Monday, November 2, 2015

Sahkah Iman Tanpa Amal? [ comments ]

[ sambungan comments ]
Abul-HaritsDec 7, 2013, 2:17:00 AM
Demikian pula dalam hal meninggalkan larangan syariat, ada amalan dosa yang jika dilakukan akan menyebabkan pelakunya kafir diantaranya dosa kesyirikan dan sihir. Adapula amalan dosa yang jika dilakukan hanya menyebabkan pelakunya fasik, diantaranya zina, minum khamr, mencuri, memakan harta riba, dsb.
Pernyataan “barangsiapa yang tidak masuk Islam secara kaffah maka ia kafir” mirip dengan keyakinan sesat kelompok Khawarij yang menyatakan “barangsiapa yang terjatuh dalam dosa besar, maka ia kafir dan kekal di neraka”. Menurut kelompok Khawarij, seorang yang minum khamr maka ia kafir karena tidak mengamalkan Islam secara kaffah. Seorang yang melakukan zina kafir karena tidak mengamalkan Islam secara kaffah. Seorang yang mencuri kafir karena tidak mengamalkan Islam secara kaffah. Seorang yang memakan harta riba juga kafir karena tidak mengamalkan Islam secara kaffah. Tidak ada perbedaan yang berarti antara keyakinan antum dan keyakinan Khawarij.
[Kedua] Allah ta’ala dalam Al-Qur’an seringkali menyeru kaum muslimin dengan panggilan “wahai orang-orang yang beriman”, kemudian menyebutkan sebuah perintah atau menyebutkan sebuah larangan agar ditinggalkan. Hal ini tidak melazimkan “kekafiran” seorang muslim yang belum mampu melakukan perintah Allah tersebut, juga tidak melazimkan “kekafiran” seorang yang belum mampu meninggalkan larangan Allah tersebut. Cermati firman Allah berikut,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
 “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan” [QS. Ali-Imran: 130]
Apakah seorang yang memakan harta riba tidak dikatakan beriman (kafir)?
Allah ta’ala juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
 “Wahai orang-orang yang beriman penuhilah janji..” [QS. Al-Ma’idah: 1]
Apakah seorang yang menyelisihi janji dikatakan tidak beriman (kafir)?
Ayat-ayat semisal ini dalam Al-Qur’an sangatlah banyak. Saya kira dua contoh ayat di atas telah mencukupi. Hanya kelompok Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar berdasarkan kedua ayat di atas.

Abul-HaritsDec 7, 2013, 2:56:00 AM
2. Kemudian firman Allah berikut:
 “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan, ‘Kami beriman kepada sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain),’ serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman dan kafir). Merekalah orang-orang KAFIR yang sebenarnya. Kami telah menyiapkan siksaan yang menghinakan untuk orang-orang yang kafir itu.” (QS An-Nisa’: 150-151)
Kita lihat tafsir para ulama berkenaan dengan ayat di atas,
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
يتوعد تبارك و تعالى الكافرين به وبرسله من اليهود والنصارى، حيث فَرّقوا بين الله ورسله في الإيمان، فآمنوا ببعض الأنبياء وكفروا ببعض
 “Allah tabaraka wata’ala memberikan ancaman pada orang-orang yang kafir kepada-Nya dan kafir kepada rasul-rasul-Nya, diantara mereka adalah orang-orang Yahudi dan Nashrani. Mereka membedakan antara keimanan pada Allah dan keimanan pada rasul-rasul-Nya. Mereka beriman kepada sebagian nabi, namun kafir kepada sebagian nabi yang lain” [Tafsir Ibnu Katsir, 2/445]
Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thabari rahimahullah berkata:
كما فعلت اليهود من تكذيبهم عيسى ومحمدًا صلى الله عليهما وسلم، وتصديقهم بموسى وسائر الأنبياء قبله بزعمهم. وكما فعلت النصارى من تكذيبهم محمدًا صلى الله عليه وسلم، وتصديقهم بعيسى وسائر الأنبياء قبله بزعمهم
 “Sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi tatkala mereka mendustakan Isa dan Muhammad shallalahu ‘alaihi wasallam bersamaan dengan keimanan mereka kepada Musa dan para nabi sebelumnya menurut anggapa mereka.
Demikian pula sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Nashrani tatkala mendustakan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersamaan dengan keimanan mereka kepada Isa dan para nabi sebelumnya menurut anggapan mereka.” [Tafsir Ath-Thabari, 9/352]
Dari penjelasan para ulama ahli tafsir di atas, jelaslah bahwa ayat di atas berkenaan dengan orang-orang Yahudi dan Nashrani yang tidak mau beriman kepada seluruh nabi dan rasul. Kenapa antum menerapkan ayat di atas kepada orang-orang beriman yang masih terjatuh dalam dosa besar? Apakah seorang yang masih berbuat dosa telah kafir kepada sebagian nabi dan beriman kepada sebagian nabi yang lain? Pendalilan yang aneh dan cenderung dipaksakan.
Akhi, permasalahan “takfir” (mengkafirkan seorang muslim) merupakan permasalahan besar. Di sana terdapat konsekuensi yang berat, jika seorang muslim dinyatakan telah kafir maka ia harus diceraikan dari istrinya yang muslimah, tidak dishalati ketika meninggal, hartanya tidak diwariskan dan ia akan mendapatkan kekekalan azab di neraka.
Permasalahan ini telah dibahas oleh para ulama secara rinci dalam kitab-kitab mereka, tidak cukup saya sebutkan satu-persatu dalam kolom komentar ini.

Abul-HaritsDec 7, 2013, 4:29:00 AM
3. Kemudian firman Allah berikut:
 “Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongannya, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS An-Naml: 14)
Kembali kita buka kitab tafsir para ulama ketika menafsirkan ayat di atas,
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
يقول تعالى لرسوله صلى الله عليه وسلم مذكرًا له ما كان من أمر موسى، كيف اصطفاه الله وكلمه، وناجاه وأعطاه من الآيات العظيمة الباهرة، والأدلة القاهرة، وابتعثه إلى فرعون وملئه، فجحدوا بها وكفروا واستكبروا عن اتباعه والانقياد له
 “Allah ta’ala berfirman kepada rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan tentang apa yang telah terjadi pada Musa, bagaimana Allah telah memilihnya dan mengajaknya berbicara. Allah telah menyelamatkannya lalu mewahyukan padanya ayat-ayat yang agung, dan jelas beserta dalil-dalil yang tidak terbantahkan. Allah mengutus Musa kepada Fir’aun dan pengikutnya. Namun mereka (Fir’aun dan pengikutnya -pen) mengingkari Musa, mengkufurinya, sombong lagi tidak mau mengikuti Musa dan taat kepadanya.” [Tafsir Ibnu Katsir, 6/179]
Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thabari rahimahullah berkata:
يقول تعالى ذكره: فلما جاءت فرعون آياتنا، يعني: أدلتنا وحججنا
 “Allah ta’ala menyebutkan tatkala ayat-ayat Kami telah sampai pada Fir’aun, yaitu dalil-dalil dan hujjah dari Kami..” [Tafsir Ath-Thabari, 19/435]
Imam Ibnul-Jauzi rahimahullah berkata:
قال الزجاج : المعنى : وجحدوا بها ظُلماً وعُلُوّاً ، أي : ترفُّعاً عن أن يؤمِنوا بما جاء به موسى وهم يعلمون أنها من عند الله
 “Az-Zujaj berkata, maknanya adalah mereka (Fir’aun dan pengikutnya –pen) mengingkarinya secara dzalim dan sombong yaitu mereka merasa dirinya lebih tinggi sehingga tidak beriman kepada apa yang datang dari Musa, padahal mereka mengetahui bahwa hal itu berasal dari Allah” [Zaadul Masiir, 5/17]
Bandingkan dengan penafsiran antum: “apakah perbedaan antara tidak melaksanakan dengan mengingkari...karena dalam surat an nisa ayat 150-151 disebut kafir karena mengingkari...dan di ayat an naml 14 meskipun meyakini tetapi mereka tetap disebut mengingkari karena kezhaliman dan kesombongannya”
Kementar saya,
 [Pertama] Ayat tersebut berkenaan dengan Fir’aun dan pengikutnya yang kafir, namun antum malah menerapkannya pada orang-orang yang beriman.

Abul-HaritsDec 7, 2013, 4:42:00 AM
[Kedua] Fir’aun sama sekali tidak mau beriman kepada Allah, tidak pula mengikuti Musa ‘alaihissalam, meskipun ia tahu bahwa ajaran yang dibawa Musa adalah kebenaran dan berasal dari Allah. Apakah antum hendak menyamakan seorang muslim yang masih memakan harta riba dengan Fir’aun yang kafir? Seorang muslim meskipun fasik sekalipun, ia masih beriman pada Allah dan beramal shalih.
 [Ketiga] "Meninggalkan" (tidak melaksanakan) tentu berbeda dengan "mengingkari". Agar lebih jelas, saya berikan dua contoh masalah:
- Seorang yang meninggalkan shalat Subuh, ini memiliki dua kemungkinan,
Pertama, Shalat Subuh tidak wajib menurut anggapannya sehingga ia pun meremehkan dan meninggalkan shalat Subuh. Dalam kasus ini ia meninggalkan shalat karena mengingkari kewajiban Shalat Subuh.
Kedua, Ia tahu bahwa Shalat Subuh hukumnya wajib namun ia merasa berat untuk bangun pagi, akhirnya ia pun meninggalkan shalat karena malas. Dalam kasus ini ia meninggalkan shalat karena malas, bukan karena mengingkari kewajiban shalat Subuh.
- Seorang yang meninggalkan haji padahal ia telah mampu, ini juga memiliki dua kemungkinan
Pertama, ia meninggalkan haji karena mengingkari kewajiban haji. Ia menyatakan bahwa haji tidaklah wajib dalam Islam menurut anggapannya. Dalam kasus ini ia meninggalkan haji karena mengingkari kewajibannya
Kedua, ia meninggalkan haji karena sifat kikirnya. Ia tahu bahwa haji hukumya wajib, namun ia merasa berat untuk mengeluarkan sebagian hartanya. Dalam kasus ini ia meninggalkan haji tanpa mengingkari kewajibannya.
Berbeda bukan?
 [Keempat] Para ulama telah bersepakat bahwa seorang yang terjatuh dalam dosa besar tidaklah dikafirkan selama ia tidak menghalalkan dosa tersebut.
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata:
اتَّفق أهل السنة والجماعة – وهم أهل الفقه والأثر – على أنَّ أحداً لا يُخرجه ذنبُه – وإن عظُمَ – من الإسلام
 “Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah –mereka adalah ahlul-fiqh wal-atsar - telah bersepakat bahwasannya seseorang tidaklah dikeluarkan dari wilayah Islam akibat dosa yang dilakukannya – meskipun itu dosa besar –“ [At-Tamhiid, 16/315]
 [Kelima] Para ulama juga telah bersepakat barangsiapa yang menghalalkan perbuatan dosa maka ia dikafirkan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
مَن فعل المحارم مستحلاً لها فهو كافر بالاتفاق
 “Barangsiapa yang melakukan hal yang diharamkan dengan menghalalkannya, maka ia kafir berdasarkan kesepakatan ulama” [Ash-Shaarimul-Masluul, 3/971].
Mudah-mudahah bisa dipahami..

AnonymousDec 11, 2013, 1:14:00 PM
Ustadz, terima kasih atas ulasannya.
apakah saya boleh mengirim pertanyaan lanjutan mengenai ke alamat email ustadz.

Abul-HaritsDec 13, 2013, 2:29:00 AM
Sebaiknya antum tulis pertanyaan di kolom komentar, karena saya jarang ngecek email. Kecuali jika pertanyaan antum bukan untuk konsumsi publik, silahkan kirim ke email.
waffaqanallahu waiyyakum

AnonymousDec 18, 2013, 5:31:00 PM
ustadz, apakah orang yang bersyahadat tersebut seperti orang munafiq seperti yang dijelaskan dalam surat Al Baqarah ayat 8-16 dan Surat Al Munafiqun Ayat 1-8.
yaitu dia bersyahadat..sehingga dia dihukumi sebagai seorang muslim secara dzahir (haram harta dan jiwanya). namun karena dia belum mau meninggalkan pekerjaan riba maka dia termasuk ke dalam orang munafiq yang syahadatnya tidak diterima Allah. meskipun secara dzahir dia dihukumi muslim.
Apakah demikian Ustadz?

Abul-HaritsDec 20, 2013, 2:46:00 AM
Bukan demikian, ia adalah seorang muslim yang berstatus fasik. Karena ia terjatuh dalam dosa besar yaitu memakan harta riba, namun enggan untu bertaubat. Berapa kali saya jelaskan pada antum bahwa pelaku dosa besar tidaklah dikatakan kafir atau munafik. Ini merupakan aqidah ahlus-sunah wal jama'ah.
Ingat, ia bersatus sebagai muslim yang fasik, bukan kafir, bukan pula munafik !! Kita bermuamalah dengannya sebagaimana muamalah sesama muslim.
Telah saya singgung pembahasannya pada komentar sebelumnya, dibaca lagi ya.. Point mana lagi yang belum jelas? Kok diulang-ulang terus pertanyaanya, hanya saja dengan kemasan yang sedikit berbeda..

AnonymousDec 24, 2013, 2:19:00 PM
terima kasih ustadz karena sudah membantu melawan bisikan syetan.
berikut saya rincikan beberapa bisikan syetan mengenai kasus Orang yang bersyahadat namun belum bisa meninggalkan riba, semoga Ustadz bersedia membantu mengulas satu persatu secara detail/lengkap dan disertai dalil mengenai bisikan dibawah ini.
BISIKAN PERTAMA
sebelum bersyahadat syetan membisikkan.."percuma kamu bersyahadat karena kamu belum berserah diri. buktinya kamu belum mau meninggalkan pekerjaan riba. padahal tingkatan paling rendah dalam iman adalah muslim (berserah diri), kemudian mukmin, muhlis dan muttaqin. nah kamu belum mau berserah diri total jadi belum bisa dibilang muslim."
BISIKAN KEDUA
sebelum bersyahadat syetan membisikkan.."Ok. untuk orang islam yang berbuat dosa besar (bukan dosa yang menyebabkan kekafiran) maka tidak dikafirkan. itu karena orang itu sudah masuk islam. Nah kalau kamu BELUM MASUK islam tetapi sudah berniat/berpikir untuk belum bisa/berat hati melaksanakan sebagian perintah. tentu hal ini berbeda donk dengan orang yang sudah masuk dalam wilayah islam namun kemudian dia melakukan dosa besar."
Apakah ada perbedaannya ustadz?
BISIKAN KETIGA
setan : Apakah kamu membenarkan dan meyakini kalimat syahadat?
Anonymous : saya meyakini dan membenarkan
setan : ah kamu bohong. kalau kamu yakin harusnya kamu mau donk keluar dari pekerjaan riba. apakah kamu meragukan bahwa Allah yang memberikan rezeki.
anonymous: saya tidak ragu bahwa Allah yang memberikan rezeki semua makhluknya.
setan: kalau tidak ragu kenapa kamu tidak mau keluar dari pekerjaan riba. berarti itu mengindikasikan bahwa syahadatmu belum benar.
Ustadz, ketika kita meyakini bahwa Allah yang memberikan rizki. namun kita belum bisa keluar dari pekerjaan riba tersebut. apakah hal ini mengindikasikan:
1.) kita masih ragu2 bahwa Allah yang memberikan rezeki
2.) atau menandakan bahwa iman kita masih lemah. karena meskipun kita tetap meyakini bahwa Allah yang mengatur Rezeki namun kenapa belum mau keluar dari pekerjaan riba. (jadi ada perbedaan antara ucapan dan perbuatan).
BISIKAN KEEMPAT
sebelum bersyahadat syetan membisikkan..."kamu mau bersyahadat tetapi kamu belum mau meninggalkaa riba. berarti kamu masih mengikuti hawa nafsu. artinya kamu masih menyembah hawa nafsu. jadi apakah kamu belum mau meninggalkan sesembahan selain Allah".
Ustadz,
1.)apakah jika sebelum bersyahadat kita masih berat hati untuk meninggalkan riba maka masih disebut menyembah hawa nafsu. meskipun di hati kecil sebenarnya ingin keluar dari pekerjaan tsb namun untuk saat ini belum bisa karena belum punya pekerjaan lain. dan mengakui bahwa pekerjaan tsb adalah pekerjaan haram.
2.) apakah udzur karena belum punya pekerjaan lain bisa diterima. atau tidak bisa diterima udzur tsb dan tetap berdosa namun syahadatnya tetap sah
3.) apakah belum mau meninggalkan riba berarti kita disebut melakukan Kufur Ibaa’ (enggan) dan Istikbar (sombong) walaupun disertai pembenaran: seperti kufurnya iblis, karena ia tidak mengingkari perintah Allah akan tetapi ia sombong dan enggan, artinya ia menetapkan dengan hati dan lisannya kebenaran para Rosul, akan tetapi ia tidak mau tunduk dan menerima karena kesombongan dan enggan.

AnonymousDec 24, 2013, 4:03:00 PM
ada tambahan lagi ustadz..
“Para sahabat, tabi’in setelah mereka dan para ulama yang aku ketahui, mereka telah bersepakat (ijma’) bahwa iman adalah perkataan, amal dan niat. Tidak sah hanya mencukupkan salah satu dari yang lain (ketiganya harus terkumpul –pen-).” [Kitab Al-Iman hal.197]
terutama dalam point "Niat"
Orang yang SEBELUM mengucapkan syahadat (meyakini dan membenarkan) tetapi berpikir belum bisa melaksanakan SEBAGIAN PERINTAH (meskipun dia menerima semua ajaran hanya saja belum bisa melaksanakan sebagian perintah karena masih menuruti hawa nafsu). APakah Niat orang ini sudah benar?

Abul-HaritsDec 24, 2013, 6:42:00 PM
BISIKAN PERTAMA
sebelum bersyahadat syetan membisikkan.."percuma kamu bersyahadat karena kamu belum berserah diri. buktinya kamu belum mau meninggalkan pekerjaan riba. padahal tingkatan paling rendah dalam iman adalah muslim (berserah diri), kemudian mukmin, muhlis dan muttaqin. nah kamu belum mau berserah diri total “jadi belum bisa dibilang muslim”."
Jawab dulu 4 pertanyaan berikut menurut apa yang antum pahami ya..
1. Sebagai ilustrasi, saya akan memberikan dua contoh berikut,
- Seorang yang bersyahadat di lisannya, namun tidak mau beramal shalih sebagai konsekuensi dari syahadatnya. Ia tidak shalat, tidak berpuasa, tidak mengeluarkan zakat, tidak haji, tidak membaca Al-Qur’an, dsb. Ia juga melakukan berbagai jenis kemungkaran seperti zina, minum khamr, membunuh, mencuri, merampok, dsb…
- Seorang yang bersyahadat, kemudian ia dengan sukarela dan sepenuh hati melaksanakan konsekuensi dari syahadatnya. Ia melakukan shalat 5 waktu berjama’ah di masjid, berpuasa Ramadhan, menunaikan zakat yang wajib dan bershadaqah, menunaikan haji, membaca Al-Qur’an, dsb namun ia belum mampu meninggalkan perkerjaan riba.
Apakah perbedaan antara dua tipe manusia di atas dalam hal “berserah diri”?
2. Seorang yang masuk ke dalam Islam, ia dituntut untuk mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam beragama baik dalam ibadah, akhlak, muamalah, dsb.
- contoh dalam ibadah, kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam shalat malam adalah membaca surat Al-Baqarah, Ali Imran dan An-Nisaa’ dalam satu raka’at, kemudian ruku’ dan sujud dengan panjang yang hampir sama dengan posisi beliau tatkala berdiri.
Ketika seorang bersyahadat namun dalam hatinya terbetik niat untuk tidak mengikuti sunah beliau dalam masalah qiyamullail, apakah ia belum “berserah diri”?
- contoh dalam akhlak, kita telah mengetahui bahwa akhlak beliau sangatlah mulia. Beliau adalah sebaik-baik manusia dalam hal akhlak. Jika ada seorang yang bersyahadat namun akhlaknya masih jauh dengan akhlak nabi, apakah ia belum “berserah diri”?
3. Jika belum berserah diri secara total menghalangi keabsahan syahadat seseorang, tentu Raja An-Najasyi tidak dikatakan muslim. Karena ia hanya masuk Islam namun tidak melakukan kewajiban hijrah ke Madinah atau tidak pula melakukan kewajiban menerapkan syariat Islam di negerinya. Tentunya anggapan ini tertolak, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat ghaib untuknya, hal ini menunjukkan bahwa An-Najasyi adalah seorang muslim yang diterima syahadatnya.”
4. Seorang yang bersyahadat dengan sepenuh hati, kemudian melakukan amal shalih setelah itu, apakah ini bukan tanda bahwa ia telah “berserah diri” dalam melakukan perintah Allah?

Abul-HaritsDec 24, 2013, 7:10:00 PM
BISIKAN KEDUA
sebelum bersyahadat syetan membisikkan.."Ok. untuk orang islam yang berbuat dosa besar (bukan dosa yang menyebabkan kekafiran) maka tidak dikafirkan. itu karena orang itu sudah masuk islam. Nah kalau kamu BELUM MASUK islam tetapi sudah berniat/berpikir untuk belum bisa/berat hati melaksanakan sebagian perintah. tentu hal ini berbeda donk dengan orang yang sudah masuk dalam wilayah islam namun kemudian dia melakukan dosa besar."
Apakah ada perbedaannya ustadz?
Jawab,
Tidak ada perbedaan, berikut beberapa alasannya:
1. antum sendiri telah menyatakan “padahal tingkatan paling rendah dalam iman adalah muslim (berserah diri)”.
Jika seorang SUDAH masuk Islam, kemudian ia kehilangan “tingkatan paling rendah dalam iman” maka otomatis iman yang ia miliki telah hilang secara keseluruhan (kafir). Keadaannya sama seperti seorang yang BELUM masuk Islam karena sama-sama tidak memiliki “tingkatan paling rendah dalam iman yaitu berserah diri”.
2. Saya akan membuat permisalan iman dengan sebuah rumah. Seorang yang ingin membangun sebuah rumah, namun ia belum membangun tiang sebagai pondasi rumahnya, maka ia belum dikatakan telah memiliki rumah. Begitu pula seorang yang telah memiliki sebuah rumah yang megah, lalu terjadilah gempa sehingga tiang dan pondasi rumahnya rusak, hingga hancur dan robohlah rumah yang ia bangun selama ini.
Diantara yang menduduki tiang dalam pondasi iman seseorang adalah “berserah diri”. Jika ia tidak memiliki tiang sebagai pondasi iman, maka ia tidak dikatakan memiliki rumah iman, sama saja apakah pada asalnya ia belum memiliki rumah atau telah memiliki rumah namun tiangnya rusak sehingga rumahnya pun roboh dan hancur.

Abul-HaritsDec 24, 2013, 7:35:00 PM
BISIKAN KETIGA
Seorang yang belum mampu meninggalkan pekerjaan riba, apakah otomatis ia meragukan kekuasaan Allah dalam memberikan rizki?
Jawabnya, tidak ada kelaziman demikian, saya berikan contoh yang lain.
1. Seorang yang melihat film porno di kamarnya sendirian, apakah berarti ia tidak meyakini bahwa Allah mengetahui dan melihat perbuatan dosa yang ia lakukan dalam kesendirian? Ia tentu meyakini sepenuh hati bahwa Allah Maha Melihat, hanya saja ia dikalahkan oleh hawa nafsunya. Hal ini menunjukkan imannya yang lemah
2. Beberapa orang yang melakukan perbuatan ghibah (menceritakan kejelekan saudaranya), apakah mereka tidak meyakini bahwa Allah Maha Mendengar apa yang mereka katakan?
3. Seorang yang berbuat zalim kepada orang lain dengan memukul dan merampas hartanya, apakah ia tidak meyakini adanya hari pembalasan di akhirat nanti?
Tidak ada seorang pun yang meragukan kekuasaan Allah dalam hal ini, pahami baik-baik ya. Jadi jawaban yang tepat adalah point kedua “menandakan bahwa iman kita masih lemah. karena meskipun kita tetap meyakini bahwa Allah yang mengatur Rezeki namun kenapa belum mau keluar dari pekerjaan riba.”. Kecuali jika ia tidak meyakini adanya Tuhan seperti kelompok Atheis, maka wajar…

Abul-HaritsDec 24, 2013, 8:51:00 PM
BISIKAN KEEMPAT
sebelum bersyahadat syetan membisikkan..."kamu mau bersyahadat tetapi kamu belum mau meninggalkaa riba. berarti kamu masih mengikuti hawa nafsu. artinya kamu masih menyembah hawa nafsu. jadi apakah kamu belum mau meninggalkan sesembahan selain Allah".
Jawabnya, jika setiap orang yang melakukan dosa adalah menyembah hawa nafsu atau belum mau meninggalkan sesembahan selain Allah. Jika memang demikian, maka apakah perbedaan dosa syirik dan dosa-dosa besar selain syirik?
Ini adalah kelaziman aqidah Khawarij, saya berikan beberapa contoh :
1. Seorang yang berbuat zina, maka ia masih menyembah hawa nafsunya sehingga belum mau meninggalkan sesembahan selain Allah. Jadilah ia seorang musyrik yang kafir dengan dosa tersebut
2. Seorang anak yang membunuh orang tuanya karena menginginkan harta warisannya, maka ia masih menyembah hawa nafsunya sehingga belum mau meninggalkan sesembahan selain Allah. Jadilah ia seorang musyrik yang kafir dengan dosa tersebut.
Terapkan dua point di atas dalam seluruh dosa, maka kesimpulannya akan sama. Ia akan mengkafirkan para pelaku dosa besar sebagaimana pemahaman sesat Khawarij. Bahkan pelaku dosa kecil pun bisa dikafirkan dengan analogi ini.
Kesimpulan dari pemahaman sesat ini adalah kekafiran bagi para pelaku dosa, karena setiap dosa yang ia lakukan termasuk penyembahan terhadap hawa nafsu. Ia masih melakukan penyembahan pada selain Allah. Jadi, seluruh dosa yang diperbuat seorang hamba baik mencuri, berzina, membunuh, ghibah, dll adalah dosa kesyirikan yang tidak akan diampuni oleh Allah !!
Lalu bagaimana dengan firman Allah berikut,
 “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa-dosa SELAIN SYIRIK bagi siapa yang dikehendaki-Nya” [QS. An-Nisaa’]

Abul-HaritsDec 24, 2013, 9:24:00 PM
Ustadz,
1)apakah jika sebelum bersyahadat kita masih berat hati untuk meninggalkan riba maka masih disebut menyembah hawa nafsu. meskipun di hati kecil sebenarnya ingin keluar dari pekerjaan tsb namun untuk saat ini belum bisa karena belum punya pekerjaan lain. dan mengakui bahwa pekerjaan tsb adalah pekerjaan haram?
Selama ia masih menyakini keharaman dosa riba dan ada perasaan bersalah dalam hatinya, maka ia memiliki iman. Yang lebih tepat adalah ia masih dikalahkan oleh hawa nafsunya, karena istilah “menyembah hawa nafsu” dapat disalahpahami sebagai aqidah Khawarij.
2) Apakah udzur karena belum punya pekerjaan lain bisa diterima. atau tidak bisa diterima udzur tsb dan tetap berdosa namun syahadatnya tetap sah?
Syahadatnya tetap sah, namun ia tetap berdosa karena lapangan pekerjaan yang halal masih banyak. Tidak ada udzur baginya dalam hal ini. Ia terancam dengan firman Allah berikut:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
 “Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa yang telah sampai nasehat dari Tuhan-Nya, kemudian ia berhenti (meninggalkan riba –pen), maka apa yang telah lalu (halal –pen) baginya dan perkaranya kembali pada Allah. Barangsiapa yang mengulangi (dosa riba –pen), maka mereka itulah para penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” [QS. Al-Baqarah: 275]
3) apakah belum mau meninggalkan riba berarti kita disebut melakukan Kufur Ibaa’ (enggan) dan Istikbar (sombong) walaupun disertai pembenaran: seperti kufurnya iblis, karena ia tidak mengingkari perintah Allah akan tetapi ia sombong dan enggan, artinya ia menetapkan dengan hati dan lisannya kebenaran para Rosul, akan tetapi ia tidak mau tunduk dan menerima karena kesombongan dan enggan?
Ia tidak dikatakan kufur Ibaa’ atau Istikbar, karena beberapa sisi:
1. Iblis telah mendapatkan laknat Allah dan telah divonis sebagai penghuni neraka lagi kekal di dalamnya. Sementara seorang muslim pemakan riba masih bisa diharapkan taubatnya, atau barangkali Allah masih memberikan ampunan padanya atau ia diazab di akhirat sebatas dosanya, kemudian dimasukkan ke dalam surga.
2. Iblis mengingkari perintah Allah dengan kesombongan, sementara ia mengakui kesalahannya dan tidak sombong kepada Allah. Bukankah setiap hari hatinya merasa gelisah? Ia juga senantiasa meminta ampun (beristighfar) kepada Allah atas dosa tersebut, sedangkan Iblis tidaklah demikian
3. Iblis kafir kepada Allah serta tidak beriman pada para nabi dan rasul. Sedangkan ia telah beriman pada Allah dan Rasul-Nya, kemudian melakukan ketaatan pada Allah dan meninggakan larangan-larangan Allah. Meskipun belum semua larangan Allah mampu ia tinggalkan

Abul-HaritsDec 24, 2013, 9:42:00 PM
Orang yang SEBELUM mengucapkan syahadat (meyakini dan membenarkan) tetapi berpikir belum bisa melaksanakan SEBAGIAN PERINTAH (meskipun dia menerima semua ajaran hanya saja belum bisa melaksanakan sebagian perintah karena masih menuruti hawa nafsu). APakah Niat orang ini sudah benar?
Niatnya masih keliru, sehingga perlu diluruskan. Namun kekeliruannya tidaklah menjadikan syahadatnya tertolak. Adapun niat yang dimaksud dalam perkataan Imam Asy-Syafi'i di atas adalah lawan dari nifaq (kemunafikan), yaitu seorang yang bersyahadat dan beramal secara zhahir namun dalam hati ia hanya berniat untuk melindungi harta dan jiwanya, bukan karena keimanan pada Allah.
Sedangkan keadaan orang tersebut pada hakikatnya telah memenuhi tiga komponen iman yang wajib.
1. Ia telah beriman kepada Allah dalam hatinya
2. Ia telah bersyahadat di lisannya
3. Ia telah beramal dengan anggota badannnya dengan melakukan shalat, puasa, zakat, dll
Mudah-mudahan bisa dipahami, waffaqanallahu waiyyakum

AnonymousDec 27, 2013, 5:24:00 PM
Ustadz, kita diwajibkan untuk mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari mencintai siapapun.
1.) sebelum bersyahadat namun belum bisa meninggalkan sebagian perintah, apakah kita sudah disebut telah mencintai Allah dan Rasul-Nya? bukahkah jika mencintai Allah dan Rasul-Nya maka melaksanakan semua perintah dan menjauhi semua larangan.

Abul-HaritsDec 28, 2013, 1:54:00 PM
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّ رَجُلاً عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ اسْمُهُ عَبْدَ اللَّهِ ، وَكَانَ يُلَقَّبُ حِمَارًا ، وَكَانَ يُضْحِكُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - ، وَكَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - قَدْ جَلَدَهُ فِى الشَّرَابِ ، فَأُتِىَ بِهِ يَوْمًا فَأَمَرَ بِهِ فَجُلِدَ ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ اللَّهُمَّ الْعَنْهُ مَا أَكْثَرَ مَا يُؤْتَى بِهِ . فَقَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - « لاَ تَلْعَنُوهُ ، فَوَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ أَنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ »
Dari Umar bin Al-Khaththab, bahwa ada seorang laki-laki di zaman Nabi yang bernama Abdullah, ia diberi julukan Himar. Ia biasa membuat Rasulullah tertawa. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencambuknya karena minum (khamr). Suatu hari ia didatangkan (karena minum khamr lagi -pen), maka beliau memberikan perintah (agar ia dicambuk pen), lalu ia pun dicambuk.
Maka seorang laki-laki dari sahabat berkata, “Semoga Allâh melaknatnya, alangkah seringnya ia didatangkan!”. Maka Nabi kita Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mengatakan demikian, demi Allâh, yang aku ketahui dia mencintai Allâh dan RasulNya”." [HR. Bukhari no.6780]
Faidah yang dapat dipetik:
1. Perbuatan dosa tidaklah menjadikan kecintaan seorang muslim pada Allah dan rasul-
Nya itu hilang secara keseluruhan. Tidak boleh dikatakan bahwa ia tidak mencintai Allah dan Rasul karena telah berkali-kali terjatuh dalam dosa
2. Perbuatan dosa tidaklah mengkafirkan pelakunya, selama ia tidak menghalalkannya. Buktinya, Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam tidak mengkafirkan sahabat tersebut
3. Iman itu bertingkat-tingkat. Saya akan membuat permisalan iman dengan 1 lingkaran besar, 1 lingkaran sedang dan 1 lingkaran kecil. Posisi lingkaran kecil berada dalam lingkaran sedang, kemudian posisi lingkaran sedang berada di dalam lingkaran besar.
Lingkaran kecil adalah ashlul iman (pokok keimanan), lingkaran sedang di luar lingkaran kecil adalah al-iman al-wajib (iman yang wajib), sedangkan lingkaran yang besar di luar lingkaran sedang adalah kamaalul iman (iman yang sunah/penyempurna iman). Nah, kecintaan pada Allah dan rasul-Nya melebihi cintanya pada dirinya, orang tua, anak dan siapa pun termasuk dalam al-iman al-wajib. Jika ia tidak memilikinya, ia masih memiliki ashlul-iman yang menjadikan imannya sah dan syahadatnya diterima.
Jika ia tidak mencintai Allah dan rasul-Nya, untuk apa ia masuk Islam, kemudian melakukan shalat, puasa, zakat, membaca Al-Qur,an, meninggalkan zina, dsb?
Keadaan orang tersebut lebih tepat dikatakan "tidak sempurna kecintaanya pada Allah dan Rasul, karena ia masih dikalahkan oleh hawa nafsunya". Sesuatu yang tidak sempurna bukan bearti tidak ada..

AnonymousDec 30, 2013, 5:48:00 PM
Saya pernah membaca ada orang yang memberikan ta'wil hadits Huzaifah ibn Al Yaman radhiallahu anhu bukan sebagaimana yang dipahami oleh Beliau, padahal ta'wilnya harusnya kembali kepada perkataan Hudzaifah Ibn Al Yaman yaitu Beliau menafikan Islam dari orang yang tidak menyempurnakan sebagian rukunnya, Jadi dinafikannya Islam dari orang yang tidak melakukannya sama sekali lebih layak. (lih. Fath al Baari, 2/275).
sumber:http://abul-jauzaa.blogspot.com/2012/04/hadits-tidak-pernah-beramal-kebaikan.html (pada bagian pertanyaan saudara nurhadi baskar)
apakah maksud dari menafikan islam dari orang yang tidak menyempurnakan rukunnya?

AnonymousDec 31, 2013, 11:37:00 AM
PERTAMA
Ustadz, bisa dijelaskan tentang apa saja yang termasuk ke dalam
A. ashlul iman (pokok keimanan),
B. al-iman al-wajib (iman yang wajib),
C. kamaalul iman (iman yang sunah/penyempurna iman)
KEDUA
Ashlul-iman itu adalah iqraar, tashdiiq, dan inqiyaad. Iqraar itu adalah amal lisaan, tashdiiq (membenarkan) itu amal qalbu, dan inqiyaad (tunduk) itu amal qalbu [Majmu’ Al-Fataawaa, 7/638].
Untuk kasus yang bersyahadat namun belum bisa meninggalkan pekerjaan riba. namun orang itu mau shalat, zakat, puasa, dan kewajiban lain.
APAKAH SYARAT TUNDUK TELAH TERPENUHI DALAM PENGUCAPAN SYAHADAT ORANG TERSEBUT?
Ustadz, Karena dalam syarat syahadat Inqiyaad menafikan tark (meninggalkan). sedangkan jika dia melakukan pekerjaan riba berarti dia "tidak tunduk" atau "meninggalkan sebagian dari perintah". yang tentu hal ini berlawanan dengan Inqiyaad itu sendiri yang menafikan tark (meninggalkan).
Apakah syarat syahadat ini membutuhkan ketundukkan total.
sebagaimana dalam firman Allah
“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.” (Luqman: 22).
Inti ayat ini dijadikan dalil dari inqiyad ( tunduk ) syarat Laa Ilaha Illallah adalah pada perkataan ( berserah diri kepada Allah وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللهِ ). Jika tidak ada syarat maka tidak ada yang disyaratkan. Jika seseorang tidak mendatangkan syarat inqiyad pada dirinya maka tidak ada yang disyaratkan yaitu tidak ada islam pada dirinya ( islamnya tidak sah )
terima kasih atas penjelasannya ustadz. karena ilmu saya masih dangkal dalam memahami "syarat syahadat yang ada dalam kitab tauhid baik itu karya syaikh abdul wahab maupun karya syaikh fauzan terutama dalam point "ketundukkan")

Abul-HaritsJan 3, 2014, 5:05:00 AM
Untuk jawaban pertanyaan pertama, silahkan baca artikel Keterkaitan Ashlul-Iman dan A'mal Jawarih, terutama bagian paling akhir dari tulisan artikel. Allahua'lam

Abul-HaritsJan 3, 2014, 11:26:00 AM
Ia telah memiliki pokok inqiyad (ketundukan) dalam hatinya. meskipun ketundukannya belum sempurna. Seorang dikatakan tidak memiliki ketundukan dalam hati, jika ia meninggalkan seluruh konsekuensi syahadatnya, yaitu tatkala ia tidak mau beramal dengan syariat Islam sedikitpun. Adapun orang yang masih beramal shalih dengan kejujuran dan keikhlasan dari hatinya, tidak ada keraguan bahwa ia adalah seorang muslim yang memiliki inqiyad (kepatuhan) dalam hatinya.
Jadi yang berkurang dalam imannya dalam kondisi ini hanyalah al-iman al-wajib, hingga ia pun terancam dengan azab dengan hal itu. Namun ia masih memiliki ashlul-iman. Menghukumi keislaman atau kekufuran seseorang hanyalah bisa dilihat dari zhahirnya. Amalan batinnya kita serahkan pada Allah. Allahua'lam

AnonymousJan 3, 2014, 1:47:00 PM
Ustadz, masih terkait syahadat orang yang belum mau meninggalkan pekerjaan riba.
PERTAMA
Apakah orang tersebut sudah IKHLAS dalam pengucapan syahadatnya. dia mengucapkan syahadat bukan karena harta, wanita, kedudukan. namun dia niatkan karena Allah.
Tetapi dalam hatinya sering timbul pertanyaan.."apakah benar kamu sudah ikhlas dalam bersyahadat. kalau ikhlas kenapa kamu belum mau keluar dari pekerjaan riba".
kita tahu bahwa syahadat merupakan salah satu syarat syahadat. Apabila syarat ikhlas tidak terpenuhi maka syahadatnya tidak sah.
Imam Sahl bin Abdullah at-Tustari berkata: “Tidak ada sesuatupun yang paling berat bagi nafsu manusia melebihi keikhlasan karena pada keikhlasan tidak ada bagian untuk nafsu.” (Jaami’ul ‘uluumi wal hikam, hlm. 17)
sedangkan orang tersebut masih mengikuti hawa nafsu (belum mau meninggalkan pekerjaan riba). Apakah berarti dia disebut belum ikhlas dalam bersyahadat?
KEDUA
dalam surat Shad ayat 82-83 dijelaskan bahwa iblis tidak dapat menyesatkan orang yang ikhlas (muhlis)...
Apakah orang yang masih sering digoda setan (bisikan setan) menunjukkan bahwa dia bukan orang yang ikhlas ATAU dia orang yang ikhlas namun bukan dalam tingkatan "muhlis". karena tingkatan muhlis lebih tinggi dari muslim dan mukmim..
terima kasih ustadz

AnonymousJan 3, 2014, 1:55:00 PM
Ustadz, barusan saya ngirim ke email ustadz...terima kasih

Abul-HaritsJan 3, 2014, 7:46:00 PM
Pertama,
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mendefinisikan ikhlas dengan "menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan dalam ketaatan (ibadah)". Kebalikan ikhlas adalah syirik, baik syirik besar maupun syirik kecil. Seorang yang ikhlas (mukhlis) tidak akan melakukan peribadatan pada selain Allah. Seorang yang masuk Islam dalam keadaan belum bisa meninggalkan riba, apakah ia melakukan peribadatan pada selain Allah? jawabnya tidak.
Jadi, kesimpulannya hampir sama dengan point-point sebelumnya yang antum tanyakan, ia telah memiliki keikhlasan dalam hatinya, kecuali jika ia masuk Islam niatnya bukan karena Allah ketika itu, maka tidak sah syahadatnya.
Pendalilan dengan kelaziman-kelaziman yang antum sebutkan sangatlah lemah. Saya juga bisa berbuat hal yang serupa untuk mengkafirkan seorang muslim !!! sebagai contoh:
1. Kenapa Anda tidak berpuasa sunah Senin Kamis? bukankah ini merupakan sunah rasul. Allah memerintahkan kita untuk mengikuti rasul dalam ibadah. Apakah Anda tidak meyakini Allah sebagai Tuhan yang harus ditaati? Anda kafir kalo begitu karena tidak meyakini Allah sebagai Tuhan !!!
2. Kenapa Anda tidak melakukan shalat sunah Dhuha? bukankah ini sunah rasul. Ketika Anda enggan melakukan shalat Dhuha, ini merupakan tanda bahwa Anda belum ikhlas dalam bersyahadat. Buktinya Anda menyelisihi konsekuensi syahadat Anda. Kalo begitu Anda kafir karena syahadat Anda tidak sah!!!
Pola pikir semacam ini keliru akhi, tidak perlu lagi kita berlarut-larut membahasnya

AnonymousJan 6, 2014, 1:25:00 PM
Ustadz, saya mau bertanya tentang syirik.
Di kantor kita sering melihat kemaksiatan. kita hanya mampu mengubahnya dengan hati. padahal sebenarnya kita mampu untuk mengubahnya minimal dengan lisan. namun mengubah dengan lisan tersebut tidak kita lakukan karena kita sungkan dengan orang tersebut (karena orang tersebut lebih tua).
Apakah tindakan ini termasuk syirik kecil, karena dia tidak jadi melakukan kebaikan (mengubah dengan lisan) karena sungkan dengan orang lain?

Abul-HaritsJan 8, 2014, 3:16:00 AM
عن أبي سعيد الخدري -رضي الله عنه- قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من رأى منكم منكرا فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:
“Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.” [HR. Muslim no. 49]
Dalam hadits ini Rasulullah TIDAK menyatakan bahwa orang yang tidak mengingkari kemungkaran dengan lisannya telah terjatuh pada kesyirikan. Namun beliau hanya mengisyaratkan bahwa hal itu adalah tingkatan keimanan yang paling rendah.
Sebelum memvonis perbuatan ini termask syirik atau bukan, kita harus mengetahui definisi syirik terlebih dahulu. Para ulama mendefinisikan syirik sebagai berikut:
تسوية غير الله بالله فى شئ من خصائص الله
"menyamakan selain Allah dengan Allah dalam hal yang merupakan kekhususan Allah"
Diantara kekhususan Allah adalah sifat rububiyyah seperti memberi rizki, menghidupkan, mematikan, mengatur alam semesta dll. Begitu pula kekhususan dalam uluhiyyah yaitu memberikan segala jenis ibadah hanya untuk Allah. Dalam contoh kasus antum, saya tidak melihat adanya penyerupaan bagi Allah dalam hal yang merupakan kekhususan bagi-Nya. Allahua'lam

tito-titoJan 15, 2014, 2:30:00 PM
Bismillah,
Ustadz, sy membaca apa yg ditulis oleh al akh Abul Jauza dalam blognya:
Bargkali antm sdh membaca artikel di blog tsb. Dan tidaklah saya menanyakan hl tsb kpd antm tidak lain (1) setelah saya mencari ke sana kemari mengenai pembahasan ini dan mendapatkan pembahasan yg memadai dlm hal ini. Sy mengesampingkan adanya tahdzir dan celaan yg beredar di internet tanpa memberikan faedah pembahasan yg detail terkait msalah ini.(2) Sy menginginkan bayyinah yg kuat, dan kebenaran hujjah dlm mslh ini?
Pertanyaan saya: Apakah dlm artikel Al Akh Abul Jauza tsb mengandung paham irja'? Sy berulang-ulang membaca tsb, tmsk di kolom komentar hingga paham. Namun, sya tidak tahu apakah di dalamnya mengandung paham irja' atau tidak; yakni msh dlm lingkup khilaf antara ahlissunnah?
Jazakallohu khoiron
Tito Abu Ilyas

Abul-HaritsJan 16, 2014, 8:15:00 AM
Silahkan baca artikel Sebab-Sebab Kesesatan Tokoh Penyebar Pemikiran Murji’ah Kontemporer
Mudah-mudahan bisa dipahami