Tuesday, September 20, 2016

Tolok Ukur Kebenaran Adalah Secara Syar'i


Hindari tolok ukur kebenaran ala jahiliyah [1]
Oleh
Syaikh Shalih Fauzan bin Abdullah Al Fauzan
Setiap kali mendengar kata-kata jahiliyah, maka tergambarlah di benak kita dengan berbagai kebiasaan buruk yang dilakukan manusia sebelum kedatangan Islam. Dan memang, semua yang dikaitkan dengan kata-kata jahiliyah, semuanya memiliki konotasi buruk dan kita dilarang mengikutinya.
Alhamdulillah, secara umum masa Jahiliyah itu sudah berakhir [2] seiring dengan diutusnya Muhammad n sebagai rasul dengan membawa Al Qur`an sebagai pedoman hidup. Namun, ini bukan berarti semua tradisi jahiliyah juga sudah terkikis habis. Tradisi atau tabiat jahiliyah masih ditemukan pada diri seseorang atau satu kelompok tertentu, atau bahkan pada satu wilayah negara. Sebagaimana tersirat dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendengar ada seseorang menghina kawannya dengan ucapan “Hai anak wanita hitam!” Kemudian Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menegurnya dengan bersabda: “Apakah engkau menghinanya karena ibunya?” Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ

Sesungguhnya engkau manusia yang masih terjerat tabiat jahiliyah [HR Muslim].

Juga sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ

Ada empat perkara jahiliyah yang ada pada umatku, mereka tidak meninggalkannya ; yaitu mencaci keturunan, membanggakan kedudukan, meratapi orang meninggal dunia, serta mengaitkan turunnya hujan dengan bintang-bintang.[3]

Juga ketika terjadi pertengkaran antara seorang Anshar dan Muhajirin, lalu masing-masing mencari pendukung. Seseorang yang dari Anshar memanggil orang Anshar “hai, orang Anshar!” dan dari Muhajirin memanggil orang Muhajirin, dia berkata “wahai kaum Muhajirin”. Menanggapi kejadian tersebut, Rasulullah bersabda,”Apakah kalian masih bangga dengan semboyan jahiliyah, sementara aku masih berada di tengah kalian? Tinggalkanlah fanatisme itu, karena itu berbau busuk!”

Dari sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas, para ulama berpendapat, masih adanya tradisi jahiliyah yang melekat di tengah masyarakat. Sehingga para ulama bangkit menjelaskannya, agar masyarakat menjauhinya dan tetap istiqamah menempuh jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Karena tradisi jahiliyah bertentangan dengan syariat yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Diantara tradisi jahiliyah yang diperingatkan oleh para ulama agar dijauhi, yaitu tradisi jahiliyah dalam menilai sebuah kebenaran dan sumber nilai itu sendiri. Islam mengajarkan kepada penganutnya agar meyakini dan mengamalkan semua yang diperintahkan dalam Al Qur’an dan Sunnah berdasarkan pemahaman Salafush Shalih. Begitu juga dalam menilai sesuatu itu benar atau tidak, Islam mengajarkan agar mejadikan Al Qur’an dan Sunnah tolok ukurnya. Berbeda dengan tradisi jahiliyah, mereka menjadikan pendapat nenek moyang serta pendapat mayoritas orang sebagai tolok ukur. Yang sejalan dianggap benar dan yang bertentangan dinilai salah.

BERALASAN DENGAN KEBIASAAN MAYORITAS MANUSIA, TANPA MELIHAT DALILNYA
Diantara kebiasaan jahiliyah, yaitu terpedaya dengan pendapat mayoritas, menjadikannya sebagai standar menilai kebenaran. Suatu kebenaran didasarkan kepada pendapat mayoritas. Sebaliknya, pendapat minoritas dianggapnya sebagai kebathilan tanpa melihat dalil-dalilnya. Penilaian yang didasarkan dengan argumen seperti di atas tanpa melihat dalil yang mendukungnya, merupakan cara pandang bathil dan bertentangan dengan Islam. Allah berfirman.

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalanNya [Al An’am : 116].

وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ

Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [Al A’raf : 187].

وَمَاوَجَدْنَا لأَكْثَرِهِم مِّنْ عَهْدٍ وَإِن وَجَدْنَآ أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ

Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik. [Al A’raf : 102].

Dan masih banyak lagi ayat lain yang menjelaskan hal itu.

Jadi, yang menjadi tolok ukur kebenaran bukanlah mayoritas ataupun minoritas, akan tetapi, seharusnya adalah kebenaran itu sendiri, meskipun pendapat ini dianut oleh satu orang saja. Jika mayoritas manusia berjalan di atas pendapat yang bathil, maka harus ditolak. Oleh sebab itu, para ulama berkata “kebenaran itu tidak bisa dikenali dengan manusia, tetapi justru manusia itu dikenali dengan kebenaran”. Siapapun yang berjalan di atas kebenaran, maka ia harus diikuti.
Ketika menceritakan umat-umat terdahulu, Allah l memberitahukan bahwa minoritas sering berada dalam kebenaran. Sebagaimana firman Allah :

وَمَآءَامَنَ مَعَهُ إِلاَّ قَلِيلٌ

Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit. [Hud : 40].

Dalam sebuah hadits terdapat riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diperlihatkan tentang pengikut para nabi terdahulu. Ada nabi yang diikuti oleh beberapa orang saja. Ada yang hanya disertai oleh seorang saja, bahkan ada nabi yang tanpa pengikut.

Jadi tolok ukur kebenaran bukan karena jumlah pengikutnya yang besar, tetapi tolok ukurnya adalah kebenaran atau kebathilan yang menyertainya. Setiap yang benar meskipun pengikutnya sedikit, maka harus dipegang teguh. Itulah jalan keselamatan. Dan semua kebathilan, tidak bisa berubah menjadi benar hanya karena jumlah pengikutnya yang banyak. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ

Islam itu muncul sebagai agama yang asing dan suatu saat akan kembali asing sebagaimana pertama kali muncul. [4]

Maksudnya ketika kejahatan, fitnah dan kesesatan melanda manusia, yang tersisa berpegang teguh dengan kebenaran hanyalah segelintir orang yang dianggap asing, hanya beberapa gelintir orang dari suku-suku yang ada, sehingga menjadi asing di tengah masyarakat. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus, umat manusia berada dalam kekufuran dan kesesatan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tampil mengajak manusia, namun hanya diterima oleh beberapa orang saja, yang kemudian terus bertambah banyak. Suku Quraisy, seluruh tanah Arab, juga seluruh dunia berada dalam kesesatan. Sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri mengajak umat manusia kepada kebenaran, tetapi yang menerima dakwah Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengikutinya sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah manusia di seluruh dunia. Allah berfirman :

وَمَآأَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ

Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya. [Yusuf:103].

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalanNya. [Al An’am:116].

BERARGUMENTASI DENGAN PENDAPAT LELUHUR (NENEK MOYANG) TANPA MENELITI SUMBER PENDAPAT ITU
Ketika para rasul datang membawa kebenaran dari Allah Azza wa Jalla, kaum jahiliyah membantahnya dengan menggunakan pendapat nenek moyang mereka. Ketika Nabi Musa Alaihissallam mengajak Fir’aun agar beriman, Fir’aun berdalih dengan pendapat orang-orang kafir terdahulu. Ini merupakan argumen yang bathil dan alasan ala jahiliyah. Begitu pula jawaban kaum Nabi Nuh Alaihissallam ketika diajak untuk beriman kepada Allah Azza wa Jalla, mereka justru berkata sebagaimana tersebut di dalam Al Qur`an :

مَاهَذَآ إِلاَّبَشَرٌ مِّثْلَكُمْ يُرِيدُ أَن يَتَفَضَّلَ عَلَيْكُمْ وَلَوْ شَآءَ اللهُ لأَنزَلَ مَلاَئِكَةً مَّاسَمِعْنَا بِهَذَا فِي ءَابَآئِنَا اْلأَوَّلِينَ
Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, yang bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih tinggi dari kamu. Dan kalau Allah menghendaki, tentu Dia mengutus beberapa orang malaikat. Belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti) ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu. [Al Mukminun:24]

Mereka menolak dakwah Nabi Nuh Alaihissallam dengan pendapat nenek moyang mereka yang disangka benar. Adapun ajaran yang dibawa Nabi Nuh Alaihissallam dianggap salah, juga karena bertentangan dengan pendapat nenek moyang mereka. Begitu juga orang-orang kafir Quraisy ketika menyanggah dakwah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka mengatakan:

مَاسَمِعْنَا بِهَذَا فِي الْمِلَّةِ اْلأَخِرَةِ إِنْ هَذَآ إِلاَّ اخْتِلاَقٌ
Kami tidak pernah mendengar hal ini (mengesakan Allah) dalam agama yang terakhir; ini tidak lain hanyalah(dusta) yang diada-adakan. [Shad:7].

Maksud dari agama yang terakhir ialah, ajaran nenek moyang mereka. Ajaran yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dianggap merupakan dusta. Mengapa? Tidak lain karena bertentangan dengan ajaran nenek moyang orang-orang Quraisy yang menyembah berhala. Mereka tidak kembali kepada agama kakeknya, yaitu Ibrahim Alaihissallam dan Ismail Alaihissallam. Tetapi justru menyanggahnya dengan merujuk kepada nenek moyang mereka yang lebih muda. Maksudnya bapak-bapak dan kakek-kakek mereka di Mekkah, yaitu orang-orang kafir Quraisy. Itulah kebiasaan orang-orang kafir jahiliyah, yaitu beralasan dengan orang-orang terdahulu, tanpa melihat sumber pengambilannya.

Padahal, semestinya orang yang berakal memperhatikan ajaran para rasul, lalu membandingkannnya dengan ajaran nenek moyangnya, agar tampak jelas antara yang haq dan yang bathil. Menutup diri sembari mengatakan “kami hanya menerima pendapat nenek moyang kami saja dan tidak menerima pendapat yang bertentangan dengannya” ini, bukanlah tradisi orang-orang yang berakal, lebih-lebih bagi yang menginginkan kesalamatan.

Sekarang ini, bila penyembah kubur dilarang melakukannya, biasanya mereka mengatakan, “ini merupakan tradisi di negeri fulan”, “ini kebiasaan anggota jama’ah fulan”, atau “inilah kebiasaan orang-orang terdahulu”. Begitu juga orang-orang yang terbiasa merayakan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bila dilarang, mereka akan membantah “ini sudah dilakukan oleh orang-orang sebelum kami, kalau memang perayaan ini bathil, tentu tidak akan mereka lakukan”.

Inilah di antara hujjah ala jahiliyah. Menjadi jelaslah bagi kita, bahwa yang boleh dijadikan sebagai ukuran hanyalah Al Qur`an, Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat yang mendapat bimbingan langsung dari Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Itulah tolok ukur kebenaran yang benar. Yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pasti benar. Allah tidak pernah menyuruh manusia mengikuti nenek moyangnya. Kalaulah tradisi nenek moyang sudah cukup bagi kita, tentu Allah k tidak akan mengutus seorang rasul ke dunia.
(Diangkat dari kitab Syarh Masail Jahiliyah, Karya Syaikh Shalih Fauzan bin Abdullah Al Fauzan)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun IX/1426H/2005M ]
_______
Footnote
[1]. Syarah Masail Jahiliyah, karya Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan.
[2]. Lihat Syarh Masail Jahiliyah, hlm. 14.
[3]. HR Bukhari dengan ringkas dan Muslim, dan lafazh dari Muslim no. 934.
[4]. Dikeluarkan oleh Imam Muslim, no. 146.

Jika berbicara tanpa ilmu

Memahami ilmu agama merupakan kewajiban atas setiap muslim dan muslimah. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim. [HR. Ibnu Majah no:224, dan lainnya dari Anas bin Malik. Dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani]

Dan agama adalah apa yang telah difirmankan oleh Alloh di dalam kitabNya, Al-Qur’anul Karim, dan disabdakan oleh RosulNya di dalam Sunnahnya. Oleh karena itulah termasuk kesalahan yang sangat berbahaya adalah berbicara masalah agama tanpa ilmu dari Alloh dan RosulNya.
Sebagai nasehat sesama umat Islam, di sini kami sampaikan di antara bahaya berbicara masalah agama tanpa ilmu:

1.Hal itu merupakan perkara tertinggi yang diharamkan oleh Allah.

Alloh Ta’ala berfirman:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu)” (Al-A’raf:33)

Syeikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baaz rohimahulloh berkata: “Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk perkara terbesar yang diharamkan oleh Allah, bahkan hal itu disebutkan lebih tinggi daripada kedudukan syirik. Karena di dalam ayat tersebut Alloh mengurutkan perkara-perkara yang diharamkan mulai yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
Dan berbicara tentang Alloh tanpa ilmu meliputi: berbicara (tanpa ilmu) tentang hukum-hukumNya, syari’atNya, dan agamaNya. Termasuk berbicara tentang nama-namaNya dan sifat-sifatNya, yang hal ini lebih besar daripada berbicara (tanpa ilmu) tentang syari’atNya, dan agamaNya.” [Catatan kaki kitab At-Tanbihat Al-Lathifah ‘Ala Ma Ihtawat ‘alaihi Al-‘aqidah Al-Wasithiyah, hal: 34, tahqiq Syeikh Ali bin Hasan, penerbit:Dar Ibnil Qayyim]

2. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk dusta atas (nama) Allah.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلاَلٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ

Dan janganlah kamu mengatakan terhadapa apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (QS. An-Nahl (16): 116)

3.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan kesesatan dan menyesatkan orang lain.

Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hambaNya sekaligus, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan seorang ‘alim-pun, orang-orang-pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu ditanya, kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan orang lain. (HSR. Bukhari no:100, Muslim, dan lainnya)

Hadits ini menunjukkan bahwa “Barangsiapa tidak berilmu dan menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan tanpa ilmu, dan mengqias (membandingkan) dengan akalnya, sehingga mengharamkan apa yang Alloh halalkan dengan kebodohan, dan menghalalkan apa yang Allah haramkan dengan tanpa dia ketahui, maka inilah orang yang mengqias dengan akalnya, sehingga dia sesat dan menyesatkan. (Shahih Jami’il Ilmi Wa Fadhlihi, hal: 415, karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, diringkas oleh Syeikh Abul Asybal Az-Zuhairi)

4.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mengikuti hawa-nafsu.

Imam Ali bin Abil ‘Izzi Al-Hanafi rohimahulloh berkata: “Barangsiapa berbicara tanpa ilmu, maka sesungguhnya dia hanyalah mengikuti hawa-nafsunya, dan Allah telah berfirman:

وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللهِ

Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun (Al-Qashshash:50)” (Kitab Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393)

5.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mendahului Allah dan RasulNya.

Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Hujuraat: 1)

Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rohimahulloh berkata: “Ayat ini memuat adab terhadap Alloh dan RosulNya, juga pengagungan, penghormatan, dan pemuliaan kepadanya. Alloh telah memerintahkan kepada para hambaNya yang beriman, dengan konsekwensi keimanan terhadap Alloh dan RosulNya, yaitu: menjalankan perintah-perintah Alloh dan menjauhi larangan-laranganNya. Dan agar mereka selalu berjalan mengikuti perintah Alloh dan Sunnah RosulNya di dalam seluruh perkara mereka. Dan agar mereka tidak mendahului Alloh dan RosulNya, sehingga janganlah mereka berkata, sampai Alloh berkata, dan janganlah mereka memerintah, sampai Alloh memerintah”. (Taisir Karimir Rahman, surat Al-Hujurat:1)

6.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu menanggung dosa-dosa orang-orang yang dia sesatkan.

Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu adalah orang sesat dan mengajak kepada kesesatan, oleh karena itu dia menanggung dosa-dosa orang-orang yang telah dia sesatkan. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam:

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

Barangsiapa menyeru kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa sebagaimana dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun. (HSR. Muslim no:2674, dari Abu Hurairah)

7.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu akan dimintai tanggung-jawab.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. (QS. Al-Isra’ : 36)
Setelah menyebutkan pendapat para Salaf tentang ayat ini, imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata: “Kesimpulan penjelasan yang mereka sebutkan adalah: bahwa Alloh Ta’ala melarang berbicara tanpa ilmu, yaitu (berbicara) hanya dengan persangkaan yang merupakan perkiraan dan khayalan.” (Tafsir Al-Qur’anul Azhim, surat Al-Isra’:36)

8.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan.

Syeikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami menyatakan: “Fashal: Tentang Haramnya berbicara tentang Allah tanpa ilmu, dan haramnya berfatwa tentang agama Allah dengan apa yang menyelisihi nash-nash”. Kemudian beliau membawakan sejumlah ayat Al-Qur’an, di antaranya adalah firman Allah di bawah ini:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. 5:44)

9.Berbicara agama tanpa ilmu menyelisihi jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rohimahulloh menyatakan di dalam aqidah Thahawiyahnya yang masyhur: “Dan kami berkata: “Wallahu A’lam (Allah Yang Mengetahui)”, terhadap perkara-perkara yang ilmunya samar bagi kami”. [Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393]

10.Berbicara agama tanpa ilmu merupakan perintah syaithan.

Allah berfirman:

إِنَّمَا يَأْمُرُكُم بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَآءِ وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan kepada Allah apa yang tidak kamu ketahui. (QS. 2:169)

Keterangan ini kami akhiri dengan nasehat: barangsiapa yang ingin bebicara masalah agama hendaklah dia belajar lebih dahulu. Kemudian hendaklah dia hanya berbicara berdasarkan ilmu. Wallohu a’lam bish showwab. Al-hamdulillah Rabbil ‘alamin.
Penulis: Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari