Friday, July 1, 2016

Perjanjian Faisal Bin Husein (Putra Syarif Mekkah Husein Bin Ali, Penganut Sufisme, Keluarga Hasyimiyah) -Weizmann, Pintu Masuk Yahudi Eropa Miliki Tanah Di Palestina. 'Arab Revolt', Pemberontakan Keluarga Sufi Melawan Turki Utsmani

post-feature-image

Friday, 1 January 2016
Perang dunia pertama berakhir dengan kekalahan Turki Utsmaniyah. Bersamaan dengan situasi di dalam negerinya sendiri yang harus menghadapi pemberontakan 'Arab Revolt' tahun 1916. Pembangkangan ini dimotori oleh Syarif Mekkah (Husein bin Ali) seorang penganut Sufisme yang bekerja sama dengan Inggris. Pemberontakan ini bermotif kemerdekaan seluruh wilayah bangsa Arab dari Turki.

Turki Utsmaniyah yang saat itu mempunyai kedudukan sebagai kekuasaan Islam global terus menunjukkan superioritas bangsa Turki atas seluruh wilayah Islam, sehingga memicu munculnya ketidakpuasan dari tanah Arab.

Di sisi lain, Eropa yaitu Inggris dan Perancis telah menyiapkan planning yang akan diterapkan ke kawasan Arab melalui perjanjian Sykes-Picot. Yaitu rencana pecah belah wilayah Arab sehingga nantinya antara lain menghasilkan Irak, Suriah, Trans Jordan, dan kawasan khusus Palestina. Pasca perang dunia pertama klaim mereka berhasil terwujud. Administrasi kawasan ini lalu diserahkan oleh Liga Bangsa-Bangsa kepada mandat Inggris dan Perancis. Kalangan Zionis internasional kala itupun turut bergerak aktif untuk mewujudkan mimpi mereka akan sebuah tanah air Yahudi Raya di Palestina.

Pasca Arab Revolt dan kekalahan Utsmaniyyah, Syarif Mekkah (keluarga Hasyimiyah) mendapat keistimewaan kontrol atas wilayah Suriah (sekarang) dan berkuasa atas Hijaz (tanah suci). Pada akhirnya, hari ini, karena berbagai sebab keluarga Hasyimiyah tinggal berkuasa atas Yordania. Di Hijaz sendiri kekuasaan Syarif Mekkah diusir oleh Ibnu Saud yang berpemahaman Ahlusunnah-Wahabiyah. Hijaz masa kini dikenal sebagai Arab Saudi

Sebelum pengusiran mereka dari Hijaz, wacana migrasi imigran Yahudi Eropa ke Palestina atau sekitar trans Jordan mendapat restu dari putra Syarif Mekkah, yaitu Faisal bin Husein. Pada tahun 1919 terjadi perjanjian Weizmann-Faisal yang isinya menyangkut alasan ekonomi dan strategi pembangunan kawasan dengan cara memasukkan Yahudi. Dr. Chaim Weizmann sendiri adalah tokoh Zionisme internasional, sedangkan Emir Faisal menjadi representasi keluarga Hasyimiyah (Sufi).

Berikut poin-poin perjanjian Weizmann-Faisal:

1. Kedua belah pihak akan bekerjasama dengan baik, termasuk untuk merangsang migrasi besar-besaran Yahudi Eropa. Perlindungan terhadap petani lokal juga harus diberikan, dan kesepakatan memiliki tempat ibadah masing-masing (tempat suci)

2. Berdirinya negara Palestina (bersama) akan ditentukan di masa mendatang

3. Zionis Yahudi akan membantu bangsa Arab setempat untuk memajukan ekonomi kawasan tersebut

4. Tiap masalah akan diselesaikan di bawah payung hukum Inggris

5. Menjamin kebebasan beragama tanpa saling singgung

Pasca perjanjian, imigran Yahudi Eropa terus mengalir (Aliyah) ke kawasan Palestina. Jumlah mereka meningkat signifikan dari tahun ke tahun di banding era sebelumnya. Tanah yang mereka miliki juga terus meningkat. Fenomena tersebut sempat menimbulkan pemberontakan warga Arab Palestina pada tahun 1936 terhadap mandat Inggris.

Setelah mandat Inggris berakhir tanpa solusi, tahun 1947 PBB membagi kawasan Palestina menjadi 2, sebagian untuk Arab dan sebagian lainnya untuk Yahudi. Namun atas dukungan dan pengakuan Amerika serta Uni Soviet, pemukim Yahudi berhasil mendirikan negara Israel di bawah PBB. Sebelumnya, kemenangan dalam perang Arab-Israel pertama juga membuat Israel makin banyak mencaplok wilayah baru. (rslh)

'Arab Revolt', pemberontakan keluarga Sufi melawan Turki Utsmani

Sunday, 17 January 2016
Pada masa perang dunia pertama, Turki Utsmaniyah memihak blok sentral yang dimotori oleh Jerman, yang berperang melawan blok sekutu. Sedangkan Inggris yang berada di pihak sekutu saat itu mulai melancarkan strategi mengalahkan Utsmaniyah dari dalam. Terlebih pemerintahan pusat Turki mulai menimbulkan berbagai ketidakpuasan dari daerah-daerah kekuasaan mereka, termasuk bangsa Arab yang merupakan motor perkembangan Islam sejak awal.

Dimulai pada tahun 1908 gerakan Turki muda (digawangi Kemal Ataturk) mulai menampakkan pengaruhnya yang bercita-cita melakukan pembaruan dan melumpuhkan kekuasaan Sultan Utsmaniyah, menuju nasionalisme bangsa Turki dengan berkiblat Barat (sekuler). Menimbulkan sikap diskriminatif pada bangsa lain di wilayah Utsmaniyah.

Syarif Husein (Mekkah) sendiri, seorang Sufi penguasa wilayah Hejaz dan sekitarnya, memiliki cita-cita membebaskan bangsa Arab dari "penindasan" Kekhalifahan Turki Utsmaniyah yang memang sudah dianggap "sakit". Syarif Husein menjadi konseptor kebangkitan nasionalisme Arab, bertujuan untuk mendirikan sebuah negara tunggal bangsa Arab dari Aleppo hingga Aden. Negara impian ini juga akan memperjuangkan cita-citanya dengan asas Islam.

Pada bulan Juni 1916, sang Sufi Hasyimiyah yang bekerja sama dengan Inggris dan Prancis, mulai mengobarkan 'Arab Revolt', sebuah pemberontakan melawan Turki. Putra-putra Syarif Husein, Abdullah dan Faisal, juga turun memimpin pasukan Arab menyerang hingga ke Aleppo.

Ada satu nama terkenal yang menjadi penasehat militer sekaligus kepanjangan tangan sekutu bagi keluarga Hasyimiyah, yaitu agen Inggris bernama T. E. Lawrence atau dikenal sebagai "Lawrence of Arabia".

Faisal (depan) dan Lawrence dalam pertemuan Paris 1919
Sedikit demi sedikit pemberontakan keluarga Hasyimiyah berhasil menaklukkan pasukan Turki di tanah Arab. Pasukan Faisal bin Husein dan sekutu Eropanya akhirnya berhasil membebaskan Damaskus dari pemerintahan Utsmani pada tahun 1918. Selain itu, Turki Utsmaniyah juga menderita kekalahan dalam perang dunia I.

Gencatan senjata Mudros mengakhiri perlawanan pasukan Utsmani di kawasan Timur Tengah. Setelah harus melawan pihak sekutu yang berkolaborasi dengan pemberontakan Arab.

Pemicu 'Arab Revolt' tidak lepas dari lobi Inggris meyakinkan Syarif Husein untuk segera memberontak melawan Turki. Dalam korespondensi antara Sir Henry McMahon (pejabat Inggris di Mesir) dan Syarif Husein, pada tahun 1915-1916, Inggris terus membujuk pemberontakan Arab dan berjanji akan mendukung semuanya, hingga Arab memperoleh kedaulatan setelah merdeka dari Turki. Ketidaksepakatan keduanya hanya soal wilayah-wilayah mana yang akan menjadi milik pasukan Arab nanti.

Akan tetapi Inggris dan Perancis sudah memiliki agendanya sendiri untuk memecah-mecah wilayah Utsmaniyah. Yaitu melalui perjanjian rahasia Sykes-Picot. Melibatkan kekaisaran Rusia, mereka sepakat berbagi wilayah Turki yang digariskan batas-batasnya. Untuk kawasan Arab, Inggris akan mendapatkan Trans Jordan dan Irak, sementara Perancis mendapat Suriah dan Lebanon. Serta satu wilayah khusus yang disebut Palestina di bawah pengawasan internasional.

Tentu saja isi perjanjian Sykes-Picot bertentangan dengan janji-janji Inggris sebelumnya menurut tafsiran pihak Syarif Husein, bahkan dinilai menguntungkan Zionis. Apalagi muncul deklarasi Balfour, dimana Inggris menjanjikan tanah air bagi Yahudi (Zionis) di kawasan Palestina.

Pasca kalahnya Turki, perjanjian Sykes-Picot direalisasikan, dengan sedikit mengalami perubahan pada prakteknya. Di tahun 1919 juga terjadi perjanjian Faisal-Weizzman, yang intinya Arab setuju masuknya Yahudi ke kawasan Palestina untuk memajukan perekonomian setempat. (Lihat: Perjanjian Faisal dengan tokoh Zionis)

Keluarga Hasyimiyah di bawah Faisal bin Husein sempat mengklaim pemerintahan kerajaan Arab pada tahun 1918 yang berpusat di Damaskus, Suriah. Namun kerajaan ini tidak disukai Perancis, sehingga pada tahun 1920 Suriah berhasil direbut dalam perang Misalun. Suriah ditetapkan mandat Perancis di Suriah dan Lebanon oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Saudara Faisal, Abdullah bin Husein, sempat berencana untuk merebut kembali Suriah, namun diurungkan karena mandat Perancis diakui dunia Barat (saat itu).

Digusur di Suriah, Faisal kemudian mendapat ganti rugi dengan "tukar guling" penguasaan wilayah Irak yang telah berada di bawah mandat Inggris. Kerajaan Inggris adalah sekutu keluarga Hasyimiyah saat melawan Utsmani. Di Irak, Faisal dan keluarganya mendapat status semi otonom, hingga selanjutnya merdeka dari Inggris pada tahun 1932. Namun setelah kematiannya, kondisi politik Irak mulai memanas. Jejak kerajaan Hasyimiyah di Irak akhirnya tak bersisa setelah kekuasaan Faisal II dihancurkan oleh kaum nasionalis kiri pada 1958.

Hampir bersamaan dengan Irak yang diberikan pada Faisal, Inggris juga menyerahkan wilayah Trans Jordan di bawah Abdullah bin Husein. Hingga berakhirnya mandat Inggris, Yordania sepenuhnya di bawah keluarga raja Abdullah I.

Sekarang, keluarga Hasyimiyah hanya berhasil berkuasa atas negara Yordania. Pada tahun 1925, Hejaz (Mekkah dan Madinah) berhasil direbut sepenuhnya oleh dinasti Saud yang berpaham Ahlusunnah-Wahabiyah dan kini menjadi wilayah Arab Saudi.

Syarif Mekkah, pencetus 'Arab Revolt' melawan Turki, meninggalkan Hejaz pada tahun 1924 setelah terdesak oleh pasukan Ibnu Saud dari Nejd, Inggris tidak membantunya saat diserang Saudi. Ia meninggalkan putranya Ali atas kontrol Mekkah, Syarif Husein pergi terasing ke Siprus dan kemudian wafat di Amman (saat masih administrasi Trans Jordan) pada tahun 1931.
(Sumber: Sejarah Yordania)

Inggris dan Sejarah Berdirinya Arab Saudi

Ottoman semakin lemah. Tahun 1908, khilafah dihapuskan meski jabatan sultan diperbolehkan hingga beberapa tahun. Ideologi Ottoman resmi menjadi nasionalisme Turki. Ulama menyebutnya Turaniyah.
Tanggal 29 Oktober 1914, Ottoman mengumumkan perang terhadap aliansi (Inggris, Prancis, Rusia, dan AS). Ottoman berharap banyak pada Jerman yang sudah lama bekerjasama. Jadi kalau Inggris dan kawan-kawan menyerang wilayah Ottoman dan memecahnya, wajar. Namanya saja perang.
Di sisi lain, muncul pemberontakan di seluruh wilayah Arab. Selama ini mereka merasa dijajah oleh Ottoman. Ditambah pernyataan dukungan Inggris, meletuslah pemberontakan Syarif Husain tahun 1916.
Inggris masuk ke wilayah Teluk Arabia dan Iraq. Mereka berusaha mengamankan wilayah tersebut agar tidak jatuh ke Ottoman. Mereka mempercayakannya kepada Faisal anak Syarif Husain dan beberapa pemimpin suku.
Di jantung jazirah Arab, posisi Ibnu Saud makin kuat. Semua buku sejarah menyatakan daulah tersebut adalah daulah dakwah. Problemnya, berbagai kekuatan di sekitarnya sedang bertarung.
Saat Ottoman terdesak oleh Inggris di Palestina, pada tanggal 4 Desember 1917, komandan Ottoman bernama Cemal Pasha membujuk Syarif Husain dan menjelaskan rencana penyerahan Palestina kepada Yahudi. Namun Syarif Husain punya perhitungan lain. Jadi tidak benar jika Syarif Husain tidak tahu perjanjian Sykes-Picott. Bujukan Cemal Pasha diacuhkan.
Ottoman melihat kekuatan Ibnu Saud. Maka dikirimlah utusan yang salah satunya adalah ulama terkenal Mahmud Syukri al-Alusi. Ibnu Saud dihadiahi 10.000 lira emas. Dia diminta agar tidak mengganggu jalur perdagangan Ottoman serta jamaah hajinya. Ibnu Saud menyetujuinya.
Inggris mendekati Ibnu Saud dengan harapan wilayah Iraq, Qatar, Kuwait, tidak diekspansi Ibnu Saud. Karena saat itu Ibnu Saud melihat ancaman Syarif Husain, maka Inggris menawarkan senjata dan uang 60.000 pound setahun.
Lalu disepakati perjanjian Darin yang pokok utamanya (nomor 1) adalah Inggris mengakui kedaulatan Ibnu Saudi dengan batas-batas yang disepakati. Juga agar Ibnu Saud tidak menyerahkan wilayahnya kepada siapapun. Poin lain soal keamanan jamaah haji.
Syarif Husain di Mekkah, juga tidak ketinggalan mengirimkan hadiah berupa emas dan pakaian. Kekuatan Ibnu Saud tentu nanti bisa jadi halangan jika urusan dengan Ottoman selesai. Hadiah dari Syarif Husain ini tidak diterima Ibn Saud, bahkan membuatnya marah.
Tentara Ottoman kalah oleh Inggris dibantu Syarif Husain. Garnisun terakhir Ottoman yang dipimpin Jenderal Fakhri Pasha, bertahan di Madinah.
Selama dikepung Inggris dan Syarif Husain, mata-mata Ibnu Saud diketahui berhubungan dengan Fakhri Pasha. Ini penuturan John Philby, penasehat Syarif Pasha sendiri. Fakhri Pasha kemudian dipulangkan ke Istanbul.

Dengan kenyataan di atas, Ibnu Saud dituduh:
Memberontak kepada Ottoman;
Piaraan Inggris; dan,
Membantu Palestina lepas.
Mereka yang menuduh demikian, menggunakan alasan karena bantuan Inggris di atas.
Sumber: Vassiliyev, Az-Zirikli, Eugene Rogan, John Philby, David Murphy, Gary Troeler.

100 Tahun Perjanjian Sykes-Picot Yang Pecah Belah Bumi Syam Dan Turki Utsmani
Fakta Mengejutkan ! Pengkhiatan Syiah di balik runtuhnya kekhilafahan Islam ( Utsmaniyah )