Sunday, May 1, 2016

Bantahan Terhadap Syi’ah Dan Ingkar Sunnah: Sejarah Pengumpulan Al-Qur’an. Fungsi-Fungsi As-Sunnah (Hadits) Dalam Kaitannya Dengan Al-Qur’an

Qur'an tua dari Kerajaan Riau - Lingga, Pulau Penyengat, Kepulauan Riau. Foto: Fadil Aziz / Alcibbum Photography

Bantahan Terhadap Syi’ah dan Ingkar Sunnah: Sejarah Pengumpulan al-Qur’an

Syi’ah dan Ingkar Sunnah
Sebagaimana kita ketahui, paham Syi’ah belakangan ini marak dibicarakan. Di Indonesia topik tentang Syi’ah selalu hangat dibicarakan, walau paham ini sebenarnya bukan paham baru, melainkan telah mulai berkembang sejak zaman Khalifah Ali bin Abi Thallib. Imam Syafii pun telah berfatwa, “jangan engkau shalat di belakang rafidhi”. Namun pergerakannya di Indonesia belakangan cukup agresif, baik di akar rumput sosial, maupun di tingkat elit politik sehingga meresahkan. Karenanya dibutuhkan dakwah dan pencerahan kepada masyarakat berkaitan kesesatan paham Syi’ah atau Syi’ah Rafidhah yang masuk ke Indonesia ini (Syi’ah yang ada saat ini adalah jenis Rafidhah).
Paham Syi’ah ini memiliki ajaran-ajaran yang menyimpang, diantaranya mengkafirkan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kecuali segelintir yang dikategorikan “ahlul bait” menurut mereka, atau keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Salman al Farisi yang berasal dari Persia (keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak dikafirkan hanya Ali bin Abi Thallib, Fatimah, Hasan dan Husen). Selebihnya, Abu Bakar, Umar, Aisyah mereka vonis murtad sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syi’ah (Rafidhah yang ada sekarang ini) juga TIDAK mempercayai al-Qur’an yang kita pegang saat ini, karena menurut mereka al-Qur’an kita saat ini telah dirubah-rubah oleh para sahabat. Ini semua adalah perkataan dusta.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

Dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu ‘ahnu, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
”Janganlah kalian mencela sahabat-sahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian berinfaq emas seperti Gunung Uhud, tidak akan menyamai satu mud (infaq) salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dll).
Adapun kaum yang disebut “Ingkar Sunnah”, atau “Inkar Sunnah” sebagaimana namanya, mengingkari as-sunnah. Mereka hanya menggunakan al-Qur’an saja. Menolak hadist-hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Persis sebagaimana yang disabdakan beliau:

“Jangan sampai aku dapati seseorang diantara kalian yang duduk bersandar di sofanya lalu datang kepadanya urusan (perkara) dari urusanku dari apa-apa yang aku perintah dan aku larang, lalu ia berkata, ‘Kami tidak mengetahuinya. Apa yang kami dapati dalam Kitabullah, itulah yang kami ikuti (dan yang tidak terdapat dalam Kitabullah kami tidak ikuti).”
HR Ahmad VI/8, Abu Dawud #4605, at-Tirmidzi #2663, dll, Lafazh ini milik Abu Dawud, shahih.
“Ketahuilah sesungguhnya aku diberikan  Al-Kitab (al-Qur’an) dan yang seperti al-Qur’an bersamanya. Ketahuilah, nanti akan ada orang yang kenyang di atas sofanya sambil berkata, ‘Cukuplah bagimu untuk berpegang dengan al-Qur’an (saja), apa-apa yang kalian dapati hukum halal di dalamnya, maka halalkanlah dan apa-apa yang kailan dapati hukum haram di dalamnya, maka haramkanlah.’ (Ketahuilah) sesungguhnya apa-apa yang diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam SAMA seperti yang diharamkan Allah, ketahuilah tidak halal bagi kalian keledai negeri (keledai piaraan) dan tiap-tiap yang bertaring dari binatang buas dan tidak halal pula barang pungutan (kafir) mu’ahad kecuali bila pemiliknya tidak memerlukannya dan barangsiapa yang singgah di suatu kaum, maka wajib atas mereka menghormatinya. Bila mereka tidak menghormatinya, maka wajib baginya menggantikan yang serupa dengan penghormatan itu.”
HR Abu Dawud #4604, Ibnu Majah #12, Ahmad IV/131, dll. shahih.

Bantahan Terhadap Syi’ah dan Kaum Ingkar Sunnah Berdasar Sejarah Pengumpulan al-Qur’an
Sebenarnya sudah tak terhitung bantahan yang diberikan terhadap syubhat-syubhat Syi’ah. Demikian pula terhadap pemahaman yang menolak Sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun kami ingin mengambil sedikit bagian dalam dakwah ini dari sisi sejarah pengumpulan al-Qur’an. Mengapa? Karena al-Qur’an DIRIWAYATKAN dari para sahabat. Al Qur’an tidak diturunkan serta-merta sekaligus satu kitab. Tidak. Melainkan berangsur-angsur. Kemudian dicatat, disimpan dan dihafal di dada-dada manusia (para sahabat waktu itu). Kemudian dikumpulkan menjadi satu kitab setelah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Untuk menyingkat pembahasan, silahkan lihat Sejarah Pengumpulan al-Qur’an.

Kenyataan bahwa al-Qur’an sampai kepada kita melalui periwayatan dari para sahabat setelah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, memberi implikasi:

Kepada Syi’ah
Bahwa dengan mengkafirkan sahabat, berarti MENOLAK AL QUR’AN YANG ADA SEKARANG INI. Karena al-Qur’an sampai kepada kita melalui periwayatan para sahabat. Bagaimana mungkin al-Qur’an diriwayatkan oleh orang yang murtad lagi kafir, sebagaimana tuduhan orang-orang Syi’ah?? Al-Qur’an, berdasarkan hadist-hadist yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam kitab shahihnya dikumpulkan berdasar perintah Khalifah Abu Bakar atas dorongan Umar bin Khaththab. Sedangkan kedua orang  sahabat ini adalah yang paling dibenci oleh Syi’ah. Dan hampir semua sahabat kecuali yang telah disebutkan, dikafirkan. Jadi, implikasi mengkafirkan sahabat adalah tidak diterimanya al-Qur’an yang sampai pada kita saat ini. Dan ini sangat tidak masuk akal, apalagi secara dalil sangat tidak bisa diterima. Bukankah Allah telah berfirman:

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S: al-Hijr: 9)
Apakah mungkin Allah alpa, lupa, lalai dari menjaga al-Qur’an?? Atau menyalahi janji-Nya??? Sangat tidak mungkin! Sedangkan sunnah-sunnah Nabi-Nya saja terjaga dari pemalsu-pemalsu hadist, dari orang-orang yang mengaku nabi setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apalagi Kitab-Nya! Pasti Allah jaga.

Karenanya, kenyataan bahwa al-Qur’an sampai kepada kita melalui periwayatan para sahabat merupakan bantahan yang sangat kuat lagi keras terhadap aqidah Syi’ah (Rafidhah) yang mengkafirkan para sahabat kecuali segilintir saja dan keyakinan mereka bahwa al-Qur’an yang ada saat ini palsu.
Kepada Kaum Ingkar Sunnah
Sebagaimana telah dibawakan hadistnya di atas, akan ada orang-orang yang terang-terangan menolak sunnah (ada juga yang menolak sebagian dari sunnah, misalnya menolak hadist-hadist ahad dan hanya menerima hadist-hadist mutawatir saja). Mereka hanya mengambil apa yang ada di dalam al-Qur’an. Dan munculnya orang-orang seperti ini telah disabdakanRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami pernah berjumpa dengan sejumlah orang dengan keyakinan bathil semacam ini. Allah izinkan kami berdiskusi dengan salah seorang dari mereka selama beberapa bulan lamanya (seorang dosen bahasa Arab di sebuah universitas Islam; Allahu musta’an). Dari diskusi dengan dia, kami mengetahui syubhat yang ada padanya, yaitu mengapa dia hanya mempercayai al-Qur’an saja. Menurutnya:

Karena al-Qur’an adalah kalamullah yang otentik. Asli turun dari Allah. Tidak seperti hadist, hanya perkataan manusia.

Maka kami katakan, jika Anda menolak sunnah (sebagian ataupun semuanya), berarti dari sisi sejarah pengumpulan al-Qur’an, Anda juga seharusnya TIDAK MEMPERCAYAI AL-QUR’AN. Kenapa? Karena al-Qur’an, sebagaimana juga hadist, sampai kepada kita MELALUI JALUR PERIWAYATAN JUGA. Sama seperti hadist. Maksudnya, dari hafalan dan catatan para sahabat kepada Zaid sang pengumpul al-Qur’an setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Lihat link yang kami berikan di bagian Syi’ah. Maka, mengapa mereka mempercayai al-Qur’an, namun tidak mempercayai hadist? Ini suatu keanehan.

Jika mereka mengimani al-Qur’an, seharusnya mereka mengimani as-Sunnah juga. Karena al-Qur’an diriwayatkan dari Lauh Mahfudz, oleh Jibril kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu kepada para sahabat, lalu dikumpulkan dan dibukukan, hingga sampai kepada kita sekarang dan yang akan datang. Sama seperti hadist. Disampaikan oleh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat, lalu diriwayatkan kepada tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan seterusnya. Hadist pun dibukukan dalam bentuk kitab-kitab hadist seperti Shahih Bukhari, dan lainnya. Jadi jangan dianggap al-Qur’an itu turun begitu saja dari langit, sementara hadist hanya perkataan-perkataan manusia saja.

Tentu kita bisa membantah mereka dari banyak sisi. Misalnya, perintah mengikuti sunnah ada di dalam al-Qur’an itu sendiri. Namun, dari diskusi-diskusi, kami mengetahui bahwa orang tersebut (dan sangat boleh jadi yang lain yang semacam dia juga) tidak mengetahui atau beranggapan bahwa al-Qur’an itu turun secara berangsur-angsur. Menurut pehamamannya, al-Qur’an itu turun sekaligus dalam sekali turun, yaitu pada malam Lailatul Qadr. Terkesan dia baru mengetahui bahwa al-Qur’an itu juga diriwayatkan dan dikumpulkan dari para sahabat. Allahu musta’an. Semoga Allah memberinya hidayah dan juga orang-orang yang semisalnya diantaranya melalui tulisan ini.

Sedangkan Taurat yang merupakan firman Allah langsung kepada Musa dan dalam bentuk-bentuk suhuf-suhuf saja dipalsukan, disembunyikan dan dirubah-rubah oleh Bani Israil! Jadi  langsung turun dari langit itu bukan ukuran keshahihan.
Jelas ini merupakan hujjah yang sangat lemah. Dan kita mengetahui bahwa keotentikan al-Qur’an dan as-Sunnah dijaga oleh Allah. Mungkin selama ini kita hanya mengetahui bahwa yang dijaga oleh Allah hanya al-Qur’an saja. Pengetahuan ini kurang lengkap.

Penjagaan Allah kepada adz-dzikr yang disebut dalam surat al-Hijr: 9 di atas adalah mencakup juga as-sunnah, bukan hanya al-Qur’an saja. Apalagi, perintah mengikuti as-Sunnah banyak terdapat di dalam al-Qur’an itu sendiri. Ditambah lagi tata cara shalat, zakat, haji, puasa, dan sebagainya terdapat di dalam as-sunnah. Al Qur’an dan as-Sunnah berjalan beriringan dan saling melengkapi dan menguatkan. Bagaimana mungkin Allah hanya menjaga al-Qur’an dan tidak menjaga as-Sunnah? Disamping itu Allah juga berfirman: ““Dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya.” (QS. An-Najm: 3). Apa yang diucapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencakup al-Qur’an dan as-Sunnah.

Perbedaannya dengan al-Qur’an yang mulai dikumpulkan sejak zaman Khalifah Abu Bakar, pengumpulan hadist dalam bentuk kitab memang terjadi belakangan, terjadi setelah pengumpulan al-Qur’an. Misalnya Kitab al Muwatha’ Imam Malik. Kitab hadist yang berisi hadist-hadist shahih baru pertama kali dibuat oleh Imam Bukhari. Namun ilmu hadist dan ilmu sanadnya telah ada sejak zaman para sahabat, bersambung hingga guru-guru Imam Bukhari dan sang imam sendiri. Imam Bukhari tinggal mengumpulkan, menelaah, meneliti dan menyortir. Demikian juga Imam Muslim, murid dari Imam Bukhari. Ahli-ahli hadist belakangan seperti Imam al-Albani menelaah dari kitab-kitab yang telah diwariskan para ulama hadist sebelumnya. Semuanya ada ilmunya, hingga Ibnu Taimiyah pernah berujar, “ilmu sanad adalah bagian dari agama.” Dan ilmu sanad ini tidak kita jumpai di agama-agama sebelumnya seperti Nasrani dan Yahudi. Bayangkan, hingga al-Qur’an pun memiliki sanad!

Dengan demikian, sebuah faedah besar yang dapat kita tarik dari sejarah bahwa pengumpulan al-Qur’an diambil dari hafalan-hafalan dan catatan-catatan para sahabat adalah, TERTOLAKNYA aqidah Syi’ah dan Ingkar Sunnah. Aqidah Syi’ah tertolak karena mengkafirkan para sahabat (kecuali segelintir), sedangkan al-Qur’an kita ambil dari para sahabat, dan seluruh agama ini juga dibawa oleh para sahabat. Aqidah ingkar sunnah tertolak karena asumsi dasar mereka bahwa al-Qur’an diturunkan secara langsung sekaligus dari langit, tanpa periwayatan adalah keliru besar, sehingga jika mereka mengimani al-Qur’an, mereka harus mengimani as-Sunnah juga. Adapun syubhat-syubhat mereka yang lain juga telah banyak dibantah. Diantaranya di dalam buku bahasa Indonesia yang berjudul: “Kedudukan as-Sunnah dalam Syari’at Islam” yang ditulis Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Pustaka at-Taqwa.
Semoga Allah memberi taufik-Nya kepada kita semua. Aamiin.

Sejarah Pengumpulan al-Qur’an

Bacalah dengan [ menyebut] nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Paling Pemurah. Yang mengajari [manusia] dengan perantaraan kalam (pena). Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S: al-Alaq: 1-5)
Al-Qur’an tidak diturunkan dalam bentuk satu kitab sekaligus. Namun al-Qur’an diturunkan secara bertahap, secara berangsur-angsur. Kurun waktunya adalah 22 tahun lebih sedikit. Para ulama membagi ayat berdasar tempat turunnya menjadi Makiyyah (turun di Mekkah selama 12 tahun) dan Madaniyyah (turun di Madinah selama 10 tahun). Al Qur’an turun kadang 1 ayat, kadang beberapa ayat dan juga pernah satu surat sekaligus (surat al-Kautsar), disesuaikan dengan kejadian yang terjadi di masa itu, disesuaikan dengan kebutuhan, dan hikmah-hikmah lain yang hanya Allah yang tahu. Kadang juga satu atau beberapa ayat diturunkan dalam rangka membantah perkataan orang-orang kafir di masa itu yang argumennya masih tetap sama hingga sekarang, sehingga al-Qur’an telah membantahnya dari dulu hingga yang akan datang.

Sejarah Pengumpulan al-Qur’an
Pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, ketika wahyu / al-Qur’an masih turun, al-Qur’an dicatat oleh penulis wahyu, tersimpan di dada-dada para sahabat yang menghafalnya, juga ditulis di tulang-tulang dan kulit.

Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, usaha untuk mengumpulkan al-Qur’an menjadi satu kitab pun dimulai. Kita akan ambil dari Shahih Bukhari sebuah riwayat yang menjelaskan awal kejadian pengumpulan al-Qur’an:

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ حَدَّثَنَا ابْنُ شِهَابٍ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ السَّبَّاقِ أَنَّ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
أَرْسَلَ إِلَيَّ أَبُو بَكْرٍ مَقْتَلَ أَهْلِ الْيَمَامَةِ فَإِذَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ عِنْدَهُ قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنَّ عُمَرَ أَتَانِي فَقَالَ إِنَّ الْقَتْلَ قَدْ اسْتَحَرَّ يَوْمَ الْيَمَامَةِ بِقُرَّاءِ الْقُرْآنِ وَإِنِّي أَخْشَى أَنْ يَسْتَحِرَّ الْقَتْلُ بِالْقُرَّاءِ بِالْمَوَاطِنِ فَيَذْهَبَ كَثِيرٌ مِنْ الْقُرْآنِ وَإِنِّي أَرَى أَنْ تَأْمُرَ بِجَمْعِ الْقُرْآنِ قُلْتُ لِعُمَرَ كَيْفَ تَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عُمَرُ هَذَا وَاللَّهِ خَيْرٌ فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِي حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ صَدْرِي لِذَلِكَ وَرَأَيْتُ فِي ذَلِكَ الَّذِي رَأَى عُمَرُ قَالَ زَيْدٌ قَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّكَ رَجُلٌ شَابٌّ عَاقِلٌ لَا نَتَّهِمُكَ وَقَدْ كُنْتَ تَكْتُبُ الْوَحْيَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَتَبَّعْ الْقُرْآنَ فَاجْمَعْهُ فَوَاللَّهِ لَوْ كَلَّفُونِي نَقْلَ جَبَلٍ مِنْ الْجِبَالِ مَا كَانَ أَثْقَلَ عَلَيَّ مِمَّا أَمَرَنِي بِهِ مِنْ جَمْعِ الْقُرْآنِ قُلْتُ كَيْفَ تَفْعَلُونَ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ هُوَ وَاللَّهِ خَيْرٌ فَلَمْ يَزَلْ أَبُو بَكْرٍ يُرَاجِعُنِي حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ صَدْرِي لِلَّذِي شَرَحَ لَهُ صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَتَتَبَّعْتُ الْقُرْآنَ أَجْمَعُهُ مِنْ الْعُسُبِ وَاللِّخَافِ وَصُدُورِ الرِّجَالِ حَتَّى وَجَدْتُ آخِرَ سُورَةِ التَّوْبَةِ مَعَ أَبِي خُزَيْمَةَ الْأَنْصَارِيِّ لَمْ أَجِدْهَا مَعَ أَحَدٍ غَيْرِهِ
{ لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ }
حَتَّى خَاتِمَةِ بَرَاءَةَ فَكَانَتْ الصُّحُفُ عِنْدَ أَبِي بَكْرٍ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ عِنْدَ عُمَرَ حَيَاتَهُ ثُمَّ عِنْدَ حَفْصَةَ بِنْتِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْه

Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isa’il dari Ibrahim bin Sa’d Telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab dari Ubaid bin As Sabbaq bahwa Zaid bin Tsabit radliallahu ‘anhu, ia berkata; Abu Bakar mengirim para korban perang Yamamah kepadaku, dan ternyata Umar bin Al Khaththab ada di sisinya. Abu Bakar radliallahu ‘anhu berkata,
Sesungguhnya Umar mendatangiku dan berkata, ‘Mayoritas korban perang Yamamah adalah para penghafal Al Qur`an. Dengan gugurnya mayoritas penghafal Al Qur`an, maka aku khawatir sebagian besar Al Qur`an juga akan hilang. Maka aku berpendapat, sebaiknya Anda segera memerintahkan guna melakukan dokumentasi alquran.’ Maka aku pun bertanya kepada Umar, ‘Bagaimana kamu akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? ‘ Umar menjawab, ‘Perkara ini, demi Allah adalah ide yang baik.’ Umar selalu membujukku hingga Allah memberikan kelapangan dadaku, dan akhirnya aku sependapat dengan Umar.” Zaid berkata; Abu Bakar berkata, “Sesungguhnya kamu adalah seorang pemuda yang cerdas, kami sama sekali tidak curiga sedikit pun padamu. Dan sungguh, kamulah yang telah menulis wahyu untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena itu, telusurilah Al Qur`an dan kumpulkanlah.” Zaid berkata, “Demi Allah, sekiranya mereka memerintahkanku untuk memindahkan gunung, niscaya hal itu tidaklah lebih berat daripada apa yang mereka perintahkan padaku, yakni dokumentasi alquran.” Zaid bertanya, “Bagaimana kalian melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?” Ia menjawab, “Demi Allah, itu adalah kebaikan.” Abu Bakar terus membujukku, hingga Allah pun memberikan kelapangan dadaku, sebagaimana Abu Bakar dan Umar radliallahu ‘anhuma. Maka aku pun mulai menelusuri Al Qur`an, mengumpulkannya dari tulang-tulang, kulit-kulit dan dari hafalan para Qari`. Dan akhirnya aku pun mendapatkan bagian akhir dari surat At Taubah bersama Abu Khuzaimah Al Anshari, yang aku tidak mendapatkannya pada seorang pun selainnya. Yakni ayat: ‘Sungguh, telah datang pada kalian seorang Rasul dari kaum kalian sendiri, yang sangat berat olehnya kesulitan yang menimpa kalian..'” hingga akhir surat Al Bara`ah. Lembaran-lembaran Al Qur`an itu pun tetap tersimpan pada Abu Bakar hingga Allah mewafatkannya. Kemudian beralih. kepada Umar semasa hidupnya, lalu berpindah lagi ke tangan Hafshah binti Umar radliallahu ‘anhu
(HR Bukhari # 4603).
-Catatan: surat al-Bara’ah adalah nama lain dari surat at-Taubah.
Berarti bagian akhir dari surat at-Taubah adalah bagian terakhir dari al-Qur’an yang dikumpulkan. Hadist serupa juga terdapat dalam Shahih Bukhari di beberapa tempat. Seperti misalnya hadist bernomor 6654 di Kitab Hukum-hukum, Bab  “Sekertaris Hendaknya Terpercaya dan Cerdas” (karena usaha ini walau idenya digagas oleh Umar, lalu diperintahkan oleh Abu Bakar, namun yang melaksanakannya adalah Zaid, seorang pemuda cerdas yang telah menulis wahyu untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Agak melenceng sedikit dari pembahasan utama, yaitu bahwa ada sebagian orang yang menjadikan usaha pengumpulan al-Qur’an ini sebagai bukti bolehnya perbuatan bid’ah (suatu perkara agama atau ibadah yang dilakukan tanpa landasan syari’at, tanpa ada contoh atau perintah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Maka persangkaan keliru ini kami jawab sebagai berikut:
Pertama sekali, pengumpulan al-Qur’an ini bukan suatu bentuk ibadah, atau ritual, seperti shalat, puasa, haji, dll. Berbeda dengan ritual maulid nabi, ritual tahlilan, dan yang sejenisnya yang merupakan bid’ah. Sedangkan pengumpulan al-Qur’an adalah sebuah METODE agar al-Qur’an dapat diajarkan dan dipelajari dengan lebih mudah. Sama juga ketika al-Qur’an dibuat dalam bentuk digital, dalam bentuk kaset, CD, dlsb, itu semua hanya metode saja untuk menyebarkannya, mempermudah mempelajarinya, dst. Adapun al-Qur’annya itu sendiri tetap, TIDAK BERUBAH SAMA-SEKALI. Baik dari segi tulisan, maupun dari segi tata cara bacaannya. Adalah bid’ah jika misalnya cara membacanya dirubah (walau tidak dikumpulkan). Sama, adalah bid’ah misalnya jika haji tidak ke Baitullah, tapi ke tempat lain, atau ke Baitullah, tapi tata caranya dirubah.
Al-Qur’an telah disebut oleh Allah di dalam al-Qur’an itu sendiri sebagai “KITAB”. Jadi membuatnya sebagai kitab bukanlah bid’ah karena Allah sendiri telah menyebutnya dengan kata “kitab”.
Upaya pengumpulan al-Qur’an telah mulai dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Sebagaimana kita lihat pada hadist di atas bahwa Zaid adalah salah satu penulis wahyu semasa beliau hidup, ketika wahyu masih turun.
Apa yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar  ini adalah sunnah khulafaur rasyidin, yang mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan kita untuk MENGIKUTI mereka. “Aku wasiatkan pada kalian untuk bertakwa kepada Allah serta mendengarkan dan mentaati (pemerintah Islam), meskipun yang memerintah kalian seorang budak Habsyi. Dan sesungguhnya orang yang hidup sesudahku di antara kalian akan melihat banyak perselisihan. Wajib kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin Mahdiyyin (para pemimpin yang menggantikan Rasulullah, yang berada di atas jalan yang lurus, dan mendapatkan petunjuk). Berpegang teguhlah kalian padanya dan gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian. Serta jauhilah perkara-perkara yang baru. Karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat.“ (HR Abu Dawud, shahih lighairihi). Imam Asy-Syathiby rahimahullah berkata: “Rasulullah menggandengkan -sebagaimana engkau lihat– sunnah Khulafaur Rasyidin dengan sunnah beliau, dan bahwa termasuk mengikuti sunnah beliau adalah dengan mengikuti sunnah mereka. Sedangkan segala perkara yang baru menyelisihi sunnah tersebut, tidak termasuk sunnah sama sekali…”
Pengumpulan dan pembukuan al-Qur’an dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin, sedangkan perayaan maulid misalnya, tidak. Jadi jelaslah mana yang bid’ah, mana yang bukan. Seyogyanya tidak dicampuradukkan.
Jadi pengumpulan al-Qur’an adalah disyari’atkan. Sedangkan sesuatu yang disyari’atkan tentunya bukan bid’ah. Bid’ah adalah suatu perkara dalam agama yang tidak disyari’atkan alias dibuat-buat, namun seperti disyari’atkan. Seperti misalnya rahbaniyyun dalam Kristen (tidak nikah bagi pendeta atau suster; padahal Allah tidak mensyari’atkan seperti itu), juga perayaan Natal (tidak ada di dalam Injil, termasuk tanggal 25 Desembernya), juga pengampunan dosa, dll. Dalam Islam ada maulid Nabi, tahlilan, perayaan tahun baru Islam, dll yang semuanya tidak disyari’atkan. Namun kini kita lihat ritual-ritual tersebut seolah-olah disyari’atkan, bahkan diwajibkan. Padahal tidak sama sekali. Itulah bid’ah.
Ibnu Katsir menulis di dalam kitab tafsirnya, “pengumpulan al-Qur’an ini merupakan usaha yang paling baik, besar dan agung yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, sehingga Allah Ta’ala menempatkannya pada posisi tepat setelah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam…Dan inilah rahasia dibalik firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S: al-Hijr: 9)
Ibnu Katsir melanjutkan,
“Tugas ini merupakan amanah yang paling besar, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menitipkan hal tersebut kepada mereka untuk menyampaikannya kepada orang-orang yang hidup setelahnya, sebagaimana difirmankan Allah ta’ala:
“Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu.” (Q.S: al-Maaidah: 67)
Jadi kita lihat baik secara dalil naqli maupun aqli, pengumpulan al-Qur’an adalah usaha yang sangat mulia dan tidak ada ulama yang menganggapnya sebagai bid’ah. Bahkan para ulama menganggapnya upaya yang sangat mulia. Seandainya belum jelas, kami sarankan untuk mempelajari lagi arti “bid’ah” secara ilmu syar’i, bukan secara bahasa (Arab) semata.
Demikianlah, sejarah pengumpulan al-Qur’an adalah upaya yang sangat mulia dari para sahabat dan kita merasakan manfaatnya sampai sekarang. Ini merupakan kenikmatan yang luarbiasa dari Allah kepada kita. Dan sebagai wujud penjagaan Allah terhadapnya. Marilah kita perbanyak membaca, menghafal dan mentadaburi al-Qur’an sebagai wujud rasa syukur kita atas karunia Allah yang sangat besar ini. Sebelumnya al-Qur’an dihafal di dada-dada manusia dan ditulis di batu dan sebagainya oleh para sahabat. in sya Allah kedepan akan kita nukil tahap selanjutnya: penulisan al-Qur’an, yaitu di zaman Khalifah Utsman bin Affan.

Fungsi-fungsi as-Sunnah (Hadits) dalam Kaitannya dengan al-Qur’an

Sesungguhnya Islam tidak akan lengkap tanpa as-Sunnah. Kami telah mengungkapkan begitu banyak dalil tentang kehujjahan as-Sunnah dalam tulisan tentang “ketaatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa dipisahkan dari ketaatan kepada Allah”. Sebelumnya, kita pun telah membahas ‘makna dari as-Sunnah’. Maka kini sudah waktunya kita membahas dan mengungkap, apa saja fungsi-fungsi dari hadits atau as-Sunnah itu  dalam kaitannya dengan al-Qur’an.

“Aku tinggalkan 2 perkara yang kalian TIDAK AKAN TERSESAT SELAMANYA jika kalian berpegang teguh kepada keduanya: Kitabullah wa Sunnati. Keduanya tidak akan berpisah hingga bertemu di telagaku.” HR Hakim, shahih

Kami akan mengambil rujukan dari sebuah buku yang bagus sekali mengenai masalah ini yang berjudul “Kedudukan as-Sunnah dalam Syari’at Islam,” karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka at-Taqwa, cetakan ke-3, 2009.

Maka fungsi-fungsi dari hadits atau as-Sunnah terkait dengan al-Qur’an adalah:

1)As-Sunnah sebagai pemerinci, penafsir ayat-ayat yang mujmal (global) dari al-Qur’an.

2)As-Sunnah memberikan taqyiid (batasan).

3)As-Sunnah memberikan takhshiish (pengkhususan) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang mutlak dan ‘aam.

Ibnu Qoyyim rahimahullah berkata: “Hubungan as-Sunnah dengan al-Qur’an ada tiga macam:

1)Terkadang as-Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang sudah ada di dalam al-Qur’an

2)Terkadang as-Sunnah berfungsi sebagai penafsir dan pemerinci hal-hal yang disebut mujmal (global) dalam al-Qur’an

3)Terkadang as-Sunnah menetapkan dan membentuk hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur’an.

Hukum-hukum tambahan itu merupakan tasyri’ (pensyariatan) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wajib kita taati, tidak boleh mengingkarinya. Tasyri’ tersebut sama sekali bukan mendahului al-Qur’an, bahkan sebagai wujud pelaksanaan perintah Allah agar kita mentaati Rasul-Nya.

“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah…”
 (Q.S: an-Nisaa’: 80)

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku…”
 (Q.S: Ali Imran: 31)

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata,

“Sesungguhnya sunnah yang memiliki kedudukan yang agung dalam pembentukan syariat hanyalah sunnah yang telah tetap dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan berbagai jalur periwayatan ilmiah dan sanad shahih yang telah dikenal oleh para ulama yang memahami hadits dan para perawinya (pen: tidak semua ulama paham ilmu hadits, apalagi ustadz, apalagi sekedar pemberi ceramah; pemberi ceramah belum tentu ustadz). Sunnah yang dimaksud BUKANLAH sunnah yang terdapat dalam beragam kitab, baik dalam kitab tafsir, kitab fiqih, at-targhib wat tarhib, kitab raqa-iq, kitab nasihat, dll. Sebab di dalamnya terdapat banyak HADITS LEMAH, MUNGKAR DAN PALSU, bahkan pada sebagiannya terdapat hadits yang Islam sendiri berlepas diri darinya. Contoh hadits Harut dan Marut dan kisah al-Gharaniq…”

Beliau melanjutkan,

“Maka kewajiban bagi para ulama, terlebih bagi mereka yang menyebarkan fiqih, serta fatwa mereka kepada manusia, agar TIDAK MERASA PUAS berhujjah (berdalil) dengan hadits, KECUALI SETELAH MEMASTIKAN KESHAHIHANNYA. Karena, kitab-kitab fiqih yang biasa mereka jadikan rujukan DIPENUHI dengan hadits-hadits lemah, mungkar, dan tidak ada asal-usulnya, sebagaimana hal itu telah diketahui di kalangan para ulama”. (Manzilatus Sunnah fil Islaam wa Bayaan annahu Laa Yustaghna ‘anhaa bil Qur-aan, hal 15).

Kaidah di atas adalah kaidah yang sangat penting diketahui umat, karena salah satu sumber perselisihan yang banyak saat ini karena kecerobohan, kejahilan dan ketidakmautahuan para penceramah agama akan hal ini(kami tidak mengatakan ‘guru agama’, karena kalau guru, seharusnya tidak melakukan hal ini; orang yang menyandang predikat ‘guru’ haruslah orang yang bertanggungjawab dan dapat mempertanggungjawabkan ilmunya yang diajarkannya kepada manusia, apalagi ilmu akhirat; kebanyakan yang beredar di tengah masyarakat kita saat ini adalah ‘penceramah agama’, orang yang pandai berkata-kata, orator, bahkan menghibur manusia, entertainer yang tahu beberapa ayat atau hadits, dsb, namun tidak memiliki ilmu agama yang memadai).

Kenapa kami katakan kecerobohan dalam berdalil, membawakan ‘hadits-hadits’ palsu, mungkar, dsb adalah sumber perselisihan? (hadits palsu sesungguhnya bukan hadits, dan bathillah orang yg mengatakan “walau palsu kan hadits juga!” Kita jawab, “maukah bapak/ibu  kami beri uang palsu? Walau palsu kan uang juga?”) Kecerobohan dalam berdalil, membawakan ‘hadits-hadits’ palsu, mungkar, dsb adalah salah satu sumber perselisihan, karena hadits yang shahih TIDAK AKAN BERTENTANGAN DENGAN AL-QUR’AN DAN DENGAN HADITS-HADITS SHAHIH LAINNYA. Tidak ada pertentangan. Tidak ada perselisihan. Tapi kalau yang palsu, dkk, biasanya akan bertentangan.

Perhatikanlah ayat yang mulia ini:
an-Nisaa': 82
an-Nisaa’: 82

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Q.S: an-Nisaa: 82)

Ayat ini menunjukkan, semua yang datang dari Allah (termasuk yang datang dari Rasul-Nya) tidak akan bertentangan satu sama lain. Tapi tidak demikian dengan hadits yang tidak shahih atau tidak hasan, dia akan menimbulkan silang-sengketa dan percekcokan. Kenapa? Karena bukan datang dari Allah!

Maka dari itulah web kami ini membawa misi, “kembalilah kepada al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih. Tidak cukup sampai disitu, tetapi juga sebagaimana yang dipahami oleh generasi awal umat ini (yaitu sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in) agar hilanglah segala sengketa dan perselisihan yang tidak produktif, bahkan memecah-belah umat. (ketahuilah, sumber perselisihan lainnya adalah ‘pemahaman’. Haditsnya shahih, namun dipahami dengan serampangan atau sesuai selera dan kepentingan pihak tertentu; karenanya kami juga memberi penekanan kepada masalah pemahaman ini secara bertahap)

Kini kita masuk contoh-contoh fungsi-fungsi atau kedudukan hadits atau as-Sunnah berkenaan dengan al-Qur’an:

1)As-Sunnah pemerinci, penafsir ayat-ayat yang mujmal (global) dari al-Qur’an
Contoh yang paling mudah adalah tentang TATA CARA SHALAT. Al-Qur’an hanya mengeluarkan perintah “dirikanlah shalat”. Adapun caranya, tidak diterangkan, melainkan lewat hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam definisi Ibnu Qoyyim, ini masuk point ke-3: “menetapkan dan membentuk hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur’an”).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”

HR Bukhari

Kemudian cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mulai dari wudhu, berdiri, mengangkat tangan takbiratul ihram, pandangan mata, posisi kaki, posisi tangan, dst, dijelaskan dalam berbagai hadits dan riwayat para sahabat yang melihat langsung shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikian pula bagaimana tata cara makmum masbuq, kapankah seseorang yang masbuq dianggap memperoleh 1 rakaat, dslb.

Contoh lain adalah tata cara ibadah haji.

Al-Qur’an memerintahkan ibadah haji:

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imron: 97).

Ayat ini adalah dalil tentang wajibnya haji. Kalimat dalam ayat tersebut menggunakan kalimat perintah yang berarti wajib.

Namun tata cara pelaksanaan haji tidak dijelaskan, melainkan di dalam sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dasar hukumnya:

“Ambillah dariku tata cara manasik haji kamu sekalian.”

HR Muslim, Abu Dawud, dll.

2)As-Sunnah memberikan taqyiid (batasan) kemutlakan ayat al-Qur’an

Misal:

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S: al-Maaidah: 38)

Ayat ini tidak menjelaskan sampai dimanakah batas tangan yang harus dipotong. Tapi dari as-Sunnah-lah didapat penjelasannya, yaitu sampai pergelangan tangan. (Subulus Salaam IV/151-152).

Di sini as-Sunnah berfungsi sebagai pembatas kemutlakan suatu ayat al-Qur’an.

3)As-Sunnah memberikan takhshiish (pengkhususan) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang mutlak dan ‘aam.

Misalnya tentang hukum waris:

” Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan…” (Q.S: an-Nisaa’: 11)

Ayat ini ditakhshiish oleh as-Sunnah sbb:

>Tidak boleh orang tua kafir mewariskan kepada anak yang muslim atau sebaliknya (HR Bukhari, Muslim)

>Pembunuh tidak mewariskan apa-apa (HR Tirmidzi, shahih)

4)As-Sunnah menetapkan hukum yang tidak terdapat di dalam al-Qur’an:

Walau point dari Ibnu Qoyyim rahimahullah ini sudah kita sebutkan di point pertama, tidak ada salahnya kita ulang kembali karena pentingnya. Misalnya masalah makanan haram yang ditetapkan pada ayat:

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.” (QS. Al Maidah: 3)

Bangkai adalah haram dari ayat di atas, demikian pula darah. Tapi bangkai ikan dan belalang halal berdasar sunnah:

“Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan limpa.” (HR. Ibnu Majah no. 3218. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Kemudian keledai peliharaan juga haram berdasarkan as-Sunnah, walau pada ayat di atas hanya daging babi saja yang disebutkan haram.

 “Seseorang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil berkata, “Daging keledai telah banyak di konsumsi. ” Selang beberapa saat orang tersebut datang lagi sambil berkata, “Daging keledai telah banyak di konsumsi.” Setelah beberapa saat orang tersebut datang lagi seraya berkata, “Keledai telah binasa.” Maka beliau memerintahkan seseorang untuk menyeru di tengah-tengah manusia, sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian mengkonsumsi daging keledai jinak, karena daging itu najis.” Oleh karena itu, mereka menumpahkan periuk yang di gunakan untuk memasak daging tersebut.” (HR. Bukhari no. 5528 dan Muslim no. 1940)

Daging kucing, harimau, serigala dan hewan-hewan buas bertaring lainnya juga haram berdasarkan as-Sunnah, walau pada al-Qur’an tidak disebutkan.

“Setiap binatang buas yang bertaring, maka memakannya adalah haram.” (HR. Muslim no. 1933)

Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata:

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram.” (HR. Muslim)

Dua buah artikel bagus mengenai makanan-makanan haram:

As-Sunnah juga menetapkan haramnya laki-laki mengenakan kain sutera, juga perhiasan emas dan hal ini tidak ditetapkan di dalam al-Qur’an.

“Barangsiapa yang memakai kain sutera di dunia maka ia tidak akan memakainya nanti di akhirat.” (HR. Bukhari Muslim)

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang cincin emas (bagi laki-laki)”. (HR. Bukhari dan Muslim)

“Emas dan sutra dihalalkan bagi para wanita dari ummatku, namun diharamkan bagi para pria’.” (HR. An Nasai no. 5148 dan Ahmad 4/392. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits inishahih)

Bahkan ketika qashar shalat diturunkan hukumnya oleh Allah (Q.S: Annisa: 101), lalu Umar bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengapa ketika sudah dalam keadaan aman, tidak takut diserang lagi (pen: namun masih dalam safar) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih tetap melakukan qashar shalat? Beliau  shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab itu sebagai sedekah dari Allah bagi kalian (HR Muslim). Ini semua merupakan hukum-hukum yang dijelaskan di dalam as-sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak di dalam al-Qur’an.

Kita lihat, agama Islam tidak akan sempurna tanpa as-Sunnah. Tanpa as-Sunnah kita tidak akan dapat memahami dan menjalani agama ini dengan sempurna. Minimal dengan baik. Kita tidak akan dapat masuk Islam secara kaffah.
al-Baqarah: 208
al-Baqarah: 208

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu semuanya kedalam Islam secara kaffah, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya dia itu musuh yang nyata bagimu.” (QS: al-Baqarah:208)

Tapi ini bukan pula berarti sebaliknya; bahwa al-Qur’an itu tidak sempurna. Bukan. Karena perintah untuk mengikuti as-sunnah justru ada di dalam al-Qur’an. Allah memerintahkan kita untuk taat pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam ayat pembuka dan juga link artikel di awal. Artinya, al-Qur’an dan as-Sunnah tidak dapat dipisahkan. Dan Allah Maha Bijaksana, mengapa sebagian hukum-hukum Islam terdapat di dalam as-sunnah.

Allah SWT berfirman:

“agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (Q.S: an-Nahl: 44)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintah Allah untuk MENERANGKAN apa yang telah diturunkan, yaitu al-Qur’an.

“Orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepadanya, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.”(Q.S: Ali Imran: 7)

Baik al-Qur’an mapupun as-sunnah semuanya dari sisi Allah SWT.

Demikianlah fungsi-fungsi dari hadits atau as-Sunnah itu khususnya dalam kaitannya dengan al-Qur’an. Alhamdulillah, demikianlah pembahasan singkat ini. Semoga Allah selalu melimpahkan taufik dan hidayahnya kepada kita dan mengaruniakan ilmu yang bermanfaat kepada kita semua. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.