Sunday, April 3, 2016

Zuhud, Bayaran Dalam Dakwah, Dan Upah Khatib Jum’at

Meja Ustadz (oleh ashhabulhadits)

Bayaran dalam dakwah

Dalam Al Quran disebutkan bahwa dalam diri Nabi Muhammad SAW terdapat suri tauladan yang baik. Artinya, jika seseorang ingin mencapai keridoan ALLOH, maka standar tingkah laku dan perbuatan itu adalah dengan mengikuti cara bertingkah laku dan perbuatan beliau SAW. Apa yang di Firmankan ALLOH dalam Al Quran dan apa yang disabdakan Rosululloh melalui hadits haditsnya adalah rujukan manusia dalam menyandarkan hukum berkehidupan. Selain itu maka tidak ada jaminan ridho ALLOH SWT.

Ketika para sahabat mengusulkan kenaikan gaji Umar bin Khotob sebagai khalifah , beliau marah. Bahkan mengancam akan memukul orang yang mengusulkan kenaikan gaji tersebut. Lalu beliau berkata ,” Manusia itu ibarat para musafir. Dan dua orang pendahuluku yaitu Rosululloh dan Abu Bakar telah sampai di tempat tujuannya. Maka apakah aku akan mengambil jalan selain jalan yang telah ditempuh kedua orang pendahuluku ?”

Demikianlah para ulama jaman dulu, begitu teguhnya mereka memegang ajaran ajaran Rosululloh. Sedikitpun mereka tidak mau keluar dari alur kehidupan seperti kehidupan yang dicontohkan Rosululloh.
Tapi sekarang, yang terjadi adalah, para ulama berlomba menetapkan aturan aturan sendiri, yang kadang keluar dari aturan yang telah ditetapkan Nabi. Bahkan dengan berani mereka mengabaikan keterangan keterangan yang ada dalam Al Quran, dengan alasan Zaman telah berubah. Mereka pura pura tidak tahu bahwa Zaman boleh saja berubah, tetapi Al Quran dan Assunah tidak akan pernah berubah walau sampai kiamat.
Salah satu perbuatan Rosululloh yang sudah tidak diikuti oleh kebanyakan para ulama akhir zaman, adalah dakwah dengan menerima bahkan meminta imbalan dari manusia. Bahkan banyak kelompok kelompok agama yang sering dengan mudah membidahkan orang lain, tapi dalam urusan bayaran dalam berdakwah ini, mereka tidak berani membidahkan dirinya sendiri.
Sesungguhnya topik ini sudah lama menjadi pembahasan para ulama. Dan hingga kini belum juga menemui titik temu. Ada kelompok ulama yang berpendapat boleh menerima, meminta bahkan menentukan bayaran dalam berdakwah, ada yang melarangnya. Masing- masing kelompok mendasarkan pada dalil- dalil yang mereka anggap sah dijadikan dasar hukum untuk memperkuat pendapatnya.
Sebetulnya mudah saja kalau para pembahas itu mau jujur dan ikhlas terhadap diri dan keilmuanya, bahwa sesungguhnya Nabi dan para sahabat tidak pernah menerima bayaran atas dakwahnya. Maka, kalau memang para ulama tersebut itu adalah pewaris Nabi, ikuti saja seperti cara Nabi berdakwah.Tetapi ternyata persoalannya tidak sesederhana itu. Karena banyak ulama yang tidak menjadi pewaris Nabi. Selain itu urusan dunia dan kemapanan ikut dilibatkan dalam urusan dakwah ini. Tidak heran jika mereka mendapat bayaran jutaan, bahkan ada yang pasang tarif hingga puluhan juta rupiah.
Bagi mereka yang mendukung pendakwah menerima upah, berpendapat bahwa :
1. Kalau tidak dibayar, dimasa datang tidak ada lagi orang yang mau berdakwah, lalu siapa yang akan menyampaikan ajaran agama?
2. Karena sibuk berdakwah, mereka tidak punya waktu lagi untuk mencari nafkah. Maka bayaran itu dianggap pantas untuk menjadi pengganti waktu mencari nafkah.
3. Berdakwah/ ceramah perlu transportasi, maka bayaran itu dianggap sebagai pengganti transportasi.
4. Ada yang mengibaratkan seperti pergi ke sawah, kalau menemukan belut maka boleh diambil. Artinya boleh menerima asal tidak meminta
5. Ada yang beranggapan bahwa untuk sekolah agama, IAIN misalnya, memerlukan banyak biaya. Jadi sudah sepantasnya dai dibayar.
6. Ada Ustad dari lembaga pendidikan terkenal mengatakan bahwa untuk kepentingan yang lebih besar, tidak apa apa ceramah agama dibayar.
7. Ada pendapat yang mengatakan, ustadz menerima bayaran agar bisa disedekahkan lagi ketempat lain yang membutuhkan.
8. Bahkan ada yang membandingkan dengan artis. Mereka berpendapat artis saja dibayar mahal, masak Dai yang memberi pencerahan dunia dan akhirat dibayar sekedarnya. Ini bagi mereka yang pasang tarif hingga jutaan hingga puluhan juta rupiah.
Dasar yang digunakan kelompok ini adalah sabda Nabi :
إن ﺃ ﺤﻕ ﻤﺎ ﺃ ﺨﺫ ﺘﻡ ﻋﻠﻴﻪ ﺃ ﺠﺭﺍ ﻜﺘﺎ ﺏ ﺍﻠﻠﻪ

Yang ditafsirkan ,” Sesungguhnya yang paling haq/ benar kamu ambil pahala atasnya adalah kitabulloh,” (HR. Bukhari). Kemudian ada riwayat yang menyebutkan bahwa pada zaman Rasululloh, ada seseorang yang menikah dengan mahar mengajarkan Al-Quran kepada istrinya, sesuai hadits,” Aku telah menikahkan kalian dengan mahar hafalan Quranmu”. Disamping itu pada riwayat lain menyebutkan, bahwa pasca perang Badar, Nabi SAW menawarkan kepada kaum musyrikin yang ditawan, boleh menebus pembebasan dirinya dengan cara mengajarkan baca tulis kepada 10 orang kaum muslimin.

Kalau kita telaah, alasan alasan tersebut diatas terlalu bersifat duniawi. Hanya berdasarkan kepentingan diri sendiri. Mereka lupa, bahwa Islam bisa menyebar ke seluruh dunia berawal dari dakwah gratisan. Dakwah yang tidak dibayar. Dakwah yang hanya berdasarkan iman dan keikhlasan. Pada masa itu, belum ada sekolah sekolah Islam yang megah dan mahal-mahal seperti sekarang, yang membuat orang-orang Islam miskin tidak mampu bersekolah. Belum ada multi media dan fasilitas telekomunikasi yang digunakan sebagai sarana oleh para kiai, ustad, dai untuk menyampaikan dakwahnya. Tapi nyatanya Islam tetap menyebar keseluruh dunia dengan massif. Karena sesungguhnya ALLOH lah yang menyebarkannya. ALLOH meridloi penyebar- penyebar Islam dimasa Rasulullah dan para sahabat, yang berjuang tanpa mengharap pamrih. Hasilnya, Masyarakat Islam yang terbentukpun adalah masyarakat Islam yang unggulan, yang fanatik menjalankan Syareat. Bukan masyarakat Islam yang sekuler, yang hanya mengaku Islam tapi tingkah laku dan perbuatan jauh sekali dari nilai-nilai Islam seperti yang terjadi sekarang ini. Yang hanya banyak dalam jumlah, tapi kualitas ke- Islamannya tipis. Ingatlah, Islam tidak perlu banyak. Biarpun sedikit asal kokoh. Banyak contoh, jumlah yang sedikit mengalahkan yang banyak. Syukur kalau Islamnya banyak dan mereka menjalankan syareat Islam dengan sungguh- sungguh, itu lebih disukai ALLOH, dan ALLOH pun membanggakannnya.

Jadi sebetulnya tanpa dibayarpun, dengan seizin ALLOH, akan tetap ada penyebar- penyebar risalah yang bermodal niat yang ikhlas dan tulus. Contoh kecil adalah para murabi yang membimbing umat dalam halaqoh- halaqoh tarbiyah. Mereka tidak dibayar sepeserpun. Majelis- majelis dakwah seperti inilah yang insya ALLOH diridloi-Nya. Bukan majelis- majelis yang seolah olah majelis tolabul ilmu, tetapi yang sesungguhnya adalah sarana untuk mencari imbalan materi. Karena hal ini tidak sesuai dengan yang diperintahkan Al-Quran dan dicontohkan oleh Nabi.
Dan jangan dilupakan, janganlah kita bersikap seolah- olah ALLOH membutuhkan dakwah kita. Itu salah besar. ALLOH sama sekali tidak membutuhkan dakwah kita. Kitalah sesungguhnya yang membutuhkan berdakwah untuk mencapai keridloan ALLOH. Kalaupun tidak ada lagi orang di bumi ini yang mau berdakwah, sehingga Islam tidak lagi ada dimuka bumi, kemuliaan ALLOH tidak akan pernah berkurang sedikitpun. Kemuliaan ALLOH tidak tergantung kepada makhluknya, apalagi bergantung pada manusia. Beriman atau kafirnya seseorang, tidak akan berpengaruh kepada kemuliaan ALLOH. Perhatikan firman QS. 35 (Faathir). 15-16:” Wahai manusia, kamulah yang memerlukan ALLOH, dan Dialah Yang Maha kaya ( tidak memerlukan sesuatu), Maha terpuji. Jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu)”.
Jika para ahli ilmu memang tidak mau berdakwah karena tidak ada bayaran, silahkan saja karena ALLOH tidak rugi apa apa. Kitalah yang rugi karena artinya mengabaikan karunia ALLOH, dan mengabaikan kewajiban, serta menantang azab ALLOH. Jadi kenapa harus khawatir tidak ada lagi yang mau berdakwah, sedangkan rahmat dan hidayah itu urusan Alloh, dan bukan urusan manusia. Jadi, tidak ada yang namanya profesi pendakwah, apalagi sampai membentuk sebuah manajemen dan memakai manajer . Karena dakwah adalah kewajiban setiap muslim dan bukan hak.
Perhatikan hadits berikut. Dari Buridah r.a. Rasululloh bersabda,” Barang siapa membaca Al-Quran, yang dengannya ia memperoleh makanan dari manusia, maka ia akan datang pada hari kiamat dengan wajah hanya berupa tulang tanpa daging,” (HR. Baihaqi, Syu’abul Iman). Jelas sekali bahwa mencari nafkah dengan berdakwah tidak diperbolehkan. Nabi SAW kurang apa dalam berdakwah. Siang dan malam beliau berdakwah. Tetapi untuk nafkah, beliau tetap berdagang. Jadi apakah itu belum cukup untuk dijadikan contoh. Ada yang beralasan, itu kan nabi kita ini hanya manusia biasa. Jangan lupa, nabi juga manusia biasa, dan beliau ada untuk menjadi contoh bagi kita agar mengikutinya.
Mengenai transportasi, itupun tidak bisa dijadikan pembenar. Karena sesungguhnya tidak ada yang mewajibkan kita berdakwah di tempat yang jauh. Justru lingkungan sekitarnyalah yang harus didakwahi, dijaga, dibimbing agar menjadi lingkungan yang Islami. ALLOH mewajibkan kita berdakwah, tidak mewajibkan kita berdakwah di tempat yang jauh. Jika masing- masing dai tersebut berdakwah dilingkungannya sendiri, menjaga dan membimbing umatnya, maka dengan sendirinya seluruh lingkungan dimuka bumi akan terjangkau oleh dakwah Islam. Jadi transportasi tidak diperlukan lagi.
Suatu riwayat dari Imran bin Husain r.a. Rasulullah bersabda,” Barang siapa membaca Al-Quran dan dia menginginkan sesuatu, maka mintalah hanya kepada ALLOH. Karena tidak lama lagi akan datang suatu kaum yang setelah membaca Al-Quran, maka mereka akan meminta minta kepada manusia.” Peringatan Rasululloh ini telah menjadi kenyataan. Ternyata kitalah kaum tersebut. Lalu, apakah kita tidak menjadi takut karenanya ? Jadi, menerima bayaran karena untuk mengembalikan biaya kuliah juga tidak bisa diterima. Kalau mau kaya, kita lebih baik bersekolah di jurusan lain. Misalnya dijurusan ekonomi, tehnik, bisnis dll.
Kalau mau mengambil jurusan agama, seharusnya sudah tahu resikonya. Dia tidak bisa menggantungkan hidup dari menjual ilmu agama. Untuk memenuhi nafkahnya, dia tetap harus ikhtiar seperti yang dicontohkan nabi. Inilah akibat harus membayar mahal dalam mempelajari ilmu agama. Pada akhirnya,lulusannya pun berfikir sama untuk mendapatkan uang dari apa yang dipelajarinya.
Saya punya teman seorang dai. Ia bercerita bahwa ada diantara teman- temannya sesama dai menjadikan dakwah sebagai bisnis. Jika ada seorang dai diundang berceramah, dan kebetulan dai yang di undang tersebut berhalangan, dia akan meminta dai yang lain menggantikannya.Tetapi dai yang diundang pertama ini akan meminta bagian dari honor yang diterima penggantinya. Hal seperti ini adalah sesuatu yang tidak terpuji dan harus dihindari oleh dai lain yang lebih mengerti.
Bahkan Khotib sholat Jumat pun harus menerima bayaran. Padahal Khutbah pada sholat Jumat adalah bagian dari rukun sholat Jumat. Sudah menjadi kewajiban orang Islam untuk melakukannya. Sama seperti kita melakukan rukun ibadah lainnya. Saya ambil contoh, kita tidak dibayar dalam melaksanakan sholat, juga tidak dibayar dalam melaksanakan puasa. Tapi untuk sholat jumat, kenapa harus dibayar dalam melaksanakan salah satu rukunnya.
Maka pantaslah jika para Kiai, Syekh, Ustad dan para dai sekarang banyak yang hidup bermewah- mewahan dan bermegah megahan. Bahkan ada yang punya Rumah mewah, Mobil Jaguar, BMW dll. Walaupun mungkin dia memiliki perusahaan pribadi, tetapi itukah yang dicontohkan Nabi ? Bukankah Nabi SAW pernah bersabda,” Jika kamu mengikuti jalanku, maka bersiap siaplah kamu miskin.” Lebih tegas lagi di firmankan ALLOH dalam QS. At Takaatsur : 1-2 ,” Kamu telah dilalaikan ( dari mengingat ALLOH ) karena bermegah- megah / bermewah- mewah. Hingga kamu masuk ke dalam kubur”. Bukan berarti Islam tidak boleh kaya. Boleh, tetapi sebagaimana halnya Nabi dan para sahabat,kekayaan itu hanya boleh digunakan di jalan ALLOH. Kita hanya boleh mengambil secukupnya, sisanya adalah untuk mencari keridloan ALLOH. Bukan untuk bersenang senang, bermewah mewah dan pamer kekayaan. Seorang pemuka agama adalah panutan umat. Jika panutan umat tidak mencontoh Nabi untuk hidup sederhana, maka siapa lagi yang akan dijadikan panutan. Maka umat pun akan berprilaku lebih konsumtif lagi. Dan budaya hubud dunia akan merajalela dalam masyarakat.
Apakah kita tidak malu dengan pendakwah- pendakwah agama lain. Para pendeta misionaris ordo Jesuit malahan rela memberikan hasil ladang yang dia garap sendiri untuk sesama manusia tanpa mengharap dapat imbalan untuk mengganti sedekahnya. Di Jawa Barat dan Jawa Tengah para pemeluk Kristen berdakwah dengan menawarkan sembako. Kebalikan dengan pendakwah- pendakwah Islam yang justru menerima bayaran, bahkan hanya untuk berkhutbah pada sholat jumat.
Dalam suatu tayangan media elektronik seorang pendeta bule mengatakan ,”Spirit tanpa bekerja adalah percuma.” Ini sesuai dengan kisah Nabi mencium tangan Muadz bin Saad ketika melihat tangan Muadz yang kasar akibat selalu bekerja keras. Dan Rosululloh mengatakan,” Inilah tangan yang disukai ALLOH.” Satu pertanyaan : Apakah dakwah adalah pekerjaan ? Tentu bukan. Dan sekali lagi saya tegaskan, bahwa dakwah adalah kewajiban setiap manusia yang mengaku dirinya Muslim. Dan bukan hak.
Saya sangat menyayangkan pernyataan ustadz pada no. 6 diatas. Yang mengatakan boleh menerima bayaran untuk kepentingan yang lebih besar. Sang Ustad mengatakan ini tanpa dalil sama sekali. Padahal kebenaran itu adalah kebenaran menurut ALLOH dan Rasulnya. Bukan pendapat pribadi. Karena pendapat pribadi sangat mungkin dipengaruhi hawa nafsu.
Sekarang pertanyaannya adalah, untuk kepentingan siapa ? apakah untuk kepentingan ustad itu sendiri yang telah terbiasa dan menikmati bayaran dari Al Quran dan hadits yang dia sampaikan kepada orang lain ? Ataukah kepentingan siapa ? Sekali lagi janganlah kita merasa lebih tahu, seolah olah kalau tidak dibayar, tidak akan ada yang mau dakwah, dan dakwah hanya akan jalan, jika ada bayaran. Ini anggapan yang salah. Karena Nabi SAW telah menjamin bahwa meski tidak dibayar, akan selalu ada orang yang berdakwah sesuai tuntunan Nabi, sesuai dengan sabda Rosululloh,”Dan akan tetap ada dari umatku segolongan yang tegak membela kebenaran (al-haq) dan mendapatkan pertolongan (dari ALLOH), mereka tak tergoyahkan oleh orang orang yang menyelisihi dan menghinakan mereka, sampai datang keputusan ALLOH yaitu kematian seluruh orang mukmin menjelang kiamat dengan datangnya angin yang mematikan seluruh orang mukmin.”(HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah). Dan jika apa yang dikatakan ustad tersebut memang benar bahwa ceramah agama untuk kepentingan yang lebih besar dengan mengajarkan Al Quran boleh dibayar, kenapa Rosululloh tidak pernah mengatakan hal ini ?
Sahabat Nabi, Ubay bin Kaab pernah diperingatkan Rasululloh. Pada suatu ketika aku mengajarkan Al-Quran kepada seseorang. Lalu ia menghadiahkan padaku sebuah busur panah. Ketika hal itu aku sampaikan kepada Nabi SAW, maka beliau bersabda,” Engkau telah mengambil satu busur dari neraka.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah) MasyaALLOH, menerima saja tidak boleh, apalagi meminta.
Hal serupa juga terjadi pada Ubadah bin Shamit. Ia meriwayatkan jawaban Rasululloh SAW kepadanya ,” Engkau telah mengalungkan api neraka diantara kedua pundakmu.” Dalam riwayat lain disebutkan ,” Jika kamu mau mengalungkan kalung api neraka dilehermu, maka ambilah pemberian itu.” Ini adalah peringatan yang sangat jelas dari Rasolulloh SAW bagi para kiai, ustad dan dai agar amanah dalam menjalankan tugasnya berdakwah. Bahwa menerima imbalan saja tidak diperbolehkan, apalagi meminta.

ALLOH SWT pun telah menggariskan dalam firman-Nya :

1. “ Katakanlah : Aku tidak meminta upah sedikitpun atas dakwahku.”(QS.Shaad: 86).

2. “ Hai kaumku, Aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini. Upahku tidak lain hanyalah dari ALLOH yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kamu memikirkan ?” (QS.Huud: 51)
3. “ Katakanlah: Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan orang- orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya.” (QS.Al-Furqaan: 57)
4. “ Dan engkau tidak meminta imbalan apapun kepada mereka (terhadap seruan ini), sebab (seruanmu) itu adalah pengajaran bagi seluruh alam.” (QS. Yusuf:104)
Bisa kita lihat, adakah celah dalam firman ini yang memungkinkan para pendakwah menerima imbalan dari manusia ? Kecuali alasan yang dicari cari untuk kepentingannya sendiri ?
Jumhur Ulama juga berpendapat:” Jika seseorang mencari keuntungan dunia melalui agama, maka ia seperti orang yang membersihkan sandalnya dengan pipinya.” Dengan kata lain ia adalah orang yang bodoh, karena menukar akhirat dengan dunia yang sangat sedikit. Jadi, silahkan memikirkannya.
Dasar yang digunakan para kelompok penerima bayaran yaitu:

إن ﺃ ﺤﻕ ﻤﺎ ﺃ ﺨﺫ ﺘﻡ ﻋﻠﻴﻪ ﺃ ﺠﺭﺍ ﻜﺘﺎ ﺏ ﺍﻠﻠﻪ
 (INNA AHAQQO MAA AKHODTUM ‘ALAIHI AJRON KITAABULLAH)

“Sesungguhnya Yang paling berhak ( paling benar ) kamu ambil pahalanya adalah Kitabulloh”, mengandung arti bahwa Al Quran adalah sumber pahala yang tidak akan pernah habis, maka ambilah sebanyak mungkin. Ada juga yang menerjemahkan,” Sesungguhnya upah yang paling benar kalian terima adalah kitabulloh”. Kalau kita fahami, dalil tersebut juga tidak menyebutkan imbalan berupa uang atau materi. Malah bisa difahami, upah yang dimaksud adalah upah untuk manusia sebagai khalifah yang ditugaskan ALLOH untuk mengatur bumi, diberi upah oleh ALLOH berupa Al-Quran yang notabene adalah cahaya, petunjuk dan pedoman bagi manusia untuk mencapai imbalan yang sebenarnya diakhirat kelak yakni kenikmatan surga yang abadi. Tapi lucunya hadits ini ditafsirkan oleh para penyuka honor menjadi ,” Sesungguhnya (pekerjaan) yang paling benar kamu ambil bayarannya adalah (mengajarkan) kitabulloh.” Padahal, tanpa ditafsirkan pun hadits ini telah jelas artinya.

Kemudian hadits,”Aku telah menikahkan kalian dengan mahar hafalan Quranmu”, juga tidak menyebutkan bahwa mahar hafalan Quran adalah sebagai pengganti uang atau materi. Justru bisa diartikan bahwa dalam keadaan terpaksa, mahar pernikahan boleh berupa sesuatu yang bukan uang atau materi. Mengingat hadits ini muncul disebabkan karena Laki- laki yang akan menikah pada waktu itu tidak memiliki apa- apa, kecuali hanya sarung dan baju yang dikenakan.
Dan riwayat lain yang menyebutkan bahwa Nabi membolehkan kaum musyrikin yang ditawan untuk menebus pembebasan dirinya dengan mengajarkan baca tulis, justru tidak bisa dijadikan dasar. Karena sudah jelas, kaum musyrikin tersebut tidak mengajarkan Al-Quran atau ilmu agama, tapi sebatas mengajarkan membaca dan menulis.
Jadi dalil- dalil yang dijadikan pijakan oleh kelompok yang membolehkan penceramah agama meminta dan/ atau menerima bayaran, sangat lemah dibandingkan dalil- dalil yang melarangnya. Bahkan mereka cenderung mengabaikan keterangan yang terdapat pada ayat- ayat Quran seperti telah disebutkan diatas. Bukankah kita lebih baik mengambil pijakan yang kuat daripada yang lemah, sehingga tidak ada keraguan untuk bersikap dan melakukan tindakan.
Terlebih lagi Nabi SAW sangat menyesalkan para ulama yang memperdagangkan ayat- ayat ALLOH ini. Karena umat yang mendukung dan mengikuti para ulama seperti ini akan ikut celaka karenanya. Sebagaimana sabda Nabi ,” Kecelakaan bagi umatku dari (perbuatan) ulama yang jelek. Mereka memperdagangkan ilmu ini, mereka menjualnya kepada penguasa dimasa mereka, dengan maksud untuk keuntungan diri sendiri. Semoga ALLOH tidak memberi keuntungan pada perdagangan mereka itu.” (HR. Hakim). Juga ada hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Thabrani, Baihaqi dari Abdurrahman bin sybl, Nabi bersabda,” Bacalah Al-Quran, amalkanlah. Dan janganlah engkau kekeringan darinya, jangan terlalaikan darinya, janganlah makan dengannya dan jangan memperbanyak harta dengannya.” (Fiqhus Sunnah)
Sesungguhnya dakwah,ceramah, tausiah adalah salah satu bentuk lain dari shodaqoh. Jika orang yang bershodaqoh kemudian menerima bayaran atas shodaqohnya, apakah masih bisa disebut shodaqoh. Bukankah itu artinya mengambil kembali apa yang telah ia shodaqohkan ?
Wallahualam Bisawab. Demikian penulis yang bodoh ini berusaha mengingatkan, khususnya untuk diri penulis sendiri, umumnya bagi yang membaca tulisan ini. Kalau mau melaksanakan silahkan, tidak melaksanakan juga tidak apa- apa. Semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Amin

Kesimpulan yang bisa diambil adalah :

1. Bahwa Sekolah sekolah Islam yang megah dan mahal adalah sesungguhnya bukan sarana penyebar dakwah. Tetapi lebih kepada mencari keuntungan dengan dalih agama. Sekolah seperti inilah justru yang menghambat penyebaran dakwah Islam. Karena orang- orang Islam yang miskin tidak akan pernah mampu bersekolah ditempat tersebut. Sedangkan orang miskin itu jumlahnya jauh lebih banyak daripada orang kaya. Mungkin ada disediakan beasiswa bagi mereka yang miskin, tapi tentunya hanya sedikit, sekedar tidak disebut sekolah Islam khusus orang kaya.

2. Bahwa ALLOH dan Rasulnya melarang orang yang mengajarkan Al-Quran untuk menerima bayaran. Apalagi kalau sampai memintanya.
3. Dakwah yang diridloi ALLOH, yaitu dakwah seperti dicontohkan Nabi dan para sahabat, yang hanya didasari iman dan ikhlas semata tanpa melibatkan imbalan dari manusia, akan menghasilkan kader- kader yang militan dalam menjalankan syareat Islam, Teguh dalam pendirian dan ikhlas pula dalam menjalankan ilmu yang didapat. Mereka tidak akan mempertanyakan Al-Quran dan hadist masih sesuai dengan perkembangan zaman atau tidak. Mereka tidak akan meragukannya.
Sedangkan dakwah yang melibatkan bayaran didalamnya, hasilnya sudah bisa kita lihat sekarang. Islam yang hanya banyak dalam jumlah. Tapi mental Islamnya kerdil. Islam yang masih korupsi, suka bermegah- megah, dan tidak bisa membedakan lagi mana yang maksiat dan mana yang bukan. Pemimpin- pemimpin tidak sungguh- sungguh memikirkan rakyat dll. Apa yang bisa diharapkan dari dakwah seperti ini dan menghasilkan generasi seperti ini ?
4. Meski para Nabi dan sahabat berdakwah siang dan malam, tapi untuk nafkah mereka tetap bekerja dan tidak menjadikan dakwah sebagai alasan untuk tidak bekerja. Contohnya, Nabi Muhammad SAW menjadi pedagang, Nabi Isa dan Nabi Nuh menjadi tukang kayu, Nabi Daud menjadi pandai besi, Nabi Idris menjadi penjahit, Nabi Saleh menjadi pedagang, bahkan Nabi Sulaiman, manusia paling kaya di seluruh dunia, untuk nafkah beliau menganyam karung dan tikar. Kekayaan dan kekuasaannya digunakan hanya sebagai senjata dalam berdakwah semata. Tidak untuk bermegah- megah dan memamerkan kemegahannya.
5. Untuk kita sebagai umat Islam, berhati hatilah ketika mencari guru atau memanggil ulama untuk pengajian. Karena ulama yang memperdagangkan ilmu agama, akan turut mencelakakan umat yang mengikutinya.
6. Kisah nyata orang yang berdakwah tanpa bayaran. Adalah Almarhum KH. Muhamad Muslim, mantan kepala pengadilan agama di tangerang, sudah meninggal 26 tahun yang lalu. Pada tanggal 7 Agustus 2009, kuburannya digali karena terkena proyek pelebaran jalan. Dan Subhanalloh, ternyata jasadnya masih utuh dan masih lemas, seperti orang yang baru meninggal. Tidak membusuk apalagi bau. Ketika ditanyakan kepada orang- orang dekatnya mengenai amalannya semasa beliau masih hidup, dijawab bahwa beliau semasa masih hidup adalah penceramah agama yang tidak pernah mau menerima bayaran. Meski mungkin amalannya yang lain juga banyak, tapi paling tidak, itulah yang diinformasikan oleh ALLOH melalui orang- orang dekatnya.
Jadi masih kurangkah bukti bahwa sesungguhnya mengajarkan Al-Quran khususnya melalui ceramah, apalagi berkhutbah pada sholat Jumat, tidak pantas menerima bayaran ? Hanya Qolbu yang bisa menjawab.

Keterangan :

Tulisan ini tidak mencakup mengenai guru yang mengajar di sekolah atau madrasah, imam mesjid dan muadzin yang ditugaskan dan digaji oleh Negara atau baitulmal, Juga pengobatan yang menggunakan ayat Al Quran dalam metodenya. Mengenai hal ini Insya ALLOH akan dibahas pada kesempatan lain


Terkait kedudukan hadits-hadits tersebut bisa dibuka di ( paling bawah ) :
Hukum Mengambil Upah Dari Pengajaran Qur’an dan Pembacaan Ruqyah ( Hukmul Ju’l Wal Ujroh‘Ala Ta’limiddin War Ruqyah )
Ditulis dan Diterjemahkan Oleh Al Faqir Ilalloh:
Abu Fairuz Abdurrahman bin Soekojo Al Indonesiy Al Jawiy وفقه الله


Sudah bukan hal aneh saat ini jika seorang guru ngaji, atau ustadz mendapatkan rejeki dengan cara berdakwah atau sebagai guru ngaji dilingkungan sekitarnya. Dan banyak pula para dai yang menyandarkan hidupnya dengan cara berdakwah semata, namun tentu masih banyak para dai lainnya yang berbisnis dan berdagang, sebagai penopang untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Bahkan tak heran jika ada sebagian dari umat islam saat ini yang bertanya-tanya:

"Wah pak ustadz dapet amplop!", atau
"Ngaji al Quran digaji hukumnya gimana ya?" atau mungkin 
"Ceramah kok dibayar?"

Lalu bagaimana Hukumnya menerima atau mengambil upah atau gaji dari pekerjaan tersebut?

Menerima atau mengambil upah karena mengajar Al-Qur`an atau dakwah, merupakan masalah yang diperselisihkan oleh para ulama.

Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat boleh menerima upah atau mengambil upah karena mengajarkan Al-Qur`an atau dakwah.

Sebagian Ulama yang lain berpendapat tidak boleh. Yang berpendapat seperti ini, yaitu: Imam Az Zuhri, Abu Hanifah dan Ishaq bin Rahawaih. Yang berpendapat boleh, mereka mengambil dalil hadits di atas yang diriwayatkan Imam Bukhari dari sahabat Ibnu Abbas, juga beberapa hadits yang lain, seperti Nabi menikahkan seorang sahabat dengan hafalan Qur’annya, dan ini haditsnya shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari sahabat Sahl bin Sa’ad.

Pendapat yang rajih (kuat) dari dua pendapat ulama ini, yaitu tentang bolehnya mengambil upah dari mengajarkan Al-Qur`an dan berdakwah.

Tetapi yang perlu diingat, bahwa setiap orang yang menuntut ilmu, kemudian mengajarkan Al-Qur`an ataupun berdakwah, makadia harus melakukannya semata-mata ikhlas karena Allah dan mengharapkan ganjaran dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Tidak boleh ia mengharapkan sesuatu dari manusia baik berbentuk harta maupun yang lainnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ,لاَيَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَالَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

"Barangsiapa menuntut ilmu, yang seharusnya ia tuntut semata-mata mencari wajah Allah ‘Azza wa Jalla, namun ternyata ia menuntutnya semata-mata mencari keuntungan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan aroma wanginya surga pada hari kiamat".
[Hadits shahih riwayat Abu Dawud, 3664; Ahmad, II/338; Ibnu Majah, 252; dan Hakim, I/85 dari sahabat Abu Hurairah. Hadits ini dishahihkan oleh Imam Hakim dan disetujui oleh Imam Adz Dzahabi].

Komentar saya; ngajarnya gratis, bensin, transport dan menyisihkan waktu sampai meninggalkan keluarga, itu yang seharusnya diberikan penghargaan yang pantas.

Titip motor tidak tambah pinter saja bayar Rp. 1000,- meskipun cuma sepuluh menit. Lantas kenapa anaknya dititip ke orang, plus tambah pinter mesti cari yang gratis?

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ اَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ
"Sesungguhnya perkara yang paling berhak kalian ambil upahnya adalah kitabullah".

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dalam "Bab Upah Dalam Mengajarkan Al-Qur'an", Imam Al-Hakim dalam bab "Ijarah (Upah)", Imam Ibnu Hibban dalam "Bab Bolehnya Mengambil Upah Dalam Mengajar Al-Qur'an", Imam Baihaqi dalam "Bab Rizki Muadzin". Wallohu a'lam. [Ahmed Widad dari voaislam]

Bahasan terkait "Bayaran Ustadz dalam Dakwah, Pengajaran Al-Quran (hadits), Ilmu-ilmu Keislaman DAN Bayaran Khatib Shalat Jum'at dan Mengimami Shalat2 Khusus.

By Abu Husein  Al-Qadisiyah

●Tiada Iman tanpa Zuhud dan Wara'.
●Tanpa zuhud seorang pejuang tidak akan sabar dan istiqomah dengan pedihnya derita Perjuangan..!.
●Cinta seseorang kepada akhirat tidak akan sempurna kecuali bersikap zuhud terhadap dunia. Sedangkan zuhud terhadap dunia tidak akan terealisasi melainkan setelah ia memandang (dua hal ) : Dunia sebagai sesuatu yang mudah hilang, mudah lenyap, musnah DAN Memandang akhirat sebagai sesuatu yang pasti datang.
●Macam-macam  Zuhud menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (Fawaidul Fawaid, Tahqiq; Syaikh 'Ali Hasan Al-Halabi hal.406) :
●Zuhud adalah sederhana dan meninggakan hal-hal yang tidak bermanfaat untuk akherat.
●Pembagian zuhud :
1. Zuhud terhadap yang haram (Hukumnya fardhu ‘ain).
2. Zuhud terhadap perkara yang syubhat (samar); hukumnya berdasarkan tingkat kesamarannya: "wajib ditinggalkan jika tingkatan syubhatnya kuat", tapi mustahah (sunnah) ditinggalkan jika tingkat kesamarannya lemah.
3. .........dst

Topik Pembahasan :
1. Honor Mengajarkan Al-Qur'an (Hadits) serta Ilmu-ilmu Keislaman, dan Ceramah Agama, Menyampaikan Fatwa,dan sejenisnya.
2. Honor Khatib Shalat Jum'at, Mengumandangkan Azan,  Mengimami Shalat2 Khusus (Shalat Gerhana dan lain-lain).

Ada 3 kriteria (segmen) terkait "terima bayaran ustadz" :
1. Imam Rawatib (juga Pendakwah ilmu2 Agama lainnya) yg berasal dari baitul maal (negara), hukumnya halal... Jumhur Ulama Membolehkan.
2. Pengajaran Al-Quran (hadits), Ilmu-ilmu Keislaman, Ceramah Agama, Menyampaikan Fatwa,dan sejenisnya. ...ini yang dibahas Para Ulama sepanjang Zaman (topik artikel dibawah ini).
3. Terkait bagian dari Rukun Shalat : Khatib Shalat Jum'at, Shalat Gerhana dll.
●Ketiga kriteria (bahasan) tersebut berbeda hukumnya. Terkait masalah diatas, kita melihatnya dari kaca "implementasi Zuhud, dimana dilevel kedua menghindari masalah Syubhat (kuat).
Beberapa Ibadah yang diperselisihkan tentang kebolehan mengambil upah sebagai imbalan melaksanakannya :
Bahasan Buku "Harta Haram Muamalat" Erwandi Tarmizi Tarmizi : Halaman 116-122
1.pasal 2.2 2.5 Upah/Imbalan Melakukan Ibadah (hal.116)
→...Adapun Ibadah yang dinikmati oleh orang lain manfaatnya, seperti : Mengimami Shalat (wajib,fardlu), mengumandangkan Azan....., maka para Ulama berbeda pendapat tentang hukum menerima upah sebagai imbalan dari melakukan ibadah tersebut...
●tanggapan :
→Erwandi Tarmizi tdk menjelaskan detail pendapat2 Ulama salaf.
→Erwandi Tarmizi menyatakan para ulama berbeda pendapat...syubhat (kuat ?).
→ Erwandi Tarmizi tidak bahas Khatib Shalat Jum'at : rukun shalat jum'at dan sejenisnya.
→ Erwandi Tarmizi tidak bahas Imam Shalat Gerhana dll.
1.pasal 2.2 2.5.1 (hal.117) : sangat jelas.
lihat halaman 118 :
→keikhlasan Para Nabi tersebut ditiru oleh para sahabat Nabi, Tabi'in, tabi'it tabi'in dan para ulama yang menjadi Panutan umat dari masa kemasa, dimana mereka mengajar Al-Qur'an, tafsir, hadits, aqidah, fiqih dan ilmu2 keislaman lainnya tanpa pernah menarik honor dari para jamaahnya (Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa, Jilid XXX, hal.204).
→akan tetapi, dewasa ini mengingat biaya hidup untuk menutupi kebutuhan pokok (pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan) cukup tinggi yang menuntut para pendakwah harus memenuhi kebutuhan pokok dia dan keluarganya, bolehkah menerima gaji dari berdakwah, mengajar Al-Qur'an dan ilmu2 keislaman lainnya ?
●Tanggapan :
→statemen ini sangat lemah, keluar dari definisi ketaqwaan, tidak ilmiyah.
→silahkan baca (sanggahannya ada di artikel pertama dibawah) :
"Zuhud, Bayaran Dalam Dakwah, Dan Upah Khatib Jum’at".
http://lamurkha.blogspot.co.id/2016/04/zuhud-bayaran-dalam-dakwah-dan-upah.html?m=0
"Al Quran : The Miracle Of Miracles. Allah Tidak Sekali-Kali Menjadikan Seseorang Mempunyai Dua Hati Dalam Jiwanya. Masukilah Islam Secara Kaffah (Not Less Than 100 % Kaffah !)".
http://lamurkha.blogspot.co.id/2015/12/al-quran-miracle-of-miracles-allah.html?m=0
2.pasal 2.2 2.5.1.1 (hal.118) : sangat jelas.
→Para Ulama sepakat bahwa honor yg diterima oleh para pendakwah, guru ngaji dan para pengajar ilmu agama yg berasal dari baitul maal (negara), hukumnya halal dan tdk termasuk imbalan dari dakwah yg mereka lakukan dan tdk mengurangi keikhlasan mereka, itu merupakan penghargaan dari pihak pemerintah dikarenakan mereka "disibukan" oleh pekerjaan membina umat, sebagaimana dahulu para sahabat menerima 'athayaa (hibah) dari baitul maal (Dr. Adil Syahin, Akhzul maal ala a'malil qurab, jilid 1, hal 467.
3.pasal 2.2 2.5.1.2 (hal.119) : Halalkah Upah Kerja Dakwah
→ Para Ulama dalam Mazhab Hanafi dan Hanbali mengharamkan.
→Para Ulama Mazhab Maliki dan Syafi'i membolehkan
●terdapat silang pendapat : Syubhat.
●tanggapan dibuku Erwandi Tarmizi (opini ?), tdk dicamtumkan rujukannya (pendapat ulama salaf). Kurang komprehensiv (artikel lamurkha jauh lebih lengkap, bukan opini).
●dipaparan Erwandi Tarmizi Tarmizi (hal. 119-122) tidak dibahas (diungkap) terkait Khatib Shalat Jum'at, mengimami Shalat2 tertentu (shalat gerhana dll).
●diakhir paparannya (hal.122) Erwandi Tarmizi Tarmizi membuat kesimpulan : dari kedua pendapat yang saling bertolak belakang diatas dengan argumen masing2, "sebagian" para ulama (referensi ?) Mencari jalan tengah, yaitu TIDAK DIBENARKAN mengambil upah berdakwah, kecuali untuk menutupi biaya kebutuhan pokok berdakwah dan keluarga yang menjadi tanggungannya ( ada kekhawatiran terganggunya Zuhud dan wara' ?)→ ada syubhat→Erwandi Tarmizi tidak "bahas" Kahatib Shalat Jum'at dan Mengimami shalat2 khusus.
●juga dihalaman yang sama (hal. 122)
→Erwandi Tarmizi Tarmiji mengatakan : "Karena bila sama sekali diharamkan, dikhawatirkan akan langkanya orang yg mau mengajar, mendakwahkan dan menyiarkan agama Allah, karena para juru dakwah tsb disibukkan oleh aktifitas kesehariannya mencari nafkah. Hal ini mungkin akan berakibat buruk terhadap generasi selanjutnya, mereka tidak lagi memahami agama Allah karena tidak ada lagi orang yg mengajarinya. →benarkah pendapat ini ? Apakah Ilmiyah ? Apakah ini opini Erwandi Tarmizi Tarmizi ?
"Sanggahannya ada di artikel lamurkha (bg pertama) diatas".
cuplikan dari lamurkha :
Kalau kita telaah, alasan alasan tersebut diatas terlalu bersifat duniawi. Hanya berdasarkan kepentingan diri sendiri. Mereka lupa, bahwa Islam bisa menyebar ke seluruh dunia berawal dari dakwah gratisan. Dakwah yang tidak dibayar. Dakwah yang hanya berdasarkan iman dan keikhlasan. Pada masa itu, belum ada sekolah sekolah Islam yang megah dan mahal-mahal seperti sekarang, yang membuat orang-orang Islam miskin tidak mampu bersekolah. Belum ada multi media dan fasilitas telekomunikasi yang digunakan sebagai sarana oleh para kiai, ustad, dai untuk menyampaikan dakwahnya. Tapi nyatanya Islam tetap menyebar keseluruh dunia dengan massif. Karena sesungguhnya ALLOH lah yang menyebarkannya. ALLOH meridloi penyebar- penyebar Islam dimasa Rasulullah dan para sahabat, yang berjuang tanpa mengharap pamrih. Hasilnya, Masyarakat Islam yang terbentukpun adalah masyarakat Islam yang unggulan, yang fanatik menjalankan Syareat. Bukan masyarakat Islam yang sekuler, yang hanya mengaku Islam tapi tingkah laku dan perbuatan jauh sekali dari nilai-nilai Islam seperti yang terjadi sekarang ini. Yang hanya banyak dalam jumlah, tapi kualitas ke- Islamannya tipis. Ingatlah, Islam tidak perlu banyak. Biarpun sedikit asal kokoh. Banyak contoh, jumlah yang sedikit mengalahkan yang banyak. Syukur kalau Islamnya banyak dan mereka menjalankan syareat Islam dengan sungguh- sungguh, itu lebih disukai ALLOH, dan ALLOH pun membanggakannnya.
Jadi sebetulnya tanpa dibayarpun, dengan seizin ALLOH, akan tetap ada penyebar- penyebar risalah yang bermodal niat yang ikhlas dan tulus. Contoh kecil adalah para murabi yang membimbing umat dalam halaqoh- halaqoh tarbiyah. Mereka tidak dibayar sepeserpun. Majelis- majelis dakwah seperti inilah yang insya ALLOH diridloi-Nya. Bukan majelis- majelis yang seolah olah majelis tolabul ilmu, tetapi yang sesungguhnya adalah sarana untuk mencari imbalan materi. Karena hal ini tidak sesuai dengan yang diperintahkan Al-Quran dan dicontohkan oleh Nabi.
Dan jangan dilupakan, janganlah kita bersikap seolah- olah ALLOH membutuhkan dakwah kita. Itu salah besar. ALLOH sama sekali tidak membutuhkan dakwah kita. Kitalah sesungguhnya yang membutuhkan berdakwah untuk mencapai keridloan ALLOH. Kalaupun tidak ada lagi orang di bumi ini yang mau berdakwah, sehingga Islam tidak lagi ada dimuka bumi, kemuliaan ALLOH tidak akan pernah berkurang sedikitpun. Kemuliaan ALLOH tidak tergantung kepada makhluknya, apalagi bergantung pada manusia. Beriman atau kafirnya seseorang, tidak akan berpengaruh kepada kemuliaan ALLOH. Perhatikan firman QS. 35 (Faathir). 15-16:” Wahai manusia, kamulah yang memerlukan ALLOH, dan Dialah Yang Maha kaya ( tidak memerlukan sesuatu), Maha terpuji. Jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu)”.
Jika para ahli ilmu memang tidak mau berdakwah karena tidak ada bayaran, silahkan saja karena ALLOH tidak rugi apa apa. Kitalah yang rugi karena artinya mengabaikan karunia ALLOH, dan mengabaikan kewajiban, serta menantang azab ALLOH. Jadi kenapa harus khawatir tidak ada lagi yang mau berdakwah, sedangkan rahmat dan hidayah itu urusan Alloh, dan bukan urusan manusia. Jadi, tidak ada yang namanya profesi pendakwah, apalagi sampai membentuk sebuah manajemen dan memakai manajer . Karena dakwah adalah kewajiban setiap muslim dan bukan hak.
●juga dihalaman yang sama (hal. 122) Erwandi Tarmizi Tarmizi menyatakan (pendapat ET atau Ulama SaLaf ?) : dan bila dibolehkan tanpa syarat yg berarti dibolehkan mencari kekayaan sebanyak2nya dengan "Profesi sebagai Penfakwah"......dst syubhatnya sangat jelas (banyak)
●Terakhir ET membuat konklusi yang menarik (hal.122) :
Dengan demikian pendapat ini cukup kuat (tetap masih ada syubhat, terlebih belum jelasnya bahasan/ulasan Khatib Shalat Jum'at dan Mengimami Shalat Khusus), yakni boleh mengambil upah kerja dakwah untuk "menutupi kebutuhan pokok, maka bila seorang juru dakwah memiliki penghasilan lain atau memiliki harta yg cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok diri dan keluarganya, seyogyanya "IA TIDAK MENGAMBIL HONOR YANG DIBERIKAN JAMAAH YANG DIKUMPULKAN OLEH MEREKA RUPIAH DEMI RUPIAH AGAR MENDAPATKAN SIRAMAN ROHANI DARI SEORANG USTADZ, SEDANG USTADZ YG MENERIMA HONOR TERSEBUT HIDUP BERKECUKUPAN......perlu Muhasabah dan Kejujuran serta orientasinya kepada Zuhud dan Wara'
Kesimpulan yg dapat diambil hikmahnya :
→Imam Rawatib (juga Pendakwah ilmu2 Agama lainnya) yg berasal dari baitul maal (negara), hukumnya halal... Jumhur Ulama Membolehkan.
→Syubhatnya Kuat : "jika mengambil honor yang diberikan jamaah yg dikumpulkan oleh mereka rupiah demu rupiah agar mendapatkan siraman rohani daribseorang Ustadz, sedang Ustadz penerima honor tersebut hidupnya berkecukupan (Erwandi Tarmizi Tarmizi menyatakan jika seorang juru dakwah memiliki penghasilan lain atau memiliki harta yg cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok diri dan keluarganya sebaiknya ydk menerima honor teraebut).
→Terkait Honor Khatib Shalat Jum'at, Mengimami Shalat2 Khusus (diluar Baitul Maal), belum ada bahasan yang jelas status hukumnya (halalkah ?), karena bagian dari rukun Shalat
→Dalih : "Karena bila sama sekali diharamkan, dikhawatirkan akan langkanya orang yg mau mengajar, mendakwahkan dan menyiarkan agama Allah, karena para juru dakwah tsb disibukkan oleh aktifitas kesehariannya mencari nafkah. Hal ini mungkin akan berakibat buruk terhadap generasi selanjutnya, mereka tidak lagi memahami agama Allah karena tidak ada lagi orang yg mengajarinya.→Dalih ini tidak ilmiyah dan tidak syar'i (lihat bantahannya di artikel lamurkha diatas).
→Apakah Ustadz (Pendakwah) yang menerima honor diluar Baitul Maal, Syubhatnya Kuat, amal ibadahnya sia-sia ?
● Tempat yang Paling Mulia, yang mengindikasikan keimanan kita, yang diperintahkan Allah supaya mendatanginya, selain Al-Haramain dan Masjdil Aqsa adalah Masjid disekitar kita. Kegemaran kita beribadah ditempat tsb (Masjid) menjadi sebab (in sya Allah) ke Janah. Sedapat mungkin kita tidak mengambil keuntungan (materi) dari kegiatan di Masjid. Kitalah yang harusnya memakmurkan Masjid. Ibadah yang kita lakukan di Masjid seperti : Dakwah, mengajarkan Al-Qur'an, dan terkait ilmu-ilmu Islam lainnya, sedapat mungkin tidak mendapatkan materi (upah). Kita jadikan Memakmurkan Masjid sebagai Rekening Tabungan Abadi yang tidak akan berkurang sedikitpun (bangkrut) bahkan makin meningkat,  sebagai Totalitas Ibadah kita manifestasi implementasi Zuhud dan Wara' (in sya Allah)
→Apakah para ulama salaf seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad, Imam Nawawi, Ibnu Taimiyah dll, merupakan Dominan Pendakwah lisan ? Mereka sangat luar Produktif, hasil karya monumental mereka sampai saat ini dijadikan rujukan. Apakah mungkin, mereka melakukan aktivitas "dakwah secara lisan dengan intensitas yang padat seperti yg kita saksikan pendakwah saat ini ?"
→Apakah para Ulama yang Produktifitas  yg sangat mentakyubkan seperti dibawah ini, metode dakwahnya seperti yang dipaparkan pada tulisan diatas ?
●Muhammad ibnu Jarir Ath Thobari (wafat: 310 H), penulis kitab Jaami’ul Bayan ‘an Ta’wilil  Ayil Qur’an menulis dalam sehari 40 lembar. Kira-kira beliau seumur hidupnya telah menulis 584.000 lembar.
●Imam Abul Wafa’ ‘Ali bin ‘Aqil Al Hambali Al Baghdadi  (wafat: 513 H) –manusia tercerdas di jagad raya kata Ibnu Taimiyah-, beliau menulis kitab Al Funun dalam 800 jilid, di mana di dalamnya berisi pembahasan tafsir, fikih, nahwu, ilmu bahasa, sya’ir, tarikh, hikayat dan bahasan lainnya.
●Imam Abu Hatim Ar Rozi menulis kitab musnad dalam 1000 juz.
●Ibnul Jauzi (Abul Faroj ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin Muhammad Al Jauzi, wafat: 597 H), murid dari Ibnu ‘Aqil, beliau telah menulis 2.000 jilid buku dan buku yang beliau pernah baca adalah 20.000 jilid. Adz Dzahabi sampai mengatakan tentang Ibnul Jauzi bahwa tidak ada yang semisal beliau dalam berkarya.
[Dinukil dari kitab ‘Uluwul Himmah, karya Syaikh Muhammad Al Muqoddam]
Dakwah Bil Kitabah, Bukan Dominan Bil Lisan. Dakwah Bil Youtube, Berpotensi Negatif Untuk Jadi Alat Provokasi. Rahasia Produktivitas Menulis Para Ulama Salaf.
http://lamurkha.blogspot.co.id/2017/03/dakwah-bil-kitabah-bukan-dominan-bil.html?m=0
●Apakah mungkin cara dakwah Ulama2 saat ini akan menghasilkan hasil karya besar ?
diharapkan sanggahan tulisan diatas
Afwan
Wallahu A'lam
●ALLOH SWT pun telah menggariskan dalam firman-Nya :
1.“ Katakanlah : Aku tidak meminta upah sedikitpun atas dakwahku.”(QS.Shaad: 86).
2.“ Hai kaumku, Aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini. Upahku tidak lain hanyalah dari ALLOH yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kamu memikirkan ?” (QS.Huud: 51)
3.“ Katakanlah: Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan orang- orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya.” (QS.Al-Furqaan: 57)
4.“ Dan engkau tidak meminta imbalan apapun kepada mereka (terhadap seruan ini), sebab (seruanmu) itu adalah pengajaran bagi seluruh alam.” (QS. Yusuf:104)
[Tafsir ayat diatas; mkn tdk terkait bahasan artikel ini].
Bisa kita lihat, adakah celah dalam firman ini yang memungkinkan para pendakwah menerima imbalan dari manusia ? Kecuali alasan yang dicari cari untuk kepentingannya sendiri ?
Jumhur Ulama juga berpendapat:” Jika seseorang mencari keuntungan dunia melalui agama, maka ia seperti orang yang membersihkan sandalnya dengan pipinya.” Dengan kata lain ia adalah orang yang bodoh, karena menukar akhirat dengan dunia yang sangat sedikit. Jadi, silahkan memikirkannya.
●Tidak boleh ia mengharapkan sesuatu dari manusia baik berbentuk harta maupun yang lainnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ,لاَيَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَالَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَة

"Barangsiapa menuntut ilmu, yang seharusnya ia tuntut semata-mata mencari wajah Allah ‘Azza wa Jalla, namun ternyata ia menuntutnya semata-mata mencari keuntungan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan aroma wanginya surga pada hari kiamat".
[Hadits shahih riwayat Abu Dawud, 3664; Ahmad, II/338; Ibnu Majah, 252; dan Hakim, I/85 dari sahabat Abu Hurairah. Hadits ini dishahihkan oleh Imam Hakim dan disetujui oleh Imam Adz Dzahabi]

Halalkah Upah Kerja Dakwah?

Ada perbedaan antara honor yang bersal dari baitul maal atau lembaga sosial dan upah, di antaranya : honor bersifat derma (sumbangan) yang tidak ditetapkan jumlahnya  ketergantungan kemurahan hati para penderma atu kondisi keuangan lembaga dan mungkin jga tidak member apa-apa , sedangkan upah merupakan transaksi yang wajib di penuhi oleh kedua belah pihak yang jumlahnya telah ditetapkan dari awal sebelum jasa dipakai tergantung tawar menawar antara pihak pembeli dan pengguna jasa.
Adapun upah yang disepakati dari awal antara pendakwah dan pengguna jasanya, seperti: seorang guru mengajar Alquran atau mengajar ilmu-ilmu keislaman dengan mensyaratkan honor lima puluh ribu rupiah setiap kedatanagnnya, atau seorang pendakwah mensyaratkan dari awal honor lima ratus ribu rupiah untuk sekali ceramah agama yang bila honor tersebut tidak mampu dipenuhi  pihak pengguna jasa, pendakwah menolak untuk memberikan ceramah , hukum kehalalan upah ini diperselisihkan oleh para ulama.
Pendapat pertama: Para ulama dalam mazhab Hanafi dan Hambali mengharamkan upah yang di tentukan dari semula sebagai imbalan jasa dakwah yang disampaikan.
Para ulama ini berpegang kepada beberapa dalil:
1. ayat alquran dalam surat ( Al an’aam: 90), (Huud: 29),( Huud: 51), (As Syu’ara: 164), (As Syu’ara: 180), ( Yasin: 20-21) bahwa para Nabi tidak minta upah kepada umatnya atas dakwah yang mereka sampaikan.
Tanggapan: Dalil ini tidak kuat, karna dakwah para nabi tersebut ditunjukan kepada orang non muslim yang memang tidak akan mau memberikan upah. Dan juga dalam ayat – ayat tersebut  tidak ada larangan andai orang – orang yang menerima dakwah tersebut memberikan upah.
2. Firman Allah ta’ala yang melarang menjual ayat –ayatnya dengan harga dunia dan melarang menyembunyikan petunjuk, sedangkan menolak memberikan dakwah tampa imbalan yang disepakati sebelumnya termasuk menjual ayat dan menyembunyikan petunjuk. Di antara ayat-ayat tersebut:
Firman Allah ta,ala dalam surat (Al Baqoroh: 41), (Al Baqoroh: 159) yang artinya:
(Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayatku dengan harga yang rendah) Al Baqoroh: 41
(sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan berupa keterangan- ketrangan (yang jelas) dan petunjuk , setelah kami menerangkannya kepada manusia Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan di laknati (pula) oleh semua (makhluk )yang dapat melaknati” ) Al Baqoroh: 159
Tanggapan: Dalil ini juga tidak kuat , karna maksud ayat di atas bila seorang telah menjadi fardhu’ain baginya untuk menyempaikan dakwah, seperti: dia berada di lingkungan yang sama sekali tidak ada orang yang mampu menyampaikan dakwah dan menagjar Al Quran kecuali dirinya, dalam kondisi ini memang di haramkan dia menerima upah, karna dia melakukan hal yang wajib sebagai seseorang yang melakukan sholat wajib, tidak mungkin dia berhak menerima gaji atas amalan sholatnya.
3. Hadist Nabi shalallahu alaihi wa sallam yang melarang makan upah mengajar Alquran, Nabi shalallahhu alaihi wasallam bersabda yang artinya :
Bacalah Al qur’an, dan jangan terlalu berlebihan,jangan terlalu lalai, jangn makan upah mengajar Al qur’an, dan memeperbanyak harata melalaui mengajar Al qur’an “ (HR. Ahmad, dishahihkan oleh ibnu Hajar).
Pendapat kedua : Para ulama dalam mazhab Maliki dan Syafi’i membolehkan menarik upah kerja dakwah. Mereka berpegang kepada beberapa dalil:
-Diriwayatkan dari ibnu abbas bahwa sekelompok sahabat Nabi melewati sebuah perkampungan, lalu orang kampung tersebut meminta mereka untuk mengobati kepala suku mereka yang terkena sengatan hewan berbisa, para sahabat mau mengobati dengan syarat orang kampung itu memberkan imbalan beberapa ekor kambing, setelah terjadi kesepakatan, salah seorang sahabat mengobatinya dengan membaca surat Al Fatihah, seketika itu juga si sakit langsung sembuh dan mereka memenuhi akad serta memberikan beberapa ekor kambing yang di sepakati, sebagian sahabat menolaknya, karna mengambil upah dari bacaan Al qur’an
Sesampainya di madinah mereka mengadukan hal tersebut kepada Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya upah yang paling pantas untuk kalian terima adalah imbalan Al qur’an”  (HR. Bukhori)
-Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu’anhu seorang wanita menawarkan dirinya untuk dinikahi Nabi shalallahu alaihi wasallam, akan tetapi Nabi shalallahu alaihi wasallam tidak berniat menikahinya
Maka salah seorang sahabat meminta kepada Nabi shalallahu alaihi wasallam untuk menikahi wanita tersebut dengan dirinya.
Lalu Nabi shalallahu alaihi wasallam memerintahkan sahabat tersebut untuk mencari maharnya, namun dia tidak memiliki apa – apa.
Maka Nabi shalallahu alaihi wasallam menanyakan apakah dia hafal beberapa surat Al qur’an. Dia menjawab “hafal beberapa surat”  
Maka Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda yang artinyaa:
“kami telah menikahkanmu dengan perempuan tersebut, dengan mahar mengajarkan wanita itu beberapa surat Al qur’an yang engkau hafal” (HR. Bukhori dan Muslim).

Dari hadist ini di pahami bahwa upah mengajar Al qur’an halal sehingga bisa dijadikan mahar layaknya emas, perak dan lain-lain

Dari dua pendapat di atas dengan argumen masing – masing, sebagia ulama mencari jalan tengah, yaitu tidak di benarkan mengambil upah berdakwah, kecuali untuk menutupi biaya kebutuhan pokok pendakwah dan keluarga yang menjadi tanggungannya. Karena bila sama sekali diharamkan, dikhawatirkan akan langkanya orang yang mau mengajar, mendakwah dan menyiarkan agama Allah karna para juru dakwah tersebut di disibukan oleh aktifitas keseharian mencari nafkah. Hal ini mungkin akan berakibat buruk terhadap generasi selanjutnya, mereka tidak lagi memahami agama Allah karna tidak ada lagi orang mengajarinya
Dan bila dibolehkan tanpa syarat yang berarti  dibolehkan mencari kekayaan sebanyak – banyaknya dengan profesi sebagai pendakwah, seperti fenomen sekarang dimana seorang ustadz ternama tidak mau memberikan pengarahan agama bila imbalannya kurang dari sekian juta, hal ini jelas bertentangan dengan hadist yang melarang memperbanyak harta dengan mengajarkan Al qur’ar
Dengan demikian pendapat ini cukup kuat, yakni boleh mengambil upah kerja dakwah untuk menutupi kebutuhan pokok, maka bila seorang juru dakwah memiliki penghasilan lain atau memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok diri sendiri dan keluarga, seyogyanyalah iya tidak mengambil honor yang di berikan jamaah yang di kumpulkan oleh mereka rupiah demi rupiah agar mendapat siraman rohani dari seorang ustadz, sedangkan ustadz yang menerima honor tersebut bergelimang harta.
Diambil dari Kitab “HARTA HARAM MUAMALAT KONTEMPORER”
Karya : DR. ERWANDI TARMIZI Hafidzahullah

3 komentar:

sudah jelas2 ayatnya berbunyi seperti itu, Rasulullah pun tidak pernah mencontohkan, sebaiknya tidak usah dicari2lagi pembenaran yg bertentangan dgn Alquran.

Mohon izin bertanya, jika seandainya memang dibolehkan mengambil upah dari berdakwah berdasarkan dalil hadits ini "Sesungguhnya upah yang paling pantas untuk kalian terima adalah imbalan Al qur’an” (HR. Bukhori), dimana disebutkan menerima imbalan alquran adalah upah yang paling pantas tentunya para sahabat yang terkenal selalu ingin menjadi yang terbaik tentu akan berbondong-bondong mengajarkan al-quran karena disabdakan oleh Rasul itu adalah upah yang paling pantas. Namun kenyataannya setelah keluarnya hadits itu tidak ditemukan catatan sejarah yang menyatakan para sahabat beralih profesi menjadi pendakwah al quran. Atau saya yang belum tahu sejarahnya ya? Miris ngeliat dakwah sekarang yang bertarif profesional....dakwah seperti kehilangan wibawanya...

Tapi saya setuju dengan kesimpulannya...itu kesimpulan yang bijak

Assalamualaikum.

Pendakwah yang mendapat upah tentu pahala dakwahnya berkurang. boleh saja bekerja sebagai penjual ilmu agama dan tidak berdosa. Boleh saja jangan berlebihan kalau ada kelebihan dibuat lagi untuk modal dakwah sendiri yang tanpa upah. Bila berlebihan dapat menimbulkan sifat orang lain ingin mencari penghidupan dari dakwah seperti si pendakwah. Jangan sampai orang lain disuruh ikhlas dalam bersedekah karena mencintai Allah sementara dirinya yang panen, maka sungguh dosa besar. Jangan sampai kita banyak memberi contoh kesederhanaan hidup orang yang dimuliakan Allah sementara dirinya tidak menjalankan perbuatan orang yang dimuliakan tersebut. Apa dosanya menganjurkan ummat agar lebih mementingkan akhirat sementara dia tidak melakukannya ?

Renungkan. Ada pendakwah dan ummat sama kekayaannya kemudian keduanya melakukan perbuatan sedekah senilai Rp 1000, Pahala siapakah yang lebih besar ? Tentu pahala si umat yang lebih besar, seharusnya si pendakwah lebih besar perjuangan pengorbanan dijalan Allah sebagai teladan. Begitu juga bila sipendakwah dan ummat sama sama melakukan zina maka dosa pendakwah lebih besar. dan Apa dosanya pendakwah menganjurkan kebaikan sementara dirinya tidak melakukan kebaikan itu.
Mohon maaf bila terdapat kesalaahan. Ya Allah Ampunilah saya dan seluruh hamba hambamu , karena pengampunanMulah yang membuat kami lepas dari siksa neraka. Tidak ada daya dan upaya yang bisa berhasil tanpa Engkau merestuiNya Dan Ampunilah atas pertambahan ilmu kami namun sedikit yang diamalkan. Amin
terimakasih saudaraku telah memberi ruang komentar. wassalamalaikum.


Anjuran mencari nafkah dan seorang da’i tidak boleh bergantung kepada (mad’u) muridnya

Bekerja Mencari Rezeki Yang Halal Itu Wajib Bagi Setiap Muslim Perawi Dari Hadis Tersebut Adalah Menjadi Dai Yang Mukhlis Ikhlas Tanpa Mengukur Jerih Payah Dalam Berdakwah Dengan Penghasilan Dalam Kehidupan Yang Serba Materi Merupakan Nasehat Baik Dari Arab Tentang Harta Dunia Hadits Ibnu Katsir Tentang Mencari Nafkah Untuk Keluarga Perintah UNTUK MENCARI REZEKI YANG HALAL DIJELASKAN ALLAH DALAM SURAH
ANJURAN MENCARI NAFKAH & SEORANG DA’I TIDAK BOLEH BERGANTUNG KEPADA MAD’U (MURID) NYA
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Untuk memenuhi kebutuhannya, seorang muslim wajib berusaha dengan mencari nafkah yang halal. Dengan nafkah itu, ia dapat menghidupi dirinya dan keluarganya. Dengan nafkah itu, ia juga dapat memberikan manfaat kepada orang lain. Seorang muslim tidak boleh menggantungkan hidupnya kepada orang lain. Karena hidup dengan bergantung kepada orang lain merupakan kehinaan. Dan hidup dari usaha orang lain adalah tercela. Malaikat Jibril datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata: ”… Ketahuilah, bahwa kemuliaan orang mukmin shalat nya di waktu malam dan kehormatannya adalah dengan tidak mengharapkan sesuatu kepada orang.” [Hadits hasan. Lihat Shahih Jami’ush Shagir, no. 73 dan 3710]
Allah dan RasulNya menganjurkan umat Islam untuk berusaha dan bekerja. Apapun jenis pekerjaan itu selama halal, maka tidaklah tercela. Para nabi dan rasul juga bekerja dan berusaha untuk menghidupi diri dan keluarganya. Demikian ini merupakan kemuliaan, karena makan dari hasil jerih payah sendiri adalah terhormat dan nikmat, sedangkan makan dari hasil jerih payah orang lain merupakan kehidupan yang hina. Karena itu, Islam menganjurkan kita untuk berusaha, dan tidak boleh mengharap kepada manusia. Pengharapan hanya wajib ditujukan kepada Allah saja. Allah-lah yang memberikan rezeki kepada seluruh makhluk. Kalau kita sudah berusaha semaksimal mungkin, Insya Allah, rezeki itu akan Allah berikan sebagaimana burung, yang pagi hari keluar dari sarangnya dalam keadaan lapar, kemudian pada sore hari pulang dalam keadaan kenyang. Terlebih manusia, yang telah mendapatkan dari Allah berupa akal, hati, panca indra, keahlian dan lainnya serta berbagai kemudahan, maka pasti Allah akan memberikan rezeki kepadanya.
1-عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ:سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:لَوْ اَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ, تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا.
Dari Umar Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kalau kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, maka niscaya Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki kepada burung; ia pergi pagi hari dalam keadaan perutnya kosong, lalu pulang pada sore hari dalam keadaan kenyang”. [HR Tirmidzi, no. 2344; Ahmad (I/30); Ibnu Majah, no. 4164]
Di bawah ini, penulis bawakan beberapa ayat dan hadits-hadits yang menganjurkan seorang muslim makan dari hasil usaha sendiri dan menjaga diri dari meminta-minta kepada orang lain.
Allah berfirman:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَانْتَشِرُوا فِي اْلأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Maka apabila shalat telah selesai dikerjakan, bertebaranlah kamu sekalian di muka bumi dan carilah rezeki karunia Allah”. [Al Jumu’ah : 10]
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اْلأَرْضَ ذَلُولاً فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِن رِّزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
 “Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezekiNya. Dan hanya kepadaNya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. [Al Mulk : 15]
Tentang ayat ini, dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir disebutkan: “Kemudian, Dia menyebutkan nikmat yang telah Dia anugerahkan kepada makhlukNya dengan menyediakan bumi bagi mereka dan membentangkannya untuk mereka. Dia membuatnya sebagai tempat menetap yang tenang, tidak miring dan tidak juga bergoyang, karena Dia telah menciptakan gunung-gunung padanya. Dan Dia alirkan air di dalamnya dari mata air. Dia bentangkan jalan-jalan, serta menyediakan pula di dalamnya berbagai manfaat, tempat bercocok tanam dan buah-buahan. Dia berfirman:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اْلأَرْضَ ذَلُولاً فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا
 “(Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya)”. Maksudnya, lakukanlah perjalanan ke mana saja yang kalian kehendaki dari seluruh belahannya, serta bertebaranlah kalian ke segala penjurunya untuk menjalankan berbagai macam usaha dan perdagangan. Ketahuilah, bahwa usaha kalian tidak akan macam usaha dan perdagangan. Ketahuilah, bahwa usaha kalian tidak akan bermanfaat bagi kalian sama sekali, kecuali jika Allah memudahkan untuk kalian. Oleh karena itu, Dia berfirman
وَكُلُوا مِن رِّزْقِهِ
(Makanlah sebagian dari rezekiNya). Dengan demikian, usaha yang merupakan sarana, sama sekali tidak bertentangan dengan tawakal.
وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
 (Dan hanya kepadaNya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan). Maksudnya ialah, tempat kembali pada hari Kiamat kelak. [Tafsir Ibnu Katsir, IV/420, Cet. Darus Salam].
2-وَعَنْ اَبِى عَبْدِاللهِ الزُّبَيْرِبنِ العَوَّامِ قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللهِ :لأَنْ يَأْخُذَ اََحَدُكُمْ اَحْبُلَهُ ثُمَّ يَاْتِى الْجَبَلَ فَيَاْتِىَ بِحُزْمَةٍ مِنْ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِخِ فَيَبِيْعَهَا فَيَكُفَّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌلَهُ مِنْ اَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ اَعْطَوْهُ اَوْ مَنَعُوْهُ.
Dari Abi Abdillah (Zubair) bin Awwam Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya, seorang di antara kalian membawa tali-talinya dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar yang diletakkan di punggungnya untuk dijual sehingga ia bisa menutup kebutuhannya, adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi atau tidak”. [HR Bukhari, no. 1471].
Penjelasan :
1. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan umatnya supaya berusaha memenuhi hajat hidupnya dengan jalan apapun menurut kemampuan, asal jalan yang ditempuh itu halal.
2. Berusaha dengan bekerja kasar, seperti mengambil kayu bakar di hutan itu lebih terhormat daripada meminta-minta dan menggantungkan diri kepada orang lain.
3. Begitulah didikan dan arahan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjadikan umatnya sebagai insan-insan terhormat dan terpandang, dan bukan umat yang lemah lagi pemalas.
4. Tidak halal meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi atau tidak.
5. Meminta-minta atau mengemis dalam Islam merupakan perbuatan yang hina dan tercela.
6. Usaha dengan jalan yang benar tidak menafikan tawakkal kepada Allah.
7. Seseorang tidak boleh menganggap remeh jenis usaha apapun, meskipun usaha itu dalam pandangan manusia dinilai hina.
3-وَعَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللهِ:لأَنْ يَحْتَطِبَ اَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌلَهُ مِنْ اَنْ يَسْأَلَ اَحَدًا فَيُعْطِيَهُ اَو يَمْنَعَهُ.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya, seorang dari kalian pergi mencari kayu bakar yang dipikul di atas pundaknya itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik diberi atau tidak”. [HR Bukhari, no. 1470; Muslim, no. 1042; Tirmidzi, no. 680 dan Nasa-i, V/96]
َ4- عَنْ اَبِى هُرَيْرَة َو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ: كَانَ دَاوُدُ عَلَيْهِ السَّلامُ لاَيَأْكُلُ اِلاَّ مِنْ عَمَلِ يَدَِْهِ.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Adalah Nabi Daud tidak makan, melainkan dari hasil usahanya sendiri”. [HR Bukhari, no. 2073].
Penjelasan :
1. Nabi Daud Alaihissalam, disamping sebagai nabi dan rasul, dia juga seorang Khalifah. Namun demikian, sebagaimana diceritakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Beliau, bahwa apa yang dimakan Nabi Daud adalah dari hasil jerih payahnya sendiri dengan bekerja yang menghasilkan sesuatu, sehingga ia dapat memperoleh uang untuk keperluan hidupnya sehari-hari. Di antaranya sebagaimana dikisahkan dalam Al Qur`an, bahwa Allah menjinakkan besi buat Nabi Daud, sehingga ia bisa membuat bermacam pakaian besi.
وَلَقَدْ ءَاتَيْنَا دَاوُودَ مِنَّا فَضْلاً يَاجِبَالُ أَوِّبِي مَعَهُ وَالطَّيْرَ وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيدَ أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ وَقَدِّرْ فِي السَّرْدِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
 “Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud kurnia dari Kami. (Kami berfirman): “Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertashbihlah berulang-ulang bersama Daud”, dan Kami telah melunakkan besi untuknya. (Yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang shalih. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan”. [Saba` : 10-11].
Alah Ta’ala mengabarkan tentang kenikmatan yang diberikanNya kepada hamba dan RasulNya, Daud -semoga shalawat dan salam untuknya- diberikanNya keutamaan yang nyata, dihimpunkan kepadanya kenabian dan kerajaan yang kokoh, tentara berjumlah besar dengan peralatan yang lengkap, serta diberikanNya dan dianugerahkanNya suara yang indah; sehingga jika dia bertashbih, maka bertashbihlah bersamanya gunung-gunung yang kokoh, berhentilah burung-burung yang beterbangan untuk mendengarkan dan turut serta bertashbih dengan berbagai ragam bahasa. [Tafsir Ibnu Katsir III/578-579, Cet. Darus Salam]
2. Di dalam hadits ini, seorang muslim dianjurkan untuk bekerja dan berusaha.
3. Mencari nafkah tidak menghalangi seseorang untuk menuntut ilmu syar’i.
4. Mencari nafkah tidak menghalangi seorang da’i untuk menyampaikan dakwahnya.
5-عَنْ اَبِى هُرَيْرَة وَ عَنْ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ: كَانَ زَكَرِيَّا عَلَيْهِ السَّلامُ نَجَّارًا.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Nabi Zakaria Alaihissalam adalah seorang tukang kayu”. [HR Muslim, no. 2379; Ahmad II/296, 405, 485].
6-َ عَنِ المِقْدَامِ بنِ مَعْدِيكَرِبَِ عَنْ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ:مَا اَكَلَ اَحَدٌطَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ اَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِْهِ, وَاِنَّ نَبِيَّّ اللهِ دَاوُدُ عَلَيْهِ السَّلامُ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِْهِ.
Dari Miqdam bin Ma’dikariba Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, ia berkata: “Tidaklah seseorang makan makanan yang lebih baik daripada hasil usahanya sendiri, sedang Nabi Daud Alaihissalam juga makan dari hasil usahanya sendiri”. [HR Bukhari, no. 2072]
Pelajaran dari hadits :
1. Bekerja atau berusaha jenis apapun asal jalan yang ditempuh halal, adalah baik dan terhormat.
2. Hidup dengan menggantungkan diri kepada orang lain adalah tercela.
3. Malas merupakan sifat yang tercela.
4. Makan dari hasil jerih payah sendiri adalah terhormat dan nikmat.
5. Para nabi dan rasul, mereka semua tidak meminta upah dari manusia, sebagaimana Allah sebutkan dalam ayat-ayat Al Qur`an.
Allah berfirman:
قُلْ مَآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَآأَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ {86} إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ وَلَتَعْلَمُنَّ نَبَأَهُ بَعْدَ حِينٍ
Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku, dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. Al Qur`an ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Al Qur`an setelah beberapa waktu lagi”. [Shad : 86-88]
Allah Subhanhu wa Ta’ala berfirman: Katakanlah hai Muhammad, kepada orang-orang musyrik itu “Aku tidak meminta upah kepada kalian (yang kalian berikan) berupa harta benda dunia atas penyampaian risalah dan nasihat ini”.
وَمَآأَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ
(Dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan). Artinya, aku tidak menghendaki dan menginginkan kelebihan atas risalah yang disampaikan oleh Allah Ta’ala kepadaku, bahkan aku tunaikan apa yang diperintahkanNya kepadaku, aku tidak menambah dan mengurangi, aku hanya mengharap wajah Allah l dan negeri akhirat.
Sufyan Ats Tsauri berkata dari Al A’masy dan Manshur, dari Abudh Dhuha, bahwa Masruq bekata: Kami mendatangi Abdullah bin Mas’ud z . Lalu dia berkata: “Wahai sekalian manusia, barangsiapa mengetahui sesuatu, maka hendaklah ia mengatakannya. Dan barangsiapa tidak mengetahuinya, maka katakanlah Allahu a’lam (Allah lebih mengetahui). Karena sesungguhnya termasuk bagian dari sebuah ilmu, bahwa seseorang mengatakan ‘Allahu a’lam (Allah lebih mengetahui)’ apa yang diketahuinya”. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada nabi kalian
قُلْ مَآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَآأَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ
(Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku, dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan)”. [HR Al Bukhari, no. 4809, Tafsir Ibnu Katsir IV/ 47].

Dari Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
7- مَنْ أَخَذَ عَلىَ تَعْلِيْمِ القُرْانِ قَوْسًا. قَلَّدَهُ اللهُ قَوْسًا مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
 “Barangsiapa mengambil sebuah busur sebagai upah dari mengajarkan Al Qur`an, niscaya Allah akan mengalungkan kepadanya busur dari api neraka pada hari Kiamat”. [Hasan lighairihi, diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir dalam kitab Tarikh Dimasyq (II/427), Al Baihaqi dalam Sunan-nya (VI/126) dari jalur Utsman bin Sa’id Ad Darimi, dari Abdurrahman bin Yahya bin Isma’il bin Ubaidillah, dari Al Walid bin Muslim, dari Sa’id bin Abdul ‘Aziz, dari Ismail bin Ubaidillah, dari Ummu Darda’ Radhiyallahu ‘anha] [1]
Diriwayatkan dari ‘Ubadah bin Ash Shamit Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku mengajarkan Al Qur`an dan menulis kepada ahli Shuffah. Lalu salah seoarang dari mereka menghadiahkan sebuah busur kepadaku. Kata hatiku, busur ini bukanlah harta, toh dapat kugunakan untuk berperang fi sabilillah. Aku akan mendatangi Rasulullah dan menanyakan kepada Beliau. Lalu aku pun menemui Beliau dan berkata: “Wahai Rasulullah, seorang lelaki yang telah kuajari menulis dan membaca Al Qur`an telah menghadiahkan sebuah busur kepadaku. Busur itu bukanlah harta berharga dan dapat kugunakan untuk berperang fi sabilillah”. Rasulullah bersabda:
8- إِِنْ كُنْتَ تُحِبُّ أَنْ تُطَوَّقَ طَوْقًا مِنْ نَارٍ فَاقْبَلْهَا.
 “Jika engkau suka dikalungkan dengan kalung dari api neraka, maka terimalah! ” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud, Bab Abwabul Ijarah Fi Kasbil Muallim (3416); Ibnu Majah (2157); Ahmad (V/315 dan 324); Al Hakim (II/41, III/356); Al Baihaqi (VI/125) dan selainnya dari dua jalur].
Diriwayatkan dari Imran bin Hushain Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia melihat seorang qari sedang membaca Al Qur`an lalu meminta upah. Beliau mengucapkan kalimat istirja’

(إَنَّ لِلَّهِ وَ إِنَّ إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ ), kemudian berkata: Rasulullah bersabda:
9-مَنْ قَرَأَ الْقُرْانَ فَالْيَسْأَلِ اللهَ بِهِ, فَإِنَّهُ سَيَجِيءُ أَقْوَامٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْانَ يَسْأَلُونَ بِهِ النَّاسَ.
“Barangsiapa membaca Al Qur`an, hendaklah ia meminta pahalanya kepada Allah. Sesungguhnya akan datang beberapa kaum yang membaca Al Qur`an , lalu meminta upahnya kepada manusia”. [Hasan lighairihi, diriwayatkan oleh At Tirmidzi (2917); Ahmad (IV/432-433,436 dan 439); Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (1183), dari jalur Khaitsamah, dari Al Hasan, dari Imran bin Hushain Radhiyallahu ‘anhu].

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al Khudri Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
10-تَعَلَّمُوْا الْقُرْانَ, وَاسْأَلُوا اللهَ بِهِ الْجَنَّةَ قَبْلَ أَنْ يَتَعَلَّمَهُ قَوْمٌ يَسْأَلُونَ يِهِ الدُّنْيَا, فَإِنَّ الْقُرْانَ يَتَعَلَّمُهُ ثَلاَثةٌ: رَجَلٌ يُبَاهِيْ بِهِ, وَرَجُلٌ يَسْتَأْكِلُ بِهِ, وَرَجُلٌ يَقْرَأُهُ للهِ.
“Pelajarilah Al Qur`an, dan mintalah surga kepada Allah sebagai balasannya. Sebelum datang satu kaum yang mempelajarinya dan meminta materi dunia sebagai imbalannya. Sesungguhnya ada tiga jenis orang yang mempelajari Al Qur`an. Orang yang mempelajarinya untuk membangga-banggakan diri dengannya, orang yang mempelajarinya untuk mencari makan, orang yang mempelajarinya karena Allah semata”. [Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ahmad (III/38-39); Al Baghawi (1182); Al Hakim (IV/547) dan selainnya dari dua jalur. Hadits ini hasan, Insya Allah. Lihat Silsilah Ahadits Ash Shahihah, no. 258].

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui kami. Saat itu kami sedang membaca Al Qur`an. Di antara kami terdapat orang-orang Arab dan orang-orang ‘Ajam (non Arab). Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
11- اِقْرَؤُوْا فَكُلٌّ حَسَنٌ, وَسَيَجِيءُ أَقْوَامٌ يُقِيمُونَهُ كَمَا تُقَامُ القِدْحُ يَتَعَجَّلُونَهُ وَلاَ يَتَأَجَّلُونَهُ. 
“Bacalah Al Qur`an. Bacaan kalian semuanya bagus. Akan datang nanti beberapa kaum yang menegakkan Al Qur`an seperti menegakkan anak panah. Mereka hanya mengejar materi dunia dengannya dan tidak mengharapkan pahala akhirat”. [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (830) dan Ahmad (III/357dan 397) dari jalur Muhammad bin Al Munkadir dari Jabir. Sanadnya shahih. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud, III/418 no. 783][2]

Diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Syibl Al Anshari Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Mu’awiyah berkata kepadanya: “Jika engkau datang ke kemahku, maka sampaikanlah hadits yang telah engkau dengar dari Rasulullah!” Kemudian ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
12- اِقْرَؤُوْا الْقُرْانَ,وَلاَ تَأْكُلُوا بِهِ, وَلاَ تَسْتَكْثِرُوا يِهِ, وَلاَ تَجْفُوا عَنْهُ, وَلاتَغْلُوا فِيهِ. 
“Bacalah Al Qur`an, janganlah engkau mencari makan darinya, janganlah engkau memperbanyak harta dengannya, janganlah engkau anggap remeh dan jangan pula terlalu berlebihan” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ath Thahawi dalam Musykilul Atsar (4322) dan Ma’anil Atsar (III/18); Ahmad (III/428 dan 444) dan Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (III/273 no. 2595) dari jalur Yahya bin Abi Katsir, dari Zaid bin Salam, dari Abu Sallam, dari Abu Rasyid Al Habrani, dari Abdurrahman bin Syibl Al Anshari. Sanad tersebut shahih dan perawinya tsiqah].

Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali menjelaskan :
a. Hadits-hadits di atas menunjukkan haramnya mengambil upah dari mengajarkan Al Qur`an, dan haram mencari makan darinya.
Akan tetapi jumhur ahli ilmu membolehkan mengambil upah dari mengajarkan Al Qur`an. Mereka berdalil dengan hadits pemimpin suku yang tersengat binatang berbisa lalu diruqyah oleh sebagian sahabat dengan membacakan surat Al Fatihah kepadanya. Kisah ini diriwayatkan dalam shahih Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat lain dari ‘Abdullah bin’ Abbas radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah bersabda:
اِنَّ اَحَقَّ مَا أَخَذْتُم عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ.
Sesungguhnya perkara yang paling berhak kalian ambil upahnya adalah Kitabullah.

b. Mereka menjawab hadits-hadits yang disebutkan di atas sebagai berikut:
– Mengambil upah diharamkan apabila diminta dan mencari penghormatan diri.
– Hadits-hadits di atas tidak terlepas dari cacat dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil.
– Larangan tersebut telah dimansukhkan (dihapus) hukumnya.

c. Setelah diteliti lebih dalam, maka jelaslah bahwa jawaban-jawaban di atas sama-sekali tidak memiliki dasar. Berikut ini rinciannya :
– Klaim, bahwa mengambil upah diharamkan apabila diminta dan mencari penghormatan diri, ditolak oleh hadits ‘Ubadah bin Shamit Radhiyallahu ‘anhu. Dalam hadits itu, hal tersebut tidak disinggung, namun Rasulullah tetap melarangnya.
– Klaim, bahwa hadits-hadits di atas tidak terlepas dari cacat dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil, tidaklah mutlak benar. Namun ada yang shahih, hasan dan ada yang dha’if, namun dha’ifnya bisa terangkat ke derajat shahih karena ada riwayat-riwayat yang menguatkannya. Dengan demikian bisa dijadikan sebagai dalil.
– Klaim, bahwa hukum di atas telah dimansukh (dihapus), maka hal ini tidak boleh ditetapkan hanya dengan berdasarkan praduga belaka. Dan alternatif penghapusan hukum tidak boleh diambil, kecuali bila hadits-hadits tersebut tidak mungkin digabungkan dan memang benar-benar bertentangan.
Siapapun yang memperhatikan hadits-hadits tersebut, tentu dapat melihat bahwa:
–Haram hukumnya mengambil upah dari mengajarkan Al Qur`an.
–Haram hukumnya mencari makan dan memperoleh harta dari Al Qur`an.

Adapun dalil-dalil yang membolehkan hal tersebut menunjukkan bolehnya mengambil upah dari ruqyah. Jadi jelaslah, bahwa kedua masalah di atas berbeda.

Kesimpulannya, hadits-hadits di atas jelas menunjukkan larangan mengambil upah dari mengajarkan Al Qur`an dan memperoleh harta darinya. Wallahu a’lam.
[Lihat Mausu’ah Al Manahiy Asy Syar’iyyah Fi Shahihis Sunnah An Nabawiyyah, oleh Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali, hlm..212-216, Cet. I, Dar Ibnu Affan, Th. 1420, Kairo dan Silsilah Ahadits Ash Shahihah, Juz 1, no. 256-260]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat tahun 728 H) pernah ditanya : “Apakah boleh seorang yang mengajarkan ilmu syar’i dan Al Qur`an mengambil upah dari pengajarannya itu?” Beliau menjawab: “Segala puji bagi Allah. Mengajarkan ilmu dan Al Qur`an tanpa upah, adalah seutama-utama amal dan paling dicintai oleh Allah. Hal ini sudah diketahui dari agama Islam dan bukanlah suatu hal yang tersembunyi bagi orang yang hidup di negara Islam; para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan selain mereka dari kalangan ulama yang masyhur yang berkata tentang Al Qur`an, hadits, dan fiqh. Mereka mengajarkan ilmu ini tanpa upah. Belum ada di antara mereka yang mengajarkan ilmu dengan upah. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham; akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah beruntung. Para nabi -shalawatullah alaihim- mereka mengajarkan ilmu tanpa upah. Sebagaimana perkataan Nuh Alaihissalam, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah surat Asy Syu’ara ayat 109, yang artinya: Aku tidak meminta dari kalian upah. Sesungguhnya ganjaranku ada di sisi Rabb semesta alam.

Demikian pula yang dikatakan oleh Nabi Hud, Syu’aib, Shalih, Luth[3] dan yang lainnya. Begitu juga yang dikatakan penutup para rasul,”Katakanlah: Aku tidak meminta upah dari kalian atas dakwahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan”.[4] Rasulullah juga berkata,”Katakanlah: Aku tidak meminta upah dari kalian atas dakwahku, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan tuhannya”. (Al Furqan : 57). Lihat Majmu’ Fatawa (XXX/204-205).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah ketika menafsirkan surat Yasin ayat 20-21:
وَجَآءَ مِنْ أَقْصَا الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى قَالَ يَاقَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ اتَّبِعُوا مَن لاَّيَسْئَلُكُمْ أَجْرًا وَهُم مُّهْتَدُونَ
Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki (Habib An Najjar) dengan bergegas ia berkata: “Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu. Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”.

Beliau berkata, diantara pelajaran yang terkandung dari ayat ini ialah, seorang da’i yang mengajak manusia ke jalan Allah, hendaknya dia menjauhkan diri mengambil harta dari tangan manusia meskipun mereka memberikan. Karena yang demikian itu akan mengurangi kedudukannya apabila dia menerima sebab orang yang memberikan itu karena dakwah dan nasehatnya. Karena sesungguhnya para rasul -alahimus shalatu wassalam- mereka tidak meminta upah dari manusia, baik dengan perkataannya maupun keadaannya; karena itu kita mengetahui jeleknya sebagian orang yang mereka menasihati manusia apabila setelah selesai ia berkata “Sesungguhnya saya punya kebutuhan, keluarga, dan yang sepertinya”. Sehingga tujuan dari memberi nasihat itu untuk dunia.

Kemudian Syaikh Utsaimin juga menjelaskan, jika mengajar, yang dia (seseorang itu) membutuhkan waktu, tenaga, fikiran, kelelahan, maka tidak apa-apa dia mengambil upah dengan dasar hadits Nabi:
إِنَّ اَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ.
Sesungguhnya perkara yang paling berhak kalian ambil upahnya adalah Kitabullah. )Hadits shahih riwayat Bukhari, 5737 dari sahabat Ibnu Abbas).
Menerima atau mengambil upah karena mengajar Al Qur`an atau da’wah, merupakan masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Jumhur ulama berpendapat boleh menerima upah atau mengambil upah karena mengajarkan Al Qur`an atau da’wah.

Sebagian Ulama yang lain berpendapat tidak boleh. Yang berpendapat seperti ini, yaitu: Imam Az Zuhri, Abu Hanifah dan Ishaq bin Rahawaih. Yang berpendapat boleh, mereka mengambil dalil hadits di atas yang diriwayatkan Imam Bukhari dari sahabat Ibnu Abbas, juga beberapa hadits yang lain, seperti Nabi menikahkan seorang sahabat dengan hafalan Qur’annya, dan ini haditsnya shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari sahabat Sahl bin Sa’ad.

Pendapat yang rajih (kuat) dari dua pendapat ulama ini, yaitu tentang bolehnya mengambil upah dari mengajarkan Al Qur`an dan berda’wah. Tetapi yang perlu diingat, bahwa setiap orang yang menuntut ilmu, kemudian mengajarkan Al Qur`an ataupun berda’wah, maka dia harus melakukannya semata-mata ikhlas karena Allah dan mengharapkan ganjaran dari Allah Subhanahu wa Ta’ala ; tidak boleh mengharapkan sesuatu dari manusia baik berbentuk harta maupun yang lainnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
14- مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ,لاَيَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَالَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Barangsiapa menuntut ilmu, yang seharusnya ia tuntut semata-mata mencari wajah Allah Azza wa Jalla, namun ternyata ia menuntutnya semata-mata mencari keuntungan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan aroma wanginya surga pada hari kiamat”. [Hadits shahih riwayat Abu Dawud, 3664; Ahmad, II/338; Ibnu Majah, 252; dan Hakim, I/85 dari sahabat Abu Hurairah. Hadits ini dishahihkan oleh Imam Hakim dan disetujui oleh Imam Adz Dzahabi].

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anh berkata: “Jikalau seorang yang berilmu mengamalkan ilmunya dan mengajarkannya, maka dia akan mendapatkan kemuliaan di antara orang-orang sezamannya. Akan tetapi mereka menyampaikan ilmu kepada pecinta dunia untuk mengharapkan harta mereka, maka mereka menjadi hina”. [Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadlih. Lihat Shahih Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadlih, no.746, diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah dan Ibnu Abi Syaibah]

Ibnu Jama’ah berkata: “Hendaknya seorang yang berilmu membersihkan ilmunya dari menjadikannya sebagai jalan untuk mencapai tujuan-tujuan duniawi, baik untuk mencari kehormatan, harta, ketenaran, atau merasa lebih hebat dari teman-temannya…” [Tadzkiratus Sami’ Wal Mutakallim Fi Adabil ‘Alim Wal Muta’alim, hlm. 48 oleh Ibnu Jama’ah Al Kinani, wafat th. 733 H, Muhaqqaq]

Kalau seorang da’i tidak mempunyai mata pencaharian yang memadai, dan dia waktunya habis untuk mengajar dan berdakwah, maka dibolehkan menerima upah. Dan kepada Ulil Amri (penguasa atau pemerintah), selayaknya memberikan imbalan yang setimpal, karena dia mengajar kaum muslimin, sebagaimana dijelaskan oleh Al Khatib Al Baghdadi dalam kitab Al Faqih Wal Mutafaqqih (II/347), tahqiq ‘Adil bin Yusuf Al ‘Azazi.

Demikianlah sebagian yang dapat saya tulis tentang masalah ini, yang berkaitan dengan mengambil upah dari mengajarkan Al Qur’an dan berda’wah. Wallahu a’lam bish shawab.

Kesimpulan yang bisa diambil dari masalah ini ialah:
1. Seorang da’i dianjurkan untuk mencari nafkah yang halal.
2. Hidup dengan menggantungkan diri kepada orang lain adalah tercela dan hina.
3. Malas merupakan sifat yang tercela; dan sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung kepada Allah dari sifat malas.
4. Islam melarang meminta-minta atau mengemis untuk kepentingan pribadi.
5. Makan dari hasil jerih payah sendiri adalah terhormat dan nikmat.
6. Mencari nafkah tidak menghalangi seseorang untuk menuntut ilmu syar’i.
7. Mencari nafkah tidak menghalangi seorang da’i untuk menyampaikan dakwahnya.
8. Para nabi dan rasul, mereka semua tidak meminta upah dari manusia sebagaimana Allah sebutkan dalam ayat-ayat Al Qur`an.
9. Menurut jumhur ulama, menerima upah dari mengajarkan Al Qur`an dan berda’wah adalah diperbolehkan, namun menjadikannya sebagai tujuan untuk mendapatkan ma’isyah (mata pencaharian) adalah terlarang.
10. Selayaknya bagi Ulil Amri atau orang yang kaya menjamin kebutuhannya sehari-hari, sehingga dia dapat memaksimalkan waktu dan tenaganya untuk mengajar Al Qur`an dan berda’wah.
11. Kalau tidak ada yang menjamin dari Ulil Amri maupun orang yang kaya, maka seorang da’i harus dapat membagi waktunya untuk mencari nafkah dan berdakwah. Tidak boleh dia bergantung kepada mad’u (muridnya).
12. Seseorang, sekali-kali tidak boleh berharap kepada manusia. Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Hendaknya kalian berputus asa kepada apa yang ada di tangan manusia, niscaya engkau akan menjadi orang yang kaya”. (Lihat Silsilah Ahaadits Ash Shahihah, no. 401, 1914, hadits hasan).
13. Mengajar Al Qur’an dan berda’wah adalah amalan yang paling baik dan ganjarannya sangat besar. Oleh karena itu, keutamaan yang sangat besar ini janganlah dihapuskan dengan tujuan-tujuan duniawi yang fana dan remeh.
14. Setiap muslim, apalagi seorang da’i, haruslah mengharap hanya kepada Allah saja dan mengadukan kesulitan kepadaNya, insya Allah diberikan jalan keluar yang terbaik.
Maraji’:
–Tafsir Ibnu Katsir.
–Kutubus Sittah.
–Musnad Imam Ahmad.
–Riyadush Shalihin, oleh Imam An Nawawi.
–Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadush Shalihin, oleh Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali.
– Syarah Riyadush Shalihin, tahqiq Dr. Al Husaini Abdul Majid Hasyim.
– Mausu’ah Al Manahiy Asy Syar’iyyah Fi Shahihis Sunnah An Nabawiyyah, ta’lif Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali.
–Silsilah Ahadits Ash Shahihah, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.
–‘Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud, oleh Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al ‘Azim Abadi.
– Shahih Jami’ Bayanil Ilmi Wa Fadlih Lil Hafizh Ibnu Abdil Barr, oleh Abul Asybal Az Zuhairi.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XI/1426H/2005. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnotes
[1]. Kemudian Al Baihaqi meriwayatkan dari Utsman bin Sa’id Ad Darimi, dari Duhaim, ia (Al Baihaqi) berkata: “Hadits Abu Darda’, dari Rasulullah yang berbunyi ‘Barangsiapa yang mengambil sebuah busur sebagai upah dari mengajarkan Al Qur`an’ tidak ada asalnya”.
Namun perkataan Al Baihaqi itu dibantah oleh Ibnu At Turkimani sebagai berikut: “Imam Al Baihaqi telah meriwayatkannya dengan sanad yang shahih. Saya kurang mengerti, mengapa ia mendhaifkannya dan mengatakan tidak ada asalnya!?”
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Diriwayatkan oleh Ad Darimi dengan sanad yang sesuai syarat Muslim, akan tetapi gurunya, yakni Abdurrahman bin Yahya bin Ismail, tidak dipakai oleh Imam Muslim. Abu Hatim telah berkomentar tentangnya ’Tidak ada masalah dengannya’.”
Dalam sanadnya terdapat dua cacat. Pertama, Sa’id bin ‘Abdul ‘Aziz rusak hafalannya di akhir usianya. Saya belum dapat memastikan, apakah ia mendengar hadits ini setelah hafalannya rusak atau sebelumnya. Kedua , Al Walid bin Muslim adalah seorang mudallis tadlis taswiyah (bentuk tadlis yang paling buruk). Dia belum menyatakan penyimakannya dalam seluruh tingkatan sanad tersebut. Akan tetapi hadits berikut dapat menguatkannya. Lihat Silsilah Ahadits Ash Shahihah, no. 256 dan Mausu’ah Al Manahi Asy Syar’iyyah, I/212.
[2]. Ada penguat dari hadits Sahl bin Sa’ad z yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (831), Ahmad (III/146,155 dan V/338), Ibnu Hibban (760), Ibnu Mubarak dalam Az Zuhd (8130), Ath Thabrani dalam Al Kabir (6021, 6022, dan 6024) dan lainnya dari dua jalur. Kedua jalur tersebut memiliki cacat. Akan tetapi keduanya saling menguatkan satu sama lain. Lihat Mausu’ah Al Manahiy Asy Syar’iyyah, 1/215.
[3]. Asy Syu’ara ayat 109,127,145,164,180.
[4]. Shad ayat 86.

Upah dalam Berdakwah

Menyimak firman Allah dalam Qs. Albayyinah : 5, yang terjemahnya :
“Dan tidaklah aku diperintah kecuali untuk selalu/selama-lamanya (didunia) mengabdi kepada Allah secara ikhlas dan hanif, dan menegakkan sholat menunaikan zakat dan demikianlah itu addien yang lurus”.
Mustahil suatu amal ibadah seorang hamba Allah diterimaNya apabila tidak menepati dua syarat pokok pengabdian, yaitu ikhlas (tulus niat) karena Allah danhanif / hunafa’ (tunduk patuh) kepada koridor perintah, larangan, dan petunjuk dari Allah. Sebagaimana yang telah ditetapkanNya dalam Qs. Albayyinah : 5, diatas.
Dakwah kepada pengamalan Islam adalah suatu bentuk ibadah/pengabdian yang merupakan tugas khusus dari al Khaliq kepada segolongan ummat (‘ulama, da’i) dengan syarat mereka harus ittiba’ Rasulullah dan mengamalkan atau mencontohkan terlebih dahulu terhadap apa yang akan ia serukan kepada ummat manusia. Sebagaimana yang telah dijelaskanNya dalam Qs. Ali Imran : 104 :
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan ummat yang bertugas mengajak kepada kebaikan, dan menteladankan dengan perbuatan ma’ruf dan mencegah dari hal-hal munkar, dan mereka itulah golongan orang yang mendapatkan kemenangan”.
Jika tujuan akhir aktivitas ibadah kita adalah hanya semata-mata mengharapkan wajah/ridho dari Allah maka, niat yang ikhlas dalam hati dan wujud amaliah yang hanif, yakni mencontoh kepada RasulNya adalah syarat mutlaq.
“Katakanlah jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku (Rasulallah Muhammad SAW). Pasti Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosa kamu, dan sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang” (Qs. Ali Imran : 31).
Bolehkah Menerima Upah Setelah Berdakwah ?
Menyimak keterangan Allah dalam beberapa ayat Alqur-an, antara lain :
“Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) secara terang-terangan” (Qs. Yasin : 17).
“Ikutilah orang-orang yang tiada meminta balasan (upah) kepadamu ; dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (Qs. Yasin : 21).
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang beriman atas (potensi) diri dan harta mereka dengan (bayaran) al jannah (syurga). Mereka itu melaksanakan qital (wujud rumusan menejemen Islam) di jalan Allah, maka mereka unggul atau diungguli. (Qs. Attaubah :111).
Penjelasan:
Rasulullah dan tentu para pemegang amanah para Rasul yang sejati, yaitu qoum Ulama dan para Du’at, da’i dalam berdakwah memiliki beberapa prinsip pokok :
1.     Dakwah kepada jalan Allah disadarinya sebagai perintah suci dariNya yang wajib disampaikan dan haram disembunyikan hanya karena perasaan takut menyinggung hati orang yang mendengar. Segala muatan dakwah : perintah, larangan, dan petunjuk disampaikannya secara terus terang, blak-blakan tanpa takut dibenci orang membenci, dicaci, bahkan terhadap rencana jahat qoum kafir untuk memenjarakan, membunuh, atau mengusirnya (persona non grata) (Qs. Al anfal :26). Karena mereka yaqin akan kekuasaan Allah, dan mereka tiada ingin mengemis cinta kepada manusia dan tiada pula mengharap dibenci oleh manusia. Akhir kehidupan yang baik hanya bagi orang-orang yang bertaqwa.
2.   Berdakwah dan berjihad di jalan Allah hakikatnya adalah bentuk transaksi hamba kepada  al Khaliq. Allah yang akan memberi upah berupa jannah dan ampunanNya, dan tiada haq sedikitpun dari manusia untuk memberi atau menerima upah atas kerja dakwah dan jihad tersebut. Meskipun dengan alasan kemanusiaan, karena orang yang beriman berprinsip : hati, daya fikir (logika) dan perasaan wajib tunduk kepada aturan dari Allah, bukan tunduk kepada nafsu.
3.     Wajib bagi kita untuk mengikuti dan membela para pemegang amanah para Rasulullah tersebut yaitu Ulama shohih dan para da’i, siapapun dan darimanapun hamba Allah tersebut diunculkan Allah. Secara mukhalafah, pengertian sebaliknya adalah haram mengikuti para ulama su’ dan da’i / penyeru palsu yang mengkhianati amanah Allah dan rasulNya.
4.    Sebuah hadits shahih menjelaskan larangan Rasullah Muhammad SAW kepada seorang sahabat tentang hukum menerima dirham/upah atas dakwah kepada jalan Allah. Dikisahkan dalam hadits tersebut, seorang sahabat yang bertanya kepada Rasulullah SAW, bahwa ia dijamu dengan beragam hidangan oleh qoum yang mendengar dakwahnya. Terhadap hal ini Rasulullah SAW hanya tersenyum (tidak melarang) dan hanya mengomentari: “Kamu Senang” , maka jawab sahabat tersebut “Iya ya Rasulullah”. Namun ketika sahabat bertanya tentang bolehkan ia menerima bingkisan dirham/uang/amplop/materi setelah berdakwah maka Rasul melarangnya dengan jawaban : “Ambilah jika kamu ingin dijebloskan ke dalam neraka”.
Jelas bahwa apabila ada orang yang disebut ulama, kyai, atau da’i namun dengan rela, senang hati atau membiarkan diri dipaksa jamaahnya untuk menerima upah dengan alasan apapun berarti tidaklah layak mereka untuk didengar, diikuti, atau dibela, karena mereka inilah para pengkhianat terhadap amanah. Ulama yang seharusnya mengayomi dan memprogram ummat, malah justru mereka minta diayomi dan diprogram oleh ummat. Mereka lebih takut kepada celaan dan ancaman manusia, dan tunduk kepada nafsu daripada takut kepada azab neraka yang telah disediakan Allah bagi para pengingkar. Naudzubillah.Karena ulama’ adalah kedudukan khusus yang diberikan Allah kepada hamba-hamba pilihan, bukan julukan yang diberikan manusia.
Mawaddah fil Qurba adalah Solusinya
Mawaddah fil Qurba (kasih sayang dalam kekeluargaan) adalah suatu pola ukhuwah Islamiyah yang dijelaskan Allah dalam Alqur-an :
“…katakanlah tidaklah aku aku meminta atas kamu atas seruan (dakwahku) ini suatu upah, kecuali mawaddah fil qurba…” (Qs.Assyura, 42 : 23).
Sikap ukhuwah dalam bentuk kasih sayang kekeluargaan adalah wujud nyata dari iman yang benar dari setiap muslim. Sebagaimana dalam hadits : “Tiadalah sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri”.
Ulama yang benar tiada mengharap balasan manusia atas dakwahnya, namun tiadalah larangan bagi kita untuk menjalin kasih sayang kepada mereka dalam bentuk perhatian dan ta’awun (saling memberi dalam kebaikan). Memberikan perhatian terhadap keseharian sesama muslim-termasuk kepada ulama’ dengan melihat kondisi mereka, bersilaturahim, dan merasakan suka duka mereka dalam berjuang, serta saling memberi adalah dibenarkan apabila tiada dikaitkan dengan upah mereka dalam berdakwah, namun semata-mata atas dasar kasih sayang yang terikat dalam rasa kekeluargaan muslim.
“(Shodaqoh itu) untuk orang-orang  fakir (sangat miskin ; ulama’) yang terikat di jalan Allah (seperti menuntut ilmu) dan tiada kuasa (mereka) berjalan mencari penghidupan di muka bumi. Menurut dugaan orang yang tiada mengetahui, mereka (ulama’) itu orang kaya, karena menjaga diri mereka dari meminta-minta. Engkau kenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tiada meminta kepada manusia dengan menyatakan, dan apa-apa  yang kamu nafkahkan dari harta yang baik-baik, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui” (Qs. alBaqoroh : 273).
Ulama’ yang shohih memelihara diri mereka dari sifat mengeluh terhadap persoaalan duniawiyah, dari sikap meminta-minta belas kasih manusia. Mereka shabar dan istiqomah menjalani berbagai cobaan kesenangan atau kesempitan hidup. Maka dari itu, ulama’ dan ummat harus menyatu dalam gerakannya dan saling menyokong, sehingga muncul rasa mawaddah fil qurba. Inilah sikap yang dibenarkan dalam Islam. Jangan sampai ulama dan da’I disamakan dengan artis / selebritis yang jika sekali mentas dibayar sekian rupiah, kemudian dibiarkan begitu saja. Ulama (orang berilmu) jangan sampai pula menjadi umala’ (penjilat) dan dai (penyeru) jangan sampai menjadi do’i (idola/penghibur) untuk bersenang-senang saja, sebab kalau sampai terjadi demikian, maka selamanya kondisi ummat dan negeri tidak akan pernah mencapai keadilan, kesejahteraan, baldhatun toyyibathun walqhofun qhofurWallahu’alam.

Sumber. ust Bardan kindarto (yayasan akuis palembang)

Upah Mengajar al-Quran

Assalamu’alaikum wr. wb.
Semoga Ustadz senantiasa dirahmati Allah SWT. Amin. Ustadz maaf ana mau bertanya soal memungut/menerima upah/bayaran (berupa uang) dari mengajar al qur’an secara privat atau di sekolah/yayasan,
Apakah dibolehkan menurut Syar’i kita mengajar Al qur’an terus minta bayaran, atau diawalnya kita sudah menentukan harga paket pengajaran al qur’an sekian ratus ribu atau mungkin jutaan sampai bisa/mahir membaca al qur’an.
Kalau ada orang yang mengundang kita untuk membacakan do’a untuk orang yang meninggal dan sebelum do’a dibacakan al qur’an, kemudian setelah do’a yang mengundang tersebut memberi sedikit uang untuk sekedar transpot kita, apakah uang tersebut boleh kita terima ?
Mohon jawabannya, karena ini penting sekali pak ustadz, Terima kasih.
Wa.alaikumussalam Wr. Wb.
Saudara Endang yang dimuliakan Allah swt
Bayaran dari Mengajarkan Al Qur’an
Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Sesungguhnya upah yang paling benar kalian terima adalah Kitabullah.” (HR. Bukhori)
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa jumhur ulama telah berdalil dengan hadits ini didalam membolehkan mengambil bayaran dari mengajarkan Al Qur’an.
Imam ash Shon’ani mengatakan bahwa Jumhur ulama, Malik dan Syafi’i membolehkan mengambil upah dari mengajarkan Al Qur’an baik orang yang belajarnya adalah anak kecil atau orang dewasa seandainya hal itu dapat membantu si pengajar didalam penagajarannya berdasarkan hadits diatas. Hal ini diperkuat lagi dengan apa yang disebutkan didalam bab nikah dimana Rasulullah saw pernah memerintahkan seseorang untuk mengajarkan istrinya Al Qur’an sebagai mahar baginya. (Subul as Salam juz III hal 155)
Sementara itu sebagian ulama yang lainnya, seperti Ahmad bin Hambal, Abu Hanifah dan al Hadawiyah tidak membolehkn pengambilan upah dari pengajaran Al Qur’an berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab berkata,”Aku telah mengajarkan seseorang Al Qur’an kemudian dia menghadiahiku sebuah busur (panah). Maka aku pun mengungkapkan hal ini kepada Nabi saw dan beliau bersabda.”Apabila engkau mengambilnya berarti engkau telah mengambil sebuah busur dari neraka.” Lalu aku pun mengembalikannya.” (HR. Ibnu Majah, Abu daud)
Sementara itu para ulama belakangan pada umumnya membolehkan pengambilan upah dari mengajarkan Al Qur’an dikarenakan darurat yaitu kekhawatiran akan hilangnya Al Qur’an di tengah-tengah kaum muslimin terlebih lagi dengan terputusnya pemberian kaum muslimin kepada baitul mal sebagai lembaga penopang perekonomian umat yang mengakibatkan para guru Al Qur’an tidak lagi menyibukkan dirinya dengan mengajarkan Al Qur’an kepada umat karena tuntutan kebutuhan keluarga mereka.
Adapun apabila terjadi penentun sejumlah harga tertentu diawal (akad) sebagai bayaran atas pengajaran Al Qur’an yang dilakukannya maka terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama.
Al Hasan al Bashri, Asy Sya’bi dan Ibnu Sirin membolehkan pengambilan upah dari pengajaran Al Qur’an selama orang itu tidak mensyaratkannya. Mereka berdalil dengan hadits Ubadah bin ash Shomit yang telah mengajarkan Al Qur’an kepada seseorang dari Ahli Suffah kemudian orang itu menghadiahinya dengan sebuah busur (panah) maka Nabi saw bersabda,”Jika engkau menyukai busur dari neraka maka terimalah.”
Sedangkan Imam Malik, Syafi’i dan yang lainnya membolehkan pengambilan upah dari pengajaran Al Qur’an meskipun orang itu menentukannya sebagai persyaratan.
Imam Nawawi mengemukakan dua jawaban yang diberikan oleh mereka yang membolehkan hal itu terhadap hadits Ubadah bin ash Shomit, yaitu :
Bahwa sanad hadits itu perlu dikomentari.
Hal itu adalah tabarru’ (sedekah) dari orang yang mengajarkannya Al Qur’an maka ia tidaklah memiliki hak sedikit pun kemudian orang itu memberikannya hadiah sebagai bayaran atasnya maka tidaklah diperbolehkan baginya untuk mengambilnya, berbeda dengan orang yang berakad sewa dengannya sebelum pengajaran. (at Tibyan Fii Adab Hamlatil Qur’an hal 57)
Jika memang seorang pengajar atau lembaga pengajaran Al Qur’an harus menentukan sejumlah harga tertentu sebagai bayarannya maka hendaklah memperhatikan dua hal berikut :
Tetap menjaga keikhlasan didalam dirinya dan tidak menjadikan bayaran tersebut sebagai tujuannya dikarenakan hal itu akan menjadikan pengajarannya menjadi sia-sia disisi Allah swt.
Syeikh Muhammad Mukhtar as Syinqithi dalam menjawab pertanyaan tentang hukum mengambil upah dalam mengajarkan ilmu-ilmu syar’iyah mengatakan,”…Imam Ibnu Jarir ath Thobari, Al Hafizh Ibnu Hajar dan selainnya berpendapat bahwa orang yang dengan ilmunya bertujuan akherat kemudian mendapatkan bayaran dari ilmunya disebabkan ketidakmapanan dalam mendapatkan rezeki maka hal ini tidaklah merusak keikhlasannya selama tujuannya adalah mengajarkan ilmu dan memberikan manfaat kepada kaum muslimin. Maka tidaklah rusak keikhlasan seseorang dengan keberadaan bagian dari dunia, sebagaimana ditunjukkan oleh perkataan yang shahih dari Al Qur’an dan Sunnah.” (www.islamweb.net)
Jangan sampai tujuan pengajaran Al Qur’an yaitu memberantas buta huruf Al Qur’an ditengah-tengah umat menjadi tidak tercapai dikarenakan ketidaksanggupan umat membayar harga yang ditawarkannya.
Bayaran dari Pembacaan Doa dan Al Qur’an bagi Orang yang Sudah Meninggal
Seperti halnya mengajarkan Al Qur’an, menjadi imam dalam shalat maka membacakan doa didalam suatu acara adalah termasuk didalam amal-amal kebaikan yang mendekatkan diri kepada Allah swt maka dibolehkan baginya menerima upah yang diberikan oleh orang yang mengundangnya selama hal itu tidak menjadi tujuannya didalam melakukan amal tersebut.
Namun apabila orang itu sudah meniatkannya sejak awal untuk mendapatkan upah dari orang yang mengundangnya maka hal itu dapat menghapuskan pahalanya di sisi Allah swt, sebagaimana sabda Rasulullah saw, ”Sesungguhnya amal perbuatan tergantung dari niat dan bagi setiap orang hanyalah apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhori Muslim)
Dan doa yang dipanjatkannya itu tidaklah sampai kepada si mayat dikarenakan kebaikannya itu telah dibayar di dunia dengan upah tersebut.
Adapun apabila seseorang diundang hanya untuk membacakan al Qur’an bagi orang yang sudah meninggal maka tidak diperbolehkan baginya menerima bayaran dari pembacaannya itu berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abdur Rahman bin Syibl berkata; saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda: "Bacalah Al Qur’an, janganlah berlebihan di dalamnya, jangan terlalu kaku, janganlah makan dari bacaannya dan jangan pula memperbanyak (harta) dengannya."
Wallahu A’lam.

Bagaimana Hukumnya Imam Shalat yang Meminta Bayaran?

Tanya:

Assalamu’alaikum wr. wb.

Ustadz, ada sbuah pelaksanaan shalat sunnah tarawih di suatu daerah, di mana sepekan sebelum datangnya Ramadhan diadakan pengutipan dari rumah ke rumah dalam rangka pembiayaan para imam tarawih. Dalam hal ini, sebenarnya banyak penduduk yang keberatan, dengan alasan “mengapa menjadi imam harus dibayar”.
Keputusan pembiayaan imam shalat tarawih ini termasuk imam itu sendiri yang menjadi pelopornya. Malah mereka membuat keputusan barang siapa yang tidak mampu ceramah tidak boleh jadi imam shalat tarawih pada bulan ramadhan. Pertanyaannya, “Apa dasarnya dalam islam problematika yang saya paparkan di atas dan apa hukumnya?
Waalaikumussalam wr. wb.
[Deddi Yastaran Nasution via email ke redaksi]
Jawab:

Wa’alaikum salam Wr. Wb.

Sebenarnya, kegiatan berdakwah mengajarkan tuntunan agama, berceramah agama, termasuk di dalamnya juga mengimami shalat (baik shalat fardu, shalat Jumat, shalat tarawih, shalat jenazah, dll.), mengajar membaca al-Quran, dan sebagainya adalah tugas yang amat mulia yang tidak bisa diukur dengan bayaran uang atau materi. Nabi Muhammad saw. sendiri, dan banyak juga nabi-nabi sebelum beliau, diajarkan oleh Allah swt. untuk tidak meminta imbalan atau bayaran dalam berdakwah. Sebab balasan lebih besar dari sekadar materi atau uang sudah disediakan oleh Allah swt. Coba kita lihat QS. asy-Syuara (26): 180 yang maknanya demikian: Dan aku sekali-kali tidak meminta upah kepadamu atas ajakan itu, upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. Lihat juga ayat-ayat berikut: QS asy-Syuar (26): 109, 127, 145, 164; QS Hûd (11): 29, QS asy-Sy (42): 23.
Ulama-ulama empat mazhab (Maliki, Syafii, Hanafi, Hanbali) sepakat bahwa menerima apalagi meminta bayaran mengimami shalat tidak dibenarkan, kecuali jika bayaran itu berasal dari baitul mal (uang kas milik publik, seperti kas negara, kas masjid, dll.), bukan diminta dari orang-orang yang diimami. Itu pun, menurut mereka, jika seseorang menjaga kehormatan dirinya dengan tidak mengambil upah, itu lebih baik.
Hanya saja, persoalannya adalah: jika seseorang mengkhususkan diri untuk mempelajari agama guna ia ajarkan kepada orang lain sehingga waktunya lebih banyak habis untuk itu daripada untuk mencari nafkah, siapa yang memikirkan penghidupannya? Orang-orang seperti itu dalam istilah fikih dinamakan orang yang memenjara diri (habs an-nafs) sehingga tidak sempat memikirkan keduniaannya. Tentu merupakan  tindakan mulia jika kita ikut memikirkan penghidupan orang-orang seperti itu dengan memberi sumbangan dan bantuan.
Pemberian uang yang berasal dari kas baitul mal itu dinamakan razaq, bukan upah. Ini mirip dengan pemberian harta rampasan perang kepada prajurit. Islam membolehkan pembagian harta rampasan perang kepada prajurit, dan itu telah dipraktikkan oleh Rasulullah saw. Razaq adalah pemberian yang diambil dari kas baitul mal untuk diberikan kepada seseorang atau pihak-pihak tertentu dalam rangka menolongnya melaksanakan ketaatan.
Dalam kasus yang Anda tanyakan, memang sangat tidak bijak kalau inisiatif bayaran itu datang dari sang imam sendiri. Apalagi kalau hal itu memberatkan makmum. Dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Abbas ra. disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Ada tiga orang yang shalatnya tidak naik dari atas kepala mereka satu jengkal pun. Seseorang yang mengimami suatu kaum sementara mereka tidak menyukainya, istri yang membuat marah suaminya (karena tidak taat), dan dua saudara yang saling bertengkar.
Demikian, wallahu alam.
[Muhammad Arifin – Dewan Pakar Pusat Studi Al-Qur’an]


Assalamualaikum wbt...

Para ulama berselisih pendapat tentang boleh atau tidak mengambil upah dari mengajar Al-Quran. Sebahagian ulama berpendapat boleh mengambil upah dari mengajarkan Al Quran berdasarkan dalam sahih Bukhari: 


“Yang paling berhak untuk kalian ambil upahnya adalah mengajar Kitab Allah”[1] 

Para ulama berselisih pendapat tentang boleh atau tidak mengambil upah dari mengajar Al-Quran. Sebahagian ulama berpendapat boleh mengambil upah dari mengajarkan Al Quran berdasarkan dalam sahih Bukhari: 

“Yang paling berhak untuk kalian ambil upahnya adalah mengajar Kitab Allah”[1]

Dan ada yang mengatakan: jika ditentukan jumlahnya, maka tidak boleh. Pendapat ini dipilih oleh Al Halimi. Abu Laits berkata dalam kitab “Al Bustan”[2] 



Mengajar dilakukan dengan tiga bentuk: Pertama: dengan tujuan untuk beribadah saja, dan tidak mengambil upah. Kedua: mengajar dengan mengambil upah. Ketiga: mengajar tanpa syarat, dan jika ia diberikan hadiah ia menerimanya. 

Yang pertama mendapatkan pahala dari Allah SWT, kerena itu adalah amal para Nabi a.s. 

Kedua diperselisihkan. Sebahagian ulama mengatakan: tidak boleh, dengan dalil sabda Rasulullah SAW:“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” [3].Sementara sebahagian ulama lain berkata: Boleh. Mereka berkata: yang paling utama bagi seorang pengajar adalah tidak menentukan bayaran untuk menghafaz dan mengajar, dan jikapun ia menentukan bayaran itu maka aku harapkan agar tidak dilarang, kerana ia memerlukanya [kemaslahatan]. 

Sedangkan yang ketiga: dibolehkan oleh seluruh ulama kerana Nabi Saw adalah pengajar manusia, dan beliau menerima hadiah mereka. Dan dengan dalil tentang seseorang yang tersengat haiwan berbisa, kemudian dibacakan surah Al Fatihah oleh sebahagian sahabat, dan orang itu selanjutnya memberikan hadiah beberapa ekor kambing atas perbuatan sahabat itu, dan setelah mengetahui itu Nabi Muhammad Saw bersabda: 

“Berikanlah aku bahagian dari hadiah itu “ [4] Tamat.[5] 

Dalam hadith lain Rasulullah SAW membolehkan pengajaran itu dijadikan sebagai mas kahwin bagi seorang wanita. Iaitu saat Nabi Muhammad Saw memerintahkan sahabat itu untuk mencari sesuatu yang dapat dijadikan mas kahwin bagi sahabat itu, hingga sebentuk cincin dari besi sekalipun. Kemudian Rasulullah SAW menanyakan surah apa yang ia boleh dibaca. Ia memberitahukan beberapa surah yang ia hafaz. Selanjutnya Rasulullah SAW bersabda kepada sahabat itu: 

“Pergilah, aku telah sahkan perkawinanmu dengan mas kawin mengajar Al Quran yang engkau hafaz” [6] 

Ertinya dengan pengajaran Al Quran yang engkau lakukan kepada wanita itu. 

Ini semua adalah dalam masalah pengajaran Al Quran. Sedangkan membacanya tidak boleh menarik upah, kerana hukum asal dalam membacanya adalah ibadah, dan dasar bagi seorang yang beribadah adalah agar ia beribadah bagi dirinya, maka bagaimana mungkin ia kemudian mengambil upah kepada orang lain dari ibadah yang ia lakukan kepada Rabb-nya, sementara ia mengerjakan itu semata untuk mendapatkan pahala dari Allah SWT?! 

Abdurrahman bin Syibl meriwayatkan dari Nabi Saw, bahwa beliau bersabda: 

“Bacalah Al Quran, amalkanlah isinya, jangan kalian menjauh darinya, jangan berlaku khianat padanya, jangan makan dengannya, dan jangan mencari kekayaan dengannya” [7] 

Imran bin Husain meriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw beliau bersabda: 

“Bacalah Al Quran dan mintalah kepada Allah SWT dengan Al Quran itu, sebelum datang kelompok manusia yang membaca Al Quran, kemudian meminta [upah] kepada manusia dengan Al Quran”[8] 

Sedangkan jika pembaca Al Quran diberikan sesuatu sedeqah, atau pemberian, maka tidak mengapa jika ia menerimanya, insya Allah. 

Tamat petikan. 

Bagi penulis lebih cenderung dengan pendapat kedua dan ketiga. Ia bukan sahaja boleh merujuk upah mengajar al-Quran tetapi kepada semua pengambilan upah seperti mengajar al-Quran, Ilmu agama, Imam, Muazzin dan sebagainya. Ini berdasarkan apa yang difatwakan oleh “Majma’ al-Fiqh al-Islami ” [9] iaitu: 

Jika tidak mengambil upah, nescaya meraka tidak akan mempunyai sumber untuk menyara kehidupan mereka. Jika perkara itu berlaku, agama Islam akan semakin dilupakan. Oleh itu, untuk menjaga kesinambunagn agama Islam, para ulama Mazhab Hanafi telah membenarkan golongan ini mengambil upah. Para ulamak dari pada pelbagai mazhab juga telah mengambil pendapat ini demi menjaga kemaslahatan agama. 

Ustaz Maszlee Malik mengatakan ulamak yang mengharamkan perbuatan itu kerana ia termasuk dalam amal ibadah dan tidak boleh diberikan upah. Pendapat ini disokong oleh polisi negara islam terdahulu yang menyara para pengajar al-Quran, fardu ‘ain, fardu kifayah, imam, muazzin dan sebagainya. Namun begitu, pendapat ini tidak lagi relevan apabila negara-negara Islam moden sudah tidak lagi menanggung mereka. [10] 
Wallahua'lam
Rujukan: Fakruddin


Amplop Untuk Imam Tarawih

Ketika bulan Ramadan tiba, di samping mendatangkan peng-kultum, sebagian masjid juga mendatangkan orang-orang tertentu yang memiliki suara yang merdu untuk menjadi imam shalat tarawih. Apa hukum uang amplop untuk imam tarawih semisal ini? Simak jawabannya dalam tanya jawab berikut ini.

Pertanyaan, “Apa hukum amplop bagi imam shalat tarawih?”

Jawaban Syekh Abu Said Al-Jazairi, “Sepatutnya, kebiasaan memberikan uang di akhir Ramadan untuk imam shalat tarawih itu dijauhi karena hal itu menyebabkan para imam tersebut memiliki tendensi duniawi dalam ibadah yang mereka lakukan, dan boleh jadi, hal ini menyebabkan adanya ganjalan hati antara takmir masjid dengan para imam tersebut tatkala uang yang diberikan kepada imam tidak sesuai dengan harapan.

قال الله تعالى (فَمَن كَانَ يَرْجُواْ لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدَاً ) [الكهف:110] ،

Allah berfirman (yang artinya), ‘Siapa saja yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, hendaknya dia mengerjakan amal saleh dan tidak menduakan dengan siapa pun ketika beribadah kepada Tuhannya.’ (Q.S. Al-Kahfi:110)

وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “اقرؤوا القرآن [وابتغوا به الله تعالى] قبل أن يأتي قوم يقرؤون القرآن فيسألون به الناس

Rasulullah bersabda, ‘Bacalah Alquran dan niatkanlah hanya untuk Allah, sebelum datang sekelompok orang yang membaca Alquran lalu dia jadikan Alquran sebagai alat untuk meminta-minta harta.’ (H.R. Ahmad, dan lain-lain; sahih, sebagaimana dalam Shahih Al-Jami Ash-Shaghir, no. 1169)

Imam Muhammad bin Nasr Al-Maruzi (wafat tahun 294 H) mengatakan bahwa Yahya bin Yahya berkata kepada Abu Waki’, ‘Bukankah Abu Ishaq bercerita kepada kalian bahwa Abdullah bin Ma’qil menjadi imam shalat tarawih di bulan Ramadan. Saat Idul Fitri tiba, Ubaidullah bin Ziyad mengirimkan uang sebanyak lima ratus dirham dan satu setel baju baru kepada Abdullah bin Ma’qil, namun Abdullah bin Ma’qil menolak pemberian tersebut sambil mengatakan, ‘Sesungguhnya, kami tidaklah mengambil upah karena membaca Alquran’?’

Abu Waki’ berkata, ‘Benar, demikianlah yang diceritakan oleh Abu Ishaq.’

Abu Ishaq mengatakan bahwa Mush’ab memerintahkan Abdullah bin Ma’qil bin Muqarrin untuk menjadi imam shalat tarawih di Masjid Jami’ ketika bulan Ramadhan. Setelah Idul Fitri tiba, Mush’ab mengirimkan uang sebanyak lima ratus dirham dan satu setel baju, namun Abdullah menolaknya. Abdullah mengatakan, ‘Aku tidak mau mengambil upah karena membaca Alquran.’ (Dikutip dari Mukhtashar Qiyam Al-Lail, hlm. 246, karya Imam Ahmad bin Ali Al-Maqrizi [wafat tahun 845])

Syekh Abdusy Syakur Al-Atsari mengatakan, ‘Fenomena uang amplop karena menjadi imam shalat di bulan Ramadan telah tersebar di zaman kita saat ini. Sampai-sampai, para penghafal Alquran bepergian dari satu daerah ke daerah yang lain dan mereka mencari-cari takmir masjid yang mau menetapkan besaran upah bagi mereka sebelum mereka bertugas sebagai imam shalat tarawih, sehingga mereka menjadi imam dengan penuh semangat dan penuh keyakinan akan mendapatkan upah yang mereka harapkan. Bahkan, sebagian imam shalat tarawih menjadi imam shalat tarawih di suatu masjid, lalu segera menyelesaikan shalat bersama jemaah masjid tersebut, untuk bisa berpindah ke masjid lain dan menjadi imam shalat tarawih di masjid kedua. Kedua shalat tarawih tersebut dilaksanakan di awal malam. Dengan demikian, si imam mendapatkan upah dari kedua masjid tersebut. Inna lillahi wa inna ilahi raji’un. Semoga Allah memaafkan kita.’

Meski demikian, shalat bermakmum dengan orang semacam itu adalah shalat yang sah. Jika ada celaan maka celaan hanya tertuju kepada si imam.

Asyhab mengutip perkataan Imam Malik yang mengatakan, ‘Tidaklah mengapa mengerjakan shalat dengan bermakmum kepada imam yang mau menjadi imam shalat karena mendapatkan upah. Jika ada dosanya maka itu adalah tanggungan si imam.’ (Dikutip dari An-Nawadir waz Ziyadat, 1:386, karya Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani [wafat tahun 386 H], tahqiq oleh Abdul Qadir bin Muhammad Al-Halwu).”
Sumber:

Mengambil Upah / Gaji Dari Kegiatan Berdakwah Atau Mengajarkan 
Al Quran

Tentunya Allah telah memerintahkan para da’i, ustadz, muballigh dan siapa saja yang mendakwahkan ajaran agama islam dengan ikhlas yakni berdakwah hanya mengharapkan wajah Allah ta’ala. Jangan sampai para da’i mengharapkan upah dari dakwahnya. Karena beginilah dakwahnya para nabi dan rasul. Mereka sama sekali tidak mengharapkan upah dari dakwahnya, yang mereka harapkan hanya wajah Allah subhanahu wa ta’ala.

Sebagaimana Allah berfirman tentang para rasul:
ألئك الذين هدى الله فبهداهم اقتده قل لا أسألكم عليه أجرا إن هو إلا ذكرى للعالمين
“Mereka itulah (para rasul) telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah(Muhammad) : Aku tidak meminta imbalan dari kalian dalam menyampaikan (al quran), al quran tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh alam”[1]

Dan Allah berfirman tentang perkataan Nabi Nuh alaihissalam:
و ياقوم لا أسألكم عليه مالا إن أجري إلا على الله
“Dan wahai kaumku, aku tidak meminta dari kalian harta sebagai imbalanku. Imbalanku hanyalah dari Allah semata”[2]

Dan Allah berfirman tentang perkataan Nabi Hud alaihissalam:
و ياقوم لا أسألكم عليه أجرا إن أجري إلا على الذي فطرني أفلا تعقلون
“Dan wahai kaum ku, aku tidak meminta imbalan dari kalian atas dakwahku, ini. Imbalanku hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Tidakkah kalian mengerti?”[3]

Dan Allah berfirman tentang perkataan nabi Shalih alaihissalam:
و ما أسألكم عليه من أجر إن أجري إلا على رب العالمين
“Dan aku tidak meminta imbalan kepadamu atas dakwah ini, imbalanku hanyalah dari Tuhan semesta alam”[4]

Dan Allah berfirman tentang perkataan nabi syu’aib alaihissalam sama persis dengan perkataan nabi Shalih alaihissalam:
و ما أسألكم عليه من أجر إن أجري إلا على رب العالمين
“Dan aku tidak meminta imbalan kepadamu atas dakwah ini, imbalanku hanyalah dari Tuhan semesta alam”[5]

Akan tetapi, mengingat jika seorang ustadz dalam suatu lembaga ia menjadi seorang guru tetap, banyak mengambil waktu dan tenaga guru tersebut maka apa hukum dari mengambil upah dari pengajaran yang ia lakukan? Yang mana seharusnya dapat dilakukan untuk mencari nafkah dan rezeki untuk dia dan keluarganya, namun disita oleh lembaga hanya untuk mengajar para murid.

Maka jika demikian keadaanya, maka para ulama membolehkan guru tersebut mengambil upah. Dengan syarat hanya untuk mencukupi kebutuhan dia dan keluarganya dan tidak boleh memperbanyak harta dari profesi kerjanya.

Karena Rasulullah sendiri membolehkan mengambil upah dari Al quran.

Telah disebutkan dalam suatu riwayat, bahwa sekelompok sahabat singgah di suatu suku Arab yang saat itu pemimpin mereka tersengat binatang berbisa. Mereka telah berusaha mengobatinya dengan berbagai cara tapi tidak berhasil, lalu mereka meminta kepada para sahabat itu untuk meruqyah, kemudian salah seorang sahabat meruqyahnya dengan surat Al-Fatihah, dan Allah menyembuhkan dan menyehatkannya. Sebelumnya, para sahabat itu telah mensyaratkan pada mereka untuk dibayar dengan daging domba. Maka setelah itu mereka pun memenuhinya. Namun para sahabat tidak langsung membagikannya di antara mereka sebelum bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ بِسَهْمٍ
“Berilah aku bagian bersama dari apa yang kalian terima.”[6]

Rasulullah juga bersabda dalam riwayat lain:
اِنَّ اَحَقَّ مَا أَخَذْتُم عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ.
“Sesungguhnya suatu hal yang paling berhak untuk kalian ambil upahnya adalah Kitabullah.”[7]

Dan Rasulullah bersabda:
زَوَّجْتُكَهَا عَلَى مَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
“ Aku nikahkan engkau dengannya dengan mahar apa yang engkau hafal dari Al-Qur`an.”[8]

Disini dapat dipahami, bahwa upah mengajar al qur’an adalah halal sehingga bisa dijadika mahar layaknya emas, perak dan lain-lain.

Jika dikatakan, bahwasanya mengambil upah atau imbalan adalah menyelisihi dakwahnya para nabi, maka tidak bisa dalil tersebut dijadikan sebagai patokan. Karena yang didakwahi para nabi dan Rasul dikala itu adalah kaum kuffar yang tidak mungkin mereka memberikan kepada Rasul imbalan sedikitpun, sehingga para rasul mengucapkan hal yang demikian.

Adapun jika dikatakan bahwasanya ini termasuk memperjual belikan ayat Allah dengan harga yang murah dan Allah telah melarangnya, sebagaimana firman Allah ta’ala:
و لا تشتروا بأيتي ثمنا قليلا
“Dan janganlah engkau menukarkan ayat-ayatku dengan harga yang rendah”[9]

Dalil ini pun tidak kuat, karena maksud ayat diatas bila seseorang telah menjadi fardhu ain baginya untuk berdakwah, sebagaimana ia berada dalam suatu kampung, yang mana para penduduknya tidak ada yang mengerti tentang islam kecuali dirinya. Maka dalam keadaan demikian haramlah meminta upah dari mereka. Karena dakwah untuknya dalam keadaan tersebut adalah fardhu ain untuknya. Sebagaimana seseorang shalat, tidak mungkin seseorang mengambil upah atau gaji atas shalatnya tersebut.

Yang  perlu digaris bawahi, seorang da’i tidak boleh memperbanyak harta dengan cara mengajar al quran ataupun berdakwah. Ia hanya boleh menerima upah untuk mencukupi kebutuhan dia dan keluarganya,

Karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
اقرؤوا القران و لا تغلوا فيه و لا تجفوا عنه و لا تأكلوا به و لا تستكثروا به
“Bacalah Al qur’an, dan jangan terlalu berlebihan, jangan terlalu lalai, jangan memakan upah mengajar al quran dan jangan memperbanyak harta melalui mengajar al quran”[10]

Adapun jika hadiah maka diperbolehkan bahkan disunnahkan. Dan bedanya hadiah dan upah adalah jika hadiah diberikan cuma-cuma tanpa memberi syarat sebelum mengajar, adapun upah maka memberi syarat biaya yang akan di beri kepada guru yang mengajar.

Dan hadiah disunnahkan sebagaimana sabda nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam:
تهادوا تحابوا
"Hendaklah kalian saling memeberikan hadiah, maka kalian akan saling mencintai"[11]

Allahu a’lam.
Penulis: Muhammad Abdurrahman Al Amiry
Artikel: alamiry.net (Kajian Al Amiry)

Bolehkah menerima upah sebagai imam atau muadzin

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
Penanya: Semoga Allah berbuat baik kepada Anda wahai Shahibul Fadhilah, penanya mengatakan: “Di sebagian negara mereka menjadikan menjadi imam dan muadzin di masjid sebagai pekerjaan yang mendapatkan gaji, tingkatan dan ijazah dan mereka tidak mendapatkan pekerjaan lain di negara, maka apakah hal ini termasuk menerima upah yang dilarang ataukah tidak?
Asy-Syaikh:
Bukan, ini bukan termasuk menerima upah yang dilarang, ini (seperti –pent) upah dari baitul mal yang merupakan haknya. Para muadzin dan imam-imam masjid mereka mendapatkan hak di baitul mal, seperti para hakim dan para pengajar yang mengerjakan tugas-tugas keagamaan. Mereka diberi dari baitul mal yang mencukupi mereka agar mereka bisa konsentrasi atau fokus pada urusan ini. Dan ini merupakan perkara yang halal –walillahilhamdu– dan telah berlangsung sejak masa Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun serta perkara yang diamalkan oleh kaum Muslimin.
Hanya saja siapa yang niatnya adalah untuk mendapatkan harta maka sesungguhnya amal-amal itu balasannya sesuai dengan niatnya. Siapa saja yang tujuannya hanya ingin mendapatkan harta jelas dia tidak mendapatkan pahala. Adapun siapa yang niatnya adalah ibadah dan dia mengambil sebagian harta ini sebagai sarana untuk membantu dirinya dalam melakukan ketaatan kepada Allah, maka dia mendapatkan pahala, dibantu dan mendapatkan ganjaran.
* Alih bahasa: Abu Almass

Selasa, 15 Jumaadats Tsaniyah 1435 H


Hukum Mencari Nafkah dari Berdakwah

Sesuai dgn surat asyura ayat 23, dan dari kisah para sahabat nabi yang tidak menerima upah atas da’wah. Apakah hukumnya profesi ustadz2 guru2 agamasekolah dosen2 yg menerima gaji dari da’wah serta khatib2 jum’at yg menerima amplop sehabis khutbah? apakah tdk termasukmemperjual belikan agama?
Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Abdurrahman yang dimuliakan Allah swt
Jumhur ulama berpendapat dibolehkan bagi seorang yang guru mengajarkan al Qur’an (guru ngaji) untuk mengambil upah dari pengajarannya tersebut berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Ibnu Abbas bahwa beberapa sahabat Nabi saw melewati sumber mata air dimana terdapat orang yang tersengat binatang berbisa, lalu salah seorang yang bertempat tinggal di sumber mata air tersebut datang dan berkata; “Adakah di antara kalian seseorang yang pandai menjampi? Karena di tempat tinggal dekat sumber mata air ada seseorang yang tersengat binatang berbisa.” Lalu salah seorang sahabat Nabi pergi ke tempat tersebut dan membacakan al fatihah dengan upah seekor kambing. Ternyata orang yang tersengat tadi sembuh, maka sahabat tersebut membawa kambing itu kepada teman-temannya. Namun teman-temannya tidak suka dengan hal itu, mereka berkata; “Kamu mengambil upah atas kitabullah?” setelah mereka tiba di Madinah, mereka berkata; “Wahai Rasulullah, ia ini mengambil upah atas kitabullah.” Maka Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil adalah upah karena (mengajarkan) kitabullah.”
Hal itu juga diperkuat bahwa Rasulullah saw pernah memerintahkan seorang lelaki untuk mengajarkan istrinya al Qur’an sebagai mahar baginya. (baca : Upah Mengajar Al-Qur’an)
Demikian halnya dengan seorang ustadz, guru agama, dosen-dosen yang mengajarkan ilmu-ilmu agama atau para dai atau khotib yang menyampaikan ceramah-ceramahnya maka dibolehkan bagi mereka menerima upah dari pengajarannya itu sebagaimana dibolehkannya seorang yang mengajarkan Al Qur’an mengambil upah atau bayaran atau gaji dari pengajaran al Qur’annya kepada murid-muridnya.
Markaz al Fatwa menyebutkan bahwa boleh mengambil upah dari mengajarkan ilmu-ilmu syar’i (baca : ilmu agama) seperti para ustadz (dosen) di Fakultas Syariah dan lainnya.
Al Khotib al Baghdadiy didalam “al Fiqh wa al Mutafaqqih” mengatakan,”diwajibkan bagi seorang imam (pemimpin) untuk memberikan kecukupan penghasilan kepada orang-orang yang menyerahkan dirinya untuk memberikan pengajaran didalam bidang fiqih atau fatwa hukum-hukum dan ambilah untuk itu dari baitul mal kaum muslimin. Jika di sana tidak terdapat baitul mal maka penduduk negeri harus bekerja sama menyisihkan sebagian dari hartanya untuk diberikan kepadanya (mufti) agar dia bisa fokus mencurahkan segenap waktunya untuk memberikan fatwa kepada mereka dan jawaban-jawaban dari permasalahan-permasalahan mereka. (Markaz al Fatwa, fatwa No. 34050)
Namun hendaklah setiap ustadz, dai, khotib, dosen, guru agama atau orang-orang yang memberikan pengajaran dan pengetahuan tentang agama kepada orang lain yang mendapatkan bayaran atau gaji darinya tetap menjaga keikhlasan niatnya agar apa yang didapatnya itu tidak menghapuskan pahalanya di sisi Allah swt.
Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Umar bin Khattab dia berkata, “Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya amalan itu tergantung dengan niatnya, dan sesungguhnya ia akan mendapatkan sesuatu yang diniatkannya.”
Wallahu alam,
Ustadz Sigit Pranowo


Hukum Mengambil Upah Dari Pengajaran Agama

Adapun masalah meminta upah karena mengajarkan Al Qur’an dan ilmu-ilmu agama yang lainnya, maka Rosululloh صلى الله عليه وسلم telah membolehkannya (dengan celaan, kecuali jika kondisinya memang butuh uang, sebagaimana akan datang penyebutan dalil-dalil tentang itu insya Alloh).
Akan tetapi yang Alloh pilihkan untuk para Nabi-Nya عليهم الصلاة والسلام itu adalah kondisi yang lebih sempurna, pahala yang lebih banyak, dan barokah yang lebih besar dalam dakwah, yaitu tidak meminta upah atas dakwah Islamiyyah ini. Dan pada mereka ada teladan yang baik bagi orang yang mengharapkan perjumpaan dengan Alloh dan Hari Akhir dan banyak mengingat Alloh.
Dalil tentang dibolehkannya minta upah tadi adalah hadits-hadits tentang upah ruqyah yang telah berlalu penyebutannya.
Al Imam Ibnu Qudamah رحمه الله setelah menyebutkan hadits-hadits tersebut, beliau berkata: “Dan jika mengambil pemberian tadi adalah boleh, maka boleh juga mengambil upah, karena upah itu masuk dalam makna pemberian. Dan juga karena boleh seseorang itu mengambil rizqi dari baitul mal karena pengajaran, maka boleh pula mengambil upah karenanya, sebagaimana membangun masjid-masjid dan jembatan-jembatan. Dan juga karena kebutuhan itu menuntut untuk mengambil upah, karena dibutuhkan adanya perwakilan dalam menghajikan orang yang wajib untuk berhaji tapi tidak sanggup melakukannya, dan hampir-hampir tidak didapatkan orang yang mau sukarela melakukan itu tanpa upah, sehingga diperlukan mencurahkan upah untuk itu.” (“Al Mughni”/6/hal. 143).
Dalil yang lain: Dari Sahl bin Sa’d رضي الله عنهما yang berkata:
أتت النبي صلى الله عليه وسلم امرأة فقالت: يا رسول الله أهب لك نفسي. فنظر إليها رسول صلى الله عليه و سلم فصعد النظر فيها وصوبه ثم طأطأ رسول الله صلى الله عليه و سلم رأسه. فلما رأت المرأة أنه لم يقض فيها شيئاً جلست. فقام رجل من أصحابه فقال: يا رسول الله إن لم يكن لك بها حاجة فزوجنيها. فقال: «فهل عندك من شيء ؟». فقال: لا والله يا رسول الله. فقال: «اذهب إلى أهلك فانظر هل تجد شيئا ؟». فذهب ثم رجع فقال: لا والله ما وجدت شيئاً. فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم: «انظر ولو خاتم من حديد». فذهب ثم رجع فقال: لا والله يا رسول الله ولا خاتم من حديد. ولكن هذا إزاري ( قال سهل ما له رداء ) فلها نصفه. فقال رسول الله: «ما تصنع بإزارك إن لبسته لم يكن عليها منه شيء وإن لبسته لم يكن عليك منه شيء». فجلس الرجل حتى إذا طال مجلسه قام. فرآه رسول الله صلى الله عليه و سلم مولياً، فأمر به فدعي. فلما جاء قال: «ماذا معك من القرآن ؟» قال: معي سورة كذا وكذا ( عددها ). فقال: «تقرؤهن عن ظهر قلبك ؟». قال: نعم. قال: «اذهب فقد ملكتها بما معك من القرآن».
 “Ada seorang wanita mendatangi Nabi صلى الله عليه وسلم seraya berkata: “Wahai Rosululloh, saya memberikan diri saya untuk Anda.” Maka Rosululloh صلى الله عليه وسلم melihat kepadanya, memandang ke atas dan ke bawahnya, kemudian Rosululloh صلى الله عليه وسلم menundukkan pandangan beliau. Manakala wanita itu melihat bahwasanya beliau tidak memberikan suatu keputusan, duduklah dia. Maka berdirilah seseorang dari Shohabat beliau seraya berkata: “Wahai Rosululloh, jika Anda tidak punya hajat kepadanya, nikahkanlah saya dengannya.” Maka beliau bertanya: “Apakah engkau punya sesuatu?” Dia menjawab: “Demi Alloh, tidak wahai Rosululloh.” Maka beliau bersabda: “Pergilah ke keluargamu dan lihatlah apakah engkau mendapati sesuatu.” Maka pergilah dia lalu dia datang lagi seraya berkata.” Demi Alloh saya tidak mendapatkan sesuatu.” Maka Rosululloh bersabda: “Lihatlah, sekalipun cincin dari besi.” Maka pergilah dia lalu dia datang lagi seraya berkata.” Demi Alloh wahai Rosululloh, saya tidak mendapatkan walaupun cincin besi. Tapi ini sarung saya.” Sahl berkata: “Dia tidak punya selendang.” Dia berkata: “Wanita ini akan saya beri setengah dari sarung ini.” Maka Rosululloh bersabda: “Apa yang akan engkau perbuat dengan sarungmu? Jika engkau memakainya, wanita ini tak bisa memakainya sedikitpun. Jika dia memakainya, engkau tak bisa memakainya sedikitpun.” Maka pria tadi duduk. Sampai ketika majelisnya telah berlangsung lama, diapun bangkit. Maka Rosululloh صلى الله عليه وسلم melihatnya pergi, lalu beliau memerintahkan agar dia dipanggil kembali. Ketika dia datang, beliau bertanya: “Apa yang engkau miliki dari Al Qur’an?”Dia menjawab: “Saya punya surat ini dan itu.” Dia menghitungnya. Beliau bertanya: “Engkau bisa membacanya secara hapalan?”Dia menjawab: “Iya.” Beliau bersabda: “Pergilah, sungguh aku telah menikahkanmu dengannya, dengan Al Qur’an yang engkau hapal.” (HR. Al Bukhoriy (5029) dan Muslim (1425)).
            Dan dalam satu riwayat: “Berangkatlah, sungguh aku telah menikahkanmu dengannya, maka ajarilah dia Al Qur’an.” (HR. Muslim (1425)).
            Al Imam Ibnu Abdil Barr رحمه الله berkata: “Dan dalam hadits ini ada dalil bolehnya mengambil upah karena mengajarkan Al Qur’an, dan mengambil ganti (upah juga) karena telah menunaikan pengajaran tadi, dan yang semisal itu, karena jika pengajaran Al Qur’an boleh menjadi mahar, boleh juga untuk mengambil ganti dari setiap perkara yang bisa diambil manfaatnya. Dan ini adalah madzhab Malik, Asy Syafi’iy, Abu Tsaur, Ahmad dan Dawud.
Dan di antara hujjah mereka adalah hadits Abu Sa’id Al Khudriy –lalu beliau menyebutkan hadits ruqyah, sampai pada ucapan beliau:- Abu Hanifah dan pengikutnya berkata: “Tidak boleh mengambil upah atas pengajaran Al Qur’an. Setiap orang yang ditanya tentang Al Qur’an sedikit saja, dia harus membacakannya dan mengajarkannya bagi orang yang memintanya. Kecuali jika dia terkena dhoruroh dan tersibukkan dari mata pencahariannya.” Dan mereka beralasan dengan hadits-hadits marfu’ yang semuanya itu lemah.”
(selesai dari “Al Istidzkar”/5/hal. 416-417).
Al Imam Ibnu Qudamah رحمه اللهketika menyebutkan perselisihan tentang upah mengajar, beliau berkata: “Dan Abu Tholib menukilkan dari Ahmad bahwasanya beliau berkata: “Mengajar itu lebih aku sukai daripada dia bersandar pada para penguasa itu, dan daripada dia bersandar pada seseorang dari keumuman manusia dalam suatu mata pencaharian, dan daripada dia berutang dan berdagang, karena bisa jadi dia tak sanggup menunaikannya sehingga dia berjumpa dengan Alloh ta’ala dengan memikul amanah-amanah manusia. Mengajar itu lebih aku sukai.” Dan ini menunjukkan bahwasanya larangan Al Imam Ahmad (dalam riwayat yang lain) adalah untuk kemakruhan, bukan untuk pengharoman.
Dan termasuk yang membolehkan itu adalah Malik dan Asy Syafi’iy. Abu Qilabah, Abu Tsaur dan Ibnul Mundzir juga memberikan keringanan dalam upah para pengajar karena Rosululloh صلى الله عليه وسلم menikahkan seseorang dengan Al Qur’an yang dia hapal. Riwayat Al Bukhoriy dan Muslim. Jika boleh pengajaran Al Qur’an sebagai ganti (upah) dalam bab pernikahan dan menduduki posisi mahar, boleh juga mengambil upah karena pengajarkan All Qur’an dalam bab persewaan.”
(selesai dari “Al Mughni”/6/hal. 143).
Ahmad bin Umar Al Qurthubiy رحمه الله berkata: “Dan hadits ini merupakan bantahan terhadap Abu Hanifah yang melarang mengambil upah dari pengajaran Al Qur’an. Dan yang membantah dia juga sabda Nabi صلى الله عليه وسلم:
«إن أحقّ ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله».
“Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh.” (HR. Al Bukhoriy (5737)).
(selesai dari “Al Mufhim”/4/hal. 13).
Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata: “Dan di dalam hadits ini ada dalil untuk bolehnya pengajaran Al Qur’an itu sebagai mahar, dan bolehnya menyewa orang untuk mengajarkan Al Qur’an, dan dua perkara ini boleh menurut Asy Syafi’iy. Dan ini juga pendapat Atho, Al Hasan bin Sholih, Malik, Ishaq, dan yang lainnya. Sekelompok ulama melarangnya, di antaranya adalah Az Zuhriy dan Abu Hanifah. Hadits ini dan hadits shohih: “Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh” membantah pendapat ulama yang melarang itu. Al Qodhi ‘Iyadh menukilkan dari seluruh ulama –selain Abu Hanifah- tentang bolehnya menyewa orang untuk mengajarkan Al Qur’an.” (“Syarh Shohih Muslim”/9/hal. 214-215).
Az Zarqoniy رحمه الله berkata: “Dan di dalam hadits ini ada pembolehan mengambil upah dari pengajaran Al Qur’an. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama dan Imam yang tiga (Malik, Asy syafi’iy dan Ahmad).” (“Syarh Muwaththo Malik”/Az Zarqoniy/5/hal. 468).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله ditanya: “Ada seorang alim dari ulama diminta untuk membacakan hadits-hadits Rosululloh صلى الله عليه وسلم dan ilmu-ilmu syariat yang lainnya. Maka dia tidak mau membacakannya kecuali dengan upah. Maka dikatakan padanya: “Telah diriwayatkan dari jalan Salaf dan para imam huda pengajaran ilmu dalam rangka mencari wajah Alloh Yang mulia yang kisah-kisah itu tidak tersembunyi dari orang yang berakal. Dan minta upah itu tidak pantas. Maka dia menjawab: “Aku membacakan ilmu tanpa upah? Harom bagiku membacakan ilmu tanpa upah.” Maka apakah ucapannya itu benar ataukah batil? Dan apakah dia itu bodoh dengan ucapannya bahwasanya dirinya punya udzur? Dan apakah boleh baginya untuk mengambil upah karena mengajarkan ilmu yang bermanfaat? Ataukah dimakruhkan?”
Maka Syaikhul Islam رحمه الله menjawab: “Segala pujian bagi Alloh. Adapun mengajarkan Al Qur’an dan ilmu tanpa upah, maka itu adalah amalan yang paling utama dan paling dicintai oleh Alloh. Dan ini termasuk perkara yang diketahui secara pasti dalam agama Islam. Bukanlah ini termasuk dari perkara yang tersembunyi dari orang yang tumbuh di negri-negri Islam. Para Shohabat, Tabi’un, dan Tabi’ut Tabi’un dan ulama yang lainyang terkenal di kalangan umat ini dengan Al Qur’an, Hadits dan Fiqih, mereka itu dulu mengajar tanpa upah. Tidak ada di kalangan mereka pada asalnya yang mengajar dengan upah.
«فإن العلماء ورثة الأنبياء، وإن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما، وإنما ورثوا العلم، فمن أخذه فقد أخذ بحظ وافر».
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya para Nabi itu tidak mewariskan dirham ataupun dinar, akan tetapi mereka itu hanyalah mewariskan ilmu. Maka barangsiapa mengambilnya, dia telah mengambil bagian yang banyak.”[HR. Abu Dawud (3641) dan At Tirmidziy (2682), hasan lighoirih].
Dan para Nabi صلوات الله عليهم dulu hanyalah mengajarkan ilmu tanpa upah, sebagaimana ucapan Nuh عليه السلام:
﴿وما أسألكم عليه من أجر إن أجري إلا على رب العالمين﴾ [ الشعراء : 109 ] ،
“Dan tidaklah aku minta pada kalian upah sedikitpun dari dakwahku. Tidaklah upahku kecuali dalam tanggungan Robbil alamin.”
Demikian pula Hud, Sholih, Syu’aib, Luth dan yang lainnya. Demikian pula Penutup para Rosul:
﴿قل ما أسألكم عليه من أجر وما أنا من المتكلفين﴾ [ ص : 86 ] ،
“Katakanlah: tidaklah aku minta pada kalian upah sedikitpun dari dakwahku. Dan bukanlah aku termasuk orang yang memberat-beratkan diri.”
Dan berfirman berkata:
﴿قل ما أسألكم عليه من أجر إلا من شاء أن يتخذ إلى ربه سبيلا﴾ [ الفرقان  57 ] .
“Katakanlah: tidaklah aku minta pada kalian upah sedikitpun dari dakwahku. Akan tetapi orang yang ingin mengambil jalan kepada Robbnya (dengan berinfaq di jalan Alloh, silakan berinfaq).”
Dan pengajaran Al Qur’an, Hadits dan Fiqh dan yang lainnya tanpa upah itu, para ulama tidak berselisih pendapat bahwasanya itu adalah amal sholih, lebih-lebih untuk menjadi mubah. Bahkan itu adalah fardhu kifayah, karena pengajaran ilmu yang dia jelaskan adalah fardhu kifayah, sebagaimana sabda Nabi صلى الله عليه وسلم dalam hadits shohih:
«بلغوا عني ولو آية»
“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.” [HR. Al Bukhoriy (3461) dari Abdulloh bin Amr ibnul ‘Ash رضي الله عنهما].
Dan bersabda:
«ليبلغ الشاهد الغائب».
“Hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.” [HR. Al Bukhoriy (67) dan Muslim (1679) dari Abu Bakroh رضي الله عنه].
Hanyalah para ulama berselisih pendapat tentang bolehnya menyewa orang dalam mengajarkan Al Qur’an, Hadits dan Fiqh,ada dua pendapat yang terkenal, dan dua-duanya adalah riwayat dari Ahmad.
Yang pertama –dan itu adalah madzhab Abu Hanifah dan lainnya-: tidak boleh menyewa untuk pengajaran itu tadi.
Yang kedua –dan itu adalah ucapan Asy Syafi’iy-: boleh menyewa untuk pengajaran itu tadi.
Dan ada pendapat ketiga dalam madzhab Ahmad: boleh menyewa untuk pengajaran itu tadi karena pengajarnya punya hajat, bukan orang yang kecukupan, sebagaimana firman Alloh ta’ala tentang wali anak yatim:
﴿ومن كان غنيا فليستعفف ومن كان فقيرا فليأكل بالمعروف﴾ [ النساء : 6
“Dan barangsiapa berkecukupan, maka hendaknya dia menjaga kehormatan (tidak memakan harta yatim), dan barangsiapa faqir maka hendaknya dia memakan dengan cara yang ma’ruf.”
Boleh para pengajar diberi dari harta muslimin karena mereka mengajar, sebagaimana para imam, muadzdzin dan hakim diberi upah. Hal itu boleh jika mereka punya hajat (bukan orang yang berkecukupan).
Apakah boleh pengajar yang berkecukupan itu mencari rizqi lewat pengajaran? Para ulama punya dua pendapat. Dan tidak ada seorangpun dari Muslimin yang berkata bahwasanya mengamalkan pengajaran tanpa upah itu tidak boleh.
Orang yang berkata bahwa mengajar tanpa upah itu tidak boleh, maka dia harus dituntut untuk bertobat, jika dia bertobat maka dia dibebaskan, dan jika tidak mau bertobat maka dia harus dibunuh. Tapi jika dia bermaksud dengan ucapannya tadi adalah karena dia itu faqir, dan jika dia mengajar tanpa upah itu maka dia tidak sanggup mencari nafkah untuk keluarganya, sementara mencari nafkah untuk keluarganya adalah fardhu ‘ain untuknya, maka dia tidak boleh meninggal fardhu ‘ain demi menjalankan perkara yang tidak fardhu ‘ain, dan dia bersamaan dengan itu dia meyakini bahwasanya mengajar dengan upah karena berhajat -atau mutlak tanpa hajat- itu boleh, maka orang ini berkata dengan penakwilan, maka dia tidak kafir dengan pendapatnya tadi, dan tidak menjadi fasiq dengan kesepakatan para ulama, bahkan bisa jadi dia itu benar atau keliru.
Dan sisi pendalilan para ulama tentang tidak bolehnya menyewa untuk manfaat amalan yang ini adalah: karena amalan-amalan ini merupakan amalan khusus, yang mana pelakunya adalah orang yang sedang mendekatkan diri kepada Alloh dengan mengajarkan Al Qur’an, Hadits dan Fiqih, menjadi imam sholat dan adzan. Tidak boleh amalan-amalan tadi dikerjakan oleh orang kafir. Tidak ada yang boleh mengerjakannya kecuali seorang Muslim. Berbeda dengan manfaat yang bisa dilakukan oleh muslim ataupun kafir, seperti membangun, menjahit, menenun, dan sebagainya. Jika dia melakukan suatu amalan dengan upah, tidak tersisa ibadah untuk Alloh, karena tinggallah dirinya itu berhak untuk mendapatkan upah, dipekerjakan dalam rangka upah. Dan amalan itu jika dilakukan karena upah, tidak tersisa padanya makna ibadah, seperti produksi-produksi yang dikerjakan dengan upah.
Maka ulama yang berpendapat tidak bolehnya menyewa dalam amalan-amalan ini, dia berkata: Tidak boleh melakukannya dalam bentuk yang bukan ibadah untuk Alloh, sebagaimana tidak boleh menjalankan sholat, puasa dan bacaan Qur’an dalam bentuk yang bukan ibadah untuk Alloh. Dan persewaan itu mengeluarkan amalan tadi dari bentuk ibadah untuk Alloh.
Ulama yang membolehkan persewaan dalam pengajaran berkata: pengajaran tadi merupakan suatu manfaat yang sampai kepada si penyewa, maka boleh si pengajarnya mengambil upah atas amalannya itu, seperti seluruh manfaat-manfaat yang lain. Jika ibadah tadi dalam kondisi seperti itu, dia tidak berjalan dalam bentuk ibadah, maka boleh melakukannya dalam bentuk ibadah dan sekaligus bukan dalam bentuk ibadah, karena di dalamnya ada manfaat (yang sampai kepada orang yang menyewa dia).
Dan ulama yang membedakan antara orang yang berhajat dengan orang yang tidak berhajat, dan inilah pendapat yang paling dekat (dengan kebenaran), beliau berkata: “Orang yang berhajat, jika dia mencari penghasilan dengan amalan-amalan tadi, bisa saja dia meniatkan amalannya untuk Alloh, dan dia mengambil upah untuk membantu ibadah dia, karena mencari nafkah untuk keluarga adalah wajib juga. Maka dia bisa menunaikan kewajiban-kewajiban dengan cara tadi. Ini berbeda dengan orang yang berkecukupan, karena dia tidak membutuhkan nafkah (dengan cara tadi), maka tiada hajat yang mengharuskan dia untuk melakukan amalan-amalan tadi untuk selain Alloh.” Dan seterusnya.
(selesai dari “Majmu’ul Fatawa”/30/hal. 204-207).
Al Imam Ibnu Baz رحمه الله ditanya: “Apa hukum mengambil upah dari mendidik murid untuk menghapal Al Qur’anul Karim, karena di tempat kami ada imam di desa kami yang mengambil upah dari mendidik anak-anak untuk menghapal Al Qur’an?”
Maka beliau رحمه الله menjawab: “Tidak mengapa mengambil upah untuk pengajaran Al Qur’an dan pengajaran ilmu, karena orang-orang membutuhkan pengajaran, dan karena si pengajar terkadang susah baginya mengajar sambil meninggalkan mata pencaharian demi mengajar. Maka jika dia mengambil upah untuk pengajaran Al Qur’an, penghapalan Al Qur’an dan pengajaran ilmu, maka yang benar adalah tidak mengapa baginya hal itu.
lalu beliau menyebutkan hadits Abu Sa’id tentang ruqyah, lalu beliau berkata- dan Nabi tidak mengingkari mereka berbuat itu. Dan beliau صلى الله عليه وسلم bersabda:
«إن أحقّ ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله».
“Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh.” (HR. Al Bukhoriy (5737)).
Maka ini menunjukkan bahwasanya tidak mengapa mengambil upah dari pengajaran, sebagaimana tidak mengapa mengambil upah dari ruqyah.”
(selesai dari “Majmu’ Fatawa Ibnu Baz”/5/hal. 364-365).
Al Imam Ibnu ‘Utsaimin رحمه الله berkata tentang menyewa orang untuk mengajarkan Al Qur’an: “Dan pendapat yang kuat adalah bahwasanya itu tidak harom, dan bahwasanya boleh menyewa orang untuk mengajarkan Al Qur’an. Dan hal itu ditunjukkan oleh dalil berikut ini:
Yang pertama: sabda Nabi صلى الله عليه وسلم : “Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh.” (HR. Al Bukhoriy (5737)). Dan ini jelas sekali.
Yang kedua: Bahwasanya Rosul Nabi صلى الله عليه وسلم membolehkan mengambil pemberian karena ruqyah, dalam hadits kisah orang yang tersengat binatang.
Yang ketiga: Bahwasanya Rosul صلى الله عليه وسلم menikahkan seorang wanita dengan orang yang tidak punya mahar, dengan Al Qur’an yang dihapalkannya, untuk dia mengajari wanita tadi. Maka Nabi menjadikan pernikahan tadi sebagai upah pengajaran.
Jika ada orang bertanya: “Bagaimana kalian membolehkan itu padahal itu adalah ibadah?”
Kita katakan: iya, kami memperbolehkannya dalam keadaan dia adalah suatu pendekatan diri kepada Alloh, karena kami membolehkan amalan tadi disebabkan oleh manfaat yang bisa diambil oleh orang yang menyewa. Oleh karena itulah andaikata kami menyewa orang untuk dia membaca (bukan membacakan) Al Qur’an semata, niscaya penyewaan tadi adalah harom, tidak sah. Adapun pengajaran, tidak demikian, karena si pengajar capek dan mendikte orang yang bodoh sampai si bodoh tadi mengetahui dan akan mengulangi lagi apa yang dihapalkannya dari Al Qur’an dengan pemeriksaan. Dan di sini ada amalan mubah untuk orang lain (ada pihak yang mendapatkan manfaatnya). Jika demikian, pendapat yang kuat adalah: boleh adanya upah karena pengajaran Al Qur’an. Dan kami telah menyebutkan tiga dalil, di antaranya adalah dalil lafzhiy (tekstual), dan dua dalil amaliy (berupa pengamalan).”
(selesai dari “Asy Syarhul Mumti’”./10/hal. 9-10).
Tidak diragukan bahwasanya perbuatan tadi sekalipun boleh dilakukan, tapi jika dia itu tanpa udzur, sedikit banyak akan mengurangi kehormatan pelakunya, sebagaimana ucapan sebagian imam رحمهم الله.
Al Imam Abu Amr Ibnush Sholah رحمه الله berkata: “Barangsiapa mengambil upah dari pembacaan hadits, sebagian imam hadits melarang untuk menerima riwayatnya. Kami riwayatkan dari Ishaq bin Ibrohim bahwasanya beliau ditanya tentang ahli hadits yang menyampaikan hadits dengan upah. Maka beliau menjawab: “Janganlah engkau tulis hadits darinya.” Dan diriwayatkan seperti itu juga dari Ahmad bin Hanbal dan Abu Hatim Ar Roziy.
Abu Nu’aim dan Ali bin Abdil Aziz Al Makkiy dan yang lainnya mencari keringanan dalam mengambil upah dari penyampaian hadits. Dan yang demikian itu mirip dengan mengambil upah dari pengajaran Al Qur’an dan yang semacam itu.
Hanya saja perbuatan ini secara adat kebiasaan akan merusak kehormatan pelakunya, dan membikin dia disangka buruk. Kecuali jika dia diiringi dengan udzur yang meniadaan praduga buruk tadi darinya, seperti berita yang diceritakan padaku oleh Asy Syaikh Abul Muzhoffar, dari ayahnya Al Hafizh Abu Sa’d As Sam’aniy: bahwasanya Abul Fadhl Muhammad bin Nashir As Salamiy menyebutkan: bahwasanya Abul Husain Ibnun Naqur berbuat itu, karena Asy Syaikh Abu Ishaq Asy Syairoziy berfatwa kepadanya akan bolehnya mengambil upah dari penyampaian hadits, karena para hali hadits selalu menghalangi dirinya dari bekerja untuk keluarganya. Wallohu a’lam.”
(“Muqoddimah Ibnush Sholah”/hal. 61).
Dan dikarenakan hal itu mengurangi kehormatan dan memberatkan hati manusia yang tercipta untukmenyayangi harta mereka, -sekalipun minta upah dari pengajaran tadi adalah boleh- maka Alloh ta’ala mensucikan para Nabi-Nya عليهم الصلاة والسلام dari perbuatan itu sebagaimana telah lewat dalil-dalil tentang itu.
Alloh ta’ala berfirman:
﴿قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى﴾ [الشورى: 23].
 “Katakanlah: tidaklah aku minta pada kalian upah dari dakwahku. Aku hanya minta kasih sayang dalam kekerabatan.”
Al Imam Muhammad bin Ali Al Qoshshob رحمه الله berkata: “Dan firman Alloh ta’ala: “Katakanlah: tidaklah aku minta pada kalian upah dari dakwahku. Aku hanya minta kasih sayang dalam kekerabatan” merupakan dalil bahwasanya di dalam karakter manusia itu ada ketidaksukaan pada petuah yang datang dari orang yang mengambil dinar dan dirham, dan bahwasanya menjaga kehormatan dari dinar dan dirham itu terpuji di mata orang-orang di zaman jahiliyyah, bagi orang yang zuhud terhadap dinar dan dirham, dan orang yang bersegera mengambil dinar dan dirham itu martabatnya rendah. Maka Alloh memerintahkan Rosul-Nya صلى الله عليه وسلم untuk mengumumkan pensucian diri kepada para makhluk yang diberi peringatan, mensucikan diri dari mengambil upah harta atas dakwah beliau, yang mendakwahkan Kitabulloh dan agama-Nya yang Dia syariatkan kepada para hamba-Nya, agar dakwah beliau itu murni kepada Alloh جل وتعالى , bersih tidak tercampurkan dengan kecondongan pada dunia, karena dunia itu akan merendahkan pencarinya dan orang-orang yang condong kepadanya, merendahkan mereka dari martabah-martabat kemuliaan dan derajat-derajat hamba yang didekatkan. Dan dengan itu Alloh mengabarkan kisah para Rosul yang telah berlalu sebelum beliau di dalam surat Asy Syu’aro dan lainnya dengan firman-Nyaعليه السلام:
﴿وما أسألكم عليه من أجر إن أجري إلا على رب العالمين﴾ [ الشعراء : 109 ] ،
“Dan tidaklah aku minta pada kalian upah sedikitpun dari dakwahku. Tidaklah upahku kecuali dalam tanggungan Robbil alamin.”
Dan seterusnya.
(“Nukatul Qur’an”/4/hal. 98-99/cet. Dar Ibnil Qoyyim).
Wahai saudara-saudaraku, inilah jalan para Nabi jika kita ingin mendapatkan keutamaan yang lebih tinggi.
Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله berkata: “Firman Alloh ta’ala:
﴿ويا قوم لا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالاً إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى الله﴾ الآية .
“Dan wahai kaumku, tidaklah aku minta pada kalian upah sedikitpun dari dakwahku. Tidaklah upahku kecuali menjadi tanggungan Alloh.” Hingga akhir ayat. (QS. Hud: 29).
Alloh ta’ala dalam ayat yang mulia ini menyebutkan dari Nabi-Nya Nuh –semoga sholawat dan salam tercurah pada beliau dan pada Nabi kita-, bahwasanya beliau mengabarkan pada kaum beliau bahwasanya beliau tidak minta pada mereka harta sebagai bayaran dari wahyu dan petunjuk yang beliau datangkan, bahkan beliau itu mencurahkan kebaikan yang agung tadi secara gratis kepada mereka, tanpa mengambil upah sebagai bayaran amalan tadi.
Dan Alloh dalam ayat yang banyak telah menjelaskan bahwasanya yang demikian itu adalah sifat para Rosul عليهم صلوات الله وسلامه, -kemudian Asy Syinqithiy menyebutkan ayat-ayat yang banyak tentang hal itu, lalu beliau berkata:-, dan aku telah menyebutkan sisi penggabungan antara ayat-ayat yang tersebut ini  dengan firman Alloh ta’ala:
﴿قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى﴾ [الشورى: 23].
“Katakanlah: tidaklah aku minta pada kalian upah dari dakwahku. Aku hanya minta kasih sayang dalam kekerabatan.”
Dalam kitab kami “Daf’u Ihamil Idhthirob ‘An Ayatil Kitab” dalam surat Saba, ketika membahas firman Alloh ta’ala:
﴿قُلْ مَا سَأَلْتُكُم مِّن أَجْرٍ فَهُوَ لَكُمْ﴾ [ سبأ : 47 ]
“Katakanlah: upah yang aku minta dari kalian, maka itu adalah untuk kalian sendiri.”
Dan diambil dari ayat-ayat yang mulia ini: bahwasanya yang wajib dilakukan para pengikut para Rosul, dari kalangan ulama dan yang lainnya adalah: hendaknya mereka itu mencurahkan ilmu yang mereka miliki secara gratis tanpa mengambil ganti dari amalan tadi, dan bahwasanya tidak pantas mengambil upah atas pengajaran Kitabulloh ta’ala, ataupun juga pengajaran aqidah-aqidah dan perkara halal dan harom.
Dan penjelasan ini didukung oleh hadits-hadits yang menunjukkan makna tadi. Di antaranya adalah hadits riwayat Ibnu Majah, Al Baihaqiy dan Ar Ruyaniy dalam Musnadnya dari Ubaiy bin Ka’b رضي الله عنه yang berkata:
علمت رجلاً القرآن ، فأهدى لي قوساً ، فذكرت ذلك للنبي صلى الله عليه وسلم فقال : «إن أخذت قوساً من نار» فرددتها
“Aku pernah mengajari seseorang Al Qur’an, maka dia memberiku hadiah busur panah. Maka aku menceritakan hal itu kepada Nabi صلى الله عليه وسلم maka beliau bersabda: “Jika engkau mau mengambil busur dari neraka.” Maka aku mengembalikannya.”
Al Baihaqiy dan Ibnu Abdil Barr berkata tentang hadits ini: “Hadits ini munqothi’ (sanadnya terputus).” Yaitu antara ‘Athiyyah Al Kila’iy dan Ubaiy bin Ka’b. Demikian pula dikatakan oleh Al Mizziy. Tapi dibantah oleh Ibnu Hajar bahwasanya ‘Athiyyah dilahirkan pada zaman Nabi صلى الله عليه وسلم.
Dan Ibnul Qoththon menyatakan bahwasanya sanadnya berpenyakit karena ‘Athiyyah tersebut adalah Abdurrohman bin Salm, dan dia itu majhul.
Ibnu Hajar berkata dalam “At Taqrib”: “Orang ini majhul dari Syam.”
Asy Syaukaniy berkata dalam “Nailul ‘Author”: “Hadits ini punya jalur-jalur ke Ubaiyy. Ibnul Qoththon berkata: “Tidak ada hadits yang tetap dalam masalah ini sedikitpun.” Al Hafizh (Ibnu Hajar) berkata: “Ucapan beliau perlu diperiksa lagi.” Al Mizziy dalam “Al Athrof” menyebutkan jalur-jalur untuk hadits tadi, di antaranya adalah: bahwasanya orang yang diajari Al Qur’an oleh Ubaiyy adalah Ath Thufail bin Amr. Dan ini didukung oleh apa yang diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam “Al Ausath” dari Amr bin Thufail Ad Dausiy yang berkata: “Ubaiyy bin Ka’b membacakan Al Qur’an kepadaku, maka aku memberinya hadiah busur panah. Maka beliau berangkat menemui Nabi صلى الله عليه وسلمsambil mengalungkannya ke lehernya. Maka Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Engkau mengalungkan busur dari Jahannam.” Al hadits.
(“Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/366-367/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah)
Saya katakan –dengan taufiq Alloh semata-: Hadits Ubayy diriwayatkan oleh Ibnu Majah (2158) dan Al Baihaqiy “Al Kubro” (126). Dan dihukumi berpenyakit oleh para Huffazh, sebagaimana telah disebutkan.
Athiyyah bin Qois majhul. Abdurrohman bin Salm majhul ‘ain.
Al Hafizh Adz Dzahabiy رحمه الله dalam biografi Abdurrohman bin Salm berkata: “Sanadnya goncang, tentang orang yang memberi Ubayy hadiah busur panah. Dan tiada yang meriwayatkan darinya –Abdurrohman bin Salm- kecuali Tsaur bin Yazid.” (“Mizanul I’tidal” (4878)).
Al Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله berkata: “Di dalam sanadnya banyak perselisihan.” (“Tahdzibut Tahdzib”/6/hal. 170).
Adapun hadits Ath Thufail bin Amr رضي الله عنه diriwayatkan oleh Ath Thobroniy di “Al Ausath”, dan di dalam sanadnya Abdulloh bin Sulaiman bin Umair, tidak diketahui siapakah dia? Maka dia itu majhul ‘ain, tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Isma’il bin ‘Ayyasy. Dan tidak diketahui apakah dia mendengar dari Ath Thufail.
Al Hafizh Al Haitsamiy رحمه الله berkata: “Di dalam sanadnya ada Abdulloh bin Sulaiman bin Umair, dan tidak aku dapati biografinya, dan aku tidak mengira dia itu berjumpa dengan Ath Thufail.” (“Majmu’uz Zawaid”/4/hal. 111).
Maka mencari dukungan dengan hadits ini tidaklah kuat. Wallohu a’lam.
Bahkan Al Hafizh Ibnu Abdil Barr رحمه الله berkata: “Dan hadits-hadits ini munkaroh, tidak ada yang shohih darinya sedikitpun menurut ulama hadits.” (“At Tamhid”/21/hal. 114).
Kemudian Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله berkata: “Dan Asy Syaukaniy berkata juga: “Dan di dalam bab ini ada hadits dari Mu’adz diriwayatkan oleh Al hakim dan Al Bazzar seperti hadits Ubaiyy. Dan dari Abud Darda diriwayatkan oleh Ad Darimiy dengan sanad sesuai dengan syarat Muslim seperti hadits Ubaiyy. (“Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/367/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).
Saya katakan –dengan taufiq Alloh semata-: Adapun hadits Mu’adz bin Jabal رضي الله عنه maka saya belum menemukannya sampai sekarang.
Adapun hadits Abud Darda رضي الله عنه maka diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di “Hilyatul Auliya” (6/hal. 86), dan Al Baihaqiy di “As Sunanul Kubro” (6/hal. 126).
Al Hafizh Duhaim –Abdurrohman bin Ibrohim-: “Hadits Abud Darda رضي الله عنه dari Nabi صلى الله عليه وسلم tentang orang yang mengalungkan busur sebagai upah dari pengajaran Al Qur’an itu tidak punya asal (tidak punya asal yang shohih).” (dinukilkan oleh Al Baihaqiy di “As Sunanul Kubro” (6/hal. 126)).
Kemudian Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله berkata: “Dan termasuk dari dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Ubadah ibnush Shomit رضي الله عنه yang berkata:
علمت ناساً من أهل الصفة الكتاب والقرآن ، فأهدى إلى رجل منهم قوساً فقلت ليست بمال أرمي بها في سبيل الله عز وجل ، لآتين رسول الله صلى الله عليه وسلم فلأسألنه ، فأتيته فقلت: يا رسول الله ، أهدى إلي رجل قوساً ممن كنت أعلمه الكتاب والقرآن وليست بمال أرمى عليها في سبيل الله؟ فقال : «إن كنت تحب أن تطوق طوقاً من نار فاقبلها»
“Aku pernah mengajarkan tulisan dan Al Qur’an para sekelompok orang dari Ahlush Shuffah, dan seorang dari mereka menghadiahkan padaku sebuah busur panah. Maka aku berkata: “Ini bukan uang, dan aku akan menembakkan panah dengannya di jalan Alloh. Sungguh aku akan mendatangi Rosululloh صلى الله عليه وسلم dengannya untuk aku tanya beliau tentang ini. Maka aku mendatangi beliau dan menanyai beliau. Maka beliau bersabda: “Jika engkau senang dikalungi busur dari api, maka terimalah dia.”
Di dalam sanadnya ada Al Mughiroh bin Ziyad Al Maushiliy. Asy Syaukaniy berkata: “Dia dihukumi tsiqoh oleh Waki’ dan Yahya bin Ma’in, tapi sekelompok huffazh mengkritiknya.”
Al Imam Ahmad berkata: “Al Mughiroh ini lemah haditsnya, dia meriwayatkan hadits-hadits munkaroh. Dan setiap hadits yang dia sebutkan sanadnya kepada Nabi maka itu adalah munkar.”
Abu Zur’ah Ar Roziy berkata: “Tidak boleh berhujjah dengan haditsnya.”
Ibnu Hajar di “At Taqrib” berkata: “Al Mughiroh bin Ziyad Al Bajaliy, Abu Hisyam atau Abu Hasyim Al maushiliy shoduq punya kekeliruan-kekeliruan.”
(“Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/367/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).
aya katakan –dengan taufiq Alloh semata-:
Hadits Ubadah ibnush shomit رضي الله عنه diriwayatkan oleh Abu Dawud (3416) dan Ibnu Majah (2157). Di dalam sanadnya ada Al Mughiroh bin Ziyad Al Maushiliy.
Al Mughiroh bin Ziyad adalah Abu Hisyam Al Maushiliy. Dihukumi tsiqoh oleh sebagian imam, dan dia punya hadits-hadits munkar.
Al Imam Ahmad berkata tentangnya: “Dia itu haditsnya goncang, munkarul hadits, hadits-haditsnya itu munkaroh.”
Yahya bin Ma’in berkata: “Laisa bihi ba’s, dan dia punya satu hadits yang munkar.”
Abu Zur’ah berkata: “Di dalam haditsnya ada kegoncangan.”
Ibnu Adi berkata: “Hampir semua yang diriwayatkannya itu lurus, hanya saja terjadi pada haditsnya kekeliruan sebagaimana yang terjadi pada hadits rowi yang shoduq. Dia itu la ba’sa bih.”
(selesai dari “Tahdzibut Tahdzib” (10/hal. 232)).
Al hafizh Ibnu Abdil Barr رحمه الله telah menetapkan bahwasanya hadits ini adalah bagian dari hadits-hadits munkarnya Al Mughiroh bin Ziyad. Setelah menyebutkan hadits itu beliau berkata: “Adapun Al Mughiroh bin Ziyad maka dia itu terkenal sebagai pembawa ilmu, akan tetapi dia punya hadits-hadits munkaroh, di antaranya adalah hadits ini.” (“At Tamhid”/21/hal. 114).
Kemudian Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله berkata: “Dan hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dari jalur lain tidak ada di dalamnya Al Mughiroh tersebut: Haddatsana Amr bin Utsman dan Katsir bin Ubaid yang keduanya berkata: haddatsana Baqiyyah: haddatsani Bisyr bin Abdillah bin Yasar. Amr berkata: dan haddatsaniy Ubadah bin Nusai dari Junadah bin Abi Umayyah, dari Ubadah ibnush Shomit semisal hadits tadi. Dan hadits yang pertama lebih sempurna: maka aku berkata: “Apa pandangan Anda tentang itu wahai Rosululloh –صلى الله عليه وسلم-? Maka beliau menjawab:
«جمرة بين كتفيك تقلدتها أو تعلقتها»
“Itu adalah bara api di antara kedua pundakmu yang engkau kalungkan atau engkau gantungkan.”
Selesai dari beliau dengan lafazhnya.
Dan di dalam sanad riwayat ini ada Baqiyyah ibnul Walid, dikritik oleh sekelompok ulama dan ditsiqohkan oleh yang lain jika meriwayatkan dari rowi-rowi yang tsiqot. Dan dia adalah rowi di dalam “Shohih Muslim”. Dan Al Bukhoriy meriwayatkan untuknya secara mu’allaq (tidak menyebutkan sebagian rantai sanad Antara beliau ke Baqiyyah). Ibnu Hajar berkata tentangnya dalam “At Taqrib”: “Shoduq, banyak mentadlis (menyembunyikan seorang rowi) dari rowi-rowi yang lemah.”
Yang nampak bagiku bahwasanya pendapat yang paling adil tentangnya adalah: jika dia terang-terangan meriwayatkan dengan lafazh yang menunjukkan bahwa dia mendengar dari rowi yang tsiqot, maka tidak apa-apa. Dan haditsnya ini didukung oleh riwayat yang telah terdahulu dan hadits yang akan datang insya Allohu ta’ala.”
(“Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/367/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).
Saya katakan –dengan taufiq Alloh semata-: hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (3417), di dalamnya Baqiyyah ibnul Walid terang-terangan meriwayatkan dengan lafazh yang menunjukkan bahwa dia mendengar dari dari Bisyr bin Abdillah bin Yasar.
Baqiyyah ibnul Walid itu hafizh, termasuk imam Syam, akan tetapi riwayatnya dari rowi-rowi yang majhul itu munkaroh.
Al Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Aku kira Baqiyyah itu tidak meriwayatkan hadits-hadits yang munkar kecuali dari rowi-rowi yang majhul. Ternyata dia juga meriwayatkan hadits-hadits yang munkar dari rowi-rowi yang terkenal. Maka tahulah aku dari mana dia kena bencana ini.”
Abu Mushir berkata: “Hadits-hadits Baqiyyah itu tidak bersih, maka lindungilah dirimu dari hadits-haditsnya.”
(dua penukilan ini ada di “Mizanul I’tidal”/ (1250)).
Abdulloh bin Ahmad berkata: “Ayahku ditanya tentang Baqiyyah dan Isma’il, maka beliau menjawab: “Baqiyyah lebih aku sukai. Tapi jika dia meriwayatkan dari orang-orang yang tidak terkenal maka jangan kalian terima riwayatnya.”
Ibnu Abi Khoitsamah berkata: “Yahya –bin Ma’in- ditanya tentang Baqiyyah, maka beliau menjawab: “Jika dia meriwayatkan dari orang-orang tsiqoh semisal Shofwan bin Amr dan lainnya, maka terimalah, tapi jika dia meriwayatkan dari para majhul maka jangan diterima.”
(dua penukilan ini ada di “Tahdzibut Tahdzib” (878)).
Dan orang yang diriwayatkan oleh Baqiyyah dalam hadits ini adalah Bisyr bin Abdillah bin Yasar, dari Himsh, disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam “Ats Tsiqot” dan tidak ditsiqohkan oleh imam yang terpandang. Maka Bisyr ini majhul.
Jika demikian maka sanad ini munkar juga (riwayat Baqiyyah dari majhul).
Akan tetapi Baqiyyah tidak sendirian dengan riwayat ini. Dia telah diikuti oleh Abul Mughiroh, sebagaimana diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad dalam “Musnad” beliau (22818). Dan Abul Mughiroh ini adalah Kholid bin Dahqon Al Qurosyiy, tsiqoh. Maka sanad ini lemah karena adanya Bisyr bin Abdillah bin Yasar yang majhul tadi.
Kesimpulan dari ini semua:
Bahwasanya hadits Ubaiy bin Ka’b رضي الله عنه di dalamnya ada majhul hal, majhul ‘ain, dan dilemahkan karena inqitho’ (terputus) dan idhthirob (kegoncangan) juga.
Bahwasanya hadits Ath Thufail bin Amr رضي الله عنه di dalamnya ada majhul ‘ain, dan dikhawatirkan terputus juga.
Bahwasanya hadits Mu’adz bin Jabal رضي الله عنه yang diisyaratkan oleh Asy syaukaniy tidak saya dapatkan.
Bahwasanya hadits Abud Dardaرضي الله عنهtelah dihukumi oleh Duhaim رحمه الله bahwasanya dia itu tidak ada asalnya. Yaitu: tidak punya asal yang tetap.
Bahwasanya hadits Ubadah رضي الله عنه punya sanad munkar, dan punya sanad lain yang lemah dan bisa untuk menjadi dukungan.
Jika demikian, maka seluruh hadits dalam bab ini –sebatas apa yang saya dapati, dan pengetahuan saya itu dangkal- lemah semua, tidak bisa saling menguatkan. Alloh ta’ala a’lam. Dan saya tidak mengingkari pihak yang menghukumi hadits tadi hasan.
Al Hafizh Ibnu Abdil Barr رحمه الله berkata tentang hadits-hadits dalam bab ini: “Semuanya lemah, tidak ada yang bisa menjadi hujjah sedikitpun.” (“Al Istidzkar”/5/hal. 418).
Maka dikarenakan lemahnya dalil-dalil yang melarang dan kuatnya dalil-dalil yang membolehkan, mayoritas Salaf yang terdahulu membolehkan meminta upah pengajaran, atau mengambil upah pengajaran, bersamaan dengan pendapat mereka bahwasanya memurnikan minta pahala dari Alloh ta’ala itu lebih utama.
Kholid Al Hadzdza berkata: “Aku bertanya kepada Abu Qilabah tentang pengajar yang mengajar dan mengambil upah. Maka beliau berpandangan bahwasanya itu tidak apa-apa.” (“Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah” (20831)/shohih).
Dan Abdulloh bin Thowus menceritakan dari ayahnya, bahwasanya beliau berpendapat tidak apa-apa pengajar mengajar dan tidak memasang syarat, jika diberi sesuatu dia mengambilnya.” (“Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah” (20832), dan “Mushonnaf Abdurrozzaq” (14532) /shohih).
Dan dari Utsman Ibnul Harits, dari Asy Sya’biy yang berkata: “Si pengajar jangan memasang syarat, adapun jika dia diberi sesuatu, maka silakan dia menerimanya.” (“Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah” (20833) /shohih).
Sekalipun hukumnya boleh, akan tetapi para Salaf memakruhkan seorang pengajar memasang syarat upah pengajaran, karena hal itu mengurangi kehormatan, dan menyelisihi jalan para Nabi, padahal para pengajar itu seharusnya menjadi orang yang terdepan dalam mencontoh para Nabi mereka.
Dari Al Mughiroh, dari Ibrohim –An nakho’iy- yang berkata: “Dulu dibenci seorang pengajar yang mengajari anak-anak dengan Al Qur’an itu memasang syarat (upah).” (“Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah” (20836) /shohih).
Dan dari Asy’ats –yaitu Ibnu Ishaq Al Qummiy-, dari Al Hasan –yakni Al Bashriy- yang berkata: “Tidak mengapa mengambil upah menulis, tapi pensyaratan itu dibenci.” (“Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah” (20838) /shohih).
Dan atsar-atsar tentang ini banyak.
Sebagian ulama dalam rangka menggabungkan antara dalil-dalil yang membolehkan dengan dalil-dalil yang melarang berkata: “Barangsiapa mengajarkan Al Qur’an dalam rangka mencari upah, maka boleh baginya untuk mengambil upah tadi. Tapi barangsiapa mengajarkan Al Qur’an dalam rangka ikhlas karena Alloh, jika dia diberi upah maka dia tidak boleh mengambilnya agar niat pertamanya tidak rusak.
Akan tetapi pendapat ini lemah jika dihdapkan kepada perintah Nabi صلى الله عليه وسلم untuk mengambil pemberian yang datang kepada kita tanpa kita minta dan tanpa pengharapan hati akan datangnya pemberian tadi.
Dan Abdulloh As Sa’idiy yang berkata:
استعملني عمر بن الخطاب رضي الله عنه على الصدقة، فلما فرغت منها وأديتها إليه أمر لي بعمالة، فقلت: إنما عملت لله، وأجري على الله. فقال: خذ ما أعطيت فإني عملت على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم فعملني، فقلت مثل قولك، فقال لي رسول الله صلى الله عليه و سلم: «إذا أعطيت شيئا من غير أن تسأل فكل وتصدق».
“Umar ibnul Khoththob pernah mempekerjakan aku untuk mengurus shodaqoh. Manakala aku selesai mengurusinya dan aku menunaikannya kepada beliau, beliau memerintahkan agar aku diberi upah kerja. Maka aku berkata: “Saya beramal hanyalah untuk Alloh, dan pahala saya menjadi tanggungan Alloh.” Maka beliau berkata: “Ambillah apa yang kuberikan padamu, karena aku pernah beramal pada zaman Rosululloh صلى الله عليه وسلم , lalu beliau memberiku upah kerja. Maka aku berkata pada beliau seperti ucapanmu. Maka Rosululloh صلى الله عليه وسلم berkata kepadaku: “Jika engkau diberi sesuatu tanpa engkau memintanya, maka makanlah pemberian itu dan bershodaqohlah.” (HR. Al Bukhoriy (7163) dan Muslim (1045), dan lafazh ini adalah lafazh Muslim).
Dan dalam lafazh Al Bukhoriy: Maka Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Ambillah dia, lalu jadikanlah itu sebagian bagian dari hartamu, dan bershodaqohlah dengannya. Apapun yang datang kepadamu dari harta ini dalam keadaan engkau tidak mengharapkannya dan tidak memintanya, maka ambillah dia. Jika engkau tidak diberi, maka janganlah jiwamu mengharap-harapkannya.”
Syamsul Haqq ‘Azhim Abadiy رحمه الله berkata tentang hadits ini: “Di dalamnya ada dalil tentang bolehnya mengambil upah atas pekerjaan-pekerjaan Muslimin dan perwalian-perwalian mereka yang bersifat agama dan keduniaan.” (“Aunul Ma’bud”/5/hal. 43).
Kita kembali pada perkataan Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله.
Kemudian beliau رحمه الله berkata: “Dan termasuk dalil yang melarang adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad dan At Tirmidziy dari ‘Imron bin Hushoin رضي الله عنهما dari Nabi صلى الله عليه وسلم bahwasanya beliau bersabda:
«اقرؤوا القرآن واسألوا الله به ، فإن من بعدكم قوماً يقرؤون القرآن يسألون به الناس».
 “Bacalah Al Qur’an, dan mintalah kepada Alloh dengannya, karena sesungguhnya setelah kalian nanti ada suatu kaum yang membaca Al Qur’an dan meminta kepada manusia dengan Al Qur’an.”
At Tirmidziy berkata: “Sanadnya tidak seberapa kuat.”
(“Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/367/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).
Saya berkata dengan taufiq Alloh semata:
adits ini diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad (19958) dan At Tirmidziy (2917), dan di dalam sanadnya ada Khoitsamah dari Al Hasan dari ‘Imron bin Hushoin رضي الله عنهما .
Khoitsamah ini adalah Abu Nashr ibn Abi Khoitsamah. Nama ayahnya adalah Abdurrohman Al Bashriy. Ibnu Ma’in berkata tentangnya: “Dia tidak ada harganya.” (“Tahdzibut Tahdzib”/ no. (337)).
Maka sanadnya adalah lemah sekali.
Kemudian Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله berkata: “Dan termasuk darinya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam “Sunan” beliau: haddatsana Wahb bin Baqiyyah: akhbarona: Kholid, ‘an Humaid Al A’roj, ‘an Muhammad ibnul Munkadir, ‘an Jabir bin Abdillah yang berkata:
خرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن نقرأ القرآن وفينا الأعرابي والأعجمي فقال: «اقرؤوا فكل حسن ، وسيجيء أقوام يقيمونه كما يقال القدح يتعجلونه ولا يتأجلونه» .
 “Rosululloh صلى الله عليه وسلم pernah keluar menemui kami dalam keadaan kami membaca Al Qur’an, dan di antara kami ada orang-orang badui dan orang asing. Maka beliau bersabda: “Bacalah, maka masing-masing dari bacaan kalian itu bagus. Dan nanti akan datang kumpulan orang-orang yang menegakkan bacaan Al Qur’an sebagaimana ditegakkannya anak-anak panah, mereka bersegera mencari upahnya dan tidak menunda upahnya.”
(“Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/367/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).
            Saya katakan dengan taufiq Alloh semata:
            Hadits ini diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad (15308) dan Abu Dawud (830), dan para perowinya tsiqoh semua, kecuali Humad Al A’roj, dia itu adalah Abu Shofwan Humaid bin Qois Al Makkiy, shoduq. Maka hadits ini hasan.
            Syamsul Haqq رحمه الله berkata tentang makna hadits ini: “Yaitu: masing-masing dari bacaan kalian itu bagus, diharapkan pahalanya jika kalian lebih mengutamakan Akhirat yang tertunda daripada dunia yang disegerakan. Kalian tidak berdosa jika kalian tidak menegakkan lidah-lidah kalian bagaikan ditegakkannya anak panah sebelum dipasangi bulu. Dan nanti akan datang kumpulan orang-orang yang menegakkannya, yaitu: membenarkan lafazh-lafazhnya dan kalimat-kalimatnya dan membebani diri dalam memperhatikan tempat-tempat keluarnya huruf dan sifat-sifatnya, sebagaimana ditegakkannya panah, yaitu mereka berlebihan dan mengamalkan bacaan dengan berlebihan yang keterlaluan dalam rangka mencari pujian karena dilihat dan didengar orang dan untuk kebanggaan dan kemasyhuran.”
            Ath Thibiy berkata: “Dan di dalam hadits ini ada dalil dihilangkannya kesusahan, dan dibangunnya perkara ini di atas kemudahan secara lahiriyyah, dan bersungguh-sungguh dalam mencari pahala Alloh dan keikhlasan dalam beramal, dan memikirkan makna-makna Al Qur’an dan menyelami keajaiban-keajaiban Al Qur’an. “mereka bersegera mencari upahnya” yaitu: pahala di dunia, “dan tidak menunda upahnya” yaitu: mereka tidak mencari pahala di Akhirat tapi justru mereka lebih mengutamakan dunia yang disegerakan dari pada pahala Akhirat yang ditunda, mereka mencari makan dari Al Qur’an dan tidak mau bertawakkal pada Alloh.”
(selesai dari “Aunul Ma’bud”/3/hal. 42).
            Hadits ini bukanlah dalil untuk mengharomkan meminta upah, akan tetapi di dalamnya ada celaan atas perbuatan tadi.
            Al Qodhi Al ‘Ainiy رحمه الله berkata: “Maksudnya adalah: mereka menyegerakan pahalanya di dunia, dan menuntut upah atas bacaan mereka dari herta-harta duniawiy, dan mereka tidak bersabar menanti pahala dan ganjaran yang akan mereka dapatkan di Akhirat. Dan kejadian ini telah berlangsung sebagaimana yang disabdakan oleh Rosululloh صلى الله عليه وسلم.” (“Syarh Sunan Abi Dawud”/Al Ainiy/4/hal. 12).
            Kemudian Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله menyebutkan dari Abu Dawud setelah itu: haddatsana Ahmad bin Sholih: haddatsana Abdulloh bin Wahb: akhbaroni ‘Amr wa Ibnu Lahi’ah: ‘an Bakr bin Sawadah: ‘an Wafa bin Syuroih Ash Shodafiy: ‘an Sahl bin Sa’d As Sa’idiy:
خرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن نقتري فقال : «الحمد لله ، كتاب الله واحد ، وفيكم الأحمر وفيكم الأبيض وفيكم الأسود ، اقرؤوا قبل أن يقرأه أقوام يقيمونه كما يقوم السهم يتعجل أجره ولا يتأجله»
 “Rosululloh صلى الله عليه وسلم pernah keluar menemui kami dalam keadaan kami membaca Al Qur’an, maka beliau bersabda: “Segala pujian bagi Alloh. Kitab Alloh itu satu, dan di kalangan kalian itu ada orang kulit merah, di kalangan kalian itu ada orang kulit putih, di kalangan kalian itu ada orang kulit hitam. Bacalah sebelum Al Qur’an itu dibaca oleh orang-orang yang menegakkannya sebagaimana menegakkan panah, dia bersegera mencari upahnya dan tidak menunda upahnya.”
(“Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/368/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).
            Saya katakan dengan taufiq Alloh semata:
            Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (831), dan di dalam sanadnya ada Ibnu Lahi’ah, hapalannya buruk dan beliau itu mudallis. Akan tetapi beliau didukung oleh ‘Amr, yaitu ‘Amr ibnul Harits bin Ya’qub bin Abdillah Al Anshoriy, Abu Umayyah Al Mishriy, tsiqoh tsabt. (“Tahdzibut Tahdzib”/8/hal. 13).
            Dan Bakr bin Sawadah adalah Abu Tsumamah Al Mishriy, tsiqoh. (“Tahdzibut Tahdzib” (886)).
            Wafa bin Syuroih Ash Shodafiy disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam “Ats Tsiqot” dan tidak ditsiqohkan oleh imam yang terpandang. Maka dia majhul.
            Maka sanadnya lemah, dan hadits ini hasan karena diperkuat oleh hadits yang sebelumnya.
            Dan di dalam hadits tadi ada dalil bahwasanya barangsiapa lebih mengutamakan pahala dunia daripada Akhirat maka dia itu tercela.
            Al Munawiy رحمه الله berkata: “Berita ini datang dalam alur celaan terhadap orang-orang yang akan datang (dengan sifat yang tersebut dalam hadits) itu.” (“Faidhul Qodir” (1341)).
            Kemudian Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله berkata: “Dan di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad, dari Abdurrohman bin Syibl, dari Rosululloh صلى الله عليه وسلم yang bersabda:
«اقرؤوا القرآن ولا تغلوا فيه ولا تجفوا عنه ولا تأكلوا به ولا تستكثروا به».
 “Bacalah Al Qur’an, dan janganlah kalian berlebihan di dalamnya, dan janganlah kalian menjauh darinya, dan janganlah kalian memakan harta dengannya, dan janganlah kalian memperbanyak harta dengannya.”
            Asy Syaukaniy رحمه الله berkata dalam “Nailul Author” tentang hadits ini: “Al Haitsamiy berkata dalam “Majma’uz Zawaid”: para rowi Ahmad tsiqot.”
(“Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/368/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).
            Saya katakan dengan taufiq dari Alloh semata:
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad (15568) dengan sanad shohih dari Yahya bin Abi Namir, dari Abu Rosyid Al Hibroniy, dari Abdurrohman bin Syibl رضي الله عنه dari Rosululloh صلى الله عليه وسلم .
Saya tidak menemukan biografi Yahya bin Abi Namir. Akan tetapi dengan mengumpulkan jalur-jalur hadits ini ketahuan bahwasanya yang benar adalah Yahya bin Abi Katsir, bukan Yahya bin Abi Namir. Terjadi salah penulisan.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam “Mushonnaf” (7742) dari Waki’: haddatsana Hisyam Ad Dustuwa’iy, dari Yahya bin Abi Katsir dari Abu Rosyid dari Abdurrohman bin Syibl.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ath Thohawiy dalam “Musykilul Atsar” (3671) dari Ali ibnul Mubarok: dari Yahya bin Abi Katsir, dari Zaid bin Sallam, dari Abu Sallam, dari Abu Rosyid dari Abdurrohman bin Syibl.
Yahya bin Abi Katsir mudallis dan telah meriwayatkan dengan ‘an’anah. Dan telah nampak dalam sanad Ath Thohawiy bahwasanya Yahya bin Abi Katsir meriwayatkan hadits ini dari Zaid bin Sallam, dari Abu Sallam –yaitu Mamthur Al Habsyiy-, dari Abu Rosyid dari Abdurrohman bin Syibl.
Yahya bin Abi Katsir mendapat dukungan dari Mu’awiyah bin Sallam, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam “Al Ahad Wal Matsaniy” (1862) dari jalur Muhammad bin Syu’aib bin Syabur: akhbaroniy Mu’awiyah bin Sallam, dari saudara beliau: Zaid bin Sallam, bahwasanya beliau mengabarkan dari kakek beliau: Abu Sallam, dari Abu Rosyid dari Abdurrohman bin Syibl.
Diriwayatkan oleh Abdurrozzaq dalam “Mushonnaf” (19444) dari Ma’mar: dari Yahya bin Abi Katsir, dari Zaid bin Sallam, dari kakeknya yang berkata: Mu’awiyah –bin Abi Sufyan- menulis surat kepada Abdurrohman bin Syibl. Tanpa menyebutkan Abu Rosyid.
Akan tetapi yang jelas adalah bahwasanya Abu Sallam –yaitu Mamthur Al Habsyiy-, kakek Zaid bin Sallam meriwayatkan hadits ini dari Abu Rosyid, karena Abu Sallam memang murid Abu Rosyid. Dan Abu Rosyid inilah yang langsung menghadiri kisah tadi, sebagaimana diriwayatkan oleh Al Jauzajaniy, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam “Tahdzibut Tahdzib”, dalam biografi Abu Rosyid.
Dan juga sebagaimana yang kami sebutkan dalam riwayat Ibnu Abi ‘Ashim, Ath Thohawiy dan Ibnu Abi Syaibah.
Abu Rosyid ini adalah Al Hibroniy Al Himyariy Al Himshiy. Namanya Akhdhor. Ada yang bilang namanya adalah Nu’man. Dia meriwayatkan dari Abdurrohman bin Syibl Al Anshoriy dan sejumlah Shohabat. Meriwayatkan darinya Abu Sallam Al Aswad. Beliau disebutkan oleh Abu Zur’ah Ad Dimasyqiy dalam ath thobaqotul ‘ulya (tingkatan tertinggi) dari orang-orang yang di bawah Shohabat. Al ‘Ijliy berkata: “Beliau adalah orang Syam, tabi’iy, tsiqoh. Tidak ada di zaman beliau di Damaskus orang yang lebih utama daripada beliau.” Dan beliau disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam “Ats Tsiqot.” (“Tahdzibut Tahdzib”/12/hal. 99).
Sesungguhnya pentsiqohan Al ‘Ijliy dan Ibnu Hibban itu tidaklah kokoh. Akan tetapi manakala sang rowi masuk dalam tingkatan tertinggi dari Tabi’in, maka derajatnya terangkat, sehingga haditsnya bisa dihasankan.
Al Munawiy رحمه الله berkata tentang makna hadits ini: ““Bacalah Al Qur’an, dan amalkanlah” dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya. “dan janganlah kalian menjauh darinya” yaitu: janganlah kalian menjauhi bacaannya. “dan janganlah kalian berlebihan di dalamnya” yaitu: janganlah kalian melampaui batasannya dari sisi lafazhnya atau maknanya, dengan jalan kalian menakwilkannya dengan batil. Atau maksudnya adalah: janganlah kalian sekedar mencurahkan kerja keras dalam membacanya tapi kalian meninggalkan ibadah-ibadah yang lain. Menjauh adalah kekurangan. Dan berlebihan adalah berdalam-dalam di situ. Dan dua-duanya adalah buruk, sementara Alloh telah memerintahkan untuk bersikap tengah dalam berbagai perkara. Alloh berfirman:
﴿لم يسرفوا ولم يقتروا﴾
 “Mereka itu tidak menghamburkan harta dan tidak pula bersikap pelit.”
“dan janganlah kalian memakan harta dengannya, dan janganlah kalian memperbanyak harta dengannya.” Yaitu: janganlah kalian menjadikan Al Qur’an sebagai sarana untuk memperbanyak keduniaan. Dan termasuk dari adab yang diperintahkan adalah: bersikap pertengahan dalam berbagai urusan. Sedangkan dua ujung pertengahan adalah tercela.”
Ath Thibiy berkata: “Nabi menginginkan agar kalian jangan menjauhi Al Qur’an dengan meninggalkan bacaannya dan sibuk dengan takwil dan tafsirnya. Dan janganlah kalian berlebihan dengannya dengan jalan mencurahkan kerja keras dalam membacanya dan tajwidnya tanpa mau memikirkan kandungannya. Sebagaimana sabda beliau dalam hadits yang lain:
«لم يفقه من قرأ القرآن في أقل من ثلاث».
 “Tidak akan paham orang yang membaca Al Qur’an kurang dari tiga hari (yaitu: khotam Al Qur’an dalam waktu kurang dri tiga hari.”
(selesai penukilan dari “Faidhul Qodir” (2/hal. 64)).
            Hadits yang beliau isyaratkan barusan adalah riwayat At Tirmidziy (2949) dan Ibnu Majah (1347) dari Abdulloh bin ‘Amr ibnul ‘Ash رضي الله عنهما . Hadits ini shohih.
            Dan hadits Abdurrohman bin Syibl رضي الله عنهmerupakan dalil akan terlarangnya menjadikan Al Qur’an sebagai sarana untuk mendapatkan keduniaan.
            Ulama “Al Lajnatud Daimah Lil Buhutsil ‘Ilmiyyah Wal Ifta” (4/hal. 318) dalam penjelasan mereka tentang hadits ini berkata: “Rosul صلى الله عليه وسلم memerintahkan untuk membaca Al Qur’an dan mempelajarinya dalam rangka mengingat Alloh dan beribadah kepada-Nya, dan mengharapkan pahala-Nya dan takut kepada hukuman-Nya, dan dalam rangka memahami hukum-hukum-Nya dan mengamalkannya serta mengambil petuah dari nasihat-nasihatnya. Dan Rosul صلى الله عليه وسلم melarang mengambil upah dari bacaan Al Qur’an dan mencari makan dengannya.” Selesai.
            Apakah orang yang melakukan itu dikatakan bahwasanya dia membaca Al Qur’an untuk Alloh?
            Barangsiapa merenungkan makna hadits tersebut dan penjelasannya, tahulah dia bahwasanya barangsiapa mencari makan dengan Al Qur’an, maka bacaannya tadi bukanlah untuk Alloh.
            Ibnu Hajar رحمه الله berkata: “Bahwasanya bacaan itu jika bukan untuk Alloh, maka dia itu adalah untuk riya, atau mencari makan dengan Al Qur’an, dan yang semisal itu.” Lalu beliau menyebutkan beberapa dalil, di antaranya adalah hadits Abdurrohman bin Syibl ini, dan berkata: “Sanadnya kuat.” (“Fathul Bari”/9/hal. 100).
            Maka orang itu sekalipun selamat dari dosa, karena ada dalil-dalil yang membolehkan, tapi sebagian pahala amalnya rusak sesuai dengan kadar niatnya, karena amalan itu jika tidak karena Alloh maka dia itu batil, sehingga tinggal menjadi bagaikan akad jual beli atau akad persewaan saja.
            Kecuali jika dia memang dalam kondisi berhajat kepada rizqi, dan dia meniatkan dengan niat yang jujur bahwasanya menjadikan pekerjaannya tadi sebagai penolong dia dalam menaati Alloh dan menunaikan kewajiban-kewajiban, maka dia mendapatkan pahala dari amalan itu, sebagaimana telah lewat penjelasannya dari Syaikhul Islam رحمه الله.
            Kemudian Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله berkata: “Dan di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Atsrom dalam “Sunan” beliau dari Ubaiyy رضي الله عنه yang berkata:
كنت أختلف إلى رجل مسنّ قد أصابته علة ، قد احتبس في بيته أقرئه القرآن ، فيؤتى بطعام لا آكل مثله بالمدينة ، فحاك في نفسي شيء فذكرته للنبي صلى الله عليه وسلم فقال : «إن كان ذلك الطعام طعامه وطعام أهله فكل منه ، وإن كان يتحفك به فلا تأكله»
 “Dulu saya sering berbolak-balik ke seseorang yang sudah tua dan terkena penyakit, dia tertahan di rumahnya. Saya membacakan kepadanya Al Qur’an. Lalu didatangkanlah makanan yang belum pernah aku memakan semisal itu di Madinah. Tapi terdesir di hatiku suatu perkara, maka aku menceritakan itu pada Nabi صلى الله عليه وسلم maka beliau bersabda: “Jika makanan tadi adalah makanan dia dan keluarganya, maka makanlah darinya. Tapi jika dia menghadiahkan untukmu (sengaja membikinnya untukmu), maka jangan engkau makan.”
Selesai dengan perantaraan penukilan Ibnu Qudamah dalam “Al Mughni” dan Asy Syaukaniy dalam “Nailul Author.”
(“Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/368/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).
            Saya katakan dengan taufiq dari Alloh semata:
            Saya tidak punya “Sunan” Al Atsrom, tapi hadits ini diriwayatkan oleh Al Imam Abu Ubaid Al Qosim bin Sallam رحمه الله seraya berkata: haddatsana Abdulloh bin Sholih: ‘an Musa bin Ulaiy bin Robah: ‘an Abihi:
أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لأبي بن كعب
 “Bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم berkata pada Ubaiyy,…”
Semisal hadits ini.
(“Fadhoilul Qur’an”/Abu Ubaid/no. (292)).
Abdulloh bin Sholih adalah Abu Sholih Al Mishriy, sekretaris Al Laits, lemah, bisa untuk pendukung. (“Tahdzibut Tahdzib”/5/hal. 227).
Musa bin Ulaiy bin Robah adalah Abu Abdirrohman Al Bashriy, tsiqoh, kecuali jika menyendiri.(“Tahdzibut Tahdzib”/10/hal. 323).
Ayahnya adalah Ulaiy bin Robah bin Qushoir Al Lakhmiy, Abu Abdillah, tsiqoh. (“Tahdzibut Tahdzib”/7/hal. 280).
Hadits ini lemah karena lemahnya Abdulloh bin Sholih, dan juga karena bentuknya adalah mursal (Ulaiyy tidak bertemu Nabi, dan tidak menghadiri kisah tadi).
Dan telah lewat dalil-dalil yang membolehkan mengambil upah atau hadiah atau pemberian karena mengajar, tanpa memasang syarat.
Kemudian Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله menyebutkan perselisihan para imam dalam masalah ini, dan menyebutkan seperti apa yang disebutkan oleh Al Imam Ibnu Qudamah رحمه الله disertai dengan dalil-dalil yang membolehkan. Kemudian beliau berkata: “Yang jelas bagiku, dan Alloh ta’ala lebih tahu, adalah: bahwasanya seseorang itu jika tidak ada tuntutan hajat darurat, maka lebih utama baginya untuk tidak mengambil upah atas pengajaran Al Qur’an, aqidah-aqidah, dan halal-harom, berdasarkan dalil-dalil yang telah lewat. Jika hajat menuntutnya untuk itu, maka silakan dia mengambil upah sesuai kadar darurat yang dialaminya, dari baitul mal milik Muslimin, karena yang nampak adalah bahwasanya harta yang diambil dari baitul mal milik Muslimin itu memang disediakan untuk membantu dilaksanakannya pengajaran, bukan sebagai upah.
Dan lebih utama bagi orang yang telah Alloh cukupi untuk dia itu menjaga kehormatan, jangan sampai mengambil sedikitpun dari upah pengajaran Al Qur’an, aqidah-aqidah, dan halal-harom. Ilmu tentang ini ada di sisi Alloh ta’ala.
(selesai dari “Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/368/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).
            Kesimpulannya adalah: bahwasanya dalil-dalil yang berisi ancaman terhadap orang yang mengambil upah itu semuanya lemah, tidak tegak dengannya hujjah untuk mengharomkan mengambil upah dari pengajaran. Dan dalil-dalil yang telah tetap itu menunjukkan bahwasanya orang menuntut upah pengajaran, atau memasang syarat, itu tercela atau dibenci, sekalipun tidak sampai harom. Adapun jika dia meminta upah karena punya hajat, maka dia tidak tercela. Dan dalil-dalil shohih yang lain menunjukkan tentang bolehnya mengambil upah pengajaran tanpa syarat.
            Ibnu Hajar رحمه الله berkata: “Sebagian ulama mendakwakan bahwasanya hadits-hadits yang membolehkan itu dihapus oleh hadits-hadits yang datang yang berisi ancaman terhadap orang yang mengambil upah dari pengajaran Al Qur’an, dan telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dan yang lain. Ini terbantah karena dakwaan tadi merupakan penetapan nasikh mansukh dengan semata-mata kemungkinan, dan itu tak bisa diterima. Juga terbantah karena hadits-hadits tadi tidak terang-terangan melarang mengambil upah secara mutlak. Bahkan isinya adalah kejadian-kejadian khusus yang memungkinkan untuk ditakwilkan agar sesuai dengan hadits-hadits yang shohih seperti hadits dalam bab ini. Dan terbantah juga dengan bahwasanya hadits-hadits (yang mengancam) tersebut tidak bisa tegak dengannya hujjah, maka tidak bisa berhadapan dengan hadits-hadits shohih.” (“Fathul Bari”/4/hal. 453-454).
            Kenapa adanya hajat itu membolehkan perkara yang semua tercela dan dibenci? Yang demikian itu dikarenakan hajat itu timbul dari kesulitan, sementara kesulitan itu menuntut adanya pemudahan, sebagaimana itu telah tetap di dalam kaidah-kaidah fiqhiyyah yang diambil dari dalil-dalil yang banyak.
            Apa makna “hajat” secara syar’iy?
            Al ‘Allamah Asy Syathibiy رحمه الله berkata: “Adapun perkara yang bersifat hajat itu maknanya adalah: bahwa perkara tadi diperlukan dalam rangka perluasan kondisi dan penghilangan kesempitan yang secara umum bisa memasukkan orang kepada kesulitan dan kepayahan karena tidak berhasil mendapatkan perkara yang diinginkan. Jika hajat-hajat tadi tidak diperhatikan, para hamba akan masuk ke dalam kesulitan dan kepayahan, hanya saja perkara tadi secara adat kebiasaan tidak sampai pada taraf yang dikhawatirkan akan merusak kemaslahatan umum.” (“Al Muwafaqot”/2/hal. 10-11).
            Ibnu Nujaim رحمه الله berkata: “Kaidah yang keempat: kesulitan itu menuntut datangnya pemudahan. Asal dari kaidah ini adalah firman Alloh ta’ala:
﴿يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر﴾
 “Alloh menginginkan kemudahan untuk kalian, dan Dia tidak menginginkan kalian tertimpa kesulitan.”
            Dan firman Alloh ta’ala:
﴿وما جعل عليكم في الدين من حرج﴾.
 “Dan Alloh tidak menjadikan di dalam agama ini kesempitan terhadap kalian.”
(selesai dari “Al Asybah Wan Nazhoir”/Ibnu Nujaim/hal. 75).
Bab Tiga: Jawaban Terhadap Dua Kerumitan
            Ada dua kerumitan.
            Kerumitan yang pertama: bagaimana kaitan bab ini dengan larangan menjual ayat-ayat Alloh dengan harga murah? Firman Alloh ta’ala:
﴿وَلَا تَكُونُوا أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ﴾ [البقرة: 41]؟
 “Dan janganlah kalian menjadi orang-orang yang pertama mengingkari apa yang Kami wahyukan ini, dan janganlah kalian membeli harga yang murah dengan ayat-ayat-Ku, dan hanya kepada-Ku sajalah kalian bertaqwa.”
            Al Qurthubiy رحمه الله dalam bantahan beliau kepada Abu Hanifah telah menjelaskan dengan tafsir yang panjang, di antaranya adalah: “Adapun jawaban tentang ayat ini adalah: yang pertama: yang dimaksudkan dengan dengan ayat ini adalah Banu Isroil. Dan syariat umat sebelum kita apakah menjadi syariat bagi kita? Di sini ada perselisihan, dan Abu Hanifah tidak berpendapat bahwasanya itu adalah syariat bagi kita.
            Yang kedua: ayat ini berlaku bagi orang yang terkena fardhu ‘ain untuk mengajar, tapi dia tidak mau menjalankannya sampai dia diberi upah. Adapun jika dia tidak terkena fardhu ‘ain untuk mengajar, maka boleh baginya mengambil upah dalam mengajar, dengan dalil dari hadits. Terkadang dia terkena fardhu ‘ain untuk mengajar tapi dia tidak memiliki harta untuk menafkahi dirinya sendiri ataupun keluarganya, maka dia tidak wajib mengajar. Dan dia boleh menerima upah dari pekerjaannya dan keahliannya.
            Dan pemerintah wajib membantu sang pengajar dalam menegakkan agama. Jika tidak demikian, maka wajib atas Muslimin untuk menolong sang pengajar, karena Ash Shiddiq رضي الله عنه ketika terpilih memegang kekhilafahan beliau tidak punya harta untuk menafkahi keluarga beliau, maka beliau mengambil baju-baju dan keluar ke pasar (untuk berjualan). Maka beliau ditanya tentang hal itu, maka beliau menjawab: “Dari mana aku menafkahi keluargaku?” Maka mereka menolak beliau berjualan, dan mereka menetapkan jaminan untuk beliau.
            Adapun hadits-hadits ini –yang mengandung ancaman bagi pengambil upah-, maka tiada satupun yang tegak di atas sanadnya, dan tiada satupun yang shohih menurut para ahli hadits.”
(“Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an”/1/hal. 336).
            Beliau رحمه الله juga berkata: “Maka barangsiapa mengambil suap untuk merubah kebenaran, atau membatalkan kebenaran, atau tidak mau mengajarkan apa yang wajib untuk dia mengajarkannya atau yang dia wajib untuk menunaikan apa yang diketahuinya dalam waktu yang sudah fardhu ‘ain untuk dia mengajarkannya sampai dia mengambil upah, maka sungguh dia terkena tuntutan ayat ini. Alloh a’lam.
            -kemudian beliau menyebutkan perselisihan dalam hukum mengambil upah, kemudian beliau berkata:- yang membolehkan mengambil upah pengajaran Al Qur’an adalah Malik, Asy Syafi’iy, Ahmad, Abu Tsaur dan kebanyakan ulama, berdasarkan sabda Nabi عليه السلام dalam hadits Ibnu Abbas, hadits ruqyah:
«إن أحقّ ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله».
 “Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh.”
Diriwayatkan oleh Al Bukhoriy, dan itu adalah nash yang menghilangkan perselisihan, maka nash tadi harus menjadi patokan.
            Adapun hujjah pihak yang menyelisihi dengan memakai qiyas, yang mengqiyaskan pengajaran kepada sholat dan puasa, maka itu adalah qiyas yang rusak karena berhadapan dengan nash tadi. Kemudian juga Antara dua perkara tadi adalah perbedaan, yaitu: bahwasanya sholat dan puasa itu adalah ibadah yang khusus untuk pelakunya (manfaatnya untuk pelakunya saja), sementara pengajaran Al Qur’an itu ibadah yang mengena kepada pihak selain pengajar (manfaatnya untuk orang lain juga), maka boleh baginya untuk mengambil upah karena upaya dia untuk memindahkan ilmu, sebagaimana pengajaran cara menulis Al Qur’an.”
(“Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an”/1/hal. 334-336).
            Kenapa Al Qurthubiy رحمه الله berkata: “Dan pemerintah wajib membantu sang pengajar dalam menegakkan agama.”? Yang demikian itu dikarenakan posisi pemerintah (wulatul umur) itu dijadikan untuk mengurusi manusia. Dan manusia wajib mengetahui urusan agama mereka agar bisa beribadah pada Alloh sebagaimana seharusnya, maka wajib bagi pemerintah untuk memudahkan itu semua.
            Dari Abul Malih yang berkata:
أن عبيد الله بن زياد عاد معقل بن يسار في مرضه، فقال له معقل: إني محدثك بحديث لولا أني في الموت لم أحدثك به. سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول: «ما من أمير يلي أمر المسلمين ثم لا يجهد لهم وينصح إلا لم يدخل معهم الجنة».
 “Bahwasanya Ubaidulloh bin Ziyad menjenguk Ma’qil bin Yasar saat beliau sakit. Maka Ma’qil berkata kepadanya: “Aku akan menceritakan satu hadits kepadamu. Andaikata bukan karena aku sudah akan mati, aku tak akan menceritakan padamu. Aku mendengar Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Tidak ada seorang amirpun yang mengurusi urusan Muslimin, kemudian dia tidak bekerja keras untuk mereka dan tidak mau mencurahkan nasihat untuk mereka, kecuali dia tidak akan masuk Jannah bersama mereka.” (HR. Al Buhoriy (7150) dan Muslim (142)).
            Dan Al Khothib Al Baghdadiy رحمهالله berkata: “Maka wajib bagi setiap orang untuk mempelajari perkara yang wajib diketahuinya, dari perkara-perkara yang Alloh wajibkan padanya, sesuai dengan kemampuannya untuk mencurahkan kerja kerasnya demi kebaikan dirinya sendiri. Dan setiap muslim yang baligh, berakal, pria dan wanita, orang merdeka, budak, wajib bagi dirinya untuk bersuci, sholat, dan puasa wajib. Maka wajib bagi setiap muslim untuk mengetahui ilmunya. Dan demikian pula wajib bagi setiap muslim untuk mengetahui apa yang halal baginya dan apa yang diharomkan untuknya, yang berupa makanan, minuman, pakaian, kemaluan, darah, dan harta. Maka ini semua tidak boleh seseorang itu untuk tidak mengetahuinya. Dan mereka wajib untuk memulai mempelajarinya sampai mereka itu mencapai baligh dalam keadaan mereka itu muslimin, atau ketika mereka masuk Islam setelah mencapai baligh. Pemerintah memaksa para suami dan para tuan untuk mengajari para istri dan para budak perempuan tentang perkara-perkara yang kami sebutkan tadi. Dan pemerintah harus menghukum orang-orang jika membangkang dari perkara tadi. Dan pemerintah harus menertibkan orang-orang untuk mengajari orang-orang yang bodoh, menetapkan gaji untuk mereka dari baitul mal, dan wajib bagi para ulama untuk mengajari orang bodoh, agar terpisahlah baginya kebenaran dari kebatilan.” (“Al Faqih Wal Mutafaqqih”/1/hal. 185).
            Kerumitan kedua: apa pendapatmu tentang hadits Utsman bin Abil ‘Ash رضي الله عنه:
آخر ما عهد إلي النبي أن أتخذ مؤذنا لا يأخذعلىأذانهأجرا؟
“Akhir dari perintah Nabi kepadaku adalah: agar aku mengambil muadzdzin yang tidak mengambil upah dari adzan dia.”
            Hadits ini diriwayatkan oleh At Tirmidziy (209) dari jalur Al hasan dari Utsman bin Abil ‘Ash رضي الله عنه. Jika Al Hasan Al Bashriy memang mendengar hadits itu dari beliau, maka hadits ini shohih.
            Dan yang memperkuat itu adalah hadits Utsman bin Abil ‘Ash رضي الله عنه juga:
أنه قال:يارسولاللهاجعلنيإمامقومي.قال:أنتإمامهمواقتدبأضعفهمواتخذمؤذنالايأخذ  علىأذانهأجرا.
Beliau berkata: “Wahai Rosululloh, jadikanlah saya sebagai imam bagi kaum saya.” Beliau menjawab: “Engkau adalah imam mereka. Dan teladanilah orang yang paling lemah dari mereka, dan ambillah muadzdzin yang tidak mengambil upah dari adzan dia.” (HR. Ahmad (16316)/hadits shohih).
            Tidak ada di dalam hadits ini pengharoman mengambil upah tanpa syarat. Dan telah lewat dalil-dalil yang lain, sehingga harus dilakukan penggabungan Antara dalil. Hanya saja Nabi صلى الله عليه وسلم memerintah para pemimpin untuk memilih muadzdzin-muadzdzin yang ikhlas. Dan ulama telah bersepakat bahwasanya adzan tanpa mengambil upah itu lebih utama dan lebih agung pahalanya di sisi Alloh.
            Al Qirofiy رحمه الله berkata dalam menjawab masalah ini: “Tidak mengambil upah itu secara ijma’ lebih utama. Tapi perintah Nabi tadi tidaklah menunjukkan haromnya mengambil upah.” (“Adz Dzakhiroh Fil Fiqhil Malikiy”/Al Qirofiy/5/hal. 364).
Bab Empat: Peringatan Penting
            Tidaklah saya menulis ini dalam rangka menginginkan harta orang kaya. Alloh ta’ala berfirman:
﴿وَلَاتَمُدَّنَّعَيْنَيْكَإِلَىمَامَتَّعْنَابِهِأَزْوَاجًامِنْهُمْزَهْرَةَالْحَيَاةِالدُّنْيَالِنَفْتِنَهُمْفِيهِوَرِزْقُرَبِّكَخَيْرٌوَأَبْقَى﴾ [طه: 131].
“Dan janganlah engkau menjulurkan pandangan matamu kepada orang yang Kami beri dia kesenangan dengan pasangan-pasangan bunga dunia di kalangan mereka untuk Kami uji mereka di dalamnya. Dan rizqi Robbmu itu lebih baik dan lebih kekal.”
            Hanya saja saya ditanya tentang masalah ini sebagai bagian dari perkara agama, lalu saya menelusuri jawaban yang benar, berdasarkan dalil dan penjelasan para ulama yang terdahulu dan yang belakangan, lalu saya dapati apa yang saya dapati. Dan kita berjalan bersama sunnah kemanapun sunnah itu berjalan. Dan kita tidak bertopang pada rasio, atau hawa nafsu atau perasaan.
            Hanya dengan pertolongan Alloh saja didapatkannya taufiq.
            Jiwa-jiwa yang mulia lebih mengutamakan perkara yang paling utama dan paling Alloh cintai. Sementara jiwa-jiwa yang rendah condong kepada kehinaan dunia. Dan manusia dalam masalah ini ada di dalam tingkatan-tingkatan yang bermacam-macam.
            Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Maka jiwa-jiwa yang mulia itu tidak rela kecuali perkara yang paling tinggi, paling utama dan paling terpuji kesudahannya, sementara jiwa-jiwa yang rendah itu berputar di sekitar perkara-perkara yang hina dan jatuh ke dalamnya sebagaimana lalat hinggap ke kotoran.” (“Al Fawaid”/hal. 177).
            Dari Jabir bin Abdillah رضي الله عنهما:
أنرسولاللهصلىاللهعليهوسلممربالسوقداخلاًمنبعضالعاليةوالناسكنفته،فمربجديأسكميتفتناولهفأخذبأذنهثمقال:«أيكميحبأنهذالهبدرهم؟»فقالوا:مانحبأنهلنابشيءومانصنعبه؟قال:«أتحبونأنهلكم؟»قالوا:واللهلوكانحياكانعيباًفيهلأنهأسك،فكيفوهوميت؟فقال:«فواللهللدنياأهونعلىاللهمنهذاعليكم».
Bahwasanya Rosululloh صلى الله عليه وسلمmelewati pasar dan masuk ke sebagian dataran tinggi, sementara orang-orang ada di sekeliling beliau. Lalu beliau melewati bangkai anak kambing yang kecil kedua telinganya. Lalu beliau mengambilnya dan memegang telinganya  seraya bertanya: “Siapakah dari kalian yang mau membeli bangkai ini dengan harga satu dirham?” Mereka berkata: “Kami tidak mau membelinya dengan harga serendah apapun. Apa yang akan kami perbuat dengannya?” Beliau bertanya lagi: “Apakah kalian senang bangkai ini diberikan pada kalian?” Mereka menjawab: “Andaikata dia masih hidup, dia itu punya cacat karena kedua telinganya kecil. Maka bagaimana sementara dia itu sudah mati?” maka beliau bersabda: “Maka demi Alloh, dunia itu benar-benar lebih rendah bagi Alloh daripada bangkai ini bagi kalian.” (HR. Muslim (1957)).
            Al Imam Abu Bakr Muhammad ibnul Walid Al Qurosyiy Al Fihriy Al Andalusiy Ath Thurthusyiy Al faqih Al Malikiy Az Zahid (wafat: 520 H) membacakan syair:
إن لـله عبـادا فـطـنا                                  طلقوا الدنيا وخافوا الفتنا
نظروا فيها فلما علموا                             أنها ليسـت لحـي وطـنا
جعلوها لجة واتخذوا                              صالح الأعمال فيها سفنا
“Sesungguhnya Alloh punya para hamba yang cerdas. Mereka menceraikan dunia dan takut pada fitnah. Mereka memperhatikan dunia, manakala mereka mengetahui bahwasanya dunia itu bukan tempat tinggal bagi orang yang hidup, mereka menjadikan dunia sebagai samudra, dan mereka menjadikan amal sholih di dalamnya sebagai kapal-kapal.”
(“Wafayatul A’yan”/4/hal. 262/Ibnu Basykuwal).
            Dari salah seorang penduduk badui yang berkata:
أخذ بيدي رسول الله صلى الله عليه وسلم فجعل يعلمني مما علمه الله تبارك وتعالى، وقال:«إنك لن تدع شيئا اتقاء الله جل وعز إلا أعطاك الله خيرا منه».
“Rosululloh صلى الله عليه وسلم mengambil tanganku, lalu beliau mulai mengajariku dari apa yang Alloh تبارك وتعالى ajarkan pada beliau. Dan beliau bersabda: “Sesungguhnya engkau tidaklah dirimu meninggalkan sesuatu dalam rangka bertaqwa pada Alloh عز وجل kecuali Alloh akan memberimu dengan sesuatu yang lebih baik dari itu.” (HR. Al Imam Ahmad (20758) dan dishohihkan oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash Shohihul Musnad” (1489)).
            Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Karena sesungguhnya barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Alloh, maka Alloh عز وجل akan memberinya ganti dengan sesuatu yang lebih baik dari itu.” (“Ighotsatul Lahfan”/hal. 47).
            Kita kembali ke pembahasan.
            Jika di dalam pengajaran dengan upah itu ada bentuk akad, dan jual beli, dan persewaan, maka harus ada saling ridho di antara kedua belah pihak. Jika keduanya saling ridho dalam masalah manfaat dan harga, silakan dilanjutkan, jika tidak ada saling ridho maka tidak ada paksaan untuk melanjutkan akad, dan silakan masing-masing pihak mencari orang lain yang disukai untuk berakad dengannya.
            Dan hendaknya pengajar yang berhajat pada upah itu berkata: “Saya mensyaratkan upah karena hajat saya untuk menafkahi keluarga saya,” atau yang semacam itu. Dan jangan dia berkata: “Sesungguhnya dakwah berhajat pada dana sekian dan sekian,” karena yang demikian itu menghinakan dakwah Ilahiyyah. Engkaulah yang berhajat pada harta orang, jangan bersembunyi di balik tabir dakwah. Dakwah ini punya Alloh, Dialah Yang menjamin akan menolong orang yang menolong-Nya. Dan Dia telah memerintahkan para Nabi-Nya untuk menyeru manusia kepada-Nya, tanpa mengambil upah.
Barangsiapa memanfaatkan urusan dakwah untuk mengkorupsi harta orang, maka dia itu tercela, pengekor dunia, tidak menempuh jalan para Nabi, dan tidak pula menelusuri jalan Ahlussunnah.
Al Imam Al Wadi’iy -rahimahulloh- pernah ditanya: “Ada seseorang yang datang ke Amerika dan menisbatkan dirinya kepada Ahlussunnah. Di antara mereka adalah ‘Aqil Al Maqthory. Dia berkhothbah di beberapa masjid, dan setelah itu dia berdiri untuk mengumpulkan sumbangan buat jam’iyyah. Maka apa hukum perbuatan itu?”
Maka beliau menjawab: “Dakwah Ikhwanul Muslimin adalah dakwah materiil keduniaan, untuk mengumpulkan harta. Pernah pada suatu hari kami keluar untuk berdakwah, dan keluarlah bersama kami Abdulloh An Nahmy -rahimahulloh- -beliau telah terbunuh di Afganistan- dan juga Abdul Wahhab besan Hizam Al Bahluly. Dan mereka berkata,”Kami akan meminta sumbangan. Maka kami berkata,”Ini bukanlah alamat Ahlussunnah.Tapi jika kalian tetap bersikeras berbuat itu, janganlah kalian yang menerima langsung uang itu. Ucapkanlah: “Si Fulan dari penduduk desa ini yang akan menerimanya.” Orang-orang sekarang menjadi berburuk sangka kepada para dai ilalloh, padahal Alloh عز وجل telah menceritakan banyak dari Nabi-Nya dalam surat Asy Syu’aroعليه السلام:
﴿وما أسألكم عليه من أجر إن أجري إلا على رب العالمين﴾ [ الشعراء : 109 ] ،
 “Dan tidaklah aku minta pada kalian upah sedikitpun dari dakwahku. Tidaklah upahku kecuali dalam tanggungan Robbil alamin.”
Dan Alloh سبحانه وتعالىmenceritakan ucapan sebagian sholihin:
﴿اتّبعوا من لا يسألكم أجرًا وهم مهتدون﴾
“Ikutilah orang yang tidak meminta pada kalian upah dan mereka itu adalah orang-orang yang mengikuti petunjuk.”
            Dan Alloh سبحانه وتعالىberfirman:
﴿اتّبعوا من لا يسألكم أجرًا وهم مهتدون﴾
 “Katakanlah: tidaklah aku minta pada kalian upah dari dakwahku. Aku hanya minta kasih sayang dalam kekerabatan.”
            Alloh memfirmankan ini kepada Nabi kita Muhammad صلى الله عليه وسلم . maka dakwah itu harus untuk Alloh عز وجل semata. firman-Nya :
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى الله عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي
“Katakanlah: Inilah jalanku, aku menyeru kepada Alloh di atas bashiroh –ilmu dan keyakinan-, aku dan orang yang yang mengikutiku.” (QS. Yusuf : 108)
            Sementara mereka itu (Ikhwaniyyun), menurut mereka hari yang diberkahi adalah hari di mana mereka keluar dari majelis dalam keadaan kantong mereka penuh sumbangan, sama saja apakah orang-orang mengambil manfaat dari mereka ataukan tidak. Maka ini adalah perbuatan buruk terhadap ilmu dan dakwah.
            Sang khothib dari mereka bangkit dan mendorong mereka untuk berpegang teguh dengan Kitab Alloh dan Sunnah Rosululloh صلى الله عليه وسلمdan memperingatkan mereka dari hukuman Alloh, serta mengingatkan mereka dengan Jannah dan Neraka. Kemudian di akhir ceramah dia berkata : “Berilah kami uang.” Padahal Alloh عز وجل berfirman :
﴿ولا يسألكم أموالكم إن يسألكموها فيحفكم تبخلوا ويخرج أضغانكم﴾.
“Dan Alloh tidak minta pada kalian harta kalian. Jika Dia minta harta pada kalian lalu mengulang-ulang permintaan pada kalian niscaya kalian akan bersikap pelit dan Alloh mengeluarkan kedongkolan hati kalian.”
            Dan kisah Sa’d ibnur Robi’ dan Abdurrohman bin ‘Auf telah terkenal, ketika Sa’d ibnur Robi’ berkata : “Aku adalah orang Anshor yang paling banyak harta, maka aku akan membaginya jadi dua, dan aku punya dua istri, lihatlah siapa yang paling engkau sukai, aku akan menceraikannya dan memberikannya untukmu, jika telah selesai iddahnya silakan engkau nikahi dia.” Maka Abdurrohman menjawab : “Semoga Alloh memberkahi untukmu dalam keluargamu dan hartamu. Tunjukkanlah padaku pasar.” Sa’d ibnur Robi’ di puncak kedermawanan, sementara Abdurrohman bin ‘Auf di puncak penjagaan kehormatan.”
            Sebenarnya mereka (para pengemis dengan nama dakwah) itu memperburuk citra dakwah.” –sampai pada ucapan beliau :- “Dan bukanlah kami mendakwahi manusia untuk mengambil harta mereka. Kalaupun engkau pergi ke negri manapun dari negri-negri Islam engkau tak akan melihat seorang sunni yang berdiri dan memberikan nasihat kepada manusia hingga membikin mereka menangis, lalu setelah itu dia menggelar sorbannya di pintu.”
(“Tuhfatul Mujib”/ hal. 75-79).
            Adapun jika tidak ada di antara dirinya dengan orang lain akad pemanfaatan atau semisalnya, harom bagi dirinya untuk meminta harta orang lain, karena di dalamnya ada semacam penundukan diri kepada selain Alloh dan penghinaan diri.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahulloh- berkata:”Hamba itu manakala dia semakin menghinakan diri kepada Alloh dan semakin merasa butuh kepada-Nya, serta semakin besar penundukan dirinya kepada-Nya, dia semakin dekat kepada-Nya, semakin mulia di sisi-Nya dan semakin agung nilainya. Maka makhluk yang paling berbahagia adalah makhluk yang paling agung penghambaan dirinya kepada Alloh. Adapun makhluk, maka sebagaimana dikatakan : silakan engkau butuh kepada siapa yang engkau inginkan, maka engkau akan menjadi tawanannya. Janganlah engkau butuh pada siapapun yang engkau inginkan, maka engkau akan menjadi sepadan dengannya. Berbuat baiklah kepada siapapun yang engkau inginkan, maka engkau akan jadi pemimpin baginya
–sampai pada ucapan beliau :- Maka nilai seorang hamba yang paling agung dan paling terhormat di sisi para makhluk adalah jika dia tidak butuh sama sekali pada mereka. Jika engkau berbuat baik pada mereka bersamaan dengan ketidakbutuhan kepada mereka, engkau menjadi makhluk paling agung di sisi mereka. Dan kapan saja engkau butuh kepada mereka –meskipun seteguk air- berkuranglah nilaimu di sisi mereka sesuai dengan kadar kebutuhanmu pada mereka. Dan ini adalah bagian dari hikmah Alloh dan Rohmat-Nya agar ketundukan itu hanya diberikan untuk Alloh, dan tiada sesuatupun yang disekutukan dengan-Nya.” dst.
(selesai dari “Majmu’ul Fatawa”/ 1/hal. 39).
            Dan dikarenakan adanya kekurangan kesempurnaan tauhid pada kasus meminta pada makhluk, maka Rosululloh صلى الله عليه وسلمmencela hal itu dalam dalil-dalil yang banyak.
Hakim bin Hizam rodhiyallohu ‘anhu berkata:
  سَأَلْتُ رَسُولَ الله  صلى الله عليه وسلم فَأَعْطَانِى، ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِى ثُمَّ قَالَ لِى: « يَا حَكِيمُ ، إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرٌ حُلْوٌ، فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ، وَكَانَ كَالَّذِى يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ، وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى». قَالَ حَكِيمٌ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ الله، وَالَّذِى بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لاَ أَرْزَأُ أَحَدًا بَعْدَكَ شَيْئًا حَتَّى أُفَارِقَ الدُّنْيَا.
“Aku meminta pada Rosululloh -shalallohu ‘alaihi wa sallam- maka beliau memberiku, lalu aku minta lagi padanya, maka beliau memberiku, lalu beliau bersabda padaku: “Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu hijau dan manis. Barangsiapa mengambilnya dengan kedermawanan jiwa, dia akan diberi keberkahan padanya. Tapi barangsiapa mengambilnya dengan keinginan dan harapan jiwa, maka tak akan diberkahi untuknya. Seperti orang yang makan tapi tidak kenyang. Dan tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah.” Maka aku berkata,”Wahai Rosululloh, Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, saya tak akan lagi mengurangi harta orang setelah Anda dengan permintaan sedikitpun, sampai saya meninggalkan dunia. (HR. Al Bukhory (2750)).
Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu berkata: Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- bersabda:
« مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ ».
“Barangsiapa meminta harta orang lain dalam rangka memperbanyak harta, maka dia itu sebenarnya hanyalah meminta bara api. Maka silakan menyedikitkan atau memperbanyak.” (HR. Al Bukhoriy (2047) dan Muslim (1041)).
            Samuroh رضي الله عنه berkata: dari Nabi صلى الله عليه وسلم yang bersabda:
«الْمَسَائِلُ كُدُوحٌ يَكْدَحُ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ فَمَنْ شَاءَ أَبْقَى عَلَى وَجْهِهِ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَ إِلاَّ أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ ذَا سُلْطَانٍ أَوْ فِى أَمْرٍ لاَ يَجِدُ مِنْهُ بُدًّا ».
“Minta-minta itu adalah goresan yang dengannya seseorang menggores wajahnya sendiri. Maka barangsiapa ingin minta, silakan dia membiarkan goresan itu ada di wajahnya. Dan barangsiapa ingin bersih, hendaknya dia meninggalkan meminta-minta. Kecuali orang itu minta pada pemerintah atau dalam perkara yang tidak sanggup dihindari.” (HR. Abu Dawud (5/hal. 19) dan dishohihkan Al Imam Al Wadi’iy dalam “Ash Shohihhul Musnad” (455)).
Sahl Ibnul Handholiyyah rodhiyallohu ‘anhu berkata:
قَالَ رَسُولُ الله -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيهِ فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنَ النَّارِ ». –وفي رواية- « مِنْ جَمْرِ جَهَنَّمَ ». فَقَالُوا يَا رَسُولَ الله وَمَا يُغْنِيهِ –وفي رواية- وَمَا الْغِنَى الَّذِى لاَ تَنْبَغِى مَعَهُ الْمَسْأَلَةُ قَالَ « قَدْرُ مَا يُغَدِّيهِ وَيُعَشِّيهِ ». –وفي رواية- « أَنْ يَكُونَ لَهُ شِبَعُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَوْ لَيْلَةٍ وَيَوْمٍ ».
Rosululloh -shalallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Barangsiapa meminta-minta, dan di sisinya ada sesuatu yang telah mencukupinya, maka dia itu hanyalah sedang memperbanyak api.” –dalam riwayat lain: “Dari api Jahannam” Maka mereka bertanya: “Wahai Rosululloh, apa itu sesuatu yang telah mencukupinya?” dalam riwayat lain: “Apa itu kekayaan yang dengan tidak diperbolehkan meminta-minta?” Beliau menjawab,“Sekadar makan siang, atau makan malam.” dalam riwayat lain: “Yang bisa mengenyangkannya sehari semalam.” (HR. Abu Dawud (1631) dan dishohihkan Imam Al Wadi’iy -rohimahulloh- dalam “Ash Shohihul Musnad” (461)/Darul Atsar).
Qobishoh bin Mukhoriq Al Hilaliy -rodhiyallohu ‘anhu- berkata:
  عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ مُخَارِقٍ الْهِلاَلِىِّ قَالَ تَحَمَّلْتُ حَمَالَةً فَأَتَيْتُ رَسُولَ الله -صلى الله عليه وسلم- أَسْأَلُهُ فِيهَا فَقَالَ: «أَقِمْ حَتَّى تَأْتِيَنَا الصَّدَقَةُ فَنَأْمُرَ لَكَ بِهَا». قَالَ ثُمَّ قَالَ: « يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَ تَحِلُّ إِلاَّ لأَحَدِ ثَلاَثَةٍ رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُول ثَلاَثَةٌ مِنْ ذَوِى الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ لَقَدْ أَصَابَتْ فُلاَنًا فَاقَةٌ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا».
“Aku pernah memikul suatu tanggungan, maka kudatangi Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wasallam- untuk meminta beliau membantu melunasinya. Maka beliau bersabda: “Tinggallah di sini sampai datang shodaqoh, maka kami akan memerintahkan mereka untuk memberikannya padamu.” Lalu beliau bersabda: “Wahai Qobishoh, sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali untuk salah satu dari tiga orang saja: Orang yang memikul suatu tanggungan, halal baginya meminta sampai bisa membayarnya, lalu dia berhenti dari minta-minta. Dan (yang kedua) orang yang tertimpa malapetaka yang menghabiskan hartanya, halal baginya minta-minta sampai bisa tegak hidupnya. Dan (yang ketiga) orang yang tertimpa kemiskinan sampai ada tiga orang berakal dari kaumnya berkata: “kemiskinan telah menimpa si Fulan.” Maka halal baginya minta-minta  sampai bisa tegak hidupnya. Adapun minta-minta yang selain tiga jenis itu –wahai Qobishoh- dia itu adalah keharoman, pelakunya memakannya dengan harom.” (HR. Muslim (1044)).
            Dari Abu Sa’id Al Khudriy رضي الله عنه yang berkata:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «من سأل وله قيمة أوقية فقد ألحف». فقلت: ناقتي الياقوتة هى خير من أوقية. قال هشام –أحد الرواة-: خير من أربعين درهما. فرجعت فلم أسأله شيئا.
Rosululloh -shalallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Barangsiapa minta-minta dalam keadaan dia punya harta senilai satu uqiyah, maka sungguh dia itu telah merengek-rengek.” Maka aku berkata : “Ontaku Yaqutah itu lebih bagus daripada uang satu uqiyah.” –Hisyam, seorang rowi, mengatakan: yaitu lebih baik daripada empat puluh dirham.- “Maka aku pulang dan tidak jadi meminta pada Beliau.” (HR. Abu Dawud (5/hal. 176) dan dihasankan Imam Al Wadi’iy -rohimahulloh- dalam “Ash Shohihul Musnad” (392)/Darul Atsar).
            Lihatlah betapa sabarnya para Shohabat dalam menjaga kehormatan dan menaati perintah Nabi صلى الله عليه وسلمuntuk tidak meminta-minta, padahal kondisi ekonomi kebanyakan dari mereka lebih rendah daripada kita di zaman ini.
            Dan dari Hubsyiy bin Junadah رضي الله عنه yang berkata: Rosulullohصلى الله عليه وسلم bersabda:
«مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ ».
“Barangsiapa meminta bukan karena faqir maka seakan-akan dia itu memakan bara api.”(HR. Ahmad (37/hal. 472) dan dishohihkan Imam Al Wadi’iy -rohimahulloh- dalam “Ash Shohihul Musnad” (288)/Darul Atsar).
Abdulloh bin ‘Umar -rodhiyallohu ‘anhuma- berkata: Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wasallam- bersabda:
«مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ».
 “Senantiasa seseorang itu meminta pada orang lain sampai dia datang pada hari kiamat dalam keadaan di wajahnya tiada potongan daging.” (HR. Muslim (2445)).
            Maka barangsiapa merenungkan dalil-dalil ini dan yang semisalnya, tahulah dia insya Alloh bahwasanya meminta pada makhluk itu harom pada asalnya, dan tidak diperbolehkan kecuali dalam kondisi darurat. Barangsiapa melampaui batas syariat maka dia itu berdosa dan tercela.
Al Imam Al Hafizh Ibnul Qoththon Al Fasiy –rohimahulloh- berkata:“Para ulama telah sepakat bahwasanya meminta-minta itu harom.” (“Al Iqna’ Fi Masailil Ijma’”/7/3/hal. 397).
Al Imam An Nawawiy -rahimahulloh- berkata:”Maksud dari bab ini dan hadits-haditsnya adalah larangan dari meminta-minta. Dan para ulama telah bersepakat dalam larangan ini, jika bukan dalam keadaan darurat. Adapun masalah orang yang mampu untuk bekerja tapi dia meminta-minta, para sahabat kami –Asy Syafi’iyyah- berselisih menjadi dua pendapat. Yang paling shohih adalah dia itu harom, berdasarkan lahiriyah dari hadits-hadits tersebut. Dan pendapat yang kedua: halal tapi dibenci, dengan tiga syarat: tidak sampai dia merendahkan dirinya, tidak berbuat “ilhah” (merengek-rengek) dalam meminta, dan tidak menyakiti atau mengganggu orang yang dimintai. Apabila salah satu dari syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka dia itu harom secara kesepakatan. Wallohu a’lam. (“Syarh Shohih Muslim” /3/hal. 488).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rohimahulloh- berkata: “Maka jika dia meminta rizqinya dari Alloh, jadilah dia hamba bagi Alloh dan menjadi orang yang butuh pada Alloh. Tapi jika dia meminta rizqinya dari makhluq, jadilah dia hamba bagi makhluq itu dan menjadi orang yang butuh padanya. Oleh karena itulah maka  minta-minta pada makhluq itu diharomkan pada asalnya, dan hanyalah dia itu diperbolehkan di saat darurat. Dan tentang larangan minta-minta itu ada hadits-hadits yang banyak dalam kitab-kitab Shohih dan sunan-sunan dan musnad-musnad.” (“Majmu’ul Fatawa”/10/hal. 182).
Al Imam Muqbil Al Wadi’iy –rohimahulloh- berkata: “Ya Alloh, alangkah banyaknya da’i besar yang menghapal ayat-ayat yang mengandung penyemangatan untuk bershodaqoh, dia pindah dari masjid ini ke masjid itu, membacakan:
﴿وما تقدّموا لأنفسكم من خير تجدوه عند الله هو خيرًا وأعظم أجرًا﴾
 “Dan kebaikan apapun yang kalian lakukan untuk diri kalian sendiri, kalian akan mendapatkannya di sisi Alloh dengan yang lebih baik dan lebih besar pahalanya.”
Dan berbaliklah si malang ini dari posisi da’i kepada posisi pengemis. Sungguh benar Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa alihi wasallam- ketika bersabda:
((لكلّ أمّة فتنةً، وفتنة أمّتي المال)).
 “Setiap umat itu punya fitnah, dan fitnah umatku adalah harta.”
(“Dzammul Mas’alah”/hal. 218/Majmu’ Rosail/cet. Darul Atsar).
            Dan Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda kepada Ibnu Abbas رضي الله عنهما:
«إذا سألت فاسأل الله، وإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِالله».
“Jika engkau minta, maka mintalah kepada Alloh. Dan jika engkau minta tolong, mintalah tolong kepada Alloh.”(HR. At Tirmidziy (2516), shohih lighoirih. Dalam “Ash Shohihul Musnad” (685)/Darul Atsar).
            Lihatlah bagaimana Rosululloh صلى الله عليه وسلم mengajarkan aqidah yang kokoh ini kepada Ibnu Abbas رضي الله عنهما padahal beliau masih kecil dan butuh pada orang lain, Rosululloh صلى الله عليه وسلمmemerintahkan beliau untuk tidak meminta kecuali kepada Alloh.
            Dengan inilah para Shohabat Rosululloh صلى الله عليه وسلم terdidik, yang besar ataupun yang kecil.
Abul ‘Aliyah -rahimahulloh- berkata:
كَانَ ثَوْبَانُ مَوْلَى رَسُولِ الله -صلى الله عليه وسلم- قَالَ قَالَ رَسُولُ الله -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ تَكَفَّلَ لِى أَنْ لاَ يَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا وَأَتَكَفَّلَ لَهُ بِالْجَنَّةِ ». فَقَالَ ثَوْبَانُ أَنَا. فَكَانَ لاَ يَسْأَلُ أَحَدًا شَيْئًا.
“Dari Tsauban –dan beliau adalah maula dari Rosululloh -shalallohu ‘alaihi wa sallam—yang berkata: Rosululloh -shalallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Siapakah menjamin kepadaku untuk tidak meminta pada manusia sedikitpun, dan aku menjamin untuknya dengan Jannah?” Maka Tsauban berkata,”Saya”. Dan Tsauban tak pernah meminta kepada seorangpun sesuatu apapun.” (HR. Abu Dawud (1643)/shohih).
‘Auf bin Malik Al Asyja’iy rodhiyallohu ‘anhu berkata:
كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ الله -صلى الله عليه وسلم- تِسْعَةً أَوْ ثَمَانِيَةً أَوْ سَبْعَةً فَقَالَ: « أَلاَ تُبَايِعُونَ رَسُولَ الله » وَكُنَّا حَدِيثَ عَهْدٍ بِبَيْعَةٍ فَقُلْنَا: قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُولَ الله. ثُمَّ قَالَ: «أَلاَ تُبَايِعُونَ رَسُولَ الله ». فَقُلْنَا: قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُولَ الله. ثُمَّ قَالَ: «أَلاَ تُبَايِعُونَ رَسُولَ الله ». قَالَ: فَبَسَطْنَا أَيْدِيَنَا وَقُلْنَا قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُولَ الله فَعَلاَمَ نُبَايِعُكَ قَالَ: « عَلَى أَنْ تَعْبُدُوا الله وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ وَتُطِيعُوا – وَأَسَرَّ كَلِمَةً خَفِيَّةً – وَلاَ تَسْأَلُوا النَّاسَ شَيْئًا ». فَلَقَدْ رَأَيْتُ بَعْضَ أُولَئِكَ النَّفَرِ يَسْقُطُ سَوْطُ أَحَدِهِمْ فَمَا يَسْأَلُ أَحَدًا يُنَاوِلُهُ إِيَّاهُ .
“Kami pernah ada di sisi Rosululloh -shalallohu ‘alaihi wa sallam-, sembilan, atau delapan atau tujuh orang. Maka beliau bersabda:“Berbai’atlah kalian kepada Rosululloh”, padahal kami baru saja membai’at beliau. Maka kami berkata,”Kami telah membai’at Anda wahai Rosululloh.” Lalu beliau bersabda:“Berbai’atlah kalian kepada Rosululloh”. Maka kami berkata,”Kami telah membai’at Anda wahai Rosululloh.” Lalu beliau bersabda:“Berbai’atlah kalian kepada Rosululloh”. Maka kami mengulurkan tangan kami seraya berkata,” Kami telah membai’at Anda wahai Rosululloh. Maka kami membai’at Anda untuk berbuat apa?” Beliau bersabda:“Agar kalian beribadah pada Alloh dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan untuk sholat lima waktu, dan agar kalian taat.” Dan beliau berbicara dengan lirih: “Dan agar kalian tidak meminta pada manusia sedikitpun.” Maka sungguh aku melihat sebagian dari rombongan tadi, cambuk dari salah seorang dari mereka terjatuh. Maka dia tidak meminta pada seorangpun untuk mengambilkannya untuknya.” (HR. Muslim /1043)
Dari Ummud Darda’ -rahimahalloh-, beliau berkata:
قال لي أبو الدرداء : لا تسألي الناس شيئا ، قالت : فقلت : فإن احتجت ؟ قال : فإن احتجت فتتبعي الحصادين فانظري ما سقط منهم فاخبطيه ثم اطحنيه ثم كليه، ولا تسألي الناس شيئا
“Abud Darda’ –rodhiyallohu ‘anhu – berkata padaku,”Janganlah engkau meminta pada manusia sedikitpun.” Maka aku bertanya,”Kalau aku berhajat?” Beliau menjawab,”Jika engkau berhajat, maka ikutlah di belakang para tukang panen, lalu lihatlah apa yang berjatuhan dari bawaan mereka, lalu pungutlah ia, masaklah dan makanlah, dan jangan engkau meminta pada manusia sedikitpun.” (“Az Zuhd”/2/291/ Imam Ahmad -rahimahulloh-, dan dishohihkan Syaikhuna Yahya Al Hajury – hafidzahulloh – di tahqiq “As Sunanul Kubro” Imam Al Bauhaqy -rahimahulloh-. Dan sanadnya memang shohih).
            Salim bin Abdulloh bin Umar رضي الله عنهما berkata:
عن عبدِ الله بن عمر رضي الله عنهما أَنَّ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم كَانَ يُعْطِى عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رضى الله عنه الْعَطَاءَ فَيَقُولُ لَهُ عُمَرُ: أَعْطِهِ يَا رَسُولَ الله أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّي. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم: «خُذْهُ فَتَمَوَّلْهُ أَوْ تَصَدَّقْ بِهِ وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَ سَائِلٍ فَخُذْهُ وَمَا لاَ فَلاَ تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ». قَالَ سَالِم: فَمِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَانَ ابْنُ عُمَرَ لاَ يَسْأَلُ أَحَدًا شَيْئًا وَلاَ يَرُدُّ شَيْئًا أُعْطِيَهُ.
“Dari Abdulloh bin Umar رضي الله عنهما : Bahwasanya Rosululloh صلى الله عليه وسلم sering memberi Umar ibnul Khoththob pemberian, maka Umar berkata: “Wahai Rosululloh, berikanlah itu kepada orang yang lebih membutuhkannya daripada saya.” Maka Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda kepadanya: “Ambillah ini, lalu jadikan dia sebagai bagian dari hartamu, atau engkau shodaqohkan kepada orang lain. Apapun yang datang kepadamu dari harta ini dalam keadaan engkau tidak mengharapkannya dan tidak memintanya, maka ambillah dia. Jika engkau tidak diberi, maka janganlah jiwamu mengharap-harapkannya.”
Salim berkata: “Oleh karena itulah maka Ibnu Umar tidak pernah minta sesuatu apapun kepada seorangpun, dan tidak menolak apapun yang diberikan kepada beliau.” (HR. Al Bukhoriy (7163) dan Muslim (1045), ini lafazh Muslim).
            Inilah dia sifat mukmin sejati, benar-benar memurnikan tawakkal kepada Alloh, sebagaimana dalam firman Alloh ta’ala:
]إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ الله وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ * الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ * أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ[. (الأنفال: 2-4)
“Hanyalah orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang jika disebut nama Alloh, hati mereka merasa takut, dan jika ayat-ayat-Nya dibacakan pada mereka, ayat itu menambahi mereka dengan keimanan, dan hanya kepada Robb mereka sajalah mereka bertawakkal. Yaitu orang-orang yang menegakkan sholat, dan menginfaqkan sebagian dari apa yang Kami rizqikan pada mereka. Mereka itulah mukminun yang sebenarnya. Mereka akan mendapatkan derajat-derajat di sisi Robb mereka, ampunan, dan rizqi yang mulia.”
            Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata: dan ini adalah sifat mukmin yang sebenarnya, -sampai pada ucapan beliau:-  Yaitu: mereka tidak mengharapkan selain-Nya, dan tidak menginginkan selain-Nya, tidak berlindung kecuali dengan sisi-Nya, tidak meminta kebutuhan kecuali dari-Nya, tidak berdoa kecuali kepada-Nya, dan mereka mengetahui bahwasanya apa yang diinginkan-Nya pasti terjadi, dan apa yang tidak diinginkan-Nya pasti tak akan terjadi, dan bahwasanya Dia itu sajalah yang mengurusi kerajaan-Nya, satu-satu-Nya, tiada sekutu bagi-Nya, tiada yang membantah hukum-Nya, dan Dia itu Mahacepat perhitungan-Nya. Oleh karena itulah Sa’id bin Jubair berkata: “Tawakkal pada Alloh merupakan kumpulan iman.”
(“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/2/hal. 392/cet. Darush Shiddiq).

Hukum Menjual Ayat Allah

وَآمِنُواْ بِمَا أَنزَلْتُ مُصَدِّقاً لِّمَا مَعَكُمْ وَلاَ تَكُونُواْ أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ وَلاَ تَشْتَرُواْ بِآيَاتِي ثَمَناً قَلِيلاً وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ
Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Quran) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa. ( Qs Al Baqarah : 41 )

Beberapa pelajaran dari ayat di atas :

Pelajaran Pertama :

َوآمِنُواْ بِمَا أَنزَلْتُ

” Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Quran )” Ayat ini menunjukkan empat hal :

1/ Menunjukkan bahwa Bani Israil diperintahkan untuk beriman terhadap apa yang diturunkan Allah di dalam Al Qur’an, termasuk di dalamnya beriman kepada nabi Muhammad saw

2/ Ayat ini merupakan dakwah atau ajakan kepada Bani Israel agar masuk dan memeluk Islam, setelah pada ayat sebelumnya mereka diingatkan tentang nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada nenek moyang mereka ([1]).Ini merupakan cara Al Qur’an berdakwah, yaitu mengingatkan nikmat Allah yang diberikan kepada mereka, atau mengingat kelebihan yang diberikan Allah kepada mereka, setelah itu baru diajak untuk mengikuti ajaran Allah. Atau dengan kata lain : Mengingatkan tauhid rubiyah, kemudian baru diajak untuk bertauhid uluhiyah. Dan cara seperti ini, sangat banyak kita dapatkan dalam Al Qur’an, sebagiannya sudah diterangkan.

3/ Allah dalam ayat ini tidak menyebut Al Qur’an secara langsung, akan tetapi menyebut dengan ” apa yang Aku turunkan, ” hal ini dimaksudkan bahwa alasan kenapa Bani Israel diperintahkan untuk beriman kepada Al Qur’an ? karena Al Qur’an adalah kitab yang diturunkan Allah sama dengan kitab Taurat yang juga diturunkan dari Allah. ([2])

4/ Menunjukkan juga bahwa Tajdid al Iman atau pembaharuan Iman, atau bahkan Tazkiyah Nafs ( pembersihan diri ) yang paling efektif adalah dengan menggunakan Al Qur’an. ( [3] )Dalam sebuah ceramah yang disampaikan oleh seorang ulama di Madinah Munawarah, salah seorang pendengar bertanya tentang buku terbaik dalam tazkiyah nafs, maka syekh tersebut mengatakan bhawa sebaik –baik buku untuk tazkiyah nafz adalah Al Qur’an.

Pelajaran Kedua :

مُصَدِّقاً لِّمَا مَعَكُمْ

” yang membenarkan apa yang ada padamu, yaitu Taurat ”

(1) Ayat ini menunjukkan bahwa Bani Israil dilarang untuk menyembunyikan kebenaran yang terdapat dalam kitab Taurat, yaitu berita diutusnya nabi Muhammad saw di akhir zaman untuk membenarkan apa yang ada di dalam Taurat dan Injil. Mereka merubah sifat-sifat nabi Muhammad saw karena ingin mengambil keuntungan dunia darinya ( [4] )

(2) ” yang membenarkan apa yang ada padamu ” maksudnya Al Qur’an yang dibawa oleh nabi Muhammad saw ini membenarkan kitab suci-kitab suci yang diturunkan kepada Bani Israel , yang meliputi : At Taurat, Injil, Zabur, Asy’iya’ , Armiya’, Hazqiyal, Danial, dan lain-lainnya

( 3 ) Yang dimaksud ” membenarkan ” adalah bahwa isi Al Qur’an mencakup petunjuk yang dibawa oleh para nabi sebelumnya, seperti ajakan kepada ajaran Tauhid, dan perintah untuk berbuat baik, menjauhi kejelekan, menegakkan keadilan. Jika terjadi perbedaan, itupun hanya karena perbedaan zaman, keadaan dan tempat, akan tetapi semuanya berasal dari satu sumber yaitu Allah swt. Oleh karenanya, Al Qur’an dikatakan menghapus hukum-hukum yang ada pada kitab-kitab sebelumnya, karena perbedaan tempat, zaman dan maslahat. Penghapusan ini dalam istilah ushul fiqh disebut ” Naskh ” , dan tidak dikatakan ” Ibthal ” ( pembatalan ) ataupun ” takdzib ” ( pendustaan ) . Inilah arti bahwa Al Qur’an merupakan ” pembenar ” dari kitab-kitab sebelumnya . ([5])

Pelaran Ketiga :

وَلاَ تَكُونُواْ أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ

” Janganlan kalian menjadi orang-orang pertama yang mengkafirinya “, Maksudnya : wahai Bani Israel yang di Madinah janganlah kalian menjadi golongan pertama dari orang-orang Yahudi yang mengkafiri Al Qur’an ini. Karena sebelum mereka orang-orang Quraisy telah terlebih dahulu mengkafiri Al Qur’an ini sebelum mereka. ( [6] )

Pelajaran Keempat

وَلاَ تَشْتَرُواْ بِآيَاتِي ثَمَناً قَلِيلاً

” janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah ”

( 1 ) Ayat ini diturunkan karena sebagian pendeta Bani Israil tidak mau mengajarkan kebenaran yang mereka ketahui kepada manusia, kecuali dengan meminta uang dari pekerjaannya tersebut, maka Allah melarang mereka untuk berbuat seperti itu.

( 2 ) Sebagian ulama mengatakan bahwa Bani Israil tidak mau beriman kepada Al Qur’an karena kecintaan mereka kepada dunia. ( [7] ) Mereka mengira bahwa dengan beriman kepada Al Qur’an dan mengikuti apa yang dibawa nabi Muhammad saw, mereka akan menjadi golongan yang tersingkir, karena nabi Muhammad saw berasal dari keturunan Arab, sedang mereka dari keturunan Yahudi, yang selama ini menjadi golongan yang terhormat di kota Yastrib ( Madinah ). Itulah yang disebut menukar keimanan dengan dunia, atau menukar keimanan dengan jabatan yang harganya sangat sedikit.

Pelajaran Kelima:

Ayat di atas walaupun diturunkan kepada Bani Israel, akan tetapi berlaku kepada siapa saja yang mempunyai sifat seperti sifat Bani Israel. Berkata Imam Al Qurtubi : ” Dan ayat ini , walaupun khusus untuk Bani Israel, akan tetapi juga mencakup semua orang yang berbuat seperti perbuatan mereka. Maka barang siapa yang mengambil uang suap untuk memanipulasi suatu hak, atau menghilangkannya, atau tidak mau mengajar sesuatu yang wajib diajarkannya kepada orang lain, padahal itu menjadi kewajibannya kecuali dengan meminta upah dari pekerjaannya itu,maka sungguh termasuk dalam larangan ayat di atas. Wallahu A’lam . ( [8] )

Oleh karenanya, kita sebagai umat Islam dilarang untuk belajar suatu ilmu yang seharusnya dilakukan dengan ikhlas, tetapi justru kita mencari ilmu tersebut demi mencari keuntungan dunia yang sedikit itu. Dalam suatu hadist Rosulullah saw pernah bersabda :

من تعلم علما مما يبتغي به وجه الله لا يتعلمه إلا ليصيب به عرضا من الدنيا

“ Barang siapa yang belajar suatu ilmu yang seharusnya dilakukan dengan ikhlas, tetapi dia menuntutnya demi untuk mencari keuntungan dunia darinya, maka dia tidak akan bisa menyium baunya syurga pada hari kiamat “ ( HR Abu Daud no : 3664 )

Maka, orang seperti ini ada kesamaannya dengan orang-orang Yahudi yang menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit.

Dari situ timbul suatu pertanyaan : Bagaimana hukum belajar di perguruan tinggi atau sekolahan untuk mencari ijazah ? Jawabannya adalah bahwa hukumnya tergantung kepada niat, jika ia berniat dengan ijzahnya tersebut hanya sekedar untuk mencari pekerjaan, maka ia termasuk yang dilarang dalam hadits tersebut. Sebaliknya jika ia berniat dengan ijazah tersebut untuk menegakkan kebenaran dan mengajarkan Islam kepada masyarakat, maka tidak termasuk dalam larangan dalam hadits tersebut. ( [9] )

Pelajaran Ke-enam:

Disana ada beberapa pertanyaan yang ada kaitannya dengan ayat di atas , diantara pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah :

Pertanyaan Pertama : Bolehkah kita mengajar Al Qur’an kepada orang lain dan mengambil gaji darinya ?

Jawabannya adalah : menurut mayoritas ulama, diantaranya adalah Imam Malik, Syafi’I, dan Ahmad menyatakan bahwa hal itu dibolehkan, adapun alasan mereka sebagai berikut : ( [10] )

( 1 ) Dalil Pertama : Sabda Rosulullah saw :

إن أحق ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله

“ Sesungguhnya yang paling berhak untuk diambil upahnya adalah mengajar Al Qur’an. “ ( HR Bukhari no : 2276 )

(2 ) Dalil Kedua : Bahwa mengajar Al Qur’an bukan semata-mata ibadat ansich, akan tetapi juga mengandung unsur memberikan manfaat kepada orang lain, seperti halnya mengajar menulis Al Qur’an

( 3 ) Dalil Ketiga : Larangan untuk menjual ayat Allah di atas ditujukan kepada orang yang memang sangat dibutuhkan untuk mengajar Al Qur’an dan tidak ada yang lain, kemudian dia menolaknya kecuali dengan mengambil gaji darinya, khususnya bagi orang-orang yang sebenarnya kurang membutuhkan upah tersebut. Adapun bagi orang yang mengajar Al Qur’an bukan suatu kewajiban baginya, apalagi dia sangat membutuhkan uang untuk hidup, maka dalam hal ini dibolehkan.

( 4 ) Dalil Keempat : Ketika Abu Bakar As Siddiq diangkat menjad khalifah, dia sangat membutuhkan uang untuk nafkah keluarganya, sehingga ia terpaksa pergi ke pasar berjualan baju. Mengetahui hal tersebut , para sahabat sepakat untuk memberinya gaji atas pekerjaannya sebagai khalifah.

( 5 ) Ibnu Katsir ( [11] ) menambahkan dalil yang kelima , yaitu kisah seorang sahabat yang menikah dengan mahar yaitu dengan mengajarkan Al Qur’an, Rasulullah bersabda :

زوجتكها بما معك من القرآن

” Saya menikahkan kamu dengan perempuan ini dan maharnya adalah mengajarkannya Al Qur’an “ ( HR Ahmad : 5/ 315 )

Pertanyaan kedua : Bagaimana hukum membaca Al Qur’an kemudian mengambil upah darinya ?

Jawabannya : Para ulama membedakan antara mengajar dengan membaca, mereka membolehkan mengambil upah dari pengajaran Al Qur’an , karena manfaatnya langsung bisa dirasakan oleh yang diajar, ini dikuatkan dengan adanya contoh dari dari sahabat pada zaman Rosulullah saw sebagaimana yang dijelaskan di atas. Adapun membaca Al Qur’an sebenarnya manfaatnya kembali kepada diri pembaca, maka tidak kita dapatkan para ulama salaf melakukan hal tersebut. Apalagi dikuatkan dengan suatu hadist yang menyebutkan :

عن عمرا بن حصين أنه مر على قاص يقرأ ثم سأل ، فسترجع ثم قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : من قرأ القرآن فليسأل الله به ، فإنه سيجئ أقوام يقرءون القرآن يسألون به الناس

” Dari Imran bin Hushain, pada suatu hari dia melewati tukang cerita yang membaca Al Qur’an kemudian meminta upah dari bacaannya, makanya dia segera mengucapkan : Inna lillah wa inna ilahi rojiun, kemudian berkata : ” Aku pernah mendengar Rosulullah saw bersabda : ” Barang siapa yang membaca Al Qur’an, hendaknya meminta Allah dengannya, karena akan datang suatu kaum yang membaca Al Qur’an dan meminta upah dari manusia darinya. “ ( HR Tirmidzi , no : 2926, Ahmad : 4/ 432 )

Dengan demikian, bisa kita katakan bahwa mengambil upah dari pekerjaan membaca Al Qur’an hukumnya Khilaf Al –Sunnah ( menyelisihi Sunnah ) dan sebaiknya dihindari. ( [12] )

Pertanyaan ketiga : Bagaimana hukumnya menjual Mushaf Al Qur’an ? Jawabannya : Mayoritas ulama, yang diwakili oleh madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’I dan riwayat dari madzhab hambali membolehkan jual beli mushaf Al Qur’an. Mereka berdalil dengan firman Allah swt :

وأحل الله البيع والربا

” Dan Allah menghalalkan jual beli, dan mengharamkan riba ” ( Qs Al Baqarah : 275 )

Menjual mushaf Al Qur’an termasuk dalam keumuman ayat di atas.

Mereka juga beralasan bahwa yang dijual dalam hal ini bukanlah ayat-ayat Al Qur’an, akan tetapi yang dijual adalah kertas, tinta, dan sampul yang ada dalam mushaf. ( [13] )

Pelajaran Ke-tujuh :

ثَمَناً قَلِيلاً

“dengan harga yang sedikit “

maksudnya adalah dunia dengan seluruh kesenangannya. ( [14] ) Kenikmatan dan kesenangan dunia ini menurut pandangan kebanyakan orang adalah kenikmatan yang sangat banyak, akan tetapi menurut pandangan Allah adalah sesuatu yang berharga rendah dan sedikit, karena sifatnya yang menipu dan tidak kekal. Sebagai contoh saja, kalau seseorang membeli makanan yang sangat mahal dan hanya ada di luar negri, maka ketika ia memakannya, nikmat yang ia rasakan hanya beberapa menit, tepatnya ketika makanan itu melewati tenggorakan, setelah itu sirna kembali. Bukanlah ini adalah nikmat yang sedikit dan menipu, dan begitu seterusnya.

Pelajaran Ke-delapan :

وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ

” dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa ”

( 1 ) Taqwa menurut Talq bin Habib adalah beramal dengan mentaati Allah, mengharapkan rahmat Allah, dengan pijakan cahaya Allah, sambil meninggalkan maksiat kepada Allah, di atas pijakan cahaya Allah, serta takut dengan siksaan Allah.( [15] )

( 2 ) Pada ayat sebelumnya Allah memerintahkan Bani Israel untuk takut hanya kepada Allah, sedang dalam ayat ini Allah memerintahkan bani Isarel untuk bertaqwa kepada Allah , apa rahasianya ? Paling tidak ada dua hal yang bisa dipetik darinya :

- Pertama : Sebuah ketaqwaan harus didahului dengan rasa takut kepada Allah, karena ketaqwaan itu sendiri merupakan hasil dari rasa takut kepada Allah swt. .( [16] )

- Kedua : Karena ayat sebelumnya mengandung perintah untuk menepati janji,maka Allah mengancam kepada siapa saja yang menyelesihi janji tersebut, sehingga diakhiri dengan perintah untuk takut hanya kepada Allah saja. Sedang ayat ini mengandung perintah untuk beriman kepada Al Qur’an yang banyak didustakan oleh para pemimpin mereka, sehingga sangat tepat kalau Allah memerintahkan agar mereka bertaqwa kepada Allah saja. ([17])

( 3 ) Ayat ini juga merupakan ancaman kepada siapa saja yang menyembunyikan kebenaran padahal dia mengetahuinya .( [18] )

Kairo, 2 Juli 2007 M

( [1] ) Ibnu Asyur, Al Tahrir wa Al Tanwir, juz I , hlm : 259

( [2] ) Ibid

( [3] ) Al Biqa’I, Nudhumu al Durar fi Tanasub al Ayat wa al Suwar, juz I , hlm : 77

( [4] ) Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Adhim, Juz I, hlm : 132

( [5] ) Ibnu Asyur, Op.Cit,

( [6] ) Ibnu Katsir, Op. Cit.

( [7] )Tafsir Syekh Ibnu Utsaimin

( [8] ) Al Qurtubi, Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an ,( Beirut : Dar Al Kutub Ilmiyah ) 1996, Cet, ke V, Juz I, hlm : 228-229

( [9] ) Tafsir Syekh Ibnu Utsaimin

( [10] ) Al Qurtubi, Op. Cit, hlm : 229

( [11] ) Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Adhim, Juz I, hlm : 132

( [12] ) Fatawa Kibar Ulama Al Ummah, ( Kairo : Al Maktabah Al Islamiyah ), 2002, Cet ke : II, hlm : 1013

( [13] ) Syekh Adil Yusuf Al Azazy, Tamam Al Minnah fi Fiqh Al Kitab wa Shohih As Sunnah,Kitab Al Buyu’ ( Kairo : Muasyasyah Qurtubah ),2005, Cet. I, hlm : 78

( [14] ) Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Adhim, Juz I, hlm : 133

( [15] ) Ibid

( [16] ) Al Biqa’i, Op. Cit .

( [17] ) Ibnu Asyur, Op. Cit, , hlm : 267

( [18] ) Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Adhim, Juz I, hlm : 133