Saturday, December 19, 2015

Gabung Dengan Koalisi Rusia, Khianati Revolusi, Jordania Serahkan 160 Nama Kelompok Pejuang Suriah. Aktivis Suriah Rilis Daftar Teroris Sebenarnya

87_1

Artikel sebelumnya :
Bahas Strategi Perangi Mujahidin di Suriah. Akibat Banyaknya Ulama Murji'ah Di Negara Ini !
Yordania Larang Kitab-Kitab Karya Ibnu Taimiyah ! Ini Dia Sebabnya

Khianati Revolusi, Jordania Serahkan 160 Nama Kelompok Pejuang Suriah

zahid – Jumat, 18 Desember 2015 16:00 WIB
Eramuslim – Kamis 17 Desember 2015, seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Rusia membocorkan bahwa Jordania telah menyerahkan daftar nama-nama ratusan kelompok pejuang revolusi Suriah yang dianggap sebagai teroris.
Seperti dikutip kantor berita RIA Novosti dari sumber yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan, “Jordan telah menyerahkan kepada kami 160 nama kelompok pejuang Suriah yang dianggap teroris. Langkah ini dilakukan menjelang pertemuan internasional mengenai Suriah yang akan digelar di New York.”
Sumber tersebut menjelaskan bahwa daftar nama-nama kelompok baru ini adalah hasil konsolidasi dan pengembangan yang diberikan oleh negara-negara lain, termasuk Rusia, Amerika Serikat dan Arab Saudi.


Free Syrian Army battle for Aleppo, Syria - 01 Nov 2012...Mandatory Credit: Photo by Tomada/Sipa USA / Rex Features (1944520j) Ahmed Bab, a twenty-three-year-old FSA fighter prays in a mosque in between clashes Free Syrian Army battle for Aleppo, Syria - 01 Nov 2012

Rencananya daftar organisasi ini akan dikeluarkan dalam pembicaraan politik di Suriah yang akan digelar Amerika Serikat di kota New York pada pertengahan bulan Desember ini. (Skynewsarabia/Ram)

Aktivis Suriah Rilis Daftar Teroris Sebenarnya

Jum'at, 6 Rabiul Awwal 1437 H / 18 Desember 2015 14:42
Aktivis Suriah meluncurkan kampanye penyebaran daftar aksi terorisme di Suriah. Kampanye tersebut dilakukan pada Kamis (17/12) dengan mengekspos pasukan militer rezim Basyar Asad yang terlibat dalam aksi terorisme di Suriah.
Para aktivis meluncurkan kampanye dalam mempejuangkan revolusi di Suriah dengan tag “# قائمة_الإرهاب” atau disebut sebagai ‘daftar terorisme’. Daftar tersebut diekspresikan dalam rangka perang melawan kelompok teroris di Suriah, yaitu rezim Asad dan sekutu-sekutu pendukungnya.
Para aktivis yang disebut sebagai ‘Aliansi Militer Islam” melancarkan kampanye untuk menunjukkan kepada dunia daftar hitam teroris sebenarnya yang melakukan tindakan kejahatan, kriminal dan terorisme kepada warga sipil Suriah.
ElDorar, Jumat (18/12) melansir, daftar ini mencakup: Tentara Milisi Asad, Angkatan Udara Rusia, Pengawal Garda Revolusi Iran, “Hizbullah”, Milisi Pertahanan Nasional, ISIS, Unit Perlindungan Orang Kurdi, Partai Sosial Nasionalis Suriah, Brigade Baath, Brigade Abu al Fadl al Abbas, Angkatan Qods, Asaeb ahl al-Haq, Brigade Sayed al-Shohadaa, Gerakan Nujaba, Brigade Al-Waed al-Sadeq, Brigade Imam Hussein, Saraya Vanguards Khorasan dan Milisi Afghanistan.
Kampanye ini datang dalam rangka menanggapi daftar “teroris” yang diserahkan oleh Jordan untuk pemerintah Rusia, termasuk sejumlah faksi jihad, terutama Ahrar al-Sham, Jabhah Nushrah, Tentara al-Muhajereen dan Ansar, Fajr al-Islam, Jundu al-Aqsa dan Brigade Al-Tawhid. (EZ/salam-online)
Sumber: Eldorar

Putar Haluan, Yordania Gabung dengan Koalisi Rusia

Yordania, salah satu anggota koalisi Amerika Serikat (AS) dalam memerangi ISIS di Suriah, memutuskan untuk memutar haluan dan bergabung dengan koalisi bentukan Rusia.

Keputusan Yordania bergabung dengan koalisi bentukan Rusia itu diumumkan oleh Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov.

"Rusia dan Yordania sepakat untuk menciptakan pusat koordinasi di Amman, yang nantinya akan digunakan oleh kedua negara untuk berbagi informasi tentang operasi kontra terorisme," begitu kata Lavrov seperti dikutip dari laman Russia Today, Jumat (23/10/2015).

Dikatakan oleh Lavrov, Yordania akan memainkan bagian yang positif dalam menemukan solusi politik dalam konflik di Suriah melalui negosiasi antara Damaskus dan pasukan oposisi. Peran inilah yang diinginkan oleh pihak Rusia.

"Berdasarkan perjanjian antara Yang Mulia Raja Abdullah II dan Presiden Rusia Vladimir Putin, militer dari kedua negara telah sepakat untuk mengkoordinasikan segala tindakan yang akan dilakukan, termasuk misi pesawat militer di atas wilayah Suriah," kata Lavrov.

Sedangkan rekannya Menteri Luar Negeri Yordania, Nasser Judeh, akan berfungsi sebagai komunikator bagi militer kedua negara. Dalam kesempatan itu, Lavrov juga menyerukan perlunya peningkatan upaya untuk mengalahkan ISIS dan kelompok militan lainnya di Suriah, serta memulai transisi politik.

"Ini akan memerlukan negosiasi skala penuh antara pemerintah Suriah dan seluruh spektrum oposisi, baik di dalam dan luar negeri, dengan dukungan aktif dari negara lain. Rusia akan mengambil bagian dalam menciptakan kondisi untuk tercapainya proses tersebut," kata Lavrov sembari menambahkan, Yordania mungkin memainkan peran yang positif dalam proses tersebut.



Wednesday, December 09, 201514:31 WIB
Sekalipun ISIS atau IS suatu saat nanti kalah di wilayah kekuasaannya, dunia akan menghadapi ancaman yang jauh lebih besar dari puluhan ribu veteran petempur ISIS, kata para pakar mengingatkan dunia seperti dikutip AFP.




Dinas intelijen AS memperkirakan sekitar 30.000 orang dari sekitar 100 negara telah bergabung dengan ISIS. Jumlah itu jauh lebih banyak dari total orang yang berjuang dengan organisasi-organisasi ekstremis berdekade-dekade sebelumnya.



Di Afghanistan sendiri antara 1996 dan 2001, sekitar 10.000 sampai 20.000 orang telah menerima pelatihan jihadis, kebanyuakan di bawah arahan Osama Bin Laden.


Setelah jatuhnya rezim Taliban, banyak dari pejuang-pejuang ini menyebar ke seluruh dunia, dengan membawa serta ideologi dan pemikiran radikal mereka.

Para pejabat mengingatkan bahwa para veteran ekstremis memesankan ancaman jangka panjang yang besar yang sulit diatas institusi-institusi Barat.

"Contohnya gelombang saat ini --sekitar 250 petempur yang kembali (ke Prancis)-- adalah masalah yang rumit," kata seorang pejabat kontrateroris senior Prancis yang meminta namanya tak disebutkan.

Dia mengatakan mayoritas besar akan diadili dan dipenjarakan, dan sisanya diawasi ketat, namun kesulitan mendapatkan bukti saat mengadili para petempur yang kembali ke negerinya membuat kebanyakan mereka hanya dipenjara lima sampai tujuh tahun.

"Itu artinya dalam empat atau lima tahun, begitu keluar penjara, masalah akan kembali timbul," kata sang pejabat. "Untuk itulah kami kini harus bersiap diri, dan mempelajari bagaimana kami bisa mengembalikan orang-orang ini ke masyarakat. Beberapa dari mereka akan mengalami trauma selama bertahun-tahun. Kami mesti memikirkan rehabilitasi. Ini masalah besar."

Lebih buruk dari IS

Terlepas dari upaya-upaya militer saat ini menyasar ISIS dengan serangan udara dan juga upaya-upaya diplomatik di Suriah dan Irak, ISIS sudah siap melancarkan perlawanan global untuk bertahun-tahun ke depan dengan mengumpulkan begitu banyak manusia di khilafah yang mereka dirikan.

Memfragmentasikan atau memecah belah ISIS bisa berdampak mengerikan.

"Karena yang paling gigih bertarung dan paling radikal yang akan bertahan, maka akan membuat kita dihadapkan pada hal yang jauh lebih buruk dari ISIS," kata Mathieu Guidere, pakar radikalisasi dari Universitas Toulouse.


"Jangan lupa: kita mengira telah menghancurkan Alqaeda dengan membunuh bin Laden, namun fargmentasi Alqaeda mengantarkan hal yang lebih buruk."

Dihadapkan pada lembaga-lembaga bergerak lamban dari Uni Eropa dan negara-negara Barat lainnya, "kita berisiko selalu satu langkah di belakang perang (melawan terorisme)," sambung Guidere.



"Para jihadis amat sangat mengetahui bagaimana beradaptasi dengan kondisi-kondisi baru. Mereka akan membangun struktur-struktur baru dan membentuk aksi yang menyesuasikan dengan lingkungan mereka, dan menjadi semakin sulit diperangi."


Di daerah kekuasaannya, serangan terhadap ISIS juga kemungkinan memperburuk kekerasan terhadap sipil di kawasan mereka, paling tidak untuk jangka pendek."

"Jika ada pandangan bahwa penduduk setempat membantu merebut kembali wilayah dari ISIS, maka jelas akan ada risiko bahwa ISIS akan menjadi lebih ganas," kata Matthew Henman, kepala Pusat Terorisme dan Perlawanan IHS Jane di London.

"Membidik warga sipil adalah juga cara yang baik untuk merusak keamanan dan stabilitas setelah perebutan daerah, yang menandakan bahwa pemerintah tetap tidak bisa melindungi warga sipil," sambung Henman.

"Mungkin juga akan ada upaya semakin besar untuk mengirim balik para petempur asing ke negeri asal mereka untuk operasi balas dendam."

Seperti terlihat pada serangan Paris 13 November, dinas-dinas keamanan Eropa tak terlalu bisa menyusun dan menganalisis semua limpahan data menyangkut individu-individu dan para kombatan yang telah teradikalisasi yang kembali pulang dari Timur Tengah.

Mereka juga mesti memonitor jihadis-jihadis lama dari perang Bosnia, Afghanistan dan Irak yang bisa kembali ke kerasan kapan saja.

"Lama setelah jatuhnya Daesh (ISIS), seluruh dunia harus membayar bertahun-tahun membutakan diri yang membuat monster jihadis tumbuh di depan pintu Eropa," kata Jean-Pierre Filiu, pakar ekstremisme Islam dari Universitas Sciences Po di Paris.

"Tentu saja negara-negara Eropa, di mana paling sedikit 5.000 jihadis asal benua ini terlibat dengan Daesh, menjadi pihak yang paling terdampak," tutup Jean-Pierre Filiu seperti dikutip AFP.
Sumber: @atjehcyber | fb.com/atjehcyberID