Monday, March 14, 2016

Zuhud

beginilah seharusnya seorang salafy

Ketenangan hidup di dunia adalah dambaan setiap orang. Akan tetapi betapa banyak manusia yang hidupnya penuh dengan kegelisahan, gundah gulana, kecemasan, ketakutan, adanya kebencian dengan orang lain, dan keadaan lainnya yang tidak diinginkannya.

Di antara hal terbesar untuk mendapatkan ketenangan hidup adalah ketika kita hidup di tengah-tengah manusia dalam keadaan dicintai Allah dan juga dicintai manusia.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan kepada kita suatu amalan yang akan mendatangkan kecintaan Allah dan juga kecintaan manusia kepada kita.

Dari Abul ‘Abbas Sahl bin Sa’d As-Sa’idiy radhiyallahu ‘anhu berkata, “Datang seseorang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu dia berkata, ‘Ya Rasulullah, tunjukkan kepadaku akan suatu amalan yang apabila aku mengerjakannya niscaya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia?’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Zuhudlah terhadap dunia niscaya Allah mencintaimu dan zuhudlah terhadap apa-apa yang dimiliki oleh manusia niscaya manusia mencintaimu’.” (Shahih, HR. Ibnu Majah dan selainnya, lihat Shahiihul Jaami’no.935 dan Ash-Shahiihah no.942)

Definisi Zuhud, Hakikat dan Pembagiannya

Zuhud secara bahasa artinya lawan dari cinta dan semangat terhadap dunia.

Berkata Ibnul Qayyim, “Zuhud terhadap sesuatu di dalam bahasa Arab yang merupakan bahasa Islam- mengandung arti berpaling darinya dengan meremehkan dan merendahkan keadaannya karena sudah merasa cukup dengan sesuatu yang lebih baik darinya.”

Beliau juga berkata, “Saya mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, ‘Zuhud adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat di akhirat, adapun wara’ adalah meninggalkan apa-apa yang ditakuti akan bahayanya di akhirat’.”

Kemudian beliau mengomentarinya, “Ini adalah definisi yang paling baik terhadap makna zuhud dan wara’ dan yang paling mencakupnya.”

Berkata Sufyan Ats-Tsauriy, “Zuhud terhadap dunia adalah pendek angan-angan, dan bukanlah yang dimaksud zuhud itu dengan memakan makanan yang keras dan memakai karung.”

Berkata Az-Zuhriy, “Zuhud adalah hendaklah seseorang tidaklah lemah dan mengurangi syukurnya terhadap rizki yang halal yang telah Allah berikan kepadanya dan janganlah dia mengurangi kesabarannya dalam meninggalkan yang haram.”
Berkata Al-Hasan dan lainnya, “Tidaklah zuhud terhadap dunia itu dengan mengharamkan yang halal dan tidak pula dengan menyia-nyiakan dan membuang harta, akan tetapi hendaklah engkau lebih tsiqah (mempercayai) terhadap apa-apa yang ada di sisi Allah daripada apa-apa yang ada di sisimu, dan hendaklah engkau apabila ditimpa musibah- lebih mencintai pahala dari musibah tersebut daripada engkau tidak tertimpa musibah.”
Kesimpulannya bahwasanya hakikat zuhud yang ada di dalam hati adalah dengan mengeluarkan kecintaan dan semangat terhadap dunia dari hati seorang hamba, sehingga jadilah dunia itu hanya di tangannya sedangkan kecintaan Allah dan negeri akhirat ada di dalam hatinya.
Subhaanallaah, betapa nikmatnya apabila seseorang sudah mempunyai sifat zuhud seperti ini. Dunia/harta yang dimilikinya hanya sekedar lewat di tangannya tidak sampai ke hatinya (hatinya tidak menjadi terikat dengannya), dia salurkan harta tersebut di jalan Allah, dia infaqkan kepada orang yang membutuhkannya, ibaratnya kran yang mengalirkan air untuk orang lain. Sedangkan hatinya tetap terikat dengan kecintaan kepada Allah dan akhirat.
Tidaklah banyaknya harta menjadikan dia bangga dan senang, akan tetapi ketaatan kepada Allah-lah yang menjadi tolak ukurnya. Banyak sedikitnya harta bagi orang yang zuhud sama saja.
Ketika ada seseorang bertanya kepada Al-Imam Ahmad, “Apakah orang kaya bisa menjadi orang yang zuhud?” Beliau menjawab, “Ya, dengan syarat ketika banyak hartanya tidak menjadikannya bangga dan ketika luput darinya dunia dia tidak bersedih hati.”
Beliau membagi zuhud menjadi tiga tingkatan:
1.Meninggalkan yang haram, yang merupakan zuhudnya orang-orang ‘awwam, dan ini adalah fardhu ‘ain.
2.Meninggalkan kelebihan-kelebihan dari yang halal, dan ini zuhudnya orang-orang yang khusus.
3.Meninggalkan apa-apa yang dapat menyibukkannya dari (mengingat) Allah, dan ini adalah zuhudnya orang-orang yang mendalam pengetahuannya tentang Allah.

Jangan Salah Faham Tentang Zuhud

Bukanlah makna zuhud itu menolak dunia secara keseluruhan dan meninggalkannya, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin orang-orang yang zuhud mempunyai sembilan orang istri; Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman ‘alaihimas salaam dua nabi yang zuhud, keduanya mempunyai kerajaan sebagaimana yang Allah sebutkan dalam Al-Qur`an, demikian juga para shahabat radhiyallaahu ‘anhumyang merupakan orang-orang yang zuhud, mereka pun mempunyai harta, istri dan anak-anak, dan hal ini telah dikenal oleh kita semua.

Karena zuhud itu adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat di akhirat, adapun hal-hal yang bermanfaat seperti menikah, mencari nafkah dan lainnya maka ini semua tidaklah mengurangi zuhudnya selama hatinya tetap terikat dengan akhirat.

Cinta Akhirat Harus Zuhud terhadap Dunia

Pertanyaan yang diajukan oleh orang ini yang terdapat dalam hadits di atas tidak diragukan lagi adalah suatu pertanyaan yang mempunyai tujuan yang tinggi, yang akan mendatangkan kecintaan Allah dan kecintaan manusia kepadanya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dengan sabdanya, “Zuhudlah terhadap dunia” yakni tinggalkanlah apa-apa yang ada di dunia yang tidak akan memberikan manfaat kepadamu di akhirat. Dan hal ini jelas mengandung konsekuensi akan adanya kecintaan terhadap akhirat. Karena sesungguhnya dunia dan akhirat adalah dua hal yang saling berlawanan, apabila seseorang zuhud kepada salah satunya maka berarti dia cinta kepada yang lainnya, yakni apabila dia zuhud kepada dunia maka dia cinta kepada akhirat. Sebaliknya kalau tamak kepada dunia berarti tidak cinta kepada akhirat.

Zuhud itu mengharuskan seseorang bersungguh-sungguh dalam mengerjakan amalan-amalan akhirat dari mengerjakan perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan serta meninggalkan apa-apa yang tidak akan memberikan manfaat kepadanya di akhirat dari perkara-perkara yang hanya akan menghabiskan waktunya saja dan tidak mengandung manfaat sedikit pun.

Zuhud terhadap yang Dimiliki Manusia

Adapun amalan yang menyebabkan adanya kecintaan manusia, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, “Hendaklah engkau zuhud terhadap apa-apa yang dimiliki oleh manusia.” Yaitu hendaklah kita tidak meminta sesuatu pun kepada manusia kecuali kalau memang butuh dan terpaksa- dan janganlah memperlihatkan kerinduan/keinginan kita terhadap yang dimiliki manusia, serta janganlah kita mengangkat pandangan (ta’ajjub) terhadap yang dimiliki manusia. Jika demikian keadaannya yaitu kita menjadi orang yang jauh dari keinginan terhadap yang dimiliki manusia maka ketika itu kita akan dicintai manusia.

Karena manusia itu apabila ada seseorang yang meminta sesuatu yang dimilikinya maka hal ini memberatkan dia dan menjadikan dia merasa tidak suka. Sehingga apabila kita jauh dari hal ini maka manusia pun akan mencintai kita.

Hakikat Dunia dan Kerendahannya

Di dalam Al-Qur`an banyak sekali ayat-ayat yang menerangkan akan hakikat dunia, kerendahannya, kefanaannya, dan hinanya, dan Al-Qur`an juga menerangkan lawannya yaitu negeri akhirat, di mana akhirat itu kekal dan lebih baik daripada dunia.

Allah berfirman yang artinya,

“Apa yang di sisi kalian akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” [An-Nahl:96]

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kalian serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada ‘adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” [Al-Hadiid:20]

Pendorong Zuhud

Ada beberapa hal yang akan menjadikan kita zuhud terhadap dunia, di antaranya:

1.Kuatnya iman hamba dan menghadirkan diri seolah-olah menyaksikan apa-apa yang di sisi Allah, dan menyaksikan kedasyatan hari kiamat, inilah yang akan menjadikan hilangnya kecintaan terhadap dunia dan kenikmatannya dari hati hamba, akhirnya dia pun berpaling dari kelezatannya dan kesenangannya serta mencukupkan diri dengan yang sedikit saja darinya.

2.Seorang hamba harus merasakan dan menyadari bahwasanya dunia itu akan menyibukkan hati dari terikat dengan Allah, dan akan menjadikan seseorang terlambat dari mencapai tingginya derajat di akhirat, dan bahwasanya seseorang kelak akan ditanya tentang kenikmatan yang ada padanya, Allah berfirman yang artinya,

“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” [At-Takaatsur:8]

3.Dunia tidak akan didapat oleh seorang hamba sampai dia bersusah payah dan bersungguh-sungguh untuk mendapatkannya, dia mengerahkan segenap kemampuannya, tenaganya dan pikirannya, dan kadang-kadang dia pun mengalami kerendahan ataupun kegagalan dan harus siap bersaing dengan lainnya. Yang seharusnya dia kerahkan tenaga dan pikirannya tersebut untuk mencari ilmu agama, berdakwah, berjihad dan beribadah kepada Allah. Perasaan ini yang dirasakan oleh hamba yang cemerlang hatinya, akan menjadikan dia bosan terhadap dunia dan beralih kepada sesuatu yang lebih baik dan kekal yaitu akhirat.

4.Al-Qur`an telah merendahkan dan menghinakan dunia dan kenikmatannya dan bahwasanya dunia itu sesuatu yang menipu, bathil, permainan dan sesuatu yang melalaikan. Dan Allah telah mencela orang yang lebih mengutamakan dunia di atas akhirat. Semua nash/dalil ini baik yang ada di dalam Al-Qur`an ataupun As-Sunnah, akan menjadikan seorang mukmin bosan terhadap dunia, dan dia hanya terikat dengan yang kekal yaitu akhirat.
Dari Jabir bin ‘Abdillah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke pasar dari tempat yang tinggi sedangkan manusia ada di sekitarnya, lalu beliau melewati seekor bangkai kambing kacang yang kecil kedua telinganya, kemudian beliau pun mengambilnya dan memegang telinganya seraya bersabda, “Siapakah di antara kalian yang mau membelinya dengan satu dirham?” Maka mereka pun menjawab, “Demi Allah, seandainya hidup, kambing itu pun mempunyai cacat karena kedua telinganya kecil, maka bagaimana (kami mau membelinya) dalam keadaan kambing itu sudah menjadi bangkai?! Maka Rasulullah pun bersabda, “Demi Allah, sungguh dunia itu lebih hina dan rendah di sisi Allah daripada bangkai ini atas kalian.” (HR. Muslim dalam Kitaabuz Zuhd, lihat Syarhnya 5/814)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Tidaklah dunia bila dibandingkan dengan akhirat kecuali seperti jari salah seorang dari kalian yang dicelupkan ke laut, maka lihatlah apa yang dibawa jari tersebut!” (Lihat Shahiihul Jaami’ no.5423)

Faidah-faidah hadits ini:

1.Semangatnya para shahabat radhiyallaahu ‘anhum untuk bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap hal-hal yang akan memberikan manfaat kepada mereka.

2.Bahwasanya manusia itu berdasarkan tabi’atnya senang kalau Allah mencintainya dan manusia pun mencintainya, dan dia tidak senang kalau Allah murka kepadanya dan manusia pun membencinya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits ini menjelaskan tentang amalan yang menyebabkan adanya kecintaan Allah dan kecintaan manusia.

3.Bahwasanya barangsiapa yang zuhud terhadap dunia niscaya Allah akan mencintainya, karena zuhud terhadap dunia mengharuskan adanya kecintaan terhadap akhirat, dan telah lewat penjelasan akan pengertian zuhud yaitu, “Meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat di akhirat”.

4.Bahwasanya zuhud terhadap apa-apa yang dimiliki oleh manusia merupakan sebab untuk mendapatkan kecintaan manusia kepada kita.

5.Sesungguhnya tamak terhadap dunia dan terikat dengannya adalah sebab yang akan mendatangkan kebencian Allah terhadap hamba sedangkan tamak terhadap apa-apa yang dimiliki manusia dan menanti-nantikannya (berharap agar diberi oleh manusia) adalah sebab yang akan mendatangkan kebencian manusia kepadanya. Maka zuhud terhadap apa-apa yang dimiliki oleh manusia adalah sebab terbesar yang akan mendatangkan kecintaan manusia kepadanya.

Dengan zuhud niscaya manusia mendapatkan ketenangan hidup di dunia dan di akhirat, birahmatillaah. Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang zuhud terhadap dunia dan zuhud terhadap apa-apa yang dimiliki manusia. Aamiin. Wallaahu A’lam.
Maraaji’: Qawaa’id wa Fawaa`id minal Arba’iin An-Nawawiyyah hal.264-268, dan At-Ta’liiqaat ‘alal Arba’iin An-Nawawiyyah hal.84-85.

Hati Telah Mati Pada Sepuluh Perkara

February 9, 2016
Hati telah mati pada sepuluh perkara.
Suatu hari, Ibrahim bin Adham rahimahullah berlalu melewati pasar Bashrah. Manusia pun berkumpul kepadanya seraya berkata, “Wahai Abu Ishaq, sesungguhnya Allah berfirman dalam kitab-Nya,

“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kukabulkan bagi kalian”. Sudah sekian lama kami berdoa tapi tidak dikabulkan?”

Beliau menjawab,

“Wahai penduduk Bashrah, hati kalian telah mati pada sepuluh perkara,



Pertama, kalian mengenal Allah tapi tidak menunaikan hak-Nya.


Kedua, kalian membaca Al-Qur’an, tapi kalian tidak mengamalkannya.

Ketiga, kalian mengaku mencintai Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, tapi kalian meninggalkan Sunnahnya.

Keempat, kalian mengaku memusuhi syaithan, tapi kalian mencocokinya.

Kelima, kalian mengatakan bahwa kami mencintai surga, tapi kalian tidak beramal untuk (memasuki)nya.

Keenam, kalian mengatakan bahwa kami takut dari neraka, tapi kalian menggadai diri-diri kalian untuk neraka.

Ketujuh, kalian mengatakan bahwa kematian adalah benar adanya, tapi kalian tidak bersiap untuknya.

Kedelapan, kalian sibuk membicarakan aib-aib saudara-saudara kalian, sedang kalian mencampakkan aib-aib kalian sendiri.
Kesembilan, kalian memakan nikmat-nikmat Rabb kalian, tapi kalian tidak menunaikan kesyukuran kepada-Nya.

Kesepuluh, kalian telah mengubur orang-orang mati kalian, tapi kalian tidak mengambil pelajaran darinya.”

[Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilayatul Auliyâ` 8/15-16. Disebutkan juga oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jâmi Bayân Al-‘Ilm no. 1220, Asy-Syâthiby dalam Al-I’tishâm 1/149 (Tahqîq Masyhûr Hasan), dan Al-Absyîhy dalam Al-Mustathraf 2/329.]
http://www.tabayyunnews.com/2016/02/hati-telah-mati-pada-sepuluh-perkara/


Kisah Nyata Dokter Berdialog dengan Pasien Sakaratul Maut


Setiap orang pasti mengalami yang namanya kematian.
Sebelum kematian itu datang, seseorang akan menghadapi yang namanya sakaratul maut, detik-detik menegangkan dan menyakitkan sebelum seseorang benar-benar meninggal.

Dikutip dari laman Syahida dan dirilis kembali oleh WOW menariknya, seorang dokter bernama Dr Khalid Al-Jubair di Arab Saudi, pernah mengalami pengalaman yang menakutkan, di mana ia pernah berbicara dengan orang yang sedang menghadapi sakaratul maut. 

Dr.Khalid Al- Jubair yang merupakan seorang ahli bedah jatung di Arab Saudi, menceritakan kejadian menakutkan yang dialaminya ketika berbincang dengan pasiennya yang sedang sekarat.

Suatu hari seorang perawat menelepon Dr Khalid bahwa ada pasien yang infusnya tidak berjalan dengan baik pada tangan sebelah kanannya, konsekuensinya harus dipindahkan ke tangan sebelah kirinya. 

Dr Khalid pun menghampiri pasien tersebut, yang sudah dirawat di rumah sakit selama 6 bulan.

Pada 5 bulan pertama ia masih berbincang-bincang dengan Dr Khalid, dan pada bulan keenam, pasien itu pingsan secara total dan tidak bisa bergerak sedikitpun.

Maka didatangilah pasien tersebut oleh Dr Khalid, dia mengecek tangan sebelah kirinya untuk mencari urat untuk dimasukkan infus.

Tiba-tiba dia dikagetkan ketika pasien yang tak sadarkan diri itu berbicara dengannya.

"Dr.Khalid apa yang akan kamu lakukan? Apakah kamu Dr.Khalid?" ujar pasien itu.

"Ya betul saya Dr.Khalid." jawab Dr Khalid.
"Apa yang akan kamu lakukan?" tegas pasien tersebut. 

"Saya akan mencari urat tangan kiri Anda untuk memasukkan infus," jawab sang dokter.

Lalu pasien itu berkata, "Tidak! Kamu tidak akan menemukan urat tersebut karena saya sudah menjadi mayat."

"Tidak kamu bukan mayat," tegas Dr. Khalid.
Kemudian pasien itu berkata, "Wahai dokter! Saya sudah menjadi mayat."

"Tidak! Kamu bukan mayat," Dr Khalid menjawab dengan tegas.
"Wahai dokter saya sudah menjadi mayat, saya mellihat apa yang tidak kamu lihat. Sungguh saya melihat malaikat maut berada di depan saya sekarang," ujar pasien tersebut.

Tangan pasien itu masih berada di genggaman Dr Khalid, dan kemudian dia teringat dengan salah satu hadist yang shohih dari Al-Barro' bin adzib radhiyallahu'anhu, di mana Rasulullah SAW bersabda, " Apabila salah seorang dari kalian menghadap akhirat dan meninggalkan dunia (sakaratull maut) dan ia tergolong orang sholeh maka ia akan melihat (sejauh mata memandang), para malaikat yang putih wajahnya. Mereka adalah para malaikat ramah dan ia akan melihat kedudukanya di surga." 

Selama lebih dari 30 tahun pengabdiannya di rumah sakit, Dr Khalid pernah mengalami kejadian serupa, di mana ia melihat tiga orang yang menghadapi sakaratul maut, sebelum mereka meninggal.

"Wahai dokter janganlah kamu buat cape dirimu, sungguh aku telah melihat kedudukanku di surga dan para bidadari telah disiapkan untukku," ujar salah satu pasien pertama yang sekarat.

"Bahwa sesunguhnya saya telah mencium aroma surga sekarang," kata pasien sekarat kedua.

"Sungguh saya melihat surga sekarang," ujar pasien ketiga yang sekarat.

Dalam ilmu medis, orang yang sedang menghadapi sakaratul maut tidak akan bisa berbicara ataupun bergerak. 

Tapi, pengalaman yang diceritakan Dr Khalid benar-benar sangat mengejutkan, di mana ia mampu berbicara dengan orang yang sekarat dan mengetahui apa yang sedang dihadapi seseorang yang diambang kematian.

Ibnu Abi Ad-Dunya rahimahullah meriwayatkan dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Kematian adalah kengerian yang paling dahsyat di dunia dan akhirat bagi orang yang beriman. Kematian lebih menyakitkan dari goresan gergaji, sayatan gunting, panasnya air mendidih di bejana.
Seandainya ada mayat yang dibangkitkan dan menceritakan kepada penduduk dunia tentang sakitnya kematian, niscaya penghuni dunia tidak akan nyaman dengan hidupnya dan tidak nyenyak dalam tidurnya."

Semoga kisah ini mengingatkan kita bahwa sebagai manusia, suatu saat nanti kita pasti mengalami yang namanya kematian. Oleh karena itu, sebelum kematian itu tiba dan semua pintu amal tertutup, mari kita tingkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT. 
Sumber: Syahida, WOW Menariknya.

Perkataan Orang-orang yang Menghadapi Kematian

Hasil gambar

SETIAP yang bernyawa pasti akan binasa. Itu janji Allah Swt. Kematian merupakan sesuatu yang niscaya sekaligus misteri. Niscaya karena ia akan datang dan menimpa semua orang. Misteri karena tak ada seorang pun yang tahu kapan Ijrail akan mencabut nyawa. Namun, sejarah mencatat bahwa banyak orang saleh yang sadar saat kematian mendekati dirinya. Perkataan-perkataan yang mereka lontarkan pun seakan-akan sudah siap menghadapi Ijrail, Sang Pencabut Nyawa.
Ketika Mu’awiyyah bin Abi Sufyan menghadapi kematian, ia berkata, “Dudukkanlah aku.” Maka, orang-orang di sekelilingnya pun mendudukkannya. Ia mulai mengingat Allah dan bertasbih kepada-Nya. Ia kemudian menangis. Lalu, ia berkata (kepada dirinya sendiri), “Engkau mengingat Tuhanmu, wahai Mu’awiyyah, setelah tua renta dan lanjut usia, sedangkan masa mudamu penuh dengan kesenangan.”
Mu’awiyyah terus menangis dan bertambah keras tangisannya. Lalu, ia berkata, “Wahai Tuhanku, kasihanilah orang tua durhaka ini yang memiliki hati yang keras. Ya Allah, kurangilah kesalahannya, ampunilah ketergelincirannya, dan masukkanlah dengan kemurahan-Mu ke dalam kelompok orang-orang yang tidak mengharap selain-Mu dan tidak meyakini siapa pun selain-Mu.
Ketika Mu’adz bin Jabbal menjelang wafat, ia berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku takut kepada-Mu. Hari ini aku berharap kepada-Mu, ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak pernah mencintai dunia dan lama tinggal di dalamnya karena sungai-sungai mengalir dan pohon-pohon tumbuh. Namun, waktu-waktu siangnya panas menyengat saat-saat menyesakkan dan berkumpul dengan para ulama.”
Itulah perkataan dari dua orang saleh pada saat akan menjemput maut. Sungguh banyak keterangan yang menuliskan betapa peristiwa kematian merupakan peristiwa yang paling menakutkan dan menyakitkan. Namun, kadar keimanan yang akan membuat semuanya berbeda.
Seseorang dengan kadar keimanan yang tinggi tentunya akan menyambut maut dengan senyuman. Adapun orang yang kadar keimanannya rendah tentu saja akan dicekam ketakutan. Pilihannya adalah apakah kita akan memilih untuk menjadi orang yang tersenyum saat menghadapi kematian ataukah sebaliknya? Wallahu’alam. [firmansyah/islampos]
Sumber: Mutiara Ihya Ulumuddin

Pentingnya Mengingat Kematian

SESUNGGUHNYA kematian adalah haq, pasti terjadi, tidak dapat disangkal lagi. Allah SWT berfirman, artinya, “Dan datanglah sakaratul maut yang sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari dari padanya.” (QS. Qaaf:19)
Siapakah di antara kita yang meragukan kematian dan sakaratul maut? Apakah ada orang yang meragukan kubur dan azabnya? Siapakah yang mampu menunda kematiannya dari waktu yang telah ditentukan?
Mengapa manusia sombong padahal kelak akan dimakan ulat? Mengapa manusia melampaui batas padahal di dalam tanah kelak akan terbujur? Mengapa menunda-nunda, padahalkita  mengetahui kematian akan datang secara tiba-tiba?
Hakikat Kematian
Adalah salah bila ada orang yang menyangka bahawa kematian itu hanya kefanaan semata dan pengakhiran secara total yang tidak ada kehidupan, perhitungan, hari dikumpulkan, kebangkitan, syurga atau neraka padanya!! Sebab andaikata demikian, tentulah tidak ada hikmah dari penciptaan dan wujud kita. Tentulah manusia semua sama saja setelah kematian dan dapat beristirahat lega; fulan mukmin dan kafir, fulan  pembunuh dan terbunuh, fulan si penzalim dan yang dizalimi, fulan yang taat dan maksiat, fulan  penzina dan yang rajin solat, fulan  ahli maksiat dan ahli takwa.
Pandangan tersebut hanyalah bersumber dari pemahaman kaum atheis yang mereka itu lebih buruk dari binatang sekali pun. Yang mengatakan seperti ini hanyalah orang yang telah tidak punya rasa malu dan menggelarkan dirinya sebagai orang yang bodoh dan ‘gila.’ (Baca: QS. At-Taghabun:7, QS. Yaasiin: 78-79)
Kematian adalah terputusnya hubungan ruh dengan badan, kemudian ruh berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dan seluruh lembaran amal ditutup, pintu taubat dan pemberian masa pun terputus.
Nabi s.a.w. bersabda, “Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama belum sekarat.” (HR. At-Turmuzi dan Ibn Majah, disahihkan Al-Hakim dan Ibn Hibban)
Kematian Merupakan Musibah Paling Besar!!
Kematian merupakan musibah paling besar, kerana itu Allah s.w.t. menamakannya dengan ‘musibah maut’ (Al-Maidah:106). Bila seorang hamba ahli taat didatangi maut, ia menyesal mengapa tidak menambah amalan solehnya, sedangkan bila seorang hamba ahli maksiat didatangi maut, ia menyesali atas perbuatan melampaui batas yang dilakukannya dan berkeinginan dapat dikembalikan ke dunia lagi, sehingga dapat bertaubat kepada Allah s.w.t. dan mula melakukan amal soleh. Namun! Itu semua adalah mustahil dan tidak akan terjadi!! (Baca: QS. Fushshilat: 24, QS. Al-Mu’minun: 99-100)
Ingatlah Penghancur Segala Kenikmatan!!
Nabi s.a.w. menganjurkan agar banyak mengingat kematian. Beliau bersabda, “Perbanyaklah mengingat penghancur kenikmatan (maut),” (HR. At-Tirmidzi, hasan menurutnya).
Imam Al-Qurthubi r.a. berkata, “Para ulama kita mengatakan, ucapan beliau, “Perbanyaklah mengingat penghancur kenikmatan”, merupakan ucapan ringkas tapi padat, menghimpun makna peringatan dan amat mendalam penyampaian nasihatnya. Sebab, orang yang benar-benar mengingat kematian, pasti akan mengurangi kenikmatan yang dirasakannya saat itu, mencegahnya untuk bercita-cita mendapatkannya di masa yang akan datang serta membuatnya menghindar dari mengangankannya, sekalipun hal itu masih mampu dicapainya.
Namun jiwa yang beku dan hati yang lalai selalu memerlukan nasihat yang lebih lama dari para penyuluh dan untaian kata-kata yang meluluhkan sebab bila tidak, sebenarnya ucapan beliau tersebut dan firman Allah s.w.t. dalam surat Ali ‘Imran ayat 185, (artinya, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati) sudah cukup bagi pendengar dan pemerhati-nya.!!”
Siapa Orang Yang Paling Cerdik?
Ibnu Umar r.a pernah berkata, “Aku pernah mengadap Rasulullah s.a.w sebagai orang ke sepuluh yang datang, lalu salah seorang dari kaum Anshor berdiri seraya berkata, “Wahai Nabi Allah, siapakah manusia yang paling cerdik dan paling tegas?” Beliau menjawab, “(adalah) Mereka yang paling banyak mengingat kematian dan paling siap menghadapinya. Mereka itulah manusia-manusia cerdas; mereka pergi (mati) dengan harga diri dunia dan kemuliaan akhirat.” (HR. Ath-Thabrani, disahihkan al-Munziri)
Manfaat Mengingat Kematian
Di antara faedah mengingat kematian adalah:
–Mendorong diri untuk bersiap-siap menghadapi kematian sebelum datangnya.
–Memendekkan angan-angan untuk lama tinggal di dunia yang fana ini, kerana panjang angan-angan merupakan sebab paling besar lahirnya kelalaian.
–Menjauhkan diri dari cinta dunia dan redha dengan yang sedikit.
–Menguatkan keinginan pada akhirat dan mengajak untuk berbuat ta’at.
–Meringankan seorang hamba dalam menghadapi ujian dunia.
–Mencegah kerakusan dan ketamakan terhadap nikmat duniawi.
–Mendorong untuk bertaubat dan muhasabah kesalahan masa lalu.
–Melembutkan hati, membuat mata menangis, memberi semangat untuk mendalami agama dan menghapuskan keinginan hawa nafsu.
–Mengajak bersikap rendah hati (tawadhu’), tidak sombong, dan berlaku zalim.
–Mendorong sikap toleransi, mema’afkan teman dan menerima kesalahan dan kelemahan orang lain.
Perkataan Orang-Orang Arif
Al-Qurthubi r.a berkata, “Umat sepakat bahwa kematian tidak memiliki usia tertentu, masa tertentu dan penyakit tertentu. Hal ini dimaksudkan agar seseorang senantiasa waspada dan bersiap-siap menghadapinya.”
Yazid Ar-Raqqasyi r.a. berkata kepada dirinya, “Celakalah engkau wahai Yazid! Siapa orang yang akan menggantikan solatmu setelah mati? Siapa yang berpuasa untukmu setelah mati? Siapa yang memohon keredhaan Allah untukmu setelah mati? Wahai manusia! Tidakkah kamu menangis dan meratapi diri sendiri dalam sisa hidup kamu? Siapa yang dicari maut, kuburan jadi rumahnya, tanah jadi katilnya dan ulat jadi teman rapatnya, lalu setelah itu ia akan menunggu lagi hari kecemasan yang paling besar; bagaimana keadaan orang yang seperti ini nanti.?” Beliau pun kemudian menangis.
Ad-Daqqaq r.a. berkata, “Siapa yang banyak mengingat kematian, maka ia akan dimuliakan dengan tiga perkara: Segera bertaubat; Mendapatkan kepuasan hati; dan bersemangat dalam beribadah. Dan siapa yang lupa akan kematian, maka ia akan disiksa dengan tiga perkara: Menunda untuk bertaubat; Tidak merasa cukup dengan yang ada dan malas beribadah.”
Al-Hasan Al-Bashri r.a. berkata, “Sesungguhnya kematian ini telah
menghancurkan kenikmatan yang dirasakan para penikmatnya. Kerana itu, carilah kehidupan yang tidak ada kematian di dalamnya.”
Faktor-Faktor Pendorong Mengingat Kematian
1.Ziarah kubur. Nabi s.a.w. bersabda, “Berziarah kuburlah kamu, sebab ia dapat mengingatkanmu akan akhirat.” (HR. Ahmad dan Abu Daud, disahihkan Syaikh Al-Albani)
2.Melihat mayat ketika dimandikan.
3.Menyaksikan orang-orang yang tengah sekarat dan menalqinkan mereka dengan kalimat syahadat.
4.Mengiringi jenazah, solat ke atasnya serta menghadiri pengkebumiannya.
5.Membaca Al-Qur’an, terutama ayat-ayat yang mengingatkan akan kematian dan sakratul maut seperti ayat 19 surat Qaaf.
6.Uban dan Penyakit. Kedua hal ini merupakan utusan malaikat maut kepada para hamba.
7.Fenomena alam yang dijadikan Allah s.a.w. untuk mengingatkan para hamba akan kematian seperti gempa, gunung meletus, banjir, badai dan sebagainya.
8.Membaca berita-berita tentang umat-umat masa lalu yang telah dibinasakan oleh maut.
Semoga Allah s.w.t. menutup akhir hayat kita dengan Husnul Khatimah dan menerima semua amal shalih kita, Amin. [abusyakirin]

Sudah Manfaatkah Ilmu Kita?

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
Kita sudah banyak belajar, namun kadang ilmu yang kita pelajari tidak membekas atau tidak manfaat. Bagaimana kita bisa tahu kalau ilmu tersebut bermanfaat?
Beberapa hal berikut bisa sebagai indikasi kalau ilmu yang kita pelajari selama ini bermanfaat.

Pertama:

Ilmu tersebut semakin membuat kita takut pada Allah. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Fathir: 28)
Ibnul Qayyim menyatakan, “Ayat tersebut menunjukkan dua hal: (1) yang takut pada Allah hanyalah ulama, (2) tidaklah disebut alim (orang berilmu) kecuali punya rasa takut pada Allah. Yang takut pada Allah hanyalah ulama. Semakin hilang ilmu, semakin hilang rasa takut. Jika rasa takut hilang, maka ilmu pun akan makin redup.” (Syifa’ Al-‘Alil, 2: 949)

Kedua:

Ilmu tersebut mendorong kita untuk semakin semangat melakukan ketaatan dan semakin semangat menjauhi maksiat.
Sebagian ulama salaf berkata, “Siapa yang takut pada Allah, maka dialah ‘alim, seorang yang berilmu. Siapa yang bermaksiat pada Allah, dialah jahil (orang yang jauh dari ilmu).”

Ketiga:

Ilmu yang manfaat akan mengantarkan pada sifat qana’ah (selalu merasa cukup) dan zuhud pada dunia.
Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata, “Sesungguhnya orang yang berilmu adalah orang yang zuhud pada dunia dan semangat mencari akhirat. Ia paham akan urusan agamanya dan rutin melakukan ibadah pada Rabbnya.”

Keempat:

Tawadhu’ (rendah hati) dan mudah menerima kebenaran dari siapa pun, lalu ingin menerapkan kebenaran tersebut.

Kelima:

Benci pujian dan enggan menyucikan diri sendiri, juga tidak suka ketenaran. Jika ia disanjung lalu menjadi populer bukan karena keinginan dan pilihannya, ia pun takut dengan rasa takut yang besar, takut akan akibat jeleknya.

Keenam:

Ilmu yang dipelajari tidak jadi kebanggaan dan kesombongan di hadapan lainnya. Ia tahu bahwa para salaf dahulu lebih mulia dan ia pun selalu berprasangka baik padanya.
Wallahu Ta’ala a’lam.        

Sudahkah ilmu kita membuahkan hal-hal di atas sehingga dapat disebut ilmu itu manfaat? Semoga …
Dinukil dari bahasan Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam, 10: 475-476.
اللَّهُمَّ انْفَعْنِى بِمَا عَلَّمْتَنِى وَعَلِّمْنِى مَا يَنْفَعُنِى وَزِدْنِى عِلْمًا
[Allahummanfa’nii bimaa ‘allamtanii wa ‘allimnii maa yanfa’unii, wa zidnii ‘ilmaa]
“Ya Allah, berilah manfaat pada ilmu yang telah Engkau ajarkan padaku, ajarilah aku hal-hal yang bermanfaat untukku, dan tambahkanlah aku ilmu.” (HR. Ibnu Majah, no. 251 dan Tirmidzi, no. 3599, shahih)

Referensi:

Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Marram. Cetakan pertama, tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Fauzan Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
Muhammad Abduh Tuasikal


●●●BERAKHIR PENANTIAN●●●

●Apakah anda yakin setiap saat, dalam hitungan detik kedepan akan/bisa mati , bisa kena strook/lumpuh total/penyakit yang membuat anda antara mati-hidup ?
●Tahukan anda, syaikh Utsaimin menyatakan "setiap musibah yang terjadi pada diri kita, boleh/bisa dinisbatkan karena dosa/kedzaliman yang kita lakukan" dan bisa jadi hal tsb "Istidraj"
●Apakah anda yakin jika meninggal akan dibangkitkan dan dihisab, yang akan berakibat masuk sorga atau neraka ( azab) ? Atau jadi bangke/tulang belulang yang berserakan begitu saja ?
●Apakah anda mengingkari azab kubur ?
Silahkan buka :
Membantah Pengingkar Azab Kubur
https://abunamira.wordpress.com/2015/10/17/membantah-pengingkar-azab-kubur/ 
●Apakah anda " benar-benar" memiliki keyakinan "iman kepada hari akhir ? "
●Apakah dalam diri/pikiran/persepsi anda, ada sebercik kepongahan "berani melawan/menantang Allah SWT ? 
●Apakah dalam diri/pikiran/persepsi ada sebercik kepongahan "Allah SWT tidak mengetahui kedzaliman/dosa yang anda lakukan ?"
●Apakah anda "benar-benar" yakin setiap kedzaliman/kefasikan/perbuatan dosa pasti ada pembalasan/hisabnya di akherat ?
●Apakah ucapan anda berbanding lurus dan sebangun dengan hati dan perbuatan anda ?
●Kalau anda dengan pongah bisa menjawab dengan lancar tanpa plagiat Pertanyaan /statement diatas kenapa anda berani makan uang haram/riba/ryswah/manipulasi/kedzaliman/ ghibah dan lain-lain ?
silahkan buka :
Apa dan Siapa disebut Zalim (ظلم). 
http://lamurkha.blogspot.co.id/search?q=Dzalim&m=1
●Mungkin jawaban anda nanti akan tobat, malu kalau kere tdk dihargai orang, jatuh prestise anda, kurang penghormatan/terpandang......dan lain-lain.....nah...coba lihat pertanyaan paling atas ? ........??????
●Motivasi utama manusia adalah uang, kebiasaan buruknya ghibah/pengumpat/pencela, seperti dijelaskan di Al-Qur'an Surat Al-Humazah ayat 1- 3 ( celakalah bagi pengumpat & pencela, yang mengumpulkan harta & menghitung2nya, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya .......dst )
●Apakah anda tidak khawatir dianggap sebagai orang munafik dengan ancaman yang berat di akherat ?
                                                                                                       ◆◆◆◆◆◆◆◆
●Apa guna/tujuan anda menuntut/perdalam /menghadiri majlas Ilmu ( agama ) ?
●Apakah kedatangan anda ke majelis ilmu hanya sekedar mengisi waktu kesendirian anda dirumah dan kumpul2 karena pertemanan ?
●Apakah hati anda bergetar/nafsul mutmainah/ bara ketaatan anda tergugah/terprovokasi pada saat anda berada di majlas/mendengarkan ceramah ? Kenapa bergantung pada ustadz bukan " Al-Qur'an" ? 
●Apa guna/tujuan anda mempelajari/ perdalam ilmu agama seperti : Tauhid,Fiqih, Sirah Nabawiyah, Muamalat dll ?
●Tujuan utamanya adalah menjadikan diri anda ( keluarga anda ) orang yang taqwa/memiliki Pemahaman Tauhid yang benar, komitmen terhadap Al-Qur'an/Hadits, mempunyai keyakinan terhadap Qadha/Qadar  dan Iman kepada hari Akhir  ?
●Berapa lama hati anda tergugah/ tergerak untuk mengimplementasikan tujuan utama diatas ?
●Apakah ada korelasi ilmu agama yang tinggi dengan komitmen ketaqwaan/ memperbesar peluang keselamatan anda diakherat ? Kenapa hal sedikit yang anda ketahui tidak anda implementasikan, menjauhkan/hindari yang Allah larang walau dalam keadaan terpaksa seperti makan riba, korupsi, kongkalingkong, berbohong, ghibah, melanggar syariat Allah dan sebagainya.
●Indikator  apa yang menunjukan anda "menuai/memetik "buah dari semangat /enduran mempelajari/perdalam ilmu agama ke berbagai ustadz/masjid/melanglang buana ?
●Kemungkinan anda akan menjawab ( syahadat sudah dari kecil/otomatis dari orang tua) Shalat wajib tepat waktu/di Masjid serta khusyu dan mengikuti cara shalat Nabi,  Puasa di bulan ramadhan, zakat dan haji kalau anda mampu.
●Setelah itu ......? Karena anda meyakini adanya pertanyaan  pada point satu diatas, kemungkinan anda akan segera mengimplementasikan Ibadah-ibadah Sunnah : shalat-shalat Sunnah seperti Tahajud(shalat lail)/shalat Dhuha dan lain-lain, Puasa Sunnah  seperti senin-kamis/3 hari pertengahan bulan, puasa arafah dll........ setelah itu ????
●Anda akan menjauhi Ghibah, Riba, Ryswah, makan uang haram dan lain-lain
●Indikator apa lagi ......? Anda merasa diawasi dan selalu berharap ( khauf) keridhaan/rahmat Allah.
●Sekarang timbul pertanyaan/review....kalau anda sudah bertahun-tahun menuntut ilmu keberbagai/kebeberapa ustadz/masjid apakah anda sudah/mampu mengimplementasikan /menerapkan ilmu yang anda dapat/antusias melaksanakan perintah/larangan Allah agar selamat di akherat ?
●Apakah dengan kondisi tubuh/jiwa anda saat ini, ada kekhawatiran antara amalan baik anda seimbang dengan dosa-dosa yang anda lakukan dan terasa makin sulit menjalan perintah Allah secara totalitas, dimana ujung penantian semakin dekat ?
●Wallahu a'lam bissawab
[ red.lamurkha ]