Sunday, March 20, 2016

Imam Besar Al-Azhar Serukan Eropa Dukung Lembaga Islam Moderat. Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi: Islam Moderat Isinya Ya Liberalisasi , sesat !


Hasil gambar untuk occidente vs islam

Imam Besar Al-Azhar Serukan Eropa Dukung Lembaga 
Islam Moderat

Sabtu 9 Jamadilakhir 1437 / 19 Maret 2016 06:00
IMAM besar Al-Azhar, Syaikh Ahmad Ath-Thayib, mengatakan kepada majalah Jerman bahwa Eropa harus mendukung semua lembaga Islam moderat yang mengadopsi kurikulum Al-Azhar, Al-Ahram melaporkan. ( ??! )
Menurut imam besar itu kurikulum Al-Azhar adalah salah satu yang paling memenuhi syarat untuk mendidik para pemuda.
Ath-Thayib telah mengunjungi Jerman minggu ini dan akan menuju ke Paris bulan depan, sebagai bagian dari tur untuk memfasilitasi dialog antara Timur dan Barat.
Kepala lembaga Muslim Sunni bergengsi ini akan bertemu dengan sejumlah pemimpin ilmiah dan pemikir intelektual untuk membahas kesalahpahaman Islamofobia.
Selama wawancara dengan Frankfurter Allgemeine, Ath-Thayib mengatakan bahwa Al-Azhar siap untuk melatih para imam Eropa untuk mempertahankan dan menyebarkan budaya moderasi, koeksistensi dan perdamaian yang merupakan bagian dari kurikulum lembaga keagamaan.[fq/islampos]

Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi: Islam Moderat Isinya Ya liberalisasi

Kamis, 10 Maret 2016 - 14:39 WIB
Barat itu peradaban yang punya karakter sendiri yang  sangat berbeda dengan Islam. Karena itu, kita mesti berhati-hati bila ingin mengambil atau diberi sesuatu dari Barat, sebab bisa jadi sangat bertentangan dengan Islam. Dalam hal ini, kita tidak bisa pakai ukuran baik atau buruk. Sesuatu yang buruk menurut kita, bisa jadi baik  bagi Barat. Contohnya, hidup bersama tanpa nikah. Bagi masyarakat Barat itu baik-baik saja, sejauh tidak mengganggu orang lain dan mereka suka sama suka.
Sekarang ini, hampir semua sistem pendidikan di negara-negara Islam dikuasai oleh Barat. Al-Attas menyadari itu, makanya ia menyeru umat Islam agar punya universitas sendiri guna mengembangkan ilmu-ilmu Islam
UMAT Islam sekarang sedang dilanda westernisasi danliberalisasi dalam pemikiran. Tentu saja gerakan berbahaya ini mesti dilawan. Salah satu tokoh yang gigih melawan itu adalah Hamid Fahmi Zarkasyi, Direktur  INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations), sebuah lembaga penelitian dan kajian yang sangat konsen pada pemikiran dan peradaban.
“Pemikiran harus dihadapi dengan pemikiran, tidak bisa dengan demo,” kata Hamid yang juga putra pendiri  Pondok Pesantren Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur ini.
Untuk melawain westernisasi dan liberalisasi  itu, antara lain mendirikan Program Kaderisasi Ulama (PKU) di ISID. Program ini diikuti ulama-ulama muda dari berbagai pesantren dan berlangsung selama 6 bulan. “Tujuannya membekali para ulama muda agar paham soal peradaban Barat dan mampu menangkal virus-virus pemikiran dari Barat yang merusak Islam,” jelas yang menyelesaikan doktornya di di ISTAC (The International Institute of Islamic Thought and Civilization) Malaysia.
Di Gontor pula Hamid mendirikan Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS). Lembaga kajian ini aktif menggelar kajian-kajian dan peneletian, terutama terkait dengan peradaban Islam dan Barat.
Dari sebuah dusun yang bernama Gontor, ayah tiga anak yang kini  juga diberi amanah menjadi Ketua MIUMI tampaknya sedang menggoyang Barat, yang sekarang menghegemoni dunia. Karena aktivitas ini tak jarang ia dituduh anti Barat? Bagaimana sesungguhnya? Ikuti wawancara berikut ini, dikutip dari majalah Suara Hidayatullah
Anda sangat kritis terhadap Barat. Apa tidak takut dituduh anti Barat?
Memang saya sering dengar tuduhan itu. Orang yang menuduh begitu, kebanyakan tidak memahami Barat. Itu satu. Kedua, mereka kebanyakan pemahaman Islamnya tidak scientific (ilmiah). Ketika saya menjelaskan perbedaan Barat dengan Islam, orang tersebut berkesimpulan begini: mengapa kita harus membeda-bedakan Islam dan Barat, yang pada akhirnya kita akan melakukan pemilahan: kafir atau bukan. Kalau kafir maka layak dibunuh. Inilah, katanya, yang menyebabkan terorisme.
Jawaban Anda?
Jawaban saya gampang saja. Kita membicarakan Islam dan Barat bukan dalam konteks ideologi, tapi dalam  konteks epistimologi atau ilmu. Tugasnya ilmuwan adalah  membedakan, kalau tidak mampu membedakan bukan ilmuwan namanya.
Membedakan konsep-konsep Islam dan Barat itu wajib bagi kita. Al-Qur`an sendiri julukannya al-furqan, pembeda atau penjelas. Jika kita tak bisa membedakan mana yang Islam dan mana yang tidak, kapan kita beridentitas Muslim. Jika Barat dan Islam sama, kita tak perlu identitas.
Bagaimana sikap Barat sendiri kepada Anda?
Saya tidak tahu. Tapi di sebuah simposium di Tokyo saya sempat berselisih dengan seorang tokoh dari Rand Corporation, lembaga yang memberi resep kepada pemerintah Amerika soal bagaimana menyebarkan Islam moderat. Asal tahu, Islam moderat itu kalau dibuka isinya yaliberalisasi. Dengan seenaknya dia bilang, Islam moderat adalah orang yang mendukung feminisme, kesetaraan gender, demokratisasi, pluralisme, dan anti terorisme. Itu sama dengan mengatakan orang yang tidak mendukung pluralisme sama dengan radikal.
Pendapat itu saya bantah. NU dan Muhammadiyah jelas menentang pluralisme. Tapi tidak berarti dua organisasi itu radikal. Maka saya katakan pada dia, “The majority of Indonesian Moslem are moderate and not radical.”  Mayoritas Muslim di Indonesia moderat dan tidak radikal. Dia tampaknya tidak suka dengan pendapat saya ini. “Kita memang beda,” katanya kemudian. Saya tidak tahu, apa pendapatnya tentang saya.
Mereka tidak melakukan tindakan apa-apa terhadap Anda?
Sejauh ini belum ada. Cuma, semua yang kami (INSISTS) lakukan, termasuk tulisan saya, sudah ada di perpustakaan Kongres Amerika. Rupanya di Indonesia ada agennya, yang kerjaannya memantau semua yang kami lakukan.
Apa sisi negatif Barat sehingga Anda begitu kritis?
Barat itu peradaban yang punya karakter sendiri yang  sangat berbeda dengan Islam. Karena itu, kita mesti berhati-hati bila ingin mengambil atau diberi sesuatu dari Barat, sebab bisa jadi sangat bertentangan dengan Islam. Dalam hal ini, kita tidak bisa pakai ukuran baik atau buruk. Sesuatu yang buruk menurut kita, bisa jadi baik  bagi Barat. Contohnya, hidup bersama tanpa nikah. Bagi masyarakat Barat itu baik-baik saja, sejauh tidak mengganggu orang lain dan mereka suka sama suka.
Membedakan konsep-konsep Islam dan Barat itu wajib bagi kita. Al-Qur`an sendiri julukannya al-furqan, pembeda atau penjelas
Barat dalam konteks ini bukan persoalan letak geografis, tetapi lebih mencerminkan pandangan hidup atau suatu peradaban. Pandangan  hidup Barat, seperti dijelaskan Hamid di dalam buku Misykat, cirinya adalah scientific worldview (pandangan hidup keilmuan). Artinya, cara pandang terhadap alam ini melulu keilmuan dan tidak lagi religious.
Menurut pandangan Barat, hal-hal yang tidak dapat dibuktikan secara empiris tidak dapat diterima, termasuk metafisika dan teologi.* 
Pada akhir naskah pertama, Fahmi Hamid Zarkasyi menjelaskan perbedaan antara peradaban Barat dan Peradan Islam. Lantas, manakah yang lebih baik?
Mana yang lebih baik antara peradaban Barat dan peradaban Islam?
Pandangan kita sebagai Muslim adalah Islam punya konsep tersendiri, sedangkan Barat juga punya konsep sendiri. Keduanya tidak bisa dicampuradukan.  Jadi, kita tidak bisa mengukur Barat dengan Islam, pun sebaliknya. Orang Barat tidak bisa mengukur Islam dengan Barat. Menggunakan terminologi Barat untuk memahami Islam juga tidak bisa. Ini yang harus kita jaga.
Yang bisa kita lakukan adalah berkompetisi, begitu?
Iya. Dalam bahasa Al-Attas (Prof Dr Syed Mohammad Naquib al-Attas, gurunya Hamid di ISTAC, terjadi konfrontasi abadi. Keduanya tidak akan pernah cocok karena worldview-nyamemang beda. Pokoknya hampir semuanya beda.
Maka yang diperlukan adalah dialog peradaban, bukan dialog agama. Sayangnya, Barat menganggap Islam itu sekadar agama. Barat tidak mau melihat Islam sebagai peradaban, sebab mereka memang ingin menguasai. Seakan Barat berkata begini, “Islam agama sajalah, peradaban kita yang ngatur. Kamu di masjid saja; politik, ekonomi kita yang ngatur.” Karena itu, mereka tidak pernah bicara Islam sebagai peradaban.
Bagaimana agar kita bisa memenangkan konfrontasi itu?
Menurut saya, kita harus kembali kepada tradisi ilmu. Kita kalah pada bidang ini. Karena itu, kita harus memperkuat ilmu. Dan ilmu adanya di lembaga pendidikan. Lembaga pendidikanlah yang mencetak individu-individu, sedangkan masyarakat  terbentuk dari individu-individu yang banyak. Permasalahannya, bagaimana kita mau membentuk masyarakat yang baik kalau lembaga pendidikannya tidak efektif.
Jika masyarakatnya berkualitas, ia tidak akan bisa dikuasai. Sebab, ia punya ilmu dan sistem yang menjadi filter untuk menyeleksi. Sekarang ini, hampir semua sistem pendidikan di negara-negara Islam dikuasai oleh Barat. Al-Attas menyadari itu, makanya ia menyeru umat Islam agar punya universitas sendiri guna mengembangkan ilmu-ilmu Islam. Dengan  ilmu itu selanjutnya melakukan islamisasi ilmu-ilmu dari Barat. Dengan itu Barat tak lagi bisa menghegemoni, karena kita mampu menyeleksi.
Dimulai dari tingkat pendidikan mana?
Untuk tingkat menengah lebih kepada penanaman ilmu-ilmu dasar keislaman. Misalnya fikih, hadits, dan tafsir yang mengarah kepada amaliah. Secara bersamaan pada tingkat ini dengan intensif ditanamkan nilai-nilai akhlak, baik di kelas maupun di luar kelas.
Pada tingkat menengah tidak masalah anak-anak sedikit dipaksa, demi kebaikan. Wong dipaksa saja masih banyak yang melanggar, apalagi tidak dipaksa.  Seperti di Gontor, kami punya keyakinan bahwa anak-anak harus dipaksa, tidak peduli kata orang. Shalat misalnya, pengalaman kami, anak-anak kalau tidak dipaksa ya tidak shalat. Jadi, tidak cukup hanya dengan tausyiah. Kalau anak-anak disuruh milih antara boleh ke masjid dan boleh juga tidak, pasti semuanya tidak akan ke masjid.
Beda lagi pada tingkat perguruan tinggi. Pada tingkat ini tekanannya pada rasionalitas sehingga anak-anak punya kesadaran, tidak lagi dengan paksaan.
Penting juga, pada tingkat menengah, jangan mengajarkan sejarah yang berisi konflik, misalnya sejarah pembunuhan para khalifah. Nanti kesannya di mata anak-anak, Islam itu penuh dengan ‘darah’. Sebab, anak-anak belum bisa menyeleksi dan berpikir komparasi. Ajarkan saja yang baik-baik.* (Bersambung*)
Rep: Bambang S
Editor: Cholis Akbar
*Hamid: Mematahkan Pemikiran Nazir Hamid (3-habis)
Moderat

Tahun 2008 Japan Institute of International Affair (JIIA) menggelar simposium di Tokyo. Temanya “Islam and Asia: Revisiting the Socio-Political Dimension of Islam”, yakni tentang masa depan politik Islam. Pesertanya mayoritas dari negara-negara Islam seperti Mesir, Pakistan, Iran, Turkey, Tunis, Indonesia dan Malaysia, ditambah seorang dari Amerika dan beberapa dari Jepang sendiri. Nampaknya simposium ini bertujuan untuk mengukur masa depan kekuatan politik Islam pasca peristiwa 11 September, akan ditangan radikal atau moderat.
Maka dari itu diantara isu yang dilontarkan disitu adalah tentang arti Muslim moderat. Istilah ini nampaknya berfungsi sebagai penjinak terorisme. Mirip dengan fungsi sekularisme tahun 70an sebagai penjinak fundamentalisme.
Mulanya para peserta merespon dengan datar-datar saja. “Moderat” artinya tidak berlebihan ghuluw(ekstrim) dalam menjalankan agama. Bagi Profesor Bedoui Abdel Majid, dari Tunis, moderat dalam Islam tercermin dalam keimanan, peribadatan, hubugan sosial, tradisi dan dalam pemikiran maupun dalam kehidupan nyata.
Tapi masalahnya menjadi krusial ketika Angel Rabasa, wakil dari Rand Coorporation Amerika Serikat mendefinisikan, Muslim moderat adalah yang mau menerima pluralisme, feminisme dan kesetaraan gender, demokratisasi, humanisme dan civil society.
Dr. Sohail Mahmud dari Pakistan menganggap definisi Rabasa itu sarat dengan kepentingan Barat. Azzam Tamimi, Direktur TV al-Hiwar London, menolak definisi itu dan menegaskan bahwa mayoritas Muslim menurut kriteria Islam adalah moderat meskipun tidak setuju dengan pluralisme, feminisme, humanisme dan sebagainya.
Saya pun ikut merespon. “Pengertian anda itu sekarang di Indonesia disebut dengan “Islam Liberal”, mestinya anda tahu itu. Dan “Islam Liberal” di Indonesia itu tidak moderat tapi ekstrim. Jika anda katakan “Islam liberal” adalah moderat maka konsekuensinya mayoritas umat Islam yang tidak liberal, termasuk NU dan Muhammadiyah, adalah fundamentalis, ekstrimis dan tidak moderat.
Masataka Takeshita, Profesor Studi Islam dari Universitas Tokyo segera bertanya, apa yang anda maksud “Islam liberal”?, saya katakan “Islam Liberal” itu terlalu kontekstual, artinya cenderung menafsirkan Islam hanya untuk menjustifikasi konsep-konsep dalam konteks masyarakat Barat.
Contohnya, di kalangan liberal ada yang menafikan hukum Tuhan (syariat), mempersoalkan otentisitas al-Qur’an, menyoal otoritas ulama agar kemudian dapat menghalalkan homoseks dan lesbi, nikah beda agama dan sebagainya. Rabasa tetap pada pendiriannya, tapi diluar forum terus terang dia terkejut dan tidak percaya jika ada orang liberal Indonesia yang setuju dengan homoseks dan lesbi. I will check it, katanya.
Rabasa tidak bergeming karena pasca 9/11, Rand Coorporation giat menjual “Islam moderat”. SetelahAmerican Journal of Islamic Social Sciences mengangkat tema ini secara serial lima tahun lalu, petanya semakin jelas. Sedikitnya ada tiga kelompok: anti-Islam, Barat dan Islam.
Definisi Islam moderat yang anti Islam dapat dilihat pada situs “muslimsagainstshariah”. Disitu ditulis begini diantaranya: tidak anti bangsa semit, menentang kekhalifahan, kritis terhadap Islam, menganggap Nabi bukan contoh yang perlu ditiru, menentang jihad, pro Israel atau netral, tidak bereaksi ketika Islam dan Nabi Muhammad dikritik, menentang pakaian Islam, syariah, dan terorisme.
Andrew McCarthy dalam National Review Online, August 24, 2010 justru dengan tegas menyatakan siapapun yang membela syariat tidak dapat dikatakan moderat. (No one who advocates shariah can be a moderate). Kedua pengertian ini sungguh-sungguh tidak moderat.
Islam moderat dalam perspektif Barat hampir seragam. Rabasa, Graham E. Fuller dan Ariel Cohen sudah seperti ijma. Muslim moderat, kata Fuller adalah yang menolak literalisme dalam memahami kitab suci, tidak monopoli penafsiran Islam dan menekankan persamaan dengan agama lain dan bahkan tidak menolak kebenaran agama lain.
Inilah yang ditirukan orang liberal di Indonesia. Fuller bahkan ngelantur moderat adalah yang mendukung kebijakan dan kepentingan Amerika dalam mengatur dunia. Senada tapi lebih ekstrim lagi, Ariel Cohen mengartikan moderat sebagai menghormati hak menafsirkan al-Qur’an, hak menyembah Allah dengan caranya sendiri, atau tidak menyembah atau bahkan tidak percaya. Lagi-lagi ini alam pikiran kelompok “Islam Liberal” yang kental bau orientalismenya.
Definisi Rabasa, Graham maupun Cohen memang benar-benar liberal. Dan mungkin bagi orang liberal itu biasa dan “nothing wrong”. Tapi justru yang menemukan kesalahannya adalah John L. Esposito.
Dengan bijak dan adil dia kritik begini: Pertama, Jika definisi Barat itu diterima maka Muslim konservatifdan tradisionalis menjadi tidak moderat. Selain itu jika seorang wanita Muslim memimpin Salat Jumat menjadi kriteria moderat, maka banyak orang Kristen, Yahudi dan penganut agama lain termasuk Paus John Paul II yang patrialistik itu justru tidak masuk kriteria moderat.
Louay Safi dan Ubid Ullah Jan tokoh Muslim di Canada, memiliki kesan yang sama. Pengertian moderat yang pro-Barat ataupun yang anti Islam sama saja. Seorang Muslim belum dianggap moderat jika belum menolak al-Qur’an secara publik.
Tapi masalahnya, menurut Esposito jika untuk menjadi moderat orang harus mengingkari kitab sucinya, maka Yahudi moderat juga harus mengingkari kitab sucinya yang menjadi penyebab klaim negara Israel dan pendudukan tanah Palestina. Itu kesalahan yang kedua.
Kerancuan lain juga ditemukan Safi. Menurutnya pengertian “Muslim moderat” di Barat adalah “a person who is not comfortable with his/her Islamic roots and heritage, and openly hostile to Islam, and eager to transcend all Islamic norms”.
Contoh yang nyata, katanya ada pada figur Irsyad Manji seorang feminis yang terkenal mengkritik Syariat (Bukunya: The Trouble with Islam: A Muslim’s Call for Reform in Her Faith), tapi pada saat yang sama mengaku sebagai pelaku lesbi. Anehnya figur seperti ini oleh Barat dianggap sebagai “the voice of moderation”.
Bagi Muqtedar Khan, cendekiawan Muslim asal Canada moderat itu adalah yang berpikiran terbuka, kritis, menghormati semua orang, bermoral, beramar ma’ruf nahi munkar (QS. 5 : 48, 3 : 110), tidak ada intimidasi dan kekerasan. Sahabatnya Ubid Ullah Jan menambahkan, Muslim yang menolak ketidakadilan atau Muslim yang hidupnya hanya untuk ibadah masih dianggap moderat. Tentu semua itu tanpa kekerasan.
Jadi, untuk mengalahkan radikalisme tidak perlu liberalisme dan agar menang melawan hegemoni kolonialisme Barat tidak perlu ekstremisme. Kebajikanlah yang akan mengalahkan kejahatan atau kekerasan, vincit vim virtus.

Liberalisasi Pemikiran Islam

Masalah liberalisasi adalah tantangan bagi semua umat. Berikut adalah jawaban dari sebagian pertanyaan yang seringkali menjadi kesalahan mendasar para pengikutnya.
Apakah Liberalisasi Pemikiran Islam itu?
Liberalisasi Pemikiran Islam adalah suatu gerakan pemikiran yang berasal dari paham liberalisme yang lahir dan berkembang di Barat maka gerakan ini dipengaruhi oleh cara berpikir manusia Barat sekuler.
Di Barat, liberal artinya bebas, bebas dari gereja, dari ikatan moral, dari agama serta bebas dari Tuhan. Ketika paham ini masuk kedalam pemikiran Islam, kebebasan diartikan sebagai bebas untuk menafsirkan agama sesuai dengan pikiran masing-masing orang. Akibatnya, hal-hal yang jelas haram hukumnya menjadi halal, yang wajib menjadi sunnah dan seterusnya
Bagaimanakah paham ini bisa masuk kedalam pemikiran Islam?
Sebenarnya upaya-upaya orientalis untuk mempengaruhi umat Islam agar terlepas dari tradisi keilmuan Islam sudah lama dilakukan. Namun, pengaruhnya terhadap pemikiran Islam terjadi secara lambat melalui para sarjana Muslim yang belajar ke Barat.
Karena bekal sebelum belajar ke Barat kurang memadai maka para cendekiawan Muslim itu terpengaruh oleh cara orientalis memahami Islam. Para orientalis diantaranya berpandangan bahwa melakukan sesuatu yang tidak berdasarkan dalil yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis adalah liberal. Padahal dalam Islam hal ini dibolehkan untuk masalah-masalah furu’ atau ijtihadiyah.
Istilah Islam liberal diproklamirkan untuk pertama kali oleh Charles Kurzman dalam bukunya Liberal Islam: a Source Book, kemudian dikuti oleh Leonard Binder yang berjudul Islamic Liberalism: a Critique of Development Ideologies. Dari buku ini maka sekelompok anak muda di Jakarta mendirikan kelompok yang menamakan diri mereka Jaringan Islam Liberal (JIL).
Apakah gerakan liberalisasi yang mereka lakukan di Indonesia?
Gerakan liberalisasi di Indonesia meliputi beberapa bidang dan menempuh berbagai jalan. Gerakannya dalam bentuk LSM-LSM seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), yang menjadi motor dan provokatorliberalisasi pemikiran Islam, International Center for Religious Pluralism (ICRP), pembawa bendera pluralisme agama, Fahmina Institute, pengusung paham kesetaraan gender dan feminisme kedalam Fiqih Islam, Freedom Institute yang bergerak dalam berbagai proyek liberalisasi, dan banyak lagi.
Selain itu gerakan liberalisasi juga berada di kampus-kampus perguruan tinggi Islam. Meskipun bukan resmi proyek perguruan tinggi tersebut, namun dosen-dosen yang berpikiran liberal tersebar hampir di seluruh perguruan tinggi Islam.