Thursday, August 25, 2016

Ustadz Sunnah, Kajian Sunnah

Pentingnya Sebuah Penamaan

by Sofyan Chalid bin Idham Ruray @sofyanruray August 19, 2016
Segala puji hanya bagi Allah ta’ala, dengan pertolongan-Nya, kemudian perjuangan, ilmu dan hikmah para da’i dan ikhwan sunnah dengan berbagai sarana dakwah, maka kajian-kajian sunnah pun semakin marak dan tersebar, di masjid-masjid, kantor-kantor, dari desa hingga perkotaan.

Bersamaan dengan itu pula, kajian-kajian yang tidak berlandaskan sunnah dengan sendirinya berangsur meredup, melemah, tersingkir bahkan tak sedikit yang akhirnya ‘punah’,

وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا

“Dan katakanlah: Telah datang yang benar dan telah lenyap yang batil, sungguh yang batil itu pasti lenyap.” [Al-Isra’: 81]

Asy-Syaikh Al-Mufassir As-Sa’di rahimahullah berkata,

أي: هذا وصف الباطل، ولكنه قد يكون له صولة وروجان إذا لم يقابله الحق فعند مجيء الحق يضمحل الباطل، فلا يبقى له حراك. ولهذا لا يروج الباطل إلا في الأزمان والأمكنة الخالية من العلم بآيات الله وبيناته.

“Maknanya: Yang pasti lenyap adalah sifat kebatilan, namun terkadang kebatilan itu memiliki kekuatan dan tersebar jika tidak ada kebenaran yang menghadangnya, maka tatkala kebenaran itu datang, kebatilan pun melemah, sampai tidak tersisa gerakannya. Oleh karena itu tidaklah tersebar kebatilan kecuali di masa-masa dan tempat-tempat yang kosong dari ilmu tentang ayat-ayat Allah ‘azza wa jalla dan penjelasan-penjelasannya.” [Tafsir As-Sa’di, hal. 464]

LATAR BELAKANG PENAMAAN “USTADZ SUNNAH” DAN “KAJIAN SUNNAH”

Penamaan “Ustadz Sunnah” dan “Kajian Sunnah” tidaklah datang dengan sendirinya, tapi karena adanya faktor yang sangat kuat, yaitu tidak lain adalah karena kajian-kajian yang dibahas oleh para da’i tersebut selalu merujuk kepada sunnah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, dan menjauhi setiap ajaran baru (bid’ah) yang tidak berdasar petunjuk beliau shallallahu’alaihi wa sallam.

Semua kajian berdasarkan pemahaman sunnah, apakah itu kajian tafsir, hadits, tauhid, fiqh, adab dan lain-lain selalu merujuk kepada sunnah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, karena sunnah yang dimaksudkan di sini adalah semua ajaran yang berasal dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, yang tertera dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sesuai Pemahaman Salaf.

Atau dengan kata lain “Ustadz Sunnah” dan “Kajian Sunnah” yang dimaksudkan di sini adalah ustadz atau kajian Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Seorang ustadz atau kajian yang selalu merujuk kepada manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, nama lainnya adalah Salafiyyah, sebuah metode beragama yang selalu merujuk kepada generasi Salaf, generasi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu’anhum.

Disebutkan dalam fatwa Lajnah Daimah,

من كانوا على مثل ما كان عليه محمد بن عبد الله عليه الصلاة والسلام وأصحابه رضوان الله عليهم أجمعين، فهؤلاء هم أهل السنة والجماعة

“Orang-orang yang mengikuti ajaran Muhammad bin Abdullah ‘alaihissholaatu was salaam dan para sahabat beliau ridhwaanullaahi ‘alaihim ‘ajma’in, mereka itulah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” [Fatawa Al-Lajnah ad-Daimah, 2/230]

Disebutkan juga dalam fatwa Lajnah Daimah,

والسلفيون: جمع سلفي نسبة إلى السلف، وقد تقدم معناه، وهم الذين ساروا على منهاج السلف من اتباع الكتاب والسنة والدعوة إليهما والعمل بهما، فكانوا بذلك أهل السنة والجماعة

“Salafiyun adalah kata jamak ‘salafiy’ yang merupakan penisbatan kepada generasi salaf yang telah berlalu penjelasan maknanya (yaitu generasi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan sahabat radhiyallahu’anhum), maka salafiyun adalah orang-orang yang berjalan di atas manhaj (metode beragama) kaum salaf, yaitu mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mendakwahkannya dan mengamalkannya, sehingga dengan itu merekalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” [Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 2/243]

Maka sunnah yang dimaksudkan di sini adalah yang berlawanan dengan bid’ah, bukan yang berlawanan dengan makruh, bukan pula nama lain dari hadits, tetapi semua petunjuk yang datang dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam apakah tertera dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits yang sesuai dengan Pemahaman Salaf, itulah yang dimaksud sunnah.

Jadi salah kaprah apabila “Ustadz Sunnah” yang dimaksudkan di sini disamakan dengan ahli hadits yang kurang paham fiqh, dan selain “Ustadz Sunnah” adalah ahli fiqh walau kurang menghapal dalil.

Bahkan kenyataannya di kalangan para da’i sunnah terdapat para ustadz yang juga pakar fiqh, ushul fiqh dan ekonomi syari’ah.

Demikian pula kajian-kajian sunnah bukan hanya membahas hadits, dan pada umumnya kajian-kajian tersebut langsung menggunakan kitab-kitab para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam berbagai bidang:

1. Dalam pembahasan tafsir misalkan menggunakan kitab Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir As-Sa’di dan lain-lain.

2. Dalam pembahasan hadits menggunakan Kutubus Sittah, Al-Arba’in An-Nawawiyyah, Riyadhus Shaalihin, Bulughul Marom, ‘Umdatul Ahkam dan lain-lain.

3. Dalam pembahasan aqidah menggunakan kitab Syarhus Sunnah karya Imam Ahmad, Syarhus Sunnah karya Imam Muzani Asy-Syafi’i, Syarhus Sunnah karya Al-Imam Al-Barbahari, Aqidah Thahawiyyah, Aqidah Washitiyyah dan lain-lain.

4. Dalam pembahasan tauhid menggunakan Kitab Tauhid, Tsalatsatul Ushul, Al-Qowa’idul Arba’, Nawaqidhul Islam dan lain-lain.

5. Dalam pembahasan fiqh menggunakan kitab Zaadul Mustaqni’ (Manhaj Hanbali), Minhajus Saalikin (Mazhab Hanbali), Minhajut Thalibin (Mazhab Syafi’i), Al-Ghayah wat Taqrib (Mazhab Syafi’i), Al-Fiqhul Muyassar dan lain-lain.

Inilah diantara kitab-kitab yang kami saksikan diajarkan oleh para da’i sunnah untuk masyarakat umum, yaitu kitab-kitab ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang dipenuhi dengan seruan-seruan untuk kembali kepada sunnah dan meninggalkan bid’ah.

Lain halnya dengan umumnya para da’i partai atau ormas, atau selain da’i sunnah, pada umumnya hanya bermain retorika, seringnya hanya memberi motivasi, tapi tidak mengajarkan bagaimana seharusnya aqidah yang benar dan amalan-amalan yang sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berdasarkan hadits-hadits yang shahih, tidak pula atau sangat jarang membahas ayat-ayat dan hadits-hadits terkait fiqh maupun kitab-kitab fiqh, bagaimana bisa dikatakan ahli fiqh…?! Apatah lagi hendak disamakan dengan ulama ahli fiqh…?!

PENTINGNYA PENAMAAN “USTADZ SUNNAH” DAN “KAJIAN SUNNAH”

Sebagaimana penamaan Salafiyah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu diperlukan untuk membedakan antara Ahlus Sunnah dan Ahlul Bid’ah, demikian pula penamaan “Ustadz Sunnah” dan “Kajian Sunnah” diperlukan untuk membedakan mana yang mengajak kepada sunnah dan mana yang mengajak kepada bid’ah, apakah bid’ah dalam aqidah seperti bid’ah khawarij, asy’ariyyah, shufiyyah maupun bid’ah dalam amalan-amalan.

Disebutkan dalam fatwa Lajnah Daimah,

فالسلفية: لقب صالح تعني أنهم على طريق السلف الصالح من الصحابة فمن بعدهم– رضي الله عن الجميع– فهو لقب يتميزون به عن أهل البدعة ممن غير وبدل وحرف

“Salafiyyah adalah predikat yang baik, maknanya adalah mereka mengikuti jalan generasi As-Salafus Shalih, yaitu generasi sahabat dan pengikut mereka setelahnya –semoga Allah meridhoi mereka semuanya-. Maka salafiyyah adalah predikat yang membedakan mereka dengan ahlul bid’ah, yaitu orang-orang yang telah merubah, mengganti dan menyimpangkan agama.” [Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 2/407]

Dalam fatwa para ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah ini kita dapat memetik pelajaran akan pentingnya penamaan untuk tujuan membedakan antara kelompok yang mengikuti sunnah dan kelompok yang berbuat bid’ah dalam agama, dan agar kaum muslimin dengan mudah mengenali yang mana Ahlus Sunnah dan yang mana Ahlul Bid’ah.

Mengapa Perlu Dibedakan?

Karena kaum muslimin diperintah untuk menuntut ilmu dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan meninggalkan golongan-golongan yang menyimpang.

Al-Imam Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata,

إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ، فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ

“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.” [Riwayat Muslim]

Al-Imam Muhammad bin Sirin rahimahullah juga berkata,

لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنِ الْإِسْنَادِ، فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ، قَالُوا: سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ، فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ، وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلَا يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ

“Para ulama dahulu tidak pernah bertanya tentang sanad, namun ketika terjadi fitnah (kesesatan), maka para ulama berkata: “Sebutkan kepada kami para perawi kalian”. Kemudian dilihat apakah berasal dari Ahlus Sunnah maka hadits mereka diterima, ataukah berasal dari Ahlul Bid’ah maka hadits mereka ditolak.” [Riwayat Muslim]

LARANGAN MENGHADIRI MAJELIS YANG MENYELISIHI MANHAJ SUNNAH

Allah tabaraka wa ta’ala berfirman,

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” [Al-An’am: 68]

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata,

وَفِي هَذِهِ الْآيَةِ مَوْعِظَةٌ عَظِيمَةٌ لِمَنْ يَتَسَمَّحُ بِمُجَالَسَةِ الْمُبْتَدِعَةِ الَّذِينَ يُحَرِّفُونَ كَلَامَ اللَّهِ وَيَتَلَاعَبُونَ بِكِتَابِهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ، وَيَرُدُّونَ ذَلِكَ إِلَى أَهْوَائِهِمُ الْمُضِلَّةِ وَبِدَعِهِمُ الْفَاسِدَةِ، فَإِنَّهُ إِذَا لَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِمْ وَيُغَيِّرْ مَا هُمْ فِيهِ فَأَقَلُّ الْأَحْوَالِ أَنْ يَتْرُكَ مُجَالَسَتَهُمْ، وَذَلِكَ يَسِيرٌ عَلَيْهِ غَيْرُ عَسِيرٍ

“Dalam ayat yang mulia ini terdapat nasihat yang agung terhadap orang yang mentolerir untuk bermajelis bersama ahlul bid’ah yang menyelewengkan ucapan Allah, mempermainkan kitab-Nya dan sunnah Rasul-Nya, dan mengembalikan penafsirannya kepada hawa nafsu mereka yang menyesatkan dan bid’ah mereka yang rusak, karena yang seharusnya ia lakukan adalah, apabila ia tidak mengingkari mereka dan berusaha merubah kemungkaran mereka, maka paling tidak ia meninggalkan majelis mereka, dan itu mudah baginya tidak sulit.” [Fathul Qodir, 2/146]

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah juga berkata,

وَقَدْ يَجْعَلُونَ حُضُورَهُ مَعَهُمْ مَعَ تَنَزُّهِهِ عَمَّا يَتَلَبَّسُونَ بِهِ شُبْهَةً يُشَبِّهُونَ بِهَا عَلَى الْعَامَّةِ، فَيَكُونُ فِي حُضُورِهِ مَفْسَدَةٌ زَائِدَةٌ عَلَى مُجَرَّدِ سَمَاعِ الْمُنْكَرِ

“Dan bisa jadi mereka (ahlul bid’ah) memanfaatkan kehadirannya bersama mereka sebagai syubhat untuk menipu orang-orang awam, walau sebenarnya ia bersih dari bid’ah mereka, maka dalam kehadirannya terdapat kerusakan tambahan yang lebih dari sekedar mendengarkan kemungkaran.” [Fathul Qodir, 2/146]

PRAKTEK PARA ULAMA DALAM PENAMAAN “ULAMA SUNNAH” DAN “ULAMA BID’AH”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

وَأَمَّا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ ” فَهُوَ أَحَدُ عُلَمَاءِ السُّنَّةِ وَهُوَ إمَامُ أَهْلِ الْحَدِيثِ فِي مَعْرِفَةِ صِحَّتِهِ وَعِلَلِهِ وَرِجَالِهِ وَضَبْطِهِ حَتَّى قَالَ أَحْمَد: مَا رَأَيْت بِعَيْنِي مِثْلَهُ يَعْنِي فِي ذَلِكَ الْفَنِّ وَعَنْهُ أَخَذَ ذَلِكَ عَلِيُّ بْنُ الْمَدِينِيِّ وَعَنْ عَلِيٍّ أَخَذَ ذَلِكَ الْبُخَارِيُّ صَاحِبُ الصَّحِيحِ وَقَدْ ذَكَرَ التِّرْمِذِيُّ أَنَّهُ لَمْ يَرَ فِي مَعْرِفَةِ عِلَلِ الْحَدِيثِ مِثْلَ مُحَمَّدِ بْنِ إسْمَاعِيلَ الْبُخَارِيِّ

“Adapun Yahya bi Sa’id Al-Qoththon maka beliau adalah salah satu ULAMA SUNNAH dan imam ahli hadits dalam mengenal keshahihan hadits, ‘ilal-nya, rijal-nya dan dhobth-nya, sampai-sampai berkata Imam Ahmad: Saya tidak pernah melihat dengan kedua mataku orang yang seperti beliau dalam bidang tersebut. Dari beliaulah Ali bin Madini meriwayatkan, dan dari Ali kemudian Al-Bukhari sang penulis kitab Ash-Shahih meriwayatkan, padahal At-Tirmidzi berkata bahwa ia tidak pernah melihat dalam mengenal ‘ilal hadits yang seperti Muhammad bin Ismail Al-Bukhari.” [Majmu’ Al-Fatawa, 12/327]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata,

ثُمَّ ظَهَرَ جَهْمُ مِنْ نَاحِيَةِ الْمَشْرِقِ مِنْ تِرْمِذَ، وَمِنْهَا ظَهَرَ رَأْيُ جَهْمٍ، وَلِهَذَا كَانَ عُلَمَاءُ السُّنَّةِ بِالْمَشْرِقِ أَكْثَرَ كَلَامًا فِي رَدِّ مَذْهَبِهِمْ مِنْ أَهْلِ الْحِجَازِ وَالشَّامِ وَالْعِرَاقِ، مِثْلُ إبْرَاهِيمَ بْنِ طهمان، وَخَارِجَةُ بْنُ مُصْعَبٍ، وَمِثْلُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ، وَأَمْثَالُهُمْ، وَقَدْ تَكَلَّمَ فِي ذَمِّهِمْ مَالِكُ وَابْنُ الماجشون وَغَيْرُهُمَا، وَكَذَلِكَ الأوزاعي، وَحَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ وَغَيْرُهُمْ، وَإِنَّمَا اشْتَهَرَتْ مَقَالَتُهُمْ مِنْ حِينِ مِحْنَةِ الْإِمَامِ أَحْمَد وَغَيْرِهِ، مِنْ عُلَمَاءِ السُّنَّةِ

“Kemudian muncul Jahm bin Shofwan dari ujung Timur dari wilayah Tirmidz, dari sanalah muncul pemikiran Jahm, oleh karena itu ULAMA SUNNAH di Timur lebih banyak pembicaraan mereka dalam membantah mazhab Jahmiyyah, dibandingkan ulama di Hijaz, Syam dan Irak. Ulama Sunnah di Timur seperti Ibrahim bin Thohman, Kharijah bin Mush’ab, Abdullah bin Mubarak dan yang semisal dengan mereka. Dan juga dalam membantah Jahmiyah telah berbicara Imam Malik, Ibnul Majisyun dan selain mereka berdua. Demikian pula Auza’i, Hammad bin Zaid dan selain mereka. Hanyalah menjadi terkenal pendapat mereka setelah cobaan yang menimpa Imam Ahmad dan selain beliau dari kalangan ULAMA SUNNAH.” [Majmu’ Al-Fatawa, 8/229]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata,

وَأَنْكَرَ الْأَئِمَّةُ مِنْ أَصْحَابِ أَحْمَد وَغَيْرِهِمْ مِنْ عُلَمَاءِ السُّنَّةِ مَنْ قَالَ: إنَّ أَصْوَاتَ الْعِبَادِ وَأَفْعَالَهُمْ غَيْرُ مَخْلُوقَةٍ

“Para ulama dari kalangan murid-murid Imam Ahmad maupun selain mereka dari kalangan ULAMA SUNNAH telah mengingkari orang yang berpendapat bahwa suara dan gerakan hamba bukan makhluk.” [Majmu’ Al-Fatawa, 8/407]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata tatkala membantah pendapat yang menyamakan anatara ucapan Allah dan ucapan makhluk,

وَهِيَ بِدْعَةٌ شَنِيعَةٌ لَمْ يَقُلْهَا أَحَدٌ قَطُّ مِنْ عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِينَ: لَا عُلَمَاءُ السُّنَّةِ وَلَا عُلَمَاءُ الْبِدْعَةِ وَلَا يَقُولُهَا عَاقِلٌ يَفْهَمُ مَا يَقُولُ

“Ucapan tersebut adalah bid’ah yang sangat jelek, tidak seorang pun dari kaum muslimin yang pernah mengatakan itu, tidak ULAMA SUNNAH dan tidak pula ULAMA BID’AH, bahkan tidak pula dikatakan oleh orang yang berakal, yang masih memahami ucapannya sendiri.” [Majmu’ Al-Fatawa, 12/324]

SEKILAS FAKTA DI LAPANGAN

Salah satu fakta yang kami saksikan di salah satu masjid di Ibu Kota, sebuah masjid yang marak dengan majelis ilmu dan dihadiri dengan antusias oleh jama’ah di sekitarnya dan jama’ah yang dating dari luar.

Pada awalnya yang mengisi ceramah di masjid tersebut berasal dari berbagai kalangan, hingga diundanglah sebagian da’i sunnah untuk mengisi, ada yang mengisi materi tafsir, hadits, tauhid, fiqh, ekonomi syari’ah, adab-adab dan lain-lain.

Sebagaimana ciri khas umumnya da’i sunnah, penyampaian ilmu yang penuh semangat, berusaha datang tepat waktu, lembut dan hikmah namun tegas, yang benar dikatakan benar dan yang salah dikatakan salah, dan yang terpenting adalah selalu berpedoman pada Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai Pemahaman Salaf. Setiap pendapat selalu disertai dalil dan mengingatkan untuk tidak mengikuti yang tidak berdasarkan dalil. Selalu menyeru kepada tauhid dan memberantas kesyirikan, mengajak kepada sunnah dan meninggalkan bid’ah.

Sementara di sisi lain, terdapat para da’i dan penceramah yang berbicara hanya berdasarkan logika, akal-akalan, mengajak untuk taklid saja, menjawab pertanyaan tidak tegas, menyisakan kebimbangan, sangat jarang mengutip dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak merujuk kepada Pemahaman Salaf, tidak jarang berbicara politik di depan orang-orang awam sambil menyindir bahkan menjelek-jelekan Pemerintah, ditambah lagi jika sang da’i dikenal aktif di sebuah partai atau ormas, maka tidak jarang mereka cenderung menggiring manusia kepada partai dan ormas mereka.

Apa yang Terjadi?

Selang beberapa waktu, masyarakat sendiri yang akhirnya bisa menilai, mana para da’i yang menyampaikan dengan berdasarkan ilmu dan mana yang sangat sedikit muatan ilmiahnya, bahkan cenderung menyelisihi sunnah. Masyarakat sendiri yang kemudian memberi nama “Ustadz Sunnah” dan “Kajian Sunnah”.

Pada akhirnya yang menghadiri kajian sunnah makin marak, dan yang menghadiri kajian yang tidak berlandaskan sunnah makin berkurang, melemah dan satu persatu tersingkir dengan sendirinya,

فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ

“Adapun buih, akan hilang sebagai suatu yang tidak ada gunanya; tetapi yang bermanfaat bagi manusia, akan tetap ada di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan.” [Ar-Ra’ad: 17]

Asy-Syaikh Al-Mufassir As-Sa’di rahimahullah berkata,

كذلك الشبهات والشهوات لا يزال القلب يكرهها، ويجاهدها بالبراهين الصادقة، والإرادات الجازمة، حتى تذهب وتضمحل ويبقى القلب خالصا صافيا ليس فيه إلا ما ينفع الناس من العلم بالحق وإيثاره، والرغبة فيه، فالباطل يذهب ويمحقه الحق {إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا} وقال هنا: {كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ} ليتضح الحق من الباطل والهدى والضلال.

“Demikianlah syubhat (pendapat yang seakan benar namun hakikatnya batil karena tidak berdasarkan dalil) dan syahwat, maka hati sebenarnya membencinya, menundukkannya dengan dalil-dalil yang benar dan keinginanan yang kuat untuk mengikuti kebenaran, hingga akhirnya kebatilan itu pergi dan melemah, maka hati tetap dalam keadaan murni dan bersih, tidak ada padanya kecuali apa yang bermanfaat bagi manusia, yaitu ilmu tentang kebenaran, lebih mengutamakannya dan cinta kepadanya. Maka kebatilan pun pergi, dan kebenaran melenyapkannya, sebagaimana firman Allah: “Sungguh yang batil itu pasti lenyap” (Al-Isra’: 81). Dan di sini Allah berfirman: “Demikianlah Allah membuat perumpamaan” (Ar-Ra’ad: 17), agar menjadi jelas antara kebenaran dan kebatilan, hidayah dan kesesatan.” [Tafsir As-Sa’di, hal. 415]

Alhamdulillaah ini fakta umum yang kami saksikan di Ibu Kota, meski pun tidak dinafikan ada sebagian da’i sunnah yang kurang hikmah, atau murid-muridnya yang terlalu bersemangat namun kurang ilmu, sehingga mengakibatkan penolakan yang keras dari sebagian masyarakat. Semoga Allah ta’ala memperbaiki dan memberikan kemudahan.

Da'i Sunnah


Istilah dai sunnah, pengajian sunnah, dan radio sunnah dewasa ini memang lagi ‘ngetrend’. Istilah ini dipakai untuk entitas yang mengajak kepada sunnah, menisbatkan diri kepada sunnah, cinta kepada sunnah. ‘Ngetrend’ karena ajakan kembali kepada sunnah dan meninggalkan kebid’ahan memang mendapatkan sambutan dan antusiasme yang cukup besar dari masyarakat. Seperti lazimnya dalam ilmu statistik, ada saja data pencilan (outlier) - yang dalam hal ini diwakili himpunan orang-orang yang tidak senang dan tidak tenang terhadap dakwah sunnah dan orang-orangnya. Mereka melakukan berbagai usaha untuk menghentikan atau minimal menghambat perkembangan dakwah sunnah. Yang paling mutakhir adalah ulah sebagian orang yang mengembangbiakkan alergen terhadap istilah dai sunnah, pengajian sunnah, dan radio sunnah sebagaimana disinggung di awal.

Sebenarnya istilah ini tidak ada masalah, bahkan bagus sebagai identitas penisbatan kepada sunnah.
Contohnya istilah ‘dai sunnah’. Para ulama sudah banyak menggunakannya dari jaman dahulu untuk memuji orang-orang yang berkomitmen terhadap sunnah, seperti misal Adz-Dzahabiy rahimahullah ketika berkata tentang beberapa ulama Ahlus-Sunnah:
كان ابن خزيمة رأساً في الفقه، من دعاة السنة، وغلاة المثبتة، له جلالة عظيمة بخراسان....
“Ibnu Khuzaimah adalah pemimpin dalam bidang fiqh, termasuk du’aat sunnah, dan orang yang berlebihan dalam penetapan nama-nama dan sifat-sifat Allah.  Ia memiliki kedudukan yang agung di negeri Khurasaan….” [Al-‘Ulluw, hal. 152].
وكان من دعاة السنة، وأعداء البدعة، توفي في سنة إحدى وسبعين وأربعمائة.
“Ia (Sa’d bin ‘Aliy Az-Zanjaaniy) termasuk du’aat sunnah dan musuh bid’ah. Wafat pada tahun 471 H” [idem, hal. 189].
Yang semisal dengan istilah ‘dai sunnah’ adalah ‘ulama sunnah’.
Al-Baghawiy rahimahullah (w. 516 H) pernah berkata:
اتَّفَقَتِ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ، فَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ عُلَمَاءِ السُّنَّةِ عَلَى أَنَّ الأَعْمَالَ مِنَ الإِيمَانِ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ، إِلَى قَوْلِهِ: وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ.
“Para shahabat, taabi’iin, dan orang-orang setelah mereka dari kalangan ulama sunnah telah bersepakat bahwa amal termasuk bagian dari iman berdasarkan firman Allah ta’ala : ‘Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka ….’ hingga firman-Nya : ‘…..dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka’ (QS. Al-Anfaal : 2-3)” [Syarhus-Sunnah, 1/38].
Abul-Qaasim Ismaa’iil Al-Ashbahaaniy rahimahullah (w. 535 H) yang berkata:
فصل قال أحد علماء السنة: حرام عَلَى العقول أن تمثل الله، حرام عَلَى الخلق أن يكيفوه
“Pasal : Telah berkata seorang dari kalangan ulama sunnah  : Diharamkan bagi akal membuat perumpamaan (tamtsiil) untuk Allah, dan diharamkan bagi makhluk untuk menanyakan kaifiyyah Allah” [Al-Hujjah fii Bayaanil-Mahajjah, 2/468].
Adz-Dzahabiy rahimahullah (w. 748 H) pernah berkata tentang Abu Haatim Ar-Raaziy Al-Bazzaaz rahimahullah:
أحمد بن الحسين بن محمد المحدِّث الأمام أبو حاتم بن خاموش الرّازي البزّاز.من علماء السُّنَّة.
“Ahmad bin Al-Husain bin Muhammad, Al-Muhaddits, Al-Imaam, Abu Haatim bin Khaamuusy  Ar-Raaziy Al-Bazzaaz, termasuk ulama sunnah” [Taariikh Al-Islaam, 7/76].
Dan yang lainnya masih banyak.
Dai sunnah adalah dai yang mengajak kepada sunnah dan mengisi pengajiannya dengan materi sunnah. Dai yang cinta kepada sunnah dan mengajak orang untuk mencintai sunnah. Dai sunnah tentu bukan dai yang doyan bid’ah dan mendakwahkan bid’ah, karena sunnah dan bid’ah adalah dua hal yang berlawanan. Nabi bersabda:
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Barangsiapa diantara kalian yang hidup setelahku, niscaya ia melihat perselisihan yang banyak. Maka, berpeganglah kalian kepada sunnahku dan sunnah Al-Khulafaaur-Raasyidiin yang mendapat petunjuk. Berpegang-teguhlah kalian dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Dan waspadalah kalian terhadap hal-hal yang baru (dalam urusan agama), karena setiap hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah kesesatan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4607; shahih. Takhrij lebih lengkap bisa dibaca di sini].
Dai sunnah bukan pula pendongeng dan tukang cerita, shaahibu ‘ndabul’ dan ‘nggedebus’. Ibnu Abi ‘Aashim rahimahullah (w. 287 H) berkata:
لذا؛ كره السلف القصص ومجالس القصاص، فحذروا منها أيما تحذير، وحاربوا أصحابها بشتى الوسائل
“Oleh karena itu, salaf telah membenci cerita-cerita dan majelis cerita-cerita. Mereka memperingatkan untuk berhati-hati darinya dengan segala macam peringatan, serta memerangi pelakunya dengan berbagai sarana yang memungkinkan” [Al-Mudzakkir wat-Tadzkiir oleh Ibnu Abi ‘Aashim, hal. 26].
Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahumallah berkata:
أكذب الناس القُصَّاص والسؤَّال ..، قيل له : أكنت تحضر مجالسهم ؟، قال : لا
“Sedusta-dusta manusia adalah para pencerita/pendongeng dan orang yang banyak bertanya (pada sesuatu hal yang tidak bermanfaat)”.  Kemudian dikatakan kepada beliau : “Apakah engkau menghadiri majelis mereka?”. Beliau menjawab : “Tidak” [Al-Hawaadits wal-Bida’ oleh Ath-Thurthuusyiy, hal. 112].
Apalagi dai yang main film …… laa haula wa laa quwwata illaa billaah…..
Seandainya ada yang salah pada perilaku dai sunnah dan simpatisannya, maka bukan menjadi alasan untuk mempermasalahkan istilah ‘dai sunnah’. Sebagaimana tingkah arogan sebagian kaum yang katanya memiliki otoritas istilah ‘Aswaja’ ( = Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah); maka itu bukan pula menjadi alasan mencari-cari dalih untuk mengeliminasi istilah Aswaja (Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah) dari lisan. Yang dikritik adalah perilakunya, kesesuaiannya terhadap klaim yang diserukan.
Seandainya gugatan terhadap istilah ‘dai sunnah’ hanya sekedar kecemburuan sosial karena tidak terkenal sebagai ‘dai sunnah’, tentu itu masalah lain. Yang bersangkutan bisa ambil inisiatif request kepada para penggemarnya agar disebut dai sunnah. Tapi, ini bukan perkara yang patut saya kira. Hanya perlu diingat, sebutan orang hanyalah sekedar sebutan, baik pujian maupun celaan. Allah ta’ala hanya melihat ketaqwaan serta bagusnya niat dan amal-amal kita.
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian” [QS. Al-Hujuraat : 13].
Nabi bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ، وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ، وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidaklah melihat pada rupa-rupa dan harta-harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati-hati kalian dan amal-amal kalian” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2564].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.
Somewhere, 17 Dzulqa’dah 1437

Sebagian Kaedah Dalam Berdakwah


Ada beberapa kaedah dan landasan yang perlu diperhatikan bagi orang yang berdakwah di jalan Allah ta’ala:
1.Orang yang berdakwah tidak dituntut untuk merealisasikan hasil akhir berupa kemenangan agama Islam atau penerimaan dari objek yang didakwahi, karena  karena hal ini adalah urusan dan kehendak Allah ta’ala. Rasulullah dulu dengan segala kemampuannya menginginkan pamannya Abu Thaalib untuk menerima Islam, namun ternyata Allah ta’ala berkehendak lain.

عَنْ الْمُسَيِّبِ، قَالَ: " لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ، فَقَالَ: " أَيْ عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ "، فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ: أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيُعِيدَانِهِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ حَتَّى، قَالَ أَبُو طَالِبٍ: آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَبَى أَنْ، يَقُولَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : " وَاللَّهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَأَنْزَلَ اللَّهُ فِي أَبِي طَالِبٍ، فَقَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ : إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Dari Al-Musayyib, ia berkata : Ketika Abu Thaalib hampir mati, Rasulullah mengunjunginya dan beliau mendapati Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah bin Al-Mughiirah ada di sisi Abu Thaalib. Rasulullah sallam bersabda (kepada Abu Thaalib): “Wahai pamanku, ucapkanlah Laa ilaaha illallaah; satu kalimat yang aku dapat berhujjah membelamu kelak di hadapan Allah”. Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah berkata : “Wahai Abu Thaalib, apakah engkau membenci agama ‘Abdul-Muthallib ?”. Rasulullah tidak henti-hentinya mengulangi kalimat tersebut agar Abu Thaalib mengucapkannya, namun keduanya (Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Umayyah) juga mengulang apa yang telah mereka katakan sebelumnya. Hingga akhir perkataan Abu Thaalib saat kematiannya adalah di atas agama ‘Abdul-Muthallib dan enggan untuk mengucapkan Laa ilaaha illallaah. Rasulullah bersabda : “Demi Allah, sungguh aku akan memintakan ampun kepadamu selama tidak dilarang”. Maka Allah menurunkan ayat : “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahannam” (QS. At-Taubah : 113). Ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Thaalib. Dan Allah berfirman kepada Rasulullah : “Sesungguhnya kamu tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu cintai, tetapi Allah (lah) memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki” (QS. Al-Qashshash : 56)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4675 & 4772, Muslim no. 24, Ahmad 5/433, dan yang lainnya].
Yang dituntut bagi seorang pendakwah berusaha sesuai dengan kemampuannya untuk berdakwah.
2.Dakwah tidak diukur oleh banyak-sedikitnya pengikut dan jama’ah, akan tetapi dakwah diukur dengan kebenaran.
Dakwah bukan sekedar bertujuan untuk mengumpulkan manusia, akan tetapi menyampaikan kebenaran yang telah Allah perintahkan. Bukan menjadi sesuatu yang diharuskan dalam dakwah agar semua orang menyambut dakwahnya.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa ada Nabi yang mempunyai sedikit pengikut, atau bahkan tidak mempunyai pengikut sama sekali.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : " مَا صُدِّقَ نَبِيٌّ مَا صُدِّقْتُ، إِنَّ مِنَ الأَنْبِيَاءِ مَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُ مِنْ أُمَّتِهِ إِلا رَجُلٌ وَاحِدٌ "
Dari Anas bin Maalik, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Tidak ada seorangpun Nabi yang dibenarkan seperti aku dibenarkan (oleh umatnya). Sesungguhnya ada di kalangan para nabi yang tidak dibenarkan oleh umatnya kecuali hanya satu orang saja” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan 14/136].
Begitu juga hadits:
عُرِضَتْ عَلَيَّ الْأُمَمُ فَجَعَلَ النَّبِيُّ وَالنَّبِيَّانِ يَمُرُّونَ مَعَهُمُ الرَّهْطُ، وَالنَّبِيُّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ
“Umat-umat pernah ditampakkan kepadaku. Lalu nampaklah seorang nabi dan dua orang nabi lain lewat bersama dengan beberapa orang saja (= tidak sampai 10 orang), dan seorang nabi lagi yang tidak bersama seorang pun (pengikut)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5705].
Sebagian ulama salaf berkata:
عَلَيْكَ بِطَرِيْقِ اْلحَقِّ وَلاَ تَسْتَوْحِشْ لِقِلَّةِ السَّالِكِينَ. وَ إِيَّاكَ وَطَرِيقَ اْلبَاطِلِ وَلاَ تَغْتَرَّ بِكَثْرَةِ اْلهَالِكِينَ
“Wajib bagi engkau untuk mengikuti jalan kebenaran dan jangan merasa kesepian dengan sedikitnya orang yang menempuhnya. Waspadailah jalan kebathilan, dan jangan terpedaya dengan banyaknya orang yang binasa (yang menempuh jalan itu)” [Madaarijus-Saalikiin, 1/22].
Sufyaan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata:
الْزَمِ الْحَقَّ، وَلا تَسْتَوْحِشْ لِقِلَّةِ أَهْلِهِ
“Berpegang teguhlah kepada kebenaran, dan jangan engkau terpedaya karena sedikitnya orang yang berada di atasnya” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Az-Zuhd no. 247].
3.Pahala yang akan diperoleh dari usahanya untuk berdakwah, tidak terkait dengan respon (objek dakwah), apakah ia menerima ataukah menolak dakwah yang disampaikan.
Pahala yang didapat tergantung pada niat, usaha, dan cara (yang mengikuti sunnah).
Para Nabi dan Rasul berdakwah sama sekali tidak mengharapkan upah, namun hanya mengharapkan keridlaan dan pahala dari Allah ta’ala, sebagaimana firman-Nya:
وَمَآ أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam” [QS. Asy Syu’araa’ (26) : 109, 127, 145, 164, 180].
قُل لآ أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ
“Katakanlah: “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Qur’an)”. Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk segala umat” [QS. Al-An’aam (6) : 90].
Adapun apabila ada orang yang menyambut dakwahnya dan melakukan kebenaran/kebaikan dari apa yang diserukan, maka baginya tambahan pahala yang berlipat sebagai satu karunia dari-Nya ta’ala.
Nabi bersabda:
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka baginya seperti pahala orang yang mengerjakannya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1677].
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa mengajak kepada petunjuk, baginya pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, baginya dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2674].
فَوَاللَّهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ
“Maka demi Allah, sungguh seandainya Allah melalui perantaraan dirimu memberikan petunjuk kepada seseorang, maka itu baik bagimu daripada onta merah (= harta dunia yang paling baik)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3009].
4.Berupaya mewujudkan persatuan kaum muslimin di atas kebenaran dan kalimat tauhid, karena kalimat tauhid (Laa ilaha illallaah) merupakan pokok untuk menyatukan barisan (كلمة التوحيد أساس توحيد الكلمة).
Allah ta’ala berfirman:
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
“Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)" [QS. Aali ‘Imraan (3) : 64].
5.Dakwah dimulai dari yang paling penting, kemudian yang penting, dan seterusnya.
Hal ini seperti pengajaran Rasulullah kepada Mu’’adz bin Jabal radliyallaahu ‘anhu saat diutus ke negeri Yaman:
إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ، فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ، فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ، فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً، تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ، فَتُرَدُّ فِي فُقَرَائِهِمْ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ، فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ، وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi Ahli Kitaab. Maka serulah (untuk yang pertama kali) kepada persaksian (syahadat) bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah dan aku adalah Rasullullah. Seandainya mereka mentaatimu dalam perkara tersebut, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima kali dalam sehari semalam. Apabila mereka telah mentaatimu dalam perkara tersebut, beritahukanlah bahwa Allah mewajibkan atas mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang faqirnya. Jika mereka mentaatimu dalam perkara tersebut, maka jauhkanlah dirimu dari harta pilihan mereka dan takutlah kamu terhadap doa orang yang teraniaya, karena sesungguhnya tidak ada hijab antara dia dengan Allah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 19].
Hadits ini juga memberikan faedah kepada kita bahwa metode dakwah Rasulullah dilakukan secara bertahap, tidak sekaligus.
6.Dakwah mengajak loyal kepada agama (syari’at Islam), bukan untuk para tokoh, karena kebenaran akan kekal sedangkan tokoh akan wafat.
‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu berkata:
إِنَّ اْلحَقَّ لاَ يُعْرَفُ بِالرِّجَالِ, اِعْرِفِ اْلحَقَّ تَعْرِفْ أَهْلَهُ
“Sesungguhnya kebenaran itu tidak dikenal melalui orang-orangnya. Tetapi kenalilah kebenaran, niscaya engkau akan tahu siapa orang-orang yang berada di atas kebenaran” [Talbiis Ibliis oleh Ibnul-Jauziy].
Dakwah hanyalah untuk mengajak orang lain kepada agama/jalan Allah sebagaimana firman Allah ta’ala:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik" [QS. Yuusuf (12) : 108].
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَآ إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru menuju Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri” [QS. Fushshilat (41) : 33].
7.Mengikuti metode hikmah dan nasihat yang baik.
Allah ta’ala berfirman:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” [QS. An-Nahl (16) : 125].
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:
“Allah ta’ala telah memerintahkan Rasul-Nya Muhammad agar menyeru manusia kepada Allah ta’ala dengan ‘hikmah’. Ibnu Jariir berkata bahwa yang dimaksud dengan hikmah adalah apa yang diturunkan Allah kepada Nabi berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah.
(وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ) ‘pelajaran yang baik’ maksudnya adalah berupa larangan-larangan dan berbagai kejadian yang menimpa manusia yang disebutkan di dalamnya (Al-Qur’an dan As-Sunnah), agar dijadikan peringatan bagi mereka akan hukuman Allah ta’ala.
Firman Allah ta’ala : ‘dan bantahlah mereka dengan cara yang baik’, maksudnya adalah : barangsiapa yang membutuhkan perdebatan dan perbantahan, hendaknya dilakukan dengan cara yang baik, yaitu dengan kelemahlembutan, keramahan, dan tutur kata yang baik; sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang lalim di antara mereka’ (QS. Al-Ankabuut : 46). Maka, (dengan ayat ini) Allah memerintahkan Nabi untuk berlemah-lembut sebagaimana Allah telah memerintahkan Muusaa dan Haaruun ‘alaihimas-salaam ketika memerintahkan keduanya datang (berdakwah) kepada Fir’aun sebagaimana dalam firman-Nya : ‘maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut’ (QS. Thaha (20) : 44)” [Tafsiir Ibni Katsiir, 4/613].
Rasulullah bersabda:
إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ، وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ
“Sesungguhnya kelembutan tidaklah ada ada pada sesuatu melainkan akan menghiasinya, dan tidaklah kelembutan tercabut dari sesuatu melainkan akan membuatnya jelek” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2594].
مَنْ يُحْرَمْ الرِّفْقَ يُحْرَمْ الْخَيْرَ
“Barangsiapa dijauhkan dari sifat lemah-lembut, maka ia dijauhkan dari kebaikan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2592].
8.Menghindari perdebatan.
Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah menjelaskan ada 3 (tiga) jenis perdebatan yang tercela, yaitu:
a.Berdebat dengan kebathilan untuk melenyapkan kebenaran.
Allah ta’ala berfirman:
وَجَادَلُوا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَقَّ
“Dan mereka membantah dengan (alasan) yang bathil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang bathil itu” [QS. Al-Mukmin (40) : 5].
b.Berdebat tentang kebenaran setelah jelas kebenaran tersebut.
Allah ta’ala berfirman:
يُجَادِلُونَكَ فِي الْحَقِّ بَعْدَمَا تَبَيَّنَ
“Mereka membantahmu tentang kebenaran sesudah jelas kebenaran itu” [QS. Al-Anfaal (8) : 6].
c.Berdebat tentang perkara yang tidak diketahui oleh pihak yang berdebat.
Allah ta’ala berfirman:
هَا أَنْتُمْ هَؤُلاءِ حَاجَجْتُمْ فِيمَا لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ فَلِمَ تُحَاجُّونَ فِيمَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ
“Beginilah kamu, kamu ini (sewajarnya) bantah-membantah tentang hal yang kamu ketahui, maka kenapa kamu bantah-membantah tentang hal yang tidak kamu ketahui?” [QS. Aali ‘Imraan : 66].
[Ar-Radd ’alal-Mukhaalif, hal. 51-52].
Sebagai tambahan, perdebatan tercela:
d.Perdebatan dengan orang yang susah diharapkan kembali kepada kebenaran dari kalangan pelaku bid’ah dan orang-orang yang menyimpang lainnya, karena nampak dari mereka sikap sombong terhadap kebenaran, permusuhannya yang keras terhadap orang-orang yang benar, dan kukuhnya dalam membela kebathilan.
e.Perdebatan pada perkara yang telah jelas dan tidak ada kesamaran padanya, baik bagi yang mendebat maupun yang didebat.
f.Perdebatan yang tidak diniatkan ikhlash untuk menggapai keridlaan Allah ta’ala.
Rasulullah bersabda:
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ، وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا، وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ، وَإِنْ كَانَ مَازِحًا، وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ "
“Aku menjamin rumah di tepi surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan meskipun ia benar, (menjamin) rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun hanya sekedar bergurau, serta (menjamin) rumah di surga yang paling tinggi bagi orang yang membaguskan akhlaqnya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4800; hasan].
Tidak dapat dipungkiri menahan untuk tidak mendebat dengan orang lain saat ia memandang orang lain salah dan dirinya benar adalah sangat sulit. Suka berdebat itu adalah tabiat, sehingga seringkali seseorang melakukannya mempunyai sangkaan bahwa apa yang dilakukannya benar dan mendapatkan pahala. Ia menganggap dirinya sebagai penolong agama Allah melalui debatnya. Tentu saja, tidak seperti itu keadaannya.
9.Menghindari sikap dari tasyaddud (mempersulit/keras) serta mengutamakan sikap mudah dan lapang selama diperbolehkan syari’at.
Rasulullah bersabda:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا
“Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agama melainkan ia akan dikalahkan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 39].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[Balideli – 14 Sya’ban 1437 H/21-05-2016].