Friday, December 4, 2015

Pembelaan Salafi Ahlussunnah Terhadap Kehormatan Shahabat Nabi, Mu’awiyah bin Abi Sufyan (3): KEUTAMAAN MU’AWIYAH KESEPAKATAN AHLUSSUNAH SEPANJANG ZAMAN

keutamaan muawiyah kesepakatan ahlussunnah sepanjang zaman

Bismillahirrohmanirrohim. o
Artikel sebelumnya :
Pembelaan Salafi Ahlussunnah terhadap Kehormatan Shahabat Nabi, Mu’awiyah bin Abi Sufyan (1): SIAPA KITA, SIAPA MU’AWIYAH?
Pembelaan Salafi Ahlussunnah terhadap Kehormatan Shahabat Nabi, Mu’awiyah bin Abi Sufyan (2): KONSPIRASI MENCABIK KEHORMATAN MU’AWIYAH BIN ABI SOFYAN
http://lamurkha.blogspot.co.id/2015/11/pembelaan-salafi-ahlussunnah-terhadap_14.html

Keutamaan Mu’awiyah Kesepakatan Ahlussunah Sepanjang Zaman
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc)
Keutamaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma adalah perkara yang sangat jelas menurut para sahabat, tabi’in, dan atba’ut tabi’in. Demikian pula dalam pandangan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Keutamaan Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu adalah kesepakatan umat. Tidak ada seorang ulama pun yang mencela Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu, apalagi mengeluarkan beliau dari wilayah Islam. Justru sebaliknya, ulama bersepakat bahwa Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu adalah sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam, generasi terbaik yang beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam puji. Adapun dalil-dalil kaum zindiq (munafik) untuk menyudutkan Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu, semua adalah dalil-dalil palsu, lemah, atau riwayat sahih yang disimpangkan maknanya menurut akal mereka yang rusak.
Dalam ruang yang terbatas mari kita telaah bersama beberapa keutamaan sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma. Semoga Allah Azza wa Jalla memberkahi setiap langkah kita dan membimbing kita di atas jalan-Nya yang lurus. Aaamin.
Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma, Paman Kaum Mukminin
Beliau adalah Amirul Mukminin, Abu Abdirrahman Mu’awiyah bin Abi Sufyan—Harb—bin Umayyah bin Abdisy Syams bin Abdi Manaf al-Umawi.
Nasabnya yang mulia bertemu dengan nasab Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu pada Umayyah bin Abdisy Syams, dan bertemu dengan nasab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam pada kakeknya, Abdu Manaf.
Beliau masuk Islam sebelum Fathu Makkah. Ibnu Asakir rahimahullah meriwayatkan dalam Tarikh Dimasyq dengan sanadnya sampai kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku telah masuk Islam lebih dahulu dari itu (Fathu Makkah), tetapi aku menyembunyikan keislamanku… Demi Allah, ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam meninggalkan Hudaibiyah, saat itulah aku beriman kepada beliau.”1
Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu memiliki kedekatan dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Saudarinya seayah, Ummu Habibah Ramlah bintu Abi Sufyan radhiallahu ‘anha, dipersunting oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam menjadi salah satu ummahatul mukminin, ahlu bait Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Mu’awiyah pun menjadi saudara ipar Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam dan mendapat julukan “Khal al-Mukminin”, paman kaum mukminin.
Diriwayatkan dengan sanad yang sahih bahwa al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (wafat 241 H) berkata, “Mu’awiyah adalah paman kaum mukminin. Demikian pula, Ibnu Umar adalah paman kaum mukminin.” (as-Sunnah, al-Khallal, 2/433)
Seseorang bertanya kepada al-Hakam bin Hisyam al-Kufi, “Apa pendapatmu tentang Mu’awiyah?”
Ia berkata, “Dia adalah paman seluruh kaum mukminin.” Al-‘Ijli meriwayatkan atsar ini dalam ats-Tsiqat (1/314)—dan Ibnu Asakir (15/88) meriwayatkan melalui jalan beliau dengan sanad yang sahih.
Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu Adalah Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam Berdasarkan Ijma’
Telah menjadi ijma’ ulama Ahlus Sunnah dan seluruh kaum muslimin bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma termasuk sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Artinya, ulama bersepakat bahwa beliau adalah seorang yang berjumpa dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam, beriman kepada beliau, dan meninggal di atas keislaman.2
Di antara bukti kesepakatan tersebut, seluruh ulama ahlul hadits, Ahlus Sunnah wal Jamaah, menerima riwayat hadits Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam.
Bukti lain, al-Bukhari dan Muslim mengeluarkan hadits-hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma dalam ash-Shahihain. Sementara itu, kaum muslimin bersepakat bahwa semua hadits dalam dua kitab ini adalah sahih. Dengan demikian, umat Islam bersepakat bahwa Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu adalah seorang sahabat, yang riwayatnya diterima tanpa perselisihan.
Bukti lain atas kesepakatan ini, kita mendapatkan ulama ahlul hadits, ulama sirah (sejarah), penulis kitab-kitab thabaqat (biografi para ulama berdasarkan tahun), biografi, dan kitab-kitab hadits, memasukkan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma dalam thabaqat (level) sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam.
Tidak ada yang menyelisihi kesepakatan ini selain Rafidhah. Mereka justru memasukkan Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu dalam deretan orang-orang kafir, termasuk pula ayahnya, Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu. Sebaliknya, Abu Thalib yang mati dalam keadaan kafir sebagaimana ditunjukkan dalam riwayat-riwayat sahih dan mu’tabar malah diangkat tinggi-tinggi, bahkan dikatakan sebagai mukmin sejati.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata, “Aku telah membaca sebuah kitab hadits dari kalangan Syi’ah Rafidhah. Di dalamnya termuat banyak hadits lemah seputar masuk Islamnya Abu Thalib. Namun, tidak ada satu pun yang sahih, wa billahit taufiq. Aku telah meringkasnya dalam kitab al-Ishabah pada biografi Abu Thalib.” (Fathul Bari 7/234)
Kesepakatan Ahlus Sunnah bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma termasuk sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam adalah sisi terpenting dalam menepis segala syubhat yang berusaha menjatuhkan sahabat yang mulia ini. Sebab, semua dalil tentang keutamaan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam, maka Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu masuk ke dalamnya menurut kesepakatan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Demikian pula semua dalil tentang larangan mencela sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam, maka termasuk pula di dalamnya Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma.
Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam tanpa kecuali adalah manusia terbaik setelah para nabi dan rasul. Hal ini ditunjukkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Allah Azza wa Jalla berfirman,
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, serta beriman kepada Allah.” (Ali Imran: 110)
Tidak diragukan bahwa ayat ini pertama kali ditujukan kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Allah Azza wa Jalla mengabarkan bahwa mereka adalah umat terbaik.
Di samping itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam juga memberikan rekomendasi dalam sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian generasi sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya.” (HR. al-Bukhari no. 2652 dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu)
Kemuliaan sahabat akan terus kokoh bersama kekokohan al-Kitab, as-Sunnah, dan ijma’. Walaupun para pendengki terus berusaha merobek lembaran keutamaan itu, tetapi perjuangan sahabat bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam akan selalu dikenang sepanjang masa. Pahala akan terus mengalir kepada mereka, generasi yang gigih memperjuangkan syariat Allah Azza wa Jalla dan membelanya. Nama mereka akan selalu harum.
Adapun pihak yang membenci mereka, demi Allah, akan tenggelam dalam kehinaan akibat kebencian mereka kepada generasi yang diridhai oleh Allah Azza wa Jalla ini.
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia,3 adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya. Tunas itu pun menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir….” (al-Fath: 29)
Seluruh Sahabat ‘Adil (Tepercaya) dan Dijanjikan al-Jannah
Ahlus Sunnah wal Jamaah bersepakat bahwasanya seluruh sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam, termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma, adalah orang tepercaya dan mulia. Mereka adalah kaum yang diakui ‘adalah (kesalehan dan ketsiqahan)nya.
Seluruh sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam mendapatkan janji al-Jannah, baik yang beriman sebelum Fathu Makkah atau sesudahnya. Hal ini sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla,
“Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Makkah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Dan Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka semua (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Hadid: 10)
“Al-Khusna” dalam firman Allah Azza wa Jalla adalah al-Jannah (surga), sebagaimana penafsiran Mujahid bin Jabr al-Makki dan Qatadah rahimahumallah. Dengan demikian, makna ayat di atas adalah seperti apa yang diterangkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah, “Mereka semua yang menafkahkan hartanya sebelum Fathu Makkah dan berjihad, serta yang menafkahkan hartanya sesudahnya dan berperang, Allah Azza wa Jalla menjanjikan mereka dengan al-jannah.” (Tafsir ath-Thabari)
Al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah dalam kitabnya, al-Kifayah, setelah menyebutkan dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah tentang kemuliaan seluruh sahabat dan ‘adalah mereka, beliau berkata, “Ini adalah mazhab seluruh ulama dan fuqaha yang diakui ucapannya.” (al-Kifayah, hlm. 67)
Kesepakatan ulama tentang ‘adalah sahabat—tanpa kecuali, termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma—dinukil oleh banyak ahli ilmu. Di antara mereka adalah al-Juwaini, al-Ghazali, Ibnu ash-Shalah, an-Nawawi, Ibnu Katsir, al-‘Iraqi, Ibnu Hajar, as-Sakhawi, al-Alusi, dan lainnya.
Sisi ini sesungguhnya cukup untuk membantah seluruh syubhat yang dilontarkan terhadap beliau. Namun, karena musuh-musuh Allah Azza wa Jalla terus berusaha menyebarkan kebencian kepada sahabat Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu di tengah-tengah umat dengan berbagai syubhat, melalui berbagai media, maka dengan memohon pertolongan Allah Azza wa Jalla, kita akan melihat beberapa sisi kemuliaan lain dari sosok Amirul Mukminin Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma.
Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu, Tirai bagi Para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam
Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah dan ulama ahlul hadits adalah tirai yang melindungi kehormatan seluruh sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Sikap seseorang terhadap Mu’awiyah adalah barometer yang menunjukkan sikapnya terhadap para sahabat lainnya. Abu Taubah ar-Rabi’ bin Nafi’ rahimahullah berkata,
مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ سِتْرَ أَصْحَابِ النَّبِيِّ n فَإِذَا كَشَفَ الرَّجُلُ السِّتْرَ اجْتَرَأَ عَلَى مَا وَرَاءَهُ
“Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah tirai bagi sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Siapa yang berani menyingkap tirai itu, niscaya ia akan berbuat lancang terhadap yang berada di baliknya.” (Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi rahimahullah dalam Tarikh Baghdad [1/209] dan Ibnu Asakir rahimahullah dalam Tarikh Dimasyq [59/209])
Benarlah kata Abu Taubah. Siapa yang berani membicarakan sahabat Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu dengan kejelekan niscaya ia akan lancang membicarakan sahabat lainnya karena tirai telah tersingkap, sebagaimana tirai rumah yang apabila terbuka akan terlihatlah apa yang ada di baliknya.
Oleh karena itu, al-Imam Abdullah ibnul Mubarak al-Marwazi rahimahullah berkata,
مُعَاوِيَةُ عِنْدَنَا مِحْنَةٌ، فَمَنْ رَأَيْنَاهُ يَنْظُرُ إِلَى مُعَاوِيَةَ شَرًّا اتَّهَمْنَاهُ عَلَى الْقَوْمِ، أَعْنِي عَلَى أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ n
“Mu’awiyah di sisi kami (Ahlus Sunnah, ahlul hadits) adalah ujian (sebagai barometer). Siapa yang kita lihat ia memandang Mu’awiyah dengan pandangan jelek, kita berprasangka bahwa orang ini juga berpandangan jelek kepada seluruh sahabat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam.” (Tarikh Dimasyq 59/209)
Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah memberikan komentar atas dua ucapan di atas ketika membantah kesesatan seorang Syiah Rafidhah, Hasan al-Maliki, “Benar perkataan Abu Taubah dan Ibnul Mubarak—semoga Allah Azza wa Jalla merahmati keduanya. Sesungguhnya ketika al-Maliki berani membicarakan Mu’awiyah dengan kejelekan, mencaci, dan mengeluarkan beliau dari barisan sahabat, ia pun lancang kepada sahabat lainnya dan mengatakan bahwa semua yang menyertai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam sesudah perjanjian Hudaibiyah bukan sahabat. Lebih parah lagi, ia mencela kekhilafahan Abu Bakr, Umar, dan Utsman, serta meragukan kekhilafahan mereka. Tidak diragukan bahwa penyelewengan akan membuahkan berpalingnya hati, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla,
‘Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka.’ (ash-Shaff: 5).” (al-Intishar lish Shahabatil Akhyar fi Raddi Abathil Hasan al-Maliki hlm. 99)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Seseorang tidak boleh melaknat dan mencerca salah seorang pun dari para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Barang siapa melaknat salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam, seperti Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Amr bin al-Ash, dan yang semisal keduanya, atau yang lebih afdal dari keduanya, seperti Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah, dan lainnya, atau yang lebih utama dari mereka, seperti Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin al-Awwam, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakr ash-Shiddiq, Umar bin al-Khaththab, atau Aisyah Ummul Mukminin, atau sahabat-sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam lain radhiallahu ‘anhum, sungguh orang ini berhak mendapatkan hukuman berat dengan kesepakatan ulama-ulama Islam. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam bentuk apa hukuman berat itu, dibunuh atau yang lebih ringan.”4
Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu, Penulis Wahyu
Di antara keutamaan Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu adalah mendapat kepercayaan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam mencatat wahyu Allah Azza wa Jalla. Ini adalah sebuat amanat yang besar dan keutamaan yang sangat agung. Keutamaan tersebut dapat dilihat dalam banyak riwayat yang sahih, di antaranya riwayat al-Imam Muslim dalam Shahih-nya bab “Fadha’il Abi Sufyan bin Harb” no. 2501.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata bahwa Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu adalah salah seorang penulis wahyu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Tulisannya sangat indah. Ia fasih pula berbicara, lagi lembut, dan sangat berwibawa.” (al-Ishabah 9/232)
Pembaca rahimakumullah, mencela Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu pada hakikatnya adalah mencela Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam yang telah memercayainya menulis wahyu. Seakan-akan ia berkata, “Wahai Muhammad, mengapa engkau berikan tugas paling penting ini kepada orang yang tidak pantas dan bukan ahlinya?” Bahkan, ini adalah celaan kepada Allah Azza wa Jalla, seakan-akan ia berkata, “Mengapa Allah Azza wa Jalla membiarkan Nabi-Nya memberikan tugas menulis wahyu kepada orang yang tidak dipercaya?”
Sungguh, tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam memberikan kepercayaan mencatat wahyu Allah Azza wa Jalla melainkan kepada orang yang telah beliau ridhai. Tidaklah yang beliau lakukan itu melainkan berdasar wahyu Allah Azza wa Jalla.
Posisi Mu’awiyah yang sangat strategis dan sangat mulia sebagai salah seorang pencatat wahyu Allah Azza wa Jalla membuat musuh-musuh Islam semakin getol berusaha mencoreng kemuliaan Mu’awiyah. Tidak lain tujuan akhirnya adalah menanamkan keraguan terhadap al-Qur’an karena ternyata salah satu penulisnya adalah Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu. Abu Zur’ah ar-Razi rahimahullah berkata,
إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَنْتَقِصُ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ فَاعْلَمْ أَنَّهُ زِنْدِيقٌ، وَذَلِكَ أَنَّ الرَّسُولَ عِنْدَنَا حَقٌّ وَالْقُرْآنَ حَقٌّ وَإِنَّمَا أَدَّى إِلَيْنَا هَذَا الْقَرْآنَ وَالسُّنَنَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ، وَإِنَّمَا يُرِيدُونَ أَن يَجْرَحُوا شُهُودَنَا لِيُبْطِلُوا الْكِتَابَ وَالسَّنَّةَ، وَالْجَرْحُ بِهِمْ أَوْلَى وَهُمْ زَنَادِقَةٌ
“Apabila engkau melihat seseorang mencela salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam (siapa pun sahabat itu), ketahuilah sesungguhnya dia adalah zindiq. Hal itu karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam adalah haq di sisi kita, demikian pula al-Qur’an adalah haq. Sementara itu, yang menyampaikan al-Qur’an dan sunnah tidak lain adalah sahabat-sahabat Rasulullah. (Sungguh) yang mereka kehendaki adalah mencela saksi-saksi kita (yakni para sahabat) demi menolak al-Qur’an dan as-Sunnah. Merekalah yang lebih pantas dicela. Mereka adalah kaum zindiq.”5
Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu, Kepercayaan Generasi Terbaik
Di antara keutamaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma, beliau mendapat kepercayaan para sahabat setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam memberikan kepercayaan kepadanya untuk sebuah tugas yang sangat agung, mencatat wahyu Allah Azza wa Jalla.
Di masa Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu, Mu’awiyah diangkat sebagai komandan perang, di hadapan para pembesar sahabat, as-sabiqunal awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar.
Pada masa Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu, beliau dipercaya sebagai amir (gubernur) Syam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ketika Yazid bin Abi Sufyan meninggal di masa kekhilafahan Umar, beliau (Umar) mengangkat saudaranya—Mu’awiyah bin Abi Sufyan—(sebagai amir). Sesungguhnya Umar bin al-Khaththab termasuk manusia yang paling kuat firasatnya, paling mengerti keadaan manusia, dan paling teguh berpegang kepada al-haq.”6
Demikian pula di masa Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu, beliau memberikan kepercayaan kepada Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu menjadi amir (gubernur) wilayah Syam.
Al-Qadhi Abu Bakr ibnul ‘Arabi (wafat 543 H) berkata, “… Cobalah Anda semua perhatikan rangkaian ini. Alangkah kuatnya ikatan beliau. Tidak ada seorang pun yang dikaruniai anugerah seperti ini setelah mereka.” (al-‘Awashim min al-Qawasim, hlm. 81)
Genap empat puluh tahun Mu’awiyah memimpin dan mendapatkan kepercayaan generasi terbaik. Dua puluh tahun sebagai gubernur di Syam dan dua puluh tahun memegang kekhilafahan. Pada masa kekhilafahan beliau, tidak ada sedikit pun masalah yang berarti. Hal ini menunjukkan keutamaan beliau dan kearifan beliau dalam memimpin kaum muslimin.
Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu, Mujahid dan Tokoh Besar Futuhat Islamiyah (Perluasan Wilayah Islam)
Ini adalah keutamaan lain dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma yang lembut, namun tegas dan kokoh dalam memegang al-haq. Tidak ada yang melupakan atau mengingkari keutamaan ini selain orang yang jahil, tidak mengerti tarikh Islam, atau hatinya telah dipenuhi kedengkian kepada sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam.
Wilayah Islam sepeninggal al-Khulafa ar-Rasyidin sangat luas, sementara itu rongrongan musuh-musuh Allah Azza wa Jalla sangat kuat, baik dari dalam maupun dari luar. Kita tidak bisa melupakan fitnah besar yang berakibat syahidnya Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu dan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Bermunculan pula pada masa itu firqah-firqah sesat, seperti Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, dan lainnya.
Tugas besar menanti di hadapan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma.
1. Beliau harus menstabilkan kondisi daulah yang diliputi oleh fitnah;
2. Beliau harus mempertahankan wilayah Islam dari rongrongan musuh;
3. Melanjutkan risalah jihad, menyebarkan dan mendakwahkan Islam, memperluas wilayah Islam, mengeluarkan manusia dari kegelapan syirik menuju cahaya tauhid.
Semua itu—walhamdulillah— beliau tunaikan dengan baik. Fitnah-fitnah teredam, rongrongan musuh Islam dihentikan. Wilayah Islam pun meluas bersamaan dengan meluasnya dakwah tauhid.
Sebagai seorang ahli strategi, Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma segera merapikan pasukan perang. Beliau membagi pasukan menjadi dua. Pasukan yang berperang di musim dingin dan pasukan yang berperang di musim panas. Dengan demikian, perluasan wilayah pun berlanjut dan berkesinambungan.
Negeri Persia berusaha melepaskan dirinya dari jizyah yang harus mereka bayar. Mereka mulai membuat fitnah pada masa pemerintahan Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu dalam rangka memerangi hukum Islam. Pasukan Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu pun harus menghadapi ancaman ini dan memadamkannya. Perjalanan perjuangan perluasan negeri dilanjutkan ke arah timur. Sungai Jaihan (=Amu Darya, salah satu sungai terpanjang di Asia Tengah) diseberangi sehingga terbukalah wilayah Bukhara, Samarkand, dan Turmudz.
Pada waktu yang bersamaan, kerajaan Romawi juga melakukan rangkaian penyerangan untuk mempersempit wilayah Islam dengan cara menyerang wilayah barat laut. Oleh karena itu, Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu mempersiapkan armada laut yang berkekuatan 1.700 kapal. Angkatan laut yang besar ini, dengan izin Allah Azza wa Jalla, berhasil menaklukkan wilayah Siprus, Rhodes (salah satu pulau di Yunani), dan kepulauan lainnya yang masuk dalam wilayah kekaisaran Romawi.
Pembaca, sejenak kita melihat ke belakang dan membuka lembaran sejarah pembentukan pasukan laut. Dahulu, tidak pernah terbayang bahwa para sahabat akan berperang di tengah lautan. Namun, sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam menyingkap tirai gaib bahwa umat ini akan berperang di atas lautan.
Jasa Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu dalam pembentukan angkatan laut tidak bisa dilupakan dalam tarikh Islam. Pembentukan angkatan laut pertama terwujud di zaman Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Saat itu, Mu’awiyah menjabat gubernur Syam dan diberi kepercayaan penuh memimpin armada laut. Bahkan, Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu memerintah Mu’awiyah untuk membawa serta istrinya—Fakhitah bintu Qaradzah—berperang di atas laut untuk membuktikan keberanian, kesiapan, dan tanggung jawab Mu’awiyah membawa pasukan kaum muslimin.
Keutamaan Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu ini tampak dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam ketika menyebutkan umatnya akan berperang di laut. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ n كَانَ يَدْخُلُ عَلَى أُمِّ حَرَامٍ بِنْتِ مِلْحَانَ فَتُطْعِمُهُ وَكَانَتْ أُمُّ حَرَامٍ تَحْتَ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، فَدَخَلَ عَلَيْهَا رَسُولُ اللهِ n يَوْمًا فَأَطْعَمَتْهُ ثُمَّ جَلَسَتْ تَفْلِي رَأْسَهُ فَنَامَ رَسُولُ اللهِ n ثُمَّ اسْتَيْقَظَ وَهُوَ يَضْحَكُ، قَالَتْ: فَقُلْتُ: مَا يُضْحِكُكَ، يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي عُرِضُوا عَلَيَّ غُزَاةً فِي سَبِيلِ اللهِ يَرْكَبُونَ ثَبَجَ هَذَا الْبَحْرِ، مُلُوكًا عَلَى الْأَسِرَّةِ –أَوْ: مِثْلَ الْمُلُوكِ عَلَى الْأَسِرَّةِ؛ يَشُكُّ أَيَّهُمَا قَالَ- قَالَتْ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، ادْعُ اللهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ. فَدَعَا لَهَا ثُمَّ وَضَعَ رَأْسَهُ فَنَامَ ثُمَّ اسْتَيْقَظَ وَهُوَ يَضْحَكُ، قَالَتْ: فَقُلْتُ: مَا يُضْحِكُكَ، يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي عُرِضُوا عَلَيَّ غُزَاةً فِي سَبِيلِ اللهِ-كَمَا قَالَ فِي الْأُولَى-قَالَتْ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، ادْعُ اللهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ. قَالَ: أَنْتِ مِنَ الْأَوَّلِينَ. فَرَكِبَتْ أُمُّ حَرَامٍ بِنْتُ مِلْحَانَ الْبَحْرَ فِي زَمَنِ مُعَاوِيَةَ فَصُرِعَتْ عَنْ دَابَّتِهَا حِينَ خَرَجَتْ مِنَ الْبَحْرِ فَهَلَكَتْ
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam pernah menemui Ummu Haram binti Milhan7, lalu beliau disuguhi makanan olehnya. Saat itu, Ummu Haram adalah istri Ubadah bin ash-Shamit radhiallahu ‘anhu. Suatu hari, Rasulullah datang menemuinya lalu disuguhi makanan, kemudian wanita itu duduk sambil mencari kutu dari kepala beliau hingga tertidurlah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Tiba-tiba beliau terbangun dan tersenyum.
Ummu Haram bertanya, “Apakah yang membuat engkau tersenyum, wahai Rasulullah?”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam menjawab, “Beberapa orang dari umatku diperlihatkan kepadaku sedang berperang di jalan Allah Azza wa Jalla dengan menaiki kapal di tengah lautan, raja-raja yang duduk di atas dipan-dipan—atau seperti raja-raja yang duduk di atas dipan-dipan.”—Perawi ragu antara keduanya.
Ummu Haram berkata, “Wahai Rasulullah, mohonkan kepada Allah agar Dia menjadikan aku termasuk golongan mereka.”
Lalu beliau mendoakannya dan segera meletakkan kepalanya lagi lalu tertidur kembali. Ketika terbangun, beliau tersenyum lagi.
Ummu Haram berkata, “Aku bertanya lagi, ‘Apakah yang membuat engkau tersenyum, wahai Rasulullah?’
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam menjawab, ‘Beberapa orang dari umatku diperlihatkan kepadaku mereka sedang berperang di jalan Allah (dst, seperti yang beliau sabdakan sebelumnya).’
Ummu Haram berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, mohonkanlah kepada Allah agar Dia menjadikan aku termasuk golongan mereka’.”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam bersabda, “Engkau termasuk orang-orang yang pertama.”
Kemudian berlayarlah Ummu Haram pada masa Mu’awiyah. Namun, ketika hendak keluar dari kapal, ia terjatuh dari hewan tunggangannya sehingga wafat. (Shahih Muslim no. 3535)
Al-Bukhari meriwatkan dalam Shahih-nya (6/102 no. 2924 bersama dengan Fathul Bari) dari Ummu Haram al-Anshariyah radhiallahu ‘anha, ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam bersabda,
أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ الْبَحْرَ قَدْ أَوْجَبُوا. قَالَتْ أُمَّ حَرَامٍ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَنَا فِيْهِمْ؟ قاَلَ: أَنْتِ فِيهِمْ. ثُمَّ قَالَ النَّبِيُّ n: أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ مَدِينَةَ قَيْصَرَ مَغْفُورٌ لَهُمْ. فَقُلْتُ: أَنَا فِيْهِمْ، يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: لاَ.
Pasukan perang pertama dari umatku yang berperang di atas lautan, sungguh telah wajib atas mereka (yakni mereka melakukan amalan besar yang mengantarkan kepada al-Jannah).
Ummu Haram berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku bersama dengan mereka (pasukan pertama yang berperang di atas laut)?”
Rasulullah bersabda, “Engkau termasuk mereka.” Beliau bersabda kembali, “Pasukan perang pertama umatku yang memerangi kota Kaisar (yakni Konstantinopel), mereka diampuni dosanya.”
Aku berkata, “Apakah aku bersama mereka, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Tidak.”
Muhallab bin Abi Shufrah rahimahullah (wafat 435 H) berkata, “Hadits ini mengandung dalil tentang keutamaan Mu’awiyah karena beliaulah orang pertama yang berperang di atas laut. Di samping itu, hadits ini juga menunjukkan keutamaan putranya, Yazid, karena dialah yang pertama kali memerangi kota Kaisar.” (Dinukilkan oleh Ibnu Hajar t dalam Fathul Bari)
Az-Zubair bin Abu Bakr rahimahullah berkata, “Mu’awiyah membelah lautan, berperang bersama kaum muslimin di zaman kekhilafahan Utsman menuju Siprus. Ummu Haram, istri Ubadah, ikut dalam perang tersebut. Ketika Ummu Haram mengendarai bagalnya keluar dari kapal, ia terjatuh dan meninggal—seperti kabar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Ibnul Kalbi rahimahullah berkata, ‘Perang yang dipimpin oleh Mu’awiyah tersebut terjadi pada tahun 28 H’.” (Ibnu Baththal 5/9)
Di zaman pemerintahan Mu’awiyah, angkatan laut diperbesar sehingga semakin kokohlah kekuatan muslimin dan semakin tangguh mempertahankan wilayah dan usaha futuhat, walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Menceritakan tarikh perjuangan beliau membutuhkan lembaran yang banyak untuk menunaikan haknya. Namun, yang sedikit ini semoga mengingatkan hati yang lalai akan jasa generasi sahabat radhiallahu ‘anhum secara umum, dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma secara khusus.
Wahai kaum muslimin, tidakkah kita menimbang betapa buruknya mulut-mulut pendusta yang mencerca sahabat Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu? Apa jasa mereka terhadap Islam? Demi Allah, andil mereka hanyalah ucapan-ucapan kotor yang membantu Iblis dan balatentaranya untuk meruntuhkan Islam. Para pencela Mu’awiyah sesungguhnya adalah kaki tangan Iblis.
Lihatlah, wahai kaum muslimin, betapa besar jasa Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu. Lihat pula perjuangannya memimpin kaum muslimin puluhan tahun, memadamkan api-api fitnah, mempertahankan wilayah Islam, dan menegakkan jihad mengajak manusia memeluk agama Allah Azza wa Jalla. Keamanan pun terwujud, darah-darah kaum muslimin terjaga, ilmu al-Qur’an dan as-Sunnah tersebar. Namun, hanya manusia berakal sajalah yang bisa menimbang, sedangkan manusia semacam Rafidhah, hati mereka memang sudah dipenuhi kebencian kepada seluruh sahabat, istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam, dan agama Islam yang mulia. Allahul musta’an.
Mu’awiyah, Periwayat Hadits-Hadits Rasulullah n
Di tengah kesibukan memimpin daulah, Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu tidak lupa menunaikan tugas menyampaikan ilmu, meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Beliau pun memperoleh keutamaan doa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam dalam sebuah hadits mutawatir,
نَضَّرَ اللهُ عَبْدَا سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا فَبَلَغَهَا مَنْ لَمْ يَسْمَعْهَا
“Semoga Allah memberikan cahaya kepada seorang hamba yang mendengar ucapanku kemudian ia memahami dan menghafalnya, lalu ia sampaikan kepada orang yang belum mendengarnya.”
Tidak ada kitab-kitab hadits melainkan kita dapatkan sebagian besar kitab tersebut memuat hadits-hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma. Di antara hadits-hadits yang beliau riwayatkan disepakati kesahihannya oleh al-Bukhari dan Muslim.8
Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah berkata, “Hadits-hadits Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu ada dalam Shahihain dan selainnya. Al-Khazraji dalam al-Khulashah berkata, ‘Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu dalam Kutub as-Sittah memiliki 130 hadits, empat di antaranya disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim. Al-Bukhari meriwayatkan empat hadits dari Mu’awiyah secara tersendiri, sedangkan Muslim lima hadits.’ Dalam Musnad al-Imam Ahmad, hadits yang diriwayatkan oleh Mu’awiyah mencapai seratus sebelas hadits, mulai no. 16828 hingga no. 16938 (dan satu hadits tambahan riwayat Abdullah bin al-Imam Ahmad, yakni no. 16939, -pen.).” (al-Intishar lish Shahabatil Akhyar hlm. 99)
Di antara hadits yang diriwayatkan oleh Mu’awiyah adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam,
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Siapa yang Allah kehendaki kebaikan atasnya, Allah akan memahamkan dia dalam hal agama.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Beliau juga meriwayatkan hadits,
أَلَا، إِنَّ رَسُولَ اللهِ n قَامَ فِينَا فَقَالَ: أَلَا، إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً ، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ، ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
“Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam pernah berdiri di hadapan kita dan bersabda, ‘Ketahuilah sungguh kaum sebelum kalian dari ahlul kitab berpecah menjadi 72 golongan. Sungguh, umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan. Tujuh puluh dua golongan dalam neraka dan satu berada di jannah. Mereka (yang satu) adalah al-Jamaah’.” (HR. Abu Dawud no. 3981)
Hadits-hadits Mu’awiyah diriwayatkan oleh banyak sahabat dan tabi’in. Semua ini tentu menunjukkan keutamaan beliau dari sisi periwayatan hadits.
Banyak sahabat mengambil hadits dari Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu, di antaranya Usaid bin Zhuhair, Malik bin Yakhamir, Mu’awiyah bin Hudaij, an-Nu’man bin Basyir, Wail bin Hujr, Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif, Abu ad-Darda’, Abu Dzar al-Ghifari, Abu Sa’id al-Khudri, dan Abul Ghadiyah al-Asy’ari, semoga Allah Azza wa Jalla meridhai mereka semua.
Adapun tabi’in yang menjadi murid beliau adalah Ibrahim bin Abdullah bin Qarizh, Ishaq bin Yasar, Aslam maula Umar, Aifa’ bin Abdin al-Kala’i, Iyas bin Abi Ramlah asy-Syami, Ayyub bin Abdillah bin Yasar, Ayyub bin Maisarah bin Halbas, Bisyr Abu Qais al-Qanasrini, Tsabit bin Sa’d ath-Tha’i, Abu Sya’tsa’ Jabir bin Zaid al-Bashri, Jubair bin Nufair al-Hadhrami, al-Hasan al-Bashri, Hakim bin Jabir, Humran bin Aban maula ‘Utsman bin ‘Affan, Humaid bin Abdurrahman bin ‘Auf, Hanzhalah bin Khuwailid, Abu Qabil Huyai bin Hani’, Khalid bin ‘Abdilah bin Rabah, dan sekumpulan lain yang cukup banyak jumlahnya.
Dari sini, kita juga mengerti maksud buruk yang terselip di balik celaan munafik kepada sahabat pada umumnya dan perawi hadits secara khusus, seperti Abu Hurairah dan Mu’awiyah, yaitu untuk menjatuhkan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam sebagai sumber hukum dan sendi-sendi Islam.
Beberapa Riwayat Marfu’ dan Mauquf Tentang Keutamaan Mu’awiyah
Diriwayatkan dengan sanad yang sahih, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam bersabda kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma,
اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ هَادِيًا مَهْدِيًّا وَاهْدِ بِهِ
“Ya Allah, jadikanlah Mu’awiyah sebagai orang yang memberi petunjuk dan mendapat hidayah serta jadikanlah manusia mendapat hidayah melalui dirinya.” (HR. at-Tirmidzi, 5/687, beliau berkata tentang hadits ini, “Hadits hasan gharib.”)
Hadits ini dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah (4/615). Beliau berkata, “Para perawinya seluruhnya tsiqat (tepercaya) yang termasuk perawi Shahih Muslim. Selayaknya at-Tirmidzi menyatakannya sahih (tidak cukup hanya menyatakan hasan, -pen.).”
Diriwayatkan pula, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam mendoakan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma:
اللَّهُمَّ عَلِّمْ مُعَاوِيَةَ الْكِتَابَ وَالْحِسَابَ وَقِهِ الْعَذَابَ
“Ya Allah, ajarilah Mu’awiyah al-Kitab, berhitung, dan lindungilah ia dari azab.” (HR. Ahmad no. 4/127 dan no. 28/383, no. 1752, cetakan ar-Risalah, al-Bazzar [no. 977, Kasyful Asytar], Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban, dari Irbadh bin Sariyah radhiallahu ‘anhu. Hadits ini dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 3327)
Riwayat lain mengenai keutamaan Mu’awiyah adalah hadits dari Ummu Haram radhiallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam bersabda,
أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ الْبَحْرَ قَدْ أَوْجَبُوا. قَالَتْ أُمُّ حَرَامٍ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَنَا فِيهِمْ؟ قَالَ: أَنْتِ فِيهِمْ
“Pasukan pertama yang berperang di atas lautan, sungguh telah wajib atas mereka (yakni mereka melakukan amalan yang memasukkan mereka ke dalam al-Jannah).” Ummu Haram berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku termasuk mereka?” Kata Rasul n, “Ya, kamu termasuk….” (HR. al-Bukhari no. 2707, Ma Qila Fi Qitali ar-Rum)
Al-Muhallab rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan keutamaan Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu karena beliaulah yang pertama kali memerangi Romawi (di atas lautan).” (Syarah Ibnu Baththal 5/107)
Adalah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu sekembalinya beliau dari Shiffin berkata,
أَيُّهَا النَّاسُ، لاَ تَكْرَهُوا إِمَارَةَ مُعَاوِيَةَ، فَإِنَّكُمْ لَوْ فَقَدْتُمُوهُ رَأَيْتُمُ الرُّؤُوسَ تَنْدُرُ عَنْ كَوَاهِلِهَا كَأَنَّهَا الْحَنْظَلُ.
“Wahai manusia, jangan sekali-kali kalian membenci kepemimpinan Mu’awiyah. Sungguh, jika kalian kehilangan Mu’awiyah niscaya kalian akan melihat kepala-kepala manusia berguguran dari badan-badan mereka seperti buah hanzhal.” (al-Bidayah wan Nihayah 8/125)
Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari, seseorang bertanya kepada Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, putra paman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam dan ulama umat ini, “Wahai Ibnu Abbas, adakah engkau (berkomentar) tentang Amirul Mukminin Mu’awiyah, karena ia tidaklah melakukan witir melainkan hanya satu rakaat?”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata,
دَعْهُ، فَإِنَّهُ قَدْ صَحِبَ رَسُولَ اللهِ n قَالَ: أَصَابَ إِنَّهُ فَقِيهٌ
“Tinggalkan (komentarmu kepada) Mu’awiyah, sungguh ia seorang (sahabat) yang telah menyertai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam.” Kemudian berkata, “Mu’awiyah benar, ia seorang yang faqih.” (“Kitab Fadha’il Shahabah”, bab “Penyebutan Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu”, Fathul Bari [7/103] no. 3765)
Atsar Salaf dan Ulama tentang Keutamaan Mu’awiyah
Mujahid bin Jabr al-Makki rahimahullah, salah seorang ulama tabi’in dan tokoh tafsir berkata,
لَوْ رَأَيْتُمْ مُعَاوِيَةَ لَقُلْتُمْ: هَذَا الْمَهْدِيُّ.
“Seandainya kalian melihat Mu’awiyah niscaya kalian akan berkata, ‘Dia adalah al-Mahdi’.” (Diriwayatkan oleh al-Khallal rahimahullah dalam as-Sunnah [1/438] dan disebutkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah dalam al-Bidayah wan Nihayah [8/137])
Al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah meriwayatkan dalam Tarikh-nya dari Rabah bin al-Jarrah al-Maushili, ia berkata, “Aku mendengar seorang bertanya kepada al-Mu’afa bin ‘Imran, ‘Wahai Abu Mas’ud, bagaimana perbandingan Umar bin Abdul ‘Aziz dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan?’
Marahlah al-Mu’afa seraya berkata, ‘Tidak seorang pun boleh dikiaskan dengan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Mu’awiyah seorang sahabat, beliau juga ipar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam, sekretaris dan kepercayaan Rasul atas wahyu yang diturunkan oleh Allah Azza wa Jalla kepada beliau. Sungguh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam telah bersabda, -Biarkan sahabat-sahabatku dan kerabatku (jangan kalian cela mereka). Siapa mencaci mereka, ia mendapatkan laknat Allah Azza wa Jalla, para malaikat, dan manusia-’.” (Tarikh Baghdad 1/209, asy-Syariah, al-Ajurri rahimahullah 5/167, Syarh Ushul I’tiqad, al-Lalikai rahimahullah. Sanad hadits ini sahih sampai kepada al-Mu’afa rahimahullah)
Ketika al-Mu’afa ditanya, “Mu’awiyah yang lebih mulia atau Umar bin Abdul ‘Aziz?”
Al-Mu’afa berkata, “Sungguh Mu’awiyah lebih mulia enam ratus kali daripada Umar bin Abdul ‘Aziz.” (as-Sunnah, al-Khallal, 1/437)
Di masa Daulah Abbasiyah, sebagian manusia menjadikan pemerintahan Umar bin Abdul ‘Aziz t sebagai permisalan yang paling tinggi dalam hal keadilan. Kepada mereka, al-Imam Sulaiman bin Mihran al-A’masy rahimahullah berkata, “(Jika kalian kagum dengan keadilan Umar bin Abdul ‘Aziz –pen.), lantas bagaimana jika kalian berjumpa dengan Mu’awiyah (tentu kalian lebih kagum)?” Mereka berkata, “Apakah dari sisi kelembutannya?” Al-A’masy berkata, “Bukan hanya itu, demi Allah, bahkan dalam hal keadilannya.” (Diriwayatkan oleh al-Khallal dalam as-Sunnah [1/437] dan Minhajus Sunnah [3/185])
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Jika masa kepemimpinan Mu’awiyah dibandingkan dengan masa sesudahnya, tidak ada dalam sejarah penguasa Islam yang lebih baik dari Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu. Tidak pula ada masyarakat dalam sejarah kerajaan Islam, yang lebih baik daripada masyarakat di zaman Mu’awiyah….” (Minhajus Sunnah 3/185)
Keutamaan Mu’awiyah adalah kesepakatan ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Para ulama bersepakat bahwa Mu’awiyah adalah raja (penguasa) yang paling mulia dari umat ini, karena empat sahabat sebelumnya adalah khilafah nubuwah. Adapun beliau adalah raja pertama. Adalah pemerintahan beliau kerajaan dan rahmat.” (Majmu’ Fatawa 4/478)
Al-Hafizh Ibnu Katsir asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Masyarakat ketika itu (termasuk di antaranya para sahabat, demikian pula tabi’in –pen.) seluruhnya bersatu atas bai’at kepada Mu’awiyah pada tahun 41 H…. Pemerintahan beliau terus berlangsung hingga tahun wafatnya. Selama itu pula, jihad ke negeri musuh ditegakkan, kalimat Allah Azza wa Jalla ditinggikan, harta rampasan perang terus mengalir kepada baitul mal, dan kaum muslimin bersama beliau berada dalam kelapangan dan keadilan. (al-Bidayah wan Nihayah 8/122)
Atsar dari salaf dan ucapan para ulama tentang kemuliaan sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma sangatlah banyak. Kiranya cukup atsar di atas sebagai isyarat bagi orang yang memiliki hati yang bersih dan akal sehat untuk segera memuliakan seluruh sahabat tanpa kecuali, termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma.
Tulisan-tulisan Pembelaan Terhadap Mu’awiyah
Pembelaan para ulama terhadap kemuliaan sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma juga menunjukkan keutamaan beliau. Sangat banyak ulama Ahlus Sunnah yang menulis baik secara umum maupun khusus untuk membela kemuliaan sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma. Di antara tulisan yang bersifat umum adalah al-Bidayah an-Nihayah karya Ibnu Katsir rahimahullah, al-‘Awashim minal Qawashim karya Abu Bakr Ibnul Arabi rahimahullah, dan Minhajus Sunnah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Adapun tulisan-tulisan yang secara khusus ditulis untuk membersihkan nama baik Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu dan membela kehormatan beliau, di antaranya:
1. Akhbar Mu’awiyah dan Hikamu Mu’awiyah, ditulis oleh Ibnu Abid Dunya rahimahullah (wafat 281 H)
2. Juz fi Fadha’il Mu’awiyah, karya Muhammad as-Saqathi rahimahullah (wafat 604 H)
3. Tanzih Khal al-Mukminin dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan karya Abu Ya’la al-Hanbali rahimahullah (wafat 458 H)
4. Syarhu ‘Aqdi Ahlil Iman fi Mu’awiyah bin Abi Sufyan karya Abu Ya’la al-Ahwazi rahimahullah (wafat 446 H)
5. Su’al fi Mu’awiyah bin Abi Sufyan karya Ibnu Taimiyah rahimahullah (wafat 728 H)
6. Tathhirul Jinan wal Lisan karya Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah (wafat 973 H), dll.
Semoga Allah Azza wa Jalla memberi taufik kepada kita untuk mencintai seluruh sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam, senantiasa mendoakan mereka, serta diselamatkan dari kedengkian dan hasad, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla,

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa, “Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (al-Hasyr: 10)
Catatan Kaki:
1 Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma meninggal di bulan Rajab tahun 60 H dalam usia mendekati delapan puluh tahun, setelah dua puluh tahun menjadi Amirul Mukminin dengan penuh keadilan, kearifan, dan kelembutan.
2 Inilah definisi sahabat, sebagaimana disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya al-Ishabah (1/7—8).
3 Yakni para sahabat.
4 Dinukil oleh asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad dalam tulisan beliau Min Aqwalil Munshifin fish Shahabi al-Khalifah Mu’awiyah hlm. 21.
5 Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam al-Kifayah (hlm. 98) dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq (38/32).
6 Makna ucapan ini, apabila Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu bukan orang yang mulia dan disepakati kemuliaannya, tidak mungkin seorang seperti Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu akan memberikan kepercayaan kepadanya.
7 Ibnul Jauzi menukil dari Yahya bin Ibrahim, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam membolehkan Ummu Haram mencari kutu di kepala beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam karena dia masih memiliki hubungan mahram dari arah bibi-bibi beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Karena, ibu Abdul Muththalib (kakek Nabi n) berasal dari Bani Najjar (kabilah orang-orang Anshar). Ini adalah salah satu jawaban terhadap masalah yang mungkin dianggap janggal ini. Di samping itu, masih ada beberapa jawaban lain dari para ulama, hanya saja perlu dikaji lebih lanjut. (lihat Kasyful Musykil min Hadits ash-Shahihain, -red.)
8 Telah dimaklumi, umat bersepakat bahwa Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim adalah kitab paling sahih di muka bumi setelah al-Qur’an. Artinya, Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu disepakati oleh umat sebagai sahabat yang tepercaya penukilannya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam karena hadits-hadits beliau diriwayatkan dalam Shahihain.
Sumber: Asy Syariah Edisi 078 http://asysyariah.com/keutamaan-muawiyah/