keturunan Al-Hasan, meskipun dengan fadhilah dan kebesaran mereka, kesamaan mereka memenuhi syarat kepemimpinan, pembaiatan manusia terhadap mereka, keabsahan nasab mereka serta dalamnya ilmu mereka, di mana mereka semua telah mencapai derajat ijtihad mutlak -semoga Allah memerangi mereka, bagaimana mereka sampai menyimpang?-.
Coba lihat mereka para musuh ahli bait yang telah menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  dan Fathimah dengan mengingkari nasab yang secara pasti termasuk keturunan Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu, padahal tetapnya keturunan beliau itu mutawatir[103], tidak tersembunyi bagi orang yang mempunyai pengetahuan. Padahal, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam  telah menganggap perbuatan mencela nasab itu termasuk perbuatan jahiliyyah[104] dan telah datang dalil yang menunjukkan bahwa Al-Mahdi itu berasal dari keturunan Al-Hasan sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dan yang selainnya.[105]
___________________________
101 Asy-Syaikh rahimahullah menyebutkan pengingkaran Rafidhah terhadap keturunan Al-Hasan dikarenakan mereka -semoga Allah memerangi mereka- membenci Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu di mana beliau mengalah turun dari kekhalifahan untuk Mu’awiyyah, melindungi darah kaum muslimin, dan memenuhi sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid. Semoga Allah akan mendamaikan dengannya dua kelompok besar dari kaum muslimin. ”(Dari Abu Bakrah dalam riwayat Al-Bukhari no. 3746 sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan- Nihayah [8/16]).
102 Dengan bukti bahwa para imam mereka berasal dari keturunan Al- Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu sampai mahdi mereka yang diyakini Muhammad bin Al-Hasan Al-Askari, padahal hakikat perkaranya itu hanya khurafat (cerita khayalan).
103 Silakan melihat apa yang ditulis oleh guru kami, Al-Imam Al-Wadi’irahimahullah, dalam kitab beliau Riyadhul Jannah hal. 64, menukilkan dari ulama Yaman, Muhammad bin Isma’il Al-Amir Ash-Shan’ani, dalam kitabnya, Al-Masa’il Ats-Tsiman di mana beliau mendukung apa yang disebutkan oleh penulis rahimahullah bahwa anak keturunan Al-Hasan senantiasa ada sampai sekarang. Silakan juga melihat Siyar A’lami An-Nubala’ (3/279)
104 Asy-Syaikh mengisyaratkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Muslim no. 934: Dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ada empat perkara di umatku dari perkara jahiliyyah yang tidak mereka tinggalkan: membanggakan keturunan, mencela nasab, minta hujan dengan bintang, dan niyahah (meratapi mayit).”
105 Hadits tersebut riwayat Abu Dawud no. 4290 dari jalan Abu Ishaq As-Sa’bi dari ‘Ali bin Abi Thalib. Dalam ‘Annul Ma’bud, Al-Mundziri mengatakan bahwa sanad ini terputus, Abu Ishaq As-Sabi’i hanya sekali melihat Ali. Dan hadits tersebut didhaifkan oleh Al-Albani dalam Al- Misykah no. 5462.
Faidah: Ibnul Qayyim berkata dalam Al-Manarul Munif hal. 118 cet. Darul Ashimah,
“Keadaan Al-Mahdi itu dari keturunan Al-Hasan terdapat rahasia yang unik, di mana Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu meninggalkan kekhalifahan karena Allah, maka Allah menjadikan dari anak turunnya orang yang akan menjadi khalifah yang sah yang berisi keadilan yang memenuhi bumi. Ini adalah sunnatullah pada hamba-hamba-Nya bahwa siapa saja yang meninggalkan sesuatu karena-Nya, maka Allah akan memberikan kepadanya-atau memberikan kepada anak cucunya- sesuatu yang lebih afdhal darinya. Ini berbeda dengan Al-Husain radhiyallahu ‘anhu di mana beliau sangat ingin memperolehnya dan berperang untuk mendapatkannya, tetapi tidak berhasil. Wallahu a’lam.”
[Dari: Risalatun fir Raddi ‘alal Rafidhah; Penulis: Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab; Ta’liq & Tahqiq: Abu Bakr Abdur Razzaq bin Shalih bin Ali An-Nahmi; Judul Indonesia: Bantahan & Peringatan atas Agama Syiah Rafidhah; Penerjemah: Abu Hudzaifah Yahya; Penerbit: Penerbit Al-Ilmu]
https://hizbiyyun.wordpress.com/2012/10/01/membantah-syiah-masalah-pengingkaran-terhadap-keturunan-al-hasan/

Nama-Nama Ahli Bait yang Terbunuh Bersama Husein

Nama-Nama Ahli Bait yang Terbunuh Bersama Husein
Setelah peperangan selesai, Umar bin Sa’ad memerintahkan agar siapa pun tidak berbuat jahat kepada putra-putra Husein dan istri-istrinya.[1]  Umar bin Sa’ad mengirimkan Husein, istri-istrinya dan anak-anak kecil yang bersama dengannya kepada Ibnu Ziyad.[2]
Itu adalah keluarga Husein yang masih hidup. Sedangkan pendukung Husein dari keluarga Rasulullah saw yang terbunuh dalam peperangan itu adalah:
Husein itu sendiri, Jakfar, Abbas, Abu Bakar, Muhammad, dan Utsman; mereka adalah putra-putra Ali bin Abi Thalib.
Putra Husein, yaitu Ali yang paling besar, bukan Ali Zainal Abidin, karena ia adalah Ali yang paling kecil, dan Abdullah.
Putra-putra Hasan, yaitu Abdullah, Qasim, dan Abu Bakar.
Putra-putra Uqail, yaitu Jakfar, Abdullah, Abdurrahman, dan Muslim bin Uqail dibunuh di Kufah, dan Abdullah bin Muslim.
Putra-putra Abdullah bin Jakfar, yaitu Aun dan Muhammad.[3]
Semuanya adalah 18 orang dari keluarga Rasulullah saw. Mereka telah terbunuh dalam peperangan yang tidak seimbang ini.
Namun, yang aneh dari peperangan ini, Abu Bakar bin Ali, Utsman bin Ali, serta Abu Bakar bin Hasan yang terbunuh bersama Husein bin Ali ra tersebut tidak diakui oleh Syiah. Anda tidak akan menemukan nama-nama mereka ini ketika mendengarkan kaset-kaset dari Syiah dan buku-buku yang mereka tulis tentang terbunuhnya Husein.
Tujuannya adalah agar tidak dikatakan bahwa Ali bin Abi Thalib menamai putra-putranya dengan nama Abu Bakar, Umar, dan Utsman, atau Hasan memberikan nama kepada putra-putranya dengan nama Abu Bakar. Ini adalah sesuatu yang sangat aneh dari mereka![4]
—————
[1]  Ath-Thabaqât, V/385; Mawâqif Al-Mu’âradlah, hal. 277
[2]  Târîkh Ath-Thabari, dengan menukil dari Mawâqif Al-Mu’âradlah, hal. 276
[3]  Târîkh Khalîfah bin Khyyâth, hal. 234
[4]  Hiqbah Min At-Târîkh, hal. 135, 136

* Disadur dari Ensiklopedi Sejarah Dr Ali Ash-Shalabi oleh Agus Abdullah. Semoga Allah memberikan pahala jariyah kepada beliau.

Dongeng-Dongeng Keajaiban Saat Husein Terbunuh

Dongeng-Dongeng Keajaiban Saat Husein Terbunuh
Terbunuhnya Husein di Karbala secara zalim jelas meninggalkan duka bagi umat Islam. Namun, Islam tidak mengajarkan umatnya untuk membesar-besarkan masalah hingga berakhir pada perbuatan yang berlebihan, yang dilarang agama.
Kelompok Syiah telah berlebih-lebihan dalam meriwayatkan kejadian ini. Buku-buku sejarah mereka penuh dengan dongeng kejadian-kejadian yang aneh terkait tragedi Karbala.
Contohnya mereka menyebutkan bahwa beberapa saat setelah Husein terbunuh, langit berubah merah. Batu-batu mengeluarkan darah dari baliknya. Jin menangis dan khayalan-khayalan lain yang direka-reka oleh sejarawan Syiah pada waktu itu. Dongeng-dongeng ini diwarisi sampai saat ini untuk membesar-besarkan kejadian tersebut. [1]
Pengkaji sanad riwayat-riwayat itu menyimpulkan bahwa itu adalah kisah yang dhaif dan merusak. Ada riwayat yang perawinya tidak dikenal (majhul) atau orang yang menyembunyikan fakta (mudallis)  agar mata generasi berikutnya buta terhadap kejadian yang sebenarnya.” [2]   Hanya ada satu riwayat yang disebutkan di Fadhailush Shahabah (II/766) yang menyebutkan bahwa Ummu Salamah mendengar jin menangis iba atas kematian Husein. Disebutkan bahwa riwayatnya hasan.
Di antara kebohongan sejarawan Syiah pada kejadian ini, bahwa keluarga Husein dan pendukungnya yang ditangkap, diarak di atas unta-unta dalam keadaan telanjang. Itulah sebabnya, menurut mereka, punuk-punuk unta Bukhati[3]  tumbuh pada hari itu untuk menutup aurat mereka, terutama untuk menutupi kemaluan dan dubur mereka.[4]
Ibnu Katsir, ahli tafsir dan sejarawan warisan umat Islam, menyatakan bahwa itu adalah tindakan Syiah yang berlebih-lebihan. Ibnu Katsir mengungkapkan:
“Syiah telah berlebih-lebihan pada Hari Asyura. Mereka mereka-reka banyak hadits dan kebohongan yang nyata, misalnya gerhana matahari pada hari itu sampai bintang-bintang menjadi kelihatan. Pada hari itu setiap batu yang diangkat, pasti ditemukan darah di bawahnya. Setiap penjuru langit menjadi merah membara. Matahari terbit dan sinarnya seolah-olah seperti darah. Matahari menjadi seolah-olah darah yang menggantung. Bintang-bintang saling bertabrakan. Langit menurunkan hujan darah merah. Merah langit saat itu belum pernah dikenal sebelumnya.
Ketika mereka membawa kepala Husein masuk ke istana pemerintahan, tembok-tembok istana mengalirkan darah. Setiap batu di Baitul Maqdis yang diangkat pasti keluar darah pekat di bawahnya. Unta yang mereka rampas dari Husein, ketika direbus, dagingnya menjadi seperti buah labu. Dan masih banyak kepalsuan lain yang tidak shahih sama sekali.”[5]
——————
[1]  Ahdâts wa Ahâdîts Fitnah Al-Haraj, hal. 204
[2]  Ibid, hal. 213
[3]  Bukhati adalah unta Khurasan
[4]  Al-Bidâyah wan Nihâyah, XI/564, 565
[5]  Al-Bidâyah wan Nihâyah, XI/576
* Disadur dari Ensiklopedi Sejarah Dr Ali Ash-Shalabi oleh Agus Abdullah. Semoga Allah memberikan pahala jariyah kepada beliau.