Monday, January 18, 2016

140 Ulama Saudi Ajak Umat Waspadai Makar Syiah Iran Di Negeri-Negeri Kaum Muslimin ( VS 10 Poin Deklarasi Jakarta Dimotori Su'per Cendekiawan Syiah/Sepilis Yang Mengajak Berasyik-Masyuk Dengan Syiah )


140 Ulama Saudi Ajak Umat Waspadai Makar Syiah Iran di Negeri-Negeri Kaum Muslimin

17 Jan 2016 20:40
Arab Saudi – Tindakan-tindakan Iran di negeri-negeri kaum Muslimin membuat para ulama Saudi menyatukan pendapat untuk menghalau makar mereka. Terlebih, saat ini sanksi nuklir dari dunia internasional telah dicabut dari pundak mereka. Untuk itu, para ulama bersepakat membuat pernyataan untuk menolak kehadiran dan makar Iran di negeri-negeri kaum Muslimin.
Sebanyak 140 ulama Saudi menandatangani petisi yang dikeluarkan hari Sabtu 6 Rabiul Awal 1437 Hijriah atau 16 Januari 2016. Beberapa poin yang disebutkan dalam pernyataan tersebut di antaranya yait
Pertama: Campur tangan Syiah Iran atas kaum Muslimin bisa jadi merupakan musibah yang dari Allah SWT. Untuk itu, umat Islam harus segera bertaubat atas segala kesalahan yang diperbuat, serta meningkatkan amar ma’ruf nahi munkar. Hal itu didasari firman Allah SWT Surat At-Taubah 126 dan Ali Imran 120.
Kedua: Himbauan untuk mewaspadai kalangan minoritas Syiah di negeri-negeri kaum Muslimin. Dimana mereka berusaha untuk mengendalikan negara meskipun dengan jumlah yang sedikit. Meskipun dalam lokal sebuah negara, agenda mereka tetap melayani kepentingan Iran secara umum di luar negeri.
Ketiga: Harapan kepada negara-negara Teluk untuk lebih berhati-hati dalam urusan intelijen, politik, dan ekonomi Iran yang masuk ke negara mereka. Hal itu dapat menguatkan dominasi Iran, sebagaimana yang pernah terjadi Kuwait dan Bahrain.
Keempat: Rezim Iran berupaya sekuat tenaga untuk menancapkan pengaruh mereka di negeri-negeri kaum Muslimin. Baik dari segi politik, militer, ekonomi, media, kemampuan advokasi. Ini adalah bahaya yang perlu diwaspadai.
Kelima: Iran memiliki proyek untuk menuntut hak-hak minoritas mereka di seluruh negara. Untuk itu perlu dijalin kerjasama antar para ulama untuk membentengi umat dari bahaya dominasi dan pemikiran mereka.
Keenam: Ajakan kepada umat Islam untuk mengungkap kejahatan-kejahatan mereka di setiap negara yang ditempati, semisal pemblokiran di Madaya dan Zabadani.
Ketujuh: Ajakan untuk memberikan dukungan kepada kaum Sunni yang tinggal di Iran. Dimana mereka menjadi minoritas di dalamnya.
Kedelapan: Mengungkap agresi yang dilakukan Iran di beberapa negara, kemudian memberi dukungan kepada kaum Muslimin yang tinggal di dalamnya.
Kesembilan: Para ulama memberikan apresiasi atas tindakan Arab Saudi dan beberapa negara yang telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran. Kemudian mengingatkan bahwa perseteruan tersebut bukan sebatas perseteruan politik tetapi perseteruan yang berlandaskan agama.
Terakhir, para ulama mengingatkan bahwa sistem pemerintahan Safawi Iran ini adalah pendendam dan membawa benih-benih kehancuran. Maka dari itu, mereka tidak ingin ada orang lain yang berkuasa di luar mereka.
Adapun 140 ulama yang menandatangani pernyataan itu adalah:
1. Sheikh / Dr. Abdullah bin Mohammed Al-Ghunaiman
2. Sheikh / Dr. Mohammed bin Nasser As-Suhaibani
3. Sheikh / Dr. Abdullah Bin Hamad Al-Jalali
4. Sheikh / Dr. Sulaiman bin Wail At-Tuwaijri
5. Sheikh Al-Ustadz Dr. Suud bin Abdullah Al-Fanisani
6. Sheikh Al-Ustadz Dr. Nasser bin Sulaiman Al-Omar
7. Sheikh / Dr. Abdurrahman bin Saleh Al-Mahmoud
8. Sheikh Al-Ustadz Dr. Ali bin Saeed Al-Ghamidi
9. Sheikh Said bin Abdullah Al-Humaid
10. Sheikh Ahmed bin Abdullah Ali Syaiban Al-Asiri
11. Sheikh Ahmed bin Hassan Ali Abdullah
12. Sheikh / Dr. Ahmed bin Abdullah Al-Zahrani
13. Sheikh / Dr. Mohammed bin Said Al-Qahtani
14. Sheikh / Dr. Abdul Aziz bin Abdul Muhsin At-Turki
15. Sheikh / Dr. Ali Omar Ahmed Badahdah
16. Sheikh / Dr. Khaled bin Abdullah Al-Shamrani
17. Sheikh / Dr. Hassan Bin Saleh Al-Hamid
18. Sheikh / Dr. Khalid bin Abdul Rahman Al-‘Ajimi
19. Sheikh Al-Ustadz Dr. Sulaiman bin Qasim Al-‘Iid
20. Sheikh / Dr. Abdullah bin Omar Ad-Dumaiji
21. Sheikh / Dr. Mohammed bin Musa al-Sharif
22. Sheikh / Dr. Walid bin Utsman Ar-Rasywadi
23. Sheikh / Dr. Nasser bin Yahya Al-Hunaini
24. Sheikh / Dr. Ibrahim bin Abkar Abbas
25. Sheikh / Dr. Abdulhamid bin Abdullah Al-Wabil
26. Sheikh Osman bin Abdurrahman Al-Utsaim
27. Sheikh Ibrahim bin Khaddran Az-Zahrani
28. Sheikh Ibrahim bin Abdulrahman Al-Turki
29. Sheikh / Dr. Mohammed bin Abdullah Al-Khudairi
30. Sheikh Saad bin Nasser al-Ghannam
31. Sheikh Dr. Abdullah bin Nasser Al-Sabeeh
32. Sheikh / Dr. Musfir bin Abdullah Al-Bawardi
33. Sheikh / Dr. Abdullah bin Nasser Al-Sulaiman
34. Sheikh / Ibrahim bin Muhammad Akiri
35. Sheikh / Dr. Abdul Latif bin Abdullah Al-Wabil
36. Sheikh / Dr Mubarak bin Abdulaziz Al-Zahrani
37. Sheikh / Dr. Abdarahman bin Hamad Al-Tamami
38. Sheikh / Dr. Abdurrahman bin Jamil Qashash
39. Sheikh / Dr. Khalid bin Mohammed Al-Majed
40. Sheikh / Dr. Abdullah bin Abdurrahman Al-Watbani
41. Sheikh Ahmed bin Harban Al-Maliki
42. Sheikh / Dr. Ahmed bin Hamad Al Abdul Qadir
43. Sheikh / Ahmed bin Mohammed Bathv
44. Sheikh / Dr. Mohammed bin Suleiman Al-Barrak
45. Sheikh / Dr As’ad bin Saeed Al Shahrani
46. Sheikh Ismail bin Ahmed Ali Abdullah
47. Sheikh / Dr. Badawi bin Ali Al-Zahrani
48. Sheikh Basyir bin Ali Asy-Syaikhi
49. Sheikh Jammaz bin Abdurrahman Al Jammaz
50. Sheikh Hassan bin Abdullah Al-Qu’ud
51. Sheikh Khalid bin Khalf Al-Ghamidi
52. Sheikh Saad bin Mohammed Al-Ghamdi
53. Sheikh / Dr. Hussein bin Saeed Asiri
54. Sheikh / Dr. Hamad bin Abdullah Al-Jumah
55. Sheikh Mubarak bin Atiyah Al-Zahrani
56. Sheikh / Dr. Suleiman bin Abdullah Ghafis
57. Sheikh / Dr. Hamoud bin Abdulaziz At-Tuwaijri
58. Sheikh / Dr. Satar bin Sawad Al-Ju’aid
59. Sheikh / Saad bin Ali Al-Amiri
60. Sheikh / Dr. Saud bin Yusuf Al-Khamas
61. Sheikh / Ali bin Ahmed Dubeis al-Zahrani
62. Sheikh / Dr. Sulaiman bin Ali Al Saud
63. Sheikh / Dr. Saleh bin Abdullah Al-Hadzlul
64. Sheikh / Dr. Tariq bin Ahmed Al-Faruq
65. Sheikh / Dr. Mohammed bin Shamil As-Sulami
66. Sheikh / Dr. Abdulaziz bin Abdullah Al-Mubaddil
67. Sheikh / Dr. Abdullah bin Mohammed Al-Nasser
68. Sheikh / Dr. Mohammed bin Saleh Al-Muqbil
69. Sheikh Ghaseb bin Mubarak Al-Ghamidi
70. Sheikh Salih bin Abdullah bin Mohammed Al-Ghamidi
71. Sheikh / Dr. Abdul Aziz bin Humaid Al-Juhani
72. Sheikh / Dr. Abdul Aziz bin Mohammed Al Ajlan
73. Sheikh Abdullah bin Ahmed Abu Husain
74. Sheikh Abdullah bin Tuwairis At-Tuwairisy
75. Sheikh Abdullah bin Abdulaziz Al-Mubrid
76. Sheikh / Dr. Abdullah bin Faisal Alu Ranan
77. Sheikh Abdullah bin Mohammed Al-Baridi
78. Sheikh / Dr Abdullah bin Abdul Karim Al-Khanaya
79. Sheikh Abdullah bin Mohammed Al-Qu’ud
80. Sheikh / Dr. Abdul Malik bin Misfer al-Maliki
81. Sheikh / Dr. Abdurrahman bin bin Saleh Ad-Dhahiri
82. Sheikh / Dr. Atiyah bin Ibrahim Al-Ghubaisy
83. Sheikh Ali bin Ibrahim Al-Mahisy
84. Sheikh / Dr. Fauzi bin Hamad Al Subhi
85. Sheikh Mohammed bin Saleh Al-Ali
86. Sheikh Mohammed bin Suleiman Al Masoud
87. Sheikh Saeed Bin Ali Bbin Dalih Alu Meshal
88. Sheikh Mohammed bin Abdulaziz Ghufeili
89. Sheikh / Dr. Mohammed bin Abdulaziz Al-Luhaim
90. Sheikh / Dr. Mas’ud bin Mushabab Alu Ja’sham
91. Sheikh Abdullah bin Hamad Al-Zaidani
92. Sheikh Mohammed bin Sanad Az-Zahrani
93. Sheikh Fahad Bin Saleh Al-Ubaisi
94. Sheikh Mohammed bin Abdullah Alu Safran
95. Sheikh / Dr. Mohammed bin Abdul Aziz Al Majid
96. Sheikh Mohammed bin Ali Musmali
97. Sheikh Mohammed bin Awad Sarhani
98. Sheikh / Dr. Mohammed bin Fahd Al-Tuwaijri
99. Sheikh / Said bin Ahmed Alu Tsabit
100. Sheikh Fahd Bin Hussein Alu Hadi
101. Sheikh / Dr. Mohammed bin Marzouq Al-Haritsi
102. Sheikh Hamoud bin Dhafer Asy-Syahri
103. Sheikh Abdul Aziz bin Muhammad An-Nughaimasi
104. Sheikh Mahmoud bin Ibrahim Al-Zahrani
105. Sheikh Mushabab bin Ahmed Al-Qahtani
106. Sheikh / Dr. Muwafaq bin Abdullah Kadsah
107. Sheikh Yahya bin Hussein Sharifi
108. Sheikh Bandar bin Mohammed Hamdan Al-Zahrani
109. Sheikh Khalid Mohammed Ibrahim Al-Baridi
110. Sheikh Mohammed bin Saleh Al-Ubaidi
111. Sheikh Shalih bin Abdullah Asy-Syamsani
112. Sheikh Hussein Mushabab Alu Ja’tsam
113. Sheikh Ahmed bin Saleh Al Khwaiter
114. Sheikh Walid bin Washal Al-Moghamesi
115. Sheikh Hisyam bin Saleh Adz-Dzakir
116. Sheikh Hassan bin Muhammad Al-Zahrani
117. Sheikh Abdullah bin Ghailan Al-Ghailan
118. Sheikh Mua’adz bin Abdullah Asy-Syamsani
119. Sheikh / Dr. Saleh Abdullah Al-Hadzlul
120. Sheikh Abdullah bin Musaid Al-Zahrani
121. Sheikh Mohammed bin Abdulaziz Al-Ghufeili
122. Sheikh Suleiman Bin Abdul Aziz Al-Mubarak
123. Sheikh Ahmed bin Sulaiman bin Saleh Al-‘Unaiz
124. Sheikh Ahmed Bin Abdullah Al-Rajihi
125. Sheikh Khalid bin Ibrahim Al-Ju’aitsan
126. Sheikh Ahmed bin Saleh Al Sam’ani
127. Sheikh Khadr bin Shami Al-Zahrani
128. Sheikh Abdul Rahman Abdullah Al-‘Iid
129. Sheikh Abdullah Mohammed Ibrahim Al-Baridi
130. Sheikh Ali bin Mohammed Ar-Raisani
131. Sheikh Hamdan bin Abdul Rahman Asy-Syarqi
132. Sheikh Saleh Bin Mohammed Al-Bahjah Al-Zahrani
133. Sheikh Abdullah bin Omar Al-Suhaibani
134. Sheikh Mohammed bin Suleiman Al-Yahya
135. Sheikh Abdul Malik bin Hamoud al-Tuwaijri
136. Sheikh Ahmed bin Hamed al-Zahrani
137. Sheikh Ahmed bin Abdullah Ar-Rubaish
138. Sheikh Sulaiman bin Abdullah Asy-Syamsyani
139. Sheikh Abdullah bin Abdul Karim Buhairi
140. Sheikh Atiyah bin Khadr Zahrani
Sumber: Al-Bayan
Penulis: M. Rudy

10 Poin Deklarasi Jakarta ( oleh Para Super Cendekiawan Syiah dan Sepilis, Anti Salafi Wahhabi ! )

Dimotori tokoh-tokoh Syiah dan Sepilis (sekularisme, pluralisme,dan liberalisme). Terkesan corong syiah dan menyerang Salafi/Wahabi ! ( red. lamurkha )
“Islamic Scholar Calls For Muslim Unity”
Pertemuan Cendekiawan Muslim yang difasilitasi oleh KAHMI NASIONAL dan Universal Justice Network, dengan tema: “Islamic Scholar Calls for Muslim Unity”, Minggu 4 Mei 2014 di Gedung RNI Jakarta menghasilkan 10 poin Deklarasi Jakarta. Dalam Pertemuan tersebut hadir Prof. DR. Laode M. Kamaluddin (Ketua Majelis Pakar KAHMI), DR. Anies Baswedan (Presidium KAHMI), DR. Muh Imam Asi (Institute of Contemporary Islamic Thought, Washington DC), Dr. Muhideen Abdul Kadir (Citizen International, Kuala Lumpur), DR. Massoed Sadjareh (Islamic Human Right Comission, London), Bapak AM Fatwa, Dr. Saleh Khalid, Dr. Kurtubi (NASDEM), Ir. Subandrio (Sekjen KAHMI), Dr.Haidar Bagir, Prof. Hermansyah, Dr. Husain Heriyanto, dan ratusan dosen beserta aktivis muslim ( anti salafi wahhabi ) lainnya. (keblinger)
10 poin Deklarasi Jakarta dibacakan oleh Prof. DR. Laode M. Kamaluddin (Ketua Dewan Pakar KAHMI), dan Dr. Imam Muh Al Asi (Mufassir ? dan Cendekiawan Muslim dari Washington DC).
Berikut isi Deklarasi Jakarta dalam dua versi bahasa, Inggris dan Indonesia:
Versi Bahasa Inggris
Jakarta Declaration on Muslim Unity
Bismillahirrahmanirrahim
Whilst praising and hoping for the pleasure of Allah Almighty, greeting and blessing the lord of the Prophet Muhammad along with his family and companions
Whilst recognizing that Allah create mankind peoples and tribes that they may know one another
And recognizing that no one is more noble or superior than others except for his acquaintance, faith, and good deed
And recognizing that the Prophet Muhammad was sent to enhance human morality, bring message of justice and peace, and spread love and compassion
And strongly condemning the growing of sectarian hatred virus and internal conflict within the Islamic Ummah which has been claiming many innocent victims in various parts of the world, especially in the Muslim majority countries such as in West and South Asia
And understading that the virus is now spreading to South East Asian nations, including Indonesia and Malaysia
We, Muslim scholars, agree to the points in this declaration to counter and remove sectarian hatred virus and violence and further escalation of internecine conflict within Muslim society:
1. We state that killing fellow human beings based on colour, creed, ethnicity and religion is Haram and against the Syariah;
2. We endorse the definition of Muslim according to the Amman Message declaration
3. We state that the differences within the Ummah should never lead to issuing “takfir” against fellow Muslims, and if it does lead to issuing “takfir” we declare such action to be Haram and against the Syariah.
4. We state that all dissent among Muslims should be resolved by dialogue and consensus as well as respecting the honor of one another.
5. We will jointly and actively establish and maintain relationships between our different schools and organisations as well as attending each other’s events and programmes as a way to establish, maintain and develop brotherhood.
6. We will promote and maintain harmony between all groups of Muslim through print, electronic and social media networks.
7. We recommend that the schools should develop their syllabus and curriculum which is promoting peace, brotherhood and unity among all members of Muslim society.
8. We urge the government to develop and implement the legislation combating hate speech and push for more effective prosecution of violations of such legislation.
9. We realize that the sectarian conflict is a trap aimed to weaken Muslim Ummah, and we have to enlighten the Ummah of the trap.
10. We will actively mediate all disputing groups of Muslim so that they can reconcile with each other.
And hold firmly to the rope of Allah all together and do not become divided. And remember the favor of Allah upon you – when you were enemies and He brought your hearts together and you became, by His favor, brothers. And you were on the edge of a pit of the Fire, and He saved you from it. Thus does Allah make clear to you His verses that you may be guided. (Quran 3:103)
Jakarta, May 4th 2014
Versi Bahasa Indonesia
DEKLARASI JAKARTA TENTANG “PERSATUAN UMAT ISLAM”
Bismillahirrahmanirrahim
Seraya bersyukur dan berharap keridaan Allah Yang Maha Kuasa, dan menyampaikan salawat serta salam kepada Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, dan sahabatnya.
Seraya mengakui bahwa Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal.
Dan mengakui bahwa tak ada seorang pun yang lebih mulia dan utama daripada lainnya, kecuali karena ilmu, iman, dan amal baik.
Dan mengakui bahwa Nabi Muhammad SAW telah diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia, membawa pesan keadilan dan perdamaian, serta menyebarkan cinta dan kasih sayang.
Dan tegas mengutuk berkembangnya virus kebencian sektarian dan konflik internal di dalam Umat Islam yang telah menelan banyak korban tak berdosa di banyak belahan dunia, khususnya di negeri-negeri berpenduduk mayoritas Muslim seperti di Asia Selatan dan Barat.
Dan memahami bahwa virus kebencian itu kini sedang menyebar ke negeri-negeri Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Malaysia.
Karena itu, kami, para cendikiawan muslim, sepakat kepada poin-poin dalam deklarasi ini untuk menghadapi dan menghapuskan virus kebencian sektarian dan meluasnya konflik internal di dalam Umat Islam :
1. Kami menyatakan bahwa pembunuhan terhadap sesama manusia berdasarkan warna kulit, keyakinan, etnis, dan agama adalah Haram dan bertentangan dengan Syariah.
2. Kami mendukung definisi Muslim sesuai dengan deklarasi “Pesan Amman”. ( silahkan baca apa isi /maksud deklarasi aman di lamurkha. pelajari juga pendapat ulama salaf terkait kafirnya syiah )
3. Kami menyatakan bahwa perbedaan di internal Umat tidak boleh berujung pada pernyataan “kafir” dan “sesat” terhadap sesama Muslim, dan jika itu yang terjadi maka kami menyatakan perbuatan itu (menyatakan “kafir” dan “sesat”) Haram dan bertentangan dengan Syariah.
4. Kami menyatakan bahwa semua perbedaan di antara Muslim harus diselesaikan dengan dialog dan konsensus seraya tetap menjaga kehormatan satu sama lain.
5. Kami akan aktif bersama-sama membangun dan menjaga hubungan di antara mazhab serta organisasi Islam yang berbeda dan menghadiri kegiatan satu sama lain sebagai cara membangun, menjaga, dan mengembangkan persaudaraan.
6. Kami akan mempromosikan dan menjaga harmoni di antara semua kelompok Muslim melalui media cetak, elektronik dan media sosial.
7. Kami merekomendasikan agar sekolah-sekolah mengembangkan silabus dan kurikulum yang mendorong perdamaian, persaudaraan, serta persatuan di antara semua anggota masyarakat Muslim.
8. Kami mendesak Pemerintah untuk mengembangkan dan mengimplementasikan undang-undang yang memerangi ujaran kebencian dan mendorong pemidanaan yang lebih efektif terhadap pelanggaran atas undang-undang tersebut.
9. Kami menyadari bahwa konflik sektarian adalah jebakan yang bertujuan untuk melemahkan Umat Islam, dan kami harus mencerahkan Umat tentang jebakan itu.
10. Kami akan aktif memediasi semua kelompok Muslim yang berselisih agar bisa melakukan rekonsiliasi.
Jakarta, 4 Mei 2014

Para Super Cendekiawan Sepilis dan Syiah silahkan baca artikel dibawah ini :

Mengapa Syiah Menggunakan Istilah Takfiri-Wahabi? Kelompok Takfiri sebenarnya Syiah, Kelompok Radikal Jika Merujuk Definisi BNPT
Mengapa Syiah Menggunakan Istilah Takfiri-Wahabi?
Syiah – Grup Takfiri Terbesar Dunia. Kejahatan Syi'ah Khomeini Dan Iran
Syi’ah Ada Dibalik Isu Anti-Wahabi Untuk Pecah Belah Umat Islam
Impian Mempersatukan Sunni-Syiah, Tanggapan Atas Tulisan Prof. Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin M.A. Jangan (Mau) Diperdaya Ayatullah Iran. Juga Inkonsistensi Metode Kritik Hadisnya ?
Sebelum Ada “ Tuduhan Wahabi ( Salafi ) “ , Sejak Abad 14 H Kejahatan Takfiri Syiah Mendominasi Sejarah Islam ! Hegemoni Syi’ah Sejak Hasan Al ‘Askari ( Imam Ke-11).
http://lamurkha.blogspot.co.id/2015/11/sebelum-ada-tuduhan-wahabi-salafi-sejak.html
Taqrib Sunni – Syiah Gagasan Usang Yang Diulang. Pengakuan Syeikh Al-Qaradhawi: ‘Iran Menipu Saya’
Syiah Di Indonesia Kedepankan Strategi Taqrib, Waspadalah!
MUI: Akidah Sebagai Landasan Perbedaan Antara Sunni Syiah
Masukan Untuk Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin Terkait Risalah Amman
Risalah Amman dan Kampanye Politis Syiah
Penodaan Syiah Terhadap Mazhab Fikih Ja’fari
Dosa Dosa Besar Para Penanda Tangan Risalah Amman !
“Wahabi”, Black propaganda dan aroma “Syiah Rafidhah” 
Iran Dinilai Jadikan Isu Radikalisme Sebagai Palu Godam Halangi Syiahisasi di Indonesia
Indonesia Dicaplok Syi'ah Iran Untuk Menggayang Radikalisme
Bertambah Lagi Negara Islam ( Ahlus Sunnah ) Di Acak-Acak Teroris Takfiri Syiah : Somalia ! Indonesia ?
Penerbit Mizan Terbitkan Karya Ulama Penghujat Para Sahabat
Melawan Takfirisme: Menghukum Pelakunya

“Situasinya makin memburuk dari tahun lalu kami datang ke Indonesia…”
Kekhawatiran banyak kalangan akan bahaya takfirisme (mengkafirkan selainnya) yang makin mengancam bangsa Indonesia bukan omong kosong belaka. Tak hanya banyak cendikiawan Indonesia, Dr. Massoed Sadjareh, Direktur Islamic Human Right Comission London juga ikut menyuarakan kekhawatiran ini.
Saat ABI Press wawancarai Dr. Massoed Sadjareh yang menjadi salah satu pembicara dalam Diskusi Publik bertema Islamic Scholar Gathering on Muslim Unity di gedung RNI Jakarta, Minggu (4/5), Massoed menyebutkan jika hal ini dibiarkan, dan pemerintah tidak bertindak tegas menegakkan hukum,  situasi akan semakin memburuk. Indonesia bisa menjadi Irak-Suriah jilid dua.
Dalam Diskusi Publik yang diadakan oleh Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) ini, Presidium KAHMI, Anies Baswedan menekankan, dalam situasi seperti sekarang, penegakan hukum mesti menjadi prioritas utama.
“Negara ini dirancang tidak untuk melindungi minoritas atau mayoritas,” ujar Anies. “Siapa saja yang melanggar hukum ya harus dihukum. Apalagi yang merobek tenun kebangsaan. Itu mesti jadi prioritas dan harus segera ditindak!”
Pemerintah Harus Tegas ( Larang Syiah ! )
Sekjen KAHMI, Ir. Subandrio, juga menengarai masalah utama maraknya takfirisme dan tindak kekerasan ini ada pada loyonya penegakan hukum. “Kalau penegakan hukum dilakukan dengan baik, orang akan berpikir dua kali untuk melakukan kekerasan,” ujarnya.
Menanggapi kasus pemukulan terhadap wartawan ABI Press di Bandung pada acara Deklarasi Aliansi Nasional Anti Syiah (20/4) lalu, Subandrio sangat menyayangkan hal itu. “Ini akan memperburuk citra pers Indonesia di mata Dunia. Pemerintah harus tegas menindak pelakunya.” 
( Penghina/penghujat Istri/Sahabat Nabi )
Sementara Massoed Sadjareh menilai, aksi kekerasan dan intimidasi yang dilakukan oleh panitia Deklarasi Nasional Aliansi Anti Syiah di Bandung atas wartawan ABI Press tersebut merupakan wujud dari apa yang disebutnya “politic of fear.” Dia menilai, ini adalah bukti bahwa aliansi pengkafiran yang dideklarasikan di Bandung ini bermasalah. ( ketahuan corong syiah )
“Mereka tahu apa yang mereka lakukan itu salah. Karena itu mereka berusaha mencegah wartawan agar informasi tentang hal itu tidak tersebar,” ujar Massoed. “Orang yang dalam posisi benar, ia tentu tidak akan takut pada wartawan, kan?”
Kuncinya, menurut Massoed, tak hanya pemerintah harus tegas menegakkan hukum, tetapi seluruh elemen bangsa juga harus bersatu padu melawan arus takfirisme ( syiah ! ) ini. (Muhammad/Yudhi)

KAHMI Jember Tolak Klaim Kang Jalal bahwa HMI Turut Sebarkan Syiah

Furqan – Kamis, 20 Syawwal 1433 H / 6 September 2012 12:40 WIB
Anggota Presidium Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam Kabupaten Jember, Moch. Eksan, mengecam Jalaluddin Rakhmat yang menyebut HMI ikut menyebarkan paham Syiah secara sistematis.
Dalam wawancara dengan Tempo.Co, 3 September 2012, lalu Kang Jalal yang merupakan Ketua Dewan Syuro ikatan Jemaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) ini menyatakan, kelompok Syiah pertama kali muncul di Bandung.
“Lalu Syiah masuk ke HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan mulai tersebar ke kampus di daerah lain. Aktivis HMI menyebarkan ajaran Syiah secara sistematis, yakni melalui pelatihan kepemimpinan,” katanya.
Pernyataan ini memantik reaksi aktivis HMI Kabupaten Jember. Eksan menyebut pernyataan Jalaluluddin ini meresahkan kalangan HMI. Ia khawatir, pernyataan ini justru dijadikan ajang kampanye hitam untuk menyudutkan HMI dan mempersulit perekrutan kader.
“Apa alasan, Kang Jalal mengeluarkan pernyataan tersebut? Saya yakin banyak aktivis maupun alumni HMI bingung. Kok tiba-tiba HMI yang tak ada hubungannya dengan merebaknya konflik Sunni-Syiah di beberapa tempat di Tanah Air, dikait-kaitnya dengan penyebaran Syiah secara sistematis di berbagai kampus?” kata Eksan, yang juga dikenal sebagai aktivis muda Nahdlatul Ulama ini.
Eksan mengingatkan, HMI jelas-jelas bukan Syiah. “HMI merupakan organisasi kemahasiswaan yang menggotong visi dan misi keislamaan dan keindonesiaan sekaligus, dulu, kini dan nanti. HMI sebagai organisasi kader yang berasas Islam tak pernah secara ideologis dan administratif menyebut Islam Syiah satu kata pun,” katanya.
Dalam Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI yang ditulis Nurcholish Madjid, tak sedikit pun mencerminkan paham Syiah. Tak ada satu pun bab di NDP yang menguraikan paham Syiah secara eksplisit maupun implisit. “NDP memuat dasar-dasar kepercayaan, pengertian-pengertian dasar tentang kemanusiaan, kemerdekaan manusia (ikhtiar), dan keharusan universal (takdir), Ketuhanan Yang Maha Esa dan Perikemanusiaan, individu dan masyarakat, keadilan sosial dan keadilan ekonomi, kemanusiaan dan ilmu pengetahuan, kesimpulan dan penutup,” kata Eksan.
Eksan menyebut Kang Jalal tak memiliki pengetahuan cukup soal HMI. “Jelas sekali pernyataan Kang Jalal tak punya dasar sama sekali. Kayak, ‘orang mengigau’,” katanya.
“HMI adalah HMI, yang bukan NU, bukan Muhammadiyah, bukan Al-Khairiyah, bukan Al-Irsyad, bukan Persis, bukan Washliyah, bukan MMI, FPI, bukan JAT, bukan HTI, bukan IJABI, dan bukan yang lainnya,” tegas pengasuh salah satu pondok pesantren ini.
Jika kemudian banyak aktivis HMI yang menjadi aktivis organisasi keagamaan tertentu, itu persoalan lain. “Itu bukti bahwa HMI merupakan organisasi kader yang dibutuhkan oleh umat dan bangsa. Namun, semua menyadari, tak ada satupun yang berhak mengklaim keberislaman HMI,” kata Eksan.(fq/beritajatim.com)


Sikap Al-Azhar Mesir tentang ‘Taqrib’ Sunni-Syiah

Syaikh Qaradhawi dalam fatwanya juga meluruskan makna ‘Taqrib’ agar tidak menjadi bias dan kamuflase terhadap upaya penyebaran ajaran Syiah. Baca juga sikap Qaradhawi soal Risalah Amman
Oleh: Fahmi Salim
BARU-BARU ini seiring pemberitaan kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Organisasi Konferensi Islam (OKI) ke-12 yang dilaksanakan di Kairo ibukota Mesir dan turut dihadiri Presiden SBY, hasil pertemuan Grand Syeikh Al-Azhar Mesir dengan Presiden Iran, Mahmud Ahmadinejad, menjadi pusat perhatian umat Islam tak hanya di Mesir tetapi juga di dunia Islam. Apalagi ditengah situasi yang menghangat soal relasi Sunni – Syiah pasca Arab-Spring (revolusi dunia Arab), dan imbasnya sampai ke Indonesia dengan kasus penodaan agama oleh Tajul Muluk, pemimpin Syiah di Sampang.
Dalam sebuah pernyataan resmi ketika menerima kunjungan Presiden Iran, Mahmud Ahmadinejad, di Masyikhatul Azhar pada hari Rabu 6 Februari 2013, Grand Syeikh Al-Azhar Cairo, Prof. Dr. Ahmad Al-Tayyib mengatakan, “Meski para ulama besar Al-Azhar terdahulu pernah terlibat di dalam berbagai konferensi persatuan Islam antara Sunni dan Syiah guna melenyapkan fitnah yang memecah belah umat Islam, penting saya garis bawahi bahwa seluruh konferensi itu nyatanya hanya ingin memenangkan kepentingan kalangan Syiah (Imamiyah) dan mengorbankan kepentingan, akidah dan simbol-simbol Ahlus Sunnah, sehingga upaya taqrib itu kehilangan kepercayaan dan kredibilitasnya seperti yang kami harapkan. Kami juga sangat menyesalkan celaan dan pelecehan terhadap para sahabat dan istri Nabi SAW yang terus menerus kami dengar dari kalangan Syiah, yang tentu saja hal itu sangat kami tolak. Perkara serius lainnya yang kami tolak adalah upaya penyusupan penyebaran Syiah di tengah masyarakat Muslim di Negara-negara Sunni.”
Selain itu Syeikh Al-Thayyib menyinggung kondisi memilukan Ahlus Sunnah di Iran yang menurut beliau, “Banyak dari mereka yang mengadukan kepada kami kondisi dan hak-hak mereka. Saya memandang, tidak boleh hak-hak warga Negara didiskriminasi dan dikerdilkan seperti yang disepakati oleh system politik modern dan diatur syariat Islam.”
(Sumber: http://onazhar.com/page2home2.php?page=3&page1=4&page2=2810)
Sebelumnya, dalam berbagai kesempatan Grand Syeikh Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmad At-Thayyib, menyatakan seperti dilansir Koran Ahram (09/11/2012) bahwa Al-Azhar menolak keras penyebaran ajaran Syiah di negeri-negeri Ahlus Sunnah, karena hal itu akan merongrong persatuan dunia Islam, mengancam stabilitas negara, memecah belah umat dan membuka peluang kepada zionisme untuk menimbulkan isu-isu perselisihan mazhab di Negara-negara Islam.
Selain penolakan terhadap ekspor mazhab Syiah (Syiahisasi) ke negara-negara Sunni, kaum Rafidhah berlindung di balik konsensus Deklarasi Amman untuk legitimasi penyebaran Syiah. Risalah Amman yang selama ini selalu menjadi landasan bagi Syiah menebarkan pengaruhnya bukanlah kesepakatan pembenaran atas penyimpangan akidah.
“Risalah Amman bukanlah cek kosong, Risalah Amman bukan pula kesepakatan pembenaran atas keyakinan menyimpang Rafidhah, yaitu doktrin caci-maki kepada para pembesar Sahabat dan isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam, apalagi pembenar doktrin tahrif,” kata seorang pakar Syiah Prof. Mohammad Baharun, yang juga mengetuai Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI. Solusi damai antara Syiah dan Sunni justru dengan membuat jarak yang jelas dan tidak mengelabui umat. “Karena perbedaannya bukan di ranah mazhab fiqih saja, melainkan keyakinan akidah,” ujarnya. [baca: Pakar Syiah Indonesia Dukung Langkah Syeikh Al Azhar]
Risalah Amman 2005 juga tidak mengikat seluruh ulama yang hadir. Faktanya adalah Syeikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi (Ketua Persatuan Ulama Islam Internasional) yang ikut tercantum namanya sebagai penandatangan Risalah Amman, telah merilis tiga fatwa tentang Syiah Imamiyah di dalam kitab “Fatawa Mu’ashirah” jilid 4 yang terbit pada tahun 2009. Dalam fatwanya, beliau membongkar kesesatan Syiah Imamiyah dengan membentangkan pokok-pokok perbedaan akidah antara Ahlus Sunnah dan Syiah, hukum mencaci para sahabat Nabi dan sikapnya tentang pendekatan (taqrib) Sunni-Syiah pasca Muktamar Doha-Qatar tanggal 20-22 Januari 2007.
Tampak dari fatwa Syeikh Al-Qaradhawi (2009) bahwa kaum Syiah masih dikategorikan Muslim (seperti tertulis dalam Risalah Amman), tapi itu tidak berarti golongan Muslim tersebut bersih dan terbebas dari kesesatan terutama dalah hal-hal pokok akidah sebagaimana dijelaskan panjang lebar oleh Qaradhawi.
Di dalam fatwanya al-Qardhawi, yang juga anggota dewan tinggi ulama senior (‘Hai’ah Kibar Ulama’) Al-Azhar menegaskan sikapnya terhadap gagasan ‘Taqrib’,
“Sesungguhnya sejak saya ikut serta di dalam Muktamar Pendekatan Madzhab (Taqrib), saya telah menemukan beberapa poin penting yang membuat pendekatan ini tidak akan terjadi jika poin-poin ini diabaikan atau tidak diberikan hak-haknya. Semua ini telah saya jelaskan dengan sejelas-jelasnya pada saat kunjungan saya ke Iran 10 tahun yang silam. Di sini saya hanya mengacu kepada 3 perkara:
Pertama, kesepakatan untuk tidak mencerca para sahabat. Karena kita tidak bisa dipertemukan atau didekatkan jika masih seperti itu. Karena saya mengatakan: Semoga Allah meridhai mereka (para sahabat), sedangkan engkau (Syi’ah) berkata: Semoga Allah melaknat mereka. Sedangkan antara kata ridha dan laknat memiliki perbedaan yang sangat besar.

Kedua, dilarang menyebarkan sebuah madzhab di sebuah daerah yang dikuasi oleh madzhab tertentu. Atau seperti yang dikatakan oleh Syeikh Muhammad Mahdi Syamsuddin dengan istilah pengsyi’ahan (ekspor madzhab Syi’ah ke negara lain). Ketiga, memperhatikan hak-hak minoritas, terutama jika monoritas tersebut adalah madzhab yang sah.

Inilah sikap saya. Saya tidak akan menjadi penyeru kepada ‘peleburan prinsip’ atau menjadi orang-orang yang berhamburan kepada usaha taqrib (pendekatan Sunni – Syi’ah) tanpa syarat dan ketentuan. Karena saya melihat bahwa muktamar ini hanya seremonial saja. Akan tetapi tidak memecahkan akar permasalahannya dan tidak ada ujung pangkalnya. Muktamar tersebut hanya sebatas basa basi dan tidak menghasilkan apa-apa setelahnya. Saya putuskan bahwa saya harus menjelaskan sesuatu yang ada di dalam diri saya kepada seluruh kaum Muslimin. Saya tidak akan menyembunyikan sesuatu yang dianggap penting di dalam (menjaga) muamalah. Hal ini lah yang dituntut oleh sifat amanah dan tanggung jawab dan perjanjian yang telah diambil oleh Allah terhadap para ulama, ”Hendaklah kamu benar-benar menerangkannya (isi Kitab itu) kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya,” (QS Ali Imran [03]: 187).”
Syeikh Qaradhawi menceritakan pengalaman bahwa taqrib di dunia Islam hanya menguntungkan pihak Syiah, yang mendukung pernyataan Grand Syeikh Al-Azhar saat ini Prof. Ahmad Al-Thayyib;
“Pada tahun 60-an yang lampau, Syeikh Mahmud Syaltut sebagai Grand Syeikh Al-Azhar telah mengeluarkan sebuah fatwa yang membolehkan beribadah dengan memakai madzhab Ja’fari. Dengan alasan di dalam pembahasan fikihnya lebih mendekati kepada Madzhab Ahlu Sunnah, kecuali ada perbedaan sedikit saja yang tidak menjadi alasan untuk melarang beribadah dengan memakai madzhab Ja’fari secara keseluruhan, seperti dalam hal shalat, puasa, zakat, haji dan muamalah. Akan tetapi fatwa ini tidak pernah dibukukan dalam Himpunan Fatwa Syaltut. Fatwa Syaikh Syaltut ini sebagaimana yang disebutkan tidak merambah ke permasalahan akidah dan ushuluddin (pokok-pokok agama Islam) yang di dalamnya mengandung perbedaan yang sangat jelas antara Ahlu Sunnah dengan Syi’ah. Contohnya dalam hal imamah, 12 imam Syi’ah, kemaksuman imam, pengetahuan mereka terhadap hal gaib dan kedudukan mereka yang tidak ada yang bisa mencapainya walaupun oleh malaikat yang sangat dekat (dengan Allah SWT) dan tidak juga oleh nabi yang diutus. Mereka beranggapan bahwa masalah ini adalah masalah penting yang termasuk masalah ushuluddin. Tidak sah iman dan Islam seseorang kecuali dengan mengimani masalah ini. Orang yang menolaknya dianggap kafir, akan kekal di neraka. Juga contoh lainnya yaitu akidah orang-orang Syi’ah terhadap para sahabat dan hal-hal lainnya yang mereka anggap sebagai pokok-pokok agama mereka.
Di samping itu, kami belum pernah menemukan ada orang Syi’ah yang membalas kebaikan dengan kebaikan atau ada yang menjawab salam dengan jawaban yang lebih baik atau dengan salam serupa. Sebab tidak ada dari para ulama senior Syi’ah yang selevel dengan Syaikh Syaltut di kalangan Ahlu Sunnah, baik yang berada di Qum maupun di Najaf yang mengeluarkan fatwa bagi para pengikutnya bahwa boleh beribadah dengan menggunakan madzhab Ahlu Sunnah, meskipun mereka itu (Ahlus Sunnah) tidak perlu hal ini.”
Syeikh Qardhawi dalam fatwanya juga meluruskan makna ‘Taqrib’ agar tidak menjadi bias dan kamuflase terhadap upaya penyebaran ajaran Syiah;
“Seluruh peserta muktamar taqrib madzhab dan putusannya mengatakan bahwa pendekatan itu (terjadi) antar madzhab di dalam Islam. Menurut saya bahwa maksud dari ungkapan ini tidak pas. Karena kalimat madzhab telah menjadi istilah yang mapan bagi madzhab fikih Sunni yang empat yang sudah dikenal, yaitu Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanbaliyah. Kemudian ditambah dengan madzhab Zhahiriyah juga Zaidiyyah, Ja’fariyyah dan Ibadhiyyah. Adapun perbedaan di antara madzhab-madzhab ini hanya berkisar di dalam masalah furu’ dan amaliah yang tidak sampai menyentuh permasalahan akidah, pokok-pokok keimanan dan ushuluddin (pokok-pokok agama). Maka perbedaan dalam masalah furu, fikih atau ibadah adalah bukan faktor yang berpengaruh di dalam hubungan antara Sunni dan Syi’ah. Sangat penting digarisbawahi bahwa perbedaan antara Sunni dan Syi’ah adalah perbedaan di dalam masalah akidah seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya di dalam masalah pendekatan madzhab. Perbedaan dalam akidah inilah yang telah menjadi penyebab tumbuhnya berbagai macam golongan, seperti Mu’tazilah, Jabariyyah, Murji`ah, Syi’ah, Khawarij, Asy’ariyyah, Maturidiyyah, Salafiyyah dan lain-lainnya. Oleh karena itu, jika memungkinkan, aktifitas ‘Taqrib’ lebih tepat disebut sebagai pendekatan antar golongan/firqah (akidah) dan bukan pendekatan antar madzhab (fikih). Karena fikih tidak memerlukan pendekatan. Pun jika kita permudah istilah dengan menyatakan madzhab-madzhab, maka yang kita maksudkan disini adalah madzhab-madzhab akidah dan bukan mazhab-mazhab fikih.”
Lebih jauh al-Qardhawi dalam fatwanya itu, mengungkapkan perbedaan mendasar dalam hal pokok antara Sunni dan Syiah yang tak bisa disatukan.
“Contoh perbedaan di dalam masalah akidah, yaitu khususnya di dalam masalah imamah. Karena mereka (orang-orang Syi’ah) berkeyakinan bahwa imamah adalah pokok akidah mereka dan termasuk ke dalam rukun akidah mereka. Sedangkan kita (Ahlu Sunnah) menganggapnya hanya sebagai furu’ (cabang) saja dan bukan ushul; atau termasuk amaliyah dan bukan sebagai akidah. Akan tetapi imamah di dalam ajaran Syi’ah merupakan pokok ajaran mereka. Karena pokok ajaran mereka bersandar kepada: Al-Washiyah (wasiat politik kepada Ali), Al-Imamah (kepemimpinan Ali dan keturunannya), Al-Ghaibah (masa menghilangnya imam ke-12) dan Ar-Roj’ah (kembalinya Al-Mahdi ke dunia sebelum kiamat untuk menumpas musuh-musuh imam Ahlul Bait). Ajaran Syi’ah menyebutkan masalah imamah dengan sangat tegas. Mereka mengatakan barangsiapa yang tidak beriman kepada imamah ini, maka tidak dianggap sebagai orang yang beriman. Mereka juga mengatakan bahwa imamah ini berasal dari Rasulullah SAW, yang dimulai dari Ali RA kemudian dikuti oleh sebelas imam setelah Ali RA. Di dalam kitab Ushul Al-Kafi dari Abi Ja’far (Al-Baqir) bahwasanya dia telah berkata, “Islam itu dibangun di atas 5 dasar: Shalat, zakat, puasa, haji dan wilayah (kekuasaan). Tidak ada rukun yang lebih ditekankan kecuali rukun al-wilayah ini. Akan tetapi manusia hanya mengambil empat perkara dan mereka meninggalkan rukun ini, yaitu al-wilayah.” (Ushul Al-Kafi, jilid 2 hal. 18).
Dari Zurarah dari Abu Ja’far dia berkata, ”Islam itu dibangun di atas lima perkara: Shalat, zakat, haji, puasa dan al-wilayah.” Zurarah berkata: Aku bertanya kepadanya: ”Manakah di antara semua itu yang paling utama?” Abu Ja’far menjawab, ”Al-wilayah lebih utama, karena al-wilayah adalah kunci dari semua rukun itu.” (Ushul Al-Kafi, jilid 2 hal. 18). Al-Kulaini meriwayatkan dengan sanadnya dari Ash-Shadiq (AS) bahwasanya beliau bersabda, ”Dasar Islam itu ada tiga: Shalat, zakat dan al-wilayah. Tidak sah salah satu dari ketiga rukun ini kecuali dengan menyertakan dua rukun lainnya.” (Ushul Al-Kafi, jilid 2 hal. 18).
Di dalam masalah al-wilayah tidak ada rukhshah (keringanan). Dari Abu Abdullah dia berkata,
”Sesungguhnya Allah telah mewajibkan lima perkara kepada umat Nabi Muhammad SAW: Shalat, zakat, puasa, haji dan wilayah (pemerintahan) kami. Allah telah memberikan keringanan di dalam rukun yang empat. Akan tetapi Allah tidak memberikan keringanan kepada seorang muslim pun di dalam hal meninggalkan wilayah (pemerintahan) kami. Tidak, demi Allah. Sesungguhnya tidak ada keringanan di dalam masalah al-wilayah.” Dalam sebuah riwayat disebutkan, ”Islam dibangun atas: Bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bersaksi bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa di bulan ramadhan, melaksanakan ibadah haji ke baitullah dan wilayah (pemerintahan) Ali bin Abi Thalib.” (Ushul Al-Kafi, jilid 2 hal. 21).
Bahkan pada kenyataannya mereka (orang-orang Syi’ah) tidak hanya berpegang kepada masalah al-wilayah (pemerintahan Ali) saja. Justru mereka melampauinya sampai ke taraf uluhiyah (ketuhanan). Akhirnya mereka menganggap Ahlu Sunnah bukanlah orang-orang yang beriman kepada Tuhan yang diimani oleh Syi’ah. Inilah salah satu titik perbedaan yang paling mendasar. Ni’matullah Al-Jazairi (wafat 1212 H) misalkan di dalam kitab Al-Anwar An-Nu’maniyyah menulis tentang Ahlu Sunnah wal Jama’ah, ”Sesungguhnya kami tidak bisa bertemu dengan mereka (Ahlu Sunnah) di dalam satu tuhan dan tidak dalam satu nabi dan satu imam. Hal ini dikarenakan mereka (Ahlu Sunnah) berkata, ”Sesungguhnya Rabb mereka adalah yang Muhammad sebagai nabi-Nya dan Abu Bakar sebagai khalifahnya. Akan tetapi kami tidak mengatakan dengan tuhan ini dan tidak juga dengan nabi itu. Akan tetapi kami mengatakan, ”Sesungguhnya tuhan yang khalifahnya (yang benar: Khalifah nabinya) adalah Abu Bakar adalah bukan tuhan kami dan nabi itu juga bukan nabi kami.” (Al-Anwar An-Nu’maniyah jilid 2 hal. 279, cetakan Yayasan Al-A’lami Beirut Libanon).”
Demikian uraian yang dapat penulis ketengahkan kepada pembaca sekalian mengenai sikap institusi ilmiah terbesar Sunni yaitu Al-Azhar Al-Syarif melalui berbagai pernyataan dan pemikiran fatwa para tokoh kuncinya yaitu Prof. Dr. Ahmad Al-Thayyib dan Prof. Dr. Yusuf Al-Qaradhawi.
Pandangan kedua tokoh Muslim terkemuka itu sangat patut dipertimbangkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat dan Daerah, tokoh-tokoh cendekiawan serta Ormas-ormas Islam di Indonesia, bahkan oleh jajaran Pemerintah Republik Indonesia untuk menyikapi perkembangan Syiah dan infiltrasinya melalui jalur pendidikan dan beasiswa serta penerbitan yang menyerang ajaran Sunni di Indonesia, agar kehidupan keagamaan berlangsung harmonis demi kokohnya NKRI yang islami dan didukung seluruh elemen umat Islam.*
Komisi Pengkajian MUI dan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar