Sunday, September 18, 2016

Siapakah Yang Mengikuti Aqidah Imam Abu Hasan Al Asy'ari?

Orang kata, wahabi mengatakan Allah memerlukan tempat kerana wahabi menetapkan sifat Allah istiwa’ di atas langit di ‘Arasy-Nya padahal ‘wahabi’ (pinjam kata-kata mereka) hanya menetapkan sifat istiwa’ bagi Allah dan tidak ada pun pernyataan ‘wahabi’ yang menyatakan Allah memerlukan tempat. Sedangkan Asha’irah mengatakan mereka mengikut aqidah Imam Abul Hasan Asy’ariy iaitu Allah wujud tanpa bertempat? Betulkah demikian? Haatu burhanakum inkuntum shadiqiin (Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar).

Apa yang penting bukan perkataan ulama yang menjadi neraca timbangan kebenaran, akan tetapi perkataan mereka (para ulama) yang bertepatan dengan syariat yang telah Allah turunkan kepada umat ini melalui lisan Rasul-Nya yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam dan telah dicontohkan oleh generasi terbaik umat ini yakni para sahabat ridhwanallah ‘alaihim jami’an.

Posting sebelum ini saya membawakan tulisan dari al-Ustadz Abul Jauzaa’ hafizhahullah berjudul -Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy, Asyaa’irah (Asy’ariyyah), dan Bahasan Pemalsuan Kitab Al-Ibaanah ‘an Ushuulid-Diyaanah-, dan kali ini saya bawakan tulisan yang sama (yang telah bahagikan kepada 2, untuk bagian pertama saya meletakkan judul “Wahabi Tipu Al-Ibanah Lagi????“) untuk pembahasan Aqidah sebenar Imam Abul Hasan Asy’ari rahimahullah. Semoga artikel ini memberi penjelasan kepada kita akan hakikat kelompok asy’ariyah yang ada di zaman ini, apakah sama pegangan mereka dengan sang imam, atau terbalik 180 darjah dari hakikat yang sebenar.

Ada beberapa tambahan dari saya seperti subtopik dan ubahan pada format tulisannya, saya juga ubah bahasa tulisan ini kepada bahasa melayu malaysia. Antara subtopik yang saya letakkan:

* Pernyataan Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy mengenai Sifat ‘Uluw/istiwa’ bagi Allah
* Perkataan Para Muktazilah, Jahmiyah Dan Haruriyah
* Perkataan para ulama yang menukil pegangan Imam Abul Hasan Asy’ariy

Silakan membaca:

Ustadz Abul Jauzaa’ menulis: Sebagaimana telah diketahui bersama, di akhir usia beliau kembali ke ‘aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah setelah puluhan tahun lamanya beliau tenggelam dalam ‘aqidah Mu’tazillah dan Kullabiyyah [lihat Wifaayatul-A’yaan oleh Ibnu Khalkaan Asy-Syaafi’iy 2/446, Al-Bidaayah wan-Nihaayah oleh Ibnu Katsir 11/187, Thabaqaat Asy-Syaafi’iyyah Al-Kubraa oleh Taajuddin As-Subkiy 2/246, dan yang lainnya]. Adalah keliru jika banyak kaum muslimin mengira beliau masih beraqidah Asy’ariyyah. Seorang imam ahli hadits dan pakar sejarah Islam yang diakui, Abu ‘Abdillah Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman bin Qaimaz Ad-Dimasyqiy atau yang lebih dikenal dengan Adz-Dzahabiy rahimahullah, telah mengumpulkan beberapa riwayat dan nukilan ‘aqidah seputar sifat Allah menurut Ahlus-Sunnah dalam kitab Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-‘Adhiim[1], diantaranya adalah ‘aqidah Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah telah meringkas kitab tersebut dengan judul : Mukhtashar Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar.

Pernyataan Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy mengenai Sifat ‘Uluw/istiwa’ bagi Allah

Pada kesempatan kali ini, saya akan coba tuliskan ‘aqidah Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah sebagaimana tertera dalam kitab Mukhtashar Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar halaman 236-243 (Penerbit Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 1/1401 H) atau Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar halaman 159-163 (Penerbit Al-Maktabah As-Salafiyyah, Cet. 2/1388 H) :

Abul-Hasan Al-Asy’ariy (260 – 324 H)

1. Telah berkata Al-Imam Abul-Hasan ‘Aliy bin Isma’il bin Abi Bisyr Al-Asy’ariy Al-Bashriy, seorang ahli ilmu kalam, dalam kitabnya yang berjudul Ikhtilaaful-Mushalliin[2] wa Maqaalatul-Islaamiyyin menyebutkan kelompok Khawarij, Rafidlah, Jahmiyyah, dan yang lainnya, hingga kemudian beliau menyebutkan pernyataan Ahlus-Sunah dan Ashhaabul-Hadiits (dalam ‘aqidah) :

جملة قولهم الإقرار بالله وملائكته وكتبه ورسله وبما جاء عن الله وما رواه الثقات عن رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يردون من ذلك شيئا. وأن الله على عرشه كما قال (الرحمن على العرش استوى) وأنه له يدين بلا كيف كما قال : (لما خلقت بيدي). وأن أسماء الله لا يقال إنها غير الله كما قالت المعتزلة والخوارج. وأقروا أن لله علما كما قال: (أنزله بعلمه) (وما تحمل من أنثى ولا تضع إلا بعلمه). وأثبتوا السمع والبصر ولم ينفوا ذلك عن الله كما نفته المعتزلة. وقالوا : لا يكون في الأرض من خير وشر إلا ما شاء الله وأن الأشياء تكون بمشيئته كما قال تعالى : (وما تشاؤون إلا أن يشاء الله) إلى أن قال : ويقولون : [إن] القرآن كلام الله غير مخلوق.

ويصدقون بالأحاديث التي جاءت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم : (إن الله ينزل إلى السماء الدنيا فيقول هل من مستغفر) كما جاء الحديث. ويقرون أن الله يجيء يوم القيامة كما قال : (وجاء ربك والملك صفا صفا) وأن الله يقرب من خلقه كما يشاء قال : (ونحن أقرب إليه من حبل الوريد) إلى أن قال : فهذا جملة ما يأمرون به ويستعملونه ويرونه وبكل ما ذكرنا من قولهم نقول وإليه نذهب وما توفيقنا إلا بالله.

“Kesimpulan dari perkataan mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) adalah pengakuan kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan apa-apa yang datang dari Allah serta apa yang disampaikan oleh para perawi tsiqaat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; tanpa menolak sedikitpun dari semua hal itu. Dan bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5). Juga (Allah) mempunyai dua tangan, sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya nama-nama Allah tidak dikatakan sebagai selain Allah seperti dikatakan Mu’tazilah dan Khawarij.

Mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) juga menetapkan bahwa Allah mempunyai ilmu, sebagaimana firman-Nya : ‘Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya’ (QS. An-Nisaa’ : 166). ‘Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya’ (QS. Fathir : 11). Mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) juga menetapkan sifat mendengar serta melihat bagi Allah, dan tidak menafikannya dari Allah sebagaimana Mu’tazillah telah menafikannya. Mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) mengatakan : ‘Tidak ada satupun kebaikan dan kejelekan yang terjadi di muka bumi kecuali apa-apa yang telah dikehendaki Allah. Segala sesuatu terjadi dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman-Nya ta’ala : ‘Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah’ (QS. At-Takwir : 29)”.

Hingga beliau (Al-Imam Asy-ariy rahimahullah) berkata : “Dan mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) berkata : ‘Sesungguhnya Al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan makhluk”.

Dan mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) membenarkan hadits-hadits yang datang dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia, dan berfirman : Apakah ada orang yang memohon ampun (kepada-Ku) ?’; sebagaimana disebutkan dalam hadits. Mereka pun mengakui bahwa Allah akan datang pada hari kiamat sebagaimana firman-Nya : ‘Dan datanglah Tuhanmu, sedang malaikat berbaris-baris’ (QS. Al-Fajr : 22). Dan bahwasannya Allah dekat dengan makhluk-Nya seperti yang Dia kehendaki, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya’ (QS. Qaaf : 16)”.

Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy rahimahullah) berkata : “Ini semua adalah kesimpulan dari apa yang mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) perintahkan dengannya, dan mereka amalkan dan berpendapat. Semua yang kami sebutkan dari perkataan mereka adalah juga yang kami katakan dan bermadzhab dengannya. Dan tidak ada yang memberikan taufiq kepada kita melainkan Allah”.[3]

2. Al-Imam Al-Asy’ariy rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya di atas (yaitu : Maqaalatul-Islaamiyyiin) pada bab : ‘Apakah Allah berada di suatu tempat tertentu, atau tidak berada di suatu tempat, atau berada di setiap tempat ?’ ; maka beliau berkata :

إختلفوا في ذلك على سبع عشرة مقالة منها قال أهل السنة وأصحاب الحديث إنه ليس بجسم ولا يشبه الأشياء وإنه على العرش كما قال : (الرحمن على العرش استوى). ولا نتقدم بين يدي الله بالقول، بل نقول استوى بلا كيف وإن له يدين كما قال : (خلقت بيدي) وإنه ينزل إلى سماء الدنيا كما جاء في الحديث.

ثم قال : وقالت المعتزلة استوى على عرشه بمعنى إستولى وتأولوا اليد بمعنى النعمة وقوله تجري بأعيننا أي بعلمنا

“Mereka (para ulama) berbeda pendapat tentang permasalahan tersebut menjadi tujuh belas pendapat. Diantara pendapat-pendapat tersebut adalah pendapat Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits yang mengatakan bahwa Allah tidak bersifat mempunyai badan (seperti makhluk), dan tidak pula Dia menyerupai sesuatupun (dari makhluk-Nya). Dan bahwasannya Dia berada di atas ‘Arsy sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5). Kami tidak mendahului Allah dengan satu perkataanpun tentangnya, namun kami mengatakan bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) tanpa menanyakan bagaimananya. Dan bahwasannya Allah mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya Allah turun ke langit dunia sebagaimana yang terdapat dalam hadits”.

Kemudian beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata : “Mu’tazillah berkata : ‘Allah bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya’ ; dengan makna menguasai (istilaa’). Dan mereka menta’wilkan pengertian tangan (Allah) dengan nikmat. (Dan juga menakwilkan) firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar ; 14), yaitu : dengan ilmu Kami”.[4]

3. Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkata dalam kitabnya yang berjudul Jumalul-Maqaalaat :

رأيته بخط المحدث أبي علي بن شاذان فسرد نحوا من هذا الكلام في مقالة أصحاب الحديث. تركت إيراد ألفاظه خوف الإطالة والمعنى واحد

“Aku melihat tulisan Muhaddits Abu ‘Aliy bin Syaadzaa – lalu menuangkan perkataan yang semisal dengan di atas dalam (Bab) Maqaalaatu Ashhaabil-Hadiits. Aku tingalkan penyebutan lafaznya karena khuatir akan menjadi panjang (pembahasannya), padahal maknanya adalah satu (sebagaimana telah disebutkan sebelumnya)”.

4. Telah berkata Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah dalam kitabnya Al-Ibaanah fii Ushuulid-Diyaanah, pada Baab Al-Istiwaa’ :

فإن قال قائل : ما تقولون في الإستواء ؟. قيل [له] نقول : نقول إن الله مستو على عرشه كما قال : (الرحمن على العرش استوى) وقال : (إليه يصعد الكلم الطيب) وقال : (بل رفعه الله إليه) وقال حكاية عن فرعون : (وقال فرعون يا هامان ابن لي صرحا لعلي أبلغ الأسباب أسباب السموات فأطلع إلى إله موسى وإني لأظنه كاذبا). فكذب موسى في قوله : إن الله فوق السموات. وقال عزوجل : (أأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض) فالسموات فوقها العرش، فلما كان العرش فوق السموات. وكل ما علا فهو سماء، وليس إذا قال : (أأمنتم من في السماء) يعني جميع السموات، وإنما أراد العرش الذي هو أعلى السموات، ألا ترى أنه ذكر السموات فقال : (وجعل القمر فيهن نورا) ولم يرد أنه يملأهن جميعا، [وأنه فيهن جميعا]. قال : ورأينا المسلمين جميعا يرفعون أيديهم – إذا دعوا – نحو السماء لأن الله مستو على العرش الذي هو فوق السماوات، فلو لا أن الله على العرش لم يرفعوا أيديهم نحو العرش.

“Apabila seseorang bertanya : ‘Apa yang engkau katakan mengenai istiwaa’ ?’. Maka dikatakan kepadanya : ‘Kami mengatakan sesungguhnya Allah bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5). ‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik’ (QS. Fathir : 10). ‘Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya’ (QS. An-Nisaa’ : 158). Allah juga berfirman mengenai hikayat/cerita Fir’aun : ‘Dan berkatalah Firaun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta” (QS. Al-Mukmin : 36-37). Fir’aun mendustakan Musa yang mengatakan : ‘Sesungguhnya Allah berada di atas langit’. Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu’ (QS. Al-Mulk : 16). Yang berada di atas langit adalah ‘Arsy (dimana Allah bersemayam/ber-istiwaa’ di atasnya). Ketika ‘Arsy berada di atas langit, maka segala sesuatu yang berada di atas disebut langit (as-samaa’). Dan bukanlah yang dimaksud jika dikatakan : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit’ ; yaitu semua langit, namun yang dimaksud adalah ‘Arsy yang berada di puncak semua langit. Tidakkah engkau melihat bahwasannya ketika Allah menyebutkan langit-langit, Dia berfirman : ‘Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya’ (QS.Nuuh : 16) ? Bukanlah yang dimaksud bahwa bulan memenuhi seluruh langit dan berada di seluruh langit”.

Beliau (Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah) melanjutkan : “Dan kami melihat seluruh kaum muslimin mengangkat tangan mereka – ketika berdoa – ke arah langit, karena (mereka berkeyakinan) bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) di ‘Arsy yang berada di atas semua langit. Jika saja Allah tidak berada di atas ‘Arsy, tentu mereka tidak akan mengarahkan tangan mereka ke arah ‘Arsy”.

Perkataan Para Muktazilah, Jahmiyah Dan Haruriyah

وقد قال قائلون من المعتزلة والجهمية والحرورية : إن معنى استوى إستولى وملك وقهر، وأنه تعالى في كل مكان، وجحدوا أن يكون على عرشه، كما قال أهل الحق، وذهبوا في الإستواء إلى القدرة، فلو كان كما قالوا كان لا فرق بين العرش وبين الأرض السابعة لأنه قادر على كل شيء، والأرض شيء، فالله قادر عليها وعلى الحشوش.

وكذا لو كان مستويا على العرش بمعنى الإستيلاء، لجاز أن يقال : هو مستو على الأشياء كلها ولم يجز عند أحد من المسلمين أن يقول : إن الله مستو على الأخلية والحشوش، فبطل أن يكون الإستواء [على العرش] : الإستيلاء.

“Dan telah berkata orang-orang dari kalangan Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah (Khawarij) : ‘Sesungguhnya makna istiwaa’ adalah menguasai (istilaa’), memiliki, dan mengalahkan. Allah ta’ala berada di setiap tempat’. Mereka mengingkari keberadaan Allah di atas ‘Arsy-Nya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlul-Haq (Ahlus-Sunnah). Mereka (Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah) memalingkan (mena’wilkan) makna istiwaa’ kepada kekuasaan/kemampuan (al-qudrah). Jika saja hal itu seperti yang mereka katakan, maka tidak akan ada bedanya antara ‘Arsy dan bumi yang tujuh, karena Allah berkuasa atas segala sesuatu. Bumi adalah sesuatu, dimana Allah berkuasa atasnya dan atas rerumputan.

Begitu juga apabila istiwaa’ di atas ‘Arsy itu bermakna menguasai (istilaa’), maka akan berkonsekuensi untuk membolehkan perkataan : ‘Allah ber-istiwaa’ di atas segala sesuatu’. Namun tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang membolehkan untuk berkata : ‘Sesungguhnya Allah ber-istiwaa’ di tanah-tanah kosong dan rerumputan’. Oleh karena itu, terbuktilah kebathilan perkataan bahwa makna istiwaa’ (di atas ‘Arsy) adalah istilaa’ (menguasai)”.

Kemudian Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah menyebutkan beberapa dalil dari Al-Kitab (Al-Qur’an), As-Sunnah, dan akal selain yang tersebut di atas.[5]

Perkataan para ulama yang menukil pegangan Imam Abul Hasan Asy’ariy

5. Al-Imam Abu Bakr bin Faurak menukil perkataan di atas dari para ahli hadits, dari Abul-Hasan Al-Asy’ariy dalam kitab Al-Maqaalaatu wal-Khilaaf Bainal-Asy’ariy wa Baina Abi Muhammad ‘Abdillah bin Sa’iid bin Kullaab Al-Bashriy – tulisan Ibnu Faurak. Beliau (Ibnu Faurak) berkata :

الفصل الأول في ذكر ما حكى أبو الحسن رضي الله عنه في كتاب المقالات من جمل مذاهب أصحاب الحديث وما أبان في آخره أنه يقول بجميع ذلك.

“Pasal Pertama : Penyebutan Apa-Apa yang Dihikayatkan Abul-Hasan Radliyallaahu ‘anhu dalam Kitab Al-Maqaalaat dari Kumpulan Pendapat Ashhaabul-Hadiits dan Apa yang Dijelaskan di Akhir Kitab tersebut Bahwa Beliau Mengatakan Keseluruhan Pendapat Tersebut.”

Ibnu Faurak kemudian menyatakan perkataan tersebut apa adanya, lalu berkata di bagian akhirnya :

فهذا تحقيق لك من ألفاظه أنه معتقد لهذه الأصول التي هي قواعد أصحاب الحديث وأساس توحيدهم

“Ini adalah satu penelitian bagi Anda dari perkataan Al-Asy’ariy bahwasannya beliau berkeyakinan dengan prinsip ini dimana hal itu merupakan kaidah yang dipegang oleh Ashhaabul-Hadiits dan pondasi bagi ketauhidan mereka”.

Telah berkata Al-Haafidh Abul-‘Abbas Ahmad bin Tsaabit Ath-Tharqiy[6] : Aku pernah membaca kitab Abul-Hasan Al-Asy’ariy yang berjudul Al-Ibaanah beberapa dalil yang menetapkan al-istiwaa’ (bersemayam). Beliau berkata dalam kesimpulan atas hal tersebut :

ومن دعاء أهل الإسلام إذا هم رغبوا إلى الله يقولون : يا ساكن العرش ومن حلفهم : لا والذي إحتجب بسبع.

“Termasuk salah satu doa orang Islam saat mereka berharap kepada Allah, mereka berkata : ‘Wahai yang penghuni ‘Arsy dan Dzat yang dijadikan sumpah oleh mereka’ ; tidak (dikatakan) : ‘Demi Dzat yang terhijab oleh tujuh langit”.[7]

6. Telah berkata Al-Ustadz Abul-Qaasim Al-Qusyairiy rahimahullah dalam Syikaayatu Ahlis-Sunnah :

ما نقموا من أبي الحسن الأشعري إلا أنه قال بإثبات القدر، وإثبات صفات الجلال لله، من قدرته، وعلمه، وحياته، وسمعه، وبصره، ووجهه، ويده، وأن القرآن كلامه غير مخلوق.

سمعت أبا علي الدقاق يقول : سمعت زاهر بن أحمد الفقيه يقول مات الأشعري رحمه الله ورأسه في حجري فكان يقول شيئا في حال نزعه لعن الله المعتزلة موهوا ومخرقوا

“Tidaklah mereka membenci Abul-Hasan Al-Asy’ariy kecuali karena ia telah menetapkan adanya qadar, menetapkan sifat keagungan bagi Allah, mulai dari kekuasaan-Nya, ilmu-Nya, hidup-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, wajah-Nya, tangan-Nya, dan bahwasannya Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk.

Aku pernah mendengar Abu ‘Aliy Ad-Daqaaq berkata : Aku pernah mendengar Zaahir bin Ahmad Al-Faqiih berkata : ‘Ketika Al-Asy’ariy rahimahullah menjelang wafat, kepalanya berada di pangkuanku, maka beliau mengatakan : ‘Semoga Allah melaknat Mu’tazillah. Mereka telah tertipu dan telah berdusta”.[8]

7. Telah berkata Al-Haafidh Al-Hujjah Abul-Qaasim bin Al-‘Asaakir dalam kitabnya Tabyiinu Kadzibil-Muftariy fii maa Nusiba ilaa Al-Asy’ariy :

فإذا كان أبو الحسن رحمه الله كما ذكر عنه من حسن الإعتقاد، مستصوب المذهب عند أهل المعرفة والإنتقاد، يوافقه في أكثر ما يذهب إليه أكابر العباد، ولا يقدح في مذهبه غير أهل الجهل والعناد، فلا بد أن يحكى عنه معتقده على وجهه بالأمانة، ليعلم حاله في صحة عقيدته في الديانة، فاسمع ما ذكره في كتاب الإبانة فإنه قال : ((الحمد لله الواحد العزيز الماجد، المتفرد بالتوحيد، المتمجد بالتمجيد، الذي لا تبلغه صفات العبيد، وليس له مثل ولا نديد….)). فرد في خطبته على المعتزلة والقدرية والجهمية [والرافضة. إلى أن قال : فإن قال قائل : قد أنكر تم قول المعتزلة والقدرية والجهمية] والحرورية والرافضة والمرجئة، فعرفونا ما قولكم الذي تقولون، وديانتكم التي بها تدينون ؟ قيل له : قولنا الذي به نقول، وديانتنا التي بها ندين، التمسك بكتاب الله وسنة نبيه صلى الله عليه وسلم، وما روي عن الصحابة والتابعين وأئمة الحديث، ونحن بذلك معتصمون، وبما كان عليه أحمد بن حنبل نضر الله وجهه قائلون، ولمن خالف قوله مجانبون، لأنه الإمام الفاضل، والرئيس الكامل، الذي أبان الله به الحق عند ظهور الضلال، وأوضح به المنهاج، وقمع به المبتدعين، فرحمه الله من إمام مقدم، وكبير مفهم وعلى جميع أئمة المسلمين.

“Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah, sebagaimana telah disebutkan dari beliau, adalah seorang yang mempunyai keyakinan (i’tiqad) yang baik, sesuai dengan madzhab yang ditempuh para ulama, dimana sebagian besar perkataannya mencocoki madzhab mereka (para ulama). Tidak ada yang mencela madzhabnya[9] kecuali dari kalangan orang-orang bodoh dan ingkar. Maka, sudah seharusnya bagi seseorang yang ingin menjelaskan i’tiqadnya disertai rasa amanah agar dapat diketahui kebenaran ‘aqidahnya dalam perkara agama. Maka, dengarkanlah apa yang telah ia sebutkan dalam kitabnya yang berjudul Al-Ibaanah : ‘Segala puji bagi Allah Yang Maha Esa, Maha Agung, dan Maha Terpuji. Yang sendiri dengan keesaan-Nya, yang terpuji dengan pujian, yang tidak sampai kepada-Nya sifat-sifat hamba, dan tidak ada kesamaan maupun tandingan bagi-Nya…”.

Beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) membantah dalam khutbahnya kepada Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Raafidhah. Hingga kemudian beliau berkata : Apabila ada seseorang mengatakan jika engkau telah mengingkari/membantah secara lengkap perkataan Mu’tazillah, Qadariyyah, Jahmiyyah, Haruriyyah/Khawarij, Raafidhah, dan Murji’ah; maka beritahukanlah kepada kami tentang perkataan yang menjadi pendapat dan agama bagimu ! Maka katakanlah padanya : ‘Perkataan yang kami katakan dan agama yang kami anut adalah berpegang-teguh kepada Kitabullah (Al-Qur’an), Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan apa-apa yang diriwayatkan dari shahabat, tabi’in, serta para imam ahli-hadits. Kami berpegang teguh terhadap hal itu. Dan juga, dengan agama (pemahaman) yang Ahmad bin Hanbal berada di atasnya – semoga Allah membaguskan wajahnya. Barangsiapa yang menyelisihi perkataannya (Ahmad bin Hanbal) adalah para pembangkang, karena dia adalah seorang imam yang utama dan pemimpin yang sempurna dimana Allah telah memberikan penjelasan kebenaran melalui perantaraannya di saat muncul kesesatan. Melalui perantaraannya, Allah juga telah menjelaskan manhaj yang benar dan membungkam ahlul-bida’. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada imam yang unggul dan agung, serta kepada seluruh imam-imam kaum muslimin.

وجملة قولنا : أن نقر بالله وملائكته وكتبه ورسله، وما جاء من عند الله، وما رواه الثقات عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، لا نرد من ذلك شيئا، وأن الله إله واحد فرد صمد، لا إله غيره، وأن محمدا عبده ورسوله، وأن الجنة والنار حق، وأن الساعة آتية لا ريب فيها، وأن الله يبعث من في القبور، وأن الله تعالى مستو على عرشه كما قال : (الرحمن على العرش استوى) وأن له وجها كما قال : (ويبقى وجه ربك) وأنه له يدين كما قال : (بل يداه مبسوطتان) وأن له عينين بلا كيف كما قال : (تجري بأعيننا) وأن من زعم أن اسم الله غيره كان ضالا، وندين أن الله يرى بالأبصار يوم القيامة كما يرى القمر ليلة البدر، يراه المؤمنون – إلى أن قال :

وندين بأنه يقلب القلوب، وأن القلوب بين إصبعين من أصابعه، وأنه يضع السموات والأرض على إصبع، كما جاء في الحديث، – إلى أن قال : -

وأنه يقرب من خلقه كيف شاء كما قال : (ونحن أقرب إليه من حبل الوريد) وكما قال : (ثم دنا فتدلى فكان قاب قوسين أو أدنى) ونرى مفارقة كل داعية إلى بدعة، ومجانبة أهل الأهواء، وسنحتج لما ذكرناه من قولنا وما بقي [منه] بابا بابا، وشيئا شيئا.

Dan kesimpulan perkataan kami adalah : ‘Kami mengakui Allah, para malaikat-Nya. Kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan apa-apa yang datang dari sisi Allah, serta apa-apa yang diriwayatkan oleh para perawi tsiqaat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak menolak satupun dari hal tersebut sedikitpun. Dan bahwasannya Allah adalah Tuhan yang Esa, tempat bergantung, tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia. Dan bahwasannya Muhammad adalah hamba sekaligus utusan-Nya, surga dan neraka adalah haq (benar), kiamat akan datang tanpa ada keraguan di dalamnya, Allah akan membangkitkan manusia dari kuburnya, Allah ta’ala bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5). Allah mempunyai wajah, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan tetap kekal wajah Tuhan-Mu’ (QS. Ar-Rahmaan : 27). Allah mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Tetapi kedua tangan Allah terbuka’ (QS. Al-Maaidah : 64). Allah mempunyai dua mata tanpa ditanyakan bagaimananya, sebagaimana firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar : 14). Dan barangsiapa yang berkeyakinan bahwa nama Allah bukanlah Allah, maka ia adalah orang yang sesat. Kami meyakini bahwa Allah kelak akan dilihat dengan penglihatan (mata) pada hari kiamat oleh kaum mukminin sebagaimana dilihatnya bulan di malam purnama”. Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata :

Kami berkeyakinan bahwasannya Allah membolak-balikkan hati, dan hati-hati manusia itu berada di antara dua jari di antara jari-jari Allah. Juga, bahwasannya Allah meletakkan semua langit dan bumi di atas satu jari, sebagaimana tercantum dalam hadits”. Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata :

“Dan bahwasannya Allah itu dekat dengan makhluk-Nya dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat kehernya’ (QS. Qaaf : 16). ‘Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi)’ (QS. An-Najm : 8-9). Sedangkan di sisi lain kami melihat jauhnya setiap penyeru bid’ah dan pengikut hawa nafsu (dari agama dan pemahaman yang benar ini). Kami akan berhujjah (berargumentasi) dengan apa yang telah kami sebutkan tadi bab per bab secara rinci”.

Kemudian Ibnu ‘Asakir berkata :

فتأملوا رحمكم الله هذا الإعتقاد ما أوضحه وأبينه، واعترفوا بفضل هذا الإمام الذي شرحه وبينه.

“Maka renungkanlah – semoga Allah memberikan rahmat kepada kalian – i’tiqad/keyakinan ini. Alangkah terang dan jelasnya keyakinan ini. Dan hendaknya kalian mengakui keutamaan imam ini (yaitu Abul-Hasan Al-Asy’ariy) yang telah menjelaskan dan menerangkannya (kepada kalian semua)”.[10]

8. Telah berkata Al-Haafidh Ibnu ‘Asaakir : “Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy telah berkata dalam kitabnya yang berjudul Al-‘Imad fir-Ru’yah :

ألفنا كتابا كبيرا في الصفات تكلمنا فيه على أصناف المعتزلة والجهمية، فيه فنون كثيرة من الصفات في إثبات الوجه واليدين، وفي إستوائه على العرش.

كان أبو الحسن أولا معتزليا أخذ عن أبي علي الجبائي، ثم نابذه ورد عليه، وصار متكلما للسنة، ووافق أئمة الحديث في جمهور ما يقولونه، وهو ما سقناه عنه من أنه نقل إجماعهم على ذلك وأنه موافقهم. وكان يتوقد ذكاء، أخذ علم الأثر عن الحافظ زكريا الساجي. وتوفي سنة أربع وعشرين وثلاثمائة، وله أربع وستون سنة رحمه الله تعالى.

“Kami telah menulis satu kitab besar dalam permasalahan sifat-sifat (Allah) dimana kami berbicara dari sudut pandang kelompok Mu’tazillah dan Jahmiyyah. Padanya terdapat berbagai macam pembahasan sifat dalam penetapan wajah dan dua tangan, serta istiwaa’-Nya di atas ‘Arsy”.[11]

Abul-Hasan Hasan pada mulanya adalah seorang Mu’tazillah yang mengambil pemahaman dari Abu ‘Ali Al-Juba’iy. Kemudian beliau meninggalkannya dan menolaknya serta berpaling menjadi seorang mutakallim (ahli ilmu kalam) Sunah. Para imam ahli hadits menyepakati sebagian besar apa yang dikatakannya. Demikianlah yang kami tuturkan dari beliau, bahwasannya beliau mengutip ijma’ mereka dan setuju dengan pendapat mereka. Beliau adalah orang yang cerdas, mempelajari ilmu atsar (hadits) dari Al-Haafidh Zakariyyah As-Saajiy. Beliau wafat pada tahun 324 H dalam usia 64 tahun. Semoga Allah memberikan rahmat kepada beliau”.
[selesai]
Scan kitab Al-‘Ulluw oleh Adz-Dzahabi rahimahullah pada halaman dimaksud : http://www.scribd.com/doc/16205688/Kitab-AlUlluw

Scan kitab Mukhtashar Al-‘Ulluw lidz-Dzahabi oleh Al-Albani rahimahullah pada halaman dimaksud : http://www.scribd.com/doc/16205769/Kitab-Mukhtashar-AlUlluw

Dapat kita lihat dari keterangan di atas bahwa manhaj Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah sangat berbeda dengam kaum Asy’ariyyah (Asyaa’irah). Beliau telah menetapkan sifat-sifat Allah ta’ala yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahiihah sebagaimana zhahirnya. Beliau rahimahullah menetapkan sifat istiwaa’, tangan, wajah, turun, dan yang lainnya. Bahkan yang menunjukkan manhaj beliau yang bertolak belakang dengan kaum Asy’ariyyah adalah pengingkaran beliau tentang ta’wil istiwaa’ dengan istilaa’ (menguasai) atau tangan dengan nikmat. Keyakinan ini adalah keyakinan Mu’tazillah dimana beliau dulu pernah berkeyakinan dengannya. Oleh sebab itu, keyakinan/’aqidah kaum Asy’ariyyah yang ada sekarang ini (dimana mereka gemar menta’wilkan sifat-sifat Allah – dan ini diingkari oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy) adalah keyakinan Mu’tazillah yang telah beliau tinggalkan sebelum taubatnya.
Oleh: Abu Al-Jauzaa’ – Perumahan Ciomas Permai, Bogor.
Dicopy dari: abul-jauzaa.blogspot.com

Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua, kepada orang-orang yang ikhlas mencari kebenaran dan orang-orang yang cinta kepada sunnah Nabi dan benci kepada bid’ah. Dan semoga Allah memberikan ganjaran yang selayaknya kepada Ustadz Abul Jauzaa’ atas ketekunannya menulis artikel untuk membela sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allahul musta’an.

Posted by Bahaya Ahbash at 1:06 AM 0 comments
Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to Facebook
Labels: Abu Syafiq, Ahbash, Aqidah, Asy'ariyah
Wednesday, July 15, 2009
Antara Abu Syafiq & Al-Jahmiyyah: Wujudkah Persamaannya?
Penulis artikel: Mohd Hairi Nonchi
Pendidikan Dengan Sains Sosial
Universiti Malaysia Sabah
SMS sahaja: 019-5308036/014-5679652

Apakah al-Jahmiyyah?

Demikianlah persoalan pertama yang ingin saya lontarkan kepada sidang pembaca sekalian terhadap salah satu aliran yang telah "digazetkan" sebagai aliran yang sesat lagi menyesatkan oleh para tokoh al-Sunnah wa al-Jama'ah. Dilihat dari sudut penamaannya, istilah al-Jahmiyyah adalah berasal daripada nama seseorang yang bernama Jahm bin Shafwan yang telah dibunuh oleh Salm bin Ahwaz pada tahun 127H. Aliran ini sangat terkenal dengan dasar pemikiran mereka yang cenderung menggunggulkan akal fikiran di atas al-Qur'an dan al-Sunnah yang sahih sehingga yang demikian mereka telah mencipta pelbagai pemahaman yang sesat lagi menyesatkan di dalam agama.

Antaranya ialah mereka mendakwa bahawa al-Qur'an adalah makhluk Allah, Allah berada di merata tempat (di mana-mana), di samping mereka juga menafikan (meniadakan) sebahagian sifat-sifat Allah khususnya sifat Istiwa' (bersemayam) Allah di atas 'Arasy di atas langit, Tangan (al-Yad) Allah dan lain-lainnya. Dilihat dari segi sejarah asal-usul kelahiran aliran ini, al-Jahmiyyah dipercayai berasal daripada Ja'd ibn Dirham, daripada Aban ibn Sam'an, daripada Thaluth iaitu anak kepada saudara perempuan Lubaid ibn al-A'sham, seorang Yahudi yang pernah mensihir Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Berhubung dengan aliran al-Jahmiyyah, saya (Mohd Hairi) rasa terpanggil untuk membuat ulasan yang agak panjang mengenai aliran ini yang pada masa kini didapati telah pun begitu berkembang dan mendapat sambutan yang meluas oleh segelintir umat Islam di negara kita (Malaysia). Pertama sekali, apa yang ingin saya sentuh di sini ialah sikap mereka yang begitu keras di dalam memusuhi Ahli Sunnah dan para tokohnya. Telah berkata Abu Hatim al-Razi rahimahullah:

"Tanda-tanda aliran al-Jahmiyyah adalah mereka menggelar Ahli Sunnah sebagai al-Musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk –pen). Tanda-tanda aliran al-Qadariyyah adalah mereka menggelar Ahli Sunnah sebagai berfahaman al-Jabariyyah. Tanda-tanda al-Murji'ah adalah mereka menggelar Ahli Sunnah sebagai al-Mukalifah (suka menyimpang) dan al-Nuqshaniyyah (suka mengurangi). Tanda-tanda aliran al-Rafidhah adalah mereka menggelar Ahli Sunnah sebagai al-Tsaniyyah." [Ashl al-Sunnah wa I'tiqad al-Din; dalam Pembongkaran Jenayah Ilmiah Buku Salafiyah Wahabhiyah, Hafiz Firdaus Abdullah (Perniagaan Jahabersa, Johor Bahru, 2003), ms. 34].

Sejalan dengan kenyataan ini ialah Imam al-Barbahari rahimahullah dimana beliau berkata:

"Jika anda mendengar seseorang berkata: "Si fulan adalah al-Musyabbihah atau si fulan berbicara tentang masalah tasybih" maka ketahuilah bahawa dia seorang al-Jahmiyyah." [Syarhus Sunnah; dalam Pembongkaran Jenayah Ilmiah Buku Salafiyah Wahabhiyah, ms. 34].

Berdasarkan kepada penjelasan kedua-dua tokoh Ahli Sunnah di atas, maka jelaslah bagi kita bahawa kaedah yang paling mudah untuk kita mengenali ciri-ciri mereka yang berfahaman al-Jahmiyyah adalah dengan cara melihat sendiri kepada sikap mereka yang begitu mudah menggelari Ahli Sunnah sebagai al-Musyabbihah (golongan menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk).

Antara contoh individu yang boleh dikaitkan dengan ciri-ciri golongan yang berfahaman al-Jahmiyyah ini ialah Abu Syafiq (menerusi web blognya di talian: www.abu-syafiq.blogspot.com), iaitu merupakan salah seorang "tokoh" pendusta tanah air yang dilihat paling lantang dalam mentohmah dan menuduh para pendukung Sunnah sebagai golongan yang berakidah al-Musyabbihah dan al-Mujassimah.

Tidak syak lagi bahawa antara faktor terpenting yang menyebabkan "tokoh" pendusta ini begitu mudah melontarkan pelbagai fitnah ke atas Ahli Sunnah adalah disebabkan oleh kejahilan beliau sendiri di dalam memahami manhaj dan akidah yang dibawa oleh para pendukung al-Sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Contoh mudah bagi menggambarkan fenomena kejahilan beliau ini terhadap manhaj Ahli Sunnah berhubung dengan subjek al-Asma' wa al-Sifat Allah ialah berkaitan dengan persoalan "di manakah Allah".

Memahami manhaj Ahli Sunnah berhubung persoalan "Di Manakah Allah".

Menurut manhaj Ahli Sunnah, apabila seseorang itu ditanya tentang keberadaan Allah, maka dia hendaklah menjawabnya sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Qur'an dan al-Sunnah yang sahih, iaitu dengan menetapkan bahawa "Allah beristiwa' di atas 'Arasy di atas langit-Nya" dengan disertai keyakinan bahawa penetapan sifat al-Istawa' bagi Allah di atas 'Arasy di atas langit itu tidaklah bermaksud bahawa di sana (di atas 'Arasy di atas langit) adanya sesuatu keadaan yang meliputi-Nya sebagaimana yang sering disalah-fahami oleh Ahli Bid'ah, khususnya oleh kedua-dua "tokoh" pendusta di atas serta golongan yang sealiran dengan mereka berdua.

Oleh kerana "tokoh" pendusta ini tidak pernah berhenti dari "menyalakkan" isu Ahli Sunnah sebagai golongan yang berakidah al-Musyabbihah dan al-Mujassimah, maka saya ingin mengambil kesempatan ini untuk memberi sedikit pencerahan (clarification) terhadap fitnah yang dilontarkan oleh mereka berdua tersebut. Diharap dengan penjelasan ini sedikit sebanyak ianya dapat memberi kesedaran kepada beliau dan sesiapa jua yang telah terpengaruh dengan fitnah yang beliau lontarkan selama ini.

Sebelum kita mengorak langkah dengan lebih jauh untuk membahaskan persoalan ini, maka terlebih dahulu akan saya kemukakan beberapa buah hadis berkaitan persoalan "di manakah Allah", disusuli dengan komentar para ulamak Ahli Sunnah yang bermanhaj al-Salaf al-Shalih terhadapnya serta pernyataan para imam muktabar Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah dari kalangan imam empat mazhab:

Hadis pertama.

Muawiyah bin al-Hakam radhiallahu'anhu meriwayatkan bahawa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bertanya kepada seorang hamba wanita:

"Dimanakah Allah?" Hamba itu menjawab: "Di atas langit". Baginda bertanya lagi: "Siapakah saya?" Hamba itu menjawab: "Anda Rasulullah". Maka bersabda baginda: "Bebaskanlah dia kerana sesungguhnya dia adalah seorang yang beriman" [Hadis riwayat Muslim dalam Shahih Muslim – hadis no: 537]

Ketika mengomentari hadis tersebut, Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata:

"Demikian kita melihat setiap orang yang ditanya: Di mana Allah? Nescaya dia akan menjawab dengan fitrahnya: Allah di atas langit. Dalam hadis ini terdapat dua masalah: Pertama, disyariatkannya pertanyaan kepada seorang muslim: Di mana Allah?. Kedua, jawapan orang yang ditanya pertanyaan tersebut: Di atas langit. Barangsiapa yang mengingkari dua masalah ini, maka bererti dia mengingkari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam." [Al-'Uluw lil 'Aliyil Azhim (ms. 81, Mukhtasar al-'Uluw, al-Albani); dinukil dengan sedikit suntingan bahasa daripada buku Di Mana Alloh? Pertanyaan Penting Yang Terabaikan!, Abu Ubaidah As-Sidawi (Media Tarbiyah, Jawa Barat, Indonesia, 2008), ms. 14-15].

Sehubungan dengan ini, Imam Utsman ad-Darimi rahimahullah berkata:

"Dalam hadis ini terdapat dalil bahawa seorang apabila tidak mengetahui kalau Allah itu di atas langit bukan dibumi, maka dia bukan seorang mukmin. Apakah anda tidak tahu bahawa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjadikan tanda keimanan budak wanita tersebut adalah pengetahuannya bahawa Allah di atas langit?!!!" [Ar-Radd ala Jahmiyyah, ms. 46-47; dalam buku Di Mana Alloh? Pertanyaan Penting Yang Terabaikan!, ms. 14-15].

Hadis kedua.

Dari Abu Hurairah bahawasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Rabb (Tuhan) kita turun ke langit dunia pada setiap malam iaitu ketika sepertiga malam terakhir. Dia (Allah) berfirman: "Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku berikan, dan sesiapa yang memohon ampun kepada-Ku, maka akan Aku ampuni" [Hadis riwayat al-Bukhari, hadis no: 1145 dan Muslim, hadis no: 758].

Berhubung dengan hadis di atas, Imam 'Utsman bin Sa'id ad-Darimi rahimahullah berkata:

"Hadis ini sangat pahit bagi kelompok al-Jahmiyyah dan mematahkan fahaman mereka bahawa Allah tidak di atas 'Arasy tetapi di bumi sebagaimana Dia juga di langit. Lantas bagaimanakah Allah turun ke bumi kalau memang Dia sendiri sudah (berada) di atas bumi?!! Sungguh lafaz hadis ini membantah fahaman mereka dan mematahkan hujah mereka." [Naqdhu 'Utsman bin Sa'id 'alal Marisi al-Jahmi al-Anid, ms. 285; dinukil dengan sedikit suntingan bahasa daripada buku Di Mana Alloh? Pertanyaan Penting Yang Terabaikan!, ms. 18].

Sekian dua buah hadis Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkenaan "di manakah Allah?". Ternyata, jawapan yang paling tepat bagi seseorang Muslim yang apabila diajukan pertanyaan kepadanya tentang di manakah Allah, maka dia hendaklah menjawabnya sebagaimana zahir lafaz jawapan wanita dalam hadis di atas, iaitu "Allah di atas langit".

Sebagaimana yang telah diterangkan sebelum ini, sikap Ahli Sunnah ketika berinteraksi dengan Asma' wal al-Sifat Allah adalah dengan menetapkan apa-apa yang Allah sifatkan ke atas diri-Nya, baik menerusi al-Qur'an mahupun al-Sunnah Rasul-Nya yang sahih, memahami maknanya secara zahir sesuai dengan kaedah bahasa Arab itu sendiri, serta menyerahkanya (al-Tafwidh) ciri-ciri, cara dan bentuk sifat-sifat tersebut kepada pengetahuan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan disertai keyakinan bahawa tidak ada sesuatu jua dari kalangan makhluk Allah baik yang berada di langit mahupun yang di bumi yang semisal atau sebanding dengan-Nya, baik dari segi sifat mahupun dari segi Dzat-Nya.

Demikian betapa mudahnya untuk kita memahami manhaj Ahli Sunnah di dalam berinteraksi dengan al-Asma' wa al-Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Amatlah malang apabila manhaj Ahli Sunnah yang amat mudah difahami hatta oleh seorang budak hamba wanita ini tidak begitu difahami oleh Ahli Bid'ah sehingga yang demikian menyebabkan mereka begitu mudah mengaitkan Ahli Sunnah dengan akidah al-Musyabbihah dan al-Mujassimah sebagaimana yang sering ditemui dalam banyak penulisan mereka.

Bagi melengkapkan kefahaman kita terhadap persoalan "di manakah Allah?", maka marilah kita meninjau pula apakah penjelasan para tokoh Ahli Sunnah terhadap persoalan ini, dimulai dengan pernyataan Syaikhul Islam Taqiyuddin Ibn Taimiyyah rahimahullah sebagaimana katanya:

"Sudah tetap lagi kukuh bahawa Allah, adalah Dia Maha Tinggi, paling Tinggi (tiada apa-apa yang lebih Tinggi daripada-Nya). Difahami dari kata-kata "Dia di langit", bahawa Dia pada sifat ketinggian-Nya, bahawa Dia di atas setiap sesuatu yang lain. Oleh kerana itulah apabila seorang hamba ditanya (oleh Rasulullah): "Di mana Allah?" Hamba itu menjawab: "Di langit". Sesungguhnya yang dimaksudkan oleh hamba tersebut ketika menjawab "Allah di langit" ialah sifat Maha Tinggi (al-'Uluw) bagi Allah di samping tidak mengkhususkan Allah dengan jisim-jisim atau keberadaan Allah dalam sesuatu jisim. Apabila dikatakan: Maha Tinggi (al-'Uluw), maka ia mencakupi apa yang di atas sekalian makhluk. Namun ini bukan bermaksud bahawa di sana terdapat satu keadaan yang meliputi Dia kerana di atas alam ini tidak ada sesuatu pun yang wujud kecuali Allah....

Seterusnya sesiapa yang menimbulkan keraguan berkenaan keadaan Allah di langit dengan makna bahawa langit melingkungi-Nya atau meliputi-Nya, maka dia dikira berdusta dan sesat. Seandainya begitulah iktiqad dia terhadap Tuhannya. Tidaklah kami mendengar bahawa ada seorang juga yang memiliki kefahaman sedemikian dengan lafaz sedemikian. Dan tidak juga kami melihat ada seorang jua yang menaqalkan daripada seseorang yang lain." [Bayan Talbis al-Jahmiyyah, jld. 1, ms. 559; dalam Menjawab 17 Fitnah Terhadap Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, Syaikh Murad Syukri (Perniagaan Jahabersa, Johor Bahru, 2008), ms. 87-88, lihat nota kaki no: 77-78].

Dalam keterangannya yang lain, Syakhul Islam menjelaskan:

"Semua ucapan yang disebut oleh Allah (dalam al-Qur'an dan al-Sunnah Nabi-Nya yang sahih –pen) yang mengatakan bahawa Dia di atas 'Arasy mengandungi makna yang benar seperti apa adanya, tidak memerlukan tahrif (dialihkan kepada pengertian lain). Tetapi ia terpelihara dari sangkaan yang tidak benar, umpamanya sangkaan bahawa langit mengangkat atau menaungi-Nya. Pendapat ini adalah batil menurut ijmak (kesepakatan) ahli ilmu dan iman.

Sesungguhnya kursy Allah itu benar-benar meliputi langit dan bumi (sila lihat surah al-Baqarah ayat 255 –pen) agar perjalanan kedua-duanya tidak tergelincir dan Dia menahan langit dan bumi agar tidak meleburkan bumi dengan Izin-Nya. Allah berfirman sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur'an, surah ar-Rahman ayat 25 (yang bermaksud) : Dan sebahagian tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdiri (terbinanya) langit dan bumi dengan perintah-Nya." [Al-Asilatu Wa Ajwibatul Usuliyyah 'Alal Aqidatil Wasathiyyah, Dr. Abd Aziz Muhammad As-Salman; dalam edisi terjemahan oleh Akmal Hj Mhd. Zain di atas judul Soal Jawab Aqidah Islam Menurut AhluS Sunnah Wal Jama'ah (Darul Nu'man, Kuala Lumpur, 1996), ms. 189-190].

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah berkata:

"Di antara (sifat) yang tidak ditetapkan dan juga tidak dinafikan (dalam al-Qur'an dan al-Hadis adalah) lafaz Arah (al-Jihhah). Jika ada yang bertanya: "Apakah ditetapkan (sifat) Arah bagi Allah?" Kami akan menjawab, lafaz Arah tidak disebut dalam al-Qur'an mahu pun al-Hadis, sama ada penetapan atau penafian. Cukuplah kita menggunakan perkataan (lafaz) yang terdapat dalam al-Qur'an dan al-Hadis, iaitu "Allah berada di langit".

Ada pun maknanya, maka ia mungkin bermakna Arah ke bawah, Arah ke atas yang meliputi Allah atau Arah ke atas yang tiada meliputi-Nya. Maka makna yang pertama adalah batil kerana bertentangan dengan sifat ketinggian Allah yang telah ditetapkan beradasarkan al-Qur'an, al-Hadis, akal, fitrah dan ijmak para ilmuan. Makna yang kedua adalah batil juga kerana Allah Ta'ala Maha Agung dari diliputi oleh sesuatu daripada makhluk-Nya. Makna yang ketiga adalah benar kerana Allah jauh Maha Tinggi daripada makhluk-Nya dan tidak ada sesuatu daripada makhluk-Nya yang dapat meliputi-Nya." [Al-Mujalla fi Syarh al-Qawaid al-Mustla fi Shifatillah wa Asmai al-Husna li al-'Allamah Muhammad Shalih al-'Utsaimin, Kamil al-Kawari, ms. 216-218; dalam Menjawab 17 Fitnah Terhadap Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, ms. 87-88, sila lihat nota kaki no: 67].

Selanjutnya, ketika mengomentari hadis berkenaan pertanyaan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada hamba wanita sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Muawiyah bin al-Hakam radhiallahu 'anhu yang telah lalu, Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah sekali lagi berkata:

"Jika mereka menolak bahawa Allah di atas alam semesta kerana akan memberi maksud "arah tertentu" (al-Jihhah), maka mereka salah kerana tiada seorang pun dari alam semesta yang pernah naik menemui Allah Subhanahu wa Ta'ala melainkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, namun baginda menegaskan bahawa Dia Subhanahu wa Ta'ala berada di atas langit lalu menunjuk ke atas kerana itu adalah arah ketinggian (al-'Uluw). Arah 'al-'Uluw' ini tidak terbatas, mengandungi atau meliputi Allah yang Maha Besar. Tiada sesuatu yang (dapat) mengatasi-Nya, yang Maha Tinggi.

Apakah mereka (menafikan sifat ketinggian bagi Allah ini) lebih fasih ucapannya daripada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam? Apakah mereka lebih lurus terhadap ajaran-ajaran agama ini daripada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam? Sudah tentu mereka tidak demikian sama sekali. Dan Nabi tidak berniat hendak membingungkan umatnya. Seandainya ada kedustaan ketika baginda mengesahkan tentang (sifat) ketinggian Allah, pasti Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah menjelaskannya. Namun teks (dalil) tidak memerlukan kesimpulan-kesimpulan dusta yang dibuat oleh mereka yang menafikan ketinggian (al-'Uluw) Dzat Allah di atas alam semesta.

Tidak ada dalil dari al-Qur'an dan al-Sunnah yang mengesahkan bahawa (sifat) ketinggian (Allah di atas 'Arasy di atas langit itu) membayangkan bahawa Allah terkandung pada suatu tempat atau Dia merupakan sebatian tubuh (jisim) atau dalam dalam batas-batas tertentu', kerana Dia di atas segala sesuatu dan tiada makhluk mengatasi alam semesta (kecuali) hanya Allah mengatasi segala sesuatu." [Dinukil daripada buku Tafsiru Ayatil Kursi oleh Syaikh Muhammad Shalil al-'Utsaimin; dalam edisi terjemahan oleh Siti Sujinah Sarnap al-Faqir Ibnu Hussin di atas judul Tafsir Ayat al-Kursi, (Perniagaan Jahabersa, Johor Bahru, 2005), ms. 65-66, sila lihat notakaki no: 76].

Demikian huraian para tokoh Ahli Sunnah dari generasi awal Islam mengenai persoalan "keberadaan" Allah di atas langit. Kembali kepada syubhat (kekeliruan) yang sering ditimbulkan oleh Ahli Bid'ah di atas, bahawa dengan menetapkan sifat Allah "beristiwa di atas langit di atas 'Arasy-Nya di langit" - sebagaimana yang menjadi manhaj Ahli Sunnah - hanyalah akan membawa kepada tasybih dan tajsim, iaitu Allah sebagai Tuhan yang "bertempat", maka saya (Mohd Hairi) berkata:

· Pertama: Lafaz "Allah beristiwa' di atas 'Arasy-Nya di atas langit" itu bukanlah lafaz yang sengaja diada-adakan oleh Ahli Sunnah melainkan ianya merupakan lafaz yang didatangkan oleh Allah sendiri secara berulang kali baik menerusi al-Qur'an mahupun lisan Rasul-Nya, Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam. Sila lihat ayat-ayat berikut: [1] Surah Taha, ayat 5, [2] Surah al-A'raf, ayat 54, [3] Surah Yunus, ayat 3, [4] Surah al-Furqan, ayat 59, [5] Surah ar-Rad'd, ayat 2 dan [6] Surah As-Sajadah, ayat 4.

Manakala bagi hadis pula, cukuplah saya bawakan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muawiyah bin al-Hakam radhiallahu'anhu (Shahih Muslim – hadis no. 537) sebagaimana yang saya telah kemukakakan pada lembaran yang lalu. Justeru, siapakah kita yang berlagak lebih alim daripada Dzat yang menurunkan lafaz itu dan menetapkannya sebagai salah satu sifat-Nya untuk mempersoalkan lafaz wahyu itu, lalu mendakwa ianya perlu digantikan kepada perkataan dan lafaz yang lain demi mengikuti kehendak hawa nafsu dan andaian logik akal manusiawi kononnya bagi mengelakkan tasybih dan tajsim bagi Allah?

Ketahuilah bahawa para tokoh generasi awal Islam (al-Salaf al-Shalih) tidak ada seorang pun jua yang mendakwa adanya keperluan untuk menggantikan/menghapuskan lafaz-lafaz wahyu mengenai sifat-sifat Allah yang sedia ada itu kepada lafaz yang lain bagi mengelakkan tasybih dan tajsim, walhal merekalah golongan yang paling arif lagi mendalam ilmunya mengenai sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala serta mendapat pengiktirafan yang langsung dari lidah Nabi shalallahu 'alaihi wasallam sebagai khairul qurun atau sebaik-baik generasi sebagaimana sabdanya: “Sebaik-baik generasi ialah generasiku, kemudian orang-orang yang sesudahnya (tabi'in) dan kemudian orang-orang yang sesudahnya (tabi'ut at tabi'in)” [Dikeluarkan oleh al-Bukhari dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadith al-Sahihah – hadis no: 700].

Perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala berikut ini: "Hanya milik Allah al-Asma’ al-Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut al-Asma’ al-Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. [Surah al-A’raaf :180]

Tidak syak lagi bahawa dakwaan Ahli Takwil akan wajibnya menggantikan sebahagian lafaz nas al-Sifat Allah kepada lafaz yang lain dengan alasan bagi mengelakkan tasybih dan tajsim ke atas Allah adalah menyerupai manhaj kaum Yahudi sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dan keterangan Imam Ibn Khuzaimah rahimahullah, iaitu salah seorang ulamak Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah yang mengikutinya seperti berikut: "Iaitu orang-orang Yahudi, mereka mentahrif (mengubah) perkataan dari tempat-tempatnya..." [Surah an-Nisa': 46]

Berkata Imam Ibn Khuzaimah rahimahullah dari kalangan ulamak asy-Syafi'iyah:

"Kami beriman dengan khabar dari Allah Jalla wa 'Ala, sesungguhnya Pencipta kami Dia beristiwa' di atas 'Arasy-Nya. Kami tidak mengganti/mengubah kalam (firman) Allah dan kami tidak akan mengcuapkan perkataan yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada kami sebagaimana (perbuatan kaum) yang menghilangkan sifat-sifat Allah seperti golongan al-Jahmiyyah yang pernah berkata: "Sesungguhnya Dia (Allah) Istaula' (menguasai) 'Arasy-Nya bukan Istiwa'! Maka mereka telah mengganti perkataan yang tidak pernah dikatakan (oleh Allah dan Rasul-Nya) kepada mereka.

(Tindakan mereka ini) menyerupai perbuatan Yahudi tatkala diperintahkan (oleh Allah) mengucapkan (lafaz) "Hithtatun" (yang bermaksud: Ampunkanlah dosa-dosa kami), tetapi mereka mengucapkan (mengubah) "Hinthah" (yang bermaksud: makanlah gandum)!. Mereka (kaum Yahudi) telah menyalahi perintah Allah yang Maha Agung dan Maha Tinggi, maka seperti itulah (juga perbuatan kaum) al-Jahmiyyah" [Ibn Khuzaimah, Kitab at-Tauhid fi Ithbat as-Sifat, ms. 10; dalam Koleksi Kuliah-Kuliah Akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah Menurut Manhaj Salaf As-Soleh, Ustaz Rasul Dahri (Perniagaan Jahabersa, Johor Bahru, 2001), ms. 41-42].

· Kedua: Menetapkan sifat Allah sebagai Tuhan yang beristiwa' di 'Arasy di atas langit tidaklah bermaksud menggambarkan bahawa Dia (Allah) memerlukan kepada suatu tempat atau ruang yang dapat meliputi dan melingkungi-Nya. Ini sudah dijelaskan berkali-kali dalam huraian yang lalu. Dakwaan bahawa dengan menetapkan sifat Istiwa' bagi Allah di atas 'Arasy-Nya di atas langit sebagai mensifati-Nya dengan sifat "bertempat" hanyalah merupakan rumusan yang berasal dari Ahli Bid'ah itu sendiri berdasarkan logik akal mereka, bukannya Ahli Sunnah.

Tidak dapat dibayangkan bagaimana mungkin manhaj menetapkan sifat Istiwa' Allah di atas 'Arasy-Nya di atas langit itu yang menjadi dasar akidah Ahli Sunnah sejak zaman Nabi shalallahu 'alaihi wasallam dan para sahabat radhiallahu 'anhum itu boleh membawa Ahli Sunnah kepada keyakinan bahawa Allah sebagai Tuhan yang diliputi oleh suatu ruangan/tempat seperti langit-Nya, sedangkan Ahli Sunnah sendiri telah maklmum lagi arif akan firman-Nya yang bermaksud "Luasnya kursy-Nya meliputi langit dan bumi" [Surah al-Baqarah: 255]. Justeru, bagaimana mungkin Ahli Sunnah boleh beriktikad bahwa Allah itu dilitupi atau dilingkungi oleh langit-Nya sedangkan yang meliputi langit itu sendiri adalah Kursy-Nya, manakala Dia, iaitu Allah, berada di atas segala-galanya dan terpisah dari segala makhluk-Nya (termasuk langit kerana langit itu adalah makhluk-Nya juga) ?

Kesimpulannya, dalam hal ini kesalahan tidak terletak kepada pihak Ahli Sunnah. Sebaliknya yang bersalah ialah Ahli Bid'ah itu sendiri yang sememangnya sering dalam kebingungan dalam berinteraksi dengan sifat-sifat Allah sehingga mengaitkan sifat Istiwa' Allah di atas 'Arasy-Nya di atas langit dengan sifat "bertempat". Lucunya, natijah dari kebingungan mereka mengenai sifat-sifat Allah ini pula mereka letakkan kepada Ahli Sunnah, lalu dengan penuh angkuh mereka mendakwa merekalah Ahli Sunnah yang "sejati" dan berakidah murni, manakala Ahli Sunnah yang secara terang-terangan berpegang teguh kepada manhaj al-Salaf al-Shalih pula mereka gelar sebagai golongan al-Mujassimah dan al-Musyabbihah. Subhanallah!

Sebagaimana yang telah saya nyatakan sebelum ini, menetapkan sifat Istawa' Allah di atas 'Arasy di atas langit-Nya itu bukanlah manhaj golongan Ahli Sunnah yang dimasyhurkan dengan gelaran "wahabi" semata-mata sepertimana dakwaan Ahli Bid'ah, malah manhaj ini juga merupakan manhaj yang menjadi pegangan seluruh para tokoh Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah dari kalangan generasi awal umat Islam (al-Salaf al-Shalih). Bagi membuktikan kenyataan ini, berikut akan saya paparkan beberapa pernyataan dari para tokoh Ahli Sunnah yang saya maksudkan, dimulai dengan pengakuan para imam mazhab sebagai pembuktian mengenai kesepakatan (ijmak) mereka terhadap manhaj tersebut:

Imam al-Auza'i rahimahullah yang dianggap Imam ahli Syam di zamannya. Beliau menegaskan:

"Kami dan para tabi'in semuanya menetapkan dengan kesepakatan (ijmak) qaul kami bahawa: Sesungguhnya Allah di atas 'Arasy-Nya dan kami beriman dengan apa yang telah dinyatakan oleh al-Sunnah berkenaan sifat-sifat Allah Ta'ala." [Fathul Bari, Ibn Hajar al-'Asqalani; dalam Koleksi Kuliah-Kuliah Akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah Menurut Manhaj Salaf As-Soleh (Jilid 1), Ustaz Rasul Dahri (Perniagaan Jahabersa, Johor Bahru, 2001), ms. 14].

Berkata Imam Abu Hanifah rahimahullah:

"Sesiapa yang mengingkari sesungguhnya Allah berada di atas langit, maka sesungguhnya dia telah kafir. Adapun terhadap orang yang tawaqquf (diam) dengan mengatakan: Aku tidak tahu apakah Tuhanku di langit atau di bumi? Berkata Imam Abu Hanifah: Sesungguhnya dia telah kafir kerana Allah telah berfirman: Ar-Rahman di atas 'Arasy al-Istiwa.'" [Mukhtasar al-'Ulum, ms. 137, tahqiq al-Albani. Dalam Koleksi Kuliah-Kuliah Akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah ...., ms. 38-39].

Berkata Imam Malik rahimahullah:

"Allah berada di atas langit sedangkan ilmu-Nya di tiap-tiap tempat (di mana-mana), tidak tersembunyi sesuatu pun daripada-Nya." [Mukhtasar al-'Ulum, ms. 140; dalam Koleksi Kuliah-Kuliah Akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah...., ms. 39].

Berkata Imam asy-Syafi'e rahimahullah:

"Sesungguhnya Allah di atas 'Arasy-Nya dan 'Arasy-Nya di atas langit." [Mukhtasar al-'Ulum, ms. 179; dalam Koleksi Kuliah-Kuliah Akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah...., ms. 39].

Ibn Abi Hatim meriwayatkan daripada Yunus Ibn 'Abd Al-'Ala, katanya :

"Aku mendengar asy-Syafi'e berkata: "Allah mempunyai nama-nama dan sifat-sifat (al-Asma' wa al-Sifat) yang tidak boleh sesiapa pun menolaknya, dan sesiapa yang menyalahinya setelah nyata hujah ke atasnya, maka sesungguhnya dia telah kufur. Adapun sebelum tertegaknya hujah, maka sesungguhnya dia dimaafkan di atas kejahilan itu kerana ilmu yang demikian itu tidak boleh dicapai melalui akal, mimpi, atau fikiran. Maka kita menetapkan (ithbat) sifat-sifat ini dan kita juga menafikan tasybih (penyerupaan) dari-Nya sebagaimana dia menafikan dari diri-Nya" [Fathul Bari Bi Sharh Shahih al-Bukhari, Ibn Hajar al-'Asqalani; jld. 13, ms. 407; dalam Siapakah Ahli Sunnah Yang Sebenar, Dr. Azwira Abdul Aziz (Perniagaan Jahabersa, Johor Bahru, 2006), ms. 77-68].

Berkata Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah:

"Benar! Allah di atas 'Arasy-Nya dan tidak sesiapa pun yang tersembunyi daripada pengetahuan-Nya" [Mukhtasar al-'Ulum, ms. 188; dalam Koleksi Kuliah-Kuliah Akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah...., ms. 39].

Atsar Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah menjelaskan:

"Barangsiapa tidak menetapkan Allah Ta'ala di atas 'Arasy-Nya dan Allah Istiwa' di atas tujuh langit-Nya, maka dia telah kafir dengan Tuhannya" [Ma'rifah 'Ulum al-Hadits, ms. 84; dalam Koleksi Kuliah-Kuliah Akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah...., ms. 39-40].

Atsar Syaikhul Islam Abdul Qadir al-Jailani rahimahullah menjelaskan:

"Tidak boleh mensifatkan-Nya bahawa Dia berada di tiap-tiap tempat, bahkan (wajib) mengatakan: Sesungguhnya Dia di atas langit (yakni) di atas 'Arasy sebagaimana Dia telah berfirman: "(Allah) Ar-Rahman di atas 'Arasy, Dia beristiwa'. Dan patutlah memutlakkan sifat Istiwa' dengan Dzat-Nya di atas 'Arasy. Keadaan-Nya di atas 'Arasy disebut pada Nabi yang Dia utus tanpa (bertanya): Bagaimana caranya (Allah al-Istiwa' di atas 'Arasy-Nya)." [Fatwa Hamwiyah Kubra, ms. 84; dalam Koleksi Kuliah-Kuliah Akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah...., ms. 40].

Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari rahimahullah:

"Di atas langit-langit itulah 'Arasy, maka tatkala 'Arasy berada di atas langit-langit Allah berfirman: Apakah kamu merasa aman terhadap Dzat yang berada di atas langit? Sesungguhnya Dia Istiwa' di atas 'Arasy yang berada di atas langit dan tiap-tiap yang tinggi itu dinamakan 'As-Sama' (langit), maka 'Arasy berada di atas langit. Bukanlah yang dimaksudkan di dalam firman: Apakah kamu merasa aman terhadap Dzat yang berada di atas langit? Bukan di seluruh langit! Tetapi 'Arasy-Nya yang berada di atas langit." [Al-Ibanah an Ushul ad Diyanah, ms. 48; dalam Koleksi Kuliah-Kuliah Akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah...., ms. 40-41].

Penutup.

Sebagai mengakhiri perbahasan ini, berikut saya paparkan pula beberapa lagi pernyataan para ulamak muktabar Ahli Sunnah berkenaan manhaj mereka di dalam menetapkan sifat Istawa' Allah di atas 'Arasy di atas langit :

Imam adz-Dzahabi rahimahullah telah berkata:

"Ucapan para al-Salaf dan Imam-Imam Sunnah bahkan para sahabat, Allah, Nabi dan seluruh kaum muslimin bahawasanya Allah di atas langit dan di atas 'Arasy, dan bahawa Allah turun ke langit dunia. Hujah-hujah mereka adalah hadis-hadis dan atsar-atsar yang sangat banyak." [Al-'Uluw, ms. 143; dalam buku Di Mana Alloh? Pertanyaan Penting Yang Terabaikan!, ms. 18].

Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah ketika ditanya tentang bagaimana untuk kita mengetahui di mana Allah? Beliau menyatakan:

"Ketika ditanya kepada Abdullah bin al-Mubarak: Bagaimana kita boleh mengetahui di mana Tuhan kita? Beliau menjawab: Dengan mengetahui bahawa Dia di atas langit ketujuh di atas 'Arasy-Nya." [As-Sunnah, Abdullah bin al-Imam Ahmad, ms. 5; dalam Koleksi Kuliah-Kuliah Akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah...., ms. 18].

Berkata Syaikh Abu Nashr al-Sijzi rahimahullah dalam kitabnya al-Ibanah:

"Para imam kami seperti Sufyan al-Tsauri, Malik (bin Anas), Sufyan bin 'Uyainah, Hammad bin Salamah, Hammad bin Zaid, 'Abd Allah bin al-Mubarak, Fudhail bin 'Iyadh, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah semuanya bersepakat mengatakan bahawa Allah pada Dzat-Nya di atas 'Arasy." [Dar'u Ta'arudh, jld. 6, ms. 250; dalam Menjawab 17 Fitnah Terhadap Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, ms. 83].

Berkata Syaikh Abu 'Umar al-Thalamanki rahimahullah dalam kitabnya al-Wushul ila Ma'rifat al-Ushul:

"Telah bersepakat umat Islam daripada kalangan Ahli Sunnah wal Jamaah atas firman Allah: "Dan Allah tetap bersama-sama kamu di mana sahaja kamu berada" [surah al-Hadid: 4] dan ayat yang seumpama, bahawa ia bermaksud (kebersamaan dari sudut) ilmu-Nya (dan bukan Dzat-Nya). Allah di atas langit dengan Dzat-Nya, Istawa' di atas 'Arasy dengan cara yang layak bagi-Nya. Dan berkata para tokoh Ahli Sunnah wal Jamaah terhadap friman-Nya: "(Allah) Ar-Rahman yang bersemayam di atas 'Arasy" [surah Taha: 5], bahawa Allah Istawa' di atas 'Arasy secara hakikat dan bukan kiasan." [Dar'u Ta'arudh, jld. 6, ms. 250; dalam Menjawab 17 Fitnah Terhadap Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, ms. 84]

Berkata Syaikh Nashr al-Maqdisi rahimahullah dalam kitabnya al-Hujjah 'ala Taraka al-Mahajjah, sekiranya ada orang bertanya:

"Sesungguhnya anda telah menyebut bahawa yang wajib ke atas umat Islam ialah mengiktui al-Qur'an dan al-Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam serta apa yang menjad kesepakatan para imam dan ulamak sehingga menjadi dasar Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah. Maka sebutlah mazhab mereka umat Islam dan apa yang telah mereka sepakati dalam perkara akidah dan apa yang patut kita ikut berdasarkan kesepakatan mereka" Maka jawapannya: "Apa yang telah saya terima daripada para ilmuan dan orang yang saya temui dan orang yang saya ambil (riwayat) daripada mereka ialah (maka dia menyebut sejumlah dasar Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah ... di antaranya) sesungguhnya Allah Istawa' di atas 'Arasy-Nya, terpisah daripada makhluk-Nya." [Dar'u Ta'arudh, jld. 6, ms. 251; dalam Menjawab 17 Fitnah Terhadap Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, ms. 84-85].