Monday, December 7, 2015

Fatwa MPU Aceh No. 9 Tahun 2014 Terkait Manhaj Salaf Tampak Janggal Dan Terkesan Tidak Ilmiyyah, Bertentangan Dengan Dalil Alquran Dan Sunnah. Berseberangan Dengan Fatwa Yang Pernah Dikeluarkan Oleh MUI Jakarta Utara Tentang Salafi. Tidak Jujur Menyalin/Memahami Manhaj Salaf Dari Tokoh-Tokoh Salafi Aceh, Dilakukan Tanpa Proses Peradilan Di Mahkamah Syar’iyah Dan Terkesan Ada Vested Interested.


nsht

"Berbicara Tentang Allah Tanpa Ilmu" Lebih Besar Dosanya Dari Dosa Syirik...
Nasihat untuk Ahlus Sunnah Aceh dan Seluruh Negeri (Disertai Jawaban Ilmiah Atas Fatwa Sesat dari MPU Aceh)
Kadis Syariat Islam Aceh: Siapa Salafi Wahabi? Tunjukkan!
Apakah Para Ulama Atjeh Yang Mengumandangkan Perang Sabil Melawan Penjajah Belanda Adalah PARA ULAMA WAHABI??
Index ”Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”
Mana Jalan Yang Harus Ditempuh ? Antara Jalan Allah Atau Jalan Iblis Dan Pengikutnya.

Alloh Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu)” [Al-A’raf: 33]

MPU Aceh dan “Fatwa Pujangga” (Analisis terhadap Fatwa MPU Aceh No. 09 Tahun 2014 tentang Pemahaman, Pemikiran, Pengamalan dan Penyiaran Agama Islam di Aceh)

Oleh: Khairil Miswar 
Bireuen, 11 Oktober 2014
Dalam hal theology, mayoritas masyarakat Aceh merujuk kepada pemikiran Abu Hasan Al-Asy’ari, sedangkan dalam bidang fiqih berpedoman kepada Mazhab Syafi”iyah. Di sisi lain, secara teoritis, para teungku dan ulama di Aceh mengakui keberadaan dan kebenaran empat mazhab mu’tabar. Namun dalam aplikasinya, hal ini sering “terabaikan”. Bahkan, dalam kondisi tertentu, terkadang perbedaan tata cara ibadah juga menjadi pemicu timbulnya stigma-stigma sesat terhadap komunitas tertentu yang dianggap menyalahi tradisi beragama yang telah mengakar dan dilaksanakan secara turun-temurun oleh masyarakat Aceh.
Fatwa MPU Aceh 
Sebagai daerah yang telah diberi hak untuk menjalankan Syariat Islam, Aceh memiliki beberapa kekhususan yang diatur secara khusus dalam undang-undang dan qanun. Majelis Permusyawaratan Ulama merupakan lembaga keagamaan yang memiliki otoritas dalam melakukan kajian terkait persoalan agama di Aceh. Bagi masyarakat Aceh, MPU merupakan rujukan terakhir dalam menyelesaikan berbagai permasalahan kegamaan. Sebagai masyarakat yang dikenal fanatik terhadap Islam, dapat dikatakan bahwa fatwa MPU memiliki kedudukan tinggi dalam pandangan masyarakat Aceh. Hal ini disebabkan karena personalia MPU diisi oleh ulama-ulama yang dihormati oleh masyarakat. 

 

Beberapa waktu lalu, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh telah mengeluarkan Fatwa No. 9 Tahun 2014 tentang Pemahaman, Pemikiran, Pengamalan dan Penyiaran Agama Islam di Aceh. Meskipun fatwa tersebut dikeluarkan oleh para ulama, namun dalam pandangan penulis, beberapa poin dalam fatwa tersebut tampak janggal dan terkesan tidak ilmiah, di antaranya:

Pertama, “mengimani bahwa zat Allah di atas langit atau ‘Arasy adalah sesat dan menyesatkan.” Klaim yang difatwakan oleh MPU ini jelas-jelas bertentangan dengan dalil, Alquran dan Sunnah. Tentang persoalan istiwa Allah di atas ‘Arasy telah jelas disebutkan dalam Alquran dan hadits shahih. Para ulama besar dan Imam Mazhab juga telah secara terang menyatakan bahwa Allah beristiwa di atas ‘Arasy dan juga turun ke langit dunia pada sepertiga malam. Imam Darul Hijrah, Malik bin Anas dalam salah satu keterangannya telah menyatakan bahwa wajib bagi kaum muslimin untuk beriman kepada istiwa Allah. Demikian pula dengan Abu Hasan Al-Asy’ari dalam Al-Ibanah secara tegas menyatakan bahwa Allah beristiwa di atas ‘Arasy tanpa ada penakwilan. Sangat kontradiktif, ketika di satu sisi MPU Aceh menyatakan mengikut kepada pemahaman Al-Asy’ari, tetapi di sisi lain MPU Aceh justru menolak fatwa-fatwa dari Imam Al-Asy’ari.

Kedua, “pemahaman yang menyatakan bahwa wajib mengikuti Alquran dan Hadits dalam bidang akidah, syariah dan akhlak adalah salah.” Poin ini semakin mempertegas bahwa MPU Aceh telah tergesa-gesa dalam membuat keputusan, sehingga fatwa MPU Aceh No. 9 tahun 2014 bertentangan dengan fatwa sebelumnya. Dalam fatwa MPU Aceh No. 04 Tahun 2007 tentang pedoman Identifikasi Aliran Sesat, dalam salah satu poinnya disebutkan bahwa mengingkari kebenaran Alquran dan mengingkari kedudukan hadits sebagai sumber ajaran Islam merupakan salah satu kriteria aliran sesat. Jika merujuk pada fatwa MPU Aceh No. 4 tersebut, maka MPU Aceh telah “menelan ludah sendiri”, karena telah mengingkari kedudukan Alquran dan hadits sebagai sumber ajaran Islam.

Ketiga, dalam bab Taushiyah, MPU Aceh meminta pemerintah untuk segera menutup pengajian yang dinyatakan sesat oleh MPU, seperti pengajian kelompok Salafi di Gampong Pulo Raya, Kecamatan Titeu, Kabupaten Pidie. Dalam hal ini, menurut penulis, MPU Aceh telah keluar dari kewenangannya. MPU Aceh, sesuai dengan Qanun Aceh No. 11 Tahun 2002 hanya memiliki kewenangan untuk menetapkan kriteria aliran sesat. Adapun pihak yang berwenang memeriksa dan mengadili pelaku aliran sesat adalah Mahkamah Syar’iyah sesuai dengan Qanun Aceh No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam. Dengan kata lain, MPU Aceh tidak berwenang untuk menetapkan seseorang ataupun sebuah kelompok sebagai penganut aliran sesat, apalagi hal tersebut dilakukan tanpa proses peradilan di Mahkamah Syar’iyah.
Hasil Investigasi Wartawan Waspada
Pasca terbitnya fatwa MPU No. 9 Tahun 2014, wartawan Harian Waspada Medan (Muhammad Riza) telah melakukan upaya untuk mewawancarai tokoh-tokoh Salafi di pedalaman Pidie. Dalam wawancara tersebut, terungkap beberapa hal aneh, di mana MPU Aceh telah melakukan beberapa “kesalahan” dalam fatwanya tersebut. MPU Aceh, entah karena sengaja atau pun tidak, telah menambah dan mengurangi keterangan yang diperoleh dari tokoh Salafi. Di antara “keteledoran” MPU sebagaimana tercatat dalam laporan Muhammad Riza adalah sebagai berikut:

Pertama, dalam bidang Akidah; “mengimani bahwa zat Allah hanya di atas langit atau ‘Arasy adalah sesat dan menyesatkan.” Menurut Tgk. Adam Abu Rifqi (tokoh Salafi), penambahan kata “hanya” dalam fatwa tersebut adalah tambahan dari pihak MPU dan bukan berasal dari keterangan Salafi. Penambahan kata “hanya” tersebut tentunya akan berimplikasi pada pergeseran makna kalimat. Sebagaimana kita ketahui, berdasarkan informasi dari Alquran dan Sunnah, juga dari para ulama bahwa Allah juga turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir. Dalam fatwa tersebut, terkesan bahwa penambahan kata “hanya” yang dilakukan oleh MPU Aceh adalah sebuah upaya untuk “menjerat” Salafi.

Kedua, “mengimani bahwa zat Allah terikat dengan waktu, tempat dan arah (berjihah) adalah sesat dan menyesatkan”. Menurut Tgk. Adam, pihak Salafi justru menolak keyakinan ini dan tidak pernah menyatakan bahwa Allah berjihah. Tapi sayangnya, pihak MPU Aceh, lagi-lagi “menjerat” Salafi dengan sesuatu yang tidak pernah mereka yakini.

Ketiga, dalam bidang ibadah; “pemahaman yang membolehkan niat shalat di luar takbiratul ihram adalah salah.” Pada prinsipnya persoalan ini adalah masalah fiqih, di mana para ulama telah berbeda pendapat. Tapi anehnya MPU Aceh telah berlagak layaknya “Mujtahid Agung” yang dengan penuh percaya diri menetapkan bahwa pemahaman tersebut sebagai sesuatu yang salah. 
Fatwa Pujangga
Dari tiga poin penting yang penulis kutip dari Harian Waspada di atas, terlihat jelas bahwa MPU Aceh telah menunjukkan sikap tergesa-gesa dalam mengeluarkan sebuah fatwa. Bagi masyarakat awam, fatwa MPU merupakan sebuah “titah” yang tidak boleh dibantah, sehingga akan memunculkan paradigma keliru terhadap kelompok tertentu. Dan bukan tidak mungkin, dalam kondisi tertentu, jika tidak cermat, fatwa MPU justru dapat memicu konflik di tengah masyarakat.

Anehnya lagi, fatwa MPU Aceh terkesan tidak ilmiah dan berseberangan dengan fatwa yang pernah dikeluarkan oleh MUI Jakarta Utara tentang Salafi. Dalam fatwa yang diterbitkan pada 08 April 2009 tersebut, MUI Jakarta Utara menegaskan bahwa Salafi tidak termasuk dalam 10 kriteria aliran sesat yang telah ditetapkan oleh MUI Pusat. Menurut MUI Jakarta Utara, dakwah salaf adalah ajakan untuk memurnikan ajaran Islam dengan kembali kepada Alquran dan Sunnah dengan pemahaman para sahabat Radhiallahu 'anhum.

Lagi pula, komunitas Salafi tidak hanya berada di Aceh, tetapi menyebar di seluruh dunia, khususnya di Saudi Arabiya. Sehingga menjadi aneh, ketika MPU Aceh menyatakan Salafi sebagai aliran sesat, sedangkan ulama nusantara lainnya tidak berpendapat demikian. Uniknya lagi, MUI pusat yang lebih otoritatif justru tidak pernah mengeluarkan fatwa sesat terhadap komunitas Salafi. 

Akhirnya kita hanya bisa berharap agar MPU Aceh dapat bersikap lebih dewasa dalam menyikapi persoalan umat. Jangan sampai ego Mazhab menjadi alasan bagi MPU untuk “menyingkirkan” keberagaman yang telah tertata rapi di tengah masyarakat. Segala keputusan yang dilahirkan oleh MPU Aceh mestilah memiliki dasar hukum yang kuat, sehingga fatwa MPU tidak berubah menjadi “fatwa pujangga. Wallahul Musta’an.
Artikel ini sudah pernah diterbitkan oleh Harian Waspada Medan

 

Artikel ini juga mendapat kritik dan tanggapan dari Muhammad Rahmat dalam tulisannya di Website Waspada dengan Judul Fatwa Pujangga Yang Tak Terbaca.

Juga ditanggapi secara positif olehSyamsul Bahri, MAdalam tulisannya yang berjudul Peran Ulama Aceh
http://patahkekeringan.blogspot.co.id/2015/01/mpu-aceh-dan-fatwa-pujangga-analisis.html#.VmU2onYrLrf


 
Akhir-akhir ini, perselisihan terhadap kelompok ‘Salafi’ kembali ramai. Terlebih Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Aceh telah mengeluarkan larangan terhadap pengajian, penyiaran dan ceramah agama yang dilakukan kelompok “salafi” yang menyimpang di Gampong Pulo Raya, Kecamatan Titue, Kabupaten Pidie beberapa waktu lalu.
Bahkan MPU juga meminta pemerintah setempat untuk menutup pengajian tersebut agar tidak diikuti lagi oleh masyarakat awam untuk menghindari keresahan yang mengarah pada gangguan ketertiban warga setempat.
Pernyataan pengajian kelompok Salafi itu menyimpang dituangkan dalam Fatwa MPU Aceh Nomor 9 tahun 2014 tanggal 25 Juni 2014 tentang pemahaman, pemikiran, pengamalan dan penyiaran agama Islam di Aceh.
“Fatwa MPU Aceh dikeluarkan terhadap ajaran Salafi itu dilakukan setelah beberapa pengkajian bersama 47 ulama, yang berada di kabupaten/kota, termasuk beberapa kali pertemuan dengan pimpinan Salafi,” kata Ghazali Mohd Syam.
Disebutkan, ajaran Salafi di Pulo Raya khususnya di Aceh, sangat jauh berbeda dengan ajaran Salafi yang berkembang di masa sahabat Nabi Muhammad SAW, Salafi di Mesir dan Salafi di Arab Saudi.
“Ada 4 poin di aqidah dan lima poin di ibadah yang ajarannya bertentangan dengan ajaran agama Islam,” terang Wakil Ketua MPU Aceh, Prof. Dr. Tgk. H Muslim Ibrahim, MA.


Berbeda dengan Fatwa MUI Jakut
Fatwa MPU yang memasukkan ‘Salafi’ ke dalam kelompok sesat, ternyata berbeda dengan keputusan fatwa MUI Jakarta Utara tahun 2009. Melalui keterangan dan penjelasan dari beberapa da’i salafi yang telah dikonfirmasi oleh pihak MUI Kota Administrasi Jakarta Utara, akhirnya memutuskan bahwa Salaf/salafi tidak termasuk ke dalam 10 kriteria sesat yang telah ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), sehingga Salaf/salafi bukanlah merupakan sekte atau aliran sesat sebagaimana yang berkembang belakangan ini.
Bahkan lebih lanjut, MUI Jakarta Utara menghimbau kepada masyarakat hendaknya tidak mudah melontarkan kata sesat kepada suatu dakwah tanpa diklarifikasi terlebih dahulu dan tidak terprovokasi dengan pernyataan-pernyataan yang tidak bertanggung jawab. Begitu juga kepada para da’i, ustadz, tokoh agama serta tokoh masyarakat hendaknya dapat menenangkan serta memberikan penjelasan yang obyektif tentang masalah ini kepada masyarakat

Salafi Tolak Disebut Sesat

Sulaiman-BANDA ACEH
ilustrasiJamaah Salafi meminta pemerintah dan DPR Aceh, memfasilitasi dan memberikan ruang dialog kepada mereka. Permintaan itu, menindaklanjuti langkah Polres Pidie menghentikan pengajian kelompok Salafi di Pulo Raya karena menyahuti fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh.
Sebelumnya pada 25 Juni 2014, MPU Aceh sudah mengeluarkan fatwa No. 9 Tahun 2014 tentang Pemahaman, Pemikiran, Pengamalan dan Penyiaran Agama Islam di Aceh. MPU menyimpulkan jika ajaran keagamaan di Gampong Pulo Raya, Kecamatan Titue, Kabupaten Pidie dinilai menyimpang dari ajaran Islam.
Terkait dengan fatwa tersebut, jamaah Salafi menegaskan, jika mereka tidak menyimpang, apalagi sesat seperti di fatwakan MPU Aceh. “Kita berharap pemerintah memberikan ruang kepada Salafi agar dapat melaksanakan ibadah dengan nyaman,”ujar Ketua tim pembela Salafi, Nouval Abu Zaid, saat mendatangi kantor Harian Rakyat Aceh, Minggu (17/8).
Kedatangan Nouval Abu Zaid bersama belasan jamaah Salafi ke Kantor Rakyat Aceh, untuk memberikan klarifikasi tentang sikap Polres Pidie melarang pengajian Salafi.
Jamaah Salafi meminta MPU meninjau ulang fatwa dan membuka ruang dialog secara terbuka dengan pihak yang ditujukan dalam fatwa tersebut dengan menghadirkan saksi ahli sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam Fatwa Nomor 04 Tahun 2007 tentang Pedoman Identifikasi Aliran Sesat.
MPU juga diminta mencabut fatwa No. 9 Thn 2014 tentang pemahaman, pemikiran, pengamalan dan penyiaran agama Islam di Aceh, sebelum ada darah Mukmin yang dialirkan di Aceh yang dipicu oleh keluarnya fatwa tersebut.
Pihaknya khawatir, jika perkara ini sampai terdengar oleh ulama-ulama di Negeri Arab Saudi, Pemerintah Arab Saudi akan menghentikan VISA haji dan ‘Umrah untuk Aceh dan Indonesia, seperti yang pernah terjadi di negeri Malaysia, karena lebih 90 persen ulama Arab Saudi adalah salafi.
Menanggapi fatwa MPU, pihaknya menilai jika proses penetapannya tidak sejalan dan menyalahi fatwa Nomor 04 Tahun 2007 tentang pedoman identifikasi aliran sesat, BAB III Point 3, dimana disebutkan : salah satu langkah yang harus dilakukan sebelum penetapan fatwa adalah pemanggilan terhadap pimpinan aliran atau kelompok dan saksi ahli untuk tahqiq (Validasi/pendalaman) dan tabayyun (klarifikasi/penjelasan) atas berbagai data dan aktivitasnya.
Hal tersebut dikatakan tidak dilakukan, karena ketika guru-guru pengajar di Masjid Gampong Pulo Raya Kecamatan Titeue Kabupaten Pidie dan aparat gampong serta tokoh masyarakat dipangggil ke MPU tanggal 28 Mei 2014 hanya membicarakan kronologis kejadian di lapangan dan penjelasan dari guru pengajian tanpa ada tanggapan benar tidaknya terhadap pemahaman tersebut.
Sementara pemanggilan guru-guru pengajian pada tanggal 21 Juni 2014 hanya diajukan pertanyaan yang sudah disiapkan dengan meminta jawaban ya atau tidak, tanpa diberi kesempatan untuk mengutarakan penjelasan dan menyandarkan pemahamannya kepada dalil-dalil serta pendapat para ulama, dan saksi ahli pun tidak dihadirkan, kalaupun ada dihadirkan tetapi saya tidak mendengar pendapatnya untuk tahqiq tentang pemahaman yang dipermasalahkan oleh MPU Aceh.
Selain itu, dari sisi waktu proses penetapan fatwa ini terburu-buru. Karena hanya berselang empat hari setelah pemanggilan guru-guru pengajian oleh pihak MPU Aceh (dipanggil tanggal 21 Juni 2014).
“Salafi merupakan salah satu bagian dari umat Islam yang berpaham ahlussunnah wal jama’ah dan diakui oleh dunia Islam,” tegasnya. (*)

MPU Aceh kalau belum puas silahkan baca dan bantah artikel dibawah ini ( Ilmu untuk mencari kebenaran bukan pembenaran ) :

(Bagian 1) Mengimani Sifat-sifat Allah : Bingung Tentang (Keberadaan) Rabbnya ?
(Bagian 2) Mengimani Sifat-sifat Allah : Isu tentang tajsim dan mujasimah
(Bagian 3) Mengimani Sifat-sifat Allah : Isu Tentang Tasybih dan Musyabihah
(Bagian 4) Mengimani Sifat-sifat Allah : 'Aqidah Ulama Besar Ahlus Sunnah, 'Aqidah Jahmiyah dan 'Aqidah "oknum" Aswaja
(Bagian 5) Mengimani Sifat-sifat Allah : " Keberadaan Allah" Menurut Ustadz KH Muhammad Idrus Ramli (Intelektual Aswaja)
(Bagian 6) Mengimani Sifat-sifat Allah : " Mengimani bahwa kalamullah itu berhuruf dan bersuara " "
'Aqidah Ahlus-Sunnah : Kaum Mukminin Kelak Akan Melihat Allah di Hari Kiamat/Akhirat (Ru'yatullah)
Melihat Allah di Akhirat Anugerah Teristimewa (Bagian 2)
Melihat Allah di Akhirat Anugerah Teristimewa (Bagian 3)
Allah Berfirman dengan Suara yang Dapat Didengar
Allah Berfirman dengan Suara dan Huruf
Turunya Allah ke Langit Dunia (Bagian 1)
Turunya Allah ke Langit Dunia (Bagian 2/ Comments)
Turunya Allah ke Langit Dunia (Bagian 3/ Comments)
Dialog Ukhuwah Ustadz Salafi Wahabi Dengan Idrus Ramli (Tokoh NU) , Silahkan Tonton,.
Kadis Syariat Islam Aceh: Siapa Salafi Wahabi? Tunjukkan!
Menjawab Fitnah Keempat: Allah Memiliki Arah [Menjawab 17 Fitnah Terhadap Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah]
Menjawab Fitnah Kelima: Allah Berjisim1 [Menjawab 17 Fitnah Terhadap Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah]
Pro dan Kontra: Hadith Jariah (2) - Bantahan Bagi Yang Mendha’ifkan Hadits Jaariyyah ( Muawiyyah bin Hakam Tentang Dimana Allah) !
101 Perkataan Ulama Salaf Tentang Keberadaan Allah Di Atas Arsy
[Oleh Abu Fahd Negara Tauhid, dengan menukil dari berbagai macam sumber.
Jika Masih Ada yang Bertanya-tanya “Di manakah Allah”
Jawaban Ahlussunnah Terhadap Argumentasi Para Pengingkar Sifat ‘Uluw Bagi Allah
http://dzikra.com/jawaban-ahlussunnah-terhadap-argumentasi-para-pengingkar-sifat-uluw-bagi-allah/
TAHUKAH KAMU, DI MANAKAH ALLAH?
(ada 66 comments)
Dalil yang menunjukkan Allah di atas semua makhluknya
Bolehkah Mengatakan Allah Ada di Mana-mana?
http://www.konsultasisyariah.com/allah-ada-di-mana-mana/
Dalil Tentang Allah ada Diatas Makhluk-Nya dan Dia subhahanahu wata’ala di atas langit
http://islamqa.com/id/992
Sifat Istiwa’ Allah di Atas ‘Arsy