Sunday, August 14, 2016

Perbedaan Pokok Ajaran Islam Dan Tasawuf

Hasil gambar untuk sufi

A.Nizami
Manhaj dan jalan Islam berbeda sama sekali dengan manhaj tasawuf,dan perbedaan itu mengenai hal yangsangat mendasar. Yaitu perbedaan dalam hal sumber – sumber pengambilan agama dalam akidah dan syari`ah. Dijelaskan, Islam menjadikan sumber pengambilan Aqidah terbatas pada wahyu yang  diberikan  kepada para Nabi dan Rasul saja, hal yang kita miliki adalah Al Qur`an dan As Sunnah (hadits Nabi SAW) saja.

Adapun agama sufisme (Ad-dienus shufi). Istilah Abdurrahman Abdul Khaliq yang mereka jadikan sumbernya adalah bisikan yang dida`wahkan datang kepada para wali dan kasyaf (terbukanya takbir hingga mereka tahu yang ghoib) yang mereka da`wahkan, dan tempat-tempat tidur(mimpi-mimpi), perjumpaan dengan orang-orang mati yang dulu-dulu, dan (mengaku berjumpa) dengan Nabi Khidir a.s, bahkan dengan melihat Lauh Mahfudh, dan mengambil (berita) dari jin yang mereka namakan para badan halus (Rohaniyyin).
Adapun sumber pengambilan syari`ah bagi ahli Islam adalah Al Kitab (Al Qur`an), As Sunnah (Al Hadits), Ijma` (kesepakatan para ulama terdahulu mengenai awal Islam), dan Qiyas (perbandingan, yaitu pengambilan hukum dengan membandingkan kepada hukum yang sudah ada ketegasannya dari Nash/text Al Qur`an atau Al Hadits, dengan syarat kasusnya sama, misalnya beras bisa untuk zakat fitrah karena diqiyaskan dengan gandum yang sudah ada nash haditsnya). Sedangkan bagi orang-orang tasawuf , perbuatan syariat mereka didirikan diatas mimpi-mimpi (tidur), khidhir, jin, orang-orang mati,syaikh-syaikh, semua mereka itu dijadikan pembuat syariat. Oleh karena itu, jalan-jalan dan cara-cara pembuatan syariat tasawuf itu bermacam-macam. Sampai-sampai mereka mengatakan jalan-jalan menuju Allah SWT itu sebanyak bilangan nafas makhluk-makhluk. Maka tiap-tiap syaikh memiliki tarekat dan manhaj/jalan untuk pendidikan dan dzikir khusus.
Maka tasawuf itu adalah ribuan agama, aqidah, dan syari`at; bahkan ratusan ribu tidak terhitung banyaknya, semuanya itu dibawah apa yang dinamakan tasawuf.Dan inilah perbedaan asasi (pokok/dasar) antara Al Islam dan tasawuf.  Islam itu adalah agama yang Muhaddad (ditegaskan batasan ketentuan) aqidahnya, ibadahnya, dan syari`atnya. Sedangkan tasawuf itu agama yang tidak ada batasannya, tidak ada pengertian (yang ditentukan secara pasti) dalam aqidah ataupun syari`at-syari`atnya.   

Inilah perbedaan yang paling besar antara Al Islam dan tasawuf.

Garis-garis besar Aqidah Sufisme

1.Aqidah Sufisme mengenai Allah
Orang-orang tasawuf percaya kepada Allah dengan aqidah-aqidah yang macam-macam diantaranya al-hulul (inkarnasi, penitisan/penjelmaan Tuhan dalam diri manusia) seperti pendapat Al Hallaj (menyebabkan ia memaklumkan dirinya sebagai “kebenaran” dengan ucapan “anal haq”=Akulah Kebenaran. Al Haq adalah salah satu nama Tuhan. Dengan perkataannya itu berarti ia mengaku,”Akulah Tuhan”).Faham hulul, faham yang menyatakan, bahwa Tuhan telah memilih tubuh-tubuh manusia tertentu sebagai tempat-Nya, setelah sifat-sifat kemanusian dalam tubuh tersebut dihilangkan. Faham hulul dalam tasawuf ditimbulkan oleh Husein Ibnu Manshur al-Hallaj (lahir di Persia th 858 M.) yang mengajarkan, bahwa Allah memiliki dua sifat dasar (natur), yaitu sifat ke-Tuhan-an (lahuut) dan sifat kemanusiaan (nasuuf).
Hal tersebut dilihat dari teori kejadian makhluk-Nya, sebagai berikut :
Sebelum Tuhan menciptakan makhluk,Ia hanya melihat dirinya sendiri. Dalamkesendirian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya. Dialog yangdalam , tidak terdapat dalam kata-kata atau pun huruf-huruf. Yang dilihat Allah hanya kemuliaan dan ketinggian-Nya dan Dia pun cinta pada Dzat-Nya sendiri. Cinta yang tidak dapat disifatkan dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari banyak dan Ia-pun mengeluarkan dari yang tiada,bentuk (copy) Diri-Nya, yang mempunyai segala sifat dan nama-Nya, dan bentuk (copy) tersebut adalah Adam, dan seterusnya. Setelah Adam tercipta dengan cara-Nya, maka Ia sangat mencintai dan memuliakannya di surga dan sebagai khalifah di bumi-Nya.
Kemudian akibat pendapatannya yang mengandung kemusyrikan itu maka Al-Hallaj yang lahir di Fars,Persi (Iran) 244H/26 Maret 922 M.,di Baghdad di bawah kekhalifahan Abbasiyah, khalifah ke-18 dari 37 khalifah, Al-Muqtadir bi `I-lah (Ja`far Abu `I-fadl, yang berkuasa pada tahun 295-320 H./ 908-932 M.) Selain Al-Hallaj dituduh membawa paham ang menyesatkan (paham hulul), ia juga dituduh mempunyai hubungan dengan Syi`ah Qaramithah, suatu kelompok Syi`ah garis keras yang dipimpin oleh Hamdan bin Qarmat yang menentang pemerintahan Dinasti Abbasiyah sejak Abad ke-10 sampai abad ke-11. Sumber lain menyebutkan, Abu Mughits Al-Husein bin Manshur Al-Hallaj (244-309 H.) dilahirkan diPersia, seorang cucu dari penganut Zoroaster, dibesarkan di Irak. Tokoh inilah yang terkenal dengan “hululiyyin” (para penganut paham panteisme) dan “Ittihadiyyin” (para penganut paham manunggaling kawula gusti).Ia dituduh kafir, dibunuh dan disalib karena empat perkara yang dituduhkan kepadanya :
Karena berhubungan dengan orang-orang Qaramithah (Syi`ah ekstrim).
Karena ucapannya, “Aku adalah Tuhan yang Haq “. Karena pengikutnya meyakini akan ke-Tuhan-an diri-nya. Karena pendapatnya tentang haji, bahwa haji ke Baitullah tidak termasuk suatu kewajiban yang harus dilaksanakan.
Tentang kepribadiannya banyak hal-hal yang tidak jelas. Pertama,sikapnya yang sangat keras kepala, membangkang dan ekstrim. Ia mengarang buku ” Al-Thawwasin”, yang diteliti dan diterbitkan kembali oleh Louis Massignon (seorang orientalis ).
Ulama yang hidup pada masa itu diantaranya At-Thabari ahli tarikh/sejarah (w923 M./tidak menemui disalibnya Al-Hallaj 923 M). Al- Asy’ari (260-324 H) ahli ilmu kalam yang pernah berfaham Mu’tazilah selama sekitar 40 tahun, kemudian berubah ke faham yang kini disebut Asy’ariyah Asya’irah, dan kemudian rujuk ke manhaj (jalan) salaf(sahabat, tabi’ien dan tabi’it tabi’in) dengan menyusun kitab Al-Ibanah, kitab tauhid yang manhaj-nya salaf, namun para pengikut kini merujuknya bukan ke salaf tapi ke yang Asy’ariyah yang berdekatan dengan faham Maturidiyah. Beliau wafat tahun 935 M, berarti masih hidup selama tiga tahun setelah disalibnya Al-Hallaj 923 M. Sedang Junaid  Al-Baghdadi, mufassir sufi pertama, meninggal tahun 910 M, saat itu Al-Hallaj baru berumur dua atau tiga tahun, ketika umur 25 tahun Al-Hallaj dibunuh dan disalib di jembatan Baghdad lantaran fahamnya yang dinilai sangat membahayakan Islam.
Dan diantara aqidah sufi yaitu wihdatul wujud(manunggaling kawula Gusti, bersatunya hamba dengan tuhan, lihat pada Bab Nur Muhammad,Hakikat Muhammad, dan wihdatul wujud) di mana tidak ada pemisahan antara khaliq dan makhluk. Inilah aqidah yang terakhir yang tersebar sejak abad ketiga Hijriyah sampai hari ini, dan diterapkan akhir-akhir ini oleh setiap tokoh tasawuf. Yang paling terkenal dalam aqidah ini adalah Ibnu Arabi, Ibnu Sab’in,At-Tilmasani, Abdul Karim Al-jilli, Abdul Ghani An-Nablisi dan para tokoh tarekat-tarekat sufisme baru pada umumnya.
Ada pula aqidah sufi yang namanya ittihad, yaitu bersatunya seorang sufi (tasawuf) sedemikian rupa dengan Allah SWT setelah terlebih dahulu melalui penghancuran diri (fana) dari keadaan jasmani dan kesadaran rohani untuk kemudian berada dalam keadaan baka`(tetap/bersatu dengan Allah SWT) Paham ittihad pertama kali dikemukakan oleh sufi Abu Yazid al-Bustami (meninggal di Bistam,Iran,261 H/874 M.) Pada suatu waktu dalam pengembaraannya, setelahshalat Subuh Yazid Al-Bustami berkata kepada orang-orang yang mengikutinya,”Innii ana Allah laa ilaaha illaa ana fa`budnii (Sesungguhnya aku ini adalah Allah,tiada Tuhan melainkan aku, maka sembahlah aku).”Mendengar kata-kata itu, orang-orang yang menyertainya mengatakan bahwa al-Bustami telah gila.Menurut pandangan para sufi, ketika mengucapkan kata-kata itu,al-Bustami sedang berada dalam keadaan ittihad, suatu maqam (tingkatan) tertinggi dalam paham tasawuf.
Dalam keadaan ittihad, seorang sufi sering mengucapkan kata-kata yang aneh,seakan-akan ia mengaku Tuhan, seperti yang diucapkan al-Bustami diatas. Al-Bustami juga pernah mengucapkan kata-kata,”Subhani, subhani, ma a`dhama sya`ni (mahasuci aku,mahasuci aku, alangkah maha agungnya aku).” Al-Bustami juga berkata,”Laisa fi al-jubbah illa Allah (tidak ada didalam jubah ini kecuali Allah).” Kata-kata seperti itu disebut syathahat (perkataan aneh-aneh yang keluar dari mulut seorang sufi ketika ittihad, menyatu dengan Tuhan). Dalam pandangan sufi,kata-kata itu bukan keluar dari seorang sufi tetapi kata-kata Allah SWT melalui lisan seorang sufi, tetapi sedang dalam keadaan  ittihad. Bukan Dzat Allah SWT yang berbicara, tetapi aspek Allah SWT yang ada pada diri sufi itulah yang sedang berbicara.
Betapa jauh kepercayaan sufi itu dari Islam. Allah SWT disamakan dengan jin atau syetan yang masuk kediri manusia hingga manusianya menjadi kesurupan (majnun), dan bicaranya ngaco (merancu tak karuan), hanya saja dinamakan syathahat yaitu bicara ngaco namun justru dianggap telah mencapai tingkatan tertinggi yang mereka tuduhkan yakni ittihad, menyatu dengan Tuhan.
Na`udzubillaahi min dzaalik, dari aqidah yang amat sesat itu.Hanya saja, aqidah sesat ini ditampilkan dengan nada miring berupa pembelaan samar dibuku yang disebut Ensiklopedia Islam di Indonesia ini, yang ditangani dan ditulis oleh orang-orang IAIN (Institut Agama Islam) Jakarta dan lainnya, yang memang ada seorang profesor yang dikenal sebagai pengajar tasawuf, sekaligus pembela tasawuf.
Pak profesor itu pernah mengajar tasawuf kepada saya dan teman-teman 40-an orang di Jakarta 1997, yang rata-rata mempunyai jama`ah dan keluaran perguruan tinggi Islam dan Insya Allah mampu membaca kitab. Saya katakan pada Pak Profesor tasawuf itu dalam perkuliahan, bahwa tasawuf itu bukan dari Islam,mengotori Islam. Apa itu kasyaf (tersingkapnya hijab, hingga seorang sufi bisa mengetahui hal ghaib) yang dibeberkan Abu Hamid Al-Ghozali (1058-1111 M./505 H.)? Itu bukan ajaran Islam, karena teori itu Jayabaya yang sama sekali bukan orang Islam pun kemungkinan bisa, dengan istilah yang dikenal dengan “ramalan Joyoboyo”. Disamping itu, Al-Ghazali tidak memperhatikan Islam secara penuh. Dia masih hidup selama 25 tahunan ketika perang salib berlangsung (Tantara Salib menduduki Yerussalem th 1076 M,sedang Al-Ghazali hidup 1058-1111 M.),yaitu perang besar dan berkepanjangan antara Muslimin dengan Kristen. Namun sebagai ilmuwan, Al Ghazali tidak terdengar adanya perhatian dia tentang perang jihad yang sangat besar itu, baik itu tulisan ataupun pidato, padahal dia sangat rajin mengarang. Bahkan di Jawa, Sunan Mangkunegoro IV yang diangkat-angkat sebagai orang yang termasuk tokoh sufi (dijadikan tesis untuk doktor di IAIN Jakarta oleh profesor tersebut dengan tema kesufian) ternyata dia (Mangkunegoro IV) itu sendiri jelas-jelas menulis syair yang menyatakan bahwa dirinya tidak sholat.
Jadi tasawuf itu jelas bukan ajaran Islam,bahkan mengotori Islam, tutur saya (penulis).Bagaimana reaksi Pak profesor yang bukan sekedar mengenalkan apa itu sufi, namun memang pembawa ajaran tasawuf itu ? Dengan muka yang cukup tegang (padahal beliau orang Solo Jateng,dan sudah agak tua, yang tampaknya lembut tapi saat itu memerah wajahnya), beliau menunjuk-nunjuk saya sambil berkata,”Anda belajar dimana ?! Keluaran mana ?! lalu belajar apa ?! Dengan suara keras dan mengagetkan teman-teman yang berjumlah 40-an orang dalam ruang kuliah itu. Setelah saya jawab, beliau hanya berseru,” Anda harus banyak belajar lagi !” Ucapan-ucapan beliau itu, diluar perkuliahan dihafalkan oleh seorang teman yang kalau bertemu saya lalu dia praktekkan, dengan menunjuk-nunjuk muka saya, teman itu mempraktekkan kata-kata Pak profesor, kemudian ditutup dengan,”Ini marahnya seorang sufi, kamu harus tahu !” ucapnya sambil tertawa-tawa. Saya pun tertawa saja ketika dicandai begitu.
Pada kesempatan berikutnya, rupanya pertanyaan saya kepada Bapak Profesor itu diambil hati (diperhatikan betul). Kemungkinan beliau lantas membuka-buka referensi atau rujukan kitab-kitab, untuk membantah ucapan muridnya ini. Lalu dalam perkuliahan selanjutnya,beliau menjawab tentang kasus Al-Ghazali tokoh sufi kasyaf, dan Mangkunegoro IV raja kerajaan (kasunanan) Mangkunegaran Surakarta Jateng, yang dipersoalkan tersebut. Kata Pak profesor yang jadi salah satu editor Ensiklopedia Islam yang sedang dikritik ini, Al Gahzali bukannya tidak memeberi perhatian terhadap kegiatan Islam.Buktinya, Al Ghazali juga pernah berkunjung ke Andalus, guna memberikan gelar kepada salah seorang anggota kekhalifahan di Andalus. Adapun Mangkunegoro IV, toh didalam Kitab Nailul Authar disebutkan bahwa sholat itu bisa dijama`. Nah Mangkunegoro IV itu  sebelumnya dia “nyantri” dipesantren, lalu dipanggil untuk menjadi pegawai diKerajaan, jadi sibuk. Memang dalam dua baris syairnya,Mangkunegoro IV menyebutkan dirinya tidak sholat.Tak tahulah. Saya dan teman-teman tidak bisa menjangkau jawaban Pak Profesor itu. Apa hubungannya antara sholat boleh dijama` dengan tidak sholatnya Mangkunegoro IV, dan apa hubungannya antara perhatian yang dituntut oleh Islam dengan bertandangnya Al Ghozali untuk memberi gelar seorang anggota kekhalifahan di Andalus ? Yang bisa dijangkau hanyalah gumam yang kewetu (terlanjur keluar) dari lisan Pak profesor, bahwa beliau ketika diuji tesisnya untuk doktor (tentang Mangkunegoro IV kaitannya dengan tasawuf ) di IAIN Jakarta tidak sampai pertanyaan yang dicecarkan oleh muridnya ini.
Pada lain kesempatan, saya ceritakan hal tersebut kepada seorang teman. Lalu teman saya bercerita pula tentang model jawaban “marah” dari “syaikh” sufi yang pernah dia saksikan ketika mendapatkan kesempatan untuk penataran dai` International di Al Azhar Mesir selama 3 bulan. Dalam suatu perkuliahan, ada peserta (dai`) dari Bangladesh yang mengkritik tasawuf. Lantas guru yang “syaikh” sufi tidak menjawab kritikan itu dengan jawaban yang berkaitan dengan kritikan, namun hanyalah marah-marah disertai kata-kata,”Dinegrimu banyak masalah. Urusi itu. Tidak usah kamu mengkritik-kritik tasawuf. Urusan dinegrimu saja banyak sekali. Itu yang harus kamu urusi.” Entah kenapa, kok ada kemiripan sesama guru besar tasawuf baik yang ada di Jakarta maupun di Cairo, kalau dikritik tasawufnya lalu marah-marah, dan jawabannya ngaco (tidak relevan). Disamping itu ada kemiripan kenyataan pula, yang sekolah jauh-jauh ke Al Azhar Mesir atau Pasca Sarjana IAIN Jakarta tahu-tahu dimasyarakat menyebarkan tasawuf. Tidak semuanya, tetapi bisa dibilang jarang sekali yang kritis terhadap sufisme. Sebagai bukti, profesor di IAIN Jakarta tersebut bukannya mengkritik Mangkunegoro IV yang tidak sholat, tetapi malahan mencari-carikan jawaban dengan mengemukakan bolehnya sholat jama` (digabung antara Dhuhur dengan Ashar, Maghrib dengan Isya`). Padahal antar keduanya (tentang tidak sholat dan bolehnya sholat jama`) itu tidak ada kaitannya.Perlu ditambahkan, saya menuturkan ini karena sering mendapatkan kesempatan untuk menyaksikan ujian doktor di IAIN Jakarta, termasuk ujian beliau (yang jadi Ensiklopedia Islam itu), beberapa tahun sebelum saya ajukan pertanyaan tersebut. Ujian itu seperti biasanya,selalu dihadiri oleh Prof.Dr.Harun Nasution, dekan Pasca Sarjana IAIN Jakarta, sebagai salah satu penguji.
Berkali-kali saya bertugas meliput ujian doktor semacam itu, karena ditugaskan oleh kantor redaksi atas undangan IAIN Jakarta untuk meliputnya.Apa yang kewetu dari lisan Pak profesor bahwa ketika ujian justru tidak ada pertanyaan yang mencecar seperti itu, memang betul. Karena Harun Nasution sebagai dekan memang sudah dikenal arah pemikirannya secara umum adalah mengarah kepada Mu`tazilah, filsafat, dan sufisme. Untuk mengarahkan agar kenal dengan faham Mu`tazilah, misalnya Harun Nasution menanya kepada calon doktor yang diuji,”Apa makna yahdillaahu man yasya ?” Lalu sicalon doktor menjawab,”Allah SWT memberipetunjuk kepada orang yang Allah SWT kehendaki.” Kemudian disahut oleh Harun Nasution ,”Itu makna menurut ahlus Sunnah. Kalau menurut Mu`tazilah ? Bila calon doktor tak bisa menjawab, maka dituntun oleh Harun Nasution,”Allah memberi petunjuk kepada orang yang orang itu sendiri menghendaki. Jadi yasya` itu dhomir-nya/kata gantinya kembali kepada “man” yaitu orang itu sendiri”.Lantas calon doktor itu tampaknya seperti kerbau yang dicocok hidungnya (maaf).
Meskipun sebenarnya dalam ujian yang saya saksikan itu ada penguji yang jeli dan mempertanyakan pula tentang shalat atau tidaknya Mangkunegoro IV, namun  wibawa dekan yakni Harun Nasution yang sudah bisa dimengerti bahwa sufisme ini jelas-jelas dia dukung, ataupun kondisi saat itu bisa diatur oleh sang ketua Ujian, maka pertanyaanpun tak sampai menukik benar. Bahkan saya saksikan,  pembangkitan kembali peninggalan Mangkunegoro IV yang pembahasannya dikaitkan dengan sufisme (kedua-duanya ini sebenarnya sudah terkubur, tapi kemudian digali kembali oleh tangan-tangan yang kemungkinan mengotori Islam) itu, mendapat sambutan yang baik dalam ujian tersebut. Dari sini bisa difahami, misi Harun Nasution dan murid-muridnya yang kurang lebihnya adalah sekulerisme, liberalisme berfikir, dan pluralisme (tidak boleh mengakui bahwa Islam sajalah yang benar) dicampur sufisme memang mendorong dimunculkannya ajaran-ajaran yang tidak jelas seperti tesis yang diujikan dan mendapatkan sambutan yang baik tersebut.
Dan salah satu sarana yang disisipi misinya untuk disebarkan adalah Ensiklopedia Islam, yang teman saya mengaku termasuk orang yang diberi proyek untuk menulis  itu oleh Harun Nasution, hingga cukup untuk membiayai kuliahnya hingga mencapai doktor.Pantaslah kalau penggalian kembali tulisan Mangkunegoro IV tersebut dihargai, karena misinya sama dengan misi orientalis seperti Louis Massignon dan lain-lainnya yang mengggali kembali peninggalan-peninggalan tasawuf yang telah terkubur lalu ditampilkan lagi dan dicetak. Untuk apa ? untuk kepentingan orientalis yang kaitannya erat sekali dengan penjajahan terhadap umat Islam sedunia dan mengotori Islam, melemahkan serta merancukan.Dan misi itupun dilanjutkan oleh Harun Nasution dan pemerintahan Orde Baru dengan mentri-mentri agama: Mukti Ali, Munawir Sjadzali, Tarmidzi Taher,dan dijaman reformasi setelah jatuhnya Presiden Suharto adalah mentri Agama Malik Fajar, yang mereka itu menggencarkan pengiriman dosen-dosen IAIN ke negri Barat untuk belajar “Islam” warisan orientalis. Adapun Mentri Agama Alamsjah Ratuperwiranegara tak begitu terdengar apakah ia menggencarkan atau tidak, walau masanya setelah Mukti Ali. Sedang Quraisy Shihab yang menjadi mentri Agama selama 70 hari saja, walau alumni Al Azhar Mesir namun tidak tampak mencoba untuk membendung arus Harun Nasution yang pro-orientalis.Bahkan sebelumnya, ketika Quraisy menjadi Rektor IAIN pun tidak ada gaungnya alias tidak terdengar membendung Harunisme.
 Ketika buku ini ditulis, yang duduk sebagai dekan Pasca Sarjana IAIN Jakarta adalah Prof.Dr. Said Aqil Al-Munawar, seorang yang hafal Al Qur`an dan berguru Hadits ke Syaikh Yasin Al-Padangi di Makkah. Ustadz Aqil ini dari kalangan NU, beliau hafalannya kuat.  Ketika saya sempat diajari ilmu Hadits dalam perkuliahan, beliau sering sekali menyebut nama Abdul Fattah Abu Ghuddah (tokoh Ikhwanul Muslimin Syuriah, ada yang menggolongkan sufi juga). Apakah Pak Aqil mendukung orientalis juga dan mendukung sufi, belum bisa saya berkomentar. Yang jelas,terhadap sufi tentu tidak seperti tulis dan saya ini. Sedang Mentri Agama angkatan Presiden Gur Dur September 1999 adalah Thallah Hasan, konon orang NU. Belum terdengar adanya penyetopan terhadap pengiriman dosen-dosen IAIN ke Barat untuk belajar Islam alias sufisme yang diprogramkan orientalis dan Yahudi. Apalagi Gus Dur justru dikenal sebagai orang yang dari awalnya pro-Yahudi Israel dan bersuara miring terhadap gerakan Islam murni. Jadi, paling kurang,program yang berbau orientalis dan Yahudi kemungkinan akan dilindungi oleh Gus Dur. Disamping itu, sekalipun Harun Nasution sudah meninggal dunia namun kader-kadernya telah banyak, dan programnya telah berjalan.
Meskipun demikian, kebatilan yang mereka usung secara sistematis dan dibiayai oleh duit Muslimin lewat negara, insya Allah akan hancur juga, karena gelombang anti kolonialis, anti filsafat, anti tasawuf, anti bid`ah, anti orientalis yang menyesatkan, dan anti aneka tipuan Yahudi; semakin merebak. Diantara bukti nyata, gagasan reaktualisasinya Munawir Sjadzali, mentri agama yang lama, yang ingin mengubah hukum waris Islam, dari 2:1 antara bagian laki-laki dan perempuan menjadi 1:1;karena Munawir yang menganggap hukum Islam tentang waris itu tidak adil, ternyata gagasan itu luntur dengan habisnya masa jabatan kementrian beliau 1993.
Mengenai pembelaan samar terhadap tasawuf dalam buku Ensiklopedia itu bisa kita simak kutipan darinya sebagai berikut: “Paham-paham ittihad, hulul ataupun wahdah al wujud ini dipandang sesat dan menyesatkan oleh ulama-ulama syari`at. Oleh sebab itu, para penulis tentang tasawuf atau sufi pada abad ketiga dan keempat Hijriyah (masa subur dan berkembangnya paham tasawuf), seperti Abu Bakar Al-Kalabadi (w 380 H.) dan Abu Qasim Abdul Karim Al Qusyairi (w 465 H.), enggan menulis masalah-masalah tersebut. Uraian mengenai hal ini dapat dijumpai dalam tulisan-tulisan kaum orientalis. Kemudian penulis Islam pun tergerak kembali hasratnya untuk mengungkapkan khazanah lama miliknya itu.” Bagaimana buku itu menggambarkan seakan tasawuf itu suatu yang berharga sekali dan sayang kalau hilang, ditulis dalam baris-baris kutipan terakhir tersebut. Istilah yang dikemukakan pun tampak dibuat sedemikian rupa, hingga para ulama pun disebut “ulama-ulama syari`at”, seakan Islam itu tidak komplit kalau tidak pakai tasawuf.Sedang para ulama yang ahli hadits, fiqh, tafsir dan sebaiknya yang tentu saja faham benar tentang sesatnya tasawuf, disebutnya ulama-ulama syari`at.
Telah disebutkan diatas, bagaimana Imam Ahmad bin Hanbal menasehati murid-muridnya agar tidak mendekati orang-orang sufi. Imam Ahmad bin Hanbal adalah salah seorang yang termasuk imam empat yang sangat terkenal, yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi`I, dan Imam Hanbali. Dalam pembicaraan ilmu, hampir tak pernah mereka itu disebut ulama syari`at (untuk maksud bahwa ada ulama tasawuf) seperti penyebutan dalam Ensiklopedia itu, tetapi adalah imam (madzhab) yang empat, artinya mereka itu ulama, yang tingkatannya mujtahid mutlak, orang yang mampu berijtihad (mencurahkan pikiran untuk menentukan hukum syara` yang tidak ada dalam nash/teks ayat ataupun hadits) tanpa bersandar dari orang lain. Sehingga,ulama-ulama belakangan yang meneruskan ilmu para mujtahid atau imam madzhab tersebut, sebenarnya tidak perlu disebut ulama syari`at .Cukup disebut ulama. Namun orang sufi menyebutnya ulama syari`at karena dianggap tidak mengetahui yang batin atau yang ghaib. Padahal Nabi SAW sendiri tidak mengetahui yang ghaib, bahkan jelas-jelas menegaskan bahwa Nabi SAW tidak tahu apa yang diperbuat Allah SWT untuk Nabi SAW sendiri esok (lihat dalam Bab Aqidah). Allah SWT berfirman,
“Katakanlah ! Tidak ada yang dapat mengetahui perkara yang ghaib dilangit dan dibumi kecuali Allah .dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan” (An-Naml:65)
Ada sebagian delegasi yang datang ke Nabi SAW, mereka menganggap bahwa Nabi SAW termasuk orang yang mengaku bisa melihat yang ghaib, maka mereka menyembunyikan sesuatu didalam (genggaman) tangan mereka untuk beliau. Dan mereka berkata kepada beliau,” Kabarkanlah kepada kami, apa dia (yang ada dalam gemgaman kami ini) ? Lalu beliau menjawab kepada mereka dalam keadaan berteriak, “Aku bukan seorang dukun. Sesungguhnya dukun dan perdukunan serta dukun-dukun itu didalam neraka.” ( Diriwayatkan Abu Daud: 286 ). Kembali kepada buku tersebut, untuk menegaskan satu sikap dari satu buku, atau pun untuk mengemukakan bahwa sufi itu juga perlu dianggap bahwa disana ada ulamanya, maka maksud-maksud itu bisa dibaca pula.
Sebagaimana Abdurrahman Abdul Khaliq dalam bukunya yang menyoroti sufi itu menyebut sufi sebagai ad-dien as-shufi (agama sufi),bukan sekedar aliran sufi, karena memang sufi ataupun tasawuf dinilai sebagai diluar agama Islam. Hanya saja bedanya, pihak yang satu (pembela sufi) ingin mendorong agar sufi atau tasawuf dimasukkan ke Islam, sedang pihak yang lain (penolak sufi) menjelaskan dengan bukti-bukti dan dalil bahwa sufi atau tasawuf itu diluar Islam.  Kalau sudah demikian, maka jalan keluarnya, kita ikuti perintah Allah SWT ,
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (An-Nisaa`:59)
Coba kita kembalikan kepada Al Qur`an atau Sunnah Rasul, apakah memang aqidah sufi itu cocok. Aqidah sufi terutama ittihad, hulul,dan wihdatul wujud itu sudah mencampuri urusan ke-ghaib-an yang tertinggi, yaitu Dzat Allah SWT, padahal Nabi SAW telah menjelaskan ;”Demi Allah, sesungguhnya aku ini pasti utusan Allah SWT, (tetapi) aku tidak tahu apa yang akan Allah SWT kerjakan padaku esok.”(Diriwayatkan Al Bukhari dalam Fathul Bari;dan riwayat Imam Ahmad dari Ummul `Ala`Al-Andhariyah dengan semacamnya).

2. Aqidah Sufi Mengenai Rasulullah SAW

Sufisme dalam hal mempercayai Rasulullah SAW juga ada bermacam-macam aqidah. Diantaranya ada yang menganggap bahwa Rasulullah SAW tidak sampai pada derajat dan keadaan mereka (orang-orang sufi). Dan Nabi SAW (dianggap) jahil (bodoh) terhadap ilmu tokoh-tokoh tasawuf seperti perkataan Busthami,” Kami telah masuk lautan, sedang para nabi berdiri ditepinya.” Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, pengarang kitab Ila At-Tashawwuf ya`Ibadallaah menisbatkan perkataan tersebut kepada At-Tijani (pendiri tarekat At-Tijaniyah). Lalu Al-Jazairi berkomentar bahwa kelanjutan ucapan At-Tijani ini bahwa quthub-quthub (wali-wali yang ada dikutub-kutub dunia) sufi itu menurut pendapat mereka lebih tahu dibanding nabi-nabi tentang Allah SWT dan lebih mengerti tentang syari`at-Nya yang mengandung kecintaan dan kemarahan.” Bukankah (kepercayaan) ini merupakan kekafiran wahai hamba-hamba Allah SWT ?” komentar Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Khatib Masjid Nabawi Madinah. Diantara mereka (orang-orang sufi) ada yang mempercayai bahwa Rasulullah SAW itu adalah kubah alam, dan dia itulah dan dia itulah Allah yang bersemayam diatas arsy; sedangkan langit-langit, bumi, arsy, kursi, dan semua alam itu dijadikan dari nurnya (Nur Muhammad), dialah awal kejadian, yaitu yang bersemayam diatas Arsy Allah SWT. Inilah aqidah Ibnu Arabi dan orang-orang yang datang setelahnya/pengikutnya.

3. Aqidah Sufi Mengenai Wali-wali

Sufisme dalam hal wali-wali juga mempercayai dengan kepercayaan yang bermacam-macam. Diantara mereka ada yang melebihkan wali-wali diatas nabi. Pada umumnya orang sufi menjadikan wali itu menyamai/sejajar dengan Allah dalam segala sifatnya, maka ia ( wali ) itu mencipta,memberi rezki, menghidupkan, mematikan, dan mengatur alam.
Orang sufi membagi-bagi wali menjadi beberapa bagian, ada yang disebut wali Al-Ghauts yang mempunyai kemauan sendiri dalam segala sesuatu didunia ini, dan ada empat wali Kutub yang memegangi pojok-pojok yang empat didunia ini atas perintah wali Al-Ghauts. Dan ada wali Abdal yang tujuh, masing-masing mempunyai kekuasaan disatu benua dari tujuh benua atas perintah wali Al-Ghauts. Dan ada wali Nujaba`, yang mereka itu memiliki kekuasaan dikota-kota setiap wilayah dikota. Dikota-kota, demikianlah seterusnya, maka jaringan wali-wali Internasional ini menguasai makhluk, dan mereka punya dewan tempat mereka berkumpul yaitu di Gua Hira`, setiap malam mereka melihat taqdir.
Pendek kata, dunia perwalian (sufi) itu adalah dunia khurafat  (kepercayaan yang menyeleweng dari kemurnian Islam) total. Ini otomatis berbeda dengan kewalian dalam Islam yang ditegakkan diatas agama dan taqwa, amal shaleh dan ibadah yang sempurna kepada Allah, dan membutuhkan (pertolongan) Allah SWT. Sebenarnya wali itu tidak bisa mengurusi urusan dirinya sendiri (untuk mendatangkan manfaat dan mudharat) sedikitpun, lebih-lebih untuk menguasai orang lain. Allah SWT berfirman :
“Katakanlah,`Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan suatu kemadharatan pun kepadamu dan tidak (pula) suatu kemanfaatan`.” (Al-Jinn:21)
Sebagian cerita yang dikisahkan orang-orang sufi memang terjadi,namun bercampur dengan sihir, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah dalam bukunya yang berjudul Al-Furqan baina Auliya`ir Rahman wa Auliya`is Syaithan (Perbedaan antara wali-wali Tuhan dan wali-wali Syetan). Buku ini muncul waktu orang-orang mencampur adukkan antara sihir dan karamah. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagian orang musyrik, baik dari Bangsa Arab, India, Turki,Yunani maupun bangsa lain, mempunyai kegigihan dalam bidang ilmu,kezuhudan, dan ibadah; namun mereka tidak mengikuti dan tidak beriman kepada para Rasul, dan tidak membenarkan berita-berita yang Rasul bawa, dan tidak mentaati perintahnya.
Orang-orang seperti itu bukanlah orang-orang yang beriman, dan bukan pula wali-wali Allah SWT. Mereka adalah orang-orang yang dihubungi oleh syetan-syetan.Mereka dapat mengungkapkan beberapa perkara gaib, mereka memiliki beberapa perilaku luar biasa yang merupakan bagian dari sihir.Mereka itu adalah tukang sihir yang dihampiri syetan-syetan. Allah SWT berfirman,
” Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa syetan-syetan itu turun ?

Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa. Mereka
menghadapkan pendengaran (kepada syetan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta.”  (As-Syu`ara:221-223)
Mereka bersandar kepada, mukasyafat (penyingkapan perkara-perkara yang ghaib) dan hal-hal yang luar biasa. Apabila mereka tidak mengikuti Rasul, tentu amalan-amalan mereka mengandung dosa seperti kemusyrikan, kedzaliman, kekejian, sikap berlebihan, atau bid`ah dalam ibadah. Mereka dihampiri dan didatangi syetan-syetan, sehingga mereka menjadi wali-wali syetan, bukan wali-wali Ar-Rahman (Tuhan). Allah SWT berfirman,
” Barang siapa yang berpaling dari pengajaran (Allah) Yang Maha Pemurah (Al Qur`an), kami adakan baginya syetan (yang menyesatkan), dan syetan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (Az-Zukhruf:43:36)
Pengajaran Allah SWT adalah pengajaran yang dibawa oleh Rasul-Nya, yakni Al Qur`an.Barang siapa tidak beriman kepada Al Qur`an, tidak membenarkan beritanya, dan tidak meyakini kewajiban perintahnya, berarti dia telah berpaling dari Al Qur`an, kemudian syetan datang menjadi teman setia baginya.
Seseorang yang selalu berdzikir kepada Allah SWT, baik malam maupun siang, disertai dengan puncak kezuhudan dan kesungguhan beribadah kepada-Nya, namun tidak mengikuti dzikir yang Allah SWT turunkan,yakni Al Qur`an, maka dia termasuk wali syetan, meskipun dia mampu terbang diangkasa atau berjalan diatas air. Syetanlah yang membawanya ke angkasa sehingga ia mampu terbang.

4. Aqidah Sufi Mengenai Surga dan Neraka

Mayoritas orang sufi (menurut Abdurrahman Abdul Khaliq, semuanya) berkeyakinan bahwa menuntut syurga merupakan suatu aib besar. Seprang wali tidak boleh menuntutnya (mencari syurga) dan barang siapa menuntutnya, ia telah berbuat aib.Menurut mereka yang patut dituntut adalah al-fana` (menghancurkan diri dalam proses untuk menyatu dengan Allah) yang mereka klaim (da`wakan) terhadap Allah, dan melihat keghaiban, dan mengatur alam.Inilah syurga orang sufi yang mereka klaim.
Adapun mengenai neraka, orang sufi berkeyakinan juga bahwa lari darinya itu tidak layak bagi orang sufi yang sempurna. Karena takut dari neraka itu watak budak bukan orang-orang merdeka. Diantara mereka ada yang berbangga diri bahwa  seandainya ia meludah keneraka pasti memadamkan neraka, seperti kata Abu Yazid Al-Busthami. Dan orang sufi yang berkeyakinan dengan wihdatul wujud (menyatu dengan Tuhan), diantara mereka ada yang mempercayai bahwa orang-orang yang memasuki neraka akan merasakan kesegaran dan kenikmatannya, tidak kurang dari kenikmatan syurga, bahkan lebih. Inilah pendapat Ibnu Arabi dan aqidahnya. Seperti disebutkan dalam buku Ibnu Arabi,Fushushul Hukm.
Orang jahil dimasa kita sekarang kadang menyangka bahwa aqidah mengenai syurga (model sufi) ini adalah aqidah yang tinggi, yaitu manusia menyembah Allah tidak mengharapkan syurga dan tidak takut neraka. Ini tidak diragukan lagi jelas meneyelisihi aqidah kita yang terdapat dalam Al Qur`an dan As Sunnah. Allah telah mensifati keadaan para nabi dalam ibadah mereka bahwa :
” Mereka berdoa kepada kami dengan harap (roghoban) dan takut (rohaban). Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu”. (Al-Anbiyaa`:90)
A-roghob yaitu mengharapkan syurga Allah S.W.T dan keutamaan-Nya, sedang ar-rohab yaitu takut dari siksa-Nya, padahal para Nabi itu adalah sesempurna-sempurnanya manusia (segi) aqidahnya,keimanannya dan keadaannya.Dan landasan dari As Sunnah, perkataan seorang Arab Badui kepada Rasulullah, “Wallahi, sungguh aku tidak bisa mencontoh dengan baik bacaan lirihmu (dan danik suara tak terdengarmu) dan bacaan lirih Mu`adz. Namun hanya aku katakan,`Ya Allah, aku mohon syurga kepada-Mu, dan berlindung kepada-Mu dari neraka.` Lalu Rasulullah berkata,`Sekitar itu juga bacaan lirih kami`.” (Diriwayatkan Ibnu Majah)
Keadaan yang diupayakan oleh orang-orang sufi untuk mewujudkan yaitu beribadah kepada Allah tanpa mengharapkan syurga dan tanpa takut akan neraka, maka menyeret mereka kepada bencana.Mereka berusaha kepada tujuan yang lain dengan ibadah yaitu yang disebut fana` (meleburkan diri) dengan Tuhan dan ini menyeret mereka kepada al-jadzdzab(merasa melekat dengan Tuhan), kemudian menyeret mereka pula kepada al-hulul  (inkarnasi/penjelmaan Tuhan dalam diri manusia), kemudian menyeret mereka pula pada puncaknya kepada wihdatul wujud (menyatunya Tuhan dengan hamba/manunggaling kawula Gusti)

5. Aqidah Sufi Mengenai Iblis dan Fir`aun

Mengenal iblis,kebanyakan orang sufi,khususnya para penganut kepercayaan wihdatul wujud,berkeyakinan bahwa iblis adalah hamba yang paling sempurna dan makhluk yang paling utama tauhidnya. Karena menurut anggapan mereka,iblis tidak mau sujud kecuali kepada Allah.Dan mereka mengklaim bahwa Allah telah mengampuni dosa-dosa iblis dan akan memasukkannya ke syurga.Demikian pula anggapan mereka,Fir`aun adalah seutama-utamanya ornag yang mentauhidkan (mengesakan) Allah (muwahidien).Karena Fir`aun berkata,”Saya adalah Tuhanmu yang tertinggi”,maka ia mengetahui hakikat,karena setiap yang wujud itu adalah Allah,kemudian dia (Fir`aun) menurut klaim mereka,telah beriman dan masuk syurga.

Kekeliruan ajaran tasawuf

Oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc
Sejarah Munculnya Tasawuf dan Sufi
Tasawuf (تَصَوُّف) diidentikkan dengan sikap berlebihan dalam beribadah, zuhud dan wara’ terhadap dunia. Pelakunya disebut Shufi (selanjutnya ditulis Sufi menurut ejaan yang lazim, red) (صُوْفِيٌّ), dan jamaknya adalah Sufiyyah (صُوْفِيَّةٌ). Istilah ini sesungguhnya tidak masyhur di jaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, shahabat-shahabatnya, dan para tabi’in. Sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Adapun lafadz Sufiyyah bukanlah lafadz yang masyhur pada tiga abad pertama Islam. Dan setelah masa itu, penyebutannya menjadi masyhur.” (Majmu’ Fatawa, 11/5)
Bashrah, sebuah kota di Irak, merupakan tempat kelahiran Tasawuf dan Sufi. Di mana sebagian ahli ibadahnya mulai berlebihan dalam beribadah, zuhud, dan wara’ terhadap dunia (dengan cara yang belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam), hingga akhirnya memilih untuk mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuf/صُوْفٌ ).
Meski kelompok ini tidak mewajibkan tarekatnya dengan pakaian semacam itu, namun atas dasar inilah mereka disebut dengan “Sufi”, sebagai nisbat kepada Shuf (صُوْفٌ). Jadi, lafadz Sufi bukanlah nisbat kepada Ahlush Shuffah yang ada di jaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, karena nisbat kepadanya adalah Shuffi (صُفِّيٌ). Bukan pula nisbat kepada shaf terdepan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena nisbat kepadanya adalah Shaffi (صَفِّيٌ).
Demikian juga bukan nisbat kepada makhluk pilihan Allah الصَّفْوَةُمِنْخَلْقِاللهِ karena nisbat adalah Shafawi ز(صَفَوِيٌّ) . Dan bukan pula nisbat kepada Shufah bin Bisyr (salah satu suku Arab) meski secara lafadz bisa dibenarkan. Namun secara makna sangatlah lemah, karena antara suku tersebut dengan kelompok Sufi tidak berkaitan sama sekali.
Para ulama Bashrah yang mengalami masa kemunculan kelompok sufi, tidaklah tinggal diam. Sebagaimana diriwayatkan Abu Asy-Syaikh Al-Ashbahani rahimahullah dengan sanadnya dari Muhammad bin Sirin rahimahullah, bahwasanya telah sampai kepadanya berita tentang orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba. Maka beliau berkata: “Sesungguhnya ada orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba dengan alasan untuk meneladani Al-Masih bin Maryam! Maka petunjuk Nabi kita lebih kita cintai, beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam biasa mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan katun, dan yang selainnya.” (Diringkas dari Majmu’ Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal. 5, 6, 16)
Asy-Syaikh Muhammad Aman bin ‘Ali Al-Jami rahimahullah berkata: “Demikianlah munculnya jahiliyah Tasawuf, dan dari kota inilah (Bashrah) ia tersebar.” (At-Tasawuf Min Shuwaril Jahiliah, hal. 5)

Siapakah Peletak Ilmu Tasawuf?

Ibnu ‘Ajibah, seorang Sufi Fathimi, mengklaim bahwa peletak ilmu Tasawuf adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sendiri. Beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam, menurut Ibnu ‘Ajibah, mendapatkannya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui wahyu dan ilham. Kemudian Ibnu ‘Ajibah berbicara panjang lebar tentang hal ini dengan sekian banyak bumbu keanehan dan kedustaan, yaitu: “Jibril pertama kali turun kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa ilmu syariat. Dan ketika ilmu itu telah mantap, maka turunlah ia untuk kedua kalinya dengan membawa ilmu hakikat. Beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam pun mengajarkan ilmu hakikat ini pada orang-orang khusus saja. Dan yang pertama kali menyampaikan Tasawuf adalah ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, dan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah menimba darinya.” (Iqazhul Himam Fi Syarhil Hikam, hal. 5 dinukil dari At-Tasawuf Min Shuwaril Jahiliyah, hal.8)
Asy-Syaikh Muhammad Aman bin ‘Ali Al-Jami rahimahullah berkata: “Perkataan Ibnu ‘Ajibah ini merupakan tuduhan keji lagi lancang terhadap Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Dengan kedustaan, ia telah menuduh bahwa beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam menyembunyikan kebenaran. Dan tidaklah seseorang menuduh Nabi dengan tuduhan tersebut, kecuali seorang zindiq yang keluar dari Islam dan berusaha untuk memalingkan manusia dari Islam jika ia mampu. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah perintahkan Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menyampaikan kebenaran tersebut dalam firman-Nya :
“Wahai Rasul sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu oleh Rabbmu. Dan jika engkau tidak melakukannya, maka engkau tidak menyampaikan risalah-Nya.” (Al Maidah: 67)
Beliau juga berkata: “Adapun pengkhususan Ahlul Bait dengan sesuatu dari ilmu dan agama, maka ini merupakan pemikiran yang diwarisi orang-orang Sufi dari pemimpin-pemimpin mereka (Syi’ah). Dan benar-benar ‘Ali bin Abi Thalib Radhiayallahu ‘anhu sendiri yang membantahnya, sebagaimana diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullah dari hadits Abu Thufail ‘Amir bin Watsilah Radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata: “Suatu saat aku pernah berada di sisi ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Maka datanglah seorang laki-laki seraya berkata: ‘Apa yang pernah dirahasiakan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam kepadamu?’ Maka Ali pun marah lalu mengatakan: ‘Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam belum pernah merahasiakan sesuatu kepadaku yang tidak disampaikan kepada manusia! Hanya saja beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam pernah memberitahukan kepadaku tentang empat perkara.’ Abu Thufail Radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Apa empat perkara itu wahai Amirul Mukminin?’ Beliau menjawab: ‘Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “(Artinya) Allah melaknat seseorang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat seorang yang menyembelih untuk selain Allah, Allah melaknat seorang yang melindungi pelaku kejahatan, dan Allah melaknat seorang yang mengubah tanda batas tanah’.” (At-Tasawuf Min Shuwaril Jahiliah, hal. 7-

Hakikat Tasawuf

Dari bahasan di atas, Tasawuf jelas bukan ajaran Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan bukan pula ilmu warisan dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Lalu dari manakah ajaran Tasawuf ini?

Asy-Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata: “Ketika kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka kita dapati sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam, dan para shahabatnya yang mulia lagi baik, yang mereka adalah makhluk-makhluk pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi, dan zuhud Budha.” (At-Tasawuf Al-Mansya’ Wal Mashadir, hal. 2
Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Wakil rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Tasawuf merupakan tipu daya setan yang paling tercela lagi hina untuk menggiring hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam memerangi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya ia (Tasawuf) merupakan topeng bagi Majusi agar tampak sebagai seorang Rabbani, bahkan ia sebagai topeng bagi setiap musuh (Sufi) di dalam memerangi agama yang benar ini. Periksalah ajarannya! Niscaya engkau akan mendapati di dalamnya ajaran Brahma (Hindu), Buddha, Zaradisytiyyah, Manawiyyah, Dishaniyyah, Aplatoniyyah, Ghanushiyyah, Yahudi, Nashrani, dan Berhalaisme Jahiliyyah.” (Muqaddimah kitab Mashra’ut Tasawuf, hal. 19)2

Keterangan para ulama di atas menunjukkan bahwasanya ajaran Tasawuf bukanlah dari Islam. Bahkan ajaran ini merupakan kumpulan dari ajaran-ajaran sesat yang berusaha disusupkan ke tengah-tengah umat untuk menjauhkan mereka dari agama Islam yang benar.

Kesesatan-Kesesatan Ajaran Tasawuf

Di antara sekian banyak kesesatan ajaran Tasawuf adalah:
1. Wihdatul Wujud, yakni keyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatu dengan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Demikian juga Al-Hulul, yakni keyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat menjelma dalam bentuk tertentu dari makhluk-Nya (inkarnasi).
Al-Hallaj, seorang dedengkot sufi, berkata: “Kemudian Dia (Allah) menampakkan diri kepada makhluk-Nya dalam bentuk orang makan dan minum.” (Dinukil dari Firaq Al-Mua’shirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Iwaji, 2/600)
Ibnu ‘Arabi, tokoh sufi lainnya, berkata: “Seorang hamba adalah Rabb dan Rabb adalah hamba. Duhai kiranya, siapakah yang diberi kewajiban beramal? Jika engkau katakan hamba, maka ia adalah Rabb. Atau engkau katakan Rabb, kalau begitu siapa yang diberi kewajiban?” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah dinukil dari Firaq Al-Mu’ashirah, hal. 601)
Muhammad Sayyid At-Tijani meriwayatkan (secara dusta, pen) dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda:
“Aku melihat Rabbku dalam bentuk seorang pemuda.” (Jawahirul Ma’ani, karya ‘Ali Harazim, 1/197, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, hal. 615)
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)
“Berkatalah Musa: ‘Wahai Rabbku nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.’ Allah berfirman: ‘Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihatku’…” (Al-A’raf: 143)
2. Seorang yang menyetubuhi istrinya, tidak lain ia menyetubuhi Allah Subhanahu wa Ta’ala
Ibnu ‘Arabi berkata: “Sesungguhnya seseorang ketika menyetubuhi istrinya tidak lain (ketika itu) ia menyetubuhi Allah!” (Fushushul Hikam).1 Betapa kufurnya kata-kata ini…, tidakkah orang-orang Sufi sadar akan kesesatan gembongnya ini?
3. Keyakinan kafir bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah makhluk dan makhluk adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, masing-masing saling menyembah kepada yang lainnya
Ibnu ‘Arabi berkata: “Maka Allah memujiku dan aku pun memuji-Nya. Dan Dia menyembahku dan aku pun menyembah-Nya.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah).2
Padahal Allah Ta’ala telah berfirman:
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
“Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Allah Yang Maha Pemurah dalam keadaan sebagai hamba.” (Maryam: 93)
4. Keyakinan tidak ada bedanya antara agama-agama yang ada
Ibnu ‘Arabi berkata: “Sebelumnya aku mengingkari kawanku yang berbeda agama denganku. Namun kini hatiku bisa menerima semua keadaan, tempat gembala rusa dan gereja pendeta, tempat berhala dan Ka’bah, lembaran-lembaran Taurat dan Mushaf Al Qur’an.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah).3
Jalaluddin Ar-Rumi, seorang tokoh sufi yang sangat kondang, berkata: “Aku seorang muslim, tapi aku juga seorang Nashrani, Brahmawi, dan Zaradasyti. Bagiku, tempat ibadah adalah sama… masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala.”4
Padahal Allah Ta’ala berfirman:
“Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya. Dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran: 85)
5. Bolehnya menolak hadits yang jelas-jelas shahih
Ibnu ‘Arabi berkata: “Kadangkala suatu hadits shahih yang diriwayatkan oleh para perawi-perawinya, tampak hakikat keadaannya oleh seseorang mukasyif (Sufi yang mengetahui ilmu ghaib dan batin). Ia bertanya kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam secara langsung: “Apakah engkau mengatakannya?” Maka beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam mengingkarinya seraya berkata: “Aku belum pernah mengatakannya dan belum pernah menghukuminya dengan shahih.” Maka diketahuilah, dari sini lemahnya hadits tersebut dan tidak bisa diamalkan sebagaimana keterangan dari Rabbnya walaupun para ulama mengamalkannya berdasarkan isnadnya yang shahih.” (Al-Futuhat Al-Makkiyah).1
6. Pembagian ilmu menjadi syariat dan hakikat.
Di mana bila seseorang telah sampai pada tingkatan hakikat berarti ia telah mencapai martabat keyakinan yang tinggi kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, menurut keyakinan Sufi, gugur baginya segala kewajiban dan larangan dalam agama ini.

Mereka berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al Qur’an Surat Al-Hijr ayat 99:
yang mana mereka terjemahkan dengan: “Dan beribadahlah kepada Rabbmu hingga datang kepadamu keyakinan.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Tidak diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan iman, bahwasanya perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kekafiran dan yang paling berat. Ia lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nashrani karena Yahudi dan Nashrani beriman dengan sebagian isi Al Kitab dan mengkufuri sebagian lainnya. Sedangkan mereka adalah orang-orang kafir yang sesungguhnya (karena mereka berkeyakinan dengan sampainya kepada martabat. Hakikat tidak lagi terkait dengan kewajiban dan larangan dalam agama ini, pen).” (Majmu’ Fatawa, 11/401)

Beliau juga berkata: “Adapun pendalilan mereka dengan ayat tersebut, maka justru merupakan bumerang bagi mereka. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata: ‘Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan batas akhir beramal bagi orang-orang beriman selain kematian’, kemudian beliau membaca Al Qur’an Surat Al-Hijr ayat 99, yang artinya: ‘Dan beribadahlah kepada Rabbmu hingga datang kepadamu kematian’.”
Beliau melanjutkan: “Dan bahwasanya ‘Al-Yaqin’ di sini bermakna kematian dan setelahnya, dengan kesepakatan ulama kaum muslimin.” (Majmu Fatawa, 11/41)
7. Keyakinan bahwa ibadah kepada Allah itu bukan karena takut dari adzab Allah (an-naar/ neraka) dan bukan pula mengharap jannah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Padahal Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Dan peliharalah diri kalian dari an-naar (api neraka) yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (’Ali Imran: 131)
“Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb kalian dan kepada jannah (surga) yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.” (’Ali Imran: 133)
8. Dzikirnya orang-orang awam adalah  “laa ilaha ilallasedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus adalah “ Allah”, “huwa”, dan “ aah” saja.
Padahal Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Afdholu dzikri fa’lam annahu laa ilaaha ilaaha
“Sebaik-baik dzikir adalah la ilaha ilallah .” (HR. At-Tirmidzi, dari shahabat Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 1104).1
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Dan barangsiapa yang beranggapan bahwa laa ilaaha ilallah ه adalah dzikirnya orang awam, sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus adalah “هُوَ / Huu”, maka ia seorang yang sesat dan menyesatkan.” (Risalah Al-’Ubudiyah, hal. 117-118, dinukil dari Haqiqatut Tasawuf, hal. 13)
9. Keyakinan bahwa orang-orang Sufi mempunyai ilmu kasyaf (yang dapat menyingkap hal-hal yang tersembunyi) dan ilmu ghaib.
Allah Subhanahu wa Ta’ala dustakan mereka dalam firman-Nya :“Katakanlah tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib kecuali Allah.” (An-Naml: 65)
10. Keyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam dari nur/ cahaya-Nya, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan segala sesuatu dari cahaya Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Katakanlah (Wahai Muhammad), sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku …” (Al-Kahfi: 110).
“(Ingatlah) ketika Rabbmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku akan ciptakan manusia dari tanah liat.” (Shad: 71)
11. Keyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan dunia ini karena Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam.

Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Demikianlah beberapa dari sekian banyak ajaran Tasawuf, yang dari ini saja, nampak jelas kesesatannya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjauhkan kita dari kesesatan-kesesatan tersebut …
Keterkaitan Antara Sufi dengan Kelompok “JI”
Keterkaitan antara Sufi dengan kelompok “JI” (Jama’ah Tabligh dan Ikhwanul Muslimin) sangatlah erat karena pendiri kelompok “JI” ini adalah seorang Sufi. Jama’ah Tabligh, didirikan oleh Muhammad Ilyas Al-Kandahlawi seorang Sufi dari tarekat Jisytiyyah. Dan seiring bergulirnya waktu, Jama’ah Tabligh kemudian berbai’at di atas empat tarekat Sufi: Jisytiyyah, Qadiriyyah, Sahruwardiyyah, dan Naqsyabandiyyah. (Lihat kitab Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, karya Asy-Syaikh Hasan Janahi, hal. 2, 12.)
Adapun Ikhwanul Muslimin, pendirinya adalah Hasan Al-Banna, seorang Sufi dari tarekat Hashafiyyah, sebagaimana yang ia katakan sendiri: “…Di Damanhur aku bergaul dengan kawan-kawan dari tarekat Hashafiyyah dan setiap malamnya aku selalu mengikuti acara hadhrah yang diadakan di Masjid At-Taubah…”
Ia juga berkata: “Terkadang kami berziarah ke daerah Azbah Nawam, karena di sana terdapat makam Asy-Syaikh Sayyid Sanjar, salah seorang dari tokoh tarekat Hashafiyyah.” (Mudzakkiratud Da’wah Wad Da’iyah, hal. 19, 23, dinukil dari kitab Fitnatut Takfir Wal Hakimiyah, karya Muhammad bin Abdullah Al-Husain, hal. 63-64)
Wallahu a’lam bish shawab.


Sejarah sufi..sejarah para ahlul bidah dan penghayal berat

Sejarah Munculnya
Tasawuf (تَصَوُّف) adalah istilah yang diidentikkan dengan sikap berlebihan dalam beribadah, zuhud dan wara’ terhadap dunia. Pelakunya disebut Shufi (صُوْفِيٌّ), dan jamaknya adalah Shufiyyah (صُوْفِيَّةٌ). Istilah ini sesungguhnya baru dan tidak masyhur di jaman Rasulullah , para shahabatnya, dan para tabi’in. Sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : “Adapun lafadz Sufhiyyah bukanlah lafadz yang masyhur pada tiga abad pertama Islam. Dan setelah masa itu, penyebutannya menjadi masyhur.” (Majmu’ Fatawa, 11/5).
Bashrah, sebuah kota di Irak, merupakan tempat kelahiran Tasawuf. Di mana sebagian ahli ibadahnya mulai berlebihan dalam beribadah, zuhud, dan wara’ terhadap dunia (dengan cara yang belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah ), hingga akhirnya memilih untuk mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuf/صُوْفٌ ).
Meski kelompok ini tidak mewajibkan pengikutnya mengenakan pakaian jenis ini, namun atas dasar inilah mereka disebut dengan “Shufi”, sebagai nisbat kepada Shuf (صُوْفٌ).
Hakikat Tasawuf
Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata : “Ketika kita telusuri, ajaran Shufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka kita dapati sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah.
Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Shufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad , dan para shahabatnya yang mulia lagi baik, yang mereka adalah makhluk-makhluk pilihan Allah Subhanahu Wa Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Shufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi, dan zuhud Budha.” (At-Tasawuf Al-Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28).
Syaikh Abdurrahman Al-Wakil rahimahullah berkata : “Sesungguhnya Tasawuf merupakan tipu daya setan yang paling tercela lagi hina untuk menggiring hamba-hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam memerangi Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya . Sesungguhnya ia (Tasawuf) merupakan topeng bagi Majusi agar tampak sebagai seorang Rabbani, bahkan ia sebagai topeng bagi setiap musuh (Shufi) di dalam memerangi agama yang benar ini. Periksalah ajarannya! Niscaya engkau akan mendapati di dalamnya ajaran Brahma (Hindu), Buddha, Zaradisytiyyah, Manawiyyah, Dishaniyyah, Aplatoniyyah, Ghanushiyyah, Yahudi, Nashrani, dan Berhalaisme Jahiliyyah.” (Muqaddimah kitab Mashra’ut Tasawuf, hal. 19).
Keterangan para ulama di atas menunjukkan bahwasanya ajaran Tasawuf bukanlah dari Islam. Bahkan ajaran ini merupakan kumpulan dari ajaran-ajaran sesat yang berusaha disusupkan ke tengah-tengah umat untuk menjauhkan mereka dari agama Islam yang benar.
Kesesatan Ajaran Tasawuf
Di antara sekian banyak kesesatan ajaran Tasawuf, di antaranya adalah :
1. Keyakinan Wihdatul Wujud, yakni keyakinan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyatu dengan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Demikian juga al-Hulul, yakni keyakinan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala dapat menjelma dalam bentuk tertentu dari makhluk-Nya (inkarnasi).
Mereka berkeyakinan, siapa saja yang menempuh jalan ilmu batin, pada akhirnya akan mencapai tingkatan melebur bersama dzat Allah Subhanahu Wa Ta’ala . Ketika itulah ia menempati dzat tersebut, hingga bercampur sifat ketuhanan dengan tabiat kemanusiaan. Bentuk lahirnya manusia, tetapi hakikat batinnya adalah sifat ketuhanan.
Keyakinan menyimpang ini dapat kita lihat dalam perkataan beberapa tokoh mereka, di antaranya :
Al-Hallaj, seorang dedengkot shufi, berkata : “Kemudian Dia (Allah) menampakkan diri kepada makhluk-Nya dalam bentuk orang makan dan minum.” (Dinukil dari Firaq Al-Mua’shirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Iwaji, 2/600).
Ibnu ‘Arabi, tokoh shufi lainnya, berkata : “Seorang hamba adalah Rabb dan Rabb adalah hamba. Duhai kiranya, siapakah yang diberi kewajiban beramal? Jika engkau katakan hamba, maka ia adalah Rabb. Atau engkau katakan Rabb, kalau begitu siapa yang diberi kewajiban?” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah dinukil dari Firaq Al-Mu’ashirah, hal. 601).
Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman, artinya : “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11).
2. Seorang yang menyetubuhi istrinya, tidak lain ia menyetubuhi Allah Subhanahu Wa Ta’ala . Tokoh mereka, Ibnu ‘Arabi berkata: “Sesungguhnya seseorang ketika menyetubuhi istrinya tidak lain (ketika itu) ia menyetubuhi Allah!” (Fushushul Hikam).
Wallahul Musta’an. Betapa buruk dan kufurnya kata-kata ini!
3. Keyakinan kafir bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah makhluk dan makhluk adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala, masing-masing saling menyembah kepada yang lainnya. Ibnu ‘Arabi berkata : “Maka Allah memujiku dan aku pun memuji-Nya. Dan Dia menyembahku dan aku pun menyembah-Nya.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah).
Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman, artinya : “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56). Di sini, jelas Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah Sang Pencipta (Khalik) dan Manusia dan Jin adalah ciptaan (makhluk).
4. Keyakinan tidak ada bedanya antara agama-agama yang ada. Ibnu ‘Arabi berkata : “Sebelumnya aku mengingkari kawanku yang berbeda agama denganku. Namun kini hatiku bisa menerima semua keadaan, tempat gembala rusa dan gereja pendeta, tempat berhala dan Ka’bah, lembaran-lembaran Taurat dan Mushaf Al Qur’an.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah).
Jalaluddin Ar-Rumi, seorang tokoh shufi yang sangat kondang, berkata: “Aku seorang muslim, tapi aku juga seorang Nashrani, Brahmawi, dan Zaradasyti. Bagiku, tempat ibadah adalah sama… masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala.”
Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, artinya : “Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya. Dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran: 85).
5. Bolehnya menolak hadits yang jelas-jelas shahih. Ibnu ‘Arabi berkata: “Kadangkala suatu hadits shahih yang diriwayatkan oleh para perawi-perawinya, tampak hakikat keadaannya oleh seseorang mukasyif (Shufi yang mengetahui ilmu ghaib dan batin). Ia bertanya kepada Nabi secara langsung: “Apakah engkau mengatakannya?” Maka beliau mengingkarinya seraya berkata: “Aku belum pernah mengatakannya dan belum pernah menghukuminya dengan shahih.” Maka diketahuilah, dari sini lemahnya hadits tersebut dan tidak bisa diamalkan sebagaimana keterangan dari Rabbnya walaupun para ulama mengamalkannya berdasarkan isnadnya yang shahih.” (Al-Futuhat Al-Makkiyah).
6. Pembagian ilmu menjadi syariat dan hakikat. Di mana bila seseorang telah sampai pada tingkatan hakikat berarti ia telah mencapai martabat keyakinan yang tinggi kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala . Oleh karena itu, menurut keyakinan Shufi, gugur baginya segala kewajiban dan larangan dalam agama ini.
Mereka berkat bahwa syari’at, bila dibandingkan dengan hakikat, laksana buih. Hakikat merupakan tingkatan paling sempurna, puncak dan sangat tinggi dalam tangga peribadahan Islam.
Mereka berdalil dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Al Qur’an Surat Al-Hijr ayat 99 :
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
Yang mana mereka terjemahkan dengan: “Dan beribadahlah kepada Rabbmu hingga datang kepadamu keyakinan.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Tidak diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan iman, bahwasanya perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kekafiran dan yang paling berat. Ia lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nashrani karena Yahudi dan Nashrani beriman dengan sebagian isi Al Kitab dan mengkufuri sebagian lainnya. Sedangkan mereka adalah orang-orang kafir yang sesungguhnya (karena mereka berkeyakinan dengan sampainya kepada martabat. Hakikat tidak lagi terkait dengan kewajiban dan larangan dalam agama ini).” (Majmu’ Fatawa, 11/401).
Beliau rahimahullah melanjutkan : “Dan bahwasanya ‘Al-Yaqin’ di sini bermakna kematian dan setelahnya, dengan kesepakatan ulama kaum muslimin.” (Majmu Fatawa, 11/418).
7. Keyakinan bahwa orang-orang Shufi mempunyai ilmu kasyaf (yang dapat menyingkap hal-hal yang tersembunyi) dan ilmu ghaib. Allah Subhanahu Wa Ta’ala dustakan mereka dalam firman-Nya, artinya : “Katakanlah tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib kecuali Allah.” (QS. An-Naml: 65).
8. Keyakinan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan Nabi Muhammad dari nur/ cahaya-Nya, dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala ciptakan segala sesuatu dari cahaya Nabi Muhammad . Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, artinya : “(Ingatlah) ketika Rabbmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku akan ciptakan manusia dari tanah liat.” (QS. Shad: 71).
Demikianlah beberapa dari sekian banyak ajaran Tasawuf, yang dari ini saja, nampak jelas kesesatannya. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjauhkan kita dari kesesatan-kesesatan tersebut. Wallahu a’lam.
Sumber :
1.Artikel : Mewaspadai Sufi, oleh : Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc ;
2.Disadur dari Kitab al-Islam fi-Dha’u Al-Kitab wa As-Sunnah, cet.II, hal. 81-97, oleh Syaikh Salim Al-Hilali dan Ziyad Ad-Dabij;

Ajaran Tasawuf Merusak Aqidah Islam (‘Abdul Azîz Bin ‘Abdullâh Al-Husaini)
Apa Yang Dikatakan Imam Syafii terhadap orang yang belajar tasawuf??
https://aslibumiayu.net/4406-apa-yang-dikatakan-imam-syafii-terhadap-orang-yang-belajar-tasawuf.html
HARAM Belajar ILMU KALAM, Kata Imam Syafii dan Nawawi, Begini Cara Imam Syafii Menghukumnya
https://aslibumiayu.net/11725-haram-belajar-ilmu-kalam-kata-imam-syafii-dan-nawawi.html
Tasawuf/Filsafat Diajarkan Di Kampus Islam, Apa Kata Imam Syafii Tentang Tasawuf?
https://aslibumiayu.net/7768-tasawuffilsafat-diajarkan-di-kampus-islam-apa-kata-imam-syafii-tentang-tasawuf.html
Tanggapan Para  Ulama Ke atas kitab Ihya’ ‘Ulumuddin dan Tasawuf  Imam Al-Ghazali.