Thursday, June 16, 2016

Dakwah Tauhid Pondasi Kemuliaan Politik Negara Islam, Kontribusi Wahabi Terhadap Kekuatan Arab Saudi

Raja Salman

Dakwah Tauhid Pondasi Kemuliaan Politik 
Negara Islam

Ahad, 12 Jun 2016 07:01
Oleh : Dr. Slamet Muliono*
Sinergitas Dakwah dan Politik
Sinergitas antara Muhammad bin Abdul Wahhab dan Muhammad bin Saud telah membentuk negara Arab Saudi yang kokoh di atas pondasi tauhid. Muhammad bin Abdul Wahhab berkonsentrasi pada dakwah tauhid dan Muhammad bin Saud berfokus pada perjuangan politik. Namun keduanya bekerjasama dan saling menopang sehingga terwujud sebuah negara dengan memperjuangkan panji-panji tauhid. terlebih lagi, Mekkah dan Madinah merupakan wilayah yang sangat strategis dalam dua hal.
Pertama, strategis dalam konteks tempat. Artinya, Mekkah dan Madinah merupakan tempat bertemunya seluruh bangsa, dengan berbagai budaya dan karakternya, saat melakukan haji. Kedua, strategis dalam sosialisasi dakwah. Artinya, Mekkah dan Madinah sangat efektif dipergunakan untuk mengkomunikasikkan dan mensosialisasikan dakwah tauhid kepada mereka yang datang berhaji maupun umroh.
Keberhasilan duet Muhammad itu benar-benar teruji hingga saat ini. Muhammad bin Abdul Wahhab benar-benar berdakwah dengan menekankan pemberantasan unsur-unsur syirik dan pengkeramatan terhadap benda apapun. Apa yang dilakukan Muhammad bin Abdul Wahhab itu dilindungi oleh  Muhammad bin Saud sebagai pmegang kendali politik. Sementara Muhammad bin Saud berkonsentrasi memperjuangkan tegakkan kehidupan politik dalam kehidupan bernegara. Apa yang diupayakan Muhammad bin Saud didorong oleh spirit dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab. Perjuangan dua sayap, dakwah dan politik, berjalan simultan hingga saat ini, sehingga berhasil menopang kokohnya negara Saudi Arabia.
Perkawinan dakwah dan politik ini juga memunculkan sorotan dan kritik tajam. Satu pihak memandang bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab diperalat untuk mengokohkan kepentingan politik Muhammad Bin Saud. Atau sebaliknya bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab justru memperalat Muhammad bin Saud untuk meraih kepentingan duniawi. Namun kritik itu terbantahkan dengan dua hal.
Pertama, Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan sosok ulama yang benar-benar berjuang untuk menegakkan dakwah tauhid. Dia tetap hidup sederhana hingga akhir hayatnya tanpa mengambil manfaat untuk kepentingan pribadi. Kedua, Muhammad bin Saud konsisten dalam menegakkan negara dengan pondasi tauhid tanpa terpengaruh oleh ideologi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dakwah tauhid. Upaya untuk mendeskreditkan perkawinan dakwah dan politik itu tidak pernah berhenti.
Ketika Dakwah dan Politik Asimeteris
Pembagian fokus perjuangan duet Muhammad (Muhammad bin Abdul Wahhab dan Muhammad bin Saud) penting untuk dijadikan sebuah model praktek bernegara modern, sekaligus menjawab berbagai keraguan bahwa agama dan politik tidak bisa berjalan seiring. Apa yang ditunjukkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang begitu gigih menegakkan dakwah tauhid, benar-benar besar pengaruhnya dalam penegakan nilai-nilai agama di masyarakat. Tegaknya dakwah tauhid ini ditopang oleh kekuatan politik, sehingga pihak-pihak yang memusuhi dakwah tauhid akan berhadapan dengan negara. Perjuangan dakwah tauhid inilah yang menjadi kata kunci suksesnya duet Muhammad ini.
Hal ini berbeda dengan kondisi dakwah dan politik di Indonesia. Agama dan politik berjalan sendiri-sendiri dan cenderung saling memusuhi. Dakwah tauhid bukan hanya menjadi rintangan di negeri mayoritas muslim ini, tetapi menjadi musuh bersama (common enemy). Yang ironis, yang memusuhi dakwah tauhid adalah internal umat Islam sendiri. Di dalam tubuh umat Islam sendiri banyak firqah (golongan), dan masing-masing golongan memiliki praktek beragama yang berbeda-beda. Di sisi yang lain, praktek politik di Indonesia dikuasai oleh kelompok nasionalis. Kelompok nasionalis memandang bahwa agama lebih banyak dianggap sebagai pembenar perilaku politik, bukan sebagai rujukan praktek politik mereka.
Ketika agama dipergunakan sebagai pembenar perilaku politik mereka, maka agama hanya dipergunakan saat dibutuhkan dan akan dicampakkan ketika merugikan kepentingannya. Dengan kata lain, agama digunakan sebagai kendaraan politik dan akan terus dimanfaatkan sebagai stempel atau pembenaran terhadap perilaku politik. Di sisi yang lain, agama yang menekankan kepada “dakwah tauhid” justru menjadi ejekan, cemoohan, dan kambing hitam. Bahkan dakwah tauhid menjadi sebagai musuh dan membahayakan negara, seperti tuduhan sebagai akar gerakan terorisme dan radikalisme.
Ketika persatuan Islam menjadi acuhan utama, tanpa memprioritaskan dakwah tauhid, maka yang sering terjadi adalah “perselingkuhan” antara kelompok agama dan politik yang berujung memarginalkan aspirasi politik umat Islam. Bahkan umat Islam banyak menjadi korban dan terus menerus menjadi bulan-bulanan kelompok nasionalis. Perlindungan terhadap pelaku homoseksual, bolehnya pernikahan beda agama, bebasnya peredaran minuman keras merupakan contoh kongkret bagaimana kegagalan perjuangan kelompok Islam dalam bernegara. Bahkan yang lebih menyakitkan sebagian besar umat Islam adalah kerjasama di antara mereka, sehingga menyepakati kebolehan kelompok non muslim menjadi pemimpin negeri mayoritas muslim ini.
Tidak sinergisnya antara pejuang dakwah dan pemimpin politik di negeri ini menjadi bencana besar bagi umat Islam. Terlebih lagi, kosongnya dakwah tauhid dalam praktek bernegara dan bernegara menjadi bencana politik dan bencana sosial bagi umat Islam. Yang lebih parah dan tragis adalah dakwah tauhid menjadi musuh bersama yang harus dimusnahkan di negeri ini karena dianggap membahayakan kehidupan bernegara. Padahal rusak dan hancurnya negeri ini adalah karena adanya upaya sistematis terhadap dakwah tauhid.
Tidak akan berdiri tegak sebuah negara secara hakiki ketika pejuang dakwah dan pemimpin politik membiarkan kebergantungan kepada selain Allah dan memusnahkan dakwah tauhid. Inilah pelajaran penting dari sinergi Muhammad bin Abdul Wahhab dan Muhammad bin Saud dalam menegakkan dakwah tauhid di negara Saudi Arabia.
Surabaya, 11 Juni 2016
*Penulis adalah Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya dan Direktur Pusat Kajian
Islam dan Peradaban (PUSKIP) Surabaya
http://fokusislam.com/3678-dakwah-tauhid-pondasi-kemuliaan-politik-negara-islam.html

Kontribusi Wahabi Terhadap Kekuatan Arab Saudi

Jumat, 10 Jun 2016 08:03
Oleh : Dr. Slamet Muliono*
Menarik untuk mengulas hasil diskusi yang digagas oleh Pusat Kajian Islam dan Peradaban (PUSKIP) Surabaya. Acara yang digelar pada hari Kamis, 9 Juni 2016 itu menghadirkan narasumber Prof. Dr. Ali Mufrodi, MA. Pakar Sejarah Islam dari Fakultas Adab UIN Sunan Ampel Surabaya dan Dr. Ainul Haris, M.Ag., penulis disertasi dengan tema Pemikiran Muhammad Bin Abdul Wahhab tentang Kenabian. Dalam diskusi itu banyak mengulas tentang akar dan genealogi pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab, sehingga tergambar dengan jelas bagaimana latar belakang dan sejarah perjuangan dakwah beliau hingga munculnya perlawanan atas dakwahnya.
Muhammad bin Abdul Wahhab, yang lahir tahun 1703 Masehi di Uyainah itu dan  memiliki seorang ayah yang ahli dan menguasai fiqih madzhab Hambali (Ahmad bin Hanbal), sehingga basis pengetahuan tentang madzhab Hambali sangat kuat. Bahkan dia memperdalam agamanya dengan belajar langsung ke Mekkah dan Madinah serta Baghdad selama 23 tahun. Sejak itulah dia menyebarkan ajaran tauhid ke masyarakatnya di Uyainah hingga mengalami perlawanan.
Kondisi sosial politik dunia Islam saat itu sedang meredup, sehingga tidak memiliki kekuatan dan pengaruh bagi dunia Islam. Sementara kondisi keagamaan mengalami kebekuan, dan dari sisi aqidah, masyarakatnya banyak bertawassul (meminta) lewat tempat-tempat yang dianggap keramat atau memiliki kekuatan, seperti pohon atau kuburan. Masyarakat pada saat itu mempercayai adanya kekuatan dari pohon kurma yang disebut al-Fahal (pejantan). Pohon itu dipercayai bisa mengabulkan keinginan para perempuan yang ingin punya keturunan, sehingga mereka meminta kepadanya agar dikaruniai seorang anak. Begitu pula, ada sebuah kuburan Zaid bin Khaththab (kakak Umar bin Khaththab) yang dikeramatkan, sehingga banyak masyarakat yang datang ke kuburan itu dan meminta berkah dan menyampaikan hajatnya.
Kondisi sosial masyarakat yang demikian, membuat Muhammad bin Abdul Wahab tergerak untuk mendakwahi mereka secara santun. Dakwah tauhid dengan memurnikan aqidah inilah yang kemudian menimbulkan reaksi dan perlawanan dari masyarakatnya, hingga dia sempat terusir dari tempat tinggalnya. Ketika terusir inilah, dia bertemu dengan Muhammad Ibnu Saud di daerah Dar’iyyah, dekat Riyadh dan keduanya bersepakat untuk saling bantu di bidang agama dan politik. Muhammad bin Abdul Wahhab fokus di bidang agama dan Muhammad Ibnu Saud fokus di bidang politik. Dua orang ini bersepakat dan berjanji dan bekerjasama saling bantu untuk menegakkan agama dan politik secara bersama-sama. Bahkan Muhammad ibnu Saud mengawinkan Muhammad bin Abdul Wahhab dengan adik perempuannya.
Dakwah Tauhid
Yang membedakan Muhammad bin Abdul Wahhab dengan juru dakwah yang lain adalah penekanan kepada pemurnian agama (tauhid). Hal inilah yang menjadikan gerakan dakwahnya mengalami hambatan besar. Namun karena dukungan politik dari Muhammad ibu Saud ini, maka gerakan dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab mengalami kemajuan dan perkembangan pesat. Kalau ulama lain berdakwah mengajak kepada persatuan, mengajarkan akhlaq, fiqih atau syariah, tetapi Muhammad bin Abdul Wahhab mengajak masyarakat untuk memurnikan aqidah mereka.
Apa yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab dianggap mengganggu tatanan dan merusak perekonomian masyarakat. Ketika memiliki jalur kekuasaan dengan Muhammad Ibnu Saud, maka dia bisa menggerakkan penguasa untuk menghancurkan tempat-tempat yang dikeramatkan. Hal ini diyakini akan merusak keyakinan dan kepercayaan agamanya. Dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab inilah yang membuat masyarakat yang terbiasa dengan tradisi tawassul kepada benda dan tempat keramat marah dan memusuhinya. Tidak sedikit tuduhan sesat, gila atau terkena sihir menimpanya. Namun hal itu tidak menyurutkan langkahnya. Apa yang diajarkan Muhammad bin Abdul Wahhab sangat berpengaruh dan melekat pada masyarakat Arab, khususnya di Mekkah dan Madinah dalam berpegang teguh kepada ajaran Nabinya.
Salah satu contoh dari ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab yang melekat hingga kini adalah pentingnya dasar rujukan (dalil) dalam setiap melakukan amal kebaikan. Orang Saudi begitu mudah membangunkan masjid untuk anggota keluarganya yang meninggal. Hal ini berdasarkan hadits : Man banaa masjidan, banallahu lahu baitan fi al-jannati (Barangsiapa membangun masjid, maka Allah akan membangunkan rumah di surga)
Kerja keras dan dakwah yang gigih inilah, sangat tepat apabila para ulama memberi gelar kepada Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai tokoh pembaharu (Mujaddid). Hal ini diilhami oleh keberhasilannya dalam mengembalikan keyakinan masyarakat Islam kepada pemurnian ajaran agamanya. Dakwah tauhid telah berhasil mengembalikan kepercayaan agama masyarakatnya yang tercampur dengan tradisi lokal yang menyesatkan dari keyakinan yang lurus. Pengalihan dari pengkeramatan dan pensakralan kepada benda, yang dianggap bisa mendatangkan kebaikan atau keburukan,kepada penyucian dan pengagungan hanya kepada Allah merupakan contoh konkret pembaharuan yang dilakukannya.
Namun sepak terjang Muhammad bin Abdul Wahhab mengalami gelombang perlawanan yang luar biasa. Salah satu di antaranya dari musuh-musuh Islam yang menjulukinya sebagai tokoh kesesatan dan penghancuran situs-situs penting, serta tidak menghargai sejarah peradaban masa lalu. Bahkan tuduhan itu menggunakan tokoh-tokoh Islam dengan menuduhnya sebagai akar muncul tindakan terorisme dan radikalisme. Padahal gerakan-gerakan terorisme dan radikalisme, yang muncul sebagai gerakan global ini, justru diciptakan oleh mereka yang memusuhi dakwah tauhid ini. Bahkan “dakwah tauhid” Muhammad bin Abdul Wahhab memberi inspirasi dan mengokohkan Arab Saudi dalam menghadapi para pembenci Islam.
Surabaya, 10 Juni 2016
*Penulis adalah Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya dan Direktur Pusat Kajian Islam dan Peradaban (PUSKIP) Surabaya
http://fokusislam.com/3644-kontribusi-wahabi-terhadap-kekuatan-arab-saudi.html