Wednesday, February 3, 2016

Khomainiy = Nasr Hamid Abu Zaid = Nasaruddin Umar, Al-Qur'an Tidak Sempurna ( Belum Tuntas ) !

Baca Artikel sebelumnya :
Hinaan Al-Khomainiy terhadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
Pandangan Imam Khomeini Dalam Kitab Al-Hukumah Al-Islamiah Dan Kasyfu Al-Asrar
Hakekat Imam Khomeini
Syiah dan Kitab-Kitab Perusak Kehormatan Rasulullah
Menguak kesesatan syiah

Nasarudin Umar: “Semua Kitab Suci Bias Gender!”

Dalam studi Al-Qur’an kontemporer, Al-Qur’an diasumsikan sebagai produk sebuah budaya tertentu (muntâj tsaqâfi). Artinya, beberapa kandungan Al-Qur’an ditegaskan sebagai refleksi atas persentuhannya dengan kondisi sosial-budaya di mana Al-Quran diturunkan. Untuk itu, selain diyakini mengandung ajaran-ajaran universal dari Allah, Al-Qur’an juga dianggap berhasil berdamai dengan beberapa tradisi setempat dan ketika itu (tradisi Arab).

Persoalan kemudian muncul ketika tradisi tersebut sudah tak sesuai lagi dengan semangat zaman sekarang. Misalnya kita lihat dalam persoalan-persoalan perempuan. Padahal kitab suci sudah berkompromi, bahkan dalam beberapa hal mengakomodasinya. Bagaimana mengurai persoalan keterkaitan antara kitab suci dan unsur budaya ini?
Pakar ilmu Al-Qur’an, Prof Dr Nasaruddin Umar, yang menjabat Guru Besar Tafsir Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah persoalan-persoalan itu kepada Nong Darol Mahmada dan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL). Berikut paparan lengkapnya:
Pak Nasar, Anda sangat serius melakukan kajian tentang perempuan dalam teks-teks suci agama, khususnya teks Islam. Baru-baru ini, Anda juga melakukan riset pustaka selama setahun lebih di perpustakaan Universitas di Amerika dan Inggris. Apa temuan terbaru Anda dari riset tersebut?

Pertama, saya ini belum ada apa-apanya. Kajian saya mungkin juga tidak terlalu serius, hanya saja tetap konsisten. Artinya apa yang saya katakan tentang perempuan dan kitab suci, dari dulu sampai sekarang tetap pada pendirian yang semula. Tapi saya akan terus meneliti dan meneliti lagi untuk mengetahui apakah temuan saya –yang akan diperkenalkan kepada masyarakat– mengandung kelemahan, perlu direvisi, dan sebagainya.

Di Inggris kemarin, saya mencoba meneliti kitab Talmud, dan kitab-kitab sumber Yahudi lainnya. Di SOAS University of London, literatur-literatur, khususnya tentang Yahudi sangat bagus. Menurut saya kajian literatur Yahudi ini penting untuk menunjang kajian saya tentang perempuan.
Saya tidak tahu mengapa di negara-negara Islam, kepustakaan atau literatur Yahudi seperti barang yang haram masuk perpustakaan. Padahal menurut saya, banyak sekali unsur penting yang perlu kita ketahui dari literatur Yahudi.
Bagaimanapun juga, persoalan Yahudi ini mendapatkan pengakuan Al-Qur’an sehingga merangsang kita untuk menelitinya. Kata yahûdiyyan berapa kali muncul dalam Al-Qur’an. Makanya, kalau saya ingin mendapat konfirmasi langsung dari teks asli Yahudi, saya harus bekerja keras karena harus belajar bahasa Hebro. Sebab, teks Yahudi pada umumnya menggunakan bahasa Hebro.
Itu spesifik untuk meneliti topik perempun?

Ya. Saya konsisten pada bidang itu. Saya mencoba memahami pelbagai kitab suci untuk mengetahui bagaimana pandangan kitab suci-kitab suci terhadap perempuan. Ironisnya, yang saya temukan, bukan hanya di dalam Al-Qur’an yang tidak memberikan tempat yang layak terhadap perempuan, tapi juga Bible dan kitab-kitab suci agama lainnya, seperti kitab Konghucu dan Budha, bahkan kitab klasik seperti Talmud. Makanya, saya berpikir pasti ada yang salah di sini. Saya mencoba melihat akar permasalahannya ada di mana.

Dalam buku terakhir saya, Teologi Perempuan: Antara Mitos dan Kitab Suci, saya menemukan dua unsur penting yang berkontribusi dalam pembangunan wacana keagamaan yang bias gender tentang perempuan, yakni faktor teologi dan mitos.
Jadi terkadang dasarnya mitos, tapi dianggap kitab suci. Dari sinilah saya mencoba mengklarifikasi yang mana kitab suci dan yang mana mitos; yang mana budaya Arab dan yang mana doktrin Islam. Poin ini kan perlu kita clear-kan.
Dalam proses pemilahan itu, apakah juga ditemukan kombinasi antara teologi dan mitos yang saling berkaitan dalam kitab suci?

Betul. Memang problem kita selama ini, bukan hanya pemikir Islam tapi juga para schoolars Kristen dan Yahudi, selalu tentang bagaimana memahami kitab suci, dan bagaimana membersihkan tafsirnya yang telah sekian menyimpang, misalnya.

Nah, ini merupakan suatu persoalan tersendiri. Dalam Islam, ada satu hal lagi yang sangat penting untuk kita kenal, yaitu persoalan pergolakan politik.
Persoalan politik itu misalnya tentang kenapa Islam yang turun di pusatnya di Mekah dan Madinah, karena persaingan politik antara Ali dan Mu’awiyah justru dipindahkan ke Damaskus? Pada waktu itu, Ali menguasai basis massanya di Mekah dan Madinah, sementara Mu’awiyah yang tidak mendapat basis yang kuat di tempat itu, akhirnya memindahkan ibu kota politik Islam ke Damaskus.
Kita tahu peta Damaskus (Syiria sekarang) sangat dipengaruhi kekuatan-kekuatan kultur Yunani-Yahudi, karena daerah ini pernah menjadi wilayah jajahan Romawi-Bizantium. Nah, di sinilah kita mengenal kitab-kitab kuning itu disusun. Jadi kontaminasi local culture (kultur lokal), Hellenisme, budaya Yunani yang termasuk misoginis sangat kuat dalam masyarakat Damaskus ketika itu.

Apa Anda ingin menegaskan bahwa dalam kitab suci, sebetulnya pandangan yang misoginis atas perempuan itu kurang kuat, tapi karena perbauran dengan budaya tertentu, akhirnya pandangan keagamaan tentang perempuan jadi bertambah buruk?
Saya kira persis seperti itu. Karena memang tidak ada kita suci yang diturunkan dalam masyarakat yang hampa budaya. Tidak ada kitab suci yang diturunkan di sebuah wilayah geografis tanpa manusia. Semua kitab suci, termasuk Al-Qur’an, diturunkan dalam masyarakat yang sudah syarat dengan ikatan-ikatan primordial dan norma kearabannya.
Karena itu, ada pola dialektik tersendiri bagaimana kitab suci menyesuaikan dirinya dengan nilai lokal. Nah, dalam Islam sendiri kita mengenal proses tasyri’ dan tadrîj, yaitu berangusur-angsurnya Tuhan dalam memperkenalkan konsep normatifnya. Ada juga prinsip‘adamul haraj, atau menghindari ketegangan dan kesulitan; al-taqlîlut taqlîfî,sedikit demi sedikit bukan langsung dibom.
Dari sini kita sadar bahwa Allah sadar betul kalau Dia menurunkan Islam dalam masyarakat yang syarat dengan budaya. Maka ada proses sosialisasi yang bertahap. Contohnya, masyarakat Arab adalah masyarakat rentenir.
Rentenir itu kan kegiatan yang mengeksploitasi keringat orang lain untuk kepentingan diri sendiri. Maka selama 23 tahun, Tuhan menurunkan lebih dari delapan ayat yang melarangnya untuk sampai pada ayat pemungkas: wa ahallalLâhul bai’ waharramar ribâ.
Pengharaman terhadap riba itu dilakukan secara bertahap. Ini berlaku sama dengan pengharaman minuman keras. Tuhan tahu betul bahwa minuman keras adalah bagian dari budaya masyarakat Arab, makanya setelah melalui penahapan larangan, (ayat) yang keempat baru sampai ke situ (pengharaman). Jadi tidak langsung membongkar nilai-nilai yang ada sebelumnya; tidak ada semacam revolusi di situ. Yang ada merupakan proses evolusi.
Kalau dalam Al-Qur’an ada proses evolusi, apakah di Talmud juga ada proses seperti itu?

Pertama-tama, saya ingin jelaskan apa yang dimaksud dengan Talmud. Sebetulnya, Talmud itu bukanlah kitab suci, tapi tafsiran atas Perjanjian Lama. Jadi semacam tafsiran atas Taurat sebagaimana kita mengenal Tafsir Al-Marâghî, Al-Manâr, dan lain sebagainya. Talmud terbagi dua. Pertama Talmud Babilonia yang sangat tebal. Versi yang saya punya berjumlah 20 jilid. Kedua Talmud Palestina yang agak tipis.

Nah, beberapa pendapat dalam Talmud, menurut pengamatan saya banyak sekali kemiripannya dengan pendapat beberapa ulama kita dalam kitab fikih. Sebagaimana yang saya katakan dari awal, seandainya literatur-literatur Yahudi ini diperkenankan dalam perpustakaan Islam, mungkin kita akan dapat melihat kedekatan antara literatur Yahudi dan Islam.
Tapi sayangnya sampai sekarang kita masih anti-Yahudi, meskipun kita tidak sadar sesungguhnya ada unsur-unsur kitab Yahudi yang ikut dalam alam bawah sadar kita. Misalnya tentang bagaimana perlakuan kita terhadap perempuan.
Sejauh ini saya dapat melihat bagimana kosmologi Yahudi terhadap urusan perempuan masuk dalam kosmologi Islam melalui akomodasi budaya seperti di Damaskus tadi; tempat kitab kuning ditulis, kitab-kitab hadis dibukukan, dan kitab tafsir dikompilasi.
Mungkin soal politik juga ikut memengaruhi pandangan agama tentang perempuan. Kita tahu, ketika tejadi persaingan politik antara Mu’awiyah dan Ali, ibu kota politik Islam kemudian dipindahkan dari Madinah ke Damaskus. Tapi dalam sejarah berikutnya, Mu’awiyah kalah dari Abbasiyyah. Dan Abbasiyyah juga tidak mengembalikan ibu kota politik ke Mekah atau Madinah, malah menariknya jauh ke timur, tepatnya di Baghdad.
Kita tahu, di Baghdad sudah berkembang suatu kekuatan budaya yang tinggi, yaitu Sasania atau Persia. Tradisi Persian ini juga dikenal sangat misoginis, alias anti perempuan. Di situ juga kegiatan penulisan kitab-kitab kuning tetap dilanjutkan. Jadi, pengaruh lokal terhadap wawasan keagamaan, terutama perumusan kitab-kitab kuning memang besar sekali.
Tadi diandaikan kitab suci selalu mengakomodasi kondisi sosial budaya yang ada. Tapi masalahnya, kalau sebuah budaya sudah diakomodasi dalam pandangan kitab suci, tentu wawasannya akan susah sekali untuk diubah. Misalnya dalam soal akomodasi kitab suci atas budaya poligami.

Saya kira, kalau agama ingin hidup di suatu masyarakat, maka dia tidak boleh melakukan pengguntingan tradisi secara radikal dalam masyarakat itu sendiri. Kalau itu yang terjadi, agama itu pasti tidak akan laris dalam masyarakat. Saya ingin mencontohkan bagaimana dialektika Islam menghampiri masyarakatnya.

Pertama, yang dihampiri Al-Qur’an selalu adalah kaum elite, karena masyarakat Arab bersifat sangat paternalistik. Asumsinya, kalau merangkul golongan elite, otomatis rakyatnya terangkul di situ. Masyarakat di sana juga patriarkis. Asumsinya, jika merangkul kaum laki-laki, otomatis perempuannya tunduk di situ.
Inilah siasat sosialisasi Al-Qur’an. Makanya kita jangan menganggap Al-Qur’an itu patriarkis dan paternalistis, melainkan ia hanya mengakomodir kondisi objektif dari kultur masyarakat yang sedemikian. Mungkin ada contoh terbaik juga bagaimana Al-Qur’an memberikan pembebasan terhadap perempuan.
Sebelum Al-Qur’an turun, perempuan tidak boleh mendapat warisan sama sekali, bahkan tidak semua laki-laki mendapt warisan. Yang boleh mendapat warisan hanya laki-laki yang kuat mengangkat pedang. Sekalipun laki-laki, tapi masih kanak-kanak atau uzur, maka dia tidak boleh mendapat warisan.
Islam datang dengan ajaran, jangankan laki-laki sepun dan kanak-kanak, perempuan pun boleh mewarisi mekipun satu berbanding dua jatah laki-laki. Dulu perempuan jangan bermimpi akan menjadi saksi dalam suatu perkara, karena saksi itu bagian dari dunia publik. Yang bisa menjadi saksi adalah laki-laki saja. Tapi Islam datang membenarkan perempuan menjadi saksi.
Tapi kesadaran akan historisitas Al-Qur’an itu sangat lemah. Bagaimana kita bisa melakukan penasiran ulang atas Al-Qur’an pada zaman kini?

Itu hanya persoalan metodologi. Artinya, sosulisnya juga adalah metodologi. Misalnya, Islam datang untuk membebaskan kelompok yang tertindas. Dulu anak perempuan tidak pernah diakikahkah, sekarang jadi boleh. Dulu kalau perempuan dibunuh, tidak ada aturan tebusannya. Kalau yang dibunuh laki-laki, tebusannya tergantung stratifikasi sosialnya; kalau golongan bangsawan 100 unta, bukan bangsawan 50 unta. Kemudian Islam datang dengan ketentuan tebusan 50 unta untuk (pembunuhan) perempuan, dan 100 unta untuk laki-laki.

Jadi ada masa transisi yang digagas Islam sebagaimana juga persoalan poligami tadi. Yaitu transisi bagaimana Islam membebaskan umatnya dari masyarakat poligami. Dulu ada orang Arab yang punya istri sepuluh, lalu nabi mensyaratkan untuk memilih empat di antara mereka kalau mau masuk Islam. Kalau nabi mengatakan untuk memilih satu saja, tentu terlalu drastis. Kalau Islam langsung mengharamkan riba begitu ayat pertama turun, maka akan banyak yang berpaling dan Islam akan ditinggalkan.
Tapi tafsiran yang ortodoks atas ayat-ayat Al-Qur’an itu bisa saja mengatakan, “Inilah kadar terjauh yang bisa diberikan Al-Qur’an untuk perempuan. Dan inilah perkataan Tuhan tentang pokok soal ini!” Bagaimana bisa mengubah pandangan sedemikian?

Sebetulnya semua ayat-ayat hukum tentang perempuan, sejauh yang saya kenal punya sebab nuzul. Artinya semua punya historical background. Dalam hal ini berlaku pertanyaan: mana yang harus dijadikan pegangan, apakah sebuah teks atau historical background-nya?

Ada yang mengatakan al-‘ibrah bi ‘umumil lafadz lâ bi khusûsis sabab, yang dipegang adalah universalitas teks, bukan partikulariltas sebab. Tapi ada juga pendapat lain. Al-Syâtibî mengatakan, al-‘ibrah bi maqâshidis syarî’ah, yang harus dijadikan pegangan adalah apa yang menjadi tujuan dari syari’ah. Ini kan pembahasannya sangat ushul fiqh, tapi sangat penting.
Menurut saya, dalam Al-Qur’an itu ada persoalan yang dituntaskan, dan ada yang belum tuntas. Misalnya soal riba dan minuman keras. Bahasannya tuntas sampai titik zero: haram bagi riba dan minuman keras. Tapi juga ada persoalan yang bertahap, belum sampai pada titik zero, misalnya soal perbudakan.
Sampai nabi meninggal dunia, soal perbudakan masih saja ada. Untungnya sekarang tidak ada lagi sistim itu. Nah, coba bayangkan bagaimana dialektika Al-Qur’an dalam menghapuskan soal perbudakan. Setiap orang yang melakukan pidana tertentu harus membebaskan seorang budak. Sekian banyak tindak kriminal harus ditebus dengan membebaskan budak; sumpah palsu, bersetubuh pada siang hari bulan Ramadan, dan lain-lain.
Tapi ironisnya mengapa tidak ada ulama Islam yang memelopori perngharaman perbudakan, tapi justru UU Amerika yang pertama kali melarangnya di bawah Lincoln.

Itulah persoalannya. Kalau kita tarik seperti garis lurus, persoalan ini seperti piramida terbalik. Belum sampai pada ujung persoalan, Al-Qur’an sudah terhenti dengan wafatnya nabi. Tapi kalau logikanya kita tarik ke bawah, kita akan tiba pada sebuah titik di mana sesungguhnya perbudakan itu akan dihapuskan oleh konsep Al-Qur’an. Bisa dibayangkan, tidak mungkin akan ada budak lagi, kalau setiap pelaku kriminal tertentu dalam agama harus membebaskan budak.

Itu tadi soal perbudakan yang evolusinya positif. Tapi dalam soal perempuan nampaknya berbeda. Pada periode akhir hidupnya, Nabi malah terlihat sangat protektif terhadap perempuan. Misalnya dengan turunnya ayat-ayat hijab.
Kenapa pada masa akhir hidupnya Nabi malah menampilkan proteksi terhadap perempuan? Kita jangan lupa tentang peristiwa yang sangat penting untuk kita kaji dalam konteks ini, yaitu apa yang biasa disebut haditsul ifk, tuduhan bohong. Yaitu tentang tuduhan Aisyah berselingkuh oleh seorang munafik.
Jadi, apa yang disebut “skandal Aisyah” menurut versi Barat itu, menyebabkan nabi berindak protektif terhadap perempuan. Sesungguhnya kalau kita lihat di surat Al-Ahzab, proteksinya juga bukan pada semua perempuan, tapi khusus pada keluarga nabi sendiri. Jadi kepada istri dan keluarga dekatnya, ahlul bait, tidak universal berlaku untuk seluruh perempuan.
Tapi memang kita perlu akui bahwa kondisis politik setelah nabi wafat dan Islam berada di tangan penguasa Dinasti Umawiyyah maupun Abbasiyyah, membuat kedudukan perempuan kembali ke zaman jahiliyah. Waktu masa nabi sudah tidak populer apa yang disebut dunia pergundikan.
Tapi Muawiyah mengintroduser kembali adat lokal yang tidak mengharamkan pergundikan. Malah kalau kita membaca masa Abbasiyyah lebih parah lagi. Menurut penelitian Fatimah Mernissi, hanya empat khalifah Abbasiyyah yang lahir dari istri yang sah sebagai istri pertama khalifah, selebihnya adalah dari gundik-gundik.
Intinya misi pembebasan Islam terhadap perempuan belum tuntas dan mungkin tidak akan pernah tuntas?

Tergantung apa pengertian kita tentang tuntas. Kalau kita lihat dari dimensi Islam sebagai sistem yang kâffah, sebagai prinsip-prinsip dasar, maka Al-Qur’an sendiri mengatakan “mâ farrathnâ fil kitâb min syai” tak ada yang Kami abaikan dalam AL-Kitab. Semua tercakup dalam Al-Qur’an, dalam pengertian garis-garis dasarnya. Sementara pendetailan hukum kemanusiaan itu merupakan tugas manusia yang punya rasio.

Manusia punya kemampuan melakukan sinergi dan berdemokrasi satu sama lain. Nah, dari sini apa yang disepakati oleh mayoritas, dengan standar ayat yang sudah ada tadi, pasti akan bermuara pada sebuah tujuan kemanusiaan yang ideal. Saya optimis, kalau kita mau membaca ulang Al-Qur’an, dengan mengambil pesan umumnya, pasti yang terjadi adalah dunia kemanusiaan yang sangat ideal.
Artinya di sini nalar publik bisa saja menganulir beberapa teks yang misoginis terhadap perempuan?

Terutama penafsirannya. Jadi bukan teks kitab sucinya, karena teks kitab suci yang sangat rill sebetulnya sangat sedikit. Banyak sekali yang kita sangka kitab suci, padahal sesungguhnya bukan kitab suci. Lain kitab fikih, lain kitab suci. Bahkan lain tafsir, lain pula Al-Qur’an; lain terjemah, lain pula Al-Qurannya. Sebab, potensi reduksi akan selalu ada ketika kita menerjemahkan Al-Qur’an; apakah terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, ataupun bahasa lainnya.

Demi melihat studi-studi Al-Qur’an kontemporer tantang perempuan, bagaimana Anda melihat prospek keadilan gender?

Sejauh yang saya pelajari, Al-Qur’an memberikan kebebasan luar biasa terhadap perempuan. Makanya dalam beberapa penelitian tentang kitab suci ditegaskan, tidak ada sistem nilai yang memberi pengakuan luar biasa terhadap perempuan selain sistim nilai yang dikandung Al-Qur’an.

Itu dikatakan juga oleh teman saya yang sekular dan non-Islam yang bukunya tersohor dimana-mana. Jadi dengan objekitf kalau kita melihat konteksnya, Al-Qur’anlah satu-satunya sistem nilai yang paling pertama memberi pengakuan terhadap hak-hak perempuan.
Dibandingkan dengan kitab-kitab suci lainnya?

Ya. Mungkin persoalannya karena kita sekarang langsung mengonfirmasikannya dengan persaolan-persoalan seperti warisan perempuan yang satu berbanding dua laki-laki, persaksiannya juga satu banding dua, akikahnya juga satu kambing (untuk perempuan) berbanding dua (untuk laki-laki), ketidakbolehan perempuan menjadi pemimpin, dan soal hak talak yang lebih rumit. Mungkin juga karena kalau kita baca kitab-kitab fikih, perempuan adalah subordinasi laki-laki. Jadi seolah-olah Islam menempatkan perempuan itu di kelas dua.

Mana perbandingannya dengan kitab lain?

Saya pernah membaca teks suci yang paling tua, yaitu teks hukum Hammurabi 

(Hammurabi code). Teks ini luar biasa berumur, sejak sekitar 3500 SM. Teks aslinya lalu saya foto copy. Dalam sebuah pasalnya disebutkan, kalau seorang suami meninggal, maka ia harus disusul istrinya. Perempuan juga tidak berhak melangsungkan akad perjanjian. Hak akad perjanjian hanya ada pada laki-laki, perempuan tidak boleh. Bayangkan saja!


hermeneutika al-qur'an

Nasr Hamid Abu Zaid dalam karyanya Mafhum An-Nash belum terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran posmodern sebagaimana Arkoun. Dia belum terjerumus jauh ke dalam pemikiran-pemikiran seperti Foucault, Nietzchze, Diedro dan lainnya. Nasr Hamid sebetulnya merujuk kepada Descartes dan gagasan skeptismenya dan lebih terpengaruh lagi secara langsung oleh pemikiran guru besar sastra Arab, Thaha Husein. Abu Zaid kemudian meletakkan metodologi berupa pendekatan teks Al-Quran dengan mengasumsikannya sebagai produk kebudayaan (muntaj tsaqafi). Dia tidak membuat perkecualian atas Al-Quran sebagai teks Ilahi yang bersumber dari Tuhan. Yang penting bagi Abu Zaid, teks itu telah membahasa, sementara bahasa bukanlah wadah yang hampa, tapi merupakan perangkat kebudayaan dan pengetahuan. Dengan asumsi demikian, Al-Quran mungkin untuk didekati melalui pintu masuk kebudayaan, karena dia produk kebudayaan.
Dan berikut ini kutipan-kutipan dari buku Mafhum Nash yang kami anggap penting sebab mewakili metodologi dan gagasan-gagasannya.
Pembahasan tentang teks sebenarnya tak lain adalah pembahasan tentang substansi Al-Quran, dan watak dasarnya sebagai teks bahasa. (hal. 12)
Sesungguhnya studi sastra, yang porosnya adalah konsep tentang teks (mafhum nash), cukup memadai untuk mewujudkan kesadaran ilmiah yang melampaui doktrin ideologis yang berkembang secara kuat dalam kebudayaan dan pemikiran kita. (hal. 13)
Teks pada hakikat dan esensinya adalah produk kebudayaan (muntaj tsaqafi). Maksudnya, dia terbentuk dalam dunia realitas dan dunia kebudayaan, dalam rentang waktu lebih dari dua puluh tahun. Kalau sekiranya kenyataan ini sudah menjadi aksioma yang disepakati, maka praasumsi yang berkeyakinan akan adanya semacam metafisika yang mendahului teks, tak lain hanya berkepentingan untuk mengubur kenyataan aksiomatik itu, dan berikutnya menghadang pemahaman ilmiah atas fenomena teks. (hal. 27)
Sesungguhnya Al-Quran mensifati dirinya sebagai pesan (risalah) yang melambangkan hubungan komunikatif antara pengirim (almursil, Allah) dengan penerima pertama (almustaqbilul awwal, Nabi) melalui suatu kode tertentu (syafrah). Ketika pengirim tidak mungkin untuk dijadikan kajian ilmiah, maka sudah sewajarnya kalau realitas dan kebudayaan menjadi pintu masuk yang empirik untuk kajian teks Al-Quran. Realitas di sini adalah realitas yang mengatur dinamika manusia-manusia yang menjadi audiens (al-mukhatabin) teks tersebut, dan mengatur penerima pertama teks tersebut, yaitu Rasul. Adapun yang dimaksud dengan kebudayaan di sini adalah keebudayaan yang dipersonifikasikan di dalam bahasa. Dengan penjelasan demikian, maka studi teks melalui medium budaya dan realitas, sama artinya dengan memulainya dengan fakta-fakta empirik. (hal. 28)
Teks (maksudnya Al-Quran), sejak pertama kali turun dengan pembacaan Nabi pertama kali atasnya dalam peristiwa pewahyuan, sudah mengalami perubahan dari teks ilahi menjadi wujud pemahaman manusia. Dia sudah mengakami perubahan dari proses tanzil (turun) kepada proses takwil (penakwilan). Sesungguhnya, pemahaman Nabi terhadap teks merupakan fase pertama dinamika sebuah teks berinteraksi dengan nalar manusia. Makanya tidak penting untuk melirik anggapan-anggapan wacana keagamaan tentang persis-tepatnya pemahaman Nabi terhadap makna subjektif teks. (hal. 27)
Realitaslah yang menjadi dasar (pemahaman Al-Quran), dan dia tidak mungkin untuk diabaikan. Dari realitaslah teks menjadi dan dari bahasa dan budayanya lah metodologinya dibentuk. Makanya, yang pertama adalah realitas, kedua realitas dan terakhir realitas. Menabaikan realitas demi teks beku dan stagnan makna dan penunjuknya akan menjadikan keduanya mitos. (hal. 105)
Sesungguhnya krisis pemikiran yang dialami Nasr Abi Zaid dan sebelumnya Thaha Husein, terletak pada keterpesonaan mereka akan pemikiran kalangan orientalis yang secara metodologis selalu menjauhkan diri dari penghargaan terhadap gagasan tentang Tuhan. Dengan begitu, mereka terjebak mempeerlakukan Al-Quran sebagaimana kitab lainnya sebagai produk kebudayaan. Dan kalau bukan karena ambisi popularitas yang kuat, mungkin tidak sulit bagi Nasr Abu Zaid untuk menjadi lebih brilian dari para orientalis sendiri. Sebab, ia beriman kepada Allah. Dan dengan unsur keimanan ini memungkinkan ia untuk sampai pada pencapaian yang belum dapat dilakukan oleh kalangan orientalis.
Sejarah kalangan Muntazilah yang terpesona dengan filsafat Ynani berulang lagi pada figur seperti Nasr Abu Zaid ini. Dulunya Muktazilah menggunakan filsafat Yunani untuk menguatkan bukti keesaan dan kesucian Tuhan, tanpa menempuh jalan yang digariskan oleh Al-Quran. Tidak ada perbedaan antara ungkapan-ungkapan Nasr Abu Zaid yang mengatakan “kalau dia (Al-Quran) itu betul-betul kalam Ilahi, maka dia tetaplah fenomena sejarah. Sebab setiap perilaku Tuhan merupakan sebuah aksi di dalam dunia ciptaan-Nya yang baharu dan historis. Demikian juga halnya dengan Al-Quran. Dia merupakan fenomena sejarah kalau dilihat dari sisinya sebagai manifestasi kalam Ilahi, sekalupun merupakan manifestasi yang paling utuh, sebab dia adalah yang paling akhir”. Ungkapan demikian sama dengan pemikiran Muktazilah tentang kemanusiaan Al-Quran (basyariyyatuk quran); bahwa Al-Quran ditinjau dari sisi kalimat, huruf, suara, tinta yang tertulis dalam sebuah lembaran, merupakan makhluk baharu. Bahkan dengan sifat-sifat demikian dia bisa menjadi aksi manusia yang bercakap-cakap dengannya, yang membacanya atau pun menulis ayat-ayatnya. Mayoitas mereka juga mengatakan bahwa Al-Quran sebagaimana yang kita ceritakan sekarang ini, tidak sama dengan yang diceritakan dari Allah. Dan cerita tentang Al-Quran itu tidak terceritakan, sementara yang kita ceritakan tak lebih hanya pembicaraan, suara, huruf dan tulisan. Sementara yang diungkapkan dari Allah adalah makna, dan Rasulullah mengekspresikan makna tersebut dengan bahasa Arab, sebagai bahasa diturunkannya Al-Quran.
Atas asumsi itu, Muktazilah menegaskan bahwa ungkapan Al-Quran sebagai makhluk, berarti sama dengan ungkapan tentang kemanusiaan kitab tersebut dari segi bahasa, suara, huruf dan dialek. Kesemua itu merupakan upaya manusia yang kemudian membuahkan kaidah-kaidah yang disepakati dan ditaati. Itu semua pada akhirnya akan memberikan akal manusia ruang yang lebih lapang untuk melakukan penalaran atas kitab tersebut melalui medium tafsir dan takwil.
Persoalan pada Muktazilah yang terpengaruh oleh filsafat Yunani dan pemikir Islam modern yang terpengaruh filsafat Eropa, sesungguhnya terletak pada usaha untuk menghimpun antara keyakinan mereka sebagai kaum muslim yang beriman kepada Allah, dengan filsafat-filsafat Eropa modern yang selalu menjauhkan gagasan tentang Tuhan; sebuah upaya setan yang naif dan gagal. Selagi Al-Quran adalah kalam Allah sebagaimana diyakini kaum muslim, maka setiap usaha untuk menetapkan tatacara terjadinya atau tabiatnya telah keluar dari kerangka ilmu pengetahuan materialistik, filsafat duniawi, empiirik, dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari alam gaib; dimana hanya Allah yang tahhu.
Al-Quran sendiri sudah menyelesaikan perdebatan seperti ini ketika dia menantang skeptisisme kalangan yang menentangnya. Mereka mengatakan misalnya, “Apa yang dikehendaki Tuhan dengan permisalan demikian?”; atau “Kita tidak membuat persiapan itu kecuali sebagai fitnah bagi orang-orang yang kufur”. Dalam menghadapi tantangan-tantangan kaum yang ingkar itu, orang yang dalam pengetahuannya hanya akan mengatakan, “Kami beriman kepadanya. Semua betul-betul dari Tuhan kami”.
Sebetulnya Nasr Abu Zaid dan orang-orang seperti dia bisa saja mendapatkan solusi yang memuaskan dalam kajian Al-Quran. Karena Al-Quran mesti turun dalam bahasa tertentu, maka sudah sewajarnya akan terjadi proses interaksi antara teks suci dengan bahasa dan perangkat-perangkatnya. Hal baru dalam tema ini adalah: Al-Quran diturunkan Allah sebagai mukjizat Islam. Kemukjizatannya sekalipun turun dalam bahasa tertentu dan dalam lingkungan tertentu, tetap saja tidak membuatnya tunduk pada keadaan sebagaimana teks-teks lainnya tunduk. Sebab, keilahian mukjizatnya telah mengangkat, membebaskan dan menjadikannya datang secara berbeda dan bertentangan dengn kebudayaan Arab.
Kenyataan di atas dapat dicermati dari beberapa perubahan konsep yang ditawarkan Al-Quran, dari tauhid sebagai lawan dari paganisme, pengharaman minuman keras dan perjudian yang ketika itu merupakan kesenangan dan bagian dari budaya Arab. Dalam soal struktur bahasanya, dia datang dengan bahasa Arab yang baru dan berbeda kosa katanya dari kosa kata syair jahili. Dalam soal tema, materi dan ungkapannya, pun dia tidak pernah menjelma sebagai produk peradaban sama sekali. Dan dia juga tidak pernah menjadi fenomena sosial sebagaimana fenomena sosial yang berlangsung. Ini betul-betul terjadi secara praksis dan realistik, sehingga tidak mungkin diingkari lagi. Dan solusi satu-satunya untuk fenomena yang unik dan menyalahi sesuati yang biasa ini, tak lain dikarenakan Al-Quran bersumber dari Allah untuk menaklukkan manusia.
Dalam kaidah metodologis dan konsep nalar dikatakan bahwa, setiap teks akan dipengaruhi oleh masa, lingkungan dan kebudayaan yang melingkupinya. Sampai pun seorang yang jenius, dia tidak akan mungkin bisa terlepas dari kerangkeng ruang waktu dan kelemahan manusiawi. Hanya saja dibalik semua itu kita juga menyaksikan bahwa ada saja kitab yang bertolak belakang sama sekali dengan metodologi dan nalar yang biasa. Dia hadir melampaui ruang waktu dan menantang fase-fase yang ditetapkan untuknya dalam bentuk mukjizat yang membuat pusing kalangan sastrawan.
Kita katakan kepada penulis seperti ini; apakah kalian tidak berfikir dan mengapa harus berkeras hati mempertahankan pemikiran sedemikian? mengapa mereka tidak membedakan antara sajak penyair, teks drama atau sejarah yang ditulis sejarawan dengan kitab yang betul-betul telah memberikan pengaruh yang begitu besar terhadap peradaban dunia sepanjang kurun waktu 1400 tahun; telah meruntuhkan dinasti aristokrat Romawi dan Persia dan turut serta dalam membangun peradaban manusia yang mengandung unsur legislasi hukum, politik dan ekonomi.
Mengapa pula mereka mengasumsikan lafaz-lafaz yang suci dan mengandung ibadah ketika dibaca itu, sebagaimana lafaz-lafaz yang dibuat oleh penulis seperti fulan atau fulan? sifat unik Al-Quran ini tidak dipunyai oleh kitab-kitab selain Al-Quran. Maka dari itu, dia berhak untuk mendapatkan perlakuan yang khusus. Mendekatinya melalui pendekatan biasa sebagaimana pendekatan kita atas teks-teks biasa merupakan kedhaliman atas kebenara.

Mengenang (Kafirnya) Nasr Hamid Abu Zayd



Namanya Nasr Hamid Abu Zayd, lahir 10 Juli 1943 di Quhafa, Tanta Mesir. Pendidikannya dari mulai SI sampai S3 diambil dalam Jurusan Bahasa Arab Cairo University dengan predikat highest honors. Di tahun 1992 karyanya yang berjudul Naqd Khitab al-Diniy berhasil menspektakulerkan namanya. Karyanya ditengarai fenomenal karena melecehkan ajaran Islam, menghujat Rasulullah SAW, menodai al-Qur’an, bahkan menghina Ulama salaf. Ceritanya, ketika di Mei 1992, Nasr Hamid Abu Zayd mengajukan promosi guru besar di Fakultas Sastra Cairo University. Namun bukannya terkabul, enam bulan kemudian, tepatnya pada 3 Desember 1992 promosinya ditolak. Dia tidak layak menjadi profesor. Konflik yang berasal dari karyanya itu berujung pada Nasr Hamid Abu Zayd dihukum kafir oleh Mahkamah kalau tidak bertaubat dengan dukungan lebih 2000 Ulama Azhar. Pada 10 Juni  1993, sejumlah pengacara dipimpin oleh M. Samida Abdushamad memperkarakan Abu Zayd di pengadilan Giza. Meskipun tuntutan itu sempat dibatalkan oleh pengadilan di 27 Januari 1994,  namun di tingkat banding akhirnya tuntutan itu dikabulkan. Pada 14 Juni 1995, keputusan Mahkamah al-Isti’naf Mahkamah Cairo menyatakan Abu Zayd telah murtad dan wajib mentalaq istrinya. Dengan catatan –jika yang bersangkutan tidak mau- maka harus dihukum mati. Ditekan dengan sederetan tuntutan,  pada 23 Juli 1995 Nasr Hamid melarikan diri ke Spanyol, sebelum akhirnya menetap di Leidin Belanda dan hidup di sana sejak 2 Oktober 1995 hingga akhir hayatnya, 5 Juli 2010. Saya tidak bicara banyak soal bagaimana beliau secara kronologis-historis, namun ada beberapa poin yang ingin saya kedepankan di sini.  Berhubung, ada beberapa pihak yang secara khusus di sini saya katakan ‘menolak’ pengkafiran Abu Zayd, karena disinyalir politis. Bahkan, paham Nasr Hamid Azu Zayd termasuk ‘dimuliakan’ di beb erapa ranah intelektual perguruan tinggi di Indonesia. Berbicara pengkafiran Abu Zayd, fatwa Ulama yang terhimpun itu di mata mereka dinilai tidak otoritatif, terbawa nafsu, dan terkesan menghakimi. Entah apa dalih yang dikemukakan, namun pada intinya pemujaan terhadap Abu Zayd dan penolakan fatwa Ulama itu berkaitan secara sinergis. Catatan penting di sini, ada urgensitas berbentuk dekonstruksi Syari’ah di sini. Harus diingat bahwa keputusan Ulama itu adalah hasil Ijtihad, bukan lagi perspektif perorangan maupun keputusan personal. Jadi aneh kalau lantas suara-suara penolakan terdengar, berkaitan dengan kasus Abu Zayd. Coba kita sedikit mereview, mengutip Syamsuddin Arif dalam Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran (2008), ada sepuluh poin kesalahan-kesalahan Abu Zayd yang ditetapkan Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus 1995. Pertama, Nasr Hamid Abu Zayd berpendapat bahwa perkara-perkara gaib yang disebut dalam Al-Qur’an  seperti ‘arsy malaikat, setan, jin dan neraka dalah mitos belaka. Kedua, berpendapat dan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah produik  budaya (muntaj tsaqafiy), dan karenanya mengingkati status azali al-Qur’an sebagai Kalamullah yang telah ada di Lawh al-Mahfudz. Ketiga, berpendapat dan mengatakan bahwa al-Qur;an adalah teks linguistik (nash lughawi). Ini sama dengan mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah berdusta dalam menyampaikan wahyu dan al-Qur’an adalah karangan Beliau. Keempat, berpendapat dan mengatakan bahwa ilmu-ilmu al-Qur’an adalah  tradisi reaksioner serta berpendapat bahwa Syariah adalah faktor penyebab kemunduran umat Islam. Kelima, berpendapat dan mengatakan bahwa iman kepada perkara-perkara ghaib merupakan indikator akal yang larut dalam mitos. Keenam, berpendapat dan mengatakan bahwa Islam adalah agama Arab, dan karenanya mengingkari statusnya sebagai agma universal bagi seluruh umat manusia. Ketujuh, berpendapat dan mengatakan bahwa teks al-Qur’an yang ada merupakan teks Quraisy dan karena itu sengaja demi mempertahankan supremasi suku Quraisy. Kedelapan, menginkari otensitas Sunnah Rasulullah SAW. Kesembilan, mengingkari dan mengajak orang keluar dari otoritas teks-teks agama (al-Qur’an dan Hadith). Dan Kesepuluh, berpendapat dan mengatakan bahwa patuh dan tunduk kepada teks-teks agama adalah salah satu bentuk perbudakan. Maka sekedar basic akal sehat pun jelas akan menolak. Bagaimana mungkin faham yang semacam itu boleh dilestarikan, apalagi disebarluaskan.  Tak perlu kuliah tinggi-tinggi, orang Muslim pedalaman juga tahu itu. Menghina Allah dan Rasul-Nya adalah perkara besar. Posisi Abu Zayd yang juga dosen dipertanyakan, bagaimana jika murid-muridnya teracuni? Sebelum bahaya meluas Abu Zayd pun ditindak. Dia kabur melarikan diri ke Belanda. Namun di Belanda, dia justru dielu-elukan. Rijkusuniversiteit Leiden mengangkatnya sebagai dosen, Institute of Advance Studies (Wissenchaftskollleg) Berlin mengangkatnya sebagai ZEIT Fellow untuk proyek Hermeneutika Yahudi dan Islam. Dari Amerika ikut-ikutan, di 8 Juni 2002 the Franklin and Eleanor Institute menganugerahkan ‘The Freedom of Worshop Medal’ sebagai penghargaan atas kebebasan wacana berpikirnya yang ‘berani’, serta sikapnya yang apresiatif terhadap tradisi dan falsafah Kristen.  Jadi ketika di Islam dia menjadi terdakwa, di Leiden justru malah tertawa. Sebuah perbedaan paradigma yang menarik. Dan itulah yang kemudian di Indonesia berkembang kembali menjadi wacana. Padahal sebenarnya sudah jelas, namun kembali diotak-atik. Wacana hermeneutika Abu Zayd yang sebetulnya cerita lama ‘dirubah’ kembali menjadi sebuah wacana baku. Pandangan tekstual al-Qur’annya itu dianggap mampu menjadi alternatif tafsir yang konon tidak lagi relevan. Di tengah-tengah itu ada kalimat-kalimat yang mendekonstruksi fatwa atas Abu Zayd. Apakah itu lucu?  Padahal, keputusan hukum yang dijatuhkan kepada Abu Zayd itu diambil berdasarkan fakta-fakta dan hasil kesimpulan penelitian tim dan saksi ahli yang pakar di bidangnya. Seperti yang sudah saya cuplik sedikit di atas, maka keputusan tersebut sah dan mengikat (valid and binding) baik secara hukum maupun akademis.  Selain berdasarkan ijma’ keputusan  Pemerintah Mesir juga didukung oleh Majelis Ulama Azhar. Sebenarnya Abu Zayd masih bisa memilih, untuk menarik hasil pikirannya atau tetap getol dengan kerancuannya. Namun dia lebih memilih yang kedua.  Dan dengan eksistensinya di Leiden pemikirannya pun menyebar luas, bahkan diadopsi di Indonesia. Ini lebih lucu lagi. Padahal Josef Van Ess yang  Profesor Studi Islam di Jerman itu saja tahu, kalau hermeneutika itu bukan untuk Studi Islam. Namun kenapa para penggiat dirasat islamiyah di Indonesia tidak banyak yang mengaminkan? Ada apa gerangan? Semoga kita tidak menjadi pengikut Abu Zayd, yang bagaikan orang yang menukar kangkung  segar dengan beras beracun. Wallahu A’lam.
http://www.kompasiana.com/alparslan/mengenang-kafirnya-nasr-hamid-abu-zayd_552ff7896ea8343d748b45fc


Saya mengajak anda untuk menengok kepada idiologi agama Syi’ah. Dengan demikian, kita dapat mengenal jati diri agama Syi’ah yang sebenarnya:

Ayatullah Al Khumainy dalam kitabnya Kasyful Asraar berkata:

لقد أثبتنا في بداية هذا الحديث بأن النبي أحجم عن التطرق إلى الإمامة في القرآن، لخشيته أن يصاب القرآن بالتحريف، أو أن تشتد الخلافات بين المسلمين، فيؤثر ذلك على الإسلام.

“Telah kami buktikan pada awal pembahasan ini, bahwa Nabi menahan diri dari membicarakan masalah al imaamah (kepemimpinan) dalam Al Qur’an;([3])   karena beliau khawatir Al Qur’an akan diselewengkan, atau timbul perselisihan yang sengit di tengah-tengah kaum muslimin, sehingga hal itu berakibat buruk bagi masa depan agama Islam.”([4])   

 Al Khumainy belum merasa cukup dengan menuduh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa gentar untuk menyampaikan ayat-ayat imaamah kepada umatnya. Ia dengan tanpa merasa bersalah menuduh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penyebab terjadinya seluruh perpecahan dan peperangan yang terjadi sepeninggal beliau:

وواضح بأن النبي لو كان قد بلغ بأمر الإمامة طبقا لما أمر به الله، وبذل المساعي في هذا المجال، لما نشبت في البلدان الإسلامية كل هذه الاختلافات والمشاحنات والمعارك، ولما ظهرت ثمة خلافات في أصول الدين وفروعه.

“Sangat jelas bahwa andai Nabi telah menyampaikan perihal imaamah (kepemimpinan), sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadanya, dan ia benar-benar mengerahkan segala upayanya dalam urusan ini, niscaya tidak akan pernah terjadi berbagai perselisihan, persengketaan dan peperangan ini di seluruh belahan negri islam. Sebagaimana di sana tidak akan muncul perselisihan dalam hal ushul (prinsip) dan juga cabang furu’ (cabang) agama.”([5])    

Tokoh agama Syi’ah lain pada zaman sekarang, yang diberi julukan Ayatullah Syihabuddin An Najafy juga menekankan ucapan Al Khumainy di atas, ia berkata:

إن النبي r ضاقت عليه الفرصة، ولم يسعه المجال لتعليم جميع أحكام الدين …. وقد قدم الاشتغال بالحروب على التمحص ببيان تفاصيل الأحكام …. لا سيما مع عدم كفاية استعداد الناس في زمنه لتلقي جميع ما يحتاج إليه طول قرون.

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kekurangan waktu, dan kesempatan yang beliau miliki tidak cukup untuk menjelaskan seluruh hukum-hukum agama. …..Beliau lebih mendahulukan urusan peperangan dibanding menjalankan tugas menyampaikan perincian hukum….Terlebih-lebih kesiapan masyarakat yang hidup pada masa beliau tidak cukup untuk menerima segala perincian hukum yang dibutuhkan manusia sepanjang masa.”([6])  

Demikianlah pandangan dan keyakinan agama Syi’ah tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Apa yang diungkapkan oleh pemuka-pemuka agama Syi’ah ini sebenarnya hanyalah modernisasi bahasa semata dari berbagai riwayat dari para imam mereka. Berikut saya sebutkan beberapa riwayat dari imam-imam agama Syi’ah, yang mendukung statemen Ayatullah Al Khumainy di atas:

Al Kulaini meriwayatkan bahwa Imam Abu Abdillah Ja’far As Shaadiq, menyatakan:

لو لا نحن ما عبد الله

“Andai bukan karena kami, niscaya Allah tidak akan pernah diibadahi.” ([7]) 

Tidak cukup hanya sampai di situ, mufti mereka pada zaman dinasti As Shafawiyyah menambahkan riwayat di atas menjadi:

لو لا هم، ما عرف الله ولا يدرى كيف يعبد الرحمن

“Andai bukan karena para imam, niscaya Allah tidak akan dikenal, dan tidak akan ada yang tahu bagaimana beribadah kepada Ar Rahmaan (Allah).”([8]) 

 Karena mungkin belum puas dengan kedudukan yang sudah sedemikian luar biasa ini, Al Majlisy yang wafat pada tahun 1111 H meriwayatkan dari Abu Abdillah Ja’far As Shadiq riwayat berikut:

ما من نبي نبئ ولا رسول أرسل إلا بولايتنا وتفضيلنا على من سوانا

“Tidaklah ada seorang nabipun yang menjadi nabi dan tidak pula seorang rasul yang diutus melainkan dengan mengemban tugas menyampaikan kedudukan kami sebagai wali dan keutamaan kami diatas selain kami.”([9])      

Dan karena mungkin Al Kulainy merasa belum puas dengan kedudukan yang demikian spektakuler, sehingga ia masih perlu untuk meriwayatkan dari Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain, riwayat berikut:

نحن حجة الله ونحن باب الله ونحن لسان الله ونحن وجه الله ونحن عين الله في خلقه ونحن ولاة أمر الله في عباده

“Kami adalah hujjah Allah ditengah-tengah makhluq-Nya, kami adalah pintu Allah, kami adalah lisan Allah, kami adalah wajah Allah, kami adalah mata Allah di tengah-tengah makhluq-Nya dan kami adalah penanggung jawab terhadap Allah atas segala urusan makhluq-Nya.”([10])    

 Mungkin belum juga puas dengan kedudukan di atas, mereka masih perlu untuk merekayasa riwayat dari Abu Abdillah Ja’far As Shadiq, bahwa ia menafsirkan ayat berikut:

وَمَا ظَلَمُونَا وَلَـكِن كَانُواْ أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ [ البقرة 57]

“Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri sendiri.” dengan berkata:

إن الله تعالى أعظم وأعز وأجل وأمنع من أن يظلم، ولكنه خلطنا بنفسه فجعل ظلمنا ظلمه وولايتنا ولايته

Sesungguhnya Allah Ta’ala Lebih Agung, Lebih Perkasa, Lebih Besar, dan Lebih Kuasa untuk bisa dianiaya, akan tetapi Allah menyatu dengan kami, makanya, Dia menjadikan perbuatan aniaya terhadap kami sebagai perbuatan aniaya terhadap-Nya,dan pembelaan terhadap kami sebagai pembelaan terhadap-Nya.” ([11]) 

Mungkin karena Muhammad Baqir Al Majlisy merasa belum cukup tinggi kedudukan para imamnya, sehingga ia berusaha meninggikan lagi kedudukan mereka. Simaklah salah satu bab yang ia tuliskan dalam kitabnya Bihaarul Anwaar:

باب: تفضيلهم عليهم السلام على الأنبياء وعلى جميع الخلق وأخذ ميثاقهم عنهم وعن الملائكة وعن سائر الخلق وأن أولي العزم إنما صاروا أولى العزم بحبهم صلوات الله عليهم

“Bab: Penjelasan tentang keunggulan para imam ‘alaihimussalaam dibanding seluruh para nabi dan seluruh umat manusia. Telah diambil janji mereka, juga dari para malaikat dan seluruh makhluq. Dan bahwasannya para ulul ‘azmy mendapatkan kedudukan mulia ini hanya karena kecintaan mereka kepada para imam, shalawaatullah ‘alaihim.([12]) 

Selanjutnya, Al Majlisy di bawah bab ini menyebutkan 88 riwayat dari para imamnya. Berikut salah satu contoh riwayat yang ia sebutkan:

عن أبي عبد الله عليه السلام: ما من نبي نبئ ولا رسول أرسل، إلا بولايتنا وتفضيلنا على من سوانا .

Dari Abu ABdillah ‘alaihissalam: tiada seorang nabi yang dinobatkan sebagai nabi, tidak pula seorang rasul yang menjadi rasul melainkan dengan membawa misi menyampaikan kewalian kami,  dan keutamaan kami atas selain kami.

Saudaraku, apa perasaan anda setelah membaca riwayat-riwayat ini?

Sebagai orang yang beriman, mungkinkah kiranya anda mempercayai doktrin Syi’ah bahwa nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam gagal mengemban risalah dan yang berhasil mengembannya adalah para imam-imam Syi’ah?

[1] ) Riwayat Ibnu Abi Syaibah 6/163 &  Ibnu Batthah 3/120.
[2] ) Tafsir Ibnu jarir At Thobary 20/405 & Tafsir Al baghawi 6/399.
[3] ) Subhanallah, Al Khumainy menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kebebasan untuk tidak menyampaikan masalah al Imaamah , seakan-akan ia beranggapan bahwa Al Qur’an adalah hasil karya nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[4] ) Kasyful Asraar oleh Al Khumainy 149.
[5] ) Idem 155.
[6] ) Syihabuddin An Najafy wa ta’liqaatuhu ‘Ala Ihqaaqi Al Haq 2/288-289.
[7] ) Al Kafy oleh Al Kulainy 1/144.
[8] ) Bihaarul Anwaar 35/29.
[9] ) idem 26/281.
[10] ) Idem 1/145.
[11] ) Al Kaafy oleh AL Kulainy 1/146, Bihaarul Anwar oleh Al Majlisy 24/222 dan Al Anwar Allaami’ah Fi Syarah Az Ziyarah Al Jaami’ah oleh Abdullah As Syiber Al Khu’i 144.
[12] ) Bihaarul Anwaar oleh Al Kulainy 26/267.
By: arifinbadri.com/ Feb 01, 2016,Aqidah, Firqoh
(nahimunkar.com)

Islam adalah Agama dan Sumber Hukum yang Sempurna

(ditulis oleh: Al-Ustadz Luqman Baabduh)
Wajib diimani oleh setiap muslim bahwa Islam dan syariatnya adalah agama dan sumber hukum yang sempurna, lengkap, dan abadi. Tidak ada satu amalan atau aturan yang mendatangkan kebaikan bagi umat manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat melainkan telah dijelaskan di dalamnya. Tidak pula ada satu amalan pun yang membahayakan kehidupan mereka melainkan telah diperingatkan untuk ditinggalkan dan dijauhi, sebagaimana firman Allah l dalam surat al-Maidah ayat 3 di atas.
Ayat ini mengandung berita tentang nikmat Allah l yang terbesar untuk umat Islam, yaitu ketika Allah l menjadikan agama yang mereka yakini sebagai agama yang sempurna, lengkap, dan menyeluruh sehingga umat Islam tidak lagi membutuhkan syariat dan sumber hukum selain yang telah diturunkan oleh Allah l untuk mengatur kehidupan mereka. Syariat Islam yang diturunkan oleh Allah l adalah syariat yang penuh dengan kebenaran pada seluruh berita yang dikandungnya. Syariat Islam juga merupakan syariat yang adil, universal, jujur, dan jauh dari kezaliman serta kepentingan tertentu pada seluruh hukum dan aturan yang diberlakukannya.
Tidak ada satu pihak pun yang mampu menciptakan atau membuat aturan dan perundangan-undangan selengkap, sesempurna, seadil, dan sejujur syariat Islam yang diturunkan oleh Allah l. Hal ini sebagaimana firman-Nya:
“Telah sempurnalah syariat Rabbmu (Al-Qur’an) sebagai syariat yang benar dan adil. Tidak ada satu pihak pun yang mampu mengubah syariat-syariat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-An’am: 115)
“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (Fushshilat: 42)
“Sementara Dialah yang telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepada kalian dengan terperinci” (al-An’am: 114)
Asy-Syaikh al-’Allamah ‘Abdurrahman as-Sa’di t berkata, “Maksudnya, (Al-Qur’an berfungsi) sebagai penjelas tentang hukum halal dan haram, serta berbagai hukum syariat. Demikian pula berbagai hukum agama ini, baik yang bersifat pokok maupun cabang. Tidak ada satu syariat dan hujjah pun yang lebih jelas dibandingkan dengannya. Tidak ada pula satu hukum pun yang lebih baik serta lebih lurus dibandingkan dengannya karena berbagai hukum dalam syariat Islam mengandung hikmah dan kasih sayang.” (Lihat kitab Taisirul Karimir Rahman, hlm. 270)
Begitu pula firman Allah l:
“Dan telah Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (an-Nahl: 89)
Sahabat Abdullah bin Mas’ud z berkata, “Segala ilmu dan segala sesuatu telah dijelaskan kepada kita di dalam Al-Qur’an.”
Al-Imam Ibnu Katsir t berkata, “Penjelasan Abdullah bin Mas’ud di atas bersifat lebih umum dan lebih universal, karena Al-Qur’an mencakup segala bentuk ilmu yang bermanfaat, baik dalam bentuk berita tentang berbagai kejadian yang telah lalu maupun ilmu tentang segala sesuatu yang akan datang. Al-Qur’an juga mengandung penjelasan tentang seluruh hukum yang halal dan haram serta penjelasan tentang segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia, baik dalam urusan dunia maupun agama mereka.” (Tafsir Ibni Katsir)
Rasulullah n pun bersabda:
إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ
“Sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun yang diutus sebelumku melainkan wajib atasnya untuk menunjukkan umatnya kepada segala kebaikan yang dia ketahui untuk umat mereka. Wajib pula atasnya untuk memperingatkan umatnya dari segala kejelekan yang dia ketahui yang dapat membahayakan umatnya.” (HR. Muslim, dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash c)
Dikatakan kepada sahabat Salman al-Farisi z:
قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ؟
“Apakah benar bahwa Nabi kalian n telah mengajarkan segala sesuatu, sampai pun permasalahan buang hajat?”
Beliau z pun mengatakan:
أَجَلْ، لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ
“Tentu. Sungguh Nabi kami telah melarang kami menghadap kiblat ketika buang air besar dan buang air kecil. Beliau juga melarang kami beristinja’ dengan tangan kanan, melarang beristinja’ menggunakan batu kurang dari tiga buah, dan melarang kami beristinja’ menggunakan kotoran hewan atau tulang.” (HR. Muslim, dari sahabat Salman al-Farisi z)
Dari penjelasan singkat di atas, sudah barang tentu seorang muslim—yang benar-benar mencintai Islam sebagai agamanya, berserah diri kepada Sang Khaliq dan mengakui Islam sebagai satu-satunya agama yang benar, sempurna, abadi dan diridhai oleh Allah—hanya akan berhukum dengan hukum Islam dan tidak akan rela selain hukum Islam sebagai dasar hukum bagi diri dan negaranya.

Mengamalkan Syariat Islam adalah Salah Satu Kewajiban Setiap Muslim yang Paling Mendasar
Syariat Islam adalah syariat yang diturunkan oleh Allah l, Dzat Yang Mahaadil, Mahabijak, Maha Mengetahui semua makhluk ciptaan-Nya dan karakter mereka, serta Maha Mengetahui semua kepentingan dan kebutuhan mereka yang banyak dan beragam, baik pada masa lampau, sekarang, maupun yang akan datang, di bumi manapun mereka berada.
Oleh karena itu, hukum yang diturunkan oleh Allah l berbeda dengan berbagai hukum dan perundang-undangan yang dibuat oleh manusia. Manusia adalah makhluk yang sangat lemah. Ia membuat hukum dalam rangka melindungi kelemahannya. Ia juga sangat zalim sehingga dia membuat hukum dalam rangka mengambil hak dan menzalimi orang lain. Ditambah lagi, ia sangat jahil sehingga tidak mengetahui kemaslahatan dan kemadaratan yang hakiki untuk dirinya serta orang lain. Dalam Al-Qur’an, Allah l menyebutkan beberapa sifat asli manusia, antara lain:
“Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (al-Ahzab: 72)
Karena itu, sudah barang tentu sikap dan kebijakan yang diambil oleh manusia lebih didominasi oleh kebodohan dan kecenderungan untuk menzalimi. Allah l juga berfirman:
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (al-’Alaq: 6—7)
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalianlah yang sangat butuh kepada Allah, dan Dialah Allah yang Maha tidak butuh (kepada segala sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (Fathir: 15)
“Dan manusia diciptakan dalam keadaan bersifat lemah.” (an-Nisa’: 28)
Kedua ayat di atas menegaskan bahwa manusia itu sangat lemah, miskin, dan sangat membutuhkan pertolongan Allah l dalam mengatasi kelemahan dirinya. Termasuk dalam hal ini adalah kelemahan mereka dalam menentukan hukum yang mengatur kehidupan mereka. Maka dari itu, adalah suatu kepastian bahwa mereka sangat membutuhkan hukum dan aturan hidup dari Penciptanya Yang Maha Sempurna.
Dalam ayat lain, Allah l berfirman:
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir, apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.” (al-Ma’arij: 19—21)
Pada ayat di atas, dengan tegas Allah l menyebutkan bahwa manusia itu tidak pernah puas. Ia cenderung mengeluh ketika tertimpa musibah atau kekurangan. Di saat itu, dia akan meneriakkan kepentingannya. Namun, di saat mendapatkan keberuntungan, dia akan kikir dan enggan menolong pihak yang lemah. Dengan demikian, sudah tentu berbagai peraturan dan perundang-undangan yang dibuatnya akan diwarnai oleh sifat-sifat asli tersebut.
Manusia juga tidak mengetahui apa yang akan terjadi di masa yang akan datang sehingga berbagai hukum dan perundang-undangan yang dibuatnya harus mengalami peninjauan ulang dan berbagai pembenahan.
Setelah kita mengetahui secara singkat sifat dasar dan karakter asli manusia, seseorang yang berakal jernih dan beriman dengan sebenar-benar iman tentu tidak akan pernah mau berhukum kepada hukum buatan manusia yang maha kurang dan maha lemah, kemudian ia meninggalkan hukum yang diturunkan oleh Allah l sebagai sumber hukum yang jauh dari segala kekurangan. Allah l berfirman:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an dengan seksama? Sekiranya Al-Qur’an itu (turun) dari selain Allah, tentulah mereka akan mendapati pertentangan yang banyak padanya.” (an-Nisa’: 82)
Dari ayat di atas, kita mengetahui bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum dan syariat yang lengkap, sesuai, dan tidak ada pertentangan sedikit pun antara satu ketentuan dengan ketentuan yang lainnya. Adapun hukum-hukum dan perundang-undangan yang dibuat oleh selain Allah l penuh dengan kekurangan, ketidaksesuaian, dan pertentangan.
Apakah dengan itu, kita masih akan berhukum kepada perundang-undangan buatan manusia, dan berpaling dari hukum yang diturunkan oleh Rabb semesta alam?
Allah l berfirman:
“Yaa siin. Demi Al-Qur’an yang penuh hikmah. Sesungguhnya kamu adalah salah seorang dari rasul-rasul (yang diutus oleh Allah). (Yang berada) di atas jalan yang lurus. (Sebagai syariat) yang diturunkan oleh (Allah) Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang.” (Yasin: 1—5)
“Kitab (Al-Qur’an ini) diturunkan oleh Allah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (az-Zumar: 1)
“Haa miim. Diturunkan kitab ini (Al-Qur’an) dari Allah yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (Ghafir: 1—2)
“Haa Miim. Diturunkan dari Rabb yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Adalah sebuah kitab yang telah dijelaskan ayat-ayatnya secara rinci.” (Fushshilat: 1—3)
Dari beberapa penjelasan di atas, menjadi sebuah kepastian bagi setiap pribadi muslim bahwa kewajiban beramal dan menegakkan syariat Islam, baik pada kehidupan pribadi maupun rumah tangga, bahkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, adalah salah satu pokok dasar Islam yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Dalil-dalil Penegas Kewajiban Menjadikan Hukum Allah l Sebagai Sumber Hukum
Agar kita semakin mengenal kedudukan syariat Islam serta kewajiban kita sebagai pemeluknya untuk memuliakan syariat Islam dan mengamalkannya, kali ini kami sajikan beberapa dalil syar’i yang menegaskan kewajiban berhukum kepada syariat Islam bagi pemeluknya. Kami harap tulisan ini semakin menggugah kemauan dan keinginan kita untuk menegakkannya pada diri, masyarakat, dan negara kita. Allah l berfirman:
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, dan sebagai tolok ukur kebenaran kitab-kitab sebelumnya, maka putuskanlah perkara mereka menurut ketentuan hukum yang diturunkan oleh Allah l dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran (syariat) yang telah datang kepadamu.” (al-Maidah: 48)
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut hukum yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian syariat yang telah diturunkan Allah kepadamu, jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki untuk menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka, dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (al-Maidah: 49—50)
Ayat-ayat di atas mengandung perintah tegas terhadap hamba-hamba Allah l untuk berhukum dengan hukum yang telah diturunkan oleh Allah l dan mengamalkan syariat yang telah digariskan-Nya, sekaligus meninggalkan hawa nafsu dan ambisi mayoritas manusia yang dapat memalingkan diri kita dari upaya berhukum kepada hukum Allah l.
Seorang mukmin yang mau memerhatikan ayat-ayat di atas dan bertafakkur dengan saksama, dia akan mengetahui bahwasanya Allah l menekankan kewajiban berhukum kepada syariat-Nya dengan beberapa bentuk penekanan. Di antaranya adalah:
1. Kalimat perintah pada ayat:
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut hukum yang diturunkan oleh Allah.” (al-Maidah: 49)
Kalimat perintah ini menunjukkan bahwa amalan tersebut wajib hukumnya. Apabila ditinggalkan, pelakunya berdosa.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi perintah untuk berhukum kepada hukum yang diturunkan oleh Allah l banyak sekali, antara lain:
“Ikutilah syariat yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan janganlah kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Sungguh sangat sedikit kalian mengambil pelajaran (darinya).” (al-A’raf: 3)
Ketika menafsirkan ayat di atas, al-Imam Ibnu Katsir berkata, “Maksudnya, janganlah kalian keluar meninggalkan hukum-hukum yang dibawa oleh Rasulullah n menuju sumber hukum yang lain. Dengan begitu, kalian telah keluar dari hukum Allah l kepada hukum selainnya.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Allah l juga berfirman:
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama ini), maka ikutilah syariat tersebut dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (al-Jatsiyah: 18)

2. Larangan Allah l menjadikan hawa nafsu mayoritas manusia serta ambisi mereka dalam semua kondisi sebagai penghalang untuk kita berhukum kepada hukum Allah.
Hal ini sebagaimana ayat ke-48 surat al-Maidah di atas:
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran (syariat) yang telah datang kepadamu.”
Kemudian pada ayat ke-49, kembali Allah l menegaskan:
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.”
Larangan mengikuti hawa nafsu orang-orang yang berhukum kepada selain hukum Allah l sengaja diulangi oleh Allah l dua kali karena sikap tersebut memang sangat berbahaya dan banyak memalingkan kaum mukminin dari berhukum dengan syariat Allah l kepada hukum-hukum jahiliah. (Lihat Taisirul Karimirrahman)

3. Peringatan keras dari Allah l agar berhati-hati dari sikap enggan berhukum kepada syariat-Nya, baik dalam urusan yang sedikit maupun banyak, dalam perkara yang kecil maupun besar.
Hal ini sebagaimana firman-Nya:
“Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian syariat yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (al-Maidah: 49)

4. Sikap tidak mau berhukum dengan hukum Allah l serta kecenderungan menolaknya adalah dosa yang sangat besar, yang dapat mengundang azab yang pedih.
Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh ayat ke-49 surat al-Maidah di atas:
“Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki untuk menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka.”
Dalam ayat-Nya yang lain, Allah l juga mengancam:
“Maka hendaklah waspada orang-orang yang menyelisihi perintahnya (syariat Rasulullah), akan menimpa kepada mereka fitnah atau azab yang pedih.” (an-Nur: 63)
Ketika menjelaskan ayat di atas, al-Imam Ibnu Katsir berkata, “Yakni orang-orang yang menyelisihi jalan, sistem, sunnah, dan syariat beliau n. Maka dari itu, seluruh perkataan dan perbuatan (manusia) ditimbang dengan perkataan dan perbuatan beliau. Segala sesuatu yang sesuai dengannya, diterima. Adapun segala sesuatu yang menyelisihinya, ditolak, siapapun pengucap dan pelakunya. Hal ini sebagaimana hadits sahih yang diriwayatkan dalam ash-Shahihain dan selain keduanya, bahwasanya Rasulullah n berkata:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa mengamalkan suatu amalan yang bukan atas perintahku, amalan tersebut tertolak.”
Oleh sebab itu, hendaklah waspada dan takut orang-orang yang menyelisihi syariat (hukum) Rasulullah n—baik penyelisihan secara batin maupun secara zahir— bahwa mereka akan tertimpa fitnah. Kalbu-kalbu mereka tertimpa fitnah kekufuran, kemunafikan, dan kebid’ahan, atau mereka aka tertimpa azab yang pedih di dunia ini, baik dalam bentuk pembunuhan, tindakan hukum pidana, atau penjara, dan yang semisalnya.” (Tafsir Ibnu Katsir)

5. Per-ingatan keras dari Allah l untuk tidak terpesona dengan mayoritas manusia yang berpaling dari hukum Allah l.
Pada ayat ke-49 surat al-Maidah di atas, Allah l berfirman:
“Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”
Mereka digolongkan oleh Allah l sebagai orang-orang yang fasik karena enggan untuk berhukum dengan syariat dan perundang-undangan yang diturunkan oleh Allah l.
Di zaman ini pun kita menyaksikan realitas yang disebutkan oleh Allah l itu, yaitu kebanyakan manusia—bahkan kaum muslimin sendiri—baik sebagai pribadi, masyarakat, ataupun pemerintah, enggan berhukum kepada syariat Allah l. Maka dari itu, janganlah kita tertipu dengan jumlah mayoritas sehingga kita ikut meninggalkan dan menanggalkan hukum Allah l.
Allah l juga menyebutkan ayat semisal di atas, yaitu firman-Nya:
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (al-An’am: 116)

6. Allah l menjuluki berbagai hukum selain hukum yang diturunkan oleh Allah l sebagai hukum jahiliah.
Allah l berfirman:
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki.” (al-Maidah: 50)
Al-Imam Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di t—ketika menjelaskan tentang hukum jahiliah—berkata, “Yaitu semua jenis hukum yang menyelisihi syariat yang diturunkan oleh Allah l kepada Rasul-Nya. Oleh karena itu, tidak ada jenis hukum selain hukum Allah melainkan hukum jahiliah. Barang siapa yang berpaling dari jenis yang pertama (hukum Allah), pasti dia akan berhukum kepada jenis yang kedua (yaitu hukum jahiliah) yang ditegakkan di atas kejahilan, kezaliman, dan kesesatan. Oleh karena itu, Allah menisbatkan jenis hukum yang kedua ini sebagai hukum jahiliah, sedangkan hukum Allah adalah hukum yang ditegakkan di atas ilmu, keadilan, serta cahaya, dan petunjuk.” (Taisirul Karimirrahman)

7. Penegasan Allah l bahwa hukum yang diturunkan-Nya adalah hukum yang terbaik dan perundang-undangan yang paling adil serta paling sempurna.
Hal ini sebagaimana firman-Nya pada ayat ke-50 surat al-Maidah di atas :
“Dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah.”
Maka dari itu, adalah suatu kepastian bahwa tidak ada satu hukum pun di muka bumi ini yang lebih baik dan lebih sempurna dibandingkan dengan hukum yang diturunkan Allah l. Jika demikian, sungguh tidak pantas apabila hamba-hamba Allah l yang mengklaim dirinya beriman kepada-Nya tidak mau dan enggan menjadikan hukum Allah l dan Rasul-Nya n sebagai rujukan dan sumber hukum yang dianut dalam kehidupannya. Tentu dia tidak akan pernah rela menjadikan hukum-hukum jahiliah sebagai sumber hukum yang mengatur kehidupan pribadi, masyarakat, dan negaranya.

8. Seorang mukmin yang memiliki sifat yakin atas kebenaran Allah l dan Islam sebagai agama pasti akan mengetahui dan meyakini bahwasanya hukum perundang-undangan yang diturunkan oleh Allah l adalah hukum yang paling sempurna dan adil serta abadi. Bersamaan dengan itu, ia akan meyakini bahwa sikap tunduk dan patuh, rela dan berserah diri kepada hukum Allah l adalah suatu kewajiban yang pasti atas setiap muslim yang tidak boleh ditawar-tawar lagi.
Hal ini karena pada akhir ayat ke-50 surat al-Maidah di atas, Allah l menyatakan:
“Dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?”
Maksudnya, seseorang yang telah memiliki keyakinan sebenar-benarnya atas syariat Islam, pasti akan meyakini bahwa tidak ada hukum yang lebih baik, sempurna, dan adil dibandingkan dengan hukum Allah. Sebaliknya, orang yang masih meyakini adanya hukum buatan manusia yang lebih baik atau setara dengan syariat Islam yang diturunkan oleh Allah l kepada Nabi-Nya, sungguh dia tergolong orang yang kalbunya memiliki penyakit keraguan terhadap kebenaran Islam itu sendiri sebagai agama.
Oleh sebab itu, Allah l mengulang berkali-kali perintah kepada seluruh hamba-Nya untuk berhukum kepada hukum dan syariat yang diturunkan-Nya, dan melarang mereka untuk berhukum kepada hukum dan perundang-undangan buatan manusia. Bahkan, Allah l menekankan dan menegaskan perintah tersebut dengan berbagai bentuk penegasan selain yang telah kami sebutkan di atas, antara lain:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada hukum yang diturunkan kepadamu dan kepada hukum yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut tersebut, dan sesungguhnya syaithan sangat berambisi menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (an-Nisa’: 60)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di t mendefinisikan thaghut dengan, “Semua pihak yang berhukum kepada selain syariat Allah l, itu adalah thaghut.”
Al-Imam Ibnu Katsir t ketika menjelaskan tentang ayat ini berkata, “Ini adalah pengingkaran Allah l terhadap pihak-pihak yang mengklaim keimanan terhadap syariat yang diturunkan oleh Allah l kepada Rasul-Nya dan para nabi terdahulu, namun bersama itu dia masih berkeinginan untuk berhukum kepada selain Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dalam menyelesaikan berbagai perselisihan.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Pelajaran yang bisa kita ambil dari ayat di atas adalah jangan sampai kita menjadi orang-orang yang mengklaim keimanan kepada syariat Allah l dan Rasul-Nya, namun dia masih berhukum kepada hukum-hukum jahiliah, baik hukum adat, hukum pidana dan perdata, maupun yang lainnya. Masih saja kita mengedepankan logika dan hawa nafsu untuk menjadikan hukum dan perundang-undangan yang dibuat oleh manusia sebagai tandingan bagi hukum Allah l dan Rasul-Nya. Sungguh dengan itu, kita akan tergolong ke dalam orang-orang yang disesatkan oleh setan dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya.
Perhatikan dengan saksama ayat-ayat berikut ini dan mohonlah petunjuk kepada Allah l untuk bisa mengamalkannya.
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak mendapati dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap keputusan hukum yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisa’: 65)
Dalam ayat di atas:
1. Allah l memulai perkataan-Nya dengan sumpah atas nama Dzat-Nya Yang Mahamulia. Ini menunjukkan bahwa permasalahan yang akan disebutkan-Nya adalah permasalahan besar.
2. Allah l meniadakan keimanan seorang hamba kalau dia tidak mau berhukum kepada hukum Rasulullah n dalam semua urusannya.
3. Allah l tidak menerima sikap tunduk kepada hukum Rasulullah n secara zahir saja. Bahkan, Allah l menuntut kepada hamba tersebut untuk menerimanya secara batin dengan penuh keikhlasan dan ketulusan hati.
Demikian pula firman Allah l:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, masih akan ada bagi mereka pilihan hukum (yang lain) tentang urusan mereka, dan barang siapa mendurhakai (hukum) Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (al-Ahzab: 36)
Al-Imam Ibnu Katsir berkata, “Ayat ini bersifat umum meliputi semua urusan, yaitu jika Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sebuah hukum, tak seorang pun yang boleh menyelisihinya. Tidak pula ada pilihan apapun baginya (selain hukum Allah). Tidak ada juga logika atau pendapat (lain yang boleh diikuti).” (Tafsir Ibnu Katsir)
Untuk memperjelas beberapa keterangan di atas, berikut ini kita akan mengikuti dengan saksama fatwa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t, salah seorang ulama besar umat ini yang mengikuti jejak generasi as-salafush shalih.
Dalam fatwanya beliau t berkata, “Wajib atas seluruh kaum muslimin untuk berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, Muhammad, dalam semua urusan, dan agar mereka tidak berhukum kepada berbagai ketetapan adat istiadat dan ketentuan-ketentuan suku (kabilah). Tidak pula kepada perundang-undangan yang dibuat oleh manusia. Allah l berfirman:
“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. (yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Rabbku, kepada-Nya lah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.” (asy-Syura: 10)
Kemudian beliau juga menyebutkan ayat ke-60 dalam surat an-Nisa’ di atas.
Beliau melanjutkan, “Allah l juga berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisa’: 59)
Berdasarkan hal itu, wajib atas setiap muslim untuk tunduk dan patuh kepada hukum Allah l dan Rasul-Nya n serta tidak mengedepankan selain hukum Allah l dan Rasul-Nya. Sebagaimana seluruh peribadatan hanya milik Allah l satu-satunya, demikian pula berhukum, wajib hanya kepada hukum Allah l satu-satunya. Ini sebagaimana firman l Allah:
“Tidaklah (hak penentuan) hukum kecuali hanya milik Allah.” (Yusuf: 40)
Dengan demikian, berhukum kepada selain Kitabullah dan selain Sunnah Rasulullah n termasuk jenis kemungkaran yang terbesar dan kemaksiatan yang terjelek. Bahkan, seseorang yang berhukum kepada selain Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya n bisa menjadi kafir jika ia meyakini perbuatan berhukum kepada selain hukum Allah adalah halal (boleh), atau ia meyakini bahwasanya hukum selain hukum Allah l dan Rasul-Nya n adalah lebih baik. Allah l berfirman (kemudian beliau menyebutkan ayat ke-65 surat an-Nisa’1).
Maka dari itu, tidak ada iman bagi siapa saja yang tidak berhukum kepada Allah l dan Rasul-Nya, baik dalam berbagai permasalahan pokok dalam agama ini maupun permasalahan cabang dan dalam berbagai jenis hak. Dengan demikian, barang siapa yang berhukum kepada selain hukum Allah l dan Rasul-Nya n sungguh dia telah berhukum kepada thaghut.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah li Samahatisy Syaikh Abdil ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, 8/272)
Pada kesempatan lain, ketika beliau ditanya tentang hadits:
لَتُنْقَضَنَّ عُرَى اْلإِسْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوًةً، فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِيْ تَلِيْهَا، فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضاً الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلاَةُ
“Sungguh pasti akan terlepas tali-tali pengikat Islam, ikatan demi ikatan. Pada saat terlepas satu ikatan, manusia pun bersegera untuk berpegang dengan ikatan yang berikutnya. Tali ikatan yang pertama kali terlepas adalah hukum, dan yang paling terakhir adalah shalat.”2
Beliau t berkata, “Makna hadits ini sangatlah jelas, yaitu tentang sikap tidak berhukum pada syariat Allah l. Inilah realitas masa kini yang terjadi pada mayoritas negara yang menisbatkan dirinya kepada Islam. Sudah menjadi suatu hal yang telah diketahui bahwasanya wajib atas semua pihak untuk berhukum kepada syariat Allah l pada semua urusan. Hendaknya setiap pribadi juga waspada dari sikap berhukum kepada perundang-undangan yang dibuat oleh manusia atau hukum-hukum adat yang menyelisihi syariat yang suci ini, dengan dalil firman Allah l (kemudian beliau menyebutkan ayat ke-65 surat an-Nisa’3 dan ayat ke-49 serta ke-50 surat al-Maidah4).”
Kemudian beliau melanjutkan, “Juga ayat-ayat dalam surat al-Maidah berikut:
“Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut hukum syariat yang diturunkan oleh Allah l, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (al-Maidah: 44)
“Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut hukum syariat yang diturunkan oleh Allah l, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (al-Maidah: 45)
“Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut hukum syariat yang diturunkan oleh Allah l, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (al-Maidah: 47)
Para ulama pun telah menjelaskan tentang kewajiban atas seluruh pemerintah kaum muslimin untuk berhukum kepada syariat Allah l dalam semua urusan kaum muslimin dan semua masalah yang mereka perselisihkan dalam rangka mengamalkan ayat-ayat yang mulia di atas.
Para ulama tersebut juga menjelaskan bahwa seorang hakim yang memutuskan hukum dengan selain syariat yang diturunkan oleh Allah l, ia telah kafir dengan bentuk kekufuran yang mengeluarkannya dari agama Islam, jika ia meyakini bahwa perbuatan itu halal (boleh). Namun, apabila ia tidak meyakini hal itu sebagai perbuatan yang halal, dan ia berhukum kepada selain syariat Allah l hanya sebatas disebabkan oleh adanya suap atau kepentingan tertentu lainnya, ia juga tetap beriman bahwa berhukum kepada selain syariat Allah l adalah tidak boleh dan bahwa berhukum kepada syariat Allah l adalah wajib, dalam kondisi seperti ini dia menjadi kafir dengan jenis kufran ashghar (kekafiran kecil)5 dan menjadi zalim dengan jenis zhulman ashghar (kezaliman kecil) dan menjadi fasik dengan jenis fisqan ashghar (kefasikan kecil).
Kami memohon kepada Allah l agar memberikan bimbingan kepada seluruh pemerintah muslimin untuk mau berhukum kepada syariat-Nya dan mengembalikan seluruh keputusan hukum kepada-Nya, sekaligus mengharuskan kepada masyarakatnya untuk berhukum kepada syariat Allah, dan agar mereka waspada dari sikap menyelisihi hukum Allah. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah li Samahatisy Syaikh ‘Abdil ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz 9/205)

Catatan Kaki:
1 Lihat beserta penjelasannya pada hlm. 22.
2 HR. Ahmad, Ibnu Hibban, al-Hakim, dari shahabat Abu Umamah al-Bahili z.
3 Lihat beserta penjelasannya pada hlm. 22.
4 Lihat beserta penjelasannya pada hlm. 20—21
5 Kufur ashghar adalah jenis kekafiran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari keislaman. Namun, jangan ada seorang pun yang menganggap dosa ini sebagai dosa kecil, karena pada hakekatnya kufrun ashghar adalah salah satu jenis dosa besar yang paling besar. Ia lebih besar daripada dosa zina, judi, mencuri, korupsi, dan yang semisalnya.


1]. SEMPURNA KARENA TIDAK ADA KERAGUAN SEDIKIT PUN DI DALAMNYA.
Turunnya Al Qur'an yang tidak ada keraguan padanya, (adalah) dari Tuhan semesta alam. ( QS 32 : 2 )

Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. ( QS 2 : 2 )

Tidaklah mungkin Al Qur'an ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al Qur'an itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam. ( QS 10 : 37 )

2].SEMPURNA KARENA TIDAK ADA KEBENGKOKAN DI DALAMNYA.

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al Qur'an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya; ( QS 18 : 1 )
(Ialah) Al Qur'an dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertakwa. ( QS 39 : 28 )
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an? Kalau kiranya Al Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. ( QS 4 : 82 )
3]. SEMPURNA KARENA BERISI PETUNJUK HIDUP YANG DAPAT MENJELASKAN SEGALA PERSOALAN HIDUP DARI YANG PALING KECIL HINGGA PALING BESAR.
Ramadan, ialah bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). ( 2 : 185 )
(Al Qur'an) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengannya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran. ( QS 14 : 52 )
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. ( QS 12 : 111 )
4]. SEMPURNA KARENA MERANGKUM (MENYEMPURNAKAN) KITAB-KITAB SUCI TERDAHULU.
Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Qur'an) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa. ( QS 2 : 41 )
Dan sebelum Al Qur'an itu telah ada kitab Musa sebagai petunjuk dan rahmat. Dan ini (Al Qur'an) adalah kitab yang membenarkannya dalam bahasa Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang lalim dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. ( QS 46 : 12 )
Mereka berkata: "Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. ( QS 46 : 30 )
Dan setelah datang kepada mereka Al Qur'an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu. ( QS 2 : 89 )
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kepada Al Qur'an yang diturunkan Allah", mereka berkata: "Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami". Dan mereka kafir kepada Al Qur'an yang diturunkan sesudahnya, sedang Al Qur'an itu adalah (Kitab) yang hak; yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah: "Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika benar kamu orang-orang yang beriman?" ( QS 2 : 91 )
Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi Kitab (Taurat) melemparkan Kitab Allah ke belakang (punggung) nya seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah Kitab Allah). ( QS 2 : 101 )
Dia menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil. ( QS 3 : 3 )
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu. ( QS 5 : 48 )
Dan ini (Al Qur'an) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Umulkura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. ( QS 6 : 92 )
Tidaklah mungkin Al Qur'an ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al Qur'an itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam. ( QS 10 : 37 )
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. ( QS 12 : 111 )
Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Al Kitab (Al Qur'an) itulah yang benar, dengan membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Mengetahui lagi Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya. ( QS 35 : 31 )
5]. SEMPURNA KARENA TAK ADA SATU PUN MAKHLUK YANG DAPAT MEMBUAT KITAB SEPERTI AL-QUR'AN.
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. ( QS 2 : 23 )
Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain". ( QS 17 : 88 )
Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Qur'an itu jika mereka orang-orang yang benar. ( QS 52 : 34 )
6]. SEMPURNA KARENA SELAMA HAMPIR 1500 TAHUN, TAK ADA SATU PUN MAKHLUK YANG SANGGUP MEROBAH AL-QUR'AN WALAU HANYA SATU HURUF.
Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al Qur'an), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. ( QS 6 : 115 )
Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Tuhan-mu (Al Qur'an). Tidak ada (seorang pun) yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya. Dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain daripada-Nya. ( QS 18 : 27 )
Diposkan oleh Riez Noegh di 17.21
http://2agama.blogspot.co.id/2011/08/al-quran-adalah-kitab-suci-yang.html


ISLAM ADALAH AGAMA YANG SEMPURNA
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas