Friday, July 1, 2016

Masjidil Haram Era Sufisme

post-feature-image
Hasil gambar untuk monochrome

Tuesday, 5 January 2016
Sejak abad ke-5 hijriah pelaksanaan shalat fardhu berjama’ah di Masjidil Haram terpecah ke dalam beberapa jama'ah berbeda sesuai 4 mazhab fiqih Ahlusunnah yang dianut masing-masing pengunjung masjid. Termasuk diantara yang membuat jama'ah shalat tersendiri adalah kelompok Syi’ah. Sehingga pada satu waktu shalat yang sama, berdiri 4 atau 5 jama'ah shalat yang berbeda. Kondisi ini terus berlanjut hingga 7 abad lamanya.

Namun keadaan tidak selalu demikian, pernah terjadi suatu ketika, shalat kelompok mazhab Hambali bergabung dengan kelompok madzhab Syafi‘i. Pernah juga kelompok Syi’ah dilarang mendirikan jama’ahnya sendiri.

Beberapa catatan menyebutkan bahwa keempat mazhab mempunyai mihrabnya masing-masing, dan mihrab yang paling mewah dan paling mencolok milik mazhab Hanafi karena mazhab tersebut banyak dianut para penguasa di daerah kaya. Sudah menjadi tradisi ketika itu para penguasa memberi sejumlah dana untuk berlomba-lomba memperindah “stan” mazhabnya.

Selain mihrab yang berbeda, pintu masuk Masjidil Haram juga diatur sedemikian rupa agar jama’ah bisa dengan mudah menemukan tempat shalat sesuai mazhab yang dianutnya. Pintu utama Babus Salam langsung mengarah ke “stan” shalat madzhab Syafi’iyah. Begitu pula mazhab lain yang memiliki pintu masuk tersendiri.

Kondisi ini berakhir tahun 1926 M atau akhir abad ke 13 hijriah ketika pasukan Ibnu Sa‘ud pengikut dakwah Muhammad bin Abdul Wahab, berhasil merebut Makkah dari kekuasaan Syarif Husein (penguasa Makkah) dan keluarga Hasyimiyah. Setelah jatuh ke tangan Ibnu Sa'ud yang berfiqih Hambali, shalat fardhu berjamaah di Masjidil Haram disatukan dalam satu imam.

Pembagian “stan-stan” berdasarkan mazhab ditiadakan hingga hari ini. Termasuk mihrab-mihrab mazhabnya juga dimusnahkan oleh penguasa baru Masjidil Haram.

Bagi yang menjunjung pengelompokan jama'ah berdasar mazhab, “stan-stan” shalat tiap mazhab pada masa lalu bukanlah bentuk perpecahan, melainkan bentuk toleransi antar mazhab sehingga dapat melaksanakan ibadah shalat persis sesuai keyakinan masing-masing, dan tidak perlu saling mempermasalahkan satu sama lain. Alasan lain karena dipercaya tidak boleh memaksakan tata cara suatu madzhab ke madzhab lain. Misalnya waktu shalat Ashar menurut Hanafiyah yang berbeda beberapa saat dari madzhab lain.

Shalat berjama'ah di Masjidil Haram sekarang
Namun setelah Raja Sa'ud menguasai Makkah, beliau berhasil mengembalikan proses shalat fardhu berjama’ah di Masjidil Haram menjadi kembali seperti di zaman nabi Muhammad Shallahu 'Alaihi Wasallam dan para sahabat Radhiyallahu Anhum. Hanya satu “stan” shalat saja yang diperbolehkan, yaitu “stan” milik umat Islam. Setiap problem perbedaan fiqih selama ini berhasil disesuaikan. (redaksi)