Friday, July 15, 2016

Tidak Ada Perdamaian Tanpa Keadilan di Suriah

imageimage

Maret 2016
Pada tahun kelima dari krisis di Suriah, Physicians for Human Right (PHR) kembali meminta perhatian semua pihak terkait serangan yang terus berlangsung pada tenaga medis dan fasilitas media serta menuntut agar keadilan tidak dikorbankan dalam mengejar perdamaian.

Ketika kita mendekati tahun keenam konflik di Suriah, setidaknya 705 tenaga medis telah tewas, dan telah ada 346 serangan yang disengaja dan membabi buta terhadap 246 fasilitas medis. Pemerintah Suriah dan sekutunya bertanggung jawab untuk lebih dari 90% serangan terhadap rumah sakit dan lebih dari 95% pembunuhan terhadap tenaga medis, berikut 139 kematian akibat penyiksaan atau eksekusi.
image
Tahun-Tahun yang Memalukan
Dunia menyaksikan ulang tahun kelima dari konflik Suriah_ konflik dimana jika Dewan Keamanan PBB dan masyarakat internasional melakukan tindakan yang lebih cepat, maka konflik ini mungkin tidak pernah meletus, tidak akan bertahan selama ini, tidak akan menghabiskan biaya untuk mempertahankan sebuah kehidupan,, tidak akan pernah melampaui batas sehingga mengacaukan negara-negara lain, tidak akan pernah ada kehancuran infrastruktur sipil Suriah, dan tidak akan pernah terjadi pengepungan seluruh kota yang menyebabkan kelaparan_.
Seluruh dunia telah telah menyadari semua inj tetapi memutuskan ditegakkannya keadilan bagi Suriah adalah sebuah pilihan. Sudah saatnya bagi masyarakat internasional pada umumnya, dan Dewan Keamanan PBB secara khusus, untuk mengakui besarnya kegagalan mereka dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional_ serta kembali berkomitmen untuk memberikan keadilan bagi rakyat Suriah. Presiden Bashar al-Assad dan sekutunya jelas harus bertanggung jawab atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang mereka lakukan kepada rakyat Suriah. Dewan Keamanan PBB pun memikul tanggung jawab karena gagal mencegah pembantaian itu.

Masyarakat internasional harus berbuat memulai langkah-langkah mengingat serangan terhadap fasilitas medis di Suriah_terutama sisi kejahatan dan pelanggaran hukum perang yang terus menanjak. 2015 adalah tahun terburuk sejauh ini, terhitung lebih dari sepertiga dari semua serangan sejak pertempuran dimulai menyasar fasilitas medis.

PHR telah mendokumentasikan serangan terhadap fasilitas medis dan tenaga medis dari awal aksi demonstrasi di Suriah, Maret 2011. Sementara itu data di 2015 menunjukkan peningkatan dramatis terkait serangan serupa, ini jelas merupakan pelanggaran nyata dari hukum perang.

Sampai Desember 2015, 246 fasilitas kesehatan telah terkena seranga dalam 346 serangan terpisah_122 diantaranya terjadi pada tahun 2015 saja. Sebagian besar serangan ini dilakukan oleh pasukan pemerintah Suriah dan sekutu mereka, Aleppo dan Idlib adalah dua provinsi yang palinga banyak menanggung beban dari serangan, 95 di Aleppo dan 64 di Idlib.

Masuknya militer Rusia dalam konflik pada 30 September 2015 menyebabkan peningkatan serangan serupa, pasukan Rusia melakukan penyerangan setidaknya 15 serangan terhadap rumah sakit di akhir 2015. Dokter dan tenaga medis lainnya juga telah menjadi target spesifik dalam konflik.

PHR mendokumentasikan angka total pembunuhan tenaga medis selama tahun 2015 yaitu 107 jiwa, sehingga total dalam 5 tahun terdapat 705 korban tewas dari kalangan tenaga medis. 83 pembunuhan terhadap tenaga medis selama 2015 tercatat dilakukan oleh pasukan pemerintah Suriah dan sekutunya.
Hukum perang didefinisikan oleh dua prinsip utama. Pertama adalah prinsip pembedaan yang memerlukan para pihak dalam konflik untuk selalu membedakan warga sipil dan obyek sipil dari kombatan dan sasaran militer. Hal yang tidak pernah dibolehka dalam membidik atau menargetkan warga sipil atau objek sipil. Kedua adalah prinsip proporsionalitas, yang mengharuskan pihak dalam konflik untuk menimbang apakah keuntungan militer dari serangan terhadap objek militer yang sah melebihi risiko membahayakan warga sipil.
Tidak Ada Tempat Sembunyi
Semua serangan ini, apakah serangan yang ditargetkan pada fasilitas medis atau serangan membabi buta terhadap daerah sipil, adalah kejahatan perang. Konvensi Jenewa memberi status terlindungu bagi fasilitas medis, tenaga, dan infrastruktur. Tapi dalam krisis Suriah, Bulan Sabit Merah dan Palang Merah_simbol yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi rumah sakit, klinik, ambulans, dan tenaga medis_ telah menjadi target, bukan sebagai perisai.

Akibatnya, rumah sakit dan klinik di daerah yang dikuasai oposisi mencoba untuk menghindari deteksi dan identifikasi. Hal ini sulit untuk berbagai alasan. Pertama, semua rumah sakit yang didirikan sebelum dimulainya konflik berjalan baik atau terdaftar di bawah Departemen Kesehatan Suriah. Banyak rumah sakit ini masih berfungsi, artinya pasukan pemerintah tahu koordinat yang tepat dari posisi mereka. Kedua, untuk rumah sakit yang melayani pengobatan bagi korban luka-luka dan sakit, mereka harus memberikan pelayanan cepat dan mudah diakses. Dalam konflik ini, semua pasukan pemerintah Suriah harus melakukan identifikasi rumah sakit darurat baru yang didirikan, klinik, kawasan medis kemudian mereka menjatuhkan bom dan menonton korban luka-luka di evakuasi.

Larangan menargetkan warga sipil dan obyek sipil telah terang-terangan dilanggar oleh semua pihak dalam konflik Suriah_oleh pasukan pemerintah dan sekutu mereka, oleh IS dengan kekerasannya, dan oleh oposisi. Namun, bukti-bukti jelas menunjukkan bahwa serangan yang dilakukan pemerintah Suriah lebih sistematis, dan karena itu secara kolektif ini merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Hukum perang didefinisikan oleh dua prinsip utama. Pertama adalah prinsip pembedaan yang memerlukan para pihak dalam konflik untuk selalu membedakan warga sipil dan obyek sipil dari kombatan dan sasaran militer. Hal yang tidak pernah dibolehka dalam membidik atau menargetkan warga sipil atau objek sipil. Kedua adalah prinsip proporsionalitas, yang mengharuskan pihak dalam konflik untuk menimbang apakah keuntungan militer dari serangan terhadap objek militer yang sah melebihi risiko membahayakan warga sipil.

Asal Mula Konflik

Saat demonstran Suriah turun ke jalan pada 15 Maret 2011 menuntut pembebasan pemuda yang telah ditahan dan disiksa karena tulisan grafiti revolusioner, respon pemerintah brutal. Pengunjuk rasa damai ditembak di jalan-jalan bahkan orang yang lain ditangkap dalam operasi keamanan, ditahan, dipenjarakan, disiksa, dan, dalam beberapa kasus dibunuh dalam tahanan.

Terperangkap dalam harapan yang diciptakan oleh Arab Spring, yang menyapu seluruh wilayah diawali dari protes di Tunisia yang mengarah pada penurunan Presiden otokratis-nya, pengunjuk rasa di Suriah mulai menuntut kebebasan, demokrasi, dan keadilan. Pada Juli 2011, puluhan ribu demonstran mempertaruhkan dirinya dalam bahaya penahanan, penyiksaan, dan kematian di tangan pasukan keamanan pemerintah.

Pemerintah mengusulkan, namun tidak menindaklanjuti dialog nasional tentang reformasi, dan membebaskan beberapa tahanan politik. Tapi gerakan ini jatuh jauh dari tuntutan para demonstran, dan situasi berkembang menjadi konflik bersenjata.

Dalam lima tahun berikutnya, Presiden Bashar Al Assad telah terus menerus dan sistematis melanggar hak asasi manusia dari rakyat Suriah, menunjukkan ketidakpedulian mendalam bagi hak untuk hidup dan hak untuk bebas dari penyiksaan.

Luasnya kekejaman pemerintah disorot dan dirilis tahun 2014 dengan lebih dari 50.000 foto. Gambar-gambar mengerikan, yang diambil oleh mantan fotografer polisi militer yang diselundupkan keluar dari Suriah, termasuk foto-foto mayat orang yang tewas atau meninggal dalam tahanan, dalam banyak kasus, foto-foto menunjukkan tanda-tanda yang jelas dari penyiksaan dan perlakuan buruk.

Sejalan dengan kekerasan yang merata terjadi di pusat-pusat penjara Suriah itu adalah penghinaan pemerintah Suriah terhadap hak kehidupan dan mata pencaharian warga sipil di daerah konflik. Pria, wanita dan anak-anak khususnya di daerah yang dikuasai oposisi, terus menerus diserang tanpa henti oleh pasukan pemerintah Suriah tanpa pandang bulu. Serangan yang terjadi mencakup serangan terhadap fasilitas sipil seperti sekolah dan rumah sakit. serangan membabi buta dimana secara inheren melanggar hukum, penggunaan bom barel_drum penuh dengan pecahan peluru dan paku yang dilemparkan dari helikopter dan menyebabkan korban mengalami luka serius_, bom cluster, dan senjata kimia termasuk klorin.

Tapi serangan terhadap warga sipil tidak berhenti sampai disitu. Ratusan ribu warga Suriah_ bahkan tembus satu juta jiwa_ sedang dikepung, sebagian besar dilakukan oleh pasukan pemerintah, semantara dalam sejumlah kecil dikepung oleh ISI. Blokade daerah-daerah oposisi adalah bentuk kejahatan yang mengancam jiwa, ini adalah bentuk hukuman kolektif terhadap warga sipil dengan asumsi bahwa mereka memberikan dukungan kepada satu pihak atau pihak lain dalam konflik.

Rakyat Suriah yang tinggal di daerah terkepung tidak dapat menerima bantuan makanan, obat-obatan, atau barang lain yang diperlukan untuk hidup, sementara sebagian yang lain perlahan mati kelaparan. Ini adalah kejahatan perang dimana mereka menghalangi pengiriman pasokan medis dan juga menghambat kemampuan orang untuk mengakses layanan kesehatan.

Berdasarkan regulasi Hukum Internasional, “Membuat warga sipil kelaparan sebagai metode perang adalah dilarang. Oleh karena itu dilarang menyerang, merusak, menghapus atau menghambat suatu fasilitas objek yang sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup penduduk sipil seperti bahan makanan, daerah pertanian untuk produksi bahan makanan, tanaman, ternak, instalasi air minum dan persediaan sumber irigasi.”

Buah dari taktik ini, rakyat Suriah yang tidak terjebak dalam pengepungan melarikan diri untuk mencari tempat berlindung baik di dalam negeri, di kamp-kamp resmi bagi para pengungsi internal (IDP) dan lintas batas sebagai pengungsi.

Setengah dari total populasi Suriah telah mengungsi akibat konflik. Jutaan membutuhkan bantuan kemanusiaan dan dukungan, menurut PBB. Namun, meskipun berlalunya dua resolusi Dewan Keamanan PBB_ pertama, terkait himbauan bagi semua pihak untuk menghentikan pelanggaran terhadap hukum perang, dan secara khusus menyebut serangan terhadap rumah sakit, sekolah-sekolah, penggunaan bom barel dan senjata yang terlarang lainnya; kedua, seruan untuk pengiriman segera dan tanpa hambatan bantuan kemanusiaan bagi mereka yang membutuhkan, termasuk langsung kepada orang-orang yang tinggal di daerah oposisi_ hingga hari ini warga sipil masih membayar harga yang mahal penderitaan dalam konflik ini.
Sumber : physiciansforhumanright.org
http://www.hasi.or.id/tidak-ada-perdamaian-tanpa-keadilan-di-suriah-bagian-3.aspx/