Monday, August 15, 2016

Ulama Rabbani Dalam Perspektif Al-Quran Dan As-Sunnah

Ulama Rabbani Dalam Perspektif al-Quran dan as-Sunnah (2)

Persepsi kebanyakan orang dalam menilai seorang ulama yang dijadikan figur teladan sangat beragam. Sebagian orang menyangka bahwa tanda seorang yang berilmu adalah dia memiliki banyak hafalan dan karya tulis ilmiah.
Sebagian lagi menyangka bahwa tanda seorang ulama adalah segudang gelar akademik atau non akademik yang diraih seperti : Lc, MA, Doktor, Profesor, KH, Syaikh, Ustadz dan yang lain.

Adapula yang mengira bahwa seorang ulama adalah sebatas ahli retorika, fasih dalam berbahasa dan pandai merangkai kata dalam menyampaikan pesan-pesan agama.

Bermuara dari anggapan yang keliru semacam ini, akhirnya tidak sedikit yang salah memosisikan seseorang sebagai ulama. Seorang yang tidak pantas disebut ulama dan tidak layak diteladani ternyata dinobatkan sebagai ulama, disanjung setinggi langit dan dijadikan rujukan umat.

Sebaliknya seorang yang sejatinya alim rabbani rujukan umat, justru tidak dianggap sebagai ulama bahkan dicerca dan dijatuhkan kredibelitasnya serta divonis sesat.

Na’udzu billah!

Kita berlindung kepada Allah ta’ala dari penyimpangan tersebut…

Pembaca rahimakumullah yang kami hormati…

Sebenarnya dalam banyak ayat, Allah ta’ala telah menggambarkan kriteria figur ulama yang pantas diteladani atau yang disebut alim rabbani.

Demikian pula Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah merinci dalam as-Sunnah siapa sesungguhnya alim rabbani tersebut.

Seandainya kaum muslimin mau kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah serta komitmen berpegang dengan keduanya, pasti akan mendapati dan senantiasa terbimbing untuk tepat dalam bersikap, termasuk dalam menyikapi ulama.

Atas dasar inilah kami ingin menyebutkan beberapa kriteria ulama rabbani yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah, semoga bisa menjadi bahan renungan bersama.

Ciri-ciri ulama sejati diantaranya:

1. Memiliki rasa khasyah (takut) kepada Allah ta’ala.

Diantara firman-Nya:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّـهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ

“Hanyalah yang takut kepada Allah dari hamba-Ku adalah ulama” (Fathir: 28)

Ayat ini menjelaskan salah satu kriteria seorang alim rabbani yaitu memiliki rasa khasyah (takut) kepada Allah ‘azza wa jalla.

Namun bukan sekadar takut biasa, akan tetapi rasa takut yang muncul dari makrifatullah (mengenal Allah). Yaitu rasa takut yang didasari ilmu tentang Allah ta’ala Dzat yang sangat pantas ditakuti. Baik ilmu tentang nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya dan perbuatan-Nya yang Maha Sempurna.

Khasyah juga adalah rasa takut yang melahirkan sikap ta’dzim (pengagungan) serta ketundukkan total, sempurna dan paripurna kepada Rabbnya.

Dalam ayat lain Allah ta’ala berfirman:

قُلْ آمِنُوا بِهِ أَوْ لَا تُؤْمِنُوا ۚ إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِن قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا ﴿١٠٧﴾ وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِن كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولًا ﴿١٠٨﴾ وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا ۩ ﴿١٠٩﴾

“Katakan: Berimanlah dengannya (al-Quran) atau tidak beriman. sesungguhnya orang-orang yang diberikan ilmu sebelumnya jika dibacakan kepada mereka (al-Quran) tersungkur jatuh di atas wajah mereka sujud (kepada-Nya). Seraya berkata: Maha Suci Rabb kami, sungguh janji Rabb kami pasti terwujud. Dan mereka tersungkur sujud di atas wajah dalam keadaan menangis serta semakin menambah kekhusyuan mereka.” (al-Isra: 107-109)

Pada ayat-ayat di atas Allah ta’ala menyebutkan ciri hamba-hamba yang diberi ilmu(ulama rabbani) yaitu selalu tunduk dan patuh kepada Allah ta’ala dan selalu merendahkan diri di hadapan-Nya sebagai wujud khasyatullah (takut pada-Nya).

Maka sifat khasyah adalah salah satu ciri yang sangat menonjol ada pada ulama rabbani. Sifat ini benar-benar tergambar pada sikap perbuatan mereka, baik keyakinan ucapan atau perbuatan anggota badan.

Tidaklah mereka berkata, beramal atau berkeyakinan kecuali telah jelas dan benar landasan hukumnya dari al-Quran dan as-Sunnah.

Mereka adalah orang-orang yang sangat takut melanggar batasan Allah ta’ala dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam baik karena disengaja atau tidak, karena mereka sadar dan mengerti bahwa Allah ta’ala sangat keras siksa-Nya.

Sebagaimana dalam firman-Nya:

إِنَّ اللَّـهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿٢﴾

“Sungguh amat keras balasan (azab) Allah”
Kriteria ulama rabbani berikutnya adalah:

2. Istiqamah dalam mengamalkan ilmu. Ini adalah salah satu ciri yang sangat nampak terlihat pada seorang alim rabbani. Ia akan selalu mengamalkan ilmu yang telah Allah ta’ala anugerahkan kepadanya, sebagai konsekuensi dari ilmu yang diraihnya, dan mencari keberkahan ilmu tersebut.

Allah ta’ala berfirman:

أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ ۗ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ ﴿٩﴾

“Apakah (sama seorang kafir) dengan seorang yang selalu taat di tengah malam dalam keadaan berdiri dan sujud dengan penuh rasa takut akan (azab) akhirat serta mengharapkan rahmat rabbnya. Apakah sama orang berilmu dengan yang tidak berilmu? hanya yang (selalu) mengingat adalah orang-orang yang berakal.” (az-Zumar: 9)

Pada ayat ini Allah ta’ala menjelaskan tentang adanya perbedaan asasi antara seorang yang berilmu dengan yang tidak berilmu yaitu pada amal saleh. Tatkala Allah ta’ala menyebutkan amal saleh di awal ayat kemudian diakhiri dengan peniadaan kesamaan status dari sisi ilmu, tidak lain menunjukkan adanya hubungan erat antara ilmu dengan amal saleh. Artinya seorang yang berilmu akan terdorong untuk selalu beramal dengan ilmunya agar dirinya terbedakan dengan seorang jahil(yang tidak berilmu).

Oleh karena itu al-Imam al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata:

لا يزال الرجل جاهلا بما علم حتى يعمل به، فإذا عمل به كان عالما

“Seorang senantiasa dikatakan jahil (bodoh) dengan ilmunya sampai ia mengamalkannya, jika dia mengamalkan ilmunya maka benarlah ia dikatakan alim.” (Iqthidha al-Ilmi wal Amal 1/37).

Sungguh tepat ucapan al-Imam al-Fudhail rahimahullah, bahwa seorang alim benar-benar dianggap alim rabbani tatkala beramal dengan ilmunya. Selama ia belum mengamalkan ilmunya maka masih dikategorikan orang bodoh.

Karena, sebab utama kenapa banyak dari kaum muslimin yang lalai dari beramal saleh atau sengaja meninggalkan amal saleh adalah kejahilan (bodoh). Apakah jahil tentang urgensi amal saleh atau jahil tentang kewajiban beramal dalam Islam.

Sehingga ketika seorang yang berilmu tidak mengamalkan ilmunya maka statusnya sama dengan orang yang bodoh.

Allahul musta’an!

Maka renungkanlah wahai saudaraku kaum muslimin…

Semoga kita semua selalu dirahmati oleh Allah ta’ala dan diberi taufik hidayah-Nya ke jalan yang benar!

Coba kita perhatikan sejenak kehidupan para sahabat Nabi radhiallahu ‘anhum jami’an ulama rujukan utama dan sebaik-baik teladan umat ini. Kita akan menyaksikan sebuah potret kehidupan yang penuh teladan dalam ilmu dan amal saleh.

Betapa menggelora semangat beramal saleh pada diri mereka (sahabat Nabi) sebagaimana gelora semangat itu terpancar dalam usaha menggapai ilmu agama.

Hal ini tergambar pada ucapan Abu Abdirrahman as-Sulamy rahimahullah salah seorang tabi’in (murid sahabat), ketika ia berkata:

حدثونا الذين كانوا يقرئوننا القرآن أنهم لم يكونوا يتجاوزون عشر آيات حتى يعرفوا معناها ويعملوا بها

“Telah memberitakan kepada kami mereka (sahabat) yang selalu mengajarkan al-Quran kepada kami bahwa tidaklah mereka melampaui 10 ayat sampai benar-benar memahami maknanya dan telah mengamalkannya.” (al-Qaidah al-Murakisyiyah 1/6)

Sangat menakjubkan!

Betapa tinggi perhatian sahabat untuk beramal saleh dan betapa kuat tekad untuk mengamalkan ilmu. Sampai-sampai tidak akan beranjak atau berpindah dari 10 ayat yang mereka pelajari dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan benar-benar telah dipahami kandungan makna dan tafsirnya serta diwujudkan dalam amaliah keseharian.

Maka tidaklah mengherankan jika mereka (sahabat) berhasil mencapai kedudukan yang mulia dalam Islam dan meraih predikat terbaik dari Allah ta’ala dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta menjadi rujukan utama umat.

Namun satu hal penting yang harus selalu diingat, bahwa mencurahkan perhatian untuk istiqamah beramal dan semangat memperbanyak amal harus dilandasi dua syarat mutlak diterima sebuah amalan yaitu ikhlas dan mencontoh Nabi.

Allah ta’ala berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّـهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ ﴿٥﴾

“Tidaklah mereka diperintahkan melainkan untuk beribadah kepada Allah semata dan mengikhlaskan agama (ibadah) kepada-Nya” (al-Bayyinah: 5)

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْه ِأَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang beramal sebuah amalan yang tidak ada bimbingan atau contoh dari kami maka tertolak (amalan tersebut).” (HR. Muslim dari Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha)