Friday, February 5, 2016

Nasib Keturunan Arab Di Iran

Nasib Keturunan Arab di Iran [2]

Kamis, 4 februari 2016 - 14:13 wib
Hukum tak melarang belajar bahasa Arab di luar jam sekolah. Namun fakta di lapangan, rezim seringkali diadili dengan dakwaan tidak jelas bahkan hukumannya bisa mati
“Jika kamu tidak mengikuti ideologi rezim (Syiah-Iran, red), kamu bahkan tidak akan dapat mengikuti Pemilu”
KEADAAN buruk dari minoritas Arab Ahwazi Iran dan protes yang baru-baru ini mereka lakukan di negara yang kaya akan minyaknya ini, sengaja tidak dilaporkan meskipun ini serius dan secara sistematis ini adalah diskriminasi yang dilakukan Teheran pada mereka, kata salah satu anggota komunitas itu kepada Middle East Eye(MEE).
Orang Arab melengkapi mayoritas bagian dari apa yang secara resmi disebut provinsi Khuzestan, tetapi Ahwazis menyebutnya dengan “Arabistan”, mereka menggunakan nama historis wilayah itu untuk menekannya asal etnis mereka.
Sensus resmi iran tidak  menampilkan statistik dari latar belakang etnis, tetapi anggota dari komunitas ini mengatakan bahwa jumlah mereka sekitar 5 juta, dari 75 juta populasi warga Iran.
Mereka dibedakan dari komunitas etnis Arab lainnya di Iran, yang dikenal sebagai Hula, yang hidup di wilayah timur pesisir Iran dan berjumlah sekitar 1,5 juta. Tidak seperti kebanyakan etnis Ahwazi yang berfaham Syiah, Arab Huwla kebanyakan berfaham Sunni.
Terdapat juga banyak etnis Arab yang dilaporkan berada di provinsi Khurasan, dan kelompok etnis lain dalam jumlah kecil di banyak provinsi. Meskipun komunitas Arab yang berbeda – maupun minoritas dan kelompok lain – mengeluhkan tentang diskriminasi, etnis Ahwazis menyatakan mereka yang terkena diskriminasi terparah.
Bahasa dan Identitas
Etnis Ahwazis mengatakan mereka sedang menghadapi dua bentuk diskriminasi: yang pertama mengenai identitas dan bahasa mereka, sedangkan yang kedua terkait dengan kedudukan ekonomis mereka – termasuk pengangguran, masalah kesehatan dan lingkungan.
“Bayangkan, kamu mempunyai anak yang bahasa utamanya di rumah adalah bahasa Arab, kemudian mereka memulai sekolah dasar di mana mereka belajar segala sesuatunya dengan bahasa Persia,” Ramadan Alsaedi, seorang jurnalis Ahwazi di London, mengatakan pada MEE,  tahun 2015 lalu.
“Mereka pertama akan menghadapi masalah dengan pembelajaran mereka di sekolah, karena mereka belajar membaca dan menulis dengan bahasa Persia, lidah mereka yang terbiasa berbahasa Arab di rumah menderita karena mereka tidak diajarkan satupun pelajaran yang berbahasa Arab hingga mereka mencapai sekolah menengah pertama (sekitar umur 13 tahun),” ujar Alsaedi menjelaskan.
“Dari sekolah menengah pertama hingga seterusnya, orang Arab hanya akan diperbolehkan mengambil satu mata pelajaran pendidikan formal per minggu, dari sebuah kurikulum yang memaksa dunia melihat rezim yang menolak identitas [pelajar Arab],” dia menambahkan.
Banyak etnis Ahwazis terpaksa menyewa guru privat untuk mengajari anak-anak mereka budaya Arab serta bahasa mereka. Bagaimanapun, jika tertangkap, keluarga-keluarga ini dilaporkan akan diancam hukuman berat.
“Oleh hukum, tidak ada pelarangan tentang pembelajaran bahasa Arab di luar jam sekolah atau kepemilikan buku berbahasa Arab yang tidak disetujui oleh rezim. Tetapi pada kenyataannya, mereka yang menerapkan hal itu seringkali diadili karena dakwaan yang tidak jelas, yang hukumannya bisa mencapai hukuman mati,” Yousef Azizi, seorang penulis etnis Ahwazi yang sekarang tinggal di Britania setelah mengungsi dari Iran, berkata pada MEE.
Aktivisi HAM, aktivis budaya, dan penggiat bahasa serta penyair berpengaruh juga dapat terkena hukuman yang sama jika tidak sepakat dengan peraturan dari pemerintah pusat, kata Azizi, dia menambahkan bahwa “tindakan rezim mendorong semakin banyak orang mendesak kemerdekaan dari Teheran, meskipun sekarang kebanyakan menjadi orang yang menginginkan otonomi.”
Kaya minyak, gas dan sumber air
Etnis Ahwazis menikmati pemerintahannya sendiri hingga 1925, ketika Shah Reza Pahlavi menggulingkan penguasa Arab, Sheikh Khazaal al-Hajj Jabber, dan menguasai seluruh provinsi, yang hari ini dilaporkan sebagai sumber dari 80 persen minyak negara itu dan 50 persen gas, belum lagi pasokan air yang kaya.
“Pengeringan secara sengaja rawa-rawa di wilayah itu serta pengalihan air sungai kepada wilayah lain [Persia] telah menyebabkan etnis Ahwazis menderita di segala aspek, paling tidak akses pada air minum,” Amir Saedi, seorang penggiat hak asasi dan lulusan medis di London, mengatakan pada MEE.
“Wilayah Iran yang pasokan airnya berlimpah itu tidak dapat mengaliri pertanian mereka sendiri karena bendungan milik rezim menyalurkan air sungai menjauh dari yang bisa digunakan penduduk setempat. Badai pasir yang terjadi baru-baru ini adalah hasil langsung dari kebijakan diskriminasi rezim, yang telah merugikan lingkungan di provinsi itu, menuntun pada memburuknya kesehatan penduduk, termasuk meningkatnya kasus kanker,” Saedi menambahkan.
Ahwaz menduduki peringkat kedua sebagai kota paling berpolusi pada 2014 leh World Health Organisation (WHO)
Etnis Ahwazi seringkali mengeluhkan bahwa para penduduk asli wilayah itu tidak mendapatkan keuntungan dari wilayah mereka, kendati menjadi wilayah yang paling kaya akan minyak, gas, dan air di seluruh Iran.
Polusi dan pengangguran
Pada saat yang sama, ketika wilayah lain mendapat keuntungan dari sumber daya Ahwaz, orang Arab setempat yang paling 
menderita karena polusi yang dihasilkan, namun mereka tidak mempunyai uang untuk membayar tagihan medis.
“Hanya 5 persen dari posisi pemerintahan di wilayah ini yang diduduki oleh orang Arab. Wilayah yang mayoritas ini tidak pernah dipimpin oleh gubernur beretnis Arab sejak 1925.  Di satu pabrik pengeboran minyak yang mempunya 4000 karyawan, setelah ditelusuri hanya 7 orang diantaranya yang beretnis Arab,” kata Azizi.
“Anda akan menemukan lowongan pekerjaan di Ahwaz diiklankan di luar provinsi ini, dimana etnis Arab bahkan tidak menyadari lowongan pekerjaan yang tersedia di halaman belakang rumah mereka sendiri. Dan mereka yang mendengar tentang itu dan mendaftar, jarang mendapat pekerjaan itu,” dia menambahkan.
Puncak ketegangan antara pemerintah dan Ahwazis terjadi pada 2005, dimana milisi melakukan beberapa pengeboman dan tentara membalasa dengan serangan mematikan. Dua orang terbukti bertanggung jawab melakukan pengeboman dan telah digantung pada tahun 2006. Hari ini, demo damai yang menolak diskriminasi, marjinalisasi dan “penahanan dari pembangkang non-kekerasan” berlanjut.
Para etnis Ahwazis di pengasingan juga ikut serta dalam sebuah kampanye panjang untuk mengubah demografis wilayah itu, dimana banyak keringanan diberikan kepada orang-orang dari luar wilayah untuk dapat bekerja di provinsi itu, walaupun angka pengangguran di wilayah itu kadang mencapai angka 37 persen.
Wacana Anti-Arab
Mereka juga berbicara sekaligus tentang rasisme pada level nasional, kendati diklaim oleh banyak dari kelompok ulama bahwa mereka ada keturunan dari Nabi Muhammad, yang merupakan orang Arab.
“Minoritas lain, seperti Kurdi, Turk, Azeris, Baluchi dan Lor mungkin menghadapi ‘penindasan nasiona’. Tetapi Ahwazi Iran menemukan bentuk-bentuk tambahan dari wacana anti-Arab di media dan di buku-buku,” kata Azizi.
“Orang Arab diluar Iran tidak mengetahuinya karena bentuk rasisme itu tidak ditampilkan dalam publikasi rezim yang berbahasa Arab dan siaran, yang sasarannya adalah penonton Arab diluar Iran. Tetapi kamu (Orang Arab di Iran) merasakan itu setiap saat,” dia menambahkan.
“Rezim membutuhkan bahasa Arab untuk tujuan propaganda dan juga karena terdapat banyak warisan reliji yang berbahasa Arab. Tetapi mereka tidak ingin Ahwazis berkomunikasi dengan bahasa asli mereka sendiri. Mereka bahkan mengubah nama-nama wilayah yang awalnya berbahasa Arab menjadi bahasa Persia,” kata Azizi.
Berubah menjadi Sunni
Sikap keras terhadap identitas Arab di wilayah itu membawa pada bertambahnya jumlah dari pemuda Ahwazi yang berpindah menjadi Sunni, yang beberapa dari mereka anggap lebih mendekati akar keturunan Arab mereka. Iran sendiri dulunya didominasi Sunni hingga Shah Ismail dari dinasti Safavid mengeluarkan kebijakan yang memaksa mereka berganti keyakinan di abad 16.
Bagaimanapun, para Ahwazi yang berpindah menjadi Islam Sunni akan menghadapi masalah karena otoritas mengancam mereka dengan hukuman penjara, meskipun tidak ada undang-undang resmi yang melarang berpindah sekte atau agama.
Alsaedi, Azizi, dan Saedi berpendapat bahwa identitas atau kepercayaan apapun yang berada di luar apa yang penguasa telah inginkan akan mendapat penindasan yang amat berat, dengan dakwaan-dakwaan elastis yang dirancang khusus agar dapat cocok dengan segala bentuk perbedaan pendapat yang dirasakan.
“Jika kamu tidak mengikuti ideologi rezim, kamu bahkan tidak akan dapat mengikuti Pemilu, rezim akan menang sendiri,” kata Saedi, “itulah kenapa orang Arab tidak mempunyai wakil di pemerintahan. Lagipula hasilnya telah ditentukan.”.*/Nashirul Haq AR
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar