Sunday, September 4, 2016

Ulama Syafi’iyah Antara Salafi Dan Asy’ari

Hasil gambar untuk ulama syafiiyah

oleh: dr. M Faiq Sulaifi
Daftar Isi

Mukaddimah

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ، ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله

(أما بعد)

Di kalangan mayoritas kaum muslimin di Indonesia terkenal dengan istilah “Ahlus Sunnah wal Jamaah”. Mereka menyatakan bahwa ahlus sunnah itu harus memilih salah satu dari keempat madzhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) dan khusus Muslimin Indonesia memilih Madzhab Syafi’i. Dan dalam bidang akidah mereka harus mengikuti akidah Asy’ariyah atau Maturidiyah. Mereka juga mempunyai ulama pendahulu yang menyatakan demikian. Di antaranya adalah al-Allamah Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i (wafat 974 H) rahimahullah. Beliau menyatakan:

وَالْمُرَادُ بِالسُّنَّةِ مَا عَلَيْهِ إمَامَا أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ الشَّيْخُ أَبُو الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيُّ وَأَبُو مَنْصُورٍ الْمَاتُرِيدِيُّ ، وَالْبِدْعَةُ مَا عَلَيْهِ فِرْقَةٌ مِنْ فِرَقِ الْمُبْتَدِعَةِ الْمُخَالِفَةِ لِاعْتِقَادِ هَذَيْنِ الْإِمَامَيْنِ وَجَمِيعِ أَتْبَاعِهِمَا

“Yang dimaksud dengan ‘as-Sunnah’ adalah apa yang dianut oleh kedua imam Ahlus Sunnah wal Jamaah; Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari dan Syaikh Abu Manshur al-Maturidi. Bid’ah adalah apa yang dianut oleh kelompok-kelompok yang menyelisihi akidah kedua imam tersebut.” (Az-Zawajir an Iqtirafil Kabair: 1/254).

Pernyataan beliau dan ulama-ulama yang se-ide dengan beliau merupakan sebuah kerancuan, karena al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari lahir pada tahun 260 H dan wafat pada tahun 324 H, sedangkan Abu Manshur al-Maturidi wafat pada tahun 333 H. Pernyataan di atas memberikan konsekuensi bahwa keempat imam madzhab bukanlah Ahlus Sunnah, karena mereka hidup sebelum al-Asy’ari dan al-Maturidi.

Konsekuensi yang lebih parah –dari pernyataan diatas- adalah bahwa ulama Salaf dari kalangan sahabat, tabi’in dan pengikut mereka radliyallahu anhum bukanlah Ahlus Sunnah, karena mereka hidup jauh sebelum al-Asy’ari dan al-Maturidi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat tahun 728 H)  rahimahullah menyatakan:

ومذهب أهل السنة والجماعة مذهب قديم، معروف، قبل أن يخلق الله أبا حنيفة ومالكا والشافعي وأحمد، فإنه مذهب الصحابة الذين تلقوه عن نبيهم، ومن خالف ذلك كان مبتدعا عند أهل السنة والجماعة فإنهم متفقون على أن إجماع الصحابة حجة، ومتنازعون في إجماع من بعدهم

“Madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah merupakan madzhab yang sudah lama dan dikenal, jauh sebelum Allah menciptakan Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad. Madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah madzhab para sahabat yang menerima madzhab tersebut dari nabi mereka shallallahu alaihi wasallam. Barangsiapa menyelisihinya, maka ia adalah ahlul bid’ah menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah, karena mereka bersepakat bahwa ijma’ (konsensus) para sahabat adalah hujjah dan mereka berbeda pendapat tentang ijma generasi setelah mereka.” (Minhajus Sunnah an-Nabawiyah: 2/363).

Dalam tulisan ini akan dipaparkan sejarah perkembangan ajaran Asy’ariyah, dan para ulama dari kalangan Syafi’iyah yang masih konsisten memegang akidah Salaf di dalam sifat-sifat Allah. Tujuan pemaparan ini adalah agar kita –generasi belakangan ini- bisa belajar dan beristiqamah di atas akidah Salafi dari mereka.

Dan memang demikian tujuan pemaparan fakta sejarah. Dengan sejarah kita bisa menganalogikan dan mengambil pelajaran dari kaum terdahulu.

Allah ta’ala menyatakan:

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّأُوْلِي الأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِن تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. Yusuf: 111).

Ide untuk menulis kisah-kisah ulama Syafi’iyah yang konsisten dengan akidah Salaf ini diawali ketika Penulis membuka-buka situs ‘Multaqa Ahlil Hadits’. Di dalam situs tersebut terdapat topik pembahasan ‘Irsyadul Khalaf bi Man Kaana minasy Syafi’iyah min Atba’is Salaf’ (Bimbingan bagi Generasi Khalaf tentang Ulama Syafi’iyah yang Menjadi Pengikut Salaf). Dari topik tersebut Penulis kemudian memperluas dan menambah dari kitab-kitab tarikh, sirah dan thabaqat karya ulama kita terdahulu rahimahumullah.

Mengapa hanya dikhususkan dengan pembahasan ulama ‘Syafi’iyah’ saja, bukan ‘Hanafiyah’ atau ‘Malikiyah’ atau ‘Hanabilah’ dan sebagainya?

Alasan pertama: karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mempelajari dan mengamalkan fikih ulama ‘Syafi’iyah’. Tetangga kita, teman sekantor dan orang-orang yang bermuamalah dengan kita di masjid, di pasar dan sebagainya kebanyakannya ‘mengaku’ mengikuti “Syafi’iyah”. Maka termasuk dari hikmah dalam berdakwah adalah memperkenalkan Manhaj dan Akidah Salaf kepada mereka melalui ulama Syafi’iyah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

فإنه حكى لي الشيخ محمد بن يحيى عن القاضي أبي يعلى أنه قصده فقيه ليقرأ عليه مذهب أحمد، فسأله عن بلده فأخبره، فقال له: إن أهل بلدك كلهم يقرءون مذهب الشافعي فلماذا عدلت أنت عنه إلى مذهبنا؟ فقال له: إنما عدلت عن المذهب رغبة فيك أنت، فقال له: إن هذا لا يصلح فإنك إذا كنت في بلدك على مذهب أحمد وباقي أهل البلد على مذهب الشافعي لم تجد أحدا يعبد معك ولا يدارسك، وكنت خليقا أن تثير خصومة وتوقع نزاعا، بل كونك على مذهب الشافعي حيث أهل بلدك على مذهبه أولى، ودله على الشيخ أبي إسحاق وذهب به إليه، فقال: سمعا وطاعة، أقدمه على الفقهاء

Ini karena Syaikh Muhammad bin Yahya telah men-hikayatkan kepadaku (Ibnu Taimiyah, pen) dari al-Qadli Abu Ya’la (al-Hanbali al-Farra’, pen) bahwa seorang ahli fikih datang kepadanya untuk belajar fikih Madzhab Imam Ahmad. Kemudian Abu Ya’la bertanya kepada ahli fikih tersebut tentang negeri asalnya. Kemudian ia menceritakan negeri asalnya. Kemudian Abu Ya’la berkata: “Sesungguhnya penduduk negerimu semuanya mempelajari fikih madzhab Syafi’i. Lantas mengapa kamu berpaling dari Madzhab Syafi’i ke madzhab kami (Hanbali, pen)?” Ia menjawab: “Aku berpaling dari madzhabku karena menyukai Anda.” Abu Ya’la menjawab: “Sesungguhnya ini tidak pantas, karena jika kamu di negerimu bermadzhab Hanbali, sedangkan semua penduduknya bermadzhab Syafi’i, maka kamu tidak akan menemukan orang yang beribadah bersamamu dan orang yang menjadi teman diskusimu. Dan kamu akan menjadi orang yang memicu perselisihan dan perdebatan di antara mereka.” Kemudian Abu Ya’la menunjukkan orang itu kepada asy-Syaikh Abu Ishaq (asy-Syairazi asy-Syafi’i, pen). Maka orang itu berkata: “Aku mendengar dan taat. Aku akan mendatanginya sebelum ahli fikih lainnya.” (Al-Mustadrak ala Majmu’ al-Fatawa: 2/274).

Alasan kedua: untuk menghindarkan kita dari ta’ashub atau fanatisme golongan atau hizbiyah. Penyakit hizbiyah ini sudah mulai menggerogoti orang-orang yang mengaku ‘Salafi’ di Indonesia. Mereka membatasi salafiyah hanya pada kelompok tertentu, atau ustadz tertentu dan jaringannya. Orang yang tidak beralifiasi kepada jaringan ustadz tersebut bukanlah salafi, meskipun manhaj dan akidahnya sesuai dengan kaum Salaf. Padahal di sana dijumpai salafi dari kalangan Syafi’iyah, salafi dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah.

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

فإن كل طائفة منها معها حق وباطل فالواجب موافقتهم فيما قالوه من الحق ورد ما قالوه من الباطل ومن فتح الله له بهذه الطريق فقد فتح له من العلم والدين كل باب ويسر عليه فيهما الأسباب

“Maka setiap kelompok (atau madzhab, pen) mempunyai pendapat yang benar dan juga pendapat yang batil. Maka yang wajib adalah mencocoki mereka di dalam pendapat mereka yang benar dan membantah pendapat mereka yang batil. Barangsiapa yang dibukakan oleh Allah untuk menempuh jalan ini, maka dibukakan baginya setiap pintu dari ilmu dan agama ini dan dimudahkan baginya untuk menempuh sebab-sebab menggapai ilmu dan agama ini.” (Thariqul Hijratain wa Babus Sa’adatain: 570).

Semoga tulisan ini mendorong kita –kaum muslimin Indonesia- untuk beristiqamah meneladani ulama Syafi’iyah di dalam memegang akidah Salaf. Amien.

Babat, 17 Sya’ban 1437 H

dr. M Faiq Sulaifi

Wajibnya Mengikuti Manhaj Salaf

Kita akan mendapatkan banyak dalil tentang wajibnya mengikuti manhaj Salaf -dari kalangan sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in radliyallahu anhum- di dalam menempuh agama Islam ini. Alasan utamanya adalah bahwa generasi Salaf telah mendapatkan ridha dari Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman:

وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100).

Selain mendapat ridha, generasi Salaf juga merupakan generasi yang terbaik di dalam umat ini. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian generasi setelah mereka (tabi’in), kemudian generasi setelah mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR. Al-Bukhari: 2458, Muslim: 4601, at-Tirmidzi: 3794 dan Ibnu Majah: 2353 dari Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu).

Tentang wajibnya mengikuti akidah mereka, Allah ta’ala berfirman:

فَإِنْ آمَنُواْ بِمِثْلِ مَا آمَنتُم بِهِ فَقَدِ اهْتَدَواْ وَّإِن تَوَلَّوْاْ فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Maka jika mereka beriman dengan semisal apa yang kalian (para sahabat Nabi, pen) telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 137).

Al-Imam Abu Hayyan al-Andalusi (wafat tahun 745 H) rahimahullah berkata:

أي فإن اعتقدوا مثل اعتقادكم…الخ

“Maksud ayat di atas adalah “Jika mereka memiliki akidah seperti akidah kalian (wahai para sahabat Nabi!)..dst.” (Tafsir al-Bahrul Muhith: 2/36).

Akidah Salaf tentang Sifat-sifat Allah

Dan sudah diketahui bersama bahwa manhaj as-Salaf di dalam memahami teks ayat al-Quran dan hadits tentang nama-nama dan sifat Allah taala adalah mengimani teks-teks tersebut apa adanya, tidak melakukan ‘takwil’ atau ‘tahrif’ (memalingkan dari makna dhahirnya, pen), tidak melakukan ‘tamtsil’ (menyerupakannya dengan sifat makhluk, pen) dan tidak membahas kaifiyat (tata cara) atas sifat tersebut. Berikut ini adalah penukilan dari Salafus Shaleh tentang sifat-sifat Allah ta’ala.

Pertama: al-Imam Malik bin Anas rahimahullah (wafat tahun 179 H) berkata tentang ayat ‘bersemayamnya Allah di atas Arsy’ (QS. Thaha: 5):

الاستواء غير مجهول ، والكيف غير معقول ، والإيمان به واجب ، والسؤال عنه بدعة

“Bersemayam-Nya diketahui, kaifiyat (tata cara) bersemayam-Nya tidak diketahui. Mengimaninya adalah wajib dan menanyakan tata caranya adalah bid’ah.” (Atsar riwayat al-Khathib dalam Syarafu Ash-habil Hadits: 6 (7), al-Baihaqi dalam al-Madkhal: 171 (1/173) dan Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi: 1084 (2/283)).

Kedua: al-Imam Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani (murid al-Imam Abu Hanifah, wafat tahun 189 H) rahimahullah berkata:

اتفق الفقهاء كلهم من المشرق إلى المغرب على الإيمان بالقرآن والأحاديث التي جاء بها الثقات عن رسول الله صلى الله عليه و سلم في صفة الرب عز و جل من غير تغيير ولا وصف ولا تشبيه فمن فسر اليوم شيئا من ذلك فقد خرج مما كان عليه النبي صلى الله عليه و سلم وفارق الجماعة فإنهم لم يصفوا ولم يفسروا ولكن أفتوا بما في الكتاب والسنة ثم سكتوا

“Para fuqaha’ semuanya dari timur hingga ke barat bersepakat di dalam beriman terhadap al-Quran dan hadits-hadits yang dibawa oleh orang-orang tsiqat dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang sifat Rabb azza wajalla, tanpa mengubah makna, tanpa membahas tatacara sifat tersebut, tanpa menyerupakan dengan sifat makhluk. Barangsiapa melakukan takwil (dari zhahir lafazhnya, pen) terhadap salah satu dari sifat tersebut, maka ia telah keluar dari jalan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan menyelisihi al-Jamaah, karena mereka tidak membahas tatacara sifat tersebut dan tidak mengubah makna zhahirnya, tetapi mereka berfatwa dengan sifat-sifat Rabb yang tersebut dalam al-Kitab dan as-Sunnah kemudian mereka diam.” (Atsar riwayat al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jamaah: 740 (3/432)).

Ketiga: al-Imam al-Walid bin Muslim rahimahullah  (wafat tahun 195 H) menyatakan:

سألت الأوزاعي وسفيان الثوري ومالك بن أنس والليث بن سعد عن هذه الأحاديث التي جاءت في الصفات فقالوا أمروها كما جاءت بلا كيف

“Aku bertanya kepada (al-Imam) al-Auzai, (al-Imam) Sufyan ats-Tsauri, (al-Imam) Malik bin Anas dan (al-Imam) Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah, maka mereka menjawab: “Jalankanlah (yakni: imanilah, pen) hadits-hadits tersebut apa adanya sebagaimana datangnya tanpa membahas kaifiyat (tata cara) sifat-sifat tersebut!” (Atsar riwayat Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid lima fil Muwaththa’ minal Ma’ani wal Asanid: 7/149, al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah: 1/171 dan al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jamaah: 735 (2/469)).

Keempat: al-Imam Sufyan bin Uyainah rahimahullah (wafat tahun 190 H) berkata:

كل ما وصف الله تعالى من نفسه في كتابه فتفسيره تلاوته ، والسكوت عليه

“Segala sifat yang mana Allah ta’ala menyifati diri-Nya dengan sifat tersebut, maka tafsirnya adalah bacaannya dan berdiam diri dari membahas kaifiyatnya.” (Al-Asma’ wash-Shifat lil Baihaqi: 2/412 (838)).

Kelima: al-Imam Abbas bin Muhammad ad-Dauri rahimahullah (wafat tahun 271 H) berkata:

سمعت أبا عبيد القاسم بن سلام ، وذكر عنده هذه الأحاديث : « ضحك ربنا عز وجل من قنوط عباده ، وقرب غيره ، والكرسي موضع القدمين ، وأن جهنم لتمتلئ فيضع ربك قدمه فيها ، وأشباه هذه الأحاديث ؟ فقال أبو عبيد : » هذه الأحاديث عندنا حق يرويها الثقات بعضهم عن بعض إلا أنا إذا سئلنا عن تفسيرها قلنا : ما أدركنا أحدا يفسر منها شيئا ونحن لا نفسر منها شيئا نصدق بها ونسكت

“Aku mendengar al-Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Salam (wafat tahun 273 H) rahimahullah –salah satu murid al-Imam asy-Syafi’i- dan ditanyakan di hadapan beliau beberapa hadits ini; hadits: “Rabb kita azza wajalla tertawa atas hamba-hamba-Nya yang berputus asa”,  hadits tentang “Kedekatan Allah kepada hamba-Nya”, hadits: “Kursi adalah tempat kedua telapak kaki (Allah, pen)”, dan hadits: “Neraka Jahanam menjadi penuh kemudian Rabb meletakkan telapak kaki-Nya di dalamnya”. Maka beliau menjawab: “Hadits-hadits ini menurut kami adalah benar, diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat sebagian dari sebagian lainnya. Hanya saja jika kita ditanya tentang tafsirnya (baca: takwilnya, pen), maka kita menjawab: “Kita tidak pernah menjumpai salah seorang pun (dari kalangan Salaf, pen) yang mentakwilkan teks-teks tersebut. Dan kami pun tidak akan mentakwilkannya. Kami membenarkan (meng-imani) teks-teks tersebut dan bersikap diam.” (Atsar riwayat al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jamaah: 733 (2/467)).

Atsar-atsar di atas menunjukkan bahwa Salafus Shaleh mengimani semua sifat Allah ta’ala yang tercantum dalam al-Quran dan hadits-hadits yang shahih, tanpa melakukan takwil (memalingkan dari makna zhahirnya, pen), tanpa tamtsil (menyerupakan dengan sifat makhluk, pen) dan tanpa membahas kaifiyat atau tata cara sifat tersebut. Allah ta’ala memuji sikap Salafus Shaleh ini dalam ayat-Nya:

وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا

“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat tersebut, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” (QS. Ali Imran: 7).

Al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari

Madzhab Asy’ariyah tidak terlepas dari sosok Al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah (wafat tahun 324 H). Pengikut Asy’ariyah mempunyai klaim bahwa merekalah pengikut sah dari sang imam. Padahal sang imam berlepas diri dari mereka.

Al-Allamah Murtadla az-Zubaidi al-Husaini al-Hanafi rahimahullah (wafat tahun 1205 H) berkata:

وقال ابن كثير: ذكروا للشيخ أبي الحسن الأشعري ثلاثة أحوال (أولها) حال الاعتزال التي رجع عنها لا محالة (الحال الثاني) اثبات الصفات العقلية السبعة وهي الحياة والعلم والقدرة والإرادة والسمع والبصر والكلام وتأويل الجزئية كالوجه واليدين والقدم والساق ونحو ذلك (والحال الثالث) اثبات ذلك كله من غير تكييف ولا تشبيه جريا علي منوال السلف وهي طريقته في الأبانة التي صنفها أخرا انتهى

“Al-Imam Ibnu Katsir berkata: “Para ulama menyebutkan tiga (3) fase kehidupan Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari:

Pertama: fase mu’tazilah (menolak semua sifat Allah, pen) yang kemudian beliau rujuk (baca: meralat, pen) dari pendapat ini.

Fase kedua: menetapkan sifat-sifat aqliyah yang berjumlah tujuh (7) yaitu sifat hayat (hidup), ilmu, qudrah (berkuasa), iradah (berkehendak), sama’ (mendengar), bashar (melihat) dan kalam (berbicara), serta melakukan takwil terhadap sifat-sifat juz’iyah seperti wajah, kedua tangan, telapak kaki, betis Allah dan sebagainya.

Fase ketiga: menetapkan semua sifat-sifat tersebut tanpa membahas kaifiyat (tata cara) dan tanpa melakukan tasybih (menyerupakan dengan sifat makhluk), karena mengikuti Manhaj Salaf. Ini adalah jalan beliau ketika menulis kitab ‘al-Ibanah’ di akhir fase beliau.” (Ithafus Sadatil Muttaqin bi Syarh Ihya’ Ulumiddin: 2/3).

Akhir Perjalanan Pendiri Ajaran Asy’ari

Pada akhirnya Allah ta’ala menunjukkan al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah untuk bertaubat dari fase kedua –yaitu Madzhab Kullabiyah- dan memasuki fase ketiga yaitu Madzhab Salaf.

Abu Abdillah al-Hamrani berkata:

لما دخل الأشعري إلى بغداد جاء إلى البربهاري فجعل يقول: رددت على الجبائي وعلى أبي هاشم ونقضت عليهم وعلى اليهود والنصارى والمجوس وقلت لهم وقالوا وأكثر الكلام في ذلك فلما سكت قال البربهاري: ما أدري مما قلت قليلاً ولا كثيراً ولا نعرف إلا ما قاله أبو عبد الله أحمد بن حنبل قال: فخرج من عنده وصنف كتاب ” الإبانة ” فلم يقبله منه ولم يظهر ببغداد إلى أن خرج منها

“Ketika Abul Hasan al-Asy’ari memasuki Baghdad, beliau mendatangi al-Imam al-Barbahari (wafat tahun 328 H). Beliau mengatakan: “Aku telah membantah al-Juba’i dan Abu Hasyim. Aku telah membantah mereka. Aku juga telah membantah Yahudi, Nasrani dan Majusi. Aku berkata kepada mereka demikian dan demikian…dst. Ketika beliau diam, maka giliran al-Imam al-Barbahari berkata: “Aku tidak mengenal pendapatmu sedikit ataupun banyak kecuali pendapat al-Imam Ahmad bin Hanbal.” Al-Hamrani berkata: “Kemudian Abul Hasan al-Asy’ari keluar dari majelis al-Barbahari dan menulis kitab ‘al-Ibanah an Ushulid Diyanah’. Al-Barbahari masih tidak mau menerimanya. Beliau tidak muncul di Baghdad sampai kemudian keluar dari Baghdad.” (Thabaqat al-Hanabilah li Ibni Abi Ya’la: 2/16, al-Maqshadul Arsyad li Ibni Muflih: 1/329, Siyar A’lamin Nubala’: 15/90 dan al-Wafi bil Wafayat lish Shafadi: 4/173).

Di antara pernyataan al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah dalam ‘al-Ibanah’ adalah:

قولنا الذي نقول به وديانتنا التي ندين بها التمسك بكتاب الله ربنا عز و جل وبسنة نبينا محمد صلى الله عليه و سلم وما روى عن السادة الصحابة والتابعين وأئمة الحديث ونحن بذلك معتصمون وبما كان يقول به أبو عبد الله أحمد بن محمد بن حنبل – نضر الله وجهه ورفع درجته وأجزل مثوبته – قائلون…الخ

“Pendapat yang kami pegangi dan agama yang mana kami beragama dengannya adalah: berpegang teguh dengan Kitab Allah Rabb kami azza wajalla, dengan sunnah Nabi kami Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan juga dengan riwayat dari para pembesar sahabat, tabiin dan para imam ahlul hadits. Kami berpegang teguh dengan itu semuanya. Dan kami juga berpendapat dengan pendapat al-Imam Ahmad bin Hanbal –semoga Allah menjadikan wajah beliau berseri, mengangkat derajat beliau dan memperbanyak pahala beliau-…dst.” (Al-Ibanah an Ushulid Diyanah: 20).

Di antara pernyataan beliau dalam kitab tersebut adalah:

وأن له سبحانه وجها بلا كيف كما قال : ( ويبقى وجه ربك ذو الجلال والإكرام ) ( 27 ) وأن له سبحانه يدين بلا كيف كما قال سبحانه : ( خلقت بيدي ) من الآية ( 75 ) وكما قال : ( بل يداه مبسوطتان ) من الآية ( 64 ) وأن له سبحانه عينين بلا كيف كما قال سبحانه : ( تجري بأعيننا ) من الآية ( 14 ) …الخ

“Dan bahwa Allah subhanahu itu mempunyai wajah tanpa membahas tatacaranya, sebagaimana firman-Nya: “Dan abadilah wajah Rabbmu yang mempunyai keagungan dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman: 27). Allah juga mempunyai dua tangan tanpa membahas tatacaranya, sebagaimana firman-Nya: “Aku menciptakan Adam dengan kedua tangan-Ku.” (QS. Shad: 75), dan firman-Nya: “Bahkan kedua tangan-Nya terbentang.” (QS. Al-Maidah: 64). Allah ta’ala juga mempunyai dua mata tanpa membahas tatacaranya, sebagaimana firman-Nya: “(Perahu tersebut) berjalan dengan kedua mata-Ku.” (QS. Hud: 14)…dst.” (Al-Ibanah an Ushulid Diyanah: 20).

Kemudian sebagian tokoh ulama mempelajari kitab-kitab yang ditulis oleh beliau ketika masih dalam fase kedua –padahal beliau sudah bertaubat dari fase kedua menuju fase ketiga- lalu mereka menamakannya dengan Madzhab Asy’ariyah.

Sebenarnya tidak tepat jika fase kedua disebut dengan Madzhab Asy’ariyah. Akan tetapi lebih tepat jika dinyatakan dengan Madzhab Kullabiyah.

Al-Allamah Abul Fath asy-Syahrastani (wafat tahun 548 H) berkata:

حتى انتهى الزمان إلى عبد الله بن سعيد الكلابي وأبي العباس القلانسي والحارث بن أسعد المحاسبي وهؤلاء كانوا من جملة السلف إلا أنهم باشروا علم الكلام وأيدوا عقائد السلف بحجج كلامية وبراهين أصولية  وصنف بعضهم ودرس بعض حتى جرى بين أبي الحسن الأشعري وبين أستاذه مناظرة في مسألة من مسائل الصلاح والأصلح فتخاصم وانحاز الأشعري إلى هذه الطائفة فأيد مقالتهم بمناهج كلامية وصار ذلك مذهبا لأهل السنة والجماعة وانتقلت سمة الصفاتية إلى الأشعرية

“Maka sampailah pada masa Abdullah bin Said bin Kullab (pendiri Madzhab Kullabiyah), Abil Abbas al-Qalanisi dan al-Harits al-Muhasibi. Mereka ini (dulunya) termasuk pengikut Salaf, hanya saja mereka mempelajari ilmu kalam (logika) dan memperkuat akidah (keyakinan) Salaf dengan argumentasi logika dan bukti teologis. Sebagian dari mereka menulis kitab dan sebagian yang lainnya mempelajari ilmu-ilmu tersebut sampai terjadi perdebatan antara Abul Hasan al-Asy’ari dan gurunya (yaitu: Abu Ali al-Juba’i yang berakidah mu’tazilah, pen) di dalam masalah islah dan kebaikan. Keduanya saling berdebat dan akhirnya al-Asy’ari lebih cenderung ke kelompok ini (yaitu Kullabiyah, pen). Maka al-Asy’ari memperkuat pendapat-pendapat Kullabiyah dengan metode ilmu kalam (logika) dan jadilah ini sebuah madzhab bagi Ahlussunnah wal Jamaah. Kemudian berpindahlah nama Shifatiyah menjadi Asy’ariyah.” (Al-Milal wan Nihal: 1/91).

Begitu pula menurut Al-Imam adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H) rahimahullah. Beliau berkata:

ابن كلاب  رأس المتكلمين بالبصرة في زمانه… وأصحابه هم الكلابية، لحق بعضهم أبو الحسن الاشعري…الخ

“Ibnu Kullab adalah pemimpin ahlul Kalam di Bashrah pada masanya…. Murid-muridnya disebut dengan Kullabiyah. Abul Hasan al-Asy’ari bergabung dengan sebagian murid-muridnya..dst.” (Siyar A’lamin Nubala’: 11/174)

Madzhab Kullabiyah atau Asy’ariyah inilah yang kemudian diingkari dan diperingatkan bahayanya oleh para ulama Ahlussunnah wal Jamaah seperti al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dan al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah.

Al-Imam Abul Qasim an-Nashrabadzi (wafat tahun 367 H) rahimahullah menyatakan:

بلغني أن الحارث المحاسبي تكلم في شيء من الكلام فهجره أحمد بن حنبل فاختفي في دار ببغداد ومات فيها ولم يصل عليه الا أربعة نفر

“Telah sampai berita kepadaku bahwa al-Harits al-Muhasibi berbicara dalam masalah Kalam (yaitu memahami sifat-sifat Allah dengan ilmu logika, pen). Maka al-Imam Ahmad bin Hanbal memboikotnya kemudian ia bersembunyi di sebuah rumah di Baghdad. Kemudian ia mati dan tidak ada men-shalatkan jenazahnya kecuali hanya 4 orang saja.” (Atsar riwayat al-Khathib dalam Tarikh Baghdad: 8/215).

Dan Abu Ali ats-Tsaqafi –yang terpengaruh dengan Madzhab Asy’ariyah atau Kullabiyah- bertanya kepada al-Imam Ibnu Khuzaimah atas pengingkaran beliau kepadanya:

ما الذي أنكرت أيها الاستاذ من مذاهبنا حتى نرجع عنه ؟ قال: ميلكم إلى مذهب الكلابية، فقد كان أحمد بن حنبل من أشد الناس على عبد الله بن سعيد بن كلاب ، وعلى أصحابه مثل الحارث وغيره

“Apakah yang Anda ingkari dari madzhab kami, wahai Ustadz?” Ibnu Khuzaimah menjawab: “Kecondongan kalian kepada Madzhab Kullabiyah, padahal al-Imam Ahmad bin Hanbal adalah orang yang paling keras terhadap Abdullah bin Sa’id bin Kullab (pendiri Madzhab Kullabiyah, pen) dan para pengikutnya seperti al-Harits al-Muhasibi dan lainnya.” (Siyar A’lamin Nubala’: 14/380).

Penyebaran Ajaran Asy’ariyah

Ajaran Asy’ariyah (baca: Kullabiyah) kemudian diteruskan oleh murid Abul Hasan al-Asy’ari yang bernama Muhammad bin Mujahid ath-Tha’i al-Maliki (wafat tahun 370 H). Al-Khathib al-Baghdadi asy-Syafi’i rahimahullah berkata tentangnya:

محمد بن أحمد بن محمد بن يعقوب بن مجاهد أبو عبد الله الطائي المتكلم صاحب أبي الحسن الأشعري وهو من أهل البصرة سكن بغداد وعليه درس القاضي أبو بكر محمد بن الطيب الكلام…الخ

“Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub bin Mujahid, Abu Abdillah ath-Tha’i, Ahli Kalam, murid Abul Hasan al-Asy’ari. Beliau termasuk penduduk Basrah. Dan al-Qadhi Abu Bakar Muhammad bin ath-Thayyib (al-Baqilani al-Maliki) (wafat tahun 403 H) belajar kepadanya tentang ilmu Kalam..dst.” (Tarikh Baghdad: 1/343, ad-Dibaj al-Muhadzdzab fi Ma’rifati Ulama’il Madzhab li Ibni Farkhun: 138, Siyar A’lamin Nubala’: 16/305).

Keterangan di atas menunjukkan bahwa setelah Ibnu Mujahid, Madzhab Asy’ariyah kemudian diteruskan oleh al-Qadhi Abu Bakar al-Baqilani al-Maliki. Kemudian ajaran Asy’ariyah diteruskan oleh murid al-Baqilani yaitu Abu Dzar al-Harawi al-Maliki (wafat tahun 434 H).

Al-Imam Ibnu Katsir asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

أبو ذر الهروي عبد الله بن أحمد بن محمد الحافظ المالكي، سمع الكثير ورحل إلى الاقاليم، وسكن مكة، ثم تزوج في العرب، وكان يحج كل سنة ويقيم بمكة أيام الموسم ويسمع الناس، ومنه أخذ المغاربة مذهب الاشعري عنه، وكان يقول إنه أخذ مذهب مالك عن الباقلاني

“Abu Dzar al-Harawi Abdullah bin Ahmad bin Muhammad al-Maliki, mendengar periwayatan dari banyak ulama, mengadakan rihlah ke berbagai negara, berdiam di Makkah, kemudian menikah di Arab. Ia naik haji setiap tahun dan bermukim di Makkah ketika musim haji dan mendengar periwayatan dari banyak orang. Ulama-ulama negeri Maghrib mengambil Madzhab Asy’ariyah dari Abu Dzar ini. Abu Dzar sendiri menyatakan bahwa ia mengambil Madzhab Maliki dari al-Baqilani.” (Al-Bidayah wan Nihayah: 12/64).

Al-Imam al-Hasan bin Abi Usamah al-Makki rahimahullah menyatakan:

أبو ذر أول من أدخل مذهب الأشعري الحرم

“Abu Dzar al-Harawi adalah orang yang pertama kali memasukkan Madzhab Asy’ari ke negeri Haram (yakni Makkah dan Madinah, pen).” (Tarikh Damsyiq: 37/394).

Adapun yang menyebarkan Madzhab Asy’ariyah di Khurasan adalah Abu Bakar bin Faurak al-Asy’ari (wafat tahun 406 H). Ibnu Asakir rahimahullah menyatakan:

ذكر أبو بكر بن فورك إنه ممن إستفاد من أبي الحسن الأشعري من أهل خراسان

“Abu Bakar bin Faurak menyebutkan bahwa ia adalah orang Khurasan yang belajar kepada Abul Hasan al-Asy’ari.” (Tabyin Kadzibil Muftari fi Ma Nusiba ilal Imam Abil Hasan al-Asy’ari: 188).

Masa Tertekannya Ajaran Asy’ariyah

Di masa Daulah Umayyah dan Daulah Abbasiyah. Kaum muslimin dan pemerintahnya berpegang teguh di atas Manhaj Salaf di dalam memahami sifat-sifat Allah. Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan:

قال البيهقي: ولم يكن في الخلفاء قبله من بني أمية وبني العباس خليفة إلا على مذهب السلف ومنهاجهم

“Al-Baihaqi berkata: “Tidak ada satu khalifah pun sebelum al-Makmun dari kalangan Daulah Umayyah dan Daulah Abbasiyah kecuali berada di atas Madzhab dan Manhaj Salaf.” (Al-Bidayah wan Nihayah: 10/365).

Demikian pula Khalifah al-Qadir billah (khalifah ke-26 Daulah Abbasiyah, wafat tahun 422 H). Beliau juga berpegang kepada Madzhab Salaf. Al-Imam Abu Bakar al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah menyatakan:

وعرف بها عند كل أحد مع حسن المذهب وصحة الاعتقاد وكان صنف كتابا في الأصول ذكر فيه فضائل الصحابة على ترتيب مذهب أصحاب الحديث

“Al-Qadir billah dikenal oleh setiap orang dengan banyaknya amal shalih disertai madzhab yang baik dan kesahihan akidah. Beliau juga menulis sebuah kitab tentang ‘Ushul’. Beliau menerangkan keutamaan para sahabat dalam kitab tersebut menurut urutan Madzhab Ahlul Hadits…dst.” (Tarikh Baghdad: 4/37).

Di antara akidah Khalifah al-Qadir billah yang pernah dibacakan di hadapan para ulama di Baghdad adalah:

وأنه خلق العرش لا لحاجة واستوى عليه كيف شاء لا استواء راحة وكل صفة وصف بها نفسه أو وصفه بها رسوله فهي صفة حقيقة لا صفة مجاز وكلام الله غير مخلوق أنزله على رسوله

“Dan bahwa Allah menciptakan Arsy bukan karena kebutuhan. Allah bersemayam di atasnya dengan tatacara yang dikehendaki-Nya, bukan bersemayam untuk beristirahat. Setiap sifat yang mana Allah menyifati diri-Nya dengan sifat tersebut, atau disifati oleh Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam, maka itu merupakan sifat yang hakiki bukan sifat majazi. Firman Allah bukanlah makhluk, diturunkan oleh-Nya kepada rasul-Nya.” (Al-Uluw lil Aliyyil Ghaffar: 245).

Di masa Khalifah al-Qadir billah ini, ajaran Asy’ariyah menjadi ajaran yang dibenci oleh kaum muslimin. Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqilani -yang menjadi tokoh ajaran Asy’ariyah ini- sangat tidak nyaman dengan sikap al-Imam Abu Hamid al-Isfarayni asy-Syafi’i (wafat tahun 406 H) rahimahullah yang bermanhaj Salaf.

Al-Imam Abu Ishaq asy-Syairazi asy-Syafi’i berkata:

كان أبو بكر الباقلاني يخرج إلى الحمام مبرقعا خوفا من الشيخ أبي حامد الإسفرائيني

“Adalah Abu Bakar al-Baqilani keluar menuju tempat pemandian dengan memakai cadar karena takut terhadap asy-Syaikh Abu Hamid al-Isfarayni.” (Al-Aqidah al-Ishfahaniyah: 59).

Peran Madrasah Nizhamiyah

Keadaan menjadi terbalik pada masa Sultan Alib Arsalan Bani Saljuk (wafat tahun 465 H) dengan menterinya Nizhamul Mulk (wafat tahun 485 H). Pada waktu itu Madzhab Asy’ariyah berada di atas angin sedangkan Madzhab Ahlussunnah atau Madzhab Salaf menjadi tertekan.

Al-Hafizh as-Suyuthi rahimahullah menyatakan:

قال الذهبى وهو أول من ذكر بالسلطان على منابر بغداد وبلغ ما لم يبلغه أحد من الملوك وافتتح بلادا كثيرة من بلاد النصارى واستوزر نظام الملك فأبطل ما كان عليه الوزير قبله عميد الملك من سب الشعرية وانتصر للشافعية واكرم إمام الحرمين وأبا القاسم القشيرى وبنى النظامية قيل وهى اول مدرسة بنيت للفقهاء

“Adz-Dzahabi berkata: “Dia (Alib Arsalan) adalah orang yang pertama kali disebut sebagai sultan di atas mimbar-mimbar Baghdad. Kekuasaan beliau mencapai luas wilayah yang belum pernah dicapai oleh raja-raja selain beliau. Beliau menaklukkan banyak negeri nasrani dan mengangkat Nizhamul Mulk sebagai menteri. Maka Nizhamul Mulk menghapus kebijakan yang dilakukan oleh menteri sebelumnya, Amidul Mulk, seperti mencela Madzhab Asy’ariyah. Ia juga membela ulama Syafi’iyah dan memuliakan Imamul Haramain dan Abul Qasim al-Qusyairi. Ia juga membangun Madrasah Nizhamiyah. Dikatakan bahwa Nizhamiyah merupakan madrasah yang pertama kali dibangun untuk para ahli fikih.” (Tarikhul Khulafa’: 1/416).

Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata:

وهو أول من بنى المدارس في الإسلام، بنى نظامية بغداد، ونظامية نيسابور، ونظامية طوس، ونظامية إصبهان

Ia (wazir atau menteri Nizhamul Mulk, pen) adalah orang yang pertama kali membangun madrasah di dalam Islam. Ia membangun madrasah Nizhamiyah Baghdad, Nizhamiyah Naisabur, Nizhamiyah Thus dan Nizhamiyah Isbahan.” (Tarikhul Islam lidz Dzahabi: 33/146).

Ali bin Nayef menyatakan:

كان اهتمام المدارس النظامية قد انصرف إلى التركيز على مادتين أساسيتين هما : الفقه على المذهب الشافعي، وأصول العقيدة على مذهب الأشعري

“Madrasah-madrasah Nizhamiyah mempunyai kepentingan untuk berdiri di atas 2 pondasi, yaitu: fikih di atas Madzhab Syafi’i dan dasar-dasar akidah di atas Madzhab Asy’ariyah..dst.” (Mausu’ah al-Buhuts wal Maqalat al-Ilmiyah: Bab al-Madaris an-Nizhamiyah fi Daulatis Salajiqah hal: 6).

Maka madrasah-madrasah masa setelah Nizhamiyah juga kebanyakan mengikuti madzhab Asy’ariyah.

Masa Sultan Shalahuddin al-Ayyubi dan Setelahnya

Demikian pula pada masa Sultan Shalahuddin al-Ayyubi rahimahullah (wafat tahun 589 H), ajaran Asy’ariyah semakin menyebar ke negeri-negeri Islam.

Al-Allamah Taqiyyuddin al-Maqrizi asy-Syafi’i rahimahullah (wafat tahun 845 H) berkata:

وأما العقائد فإن السلطان صلاح الدين حمل الكافة على عقيدة الشيخ أبي الحسن علي بن إسماعيل الأشعري تلميذ أبي علي الجبائيّ وشرط ذلك في أوقافه التي بديار مصر كالمدرسة الناصرية والقمحية وخانقاه سعيد السعداء في القاهرة فاستمر الحال عليها بمصر والشام وارض الحجاز واليمن والمغرب أيضا لإدخال محمد بن تومرت رأي الأشعري إليها حتى أنه صار هذا الإعتقاد بسائر هذه البلاد، بحيث أن من خالفه ضرب عنقه، والأمر على ذلك إلى اليوم

“Adapun dalam masalah akidah, maka Sultan Shalahuddin al-Ayyubi juga mendorong semua masyarakat untuk memeluk akidah Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari, murid Abu Ali al-Juba’i dan mempersyaratkan demikian (untuk dimakmurkan oleh ulama Asy’ariyah, pen) dalam wakaf-wakafnya di negeri Mesir seperti Madrasah Nashiriyah, Madrasah Qamhiyah dan Khanqah (seperti pesantren, pen) Sa’id Su’ada’ di Kairo. Keadaan demikian terus berlangsung di Mesir, Syam, Hijaz, Yaman dan Maghrib juga, karena usaha Muhammad bin Tumur memasukkan pemahaman Asy’ariyah di negeri tersebut. Sehingga keyakinan Asy’ariyah ini menyebar di semua negeri, dengan gambaran bahwa barangsiapa yang menyelisihi keyakinan ini, maka lehernya akan dipenggal. Keadaan ini berlangsung sampai hari ini (masa al-Maqrizi, pen).” (Al-Mawa’izh wal I’tibar: 3/84).

Demikianlah keadaan Madzhab Asy’ariyah yang menguasai semua negeri Islam melalui kekuasaan dan campur tangan pemerintah. Al-Allamah al-Maqrizi asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan:

فكان هذا هو السبب في اشتهار مذهب الأشعريّ وانتشاره في أمصار الإسلام، بحيث نُسي غيره من المذاهب، وجهل حتى لم يبق اليوم مذهب يخالفه، إلاّ أن يكون مذهب الحنابلة أتباع الإمام أبي عبد اللّه أحمد بن محمد بن حنبل رضي اللّه عنه، فإنهم كانوا على ماكان عليه السلف، لايرون تأويل ماورد من الصفات، إلى أن كان بعد السبعمائة من سني الهجرة، اشتهر بدمشق وأعمالها تقي الدين أبو العباس أحمد بن عبد الحليم بن عبد السلام بن تيمية الحرّانيّ،فتصدّى للانتصار لمذهب السلف وبالغ في الردّ على مذهب الأشاعرة

“Maka dengan sebab pengaruh kekuasaan inilah, Madzhab Asy’ariyah menjadi terkenal dan tersebar di seluruh negeri kaum muslimin, dengan gambaran terlupakannya dan tidak tersisanya selain madzhab ini, kecuali Madzhab Hanabilah pengikut al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Maka mereka (Hanabilah) tetap memegang teguh Manhaj Salaf. Mereka tidak melakukan takwil terhadap sifat-sifat Allah. Hingga sampailah pada tahun 700-an hijriyah, terkenallah di Damaskus dan sekitarnya Syaikhul Islam Taqiyuddin Abul Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Taimiyah al-Harrani (yakni Ibnu Taimiyah). Beliau tampil untuk membela Madzhab Salaf dan getol membantah Madzhab Asy’ariyah..dst.” (Al-Mawa’izh wal I’tibar: 3/104).

Sehingga akidah Salaf menjadi semakin asing dan tidak dikenal dari kalangan kaum muslimin. Wallahul musta’an.

Dari ‘Salafi’ menjadi ‘Hanbali’

Telah disebutkan oleh al-Maqrizi di atas bahwa pada “masa kejayaan” ajaran Asy’ariyah, sebagian besar ulama dari berbagai madzhab fikih –baik Hanafi, Maliki ataupun Syafi’i- cenderung kepada akidah Asy’ariyah, kecuali ulama Hanabilah. Mereka masih konsisten dan beristiqamah mengikuti manhaj al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, baik fikih maupun akidah. Ini berarti bahwa Hanabilah masih berakidah Salafi sebagaimana akidah al-Imam Ahmad.

Pada masa itu muncul stigma atau cap dari ulama Asy’ariyah, bahwa setiap ulama dari madzab fikih apa pun jika berakidah Salafi maka akan dianggap sebagai ‘Hanbali dalam akidah’.

Sebagai contohnya adalah al-Imam Abu Abdillah al-Husain bin Thahir al-Karabisi al-Ajmi (wafat tahun 534 H) rahimahullah.

Al-Allamah Ibnul Adim al-Halabi (wafat tahun 660 H) rahimahullah berkata:

وكان أبو عبد الله الحسين من ذوي الزهد والدين والورع وكان يميل إلى عقيدة الحنابلة وترك التأويل في أحاديث الصفات وحملها على ظاهرها ويطعن على أبي الحسن الاشعري

“Abu Abdillah al-Husain termasuk orang yang mempunyai sifat zuhud, memegang teguh agama dan wara’. Beliau condong kepada akidah Hanabilah, tidak melakukan takwil terhadap hadits tentang sifat-sifat Allah dan membawa kepada zhahir lafazhnya serta mencela Abul Hasan al-Asy’ari.” (Bughyatuth Thalab fi Tarikh Halab: 2/479).

Akidah al-Imam asy-Syafi’i, Sang Imam Madzhab

Sebelum menjabarkan akidah ulama Syafi’iyah yang masih berpegang teguh pada Manhaj Salaf, kita perlu mengenal akidah panutan mereka. Beliau adalah al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (wafat tahun 204 H) rahimahullah. Beliau juga mengikuti Manhaj Salaf di dalam masalah sifat-sifat Allah ta’ala, yaitu mengimani sifat-sifat Allah ta’ala apa adanya tanpa takwil, tanpa tamtsil dan tanpa membahas kaifiyatnya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

وأخرج بن أبي حاتم في مناقب الشافعي عن يونس بن عبد الأعلى سمعت الشافعي يقول لله أسماء وصفات لا يسع أحدا ردها ومن خالف بعد ثبوت الحجة عليه فقد كفر واما قبل قيام الحجة فإنه يعذر بالجهل لأن علم ذلك لا يدرك بالعقل ولا الرؤية والفكر فنثبت هذه الصفات وننفي عنه التشبيه كما نفى عن نفسه فقال ليس كمثله شيء

“Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dalam ‘Manaqibusy Syafi’i’ dari Yunus bin Abdil A’la, ia berkata: “Aku mendengar asy-Syafi’i berkata: “Allah mempunyai nama-nama dan sifat-sifat yang mana tidak boleh seorang pun menolaknya. Barangsiapa menyelisihi setelah datangnya hujah atasnya, maka ia kafir. Adapun jika sebelum tegaknya hujah, maka ia diberikan udzur atas kebodohannya, karena ilmu tentang hal tersebut tidak bisa diperoleh dengan akal, observasi ataupun penalaran. Maka kita menetapkan sifat-sifat Allah ini dan menolak tamtsil (penyerupaan dengan makhluk) terhadap sifat-sifat itu, sebagaimana Allah menolak keserupaan diri-Nya dengan makhluk. Maka Allah berfirman: “Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Allah.” (Fathul Bari bi Syarh Shahihil Bukhari: 13/407).

Disebutkan pula di dalam kitab ‘Aqidatusy Syafi’i’ –karya al-Allamah asy-Syarif Muhammad bin Rasul al-Barzanji al-Husaini asy-Syafi’i (wafat tahun 1103 H) rahimahullah- tentang ucapan al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah:

وأؤمن بجميع ما جاءت به الأنبياء صلوات الله عليهم أجمعين ومن ذلك: أن لله أسماء وصفات جاء بها كتابه وأخبر بها نبيه – صلى الله عليه وسلم –وأن له تعالى وجهاً بقوله ” كل شيء هالك إلا وجهه ” …. وأنه يضحك من عبده المؤمن بقول النبي – صلى الله عليه وسلم – للذي قتل في سبيل الله ” إنه لقي الله وهو يضحك إليه ” وأن له يدين بقوله ” بل يداه مبسوطتان ” وأن له يميناً بقوله ” والسموات مطويات بيمينه “…. وأن له قدماً بقول النبي – صلى الله عليه وسلم -: ” حتى يضع الرب فيها قدمه ” يعني جهنم ..الخ

“Dan aku beriman dengan segala perkara yang dibawa oleh para nabi -semoga shalawat Allah tercurah atas mereka semua-. Di antaranya: bahwa Allah mempunyai nama-nama dan sifat-sifat yang terdapat dalam kitab-Nya dan yang diterangkan oleh Nabi-Nya shallallahu alaihi wasallam, dan bahwa Allah ta’ala mempunyai wajah sebagaimana firman-Nya: “Segala sesuatu akan musnah kecuali Wajah-Nya” (QS. Al-Qashash: 88)…. Dan bahwasanya Allah akan tertawa kepada hamba-Nya yang beriman sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang orang yang terbunuh di jalan Allah: “Sesungguhnya ia akan bertemu dengan Allah dan Allah tertawa kepadanya” (HR. Al-Bukhari: 2614, Muslim: 3504, an-Nasai: 3115), dan bahwa Allah itu mempunyai kedua tangan sebagaimana firman-Nya: “Bahkan kedua tangan-Nya terbentang” (QS. Al-Maidah: 64), dan bahwa Allah mempunyai tengan kanan sebagaimana firman-Nya: “Dan langit akan dilipat dengan tangan kanan-Nya” (QS. Az-Zumar: 67)…. Dan bahwa Allah itu mempunyai telapak kaki sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Sehingga Rabb (Allah) meletakkan telapak kaki-Nya atasnya” yakni atas Jahannam (HR. Al-Bukhari: 4471, Muslim: 5082, Ahmad: 10676)…dst.” (Aqidatusy-Syafi’i: 89-90).

Maka merupakan kesalahan besar jika mengatakan bahwa al-Imam asy-Syafi’i itu bermadzhab Asy’ari. Ini karena al-Imam asy-Syafi’i (wafat tahun 204 H) hidup jauh sebelum kelahiran Abul Hasan al-Asy’ari (wafat tahun 324 H).

Al-Imam Ismail bin Yahya al-Muzani, Murid asy-Syafi’i

Beliau adalah al-Imam Faqihul Millah Abu Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (wafat tahun 264 H) rahimahullah.

Al-Allamah Shalahuddin ash-Shafadi asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

كان زاهداً عالماً مجتهداً مناظراً محجاجاً غواصاً على المعاني الدقيقة، صنف كتباً كثيرة: الجامع الكبير والجامع الصغير ومختصر المختصر والمنثور والسائل المعتبرة والترغيب في العلم والوثائق. قال الشافعي: المزني ناصر مذهبي. وكان مجاب الدعوة، وكان يغسل الموتى تعبداً وديانةً

“Beliau (al-Muzani, pen) adalah seorang yang zuhud, seorang mujtahid, alim, ahli berdiskusi, hujjah, pandai menyelami makna-makna yang njlimet. Beliau menulis banyak kitab; al-Jami’ul Kabir, al-Jami’ush Shaghir, Mukhtashar al-Mukhtashar, al-Mantsur, al-Masail al-Mu’tabarah, at-Targhib fil Ilmi dan al-Watsaiq. Asy-Syafi’i berkata: “Al-Muzani adalah penolong madzhabku.” Al-Muzani adalah seorang yang terkabul doanya dan beliau bekerja dengan memandikan mayit sebagai bentuk amal ibadah dan agama.” (Al-Wafi bil Wafayat: 3/251).

Beliau berakidah Salafi. Al-Imam Muhammad bin Ismail at-Tirmidzi rahimahullah berkata:

سمعت المزني يقول: لا يصح لاحد توحيد حتى يعلم أن الله تعالى على العرش بصفاته. قلت له: مثل أي شئ ؟ قال: سميع بصير عليم.

“Aku mendengar al-Muzani berkata: “Tidaklah sah tauhid bagi seseorang sampai ia mengetahui bahwa Allah berada di atas Arsy dengan sifat-sifat-Nya.” Aku bertanya kepada beliau: “Seperti sifat apa?” Beliau menjawab: “(Sifat Allah) yang Maha Mendengar, Maha Melihat dan Maha Mengetahui.” (Siyar A’lamin Nubala’: 12/494).

Al-Imam Abu Ja’far at-Tirmidzi, Syafi’i Kubu Iraq

Di antara Syafi’iyah yang berakidah Salafi adalah al-Imam Abu Ja’far at-Tirmidzi asy-Syafi’i rahimahullah (wafat tahun 295 H). Al-Imam Ahmad bin Kamil al-Qadhi rahimahullah berkata:

لم يكن للشافعية بالعراق أرأس، ولا أورع، ولا أنقل من أبي جعفر الترمذي

“Ulama Syafi’iyah di Iraq tidak mempunyai orang yang lebih pantas memimpin, lebih bersikap wara’ dan lebih ahli dalam penukilan riwayat daripada Abu Ja’far at-Tirmidzi.” (Siyar A’lamin Nubala’: 13/547 dan Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra lis Subki: 2/188).

Al-Allamah Ibnu Qadhi Syuhbah asy-Syafi’i (wafat tahun 851 H) rahimahullah berkata:

وله في المقالات كتاب سماه اختلاف أهل الصلاة في الأصول وقف عليه ابن الصلاح وانتقى منه

“Beliau (Abu Ja’far) mempunyai karya tulisan tentang firqah-firqah yang berjudul ‘Ikhtilaf Ahlish Shalat fil Ushul’. Kitab tersebut dipelajari dan diringkas oleh al-Imam Ibnush Shalah.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah li Ibni Qadhi Syuhbah: 1/83).

Tentang akidah Salafi yang dianut oleh Abu Ja’far at-Tirmidzi, Al-Imam Abuth Thayyib Ahmad bin Utsman as-Simsar rahimahullah berkata:

حضرت عند أبي جعفر الترمذي فسأله سائل عن حديث النبي صلى الله عليه و سلم إن الله تعالى ينزل إلى سماء الدنيا فالنزول كيف يكون يبقى فوقه علو فقال أبو جعفر الترمذي: النزول معقول والكيف مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة

“Aku menghadiri majelis Abu Ja’far at-Tirmidzi. Maka seseorang yang bertanya tentang hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam; “Sesungguhnya Allah ta’ala turun ke langit dunia”, bagaimana keadaan turun-Nya padahal Allah tetap tinggi di atas langit?” Maka Abu Ja’far at-Tirmidzi menjawab: “Turunnya Allah bisa diketahui. Kaifiyat (tata caranya) tidak diketahui. Beriman atas turunnya Allah adalah wajib dan bertanya tentang tata caranya adalah bid’ah.” (Tarikh Baghdad: 1/365, Siyar A’lamin Nubala’: 13/547 dan Wafayatul A’yan wa Anba’i Abna’iz Zaman li Ibni Khulkan: 4/195).

Al-Qadhi Ibnu Suraij, Syafi’i Kedua

Di antara Ulama Syafi’iyah yang berakidah Salafi adalah al-Imam al-Qadhi Abul Abbas Ahmad bin Umar bin Suraij asy-Syafi’i (wafat tahun 306 H) rahimahullah. Beliau adalah pemuka Madzhab Syafi’i. Beliau menulis kitab ‘al-Furuq’ dalam furu’ Madzhab Syafi’i dan juga kitab ‘al-Wada’i li Manshush asy-Syara’i’. (Kasyfuzh Zhunun an Asamil Kutub wal Funun: 2/1257 dan 2/2005).

Al-Imam ad-Daraquthni rahimahullah berkomentar tentang beliau:

وله مصنفات فى الفقه على مذهب الشافعى، وله رد على المخالفين والمتكلمين

“Beliau mempunyai banyak karya tulis dalam fikih Madzhab Syafi’i. Beliau juga mempunyai tulisan tentang bantahan kepada orang-orang yang menyimpang dan kepada Ahlul Kalam.” (Tahdzibul Asma’ wal Lughat lin Nawawi: 839).

Al-Allamah Ibnul Imad al-Hanbali rahimahullah berkata:

وعنه أخذ فقهاء الإسلام ومنه انتشر مذهب الإمام الشافعي في أكثر الآفاق

“Para ahli fikih mengambil fikih dari beliau (Ibnu Suraij). Dan dari beliau Madzhab Syafi’i menyebar ke penjuru dunia.” (Syadzaratudz Dzahab fi Akhbar Man Dzahab: 2/244).

Ketika ditanya tentang sifat-sifat Allah, maka Ibnu Suraij berkata:

حرام على العقول أن تمثل الله وعلى الأوهام أن تحده وعلى الألباب أن تصف إلا ما وصف به نفسه في كتابه أو على لسان رسوله وقد صح عن جميع أهل الديانة والسنة إلى زماننا أن جميع الآي والأخبار الصادقة عن رسول الله يجب على المسلمين الإيمان بكل واحد منه كما ورد وأن السؤال عن معانيها بدعة والجواب كفر وزندقة مثل قوله هل ينظرون إلا أن يأتيهم الله في ظلل من الغمام وقوله الرحمن على العرش استوى و جاء ربك والملك صفا صفا ونظائرها مما نطق به القرآن كالفوقية والنفس واليدين والسمع والبصر وصعود الكلم الطيب إليه والضحك والتعجب والنزول

“Haram bagi akal untuk membuat permisalan bagi Allah, haram bagi angan-angan untuk membatasi-Nya dan haram bagi akal untuk men-sifati Allah, kecuali sifat yang mana Allah men-sifati diri-Nya di dalam kitab-Nya atau melalui lisan rasul-Nya. Dan telah shahih keterangan dari para ulama dan Ahlussunnah sampai di jaman kami bahwa semua ayat dan hadits tentang sifat wajib diimani apa adanya oleh kaum muslimin, dan bahwa bertanya tentang makna (kaifiyatnya) adalah bid’ah, menjawab pertanyaan tersebut adalah perbuatan kufur dan zindiq, seperti firman Allah; “Tidakkah mereka menunggu kecuali datangnya Allah dan Malaikat kepada mereka dalam naungan awan.” (QS. Al-Baqarah: 210), firman Allah; “Allah ar-Rahman bersemayam di atas Arsy.” (QS. Thaha: 5), firman Allah; “Dan Rabb-mu datang dalam keadaan malaikat berbaris berlapis-lapis.” (QS. Al-Fajr: 22) dan ayat semisalnya dalam al-Quran seperti sifat di atas makhluk, jiwa, kedua tangan, pendengaran, pengelihatan, naiknya ucapan baik kepada-Nya, tertawa, kagum dan turun-Nya..dst.” (Al-Uluw lil Aliyyil Ghaffar lidz Dzahabi: 208).

Al-Imam Ibnu Khuzaimah

Beliau termasuk jajaran Syafi’iyah Mutaqaddimin. Beliau adalah al-Hafizh Syaikhul Islam Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah as-Sulami an-Naisaburi asy-Syafi’i (wafat tahun 311 H) rahimahullah.

Beliau termasuk murid dari murid-murid al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah. Al-Allamah Ibnu Qadhi Syuhbah asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

محمد بن إسحاق بن خزيمة بن المغيرة بن صالح أبو بكر السلمي النيسابوري الحافظ إمام الأئمة أخذ عن المزني والربيع

“Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah bin al-Mughirah bin Shalih, Abu Bakar as-Sulami an-Naisaburi, al-Hafizh, imamnya para imam. Beliau menimba ilmu fikih dari al-Muzani dan Rabi’ bin Sulaiman.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah li Ibni Qadhi Syuhbah: 1/99).

Abu Bakar Muhammad bin Sahl at-Thusi rahimahullah berkata:

سمعت الربيع بن سليمان وقال لنا: هل تعرفون ابن خزيمة؟ قلنا: نعم، قال: استفدنا منه أكثر مما استفاد منا

“Aku mendengar al-Imam Rabi’ bin Sulaiman (murid asy-Syafi’i, pen). Beliau bertanya kepada kami: “Apakah kalian mengenal Ibnu Khuzaimah?” Kami menjawab: “Ya.” Beliau berkata: “Kami lebih banyak mengambil faedah darinya daripada ia mengambil faedah dari kami.” (Tadzkiratul Huffazh lidz Dzahabi: 2/208, Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra: 3/118).

Beliau sangat getol membela Manhaj Salaf di dalam masalah sifat-sifat Allah. Beliau berkata:

ونحن نقول وعلماؤنا جميعاً إن لمعبودنا عز وجل وجهاً كما أعلمنا الله في محكم  تنزيله ، ووصفه بالجلال والإكرام ، وحكم له بالبقاء…الخ

“Kita dan para ulama kita semuanya menyatakan bahwa Sesembahan kita azza wajalla memiliki wajah sebagaimana keterangan yang telah diberitakan oleh Allah kepada kita di dalam ayat muhkam-Nya, yang telah disifatkan oleh-Nya dengan keagungan dan kemuliaan dan yang telah dihukumi oleh-Nya dengan sifat kekal..dst.” (Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah li Abil Qasim al-Ashbahani: 1/218).

Beliau juga menerangkan sifat ‘tertawa’ bagi-Nya:

باب ذكر إثبات ضحك ربنا عز و جل بلا صفة تصف ضحكه جل ثناؤه ولا يشبه ضحكه بضحك المخلوقين وضحكهم كذلك بل نؤمن بأنه يضحك كما أعلم النبي ونسكت عن صفه ضحكه جل وعلا إذ الله عز و جل استأثر بصفة ضحكة لم يطلعنا على ذلك فنحن قائلون بما قال النبي مصدقون بذلك بقلوبنا منصتون عما لم يبين لنا مما استأثر الله بعلمه

“Bab: Penetapan sifat ‘Tertawa’ bagi Rabb kita azza wajalla tanpa membicarakan tatacara tertawa-Nya dan tanpa mempersamakan tertawa-Nya dengan sifat tertawa para makhluk. Demikian pula sifat tertawa mereka tidak sama dengan sifat tertawa-Nya. Akan tetapi kita beriman bahwa Allah tertawa sebagaimana keterangan yang diberitakan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam. Kita juga bersikap diam dari membicarakan tatacara tertawa-Nya karena Allah telah merahasiakan tatacara tertawa-Nya kepada kita. Maka kita berpendapat seperti sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, membenarkannya dengan hati kita, dan bersikap diam terhadap keterangan yang mana Allah sendiri yang mengetahuinya.” (At-Tauhid wa Itsbati Shifatir Rabb Azza Wajalla: 2/563).

Al-Imam Abu Bakar al-Ajurri, Penulis ‘asy-Syariah’

Beliau juga termasuk jajaran ulama Syafi’iyah yang berakidah Salafi. Beliau adalah al-Imam Abu Bakar Muhammad bin al-Husain bin Abdullah al-Ajurri asy-Syafi’i (wafat tahun 360 H) rahimahullah.

Al-Imam Shalahuddin ash-Shafadi asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

الآجري محمد بن الحسين بن عبد الله الآجري، وآجر بالجيم قرية من قرى بغداد، الفقيه الشافعي المحدث صاحب الأربعين المشهور، كان صالحا عابدا دخل مكة فأعجبته فقال اللهم ارزقني الإقامة بها سنة فسمع هاتفا يقول بل ثلثين سنة فعاش بعد ذلك ثلثين سنة ومات سنة ستين وثلث ماية بمكة

“Al-Ajurri, Muhammad bin al-Husain bin Abdullah al-Ajurri. Ajurr adalah sebuah desa dari pedesaan Baghdad. Beliau adalah ahli fikih bermadzab Syafi’i, ahlul hadits, penulis kitab ‘al-Arbain’ yang terkenal. Beliau adalah seorang yang shaleh, ahli ibadah. Beliau pernah masuk Makkah dan langsung merasa kagum dengannya. Kemudian beliau berdo’a: “Ya Allah, berilah aku rejeki untuk menetap di Makkah selama setahun!” Kemudian beliau mendengar suara (tanpa rupa, pen) yang berkata: “Bahkan kamu menetap selama 30 tahun.” Maka beliau hidup 30 tahun kemudian dan mati tahun 360 H di Makkah.” (Al-Wafi bil Wafayat: 1/300, Mir’atul Jinan: 1/364 dan Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra: 3/149).

Ash-Shafadi juga menyatakan:

وصنف في الحديث والفقه كثيراً، وروى عنه جماعة من الحفاظ منهم الحافظ أبو نعيم وغيره، قال الخطيب: كان صدوقا دينا

“Beliau banyak menulis dalam bidang hadits dan fikih. Banyak para penghafal hadits yang meriwayatkan dari beliau seperti al-Hafizh Abu Nu’aim dan lainnya. Al-Khathib al-Baghdadi berkata: “Beliau adalah orang yang shaduq (jujur) dan memegang teguh ajaran agama.” (Al-Wafi bil Wafayat: 1/300).

Di antara karya tulis beliau adalah kitab ‘asy-Syariah’ tentang as-Sunnah, kitab ‘ar-Ru’yah’, kitab ‘al-Ghuraba’, kitab ‘al-Arbain’, kitab ‘ats-Tsamanin’, kitab ‘Adabul Ulama’, kitab ‘at-Tahajud’ dan lain-lain. (Siyar A’lamin Nubala’: 16/134).

Tentang akidahnya yang Salafi, al-Ajurri menyatakan:

اعلموا – وفقنا الله ، وإياكم للرشاد من القول والعمل – أن أهل الحق يصفون الله عز وجل بما وصف به نفسه عز وجل ، وبما وصفه به رسوله صلى الله عليه وسلم ، وبما وصفه به الصحابة رضي الله عنهم . وهذا مذهب العلماء ممن اتبع ولم يبتدع ، ولا يقال فيه : كيف ؟ بل التسليم له ، والإيمان به : أن الله عز وجل يضحك ، كذا روي عن النبي صلى الله عليه وسلم ، وعن صحابته رضي الله عنهم ، فلا ينكر هذا إلا من لا يحمد حاله عند أهل الحق

“Ketahuilah –semoga Allah memberikan taufiq kepada kami dan kalian kepada ucapan dan perbuatan yang terbimbing- bahwa Ahlul Haq menyifati Allah ta’ala dengan sifat yang mana Allah menyifati diri-Nya dan dengan sifat yang mana Rasul-Nya dan para sahabat menyifati-Nya. Ini adalah madzhab para ulama yang mengikuti as-Sunnah dan tidak berbuat bid’ah. Dan tidak boleh ditanyakan: “Bagaimana caranya?” Tetapi kita harus menerima dan beriman. (Di antara sifatnya) adalah bahwa Allah ta’ala tertawa sebagaimana diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dan dari para sahabat beliau radliyallahu anhum. Dan tidak mengingkarinya kecuali orang yang tidak terpuji.” (Asy-Syari’ah lil Ajurri: 2/201).

Beliau juga berkata:

والذي يذهب إليه أهل العلم : أن الله عز وجل سبحانه على عرشه فوق سماواته ، وعلمه محيط بكل شيء..الخ

“Pendapat yang dipegang oleh para ulama adalah bahwa Allah ta’ala di atas Arsy-Nya di atas langit-Nya, sedangkan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu..dst.” (Asy-Syari’ah lil Ajurri: 2/223).

Al-Imam al-Azhari, Ahli Bahasa Arab

Beliau termasuk ulama Syafi’iyah yang menjadi pakar bahasa Arab (wafat tahun 370 H) rahimahullah.

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

محمد بن أحمد بن الأزهر بن طلحة أبو منصور الهروي الأزهري النحوي اللغوي أحد أئمة الشافعية

“Beliau adalah al-Imam Muhammad bin Ahmad bin al-Azhar bin Thalhah Abu Manshur al-Harawi al-Azhari an-Nahwi (pakar ilmu nahwu) al-Lughawi (pakar bahasa Arab), salah seorang imam ulama Syafi’iyah.” (Thabaqat asy-Syafi’iyyin: 287-288).

Ibnu Katsir juga berkata:

وله مصنفات كثيرة، منها: تهذيب اللغة في عشر مجلدات، والتقريب في التفسير، وتفسير في الأسماء الحسني، وكتاب في تفسير ألفاظ مختصر المزني، والانتصار للشافعي…الخ

“Beliau mempunyai banyak karya tulis, di antaranya: ‘Tahdzibul Lughah’ 10 jilid, Tafsir tentang Asma’ul Husna, Tafsir Kosakata kitab Mukhtashar al-Muzani, al-Intishar (Pembelaan) kepada asy-Syafi’i..dst.” (Thabaqat asy-Syafi’iyyin: 288).

Di antara bukti kesalafi-an beliau adalah ucapan beliau:

وفي حديث أبي رزين العُقَيلىّ أنه قال للنبي صلى الله عليه وسلم: أين كان ربنا قبل أن يخلق السموات والأرض؟ قال: في عَمَاء، تحته هَوَاء وفوقه هواء: قال: أبو عبيد: العَمَاء في كلام العرب: السحاب: قاله الأصمعي وغيره..الخ

“Di dalam hadits Abu Razin al-Uqaili radliyallahu anhu bahwa ia bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Di mana Rabb kita sebelum menciptakan langit dan bumi?” Nabi menjawab: “Di Ama’, di atas ama’ adalah udara dan di bawahnya juga udara.” (HR. At-Tirmidzi: 3109 dan ia berkata hadits hasan, Ibnu Majah: 182). Abu Ubaid berkata: “Ama’ dalam bahasa Arab adalah awan. Demikian ucapan al-Ashma’i dan lainnya…dst.” (Tahdzibul Lughah:  1/394).

Beliau juga berkata:

قلت أنا: والقول عندى ماقاله أبو عُبيد أنه العماء ممدود، وهو السحاب ولايُدرى كيف ذلك العَمَاء بصفة تحصره ولانعتٍ يحده. ويُقوِّى هذا القول قول الله جل وعز: )هل ينظرون إلا أن يأتيهم الله في ظل من الغمام ( فالغمام معروف في كلام العرب، إلاّ أنا لاندرى كيف الغمام الذي يأتى الله عز وجل يوم القيامة في ظُلَل منه. فنحن نؤمن به، ولانكيف صفته. وكذلك سائر صفات الله جل وعز.

“Aku (al-Azhari, pen) berkata: “Pendapat yang benar menurutku adalah pendapat Abu Ubaid bahwa ama’ adalah awan (mendung). Akan tetapi mendung tersebut tidak diketahui kaifiyatnya dengan sifat dan batasan tertentu. Pendapat Abu Ubaid ini dikuatkan oleh ayat “Apakah mereka hanya menunggu kedatangan Allah kepada mereka di naungan mendung.” (QS. Al-Baqarah: 210). Maka awan (mendung) itu dikenal dalam bahasa Arab, hanya saja kita tidak mengetahui bagaimana keadaan mendung yang mana Allah datang pada hari kiamat dalam naungan darinya. Maka kita mengimani hal tersebut dan tidak membahas kaifiyat (tatacara) sifat tersebut. Demikian pula untuk sifat-sifat Allah ta’ala yang lainnya.” (Tahdzibul Lughah:  1/395).

Al-Imam ad-Daraquthni

Di antara Syafi’iyah Mutaqaddimin adalah al-Imam al-Hafizh Abul Hasan Ali bin Umar ad-Daraquthni al-Baghdadi asy-Syafi’i (wafat tahun 385 H) rahimahullah.

Al-Imam Abu Bakar al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah berkata:

وكان فريد عصره وقريع دهره ونسيج وحده وإمام وقته انتهى إليه علم الأثر والمعرفة بعلل الحديث وأسماء الرجال وأحوال الرواة مع الصدق والأمانة والفقه والعدالة وقبول الشهادة وصحة الاعتقاد وسلامة المذهب والاضطلاع بعلوم سوى علم الحديث منها القراءات…. وبلغني أنه درس فقه الشافعي على أبى سعيد الاصطخري وقيل بل درس الفقة على صاحب لأبي سعيد..الخ

“Beliau (ad-Daraquthni) adalah pakar hadits di masanya, sulit dicari tandingannya, imam di jamannya. Pada beliau berpuncak ilmu hadits, pengetahuan illat hadits, nama dan keadaan perawi hadits, dengan disertai kejujuran, amanah, fikih, sifat adil, diterimanya persaksian, akidah yang benar, madzhab yang selamat dan penguasaan dalam berbagai bidang ilmu selain hadits. Di antaranya adalah ilmu qiraat… dan telah sampai padaku bahwa beliau (ad-Daraquthni) belajar fikih Syafi’i kepada al-Imam Abu Sa’id al-Ishthakhri (teman al-Qadhi Ibnu Suraij, pen). Ada yang menyatakan bahwa beliau belajar fikih Syafi’i kepada teman al-Ishthakhri..dst.” (Tarikh Baghdad: 12/35).

Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata:

وصح عن الدارقطني أنه قال: ما شئ أبغض إلي من علم الكلام. قلت: لم يدخل الرجل أبدا في علم الكلام ولا الجدال، ولا خاض في ذلك، بل كان سلفيا، سمع هذا القول منه أبو عبد الرحمن السلمي.

“Dan telah shahih dari ad-Daraquthni bahwa beliau berkata: “Tidak ada sesuatu yang paling aku benci melebihi ilmu Kalam.” Aku (adz-Dzahabi, pen) berkata: “Beliau belum pernah menyelami ilmu Kalam dan perdebatan selama-lamanya. Tetapi beliau adalah seorang Salafi. Abu Abdirrahman as-Sulami mendengar pernyataan ini dari beliau sendiri.” (Siyar A’lamin Nubala’: 16/457).

Tentang ke-salafi-an beliau, al-Imam adz-Dzahabi menyatakan:

فمما صنف كتاب الرؤية وكتاب الصفات وكان إليه المنتهى في السنة ومذاهب السلف

“Termasuk karya tulis beliau (ad-Daraquthni) yaitu kitab ‘ar-Ru’yah’ dan kitab ‘as-Shifat’ (tentang sifat-sifat khabariyah Allah, pen). Dan beliau merupakan puncak ilmu as-Sunnah dan madzhab-madzhab Salaf.” (Al-Uluw lil Aliyyil Ghaffar: 234).

Al-Imam Abu Sulaiman al-Khaththabi, Pensyarah Hadits

Di antara Syafi’iyah Mutaqaddimin adalah al-Imam Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad al-Khaththabi asy-Syafi’i (wafat tahun 388 H) rahimahullah.

Al-Allamah Tajuddin as-Subki rahimahullah berkata:

كان إماما فى الفقه والحديث واللغة , أخذ الفقه عن أبى بكر القفال الشاشى وأبى على بن أبى هريرة

“Al-Khaththabi merupakan seorang imam dalam bidang fikih, hadits dan bahasa. Beliau  belajar fikih (Syafi’iyah) kepada Abu Bakar al-Qaffal asy-Syasyi dan Abu Ali bin Abu Hurairah…dst.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra lis Subki: 17/24).

Beliau berkata tentang hadits ‘turunnya Allah ke langit dunia’:

هذا الحديث وما أشبهه من الأحاديث في الصفات كان مذهب السلف فيها الإيمان بها ، وإجراءها على ظاهرها ونفي الكيفية عنها

“Hadits ini (tentang turunnya Allah ke langit dunia, pen) dan hadits-hadits lainnya tentang sifat-sifat Allah, maka madzhab as-Salaf di dalam perkara ini adalah beriman dengannya, menjalankan atas dhahirnya (yakni tidak melakukan takwil atasnya, pen) dan meniadakan kaifiyat (tata cara) atas sifat Allah.” (Al-Asma’ wash Shifat lil Baihaqi: 905 (2/486)).

Muhammad bin Abdullah al-Hafizh rahimahullah berkata:

هذه نسخة الكتاب الذي أملاه الشيخ أبو بكر أحمد بن إسحاق بن أيوب في مذهب أهل السنة فيما جرى بين محمد بن إسحاق بن خزيمة وبين أصحابه ، فذكرها وذكر فيها : ( الرحمن على العرش استوى ) بلا كيف ، والآثار عن السلف في مثل هذا كثيرة « وعلى هذه الطريق يدل مذهب الشافعي رضي الله عنه ، وإليها ذهب أحمد بن حنبل والحسين بن الفضل البجلي . ومن المتأخرين أبو سليمان الخطابي

“Ini adalah naskah kitab yang didiktekan oleh Syaikh Abu Bakar bin Ishaq bin Ayyub tentang Madzhab Ahlus Sunnah di dalam masalah yang disengketakan oleh Ibnu Khuzaimah dan para sahabatnya. Di dalamnya terdapat: “Allah ar-Rahman bersemayam di atas Arsy” tanpa (membahas) tatacaranya. Atsar dari as-Salaf tentang masalah ini sangat banyak. Dan Madzhab asy-Syafi’i juga menunjukkan demikian. Demikian pula menurut Ahmad bin Hanbal dan Husain bin al-Fadhl al-Bajali. Dan juga pendapat Abu Sulaiman al-Khaththabi dari kalangan muta’akhirin.” (Al-Asma’ wash Shifat lil Baihaqi: 838 (2/412)).

Dan Madzhab Salaf inilah yang menjadi manhaj terakhir dari al-Khaththabi rahimahullah setelah berkutat dengan manhaj Asy’ariyah. Dalam kitab ‘Ma’alimus Sunan Syarh Sunan Abu Dawud’, beliau masih ber-madzhab Asy’ari dengan melakukan takwil terhadap hadits-hadits tentang sifat Allah ta’ala. Kemudian beliau rujuk kepada Madzhab Salaf di akhir hidup beliau. Ini dapat dilihat dalam kitab beliau ‘al-Ghunyah anil Kalam wa Ahlih’.

Al-Imam Ibnu Rajab al-Hanbali (wafat tahun 795 H) rahimahullah berkata:

وهذا يدل على أن ما يؤخذ من كلامه في كثير من كتبه مما يخالف ذلك ويوافق طريقة المتكلمين فقد رجع عنه …الخ

“Ini (penjelasan al-Khaththabi dalam al-Ghunyah, pen) menunjukkan bahwa perkara yang diambil dari pendapat beliau dalam kebanyakan tulisan beliau yang menyelisihi kitab ‘al-Ghunyah’ dan mencocoki jalan Ahlul Kalam, maka beliau telah rujuk (meralat) dari hal tersebut..dst.” (Fathul Bari li Ibni Rajab: 5/103).

Al-Imam Abu Hamid al-Isfarayni, Syafi’i Ketiga

Beliau adalah al-Imam Abu Hamid Ahmad bin Muhammad bin Ahmad al-Isfarayni asy-Syafi’i (wafat tahun 406 H) rahimahullah.

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

ولد في سنة أربع وأربعين وثلثمائة وقدم بغداد وهو صغير سنة ثلاث أو أربع وستين وثلثمائة، فدرس الفقه على أبي الحسن بن المزبان، ثم على أبي القاسم الداركي، ولم يزل تترقى به الاحوال حتى صارت إليه رياسة الشافعية، وعظم جاهه عند السلطان والعوام، وكان فقيها إماما، جليلا نبيلا، شرح المزني في تعليقة حافلة نحوا من خمسين مجلدا، وله تعليقة أخرى في أصول الفقه، وروى عن الاسماعيلي وغيره

“Beliau (Abu Hamid) dilahirkan pada tahun 344 H dan datang ke Baghdad dalam keadaan masih kecil pada tahun 364. Kemudian beliau belajar fikih kepada Abul Hasan bin al-Marzuban, kemudian belajar fikih kepada Abul Qasim ad-Dariki. Dan keadaan keilmuan beliau terus meningkat sampai memegang kepemimpinan ulama Syafi’iyah. Kedudukan beliau sangat besar di kalangan sultan dan orang-orang awam. Beliau adalah seorang ahli fikih, seorang imam, yang agung, yang cerdas. Beliau menulis syarah (penjelasan) terhadap ‘Mukhtashar al-Muzani’ dalam bentuk ‘Ta’liqah’ (catatan kaki, pen) yang tebal, setebal 50 jilid. Beliau juga menulis ‘Ta’liqah’ yang lainnya dalam usul fikih. Beliau meriwayatkan hadits dari al-Ismaili dan lainnya.” (Al-Bidayah wan Nihayah: 12/3).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

وَأَمَّا الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ فَهُوَ الشَّافِعِيُّ الثَّالِثُ , فَإِنَّهُ لَيْسَ بَعْدَ الشَّافِعِيِّ مِثْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ , وَلَا بَعْدَ أَبِي الْعَبَّاسِ مِثْلُ الشَّيْخِ أَبِي حَامِدٍ

“Adapun asy-Syaikh Abu Hamid al-Isfarayni, maka beliau adalah Syafi’i Ketiga. Ini karena tidak ada ulama Syafi’iyah setelah al-Imam asy-Syafi’i yang semisal al-Qadhi Ibnu Suraij. Dan tidak ada ulama Syafi’iyah setelah al-Qadhi Ibnu Suraij yang semisal asy-Syaikh Abu Hamid al-Isfarayni.” (Al-Fatawa al-Kubra: 6/602).

Beliau memegang akidah Salafi dan berlepas diri dari akidah Asy’ariyah. Di antara ucapan beliau –sebagaimana penukilan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah- adalah:

وَأَنَا بَرِيءٌ مِنْ مَذْهَبِ الْبَاقِلَّانِيِّ , وَعَقِيدَتِهِ

“Dan aku (Abu Hamid) berlepas diri dari Madzhab al-Baqilani (seorang tokoh Asy’ariyah, pen) dan akidahnya.” (Al-Fatawa al-Kubra: 6/600, Dar’ut Ta’arudl al-Aql wan Naql: 1/283  dan al-Aqidah al-Ishfahaniyah: 58).

Al-Imam Abu Ismail al-Harawi al-Hanbali rahimahullah berkata:

وسمعت أحمد بن أبي رافع وخلفاً: ((يذكرون شدة أبي حامد على الباقلاني؛ قال: وأنا بلغت رسالة أبي سعيد إلى ابنه سالم ببغداد: إن كنت تريد أن ترجع إلى هراة؛ فلا تقرب الباقلاني)).

“Aku mendengar Ahmad bin Abi Rafi’ dan beberapa orang menceritakan sikap keras Abu Hamid al-Isfarayni terhadap al-Baqilani. Abu Hamid berkata: “Aku sampaikan surat Abu Sa’id kepada anaknya, Salim di Baghdad: “Jika kamu ingin pulang ke Harah, maka janganlah mendekati al-Baqilani!” (Dzammul Kalam wa Ahlih lil Harawi: 1305 (4/408)).

Al-Imam Abul Qasim al-Lalikai

Beliau adalah al-Imam Abul Qasim al-Lalikai Hibatullah bin al-Hasan bin Manshur ar-Razi ath-Thabari asalnya (wafat tahun 418 H) asy-Syafi’i rahimahullah. Beliau adalah salah satu murid al-Imam Abu Hamid al-Isfarayni asy-Syafi’i rahimahullah.

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

كان يفهم ويحفظ، وعني بالحديث فصنف فيه أشياء كثيرة، ولكن عاجلته المنية قبل أن تشتهر كتبه، وله كتاب في السنة وشرفها، وذكر طريقة السلف الصالح في ذلك

“Beliau (al-Lalikai) memahami dan menghafal ilmu, berkonsentrasi pada hadits, menulis banyak karya tulis dalam bidang hadits, akan tetapi beliau lebih dahulu meninggal dunia sebelum karya tulis beliau terkenal. Beliau menulis sebuah kitab tentang ‘as-Sunnah dan kemuliaannya’ (yakni: kitab ‘Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jamaah’, pen). Beliau menjelaskan Manhaj Salaf dalam kitab tersebut..dst.” (Al-Bidayah wan Nihayah: 12/30).

Di antara akidah beliau dalam kitab tersebut adalah ucapan beliau dalam judul sub-bab:

سياق ما دل من كتاب الله عز و جل وسنة رسوله صلى الله عليه و سلم على أن من صفات الله عز و جل الوجه والعينين واليدين

“Memaparkan dalil dari Kitabullah azza wajalla dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam bahwa di antara sifat-sifat Allah ta’ala adalah wajah, kedua mata dan kedua tangan.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jamaah: 3/412).

Al-Hafizh Abu Nu’aim al-Ashbahani

Beliau adalah al-Hafizh Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah asy-Syafi’i ash-Shufi al-Ashbahani (wafat tahun 430 H) rahimahullah.

Al-Allamah Ibnu Khulkan asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

كان من الأعلام المحدثين، وأكابر الحفاظ الثقات، أخذ عن الأفاضل، وأخذوا عنه، وانتفعوا به

“Beliau (Abu Nu’aim) termasuk tokoh ahlul hadits, pembesar para penghafal hadits yang tsiqat, mengambil hadits dari para pembesar ulama dan mereka pun mengambil hadits dan manfaat dari beliau.” (Wafayatul A’yan wa Anba’i Abna’iz Zaman: 1/91).

Beliau menulis kitab ‘Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiya’, ‘Tarikh Ashbahan’, ‘al-Mustakhraj ala Shahihain’, ‘Fadhailus Shahabah’ dan lain-lain. (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra: 4/22).

Tentang akidah Salafi yang dianut oleh Abu Nu’aim ini, al-Allamah Tajuddin Ibnus Subki asy-Syafi’i berkata:

وحكى عن أبي نعيم الأصبهاني أن الأحاديث الثابتة في الاستواء يقولون بها ويثبتونها من غير تكييف ولا تمثيل ولا تشبيه وهو مستو على عرشه في سمائه دون أرضه

“Dihikayatkan dari Abu Nuaim al-Ashbahani bahwa hadits-hadits yang shahih tentang istiwa’ (bersemayamnya) Allah, maka mereka (Ahlussunnah) berpendapat dengannya dan menetapkannya tanpa membahas tata caranya, tanpa menyerupakannya dengan sifat makhluk. Maka Allah bersemayam di atas Arsy-Nya di atas langit-Nya, bukan bumi-Nya.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra: 9/78).

Al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah berkata:

قول شيخ الصوفية والمحدثين أبي نعيم صاحب كتاب حلية الأولياء

قال في عقيدته وإن الله سميع بصير عليم خبير يتكلم ويرضى ويسخط ويضحك ويعجب ويتجلى لعبادة يوم القيامة ضاحكا وينزل كل ليلة إلى سماء الدنيا كيف يشاء فيقول هل من داع فأستجيب له هل من مستغفر فأغفر له هل من تائب فأتوب عليه حتى يطلع الفجر ونزول الرب تعالى إلى سماء الدنيا بلا كيف ولا تشبيه ولا تأويل فمن أنكر النزول أو تأول فهو مبتدع ضال

“Pendapat syaikh kaum sufi dan Ahlul Hadits, Abu Nu’aim penulis kitab ‘Hilyatul Auliya’.”

“Beliau berkata dalam ‘akidah’ beliau: “Sesungguhnya Allah itu mendengar, melihat, mengetahui, waspada, berbicara, ridha, murka, tertawa, kagum dan menampakkan diri kepada hamba-hamba-Nya pada hari kiamat dalam keadaan tertawa. Allah juga turun ke langit dunia dengan tatacara yang dikehendaki oleh-Nya kemudian berkata: “Siapakah yang berdoa? Maka Aku akan mengabulkannya. Siapa yang meminta ampunan? Maka Aku akan mengampuninya. Siapa yang bertaubat? Maka Aku akan menerima taubatnya.” Turun-Nya itu sampai terbitnya fajar. Turunnya Rabb ke langit dunia itu tanpa (membahas) tatacaranya, tanpa menyerupakan dengan turunnya makhluk dan tanpa takwil (memalingkan dari makna zhahirnya, pen). Barangsiapa mengingkari turunnya Rabb atau melakukan takwil atasnya, maka ia adalah ahlul bid’ah yang sesat.” (Ijtima’ul Juyusyil Islamiyah: 176-177).

Syaikhul Islam Abu Utsman ash-Shabuni

Beliau adalah Syaikhul Islam Abu Utsman Ismail bin Abdurrahman bin Ahmad ash-Shabuni asy-Syafi’i (wafat tahun 449 H) rahimahullah.

Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata:

ولقد كان من أئمة الاثر، له مصنف في السنة واعتقاد السلف، ما رآه منصف إلا واعترف له

“Beliau (ash-Shabuni) termasuk imam ahlul hadits. Beliau mempunyai tulisan tentang as-Sunnah dan akidah Salaf (yakni: kitab ‘Aqidatus Salaf Ashabul Hadits’, pen). Tidaklah seorang yang bersikap inshaf (obyektif) kecuali mengakui kepakaran beliau.” (Siyar A’lamin Nubala’: 18/43).

Al-Imam Tajuddin as-Subki asy-Syafi’i rahimahullah –yang fanatik terhadap ulama Asy’ariyah- pun memuji beliau dalam komentarnya:

ولقد أكثر الأئمة الثناء عليه ولذلك مدحه الشعراء في صباه إلى وقت شبابه ومشيبه بما يطول ذكره

“Dan para imam banyak memuji beliau. Oleh karena itu para penyair memuji beliau pada masa kanak-kanak beliau sampai dengan masa remaja dan dewasa beliau dengan pujian yang akan panjang jika disebutkan satu persatu.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra: 4/155).

Di antara isi wasiat ash-Shabuni adalah:

ويسلك في الآيات التي وردت في ذكر صفات البارىء جل جلاله والأخبار التي صحت عن رسول الله ( صلى الله عليه وسلم ) في بابها كآيات مجيء الرب يوم القيامة وإتيان الله في ظلل من الغمام وخلق آدم بيده واستوائه على عرشه وكأخبار نزوله كل ليلة إلى سماء الدنيا والضحك والنجوى ووضع الكنف على من يناجيه يوم القيامة وغيرها مسلك السلف الصالح وأئمة الدين من قبولها وروايتها على وجهها بعد صحة سندها وإيرادها على ظاهرها والتصديق بها والتسليم لها واتقاء اعتقاد التكييف والتشبيه  فيها

“Beliau (ash-Shabuni) menempuh di dalam ayat-ayat yang menjelaskan sifat-sifat Allah ta’ala dan hadits-hadits shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di dalam Bab sifat-sifat Allah, -seperti: datangnya Rabb pada hari kiamat, datangnya Allah di dalam naungan mendung, penciptaan Adam dengan tangan-Nya, bersemayam-Nya di atas Arsy-Nya, berita tentang turun-Nya setiap malam ke langit dunia, sifat tertawa, pembicaraan rahasia (antara Rabb dan hamba-Nya, pen), meletakkan sisi-Nya atas orang yang diajak bicara secara rahasia pada hari kiamat dan hadits lainnya- dengan menempuh jalan Salafus Shaleh dan para imam agama, yaitu dengan menerimanya, meriwayatkannya atas wajahnya setelah kesahihan sanadnya, menjalankan atas zhahirnya, membenarkannya, bersikap tunduk terhadapnya dan mengindari penggambaran tatacara dan penyerupaan dengan sifat makhluk.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra: 4/288).

Al-Khathib Abu Bakar al-Baghdadi, Penulis Tarikh Baghdad

Beliau adalah al-Imam Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Tsabit al-Khathib al-Baghdadi asy-Syafi’i (wafat tahun 463 H) rahimahullah.

Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata:

وكان من كبار الشافعية، تفقه بأبي الحسن بن المحاملي، وبالقاضي أبي الطيب

“Beliau (al-Khathib) adalah termasuk pembesar Syafi’iyah, belajar fikih kepada Abul Hasan al-Muhamili dan al-Qadhi Abuth Thayyib.” (Tadzkiratul Huffazh lidz Dzahabi: 3/222).

Adz-Dzahabi juga berkata:

وقال أبو إسحاق الشيرازي الفقيه: أبو بكر الخطيب يشبه بالدارقطني ونظرائه في معرفة الحديث وحفظه

“Abu Ishaq asy-Syairazi al-Faqih berkata: “Abu Bakar al-Khathib itu menyerupai ad-Daraquthni dan teman-temannya dalam pengetahuan dan hafalan hadits.” (Tadzkiratul Huffazh lidz Dzahabi: 3/222).

Bukti tentang akidah al-Khatib al-Baghdadi yang Salafi adalah ucapan beliau:

أما الكلام في الصفات فإن ما روي منها في السنن الصحاح مذهب السلف إثباتها وإجراؤها على ظواهرها ونفي الكيفية والتشبيه عنها

“Adapun pembicaraan tentang sifat-sifat Allah, maka sifat-sifat Allah yang diriwayatkan dalam as-Sunan yang shahih, maka madzhab Salaf adalah menetapkannya, menjalankan atas dhahirnya (yakni tidak melakukan takwil atasnya, pen), meniadakan kaifiyat (tata cara) dan meniadakan penyerupaan (dengan sifat makhluk, pen) atas sifat-sifat Allah.” (Siyar A’lamin Nubala’: 18/284, Tadzkiratul Huffazh: 3/225).

Beliau juga menyatakan:

فكذلك إثبات صفاته إنما هو إثبات وجود لا إثبات تحديد وتكييف، فإذا قلنا: لله يد وسمع وبصر فإنما هي صفات أثبتها الله تعالى لنفسه، ولا نقول: إن معنى اليد القدرة ولا إن معنى السمع والبصر العلم ولا نقول: إنها جوارح ولا نشبهها بالأيدي والأسماع والأبصار التي هي جوارح وأدوات للفعل ونقول: إنما وجب إثباتها؛ لأن التوقيف ورد بها, ووجب نفي التشبيه عنها لقوله تعالى: {لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ} [الشورى: 11] {وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ} [الإخلاص: 4].

“Demikian pula, (yang dimaksud dengan) menetapkan sifat-sifat Allah hanyalah menetapkan adanya sifat-sifat tersebut, bukan menetapkan pembatasan dan tata cara sifat-Nya. Jika kita berkata bahwa Allah mempunyai tangan, pendengaran dan penglihatan, maka itu semua merupakan sifat yang mana Allah ta’ala menetapkannya untuk diri-Nya. Kita tidak menyatakan bahwa makna tangan adalah kekuasaan dan makna pendengaran dan penglihatan adalah ilmu. Kita juga tidak menyatakan bahwa sifat-sifat tersebut adalah anggota tubuh. Kita juga tidak menyamakan sifat-sifat tersebut dengan tangan, pendengaran dan penglihatan yang merupakan anggota tubuh dan alat gerak. Kita berpendapat bahwa wajib hukumnya menetapkan sifat-sifat tersebut karena dalil sam’i (yakni al-Kitab dan as-Sunnah, pen) telah menjelaskannya dan wajib hukumnya menolak penyerupaan sifat-sifat tersebut dengan sifat makhluk, karena firman Allah ta’ala: “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.” (QS. Asy-Syura: 11) dan firman-Nya: “Dan tidak ada suatu pun yang setara dengan-Nya.” (QS. Al-Ikhlash: 4).” (Siyar A’lamin Nubala’: 18/264, Tadzkiratul Huffazh: 3/255).

Al-Imam Sa’ad bin Ali az-Zanjani, Pemilik Karamah

Beliau adalah al-Imam Sa’ad bin Ali bin Muhammad az-Zanjani asy-Syafi’i (wafat tahun 471 H), pemimpin Syafi’iyah di Tanah Haram rahimahullah.

Al-Allamah Tajuddin Ibnus Subki asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

قال أبو سعد كان الزنجاني حافظا متقنا ثقة ورعا كثير العبادة صاحب كرامات وآيات وإذا خرج إلى الحرم يخلو المطاف ويقبلون يده أكثر مما يقبلون الحجر الأسود

“Ibnu Sa’ad berkata: “Az-Zanjani adalah seorang hafizh, yang mutqin (kuat hafalannya, pen), terpercaya, bersikap wara’, banyak beribadah, pemilik beberapa karamah. Jika beliau keluar menuju Masjidil Haram, maka beliau menyendiri dari tempat thawaf dan manusia mencium tangan beliau lebih banyak daripada mencium Hajar Aswad.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra: 4/383-4).

Beliau (az-Zanjani) termasuk Syaifi’iyah yang berakidah Salafi. Di antara ucapan beliau –sebagaimana penukilan al-Imam Ibnul Qayyim- adalah:

فثبت بذلك أن لله علو الذات وعلو الصفات وعلو القهر والغلبة وجماهير المسلمين وسائر الملل قد وقع منهم الاجماع على الإشارة إلى الله جل ثناؤه من جهة الفوق في الدعاء والسؤال

“Maka kami menetapkan dengan dalil tersebut, bahwa Allah mempunyai sifat tinggi dzat-Nya, tinggi sifat-Nya, tinggi kekuasaan-Nya. Mayoritas kaum muslimin dan pemeluk agama lain telah bersepakat untuk berisyarat dengan tangan kepada Allah ta’ala di arah atas dalam hal doa dan meminta.” (Ijtima’ul Juyusyil Islamiyah: 118).

Az-Zanjani juga menyatakan:

وليس معنى استوائه أنه ملكه واستولى عليه لأنه كان مستوليا عليه قبل ذلك وهو أحدثه لأنه مالك جميع الخلائق ومستول عليها وليس معنى الاستواء أيضا أنه ماس العرش أو اعتمد عليه أو طابقه فإن كل ذلك ممتنع في وصفه جل ذكره ولكنه مستو بذاته على عرشه بلا كيف كما أخبر عن نفسه

“Dan makna ‘bersemayam’ (di atas Arsy) bukannya memiliki dan menguasai (Arsy) karena Allah telah menguasai Arsy sebelum menciptakan langit dan bumi. Dan makna ‘bersemayam’ juga bukan menempel dengan Arsy atau bersandar kepadanya atau bersinggungan dengannya, karena itu semua tidak terjadi pada (tatacara) sifat-Nya, akan tetapi Allah bersemayam di atas Arsy-Nya dengan dzat-Nya tanpa membahas kaifiyat (tatacara) sebagaimana berita yang diberitakan oleh-Nya.” (Ijtima’ul Juyusyil Islamiyah: 118).

Al-Imam Abul Muzhaffar as-Sam’ani, dari Hanafi menjadi Syafi’i

Beliau adalah al-Imam Abul Muzhaffar Manshur bin Muhammad bin Abdul Jabbar as-Sam’ani asy-Syafi’i (wafat tahun 489) rahimahullah.

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

تفقه أولا على أبيه في مذهب أبي حنيفة، ثم انتقل إلى مذهب الشافعي فأخذ عن أبي إسحاق وابن الصباغ

“Beliau (as-Sam’ani) belajar fikih Madzhab Hanafi kepada ayahnya, kemudian berpindah ke Madzhab Syafi’i dan belajar fikih kepada Abu Ishaq (asy-Syairazi) dan Ibnush Shabbagh.” (Al-Bidayah wan Nihayah: 12/186).

Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata:

تعصب لاهل الحديث والسنة والجماعة، وكان شوكا في أعين المخالفين، وحجة لاهل السنة

“Beliau sangat kuat membela Ahlul Hadits, Ahlussunnah wal Jamaah, menjadi duri bagi tokoh-tokoh yang menyimpang dan menjadi hujah bagi ahlus sunnah.” (Siyar A’lamin Nubala’: 19/116).

Beliau (as-Sam’ani) memegang akidah Salafi. Ini dibuktikan dengan tafsir beliau terhadap ‘istiwa’nya Allah di atas Arsy’ (QS. Thaha: 5):

اعلم أن مخارج الاستواء في اللغة كثيرة : وقد يكون بمعنى العلو ، وقد يكون بمعنى الاستقرار ، وقد يكون بمعنى الاستيلاء – على بعد – وقد يكون بمعنى الإقبال .  والمذهب عند أهل السنة أنه يؤمن به ولا يكيف

“Ketahuilah bahwa tempat keluarnya ‘istiwa’ secara bahasa adalah banyak. Kadang-kadang bisa bermakna tinggi, kadang-kadang bisa bermakna ‘bersemayam’, bisa pula ‘menguasai’ dan bisa pula ‘menghadap’. Madzhab yang dipilih Ahlus Sunnah adalah mengimaninya tanpa membahas tatacaranya.” (Tafsirul Quran lis Sam’ani: 3/320).

Beliau juga berkata dalam tafsir ‘terbentangnya kedua tangan Allah ‘ (QS. Al-Maidah: 64):



وأما اليد : صفة لله – تعالى – بلا كيف ، وله يدان ، وقد صح عن النبي أنه قال : ‘ كلتا يديه يمين ‘ . والله أعلم بكيفية المراد

“Adapun tangan, maka itu merupakan sifat Allah ta’ala, tanpa pembahasan kaifiyat (tatacara). Allah mempunyai dua tangan. Dan telah shahih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa kedua tangan-Nya adalah kanan. Allah lebih tahu terhadap tatacara maksud sifat-Nya.” (Tafsirul Quran lis Sam’ani: 2/51).

Beliau juga menyatakan tentang ‘wajah Allah’ (QS. Al-An’am: 52):

والوجه صفة لله – تعالى – بلا كيف ؛ وجه لا كالوجوه

“Wajah adalah sifat Allah ta’ala tanpa membahas tatacaranya, dan tidak sama dengan wajah-wajah lainnya.” (Tafsirul Quran lis Sam’ani: 2/108).

Al-Qadhi Abu Bakar al-Hamawi asy-Syafi’i

Beliau adalah al-Qadhi Abu Bakar Muhammad bin al-Muzhaffar asy-Syami al-Hamawi asy-Syafi’i (wafat tahun 488 H) rahimahullah.

Al-Imam as-Sam’ani rahimahullah menyatakan:

هو أحد المتقنين لمذهب الشافعي وله اطلاع على أسرار الفقه

“Beliau (al-Qadhi Abu Bakar) adalah salah seorang yang menguasai Madzhab Syafi’i dan mempunyai pengetahuan tentang rahasia-rahasia fikih.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah li Ibni Qadhi Syuhbah: 1/272).

Al-Allamah Ibnul Imad al-Hanbali rahimahullah menyatakan:

كان من أزهد القضاة وأروعهم وأتقاهم الله وأعرفهم بالمذهب… أما العلم فكان يقال لو رفع المذهب أمكنه أن يمليه من صدره

“Beliau (al-Qadhi al-Hamawi, pe) termasuk qadhi yang paling zuhud, yang paling wara’, paling bertakwa kepada Allah dan yang paling mengetahui tentang Madzhab Syafi’i…. Adapun dalam ilmu fikih, maka dikatakan bahwa seandainya seluruh ajaran Madzhab Syafi’i dihapus, maka beliau mampu mendiktekan madzhab tersebut dari hafalannya..dst.” (Syadzaratudz Dzahab fi Akhbar Man Dzahab: 3/390).

Beliau menulis kitab tentang akidah Salafi. Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata:

وقد صنف ” البيان في أصول الدين ” ينحو فيه إلى مذهب السلف

“Beliau menulis kitab akidah ‘Al-Bayan fi Ushuliddin’ yang mana beliau berjalan di atas Madzhab Salaf di dalamnya.” (Siyar A’lamin Nubala’: 19/87).

Al-Imam Nashr al-Maqdisi

Beliau adalah al-Imam Syaikhul Islam Nashr bin Ibrahim bin Nashr al-Maqdisi asy-Syafi’i (wafat tahun 490 H) rahimahullah.

Al-Allamah Ibnul Imad al-Hanbali rahimahullah berkata:

الفقيه نصر بن إبراهيم بن نصر بن إبراهيم بن داود أبو الفتح المقدسي النابلسي الزاهد شيخ الشافعية بالشام وصاحب التصانيف كان إماما علامة مفتيا محدثا حافظا زاهدا متبتلا ورعا كبير القدر عديم النظر

“Al-Faqih Nashr bin Ibrahim bin Nashr bin Ibrahim bin Dawud, Abul Fath al-Maqdisi an-Nablusi, yang zuhud, guru ulama Syafi’iyah di Syam, pemilik berbagai karya tulis. Beliau adalah seorang imam, alim, ahli fatwa, ahlul hadits, penghafal hadits, yang zuhud, ahli ibadah, bersifat wara’, besar kedudukannya dan jarang tandingannya..dst.” (Syadzaratudz Dzahab fi Akhbar Man Dzahab: 3/394).

Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata:

وصنف كتاب ” الحجة على تارك المحجة ” ، وأملى مجالس خمسة، وبرع في المذهب. تفقه على الدارمي، وعلى الفقيه سليم وغيرهما

“Beliau menulis kitab ‘al-Hujjah fi Tarikil Mahajjah’, memberikan imlak’ (mendiktekan hadits) di lima majelis, menonjol dalam madzhab (Syafi’i). Beliau belajar fikih kepada ad-Darimi dan al-Faqih Salim dan lainnya.” (Siyar A’lamin Nubala’: 19/137-8).

Beliau menjelaskan akidah beliau yang salafi dengan ucapan beliau:

يصفه بما وصف به نفسه وعلى لسان نبيه صلى الله عليه وسلم لا يجاوز ذلك ولا يزيد عليه ولانقيس بعقولنا غيره عليه بل نسلم ذلك اليه ونتوكل في توفيقنا عليه

“Ia (seorang muslim) menyifati Allah dengan sifat yang mana Allah menyifati diri-Nya dengan sifat tersebut dan menurut lisan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tidak boleh melebihi dari itu dan menambahinya. Kita tidak meng-qiyaskan (menyerupakan, pen) sifat lainnya dengan sifat Allah dengan akal-akal kita, tetapi kita menyerahkan kaifiyatnya kepada-Nya dan bertawakal kepada-Nya atas hidayah-Nya kepada kita.” (Mukhtashar al-Hujjah ala Tarikil Mahajjah, tahqiq Dr. Muhammad Ibrahim Muhammad Harun: 2/335).

Beliau juga berkata:

وأن الله تعالى مستو على عرشه بائن من خلقه

“Dan bahwa Allah ta’ala bersemayam di atas arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya..dst.” (Mukhtashar al-Hujjah ala Tarikil Mahajjah, tahqiq Dr. Muhammad Ibrahim Muhammad Harun: 2/343).

Al-Imam al-Hafizh Muhyis Sunnah al-Baghawi

Al-Imam Abu Muhammad al-Baghawi asy-Syafi’i (wafat tahun 516 H) rahimahullah adalah ulama besar di kalangan Syafi’iyah. Al-Hafizh as-Suyuthi rahimahullah menerangkan biografi beliau:

الحسين بن مسعود بن محمد العلامة أبو محمد البغوي الفقيه الشافعي يعرف بابن الفراء ويلقب محيي السنة وركن الدين أيضا : كان إماما في التفسير إماما في الحديث إماما في الفقه تفقه على القاضي حسين وسمع الحديث منه…. وله من التصانيف معالم التنزيل في التفسير و شرح السنة والمصابيح و الجمع بين الصحيحين و التهذيب في الفقه

“Al-Husain bin Mas’ud bin Muhammad, al-Allamah Abu Muhammad al-Baghawi al-Faqih asy-Syafi’i. Beliau dikenal juga dengan Ibnul Farra’, dijuluki dengan Muhyis Sunnah (orang yang menghidupkan as-Sunnah, pen) dan juga Ruknud Dien (rukun agama, pen). Beliau adalah seorang imam dalam bidang tafsir, imam dalam bidang hadits dan imam dalam bidang fikih. Beliau belajar fikih (Syafi’iyah, pen) dan hadits kepada al-Qadhi Husain….. Beliau memiliki karya tulis; ‘Ma’alimut Tanzil’ dalam bidang tafsir, ‘Syarhus Sunnah’, ‘al-Mashabih’, ‘al-Jam’u bainash Shahihain’ dan ‘at-Tahdzib’ dalam fikih.” (Thabaqatul Mufassirin: 38).

Beliau termasuk jajaran ulama Syafi’iyah yang berakidah Salafi di dalam memahami sifat-sifat Allah ta’ala. Beliau berkata:

وكذلك كل ما جاء به الكتاب أو السنة من هذا القبيل في صفات الله تعالى ، كالنفس ، والوجه ، والعين ، واليد ، والرجل ، والإتيان ، والمجيء ، والنزول إلى السماء الدنيا ، والاستواء على العرش ، والضحك والفرح…. فهذه ونظائرها صفات لله تعالى ورد بها السمع يجب الإيمان بها ، وإمرارها على ظاهرها معرضا فيها عن التأويل ، مجتنبا عن التشبيه ، معتقدا أن الباري سبحانه وتعالى لا يشبه شيء من صفاته صفات الخلق ، كما لا تشبه ذاته ذوات الخلق ، قال الله سبحانه وتعالى : ( ليس كمثله شيء وهو السميع البصير ( [ الشورى : 11 ].

“Demikianlah, semua keterangan yang datang dari al-Quran atau as-Sunnah tentang sifat-sifat Allah adalah termasuk dari bagian ini, seperti: jiwa, wajah, mata, tangan, kaki, kedatangan-Nya, turun-Nya ke langit dunia, bersemayam-Nya di atas Arsy, tertawa dan bergembira… Maka sifat-sifat ini dan semisalnya adalah sifat-sifat milik Allah yang mana dalil sam’i (yakni al-Quran dan as-Sunnah, pen) telah memberitakannya. Ini semua wajib diimani dan dibenarkan menurut makna zhahirnya dengan menjauhi perbuatan takwil (memalingkan dari makna zhahirnya, pen) dan juga menjauhi perbuatan tasybih (menyamakannya dengan makhluk, pen), dengan menyakini bahwa Allah ta’ala mempunyai sifat-sifat yang sama dengan sifat-siaft makhluk-Nya, sebagaimana Dzat-Nya juga tidak serupa dzat makhluk. Allah ta’ala berfirman: “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11).” (Syarhus Sunnah lil Baghawi: 1/168-170).

Al-Imam Abul Hasan al-Karaji, Syafi’i tanpa Qunut Subuh

Beliau adalah al-Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdul Malik Muhammad al-Karaji asy-Syafi’i (wafat tahun 532 H) rahimahullah.
Ulama Syafi’iyah Antara Salafi Dan Asy’ari
Al-Allamah Ibnu Qadhi Syuhbah asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

قال ابن السمعاني وهو إمام ورع فقيه مفت محدث خير أديب شاعر أفنى عمره في جمع العلم ونشره قال وله القصيدة المشهورة في السنة نحو مائتي بيت شرح فيها عقيدة السلف وله تصانيف في المذهب والتفسير

“Ibnus Sam’ani berkata: “Beliau (al-Karaji) adalah seorang imam, bersifat wara’, ahli fikih, mufti, ahli hadits, ahli sastra dan syair. Beliau menghabiskan umur beliau untuk mengumpulkan ilmu dan menyebarkannya. Beliau juga mempunyai syair yang terkenal terdiri dari sekitar 200 bait yang mana beliau menjelaskan akidah Salaf dalam syair tersebut. Beliau juga mempunyai karya tulis dalam Madzhab (Syafi’i) dan tafsir.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah li Ibni Qadhi Syuhbah: 1/311).

Di antara isi syair beliau adalah:

عقائدهم أن الإله بذاته _ على عرشه مع علمه بالغوائب

“Akidah Ahlus Sunnah adalah bahwa Ilah dengan dzat-Nya …. di atas arsy-Nya dengan ilmu-Nya terhadap perkara gaib.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra: 6/141).

Al-Allamah Tajuddin Ibnus-Subki asy-Syafi’i berkata tentangnya:

وكان شافعي المذهب إلا أنه كان لا يقنت في صلاة الصبح وكان يقول إمامنا الشافعي رحمه الله قال إذا صح الحديث فاتركوا قولى وخذوا بالحديث وقد صح عندي أن النبي ( صلى الله عليه وسلم ) ترك القنوت في صلاة الصبح

“Beliau (al-Karaji) adalah ulama bermadzhab Syafi’i, hanya saja ia tidak melakukan qunut dalam shalat shubuh. Beliau berkata: “Adalah imam kami, asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Jika hadits telah shahih, maka tinggalkanlah pendapatku dan ambillah hadits tersebut. Dan menurutku telah shahih hadits bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam meninggalkan qunut dalam shalat shubuh.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra: 6/138).

Al-Imam Abul Qasim al-Ashbahani, Penegak as-Sunnah

Beliau adalah al-Imam, al-Hafizh, Qawwamuddin, Abul Qasim Ismail bin Muhammad bin al-Fadhel bin Ali at-Tamimi ath-Thalhi al-Ashbahani asy-Syafi’i (wafat tahun 535 H) rahimahullah

Al-Allamah Ibnu Qadhi Syuhbah asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

أفرد أبو موسى المديني له ترجمة في جزء كبير وقال إمام أئمة وقته وأستاذ علماء عصره وقدوة أهل السنة في زمانه

“Abu Musa al-Madini menulis biografi beliau secara tersendiri dalam satu juz besar. Abu Musa berkata: “Beliau (Abul Qasim al-Ashbahani) adalah imam dari para imam di masanya, ustadz dari para ulama di jamannya dan panutan Ahlus Sunnah di masanya..dst.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah li Ibni Qadhi Syuhbah: 1/301).

Beliau juga menulis kitab ‘al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah’ tentang akidah Salaf. (Kasyfuzh Zhunun fi Asamil Kutub wal Funun: 1/631).

Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata:

وقال الحافظ يحيى بن مندة: كان أبو القاسم حسن الاعتقاد، جميل الطريقة، قليل الكلام، ليس في وقته مثله

“Al-Hafizh Ibnu Mandah berkata: “Beliau (Abul Qasim) itu bagus akidahnya, indah manhajnya, sedikit berbicara dan tidak ditemukan seperti beliau di masanya.” (Siyar A’lamin Nubala’: 20/82).

Ketika ditanya tentang sifat-sifat Allah, maka al-Imam Abul Qasim al-Ashbahani rahimahullah menjawab:

مذهب مالك والثوري والأوزاعي والشافعي وحماد ابن سلمة وحماد بن زيد وأحمد ويحيى بن سعيد القطان وعبد الرحمن بن مهدي وإسحاق بن راهويه أن صفات الله التي وصف بها نفسه ووصفه بها رسوله من السمع والبصر والوجه واليدين وسائر أوصافه إنما هي على ظاهرها المعروف المشهور من غير كيف يتوهم فيها ولا تشبيه ولا تأويل ثم قال أي هو على ظاهره لا يجوز صرفه إلى المجاز بنوع من التأويل

“Madzhab Malik, ats-Tsauri, al-Auza’i, asy-Syafi’i, Hammad bin Salamah, Hammad bin Zaid, Ahmad, Yahya bin Sa’id al-Qaththan, Abdurrahman bin Mahdi dan Ishaq bin Rahawaih adalah bahwa sifat-sifat Allah yang mana Allah telah menyifati dirinya dengan sifat tersebut dan rasul-Nya menyifati-Nya dengan sifat tersebut dan lain-lain, haruslah diimani atas zhahirnya yang sudah makruf dan terkenal, tanpa membahas tatacaranya, tanpa penyerupaan dengan sifat makhluk dan tanpa takwil.” Kemudian beliau menjelaskan takwil: “Maksudnya adalah diimani atas zhahirnya dan tidak boleh memalingkan maknanya kepada majaz dengan semacam takwil.” (Al-Uluw lil Aliyyil Ghaffar: 263).

Madrasah Syafi’iyah di Yaman

Di masa sekitar tahun 500 H terdapat banyak ulama Syafi’iyah Yaman yang berakidah Salaf. Mereka adalah murid-murid dari Madrasah al-Imam Zaid bin Abdullah al-Yafa’i asy-Syafi’i (wafat tahun 515 H) dan Madrasah al-Imam Zaid bin Hasan al-Fayisyi asy-Syafi’i (wafat tahun 518 H) rahimahumallah. Al-Fayisyi mendirikan halaqah di Jama’i Yaman sedangkan al-Yafa’i di Jundi. (Al-Quburiyah fil Yaman: 1/154).

Di dalam madrasah-madrasah tersebut diajarkan fikih Madzhab Syafi’i dan akidah Salaf. Adalah lulusannya mencapai lebih dari 300 ahli fikih. (Al-Quburiyah fil Yaman: 1/154).

Di antara lulusan tersebut adalah al-Imam Abul Khair Yahya bin Abil Khair al-Imrani al-Yamani asy-Syafi’i (wafat tahun 558 H) rahimahullah. Al-Allamah Ibnu Qadhi Syuhbah asy-Syafi’i berkata:

كان شيخ الشافعية ببلاد اليمن وكان إماما زاهدا ورعا عالما خيرا مشهور الاسم بعيد الصيت عارفا بالفقه وأصوله والكلام والنحو من أعرف أهل الأرض بتصانيف الشيخ أبي إسحاق الشيرازي في الفقه والأصول والخلاف يحفظ المهذب عن ظهر قلب

“Beliau adalah guru ulama Syafi’iyah di negeri Yaman. Beliau adalah seorang imam, yang zuhud, wara’, seorang alim, namanya terkenal, suaranya didengar oleh penguasa, alim terhadap fikih dan usulnya, ilmu kalam, nahwu. Beliau adalah orang di muka bumi yang paling mengetahui terhadap karya-karya al-Imam Abu Ishaq asy-Syairazi asy-Syafi’i dalam fikih, usul, dan perbedaan madzhab. Beliau juga menghafal kitab ‘al-Muhadzdzab’ di luar kepala.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah li Ibni Qadhi Syuhbah: 1/328).

Al-Allamah Ibnul Imad al-Hanbali (wafat tahun 1089) rahimahullah berkata:

وكان حنبلي العقيدة شافعي الفروع كما قال ابن الأهدل كالآجرى صاحب كتاب الشريعة قال ابن شبهة وغيره وله في علم الكلام كتاب الانتصار في الرد على القدرية الاشرار ينصر فيه عقيدته وتحامل فيه على الاشاعرة

“Beliau (Abul Khair) itu Hanbali akidahnya (yakni berakidah Salafi, pen) dan Syafi’i fikihnya sebagaimana pendapat Ibnul Ahdal seperti al-Imam al-Ajurri penulis kitab ‘asy-Syariah’ (yang Syafi’i fikihnya dan Salafi akidahnya, pen). Ibnu Qadhi Syuhbah dan lainnya berkata bahwa beliau (Abul Khair al-Imrani, pen) menulis kitab ‘al-Intishar fir Radd alal Qadariyah al-Asyrar’. Beliau –dalam kitab tersebut- membela akidah beliau dan membantah keras ulama Asy’ariyah.” (Syadzaratudz Dzahab fi Akhbar Man Dzahab: 4/186).

Di antara mereka adalah Saifus Sunnah (pedang as-Sunnah) al-Imam Abul Hasan Ahmad bin Muhammad bin Abdullah as-Saksaki al-Buraihi asy-Syafi’i (wafat tahun 586 H) rahimahullah. Beliau merupakan sahabat al-Imam Abul Khair al-Imrani.

Al-Allamah Baha’uddin al-Jundi rahimahullah berkata:

وكان عارفا مع الفقه والحديث بالنحو واللغة والأصولين وله كتب عدة في الأصول يرد بها على المعتزلة والأشعرية

“Beliau (Saifus Sunnah) selain alim di bidang fikih dan hadits, juga alim dalam dalam bidang nahwu, bahasa Arab, kedua usul. Beliau mempunyai karya tulis di bidang usul (akidah) yang mana beliau membantah Mu’tazilah dan Asy’ariyah di dalamnya.” (As-Suluk fi Thabaqatil Ulama’ wal Muluk: 1/318).

Beliau juga mewakafkan banyak karya tulis beliau untuk para penuntut ilmu. Dalam setiap kitab yang beliau wakafkan, tertulis syair:

هذا الكتاب لوجه الله موقوف ** منا إلى الطالب السني مصروف

ما للأشاعرة الضلال في حسبي ** حق ولا للذي في الزيغ معروف

“Kitab ini diwakafkan dengan niat mencari wajah Allah… Dari kami untuk para pelajar Ahlussunnah…

Bukan untuk pelajar Asy’ariyah yang sesat menurut perkiraanku.. Itu benar dan juga bukan untuk orang yang dikenal kesesatannya..” (As-Suluk fi Thabaqatil Ulama’ wal Muluk: 1/319).

Jaman Raja Baibars, Masa Ujian Bagi Salafiyah

Setelah masa munculnya madrasah Nizhamiyah dan masa Sultan Shalahuddin al-Ayubi, para ulama yang masih konsisten dengan akidah Salafi semakin sedikit karena adanya tekanan dari penguasa. Bahkan pada masa Raja Zhahir Baibars al-Bunduqdari (wafat tahun 676 H), kaum muslimin diwajibkan untuk bertaklid kepada akidah Asy’ariyah dan memilih salah satu dari keempat madzhab.

Al-Allamah al-Maqrizi rahimahullah menyatakan:

فلما كانت سلطنة الملك الظاهر بيبرس البندقداريّ، ولي بمصر والقاهرة أربعة قضاة ،وهم شافعيّ ومالكيّ وحنفيّ وحنبليّ. فاستمرّ ذلك من سنة خمس وستين وستمائة، حتى لم يبق في مجموع أمصار الإسلام مذهب يعرف من مذاهب أهل الإسلام سوى هذه المذاهب الأربعة، وعقيدة الأشعريّ، وعملت لأهلها المدارس والخوانك والزوايا والربط في سائر ممالك الإسلام، وعودي من تمذهب بغيرها، وأنكر عليه، ولم يولّ قاض ولا قبلت شهادة أحد ولا قدّم للخطابة والإمامة والتدريس أحد ما لم يكن مقلداً لأحد هذه المذاهب، وأفتى فقهاء هذه الأمصار في طول هذه المدّة بوجوب اتباع هذه المذاهب وتحريم ما عداها، والعمل على هذا إلى اليوم

“Ketika Raja Zhahir Baibars al-Bunduqdari berkuasa, beliau mengangkat 4 orang qadhi di Mesir dan Kairo, yaitu qadhi Syafi’i, qadhi Maliki, qadhi Hanafi dan qadhi Hanbali. Ini berlangsung sejak tahun 665 H. Sampai-sampai tidak tersisa satu madzhab pun dalam negeri-negeri Islam yang dikenal selain 4 madzhab ini (yakni Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali, pen) dan aqidah Asy’ari. Dan dibuatkan untuk pengikut madzhab-madzhab ini, madrasah-madrasah, pondok-pondok dan zawiyah-zawiyah di segenap kerajaan Islam. Dan orang yang bermadzhab dengan selain ini akan dimusuhi dan diingkari, tidak diberi jabatan sebagai qadli, tidak diterima persaksiannya dan tidak boleh menjadi khatib, imam masjid, dan pengajar, selagi mereka tidak bertaklid kepada salah satu madzahab ini. Para ahli fikih di seluruh negeri sepanjang waktu, berfatwa atas wajibnya mengikuti madzhab-madzhab ini dan haramnya mengikuti selainnya. Ini terus berlangsung sampai sekarang.” (Al-Mawa’izh wal I’tibar: 3/84).

Kisah Taubatnya Fakhruddin ar-Razi

Beliau adalah al-Allamah Fakhruddin Muhammad bin Umar al-Qurasyi al-Bakri (keturunan Abu Bakar ash-Shiddiq radliyallahu anhu, pen) ar-Razi asy-Syafi’i (wafat tahun 606 H) rahimahullah. Beliau dijuluki dengan Sulthanul Mutakallimin (Raja Ahlul Kalam) padahal beliau termasuk salah satu murid al-Imam al-Baghawi rahimahullah yang terkenal gigih membela Madzhab Salaf. (Thabaqat asy-Syafi’iyah li Ibni Qadhi Syuhbah: 2/65).

Di awal waktunya, al-Fakhrur Razi ini bergelut dengan ilmu kalam, filsafat, sihir dan. khurafat  Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata:

وقد بدت منه في تواليفه بلايا وعظائم وسحر وانحرافات عن السنة، والله يعفو عنه، فإنه توفي على طريقة حميدة، والله يتولى السرائر

“Dan tampak banyak bencana, perkara besar, sihir dan penyimpangan dari as-Sunnah yang ditemukan dalam tulisan-tulisannya. Allah mengampuninya karena ia meninggal dunia di atas jalan yang terpuji. Allahlah yang mengurusi rahasia-rahasia hati.” (Siyar A’lamin Nubala’: 21/501).

Akan tetapi di akhir waktu hidupnya, beliau bertaubat dan kembali ke jalan Salaf. Wallahu a’lam. Beliau juga bertaubat dari ilmu Kalam. Beliau (Fakhruddin ar-Razi) berwasiat sebelum meninggal dunia bahwa beliau rujuk kepada Madzhab Salaf.  Al-Imam Ibnu Katsir asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

وقد ذكرت وصيته عند موته وأنه رجع عن مذهب الكلام فيها إلى طريقة السلف وتسليم ما ورد على وجه المراد اللائق بجلال الله سبحانه

“Aku menyebutkan wasiat beliau sebelum meninggal bahwa beliau kembali dari Madzhab Kalam kepada Madzhab Salaf, dan menerima (beriman kepada, pen) semua sifat Allah yang datang (dari al-Kitab dan as-Sunnah, pen) menurut sifat yang sesuai dengan keagungan-Nya.” (Al-Bidayah wan Nihayah: 13/67).

Beliau (Fakhruddin ar-Razi) mewasiatkan:

لقد تأملت الطرق الكلامية والمناهج الفلسفية فلم أجدها تروي غليلا ولا تشفي عليلا، ورأيت أقرب الطرق طريقة القرآن، اقرأ في الاثبات (الرحمن على العرش استوى) [ طه: 5 ] (إليه يصعد الكلم الطيب) [ فاطر: 10 ] وفي النفي (ليس كمثله شئ) [ الشورى: 11 ] (هل تعلم له سميا) [ مريم: 65 ].

“Sesungguhnya aku telah merenungkan berbagai jalan ilmu kalam dan berbagai metode filsafat, maka aku tidak mendapatkan jalan tersebut dapat menyegarkan orang yang dahaga dan menyembuhkan orang yang sakit. Aku melihat bahwa jalan yang paling dekat dengan kebenaran adalah jalan al-Quran. Maka bacalah firman Allah tentang penetapan sifat; “Ar-Rahman (Allah) bersemayam di atas Arsy.” (QS. Thaha: 5), “Hanya menuju-Nya naiknya kalimat thayyibah.” (QS. Fathir: 15), dan firman-Nya tentang penafian sifat; “Tiada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.” (QS. Asy-Syura: 11), “Apakah kamu mengetahui ada tandingan bagi-Nya?” (QS. Maryam: 65).” (Siyar A’lamin Nubala’: 21/501 dan Thabaqat asy-Syafi’iyah li Ibni Qadhi Syuhbah: 2/65).

Asy-Syaikh az-Zahid Abul Bayan al-Haurani

Beliau adalah Abul Bayan Naba’ bin Muhammad bin Mahfuzh al-Qurasyi asy-Syafi’i ad-Dimasyqi (wafat tahun 551 H). Beliau adalah pemimpin Thaifah Bayaniyah di Damaskus dan hidup di masa pemerintahan Sultan Nuruddin Mahmud Zanki. (Dzail Mir’atiz Zaman: 1/412).

Beliau tetap konsisten di atas Akidah Salafi meskipun kebanyakan Syafi’iyah ketika itu sudah mulai cenderung kepada Madzhab Asy’ariyah.

Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata:

كان كبير القدر، عالماً، عاملاً، زاهداً، قانتاً، عابداً، إماماً في اللغة، فقيها، شافعي المذهب، سلفي المعتقد، داعية إلى السنة.

“Beliau (Abul Bayan) itu besar kedudukannya, seorang alim, yang mengamalkan ilmunya, seorang yang zuhud, taat beribadah, seorang imam dalam bahasa Arab, seorang ahli fikih, bermadzhab Syafi’i, berakidah Salafi, berdakwah kepada as-Sunnah.” (Tarikhul Islam lidz Dzahabi: 38/68).

Al-Allamah Ibnu Qadhi Syuhbah asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

ويقال انه كان يحفظ التنبيه للشيخ أبي إسحاق..الخ

“Dan dikatakan bahwa beliau (Abul Bayan) telah hafal kitab ‘at-Tanbih’ (fikih madzhab Syafi’i) karya asy-Syaikh Abu Ishaq asy-Syairazi..dst.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah li Ibni Qadhi Syuhbah: 1/326).

Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata:

كان الشيخ الإمام القدوة أبو البيان محمد بن محفوظ السلمي الحوراني ثم الدمشقي الشافعي اللغوي شيخ الفقراء البيانية لهجا بإثبات الصفات منافرا لذوي الكلام ذاما للنفاة له أشياء في هذا المعنى

“Asy-Syaikh, al-Imam, Panutan, Abul Bayan Muhammad bin Mahfuzh as-Sulami al-Haurani kemudian ad-Dimasyqi, asy-Syafi’i, Ahli Bahasa, Syaikh kaum fakir Bayaniyah, banyak berbicara dengan menetapkan sifat-sifat Allah, membuat lari para ahlul Kalam, mencela orang-orang yang menolak sifat-sifat Allah. Beliau memiliki ucapan yang semakna dengan ini.” (Al-Uluw lil Aliyyil Ghaffar: 265).

Al-Imam Abu Thahir as-Silafi, si Cerdas Salafi

Beliau adalah al-Imam al-Hafizh Ahmad bin Muhammad bin Silafah Shadruddin al-Ashbahani asy-Syafi’i (wafat tahun 576 H) rahimahullah.

Al-Allamah Ibnul Imad al-Hanbali rahimahullah menyatakan:

ورحل سنة ثلاث فأدرك أبا الخطاب بن البطر ببغداد وتفقه بها بالكيا الهراسي وأبي بكر الشاشي وغيرهما..الخ

“Beliau (as-Silafi) melakukan rihlah pada tahun 503 H, kemudian menjumpai Abul Khaththab bin al-Bathar di Baghdad. Beliau belajar fikih (Syafi’i) kepada al-Kiya al-Harasi dan Abu Bakar al-Qaffal asy-Syasyi dan lainnya..dst.“ (Syadzaratudz Dzahab fi Akhbar Man Dzahab: 4/255).

Al-Imam Shalahuddin ash-Shafadi asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

وكان إماماً مقرئاً مجوداً محدثاً حافظاً جهبذاً فقيهاً مفنناً نحوياً ماهراً لغوياً محققاً ثقة فيما ينقله حجة ثبتاً

“Beliau (as-Silafi) adalah seorang imam, ahli qiraat, ahli tajwid, ahli hadits, penghafal hadits, cerdas, ahli fikih, ahli nahwu yang mahir, ahli bahasa yang peneliti, terpercaya di dalam penukilan dan seorang hujah dan tsiqat.” (Al-Wafi bil Wafayat: 3/1).

Beliau (Abu Thahir as-Silafi) mempunyai syair untuk memuji Salaf. Di antara syair tersebut:

ضل المجسم والمعطل مثله _عن منهج الحق المبين ضلالا

“Telah tersesat sekte Mujassimah dan sekte Mu’athilah yang semisal _ dari jalan kebenaran yang terang dengan kesesatan yang nyata.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra: 6/41).

Beliau melanjutkan:

فالأولون تعدوا الحق الذي  _ قد حد في وصف الإله تعالى

وتصوروه صورة من جنسنا _ جسما وليس الله عز مثالا

والآخرون فعطلوا ما جاء في_ القرآن أقبح بالمقال مقالا

وأبوا حديث المصطفى أن يقبلوا _ ورأوه حشوا لا يفيد منالا

“Kelompok pertama (mujassimah) telah melampai batas kebenaran _ di dalam batas menyifati Ilah ta’ala.”

“Mereka menggambarkan dengan gambar jenis kita (manusia) _ sebagai jasad padahal Allah tidak mempunyai serupa.”

“Kelompok lain (mu’athilah) menolak keterangan yang datang dalam _ al-Quran dengan ucapan yang lebih jelek.”

“Mereka juga menolak hadits Nabi (tentang sifat Allah, pen) untuk diterima _ dan menuduhnya (menetapkan sifat) sebagai Hasyawiyah yang tidak mempunyai tempat.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra: 6/41).

Al-Imam al-Arif billah Abu Hafsh as- Suhrawardi

Beliau adalah al-Imam Syihabuddin Abu Hafsh Umar bin Muhammad bin Abdullah as-Suhrawardi al-Bakri asy-Syafi’i, pemimpin kaum sufi (wafat tahun 632 H) rahimahullah.

Al-Allamah Ibnu Khulkan rahimahullah berkata:

كان فقيهاً شافعي المذهب شيخاً صالحاً ورعاً كثير الاجتهاد في العبادة والرياضة وتخرج عليه خلق كثير من الصوفية في المجاهدة والخلوة، ولم يكن في آخر عمره في عصره مثله، وصحب عمه أبا النجيب وعنه أخذ التصوف والوعظ، والشيخ أبا محمد عبد القادر بن أبي صالح الجيلي وغيرهما

“Beliau (Abu Hafsh) adalah ahli fikih, bermadzhab Syafi’i, seorang syaikh yang shalih, wara’, banyak bersungguh-sungguh dalam ibadah dan riyadhah. Beliau menghasilkan banyak murid dari kalangan kaum sufi dalam hal mujahadah dan khalwat. Sampai akhir umur beliau, belum ada ahli tasawuf yang sebanding dengan beliau. Beliau belajar tasawuf dan nasehat kepada paman beliau Abu Najib, juga kepada asy-Syaikh Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi Shalih al-Jaili (yaitu asy-Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, pen) dan lainnya…dst.” (Wafayatul A’yan wa Anba’i Abna’iz Zaman: 3/446).

Untuk menilai tasawuf Abu Hafsh as-Suhrawardi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah membagi tingkatan ahli tasawuf:

فصارت المتصوفة تارة على طريقة صوفية أهل الحديث وهم خيارهم وأعلامهم وتارة على اعتقاد صوفية أهل الكلام فهؤلاء دونهم وتارة على اعتقاد صوفية الفلاسفة كهؤلاء الملاحدة

“Maka para ahli tasawuf itu terkadang di atas jalan Ahlul Hadits (seperti Junaid bin Muhammad al-Baghdadi, Sahal bin Abdullah at-Tustari, Fudhail bin Iyadh dsb, pen). Kelompok ini adalah kelompok terbaik dan yang paling berilmu. Dan terkadang mereka di atas akidah tasawuf Ahlul Kalam (seperti Abul Qasim al-Qusyairi yang berakidah Asy’ari, pen) dan kelompok ini di bawah kelompok pertama. Dan terkadang mereka di atas akidah tasawuf Ahli Filsafat seperti orang-orang yang menyimpang ini (yaitu: Ibnu Arabi dan Ibnu Sab’in yang berakidah Wihdatul Wujud, pen).” (Ash-Shafadiyah: 1/267).

Dari ketiga tingkatan itu, al-Imam Abu Hafsh as-Suhrawardi digolongkan sebagai ahli tasawuf ahlul hadits. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

وَأَمَّا أَبُو حَفْصٍ السهروردي فَكَانَ أَعْلَمَ بِالسُّنَّةِ وَأَتْبَعَ لِلسُّنَّةِ مِنْ هَذَا وَخَيْرًا مِنْهُ

“Adapun Abu Hafsh as-Suhrawardi, maka beliau itu lebih berilmu dan lebih mengikuti as-Sunnah daripada ini (yakni Ibnu Arabi, pen) dan lebih baik darinya..dst.” (Majmu’ul Fatawa: 7/593).

Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata:

والشيخ شهاب الدين السهروردي قدوة أهل التوحيد شيخ العارفين..الخ

“Dan asy-Syaikh Syihabuddin as-Suhrawardi adalah panutan Ahlut Tauhid, guru dari orang-orang yang mengenal Allah..dst.” (Al-Ibar fi Khabar Man Ghabar: 3/213).

Di antara karya tulis beliau adalah ‘Awariful Ma’arif’ dalam masalah tasawuf, ‘A’lamul Huda wa Aqidatu Arbabit Tuqa’ tentang akidah Salaf. (Asma’ul Kutub: 46, Mu’jamul Mu’allifin: 7/313). Kitab yang kedua ini masih berupa manuskrip.

Tentang akidah as-Suhrawardi ini, al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

وقال الشيخ شهاب الدين السهروردي في كتاب العقيدة له: أخبر الله في كتابه وثبت عن رسوله الاستواء والنزول والنفس واليد والعين فلا يتصرف فيها بتشبيه ولا تعطيل إذ لولا أخبار الله ورسوله ما تجاسر عقل أن يحوم حول ذلك الحمى

“Asy-Syaikh Syihabuddin as-Suhrawardi berkata dalam kitab ‘Akidah’ miliknya: “Allah memberitakan dalam kitab-Nya dan telah shahih dari rasul-Nya tentang ‘bersemayam-Nya di atas Arsy’, ‘turun-Nya ke langit dunia’, sifat ‘nafs’ (diri), sifat ‘tangan’ dan ‘mata’. Maka itu semua tidak boleh dibelokkan dengan tasybih (menyerupakan dengan makhluk, pen) dan tidak pula dengan ta’thil (penolakan, pen), karena jika seandainya tidak ada berita dari Allah dan rasul-Nya tentang sifat-sifat tersebut, maka tidak akan terbersit dalam akal untuk berputar di sekitar daerah tersebut.” (Fathul Bari Syarh Shahihil Bukhari: 13/390).

Al-Imam Ibnush Shalah, Penulis ‘Ulumul Hadits’

Beliau adalah al-Hafizh Syaikhul Islam Abu Amr Utsman Ibnush Shalah asy-Syaharzuri asy-Syafi’i (wafat tahun 643 H) rahimahullah.

Al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi rahimahullah:

وكان من أعلام الدين أحد فضلاء عصره في التفسير والحديث والفقه مشاركا في عدة فنون متبحراً في الأصول والفروع يضرب به المثل سلفياً زاهداً حسن الاعتقاد وافر الجلالة..الخ

“Beliau (Ibnush Shalah) termasuk tokoh panutan agama, orang penting di masanya dalam bidang tafsir, hadits dan fikih. Beliau juga menguasai berbagi cabang ilmu baik ilmu usul dan furu’ sehingga beliau dijadikan pelajaran (bagi generasi setelah beliau, pen). Beliau juga seorang Salafi yang zuhud, bagus akidahnya dan agung akhlaknya..dst.” (Thabaqatul Huffazh: 104).

Al-Allamah Ibnul Imad al-Hanbali rahimahullah berkata:

ومن تصانيفه مشكل الوسيط في مجدل كبير وكتاب الفتاوى وعلوم الحديث وكتاب أدب المفتي والمستفتي..الخ

“Dan di antara karya tulis beliau: ‘Musykilul Wasith’ dalam 1 jilid besar, kitab ‘al-Fatawa’, ‘Ulumul Hadits’, kitab ‘Adabul Mufti wal Mustafti”…dst.” (Syadzaratudz-Dzahab fi Akhbar Man Dzahab: 5/222).

Al-Imam Ibnush Shalah rahimahullah tetap beristiqamah di atas akidah Salafi, meskipun kebanyakan ulama Syafi’iyah di masa beliau berakidah Asy’ariyah.

Tentang akidah Ibnush Shalah, Al-Allamah Ibnu Qadhi Syuhbah asy-Syafi’i (wafat tahun 790 H) rahimahullah menyatakan:

وكان عديم النظير في زمانه حسن الإعتقاد على مذهب السلف يرى الكف عن التأويل ويؤمن بما جاء من عند الله ورسوله على مرادهما ولا يخوض ولا يتعمق

“Beliau (Ibnush Shalah) sulit dicari tandingannya di masa beliau. Beliau juga bagus akidahnya di atas Madzhab Salaf. Beliau menahan diri dari takwil (terhadap sifat-sifat Allah, pen), beriman terhadap segala yang datang dari Allah dan rasul-Nya, tidak membicarakan (kaifiyatnya, pen) dan tidak berdalam-dalam dalam membahasnya…dst.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah li Ibni Qadhi Syuhbah: 2/115).

Al-Qadhi Syarafuddin an-Nablusi asy-Syafi’i, Khatib Syam

Termasuk ulama Syafi’iyah yang beristiqamah di atas akidah Salaf di tengah-tengah Syafi’iyah yang mayoritas bermadzhab Asy’ariyah adalah al-Imam al-Qadhi Syarafuddin Abul Abbas Ahmad bin Ahmad bin Ni’mah an-Nablusi al-Maqdisi asy-Syafi’i rahimahullah (wafat tahun 694 H).

Al-Allamah Ibnu Qadhi Syuhbah asy-Syafi’i menyatakan:

سمع من السخاوي وابن الصلاح وطبقتهما واشتغل في العلم وتفقه على ابن عبد السلام بالقاهرة وبرع وتفنن واشتغل وأفتى

“Beliau mendengar hadits dari as-Sakhawi, Ibnush Shalah dan generasinya, menyibukkan diri dengan ilmu. Beliau belajar fikih (Madzhab Syafi’i) kepada al-Izz bin Abdis Salam di Kairo. Beliau menonjol, menguasai berbagai bidang, menyibukkan diri dengan ilmu dan berfatwa…dst.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah li Ibni Qadhi Syuhbah: 2/161).

Ibnu Qadhi Syuhbah juga menyatakan:

وقال ابن كثير انتهت إليه رئاسة المذهب بعد الشيخ تاج الدين وأذن لجماعة من الفضلاء في الإفتاء منهم ابن تيمية وكان يفتخر بذلك وقال غيره لم يخلف بعده مثله وكان من محاسن الزمان وله تصانيف عديدة

“Ibnu Katsir berkata: “Beliau (Abul Abbas an-Nablusi) menjadi pucuk pimpinan Madzhab Syafi’i sepeninggal asy-Syaikh Tajuddin (Ibnu Farkah al-Fazari, pen). Beliau juga memberikan ijin beberapa ulama untuk berfatwa. Di antara ulama yang mendapatkan ijin tersebut adalah Ibnu Taimiyah dan beliau merasa bangga karena telah memberikan ijin tersebut.” Ulama lainnya berkata: “Tidak ada seorang pun yang seperti beliau (dalam fikih Madzhab Syafi’i, pen) sepeninggal beliau. Beliau juga termasuk kebaikan jaman. Beliau juga mempunyai banyak karya tulis…dst.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah li Ibni Qadhi Syuhbah: 2/161-2).

Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata:

وكان متين الديانة، حسن الاعتقاد، سلفي النحلة. ذكر لنا الشيخ تقي الدين بن تيمية أنه قال قبل موته بثلاثة أيام: اشهدوا أني على عقيدة أحمد بن حنبل

“Beliau (Syarafuddin) kuat agamanya, bagus akidahnya, Salafi manhajnya. Asy-Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah bercerita kepada kami bahwa beliau berkata 3 hari sebelum kematiannya: “Saksikanlah bahwa aku berada di atas akidah Ahmad bin Hanbal.” (Tarikhul Islam lidz-Dzahabi: 52/206).

Al-Imam Ibnul Aththar, Ringkasan an-Nawawi

Beliau adalah al-Imam Ala’uddin Abul Hasan Ali bin Ibrahim Ibnul Aththar ad-Dimasyqi asy-Syafi’i (wafat tahun 724 H) rahimahullah.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata:

وغلب عليه الفقه وصحب الشيخ محي الدين النووي واشتغل عليه وحفظ التنبيه بين يديه حتى كان يقال له مختصر النووي…الخ

“Beliau (Ibnul Aththar) lebih menguasai fikih, bermulazamah dengan asy-Syaikh Muhyiddin an-Nawawi dan berhasil menghafal kitab ‘at-Tanbih’ di depan beliau, sehingga dijuluki dengan ‘Ringkasan an-Nawawi’…dst.” (Ad-Durarul Kaminah fi A’yanil Mi’atits Tsaminah: 1/344).

Al-Allamah Ibnu Qadhi Syuhbah asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

وأخذ عن جمال الدين بن مالك وولي مشيخة دار الحديث النورية وغيرها..الخ

“Beliau (Ibnul Aththar) belajar ilmu alat kepada Ibnu Malik (penulis Alfiyah, pen) dan menjadi rektor Darul Hadits an-Nuriyah dan lainnya..dst.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah li Ibni Qadhi Syuhbah: 2/270).

Di antara karya tulis beliau adalah ‘al-I’tiqadul Khalish minasy-Syakki wal Intiqad’ (Izhahul Maknun fidz Dzail ala Kasyfizh Zhunun: 2/269) tentang akidah Salaf, Syarh Umdatul Ahkam, Tartib Fatawa an-Nawawi, Fadhlul Jihad dan sebagainya. (Mu’jamul Mu’allifin: 7/5).

Di antara akidah beliau yang Salafi adalah ucapan beliau:

وأنَّه سبحانه استوى على العرشِ كما نطق به الكتاب العزيز في ستِّ  آياتٍ كريماتٍ بلا كيف، بل كيفَ شاءَ من غير مُمَاسَّةٍ..الخ

“Bahwa Allah ta’ala bersemayam di atas Arsy sebagaimana diucapkan dalam al-Kitab yang mulia dalam 6 ayat, tanpa membahas tatacaranya, tetapi Allah bersemayam sesuai dengan kehendak-Nya tanpa bersentuhan… dst.” (Al-I’tiqad al-Khalish minasy-Syakki wal Intiqad: 116).

Beliau juga menyatakan:

فما أثبته سبحانه لنفسه في كتابه وعلى  لسان رسوله – صلى الله عليه وسلم – أثبتناه، وما نفاه نفيناه، وما سكت عنه سكتنا عنه..الخ

“Maka segala perkara yang ditetapkan oleh Allah atas diri-Nya di dalam kitab-Nya dan atas lesan rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam, maka kita menetapkannya. Perkara yang ditiadakan oleh-Nya, maka kita pun meniadakannya. Dan perkara yang didiamkan oleh-Nya, maka kita pun mendiamkannya..dst.” (Al-I’tiqad al-Khalish minasy-Syakki wal Intiqad: 123).

Al-Imam Ibnul Murrahal, Bendahara Damaskus

Termasuk ulama Syafi’iyah yang berakidah Salaf di tengah-tengah Syafi’iyah yang kebanyakannya berakidah Asy’ariyah adalah al-Imam Ibnul Murahhal. Beliau adalah al-Imam Zainuddin Umar bin Makki bin Abdusshamad Ibnul Murahhal asy-Syafi’i, Wakil Baitul Mal (Bendahara) dan Khatib Damaskus (wafat tahun 791 H) rahimahullah.

Al-Allamah Ibnu Qadhi Syuhbah asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan:

تفقه على ابن عبد السلام وقرأ الأصول على عبد الحميد الخسروشاهي وسمع من الحافظ عبد العظيم المنذري وغيره وسمع ودرس وأفتى وكان من فضلاء الوقت وقال ابن كثير كانت له فنون يتقنها وهو من أعيان فضلاء وقته وعلمائهم وكان يتمسك بطريقة السلف الصالح…الخ

“Beliau (Ibnul Murahhal) belajar fikih (Syafi’iyah) kepada al-Izz bin Abdissalam, belajar ilmu usul kepada Abdul Hamid al-Khasrusyahi dan mendengarkan hadits dari al-Hafizh Abdul Azhim al-Munzhiri (penulis kitab ‘at-Targhib wat Tarhib’, pen) dan lainnya. Beliau mendengar hadits dan mengajarkannya serta berfatwa. Beliau termasuk pembesar di masanya. Ibnu Katsir berkata: “Beliau menguasai banyak cabang keilmuan dan menjadi ulama dan pembesar pada masanya. Beliau berpegang dengan manhaj Salafus Shalih.”…dst.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah li Ibni Qadhi Syuhbah: 2/190).

Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata:

ورأيته قد أجاب في ‘ مسألة الاستواء ‘ بالكف عن التأويل، والتمسك بما جاء عن السلف، رحمه الله.

“Dan aku melihat beliau (Ibnul Murahhal) menjawab permasalahan ‘Bersemayamnya Allah di atas Arsy’ dengan menahan diri dari takwil dan berpegang teguh dengan keterangan yang datang dari Salaf. Semoga Allah merahmati beliau.” (Tarikhul Islam lidz Dzahabi: 52/130).

Al-Imam Tajuddin at-Tibrizi, Juru Nasehat Tibriz

Beliau adalah al-Imam Abdurrahman bin Muhammad bin Abu Hamid at-Tibrizi, Tajuddin asy-Syafi’i (wafat tahun 719 H) rahimahullah.

Al-Allamah Shalahuddin ash-Shafadi asy-Syafi’i (wafat tahun 764 H) rahimahullah berkata:

كان قوالاً بالحق، قواماً بالصدق، سلفي الاعتقاد، ذا سكينة وإخلاص واجتهاد..الخ

“Beliau (at-Tibrizi) adalah orang sangat tegas untuk mengatakan kebenaran, sangat menegakkan kejujuran, berakidah Salafi, mempunyai ketenangan, keikhlasan dan kesungguhan..dst.” (A’yanul Ashr wa A’wanun Nashr: 1/451).

Ash-Shafadi juga menyatakan:

وكان سلفياً قوالاً بالحق ذا سكينة وإخلاص

“Beliau (at-Tibrizi) adalah seorang salafi, sangat tegas untuk mengatakan kebenaran, mempunyai kharisma dan keikhlasan…dst.” (Al-Wafi bil Wafayat: 6/103).

Al-Imam Abul Hajjaj al-Mizzi, Sahabat Ibnu Taimiyah

Di antara sahabat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah adalah al-Imam al-Mizzi. Beliau adalah al-Imam Jamaluddin Abul Hajjaj Yusuf bin Abdurrahman al-Mizzi asy-Syafi’i rahimahullah (wafat tahun 742 H). Beliau menulis kitab ‘Tahdzibul Kamal fi Asma’ir Rijal’ dan ‘Tuhfatul Asyraf bi Ma’rifatil Athraf’. (Al-Alam liz Zirikli: 8/236).

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:

وكان مأمون الصحبة حسن المذاكرة خير الطوية محباً للآثار معظما لطريقة السلف جيد المعتقد وكان اغتر في شبيبته وصحب العفيف التلمساني فلما تبين له ضلاله هجره وتبرأ منه

“Beliau (al-Mizzi) itu sahabat yang amanah, bagus mudzakarahnya, bagus niatnya, mencintai atsar (as-Salaf), mengagungkan Manhaj Salaf, bagus akidahnya. Beliau pada masa muda beliau pernah tertipu dan bergaul dengan Afifuddin at-Tilmisani. Setelah beliau mengetahui kesesatannya, maka beliau berlepas diri darinya dan memboikotnya.” (Ad-Durarul Kaminah fi Ayanil Mi’atits Tsaminah: 6/232).

Al-Hafizh Ibnu Hajar juga menyatakan:

وأوذي مرة في سنة 705 بسبب ابن تيمية لأنه لما وقعت المناظرة له مع الشافعية وبحث مع الصفي الهندي ثم ابن الزملكاني بالقصر إلا بلق شرع المزي يقرئ كتاب خلق أفعال العباد للبخاري وفيه فصل في الرد على الجهمية فغضب بعض وقالوا نحن المقصودون بهذا فبلغ ذلك القاضي الشافعي يومئذ فأمر بسجنه..الخ

“Dan beliau (al-Mizzi) pernah disakiti suatu ketika pada tahun 705 H karena pembelaan kepada Ibnu Taimiyah. Ini dikarenakan ketika terjadi perdebatan antara Ibnu Taimiyah dan ulama Syafi’iyah serta pembahasan (sifat Allah) dengan Shafiyyuddin al-Hindi dan az-Zamlakani secara ringkas, maka al-Mizzi mulai membacakan kitab ‘Khalqu Af’alil Ibad’ karya al-Bukhari. Di dalam kitab tersebut terdapat pasal tentang ‘Bantahan terhadap Jahmiyah (sekte yang menolak sifat-sifat Allah, pen). Maka sebagian Syafi’iyah murka dan berkata: “Berarti (menurutmu) kami yang dimaksud dengan Jahmiyah itu.” Kemudian berita itu sampai kepada Qadhi Syafi’i ketika itu, maka ia memerintahkan untuk menjebloskan al-Mizzi ke dalam penjara..dst.” (Ad-Durarul Kaminah fi A’yanil Mi’atits Tsaminah: 2/178).

Al-Imam Ahli Tarikh adz-Dzahabi, Sahabat Ibnu Taimiyah

Di antara murid Ibnu Taimiyah adalah al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi asy-Syafi’i (wafat tahun 748 H) rahimahullah. Al-Allamah Ibnu Nashiruddin ad-Dimasyqi rahimahullah berkata:

له دربة بمذاهب الائمة وأرباب المقالات قائما بين الخلف بنشر السنة ومذهب السلف

“Beliau (adz-Dzahabi) mempunyai keahlian tentang berbagai madzhab para imam dan berbagai pendapat, tampil di tengah kaum Khalaf untuk menyebarkan as-Sunnah dan Madzhab Salaf.” (Ar-Raddul Wafir, ala Man Za’ama anna Man Samma Ibna Taimiyah Syaikhal Islam, Kafir: 31).

Di antara bukti ke-salafi-an adz-Dzahabi adalah tulisannya yang berjudul ‘al-Uluw lil Aliyyil Ghaffar’. Dalam tulisan tersebut beliau menjelaskan dalil-dalil dan ucapan para ulama tentang bersemayamnya Allah di atas Arsy.

Beliau (adz-Dzahabi) rahimahullah juga berkata dalam as-Siyar:

قلت: هذه الصفات من الاستواء والاتيان والنزول، قد صحت بها النصوص، ونقلها الخلف عن السلف، ولم يتعرضوا لها برد ولا تأويل، بل أنكروا على من تأولها مع إصفاقهم على أنها لا تشبه نعوت المخلوقين، وأن الله ليس كمثله شئ، ولا تنبغي المناظرة،، ولا التنازع فيها، فإن في ذلك محاولة للرد على الله ورسوله، أو حوما على التكييف أو التعطيل.

“Aku (adz-Dzahabi) berkata: “Sifat-sifat ini, seperti bersemayam-Nya, kedatangan-Nya dan turun-Nya, telah datang dalam hadits-hadits shahih. Kaum Khalaf juga menukilkannya dari Salaf. Mereka juga tidak menghadang sifat tersebut dengan penolakan dan takwil (memalingkan dari makna zhahirnya, pen). Bahkan mereka mengingkari orang yang melakukan takwil atas sifat-sifat tersebut. Mereka juga bersepakat bahwa sifat-sifat Allah tidak menyerupai sifat makhluk dan bahwa Allah itu tidak ada yang menyerupai-Nya sedikit pun. Dan tidak diperbolehkan melakukan perdebatan dan perselisihan dalam sifat-sifat Allah, karena akan menjadi jalan untuk menolak Allah dan rasul-Nya atau menjadi jalan untuk membahas tatacara sifat atau bahkan penolakan sifat.” (Siyar A’lamin Nubala’: 11/376).

Al-Imam al-Mufassir Ibnu Katsir, Murid Ibnu Taimiyah

Di antara murid Syaikhul Islam yang lainnya adalah al-Hafizh Abul Fida’ Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir ad-Dimasyqi asy-Syafi’i (Ibnu Katsir) rahimahullah (wafat tahun 774 H). Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:

واشتغل بالحديث مطالعة في متونه ورجاله فجمع التفسير وشرع في كتاب كبير في الأحكام لم يكمل وجمع التاريخ الذي سماه البداية والنهاية وعمل طبقات الشافعية وشرح أحاديث أدلة التنبيه وأحاديث مختصراً ابن الحاجب الأصلي وشرع في شرح البخاري ولازم المزي وقرأ عليه تهذيب الكمال وصاهره على ابنته وأخذ عن ابن تيمية ففتن بحبه وامتحن لسببه

“Beliau (Ibnu Katsir) menyibukkan diri dengan menelaah hadits menyangkut matan dan para perawinya. Kemudian beliau menghimpun tafsir dan mulai menulis sebuah kitab besar dalam masalah hukum tetapi tidak sampai selesai. Beliau juga menulis kitab sejarah yang berjudul ‘al-Bidayah wan Nihayah’,  menulis ‘Thabaqat asy-Syafi’iyah’ dan membuat syarah hadits dalil kitab at-Tanbih (fikih Madzhab Syafi’i), syarah hadits ‘Mukhtashar Ibnul Hajib’ serta mulai menulis syarah Shahih Bukhari. Beliau bermulazamah kepada al-Mizzi, membaca ‘Tahdzibul Kamal’ kepadanya dan dijadikan menantu olehnya. Beliau juga belajar dari Ibnu Taimiyah sehingga beliau difitnah dan ditimpa cobaan sebab berhubungan dengan Ibnu Taimiyah.” (Ad-Durarul Kaminah fi A’yanil Mi’atits Tsaminah: 1/125).

Di antara bukti ke-salafi-an Ibnu Katsir adalah komentar beliau terhadap ayat ‘bersemayamnya Allah di atas Arsy’ (QS. Al-A’raf: 54):

وإنما يُسلك في هذا المقام مذهب السلف الصالح: مالك، والأوزاعي، والثوري، والليث بن سعد، والشافعي، وأحمد بن حنبل، وإسحاق بن راهويه وغيرهم، من أئمة المسلمين قديما وحديثا، وهو إمرارها كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه ولا تعطيل

“Jalan yang ditempuh dalam masalah ini (yakni: bersemayamnya Allah di atas Arsy, pen) adalah Madzhab Salafus Shaleh, yaitu; Malik, al-Auza’i, ats-Tsauri, Laits bin Sa’ad, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih dan ulama lainnya baik terdahulu maupun sekarang, yaitu mengimaninya sebagaimana datangnya tanpa membahas tatacaranya, tanpa menyerupakan dengan sifat makhluk dan tanpa menolak makna zhahirnya.” (Tafsir Ibnu Katsir: 3/426-7).

Beliau juga berkomentar tentang ayat ‘langit dilipat dengan tangan kanan-Nya’ (QS. Az-Zumar: 67):

وقد وردت أحاديث كثيرة متعلقة بهذه الآية الكريمة، والطريق فيها وفي أمثالها مذهب السلف، وهو إمرارها كما جاءت من غير تكييف ولا تحريف

“Banyak hadits yang berhubungan ayat ini. Jalan yang ditempuh di dalam memahami ayat ini dan ayat yang semisalnya adalah Madzhab Salaf, yaitu mengimaninya sebagaimana datangnya tanpa membahas tatacaranya dan tanpa memalingkan dari makna zhahirnya.” (Tafsir Ibnu Katsir: 7/113).

Al-Imam Ibnul Maushuli

Beliau adalah al-Allamah Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Ridhwan ad-Dimasyqi asy-Syafi’i yang dikenal dengan Ibnul Maushuli (wafat tahun 774 H) rahimahullah.

Al-Allamah Ibnu Qadhi Syuhbah berkata:

قال الحافظ شهاب الدين ابن حجي كان يحفظ علما كثيرا من حديث ولغة ومذاهب العلماء ويفتي على مذهب الشافعي ونظمه جيد حسن وخطه فائق منسوب

“Al-Hafizh Syihabuddin bin Haji berkata: “Adalah Ibnul Maushuli menghafal banyak ilmu, baik hadits, bahasa Arab dan madzhab para ulama. Beliau berfatwa dengan Madzhab Syafi’i. Nazham (syair) beliau sangat baik, khot (tulisan) beliau baik dan mempunyai nisbat.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah li Ibni Qadhi Syuhbah: 3/134).

Di antara syair beliau tentang Madzhab Salaf –sebagaimana penukilan al-Allamah Ibnu Fahd al-Makki asy-Syafi’i (wafat tahun 871 H)-  adalah:

إن كان إثبات الصفات جميعها من غير كيف موجبا لومي _ وأصير تيميا بذلك عندكم فالمسلمون جميعهم تيمي

“Jika menetapkan semua sifat Allah tanpa membahas tatacaranya menyebabkan diriku dicela…

Dan aku menjadi Taimiy (pengikut Ibnu Taimiyah, pen) karena hal itu menurut kalian (wahai Asy’ariyah), maka kaum muslimin semuanya adalah Taimiy..” (Lahzhul Alhazh bi Dzail Thabaqatil Huffazh: 166).

Al-Allamah Ibnun Naqqasy asy-Syafi’i

Beliau adalah al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Ali ad-Dakkali al-Mishri asy-Syafi’i yang terkenal dengan Ibnun Naqqasy (wafat tahun 819 H) rahimahullah. Ayah beliau juga dijuluki dengan Ibnun Naqqasy, tetapi yang dibahas di sini adalah Ibnun Naqqasy, si anak.

Al-Hafizh Syamsuddin as-Sakhawi asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

واشتغل بالعلم وحفظ المنهاج وأخذ عن البلقيني والابناسي فمن قبلهما

“Beliau (Ibnun Naqqasy) menyibukkan diri dengan ilmu, menghafal kitab ‘al-Minhaj’ (yakni: Minhajuth Thalibin karya an-Nawawi, pen), belajar (fikih) kepada al-Bulqini dan al-Abnasi dan sebelum mereka.” (Adl-Dlau’ul Lami’ fi A’yanil Qarnit Tasi’: 2/283).

Al-Allamah Ibnu Taghri Bardi rahimahullah berkata:

ودرس وأفتى عدة سنين، وخطب بجامع أحمد بن طولون ووعظ، وكان لوعظه تأثير في النفوس..الخ

“Beliau mengajar dan berfatwa beberapa tahun, menjadi khathib di Jami’ Ibnu Thulun dan memberikan mau’izhah. Mau’izhah beliau sangat menyentuh hati..dst.” (Al-Manhalush Shafi wal Mustaufi ba’dal Wafi: 2/111).

Al-Hafizh Syamsuddin as-Sakhawi juga menyatakan:

وكان ينسب إلى اعتقاد الحنابلة في آيات الصفات وأحاديثها..الخ

“Beliau (Ibnun Naqqasy) dinisbatkan kepada akidah Hanabilah (yakni: Salafiyah) di dalam ayat dan hadits tentang sifat-sifat Allah…dst.” (Adl-Dlau’ul Lami’ fi A’yanil Qarnit Tasi’: 2/283).

Al-Allamah Yusuf bin Husain al-Kurdi

Beliau adalah al-Allamah Yusuf bin Husain al-Kurdi asy-Syafi’i (wafat tahun 804 H) rahimahullah. Al-Hafizh Syamsuddin as-Sakhawi (wafat tahun 902 H) rahimahullah berkata:

كان عالماً صالحاً معتقداً مائلاً إلى الأثر والسنة منكراً على الأكراد في عقائدهم وبدعتهم

“Beliau (Yusuf bin Husain) adalah seorang alim, yang shalih, berakidah yang condong kepada as-Sunnah dan atsar Salaf. Beliau mengingkari kaum pedesaan Kurdi tentang akidah dan bid’ah-bid’ah mereka.” (Adl-Dlau’ul Lami’ fi A’yanil Qarnit Tasi’: 5/188).

Al-Allamah Ibnul Imad al-Hanbali (wafat tahun 1089 H) rahimahullah berkata:

وقال ابن حجي كان يميل إلى ابن تيمية ويعتقد صواب ما يقول في الفروع والأصول وكان من يحب ابن تيمية يجتمع إليه..الخ

“Ibnu Haji berkata: “Beliau (Yusuf bin Husain) cenderung kepada Ibnu Taimiyah dan berkeyakinan benarnya pendapat Ibnu Taimiyah dalam usul dan furu’. Orang yang mencintai Ibnu Taimiyah akan berkumpul kepada beliau…dst.” (Syadzaratudz Dzahab fi Akhbar Man Dzahab: 7/46, adl-Dhau’ul Lami’: 5/188).

Ibnul Imad juga berkata:

وكان وقع بينه وبين ولده بسبب العقيدة وتهاجرا مدة إلى أن وقعت فتنة اللكنية فتصالح..الخ

“Dan terjadi koflik antara beliau (Yusuf bin Husain) dan anak beliau karena permasalahan akidah dan mereka berdua saling memboikot beberapa waktu hingga terjadinya fitnah Lukniyah. Kemudian mereka saling berdamai..dst.” (Syadzaratudz Dzahab fi Akhbar Man Dzahab: 7/46, adl-Dhau’ul Lami’: 5/188).

Al-Allamah Ibrahim bin Hasan  al-Kurdi

Beliau adalah al-Allamah Ibrahim bin Hasan bin Syihabuddin al-Kurani al-Kurdi al-Madani asy-Syafi’i (wafat tahun 1101 H) rahimahullah.

Beliau disebut pula dengan Musnid (ahlul hadits) abad ke-11 Hijriyah dan hidup pada masa Daulah Utsmaniyah. Beliau bermukim di Madinah. (Fihrisul Faharis: 1/166).

Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata:

وله مصنفات كثيرة حتى قيل إنها تنيف على ثمانين منها اتحاف الخلف بتحقيق مذهب السلف

“Beliau (al-Kurdi) mempunyai banyak karya tulis, bahkan –ada yang menyatakan- sampai lebih dari 80 karya tulisan. Di antara tulisan beliau adalah kitab ‘Ithaful Khalaf bi Tahqiq Madzhab as-Salaf.” (Al-Badruth Thali’ bi Mahasini Man ba’dal Qarnis Sabi’: 1/11).

Al-Allamah Nu’man bin Mahmud al-Alusi (wafat tahun 1317 H) rahimahullah berkata:

قلت : وكان سلفي العقيدة ذاباً عن شيخ الإسلام ابن تيمية

“Aku katakan: “Beliau (al-Kurdi) itu berakidah Salaf dan membela Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.” (Jala’ul Ainain fi Muhakamatil Ahmadain: 54).

Al-Allamah Ali Afandi as-Suwaidi

Beliau adalah al-Allamah Abul Ma’ali Ali bin Muhammad Sa’id as-Suwaidi al-Baghdadi asy-Syafi’i (wafat tahun 1203 H) rahimahullah. Beliau hidup sejaman dengan Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab, Imam Dakwah Salafiyah di Jazirah Arab (wafat tahun 1206 H) rahimahullah.

Al-Allamah Abdul Hayy al-Kattani rahimahullah berkata:

كان من أيمة الحديث والبراعة فيه وفي غيره، وقيل كان يحفظ عشرين ألف حديث من الكتب الصحاح، وهو صاحب كتاب ” العقد الثمين في مسائل الدين

“Beliau (as-Suwaidi) termasuk imam-imam hadits dan sangat pakar dalam ilmu tersebut dan lainnya. Dikatakan bahwa beliau hafal 20.000 hadits dari kitab-kitab shahih. Beliau itu penulis kitab ‘al-Aqduts Tsamin fi Bayan Masa’ilid Dien’.” (Fihrisul Faharis wal Atsbat: 2/1008).

Al-Allamah Mahmud Syukri al-Alusi rahimahullah berkata:

وله من المؤلفات (العقد الثمين) فى العقائد السلفية

“Beliau mempunyai banyak tulisan di antaranya adalah ‘al-Aqduts Tsamin’ di dalam akidah Salafiyah.” (Al-Miskul Adzfar: 73-74).

Beliau juga terkenal pembelaannya terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dari tuduhan as-Subki. Beliau berkata:

فلا وجه لرد السبكى عليه بمثل هذا الكلام . مع اقتفاء ابن تيمية طريق خاتم الأنبياء عليهم الصلاة والسلام

“Maka tidak ada jalan bagi bantahan as-Subki kepada beliau (Ibnu Taimiyah) dengan ucapan seperti ini (yang jelek, pen), padahal Ibnu Taimiyah menempuh jalan pungkasan para nabi shallallahu alaihi wasallam.” (Jala’ul Ainain fi Muhakamatil Ahmadain: 29).

Al-Allamah Ibnu Hajar al-Buthami, Qadhi Negeri Qatar

Beliau adalah asy-Syaikh Ahmad bin Hajar Alu Buthami rahimahullah. Dilahirkan pada tahun 1915 M di Ras al-Khaimah (Uni Emirat Arab). Beliau belajar fikih Syafi’iyah kepada asy-Syaikh Ahmad bin Ali al-Arfaj. Kemudian beliau bertemu dengan al-Allamah Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh Mufti Saudi Arabia dan ditunjuk sebagai pengajar di Ma’had Imam Dakwah di Riyadh pada tahun 1956. (Arsyif Multaqa Ahlil Hadits: 13/175 (26615)). Sehingga bisa dikatakan bahwa beliau adalah ulama yang seangkatan dengan al-Allamah Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah. Hanya saja beliau menggunakan metode fikih Syafi’iyah sedangkan Ibnu Baaz menggunakan metode fikih Hanabilah.

Di antara perkara yang menunjukkan ke-salafi-an beliau adalah karya tulis beliau yang berjudul ‘ Al-Aqaidus Salafiyah bi Adillatiha an-Naqliyah wal Aqliyah’. Beliau bersyair dalam kitab tersebut:

وزيد الاستواء للرحمن ☼ والعين والنزول واليدان

والوجه والرحمة مع الرضاء ☼ اتيانه للفصل والقضاء

ونحوها من كل ما قد وردا ☼ عن ربنا أو النبي احمدا

نثبته من غير ما تأويل ☼ وغير تمثيل ولا تعطيل

“Dan ditambahkan sifat bersemayam di Arasy bagi ar-Rahman….. juga sifat mata, sifat turun dan sifat kedua tangan..

Sifat wajah, sifat rahmat dengan ridha… sifat kedatangan-Nya untuk memutuskan di hari kiamat…

Dan sifat lainnya yang telah datang…. Dari Rabb kita atau Nabi Ahmad…

Kita menetapkannya tanpa melakukan takwil… dan tanpa menyerupakan (dengan sifat makhluk) dan tanpa penolakan.” (Al-Aqaidus Salafiyah bi Adillatiha an-Naqliyah wal Aqliyah: 109).

Al-Allamah as-Sayyid Muhammad Amin al-Alawi al-Habsyi asy-Syafi’i

Beliau adalah Muhammad Amin bin Abdullah bin Yusuf al-Ethiopi, lahir pada tahun 1348 H. Beliau belajar fikih Syafi’iyah di negeri beliau dan kemudian berhijrah ke Saudi Arabiyah pada tahun 1398 H. Kemudian beliau mengajar di Darul Hadits al-Khairiyah dan menjadi pengajar di Masjidil Haram pada malam hari. (Muqaddimah Hadiyatul Adzkiya’ ala Thayyibatil Asma’ fi Tauhid al-Asma’ wash Shifat: 15-16).

Di antara karya tulis beliau dalam fikih adalah ‘Sullamul Mi’raj ala Dibajatil Minhaj lin Nawawi’ dan ‘Hasyiyah Fathil Jawwad li Ibni Hajar al-Haitami’. Dalam bidang tafsir beliau menulis ‘Hadaiqur Ruh war Raihan fi Rawabi Ulumil Quran’. (Lihat Muqaddimah Hadiyatul Adzkiya’ ala Thayyibatil Asma’ fi Tauhid al-Asma’ wash Shifat: 14-15).

Beliau berkata:

{اسْتَوى}؛ أي: علا وارتفع سبحانه وتعالى {عَلَى الْعَرْشِ} استواء يليق بجلاله من غير تشبيه ولا تمثيل، ولا تعطيل نثبته، ونؤمن به على الوجه الذي يليق به مع تنزيهه عما لا يجوز عليه {لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ} والإيمان بذلك غير موقوف على معرفة حقيقته وكيفيته، فالصحابة رضوان الله تعالى عليهم، والأئمة من بعضهم لم يشتبه أحد منهم فيه.

‘Makna ‘istawa (bersemayam, pen)’ adalah bahwa Allah ta’ala itu tinggi dan teratas ‘di atas Arsy’ dengan bersemayam yang sesuai dengan keagungan-Nya, tanpa menyerupakan dan memisalkan (dengan makhluk, pen) dan tanpa penolakan. Kita beriman dan menetapkannya menurut arah yang sesuai dengan-Nya dengan penyucian diri-Nya dari persangkaan yang tidak diperbolehkan. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dialah maha mendengar dan maha melihat.” Beriman dengan sifat ‘bersemayam’ tidak menunggu mengetahui hakekat dan tatacara sifat tersebut. Para sahabat radliyallahu anhum dan para imam setelah mereka tidak samar atas mereka tentang sifat ‘bersemayam’ ini.” (Tafsir Hada’iq ar-Ruh war Raihan: 9/346).

Beliau juga berkata:

 {وَجَاءَ رَبُّكَ} واعلم أن هذه الآية من آيات الصفات التي سكت عنها وعن مثلها عامة السلف وبعض الخلف، فلم يتكلموا فيه، وأجروها كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه ولا تأويل، وقالوا: يلزمنا الإيمان بها، وإجراؤها على ظاهرها، فنقول على مذهبهم: المجيء صفة واجبة لله تعالى، نثبتها ونعتقدها من غير تكييف ولا تمثيل ولا تعطيل، وهذا هو المذهب الأسلم الأعلم

‘Ayat “Dan Rabbmu datang”, ketahuilah bahwa ayat ini termasuk ayat-ayat sifat yang mana keumuman Salaf dan sebagian Khalaf berdiam diri dengannya dan semisalnya. Mereka tidak memperbincangkannya, tetapi mengimaninya sebagaimana datangnya tanpa membahas tatacaranya, tanpa menyerupakan dengan makhluk, dan tanpa mentakwilnya. Mereka menyatakan: “Kita harus mengimaninya dan menjalankan atas zhahir maknanya. Sehingga kita berpendapat atas madzhab mereka bahwa ‘kedatangan-Nya’ itu merupakan sifat wajib bagi Allah ta’ala. Kita menetapkannya dan meyakininya tanpa membahas tatacaranya, tanpa menyerupakannya dan tanpa penolakan. Ini adalah madzhab yang paling selamat dan paling mengetahui.” (Tafsir Hada’iq ar-Ruh war Raihan: 31/425).

Al-Allamah Muhammad Hasan Abdul Ghaffar

Beliau adalah ulama yang sekarang masih hidup di jaman ini, lahir di Iskandariyah Mesir. Beliau sekarang menjadi pengajar di Masjid Salman al-Farisi Dubai. Dalam bidang akidah, beliau men-syarah kitab as-Sunnah karya al-Imam Ibnu Abi Ashim. Dalam bidang fikih beliau menulis Syarh Matan Abi Syuja’ (kebanyakan kaum muslimin Indonesia menyebutnya dengan Matan Taqrib, pen), Syarh al-Muhadzdzab..dst.” (Arsyif Multaqa Ahlil Hadits: 6/357 (69113)).

Beliau juga mempunyai situs: http://www.abdelghafar.com/index.php

Al-Baihaqi vs Ibnush Shalah

Al-Imam Abu Bakar Ahmad bin Husain al-Baihaqi asy-Syafi’i (wafat tahun 458) rahimahullah adalah ulama besar di kalangan Syafi’iyah.

Al-Allamah Abul Ma’ali al-Juwaini (Imamul Haramain) menyatakan:

ما من فقيه شافعي إلا وللشافعي عليه منة إلا أبا بكر البيهقي، فإن المنة له على الشافعي لتصانيفه في نصرة مذهبه

“Tidak ada satu pun seorang ahli fikih yang bermadzhab Syafi’i, kecuali al-Imam asy-Syafi’i memberikan anugerah kepadanya, kecuali Abu Bakar al-Baihaqi, karena al-Baihaqi telah memberikan anugerah kepada al-Imam asy-Syafi’i di dalam karya tulisnya yang membela Madzhab Syafi’i.” (Siyar A’lamin Nubala’: 18/168).

Beliau termasuk ahlul hadits yang terpengaruh dengan ajaran ‘Asy’ariyah’ karena melakukan takwil terhadap sebagian sifat-sifat Allah ta’ala seperti tangan kanan-Nya. Beliau berkata:

فَيَكُونُ الْمَعْنَى فِي ذَلِكَ عَلَى تَأْوِيلِ قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ : وَالسَّمَوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ أَيْ قَدَّرْتُهُ عَلَى طَيِّهَا ، وَسُهُولَةُ الأَمْرِ فِي جَمْعِهَا

“Maka makna dalam perkara itu pada takwil firman Allah “Dan langit dilipat dengan tangan kanan-Nya”, maksudnya adalah bahwa Allah menguasai langit dengan melipatnya dan juga diartikan dengan mudahnya Allah mengumpulkan langit..dst.” (Al-Asma’ wash Shifat lil Baihaqi: 2/170).

Beliau juga berkata:

وقوله : {لأخذنا منه باليمين} أي بالقوة والقدرة ، أي : أخذنا قدرته وقوته

“Firman-Nya “Aku akan menghukumnya dengan tangan kanan” maksudnya adalah dengan kekuatan dan kekuasaan. Maksudnya adalah bahwa Kami mengambil kekuasaan dan kekuatannya.” (Al-Asma’ wash Shifat lil Baihaqi: 2/160).

Tanggapan:

Takwil yang dilakukan oleh al-Imam al-Baihaqi ini mendapatkan bantahan dari ulama Syafi’iyah lainnya. Di antaranya adalah al-Imam Abu Amr Ibnush Shalah asy-Syafi’i rahimahullah. Beliau berkata:

وما للبيهقي فيه من تأويل وتخصيص فهو غلفة منه وذهول وفي كلام الشافعي في مواضع عدة ما يوضح بطلان تأويله..الخ

“Takwil dan pengkhususan terhadap sifat Allah yang dilakukan oleh al-Baihaqi adalah suatu kelalaian dan keluputan dari beliau. Di dalam ucapan asy-Syafi’i di beberapa tempat terdapat keterangan yang menunjukkan rusaknya takwil al-Baihaqi ini..dst.” (Adabul Mufti wal Mustafti: 1/116).

Ijma’ Buatan, Debat Syafi’i vs Syafi’i

Karena sangat menyebarnya ajaran Asy’ariyah di negeri-negeri kaum muslimin semenjak masa Madrasah Nizhamiyah, maka para ulama Syafi’iyah yang masih konsisten dengan akidah Salaf dituduh dan dicap ‘telah menyelisihi ijma’ jaman itu.

Contohnya adalah kejadian yang menimpa al-Qadhi Abu Bakar al-Hamawi (wafat tahun 488 H) rahimahullah dari kalangan Syafi’iyah. Al-Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata:

وما أحسن ما قال أبو بكر قاضي القضاة الشامي الشافعي، لما عقد له مجلس ببغداد، وناظره الغزالي، واحتج عليه بأن الإِجماع منعقد على خلاف ما عملت به، فقال الشامي: إذا كنت أنا الشيخ في هذا الوقت أخالفكم على ما تقولون، فبمن ينعقد الإجماع؟ بك، وبأصحابك؟ هذا مع مخالفة فقيه الإِسلام في وقته الذي يقال: إنه لم يدخل الشام بعد الأوزاعي أفقه منه

“Sungguh indah perkataan al-Qadhi Abu Bakar al-Hamawi asy-Syami asy-Syafi’i (telah berlalu kisah beliau) ketika dibuat majelis khusus untuk mengadili beliau (karena ke-salafi-an beliau, pen) di Baghdad. Beliau diajak bermunazharah oleh al-Ghazali dalam majelis tersebut. Al-Ghazali berhujah bahwa Ijma’ para ulama jaman tersebut telah menyelisihi akidah yang dipegang oleh al-Hamawi. Maka al-Hamawi menjawab: “Jika aku -di waktu ini- menyelisihi pendapat kalian, maka dengan alasan apa itu bisa disebut ijma’? Apakah (ijma’ dibuat) hanya berdasarkan kesepakatan kalian dan teman-teman kalian (yang seide)?” Ibnu Rajab berkata: “Padahal yang menyelisihi ijma’ al-Ghazali (yang mewakili Asy’ariyah, pen) adalah Faqihul Islam di masanya (yakni al-Qadhi Abu Bakar asy-Syami, pen). Dan dikatakan bahwa belum pernah ada ahli fikih yang memasuki Syam yang lebih alim dari al-Hamawi ini sepeninggal al-Imam al-Auza’i.” (Dzail Thabaqatil Hanabilah: 191).

Ibnu Asakir dan ‘at-Tabyin’

Al-Hafizh Abul Qasim Ibnu Asakir (penulis Tarikh Damsyiq) rahimahullah (wafat tahun 571 H) adalah ahlul hadits Syafi’iyah yang berakidah Asy’ariyah. Untuk membela Asy’ariyah dan al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari beliau menulis kitab ‘Tabyin Kadzibil Muftari fi Ma Nusiba ilal Imam Abil Hasan al-Asy’ari’. Di dalam kitab tersebut beliau memperbanyak ulama Asy’ariyah tanpa bukti ilmiah. Seringkali beliau menyatakan bahwa imam fulan adalah pengikut Asy’ariyah. Padahal yang bersangkutan adalah ulama Syafi’iyah yang Salafi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

وَقَدْ ذَكَرَ أَبُو الْقَاسِمِ بْنُ عَسَاكِرَ فِيمَا ذَكَرَهُ مِنْ أَصْحَابِ الْأَشْعَرِيِّ جَمَاعَةً كَثِيرَةً لَيْسُوا مِنْهُمْ، بَلْ مِنْهُمْ مَنْ هُوَ مَشْهُورٌ بِالْمُنَاقَضَةِ وَالْمُعَارَضَةِ لَهُمْ…الخ

“Dan Abul Qasim Ibnu Asakir –dalam kitab at-Tabyin- banyak menyebutkan ulama-ulama yang menjadi pengikut Abul Hasan al-Asy’ari, padahal yang bersangkutan tidak berakidah Asy’ariyah. Bahkan di antara mereka terdapat ulama yang terkenal dengan penentangan dan perselisihannya terhadap Asy’ariyah..dst.” (Al-Fatawa al-Kubra: 6/602).

Sebagai contoh adalah al-Imam Abu Bakar al-Ismaili al-Jurjani asy-Syafi’i (wafat tahun 371 H) rahimahullah. Al-Allamah Ibnu Qadhi Syuhbah asy-Syafi’i menjelaskan biografi beliau:

أحمد بن إبراهيم بن إسماعيل بن العباس أبو بكر الإسماعيلي الفقيه الحافظ أحد كبراء الشافعية فقها وحديثا وتصنيفا

“Ahmad bin Ibrahim bin Ismail bin al-Abbas Abu Bakar al-Ismaili al-Faqih al-Hafizh salah seorang pembesar Syafi’iyah secara fikih, hadits dan karya tulis.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah li Ibni Qadhi Syuhbah: 1/136-7).

Ibnu Asakir menyatakan:

ومنهم أبو بكر الجرجاني المعروف بالاسماعيلي رحمه الله

“Di antara mereka (ulama Asy’ariyah) adalah Abu Bakar al-Jurjani yang terkenal dengan al-Ismaili rahimahullah.” (Tabyin Kadzibil Muftari: 192).

Padahal al-Isma’ili menyatakan dalam kitab ‘I’tiqad’ beliau –sebagaimana penukilan al-Imam adz-Dzahabi-:

إعلموا رحمكم الله أن مذاهب أهل الحديث أهل السنة والجماعة الإقرار بالله وملائكته وكتبه ورسله وقبول ما نطق به كتاب الله وما صحت به الرواية عن رسول الله لا معدل عما وردا به ويعتقدون أن الله تعالى مدعو بأسمائه الحسنى موصوف بصفاته التي وصف بها نفسه ووصفه بها نبيه  خلق آدم بيده ويداه مبسوطتان بلا إعتقاد كيف استوى على العرش بلا كيف فإنه إنتهى إلى أنه استوى على العرش ولم يذكر كيف كان استواؤه..الخ

“Ketahuilah –semoga Allah merahmati kalian- bahwa madzhab Ahlussunnah Waljamaah adalah beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan menerima perkara yang diucapakan oleh Kitabullah dan perkara yang diriwayatkan secara shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tanpa melenceng darinya. Mereka juga meyakini bahwa Allah ta’ala diseru (dalam do’a) dengan nama-nama-Nya yang indah, disifati dengan sifat-sifat yang telah disifatkan oleh Allah sendiri dan disifatkan oleh Nabi-Nya. Allah menciptakan Adam alaihissalam dengan tangan-Nya. Kedua tangan-Nya terbentang tanpa meyakini tatacaranya. Allah bersemayam di atas Arsy tanpa membahas tatacaranya, karena Allah hanya menyebutkan bahwa Ia bersemayam di atas Arsy tanpa menyebutkan tatacara bersemayam-Nya…dst.” (Al-Uluw lil Aliyyil Ghaffar: 229-230, Tadzkiratul Huffazh: 3/107).

Contoh yang lainnya adalah al-Imam al-Hakim Abu Abdillah an-Naisaburi (penulis kitab al-Mustadrak alas Shahihain) rahimahullah (wafat tahun 405 H).

Ibnu Asakir menyatakan:

ومنهم الحاكم أبو عبد الله بن البيع النيسابوري الحافظ رحمه الله

“Dan di antara mereka (ulama Asy’ariyah, pen) adalah al-Hakim Abu Abdillah Ibnul Bayyi’ al-Hafizh rahimahullah.” (Tabyin Kadzibil Muftari: 227).

Padahal al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan tentang al-Hakim dan Ibnu Qutaibah yang sama-sama berakidah Salafi, meskipun keduanya berseberangan di dalam menyikapi Ahlul Bait. Al-Hafizh menyatakan:

فإن في ابن قتيبة انحرافا عن أهل البيت والحاكم على ضد من ذلك وإلا فاعتقادهما معا فيما يتعلق بالصفات واحد

“Karena di dalam Ibnu Qutaibah terdapat penyimpangan dari Ahlul Bait (yakni sedikit nashibiyah, pen) sedangkan al-Hakim sebaliknya (yakni sedikit tasyayyu’, pen). Jika tidak, maka akidah keduanya di dalam perkara yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah adalah sama.” (Lisanul Mizan: 3/358).

Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah -setelah memaparkan ucapan al-Hakim yang melarang periwayatan hadits dari Ibnu Qataibah- menyatakan:

ثم ما رأيت لابي محمد في كتاب ” مشكل الحديث ” ما يخالف طريقة المثبتة والحنابلة، ومن أن أخبار الصفات تمر ولا تتأول، فالله أعلم

“Kemudian aku tidak melihat pada diri Ibnu Qutaibah di dalam kitab ‘Ta’wil Mukhtalifil Hadits’ sesuatu yang menyelisihi jalannya orang yang menetapkan sifat dan Hanabilah (yakni: Salafiyah, pen) dan bahwa berita tentang sifat-sifat Allah itu diimani saja tanpa ditakwil. Wallahu a’lam.” (Siyar A’lamin Nubala’: 13/299).

Dan contoh lainnya masih banyak. Secara khusus al-Imam Yusuf bin Hasan bin Abdil Hadi al-Maqdisi al-Hanbali (wafat tahun 909 H) rahimahullah menulis kitab ‘Jam’ul Juyusy wad Dasakir ala Ibni Asakir’ untuk membantah kitab ‘Tabyin Kadzibil Muftari’ tulisan Ibnu Asakir. Wallahu a’lam.

Ibnus Subki dan Thabaqatnya

Beliau adalah al-Allamah Tajuddin Abdul Wahhab bin Ali bin Abdul Kafi yang terkenal dengan Ibnus Subki asy-Syafi’i (wafat tahun 771 H) rahimahullah. Beliau adalah tokoh ajaran Asy’ariyah yang sangat fanatik membela Asy’ariyah dan memusuhi akidah Salaf. Di antara bukti sikap beliau yang fanatik terhadap Asy’ariyah adalah ucapan beliau:

ذكر دليل استنبطه علماؤنا من الحديث الصحيح دال على أن أبا الحسن وفئته على السنة وأن سبيلهم سبيل الجنة

“Menyebutkan dalil yang diambil istimbath oleh ulama kami dari hadits shahih yang menunjukkan bahwa Abul Hasan al-Asy’ari dan kelompoknya (yaitu: Asy’ariyah, pen) berada di atas as-Sunnah dan bahwa jalan mereka adalah jalan surga.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra: 3/361).

Ibnus Subki asy-Syafi’i ini menulis kitab ‘Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra’ yang memuat sejarah dan biografi para ulama yang bermadzhab Syafi’i. Ia menyanjung Syafi’iyah yang berakidah Asy’ari dan seringkali bertindak tidak obyektif terhadap Syafi’iyah yang Salafi.

Di antaranya adalah pengingkaran Ibnus Subki terhadap akidah Salafi yang dipegang oleh al-Imam Abul Hasan al-Karaji asy-Syafi’i rahimahullah. Ibnus Subki menukilkan ucapan al-Imam Ibnus Sam’ani tentang akidah Salaf yang dipegang oleh al-Karaji:

وله قصيدة بائية في السنة شرح فيها اعتقاده واعتقاد السلف تزيد على مائتي بيت قرأتها عليه في داره بالكرج

“Beliau (al-Karaji) juga mempunyai syair ba’iyah (berakhiran huruf ba’) yang terdiri dari sekitar 200 bait yang mana beliau menjelaskan akidah Salaf dalam syair tersebut. Aku membaca syair tersebut dinisbatkan kepada beliau di rumah beliau di Karaj.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra: 6/14).

Kemudian Ibnus Subki memberikan pengingkaran tanpa ilmu:

وأقول أولا أني ارتبت في أمره هذه القصيدة وصحة نسبتها إلى هذا الرجل وغلب على ظني أنها إما مكذوبة عليه كلها أو بعضها والذي يرجح أنها مكذوبة عليه كلها

“Aku (Ibnus Subki, pen) berkata: “Pertama aku ragu bahwa syair tersebut dinisbatkan kepada orang ini (al-Karaji). Dan menurut persangkaan kuatku adalah bahwa syair tersebut bisa jadi dinisbatkan secara dusta kepada beliau seluruhnya atau sebagiannya. Pendapat yang kuat adalah bahwa semua syair tersebut didustakan atas nama beliau!!!” (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra: 6/141).

Ibnus Subki juga mengomentari tanpa ilmu:

ويحتمل أن يكون له بعضها ولكن زيدت الأبيات المقتضية للتجسيم وللكلام في الأشاعرة

“Kemungkinan lain, sebagian syair tersebut benar penisbatannya tetapi sebagiannya ditambah-tambah dengan bait-bait yang men-jisim-kan Allah dan celaan kepada Asy’ariyah.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra: 6/142).

Pengingkaran dari Ibnus Subki ini disebabkan sikap fanatik beliau terhadap akidah Asy’ariyah dan tuduhan dan persangkaan beliau (yang Asy’ari) bahwa akidah Salaf itu mujassimah.

Bahkan tidak hanya Syafi’iyah yang dikomentari, ulama selain Syafi’iyah yang berakidah Salaf pun ikut dikomentari miring oleh Ibnus Subki. Beliau berkomentar miring terhadap al-Imam az-Zahid Abdul Qadir al-Jailani al-Hanbali (wafat tahun 561 H) rahimahullah:

وحكى عن عبد القادر الجيلي أنه قال الله بجهة العلو مستو على عرشه فليت شعري لم احتج بكلامه

“Dan dihikayatkan dari Abdul Qadir al-Jaili (bisa dibaca: al-Jailani atau al-Kailani, pen) bahwa beliau berkata bahwa Allah berada di arah atas, bersemayam di atas Arsy. Aduh kiranya jika ucapan beliau (al-Jailani) tidak dijadikan hujjah.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra: 9/78).

Ibnus Subki asy-Syafi’i al-Asy’ari ini juga tidak memiliki adab terhadap guru beliau sendiri yang berakidah Salaf, yaitu al-Imam adz-Dzahabi asy-Syafi’i rahimahullah.

Ibnus Subki (murid) mengomentari al-Imam adz-Dzahabi (sang guru):

ولقد وقفت فى تاريخ الذهبى رحمه الله على ترجمة الشيخ الموفق بن قدامة الحنبلى والشيخ فخر الدين بن عساكر وقد أطال تلك وقصر هذه وأتى بما لا يشك لبيب أنه لم يحمله على ذلك إلا أن هذا أشعرى وذاك حنبلى وسيقفون بين يدى رب العالمين

“Aku telah melihat kitab ‘Tarikhul Islam’ karya adz-Dzahabi rahimahullah pada biografi asy-Syaikh al-Muwaffaq Ibnu Qudamah al-Hanbali dan asy-Syaikh Fakhruddin Ibnu Asakir. Beliau (adz-Dzahabi) memaparkan biografi Ibnu Qudamah secara panjang lebar sedangkan untuk biografi Ibnu Asakir, beliau hanya memaparkan secara ringkas saja. Dan ini tidak diragukan oleh orang yang berakal bahwa motivasi beliau atas demikian tidak lain karena Ibnu Asakir itu seorang Asy’ari sedangkan Ibnu Qudamah itu seorang Hanbali (Salafi). Dan mereka akan mempertanggungjawabkannya di depan Rabbul Alamin.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra: 2/24).

Ibnus Subki (murid) juga berkomentar miring terhadap al-Imam adz-Dzahabi (guru):

وأما تاريخ شيخنا الذهبى غفر الله له فإنه على حسنه وجمعه مشحون بالتعصب المفرط لا واخذه الله فلقد أكثر الوقيعة فى أهل الدين أعنى الفقراء الذين هم صفوة الخلق واستطال بلسانه على كثير من أئمة الشافعيين والحنفيين ومال فأفرط على الأشاعرة ومدح فزاد فى المجسمة

“Adapun kitab ‘Tarikhul Islam’ karya Syaikh kami adz-Dzahabi –semoga Allah mengampuninya-, maka kitab tersebut meskipun bagus dan menyeluruh, dipenuhi dengan sikap ta’ashub (fanatik) yang berlebihan –semoga Allah membalasnya-. Beliau banyak mencela ahli agama, yakni fuqara’ yang merupakan makhluk pilihan. Beliau juga panjang lidahnya di dalam mencela para imam Syafi’iyah dan Hanafiyah. Beliau juga condong bersikap melampaui batas terhadap ulama Asy’ariyah dan berlebih-lebihan dalam memuji Mujassimah (yaitu: Salafiyah dalam kacamata Asy’ariyah, pen).” (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra: 2/22).

Akibat Buruknya Lisan

Lidah yang tajam inilah yang menyebabkan Ibnus Subki keluar masuk penjara. Al-Allamah Ibnu Qadhi Syuhbah asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

وولي الخطابة بعد وفاة ابن جملة ثم عزل وحصل له محنة شديدة وسجن بالقلعة نحو ثمانين يوما ثم عاد إلى القضاء..الخ

“Ibnus Subki menjabat sebagai khatib setelah wafatnya Ibnu Jumlah. Kemudian ia dilengserkan dan mendapat banyak ujian yang berat. Ia dipenjarakan di Qal’ah selama 80 hari, kemudian dikembalikan menjadi qadhi lagi..dst.” (Thabaqat asy-Syafi’iyah li Ibni Qadhi Syuhbah: 3/105).

Bahkan lebih parah lagi, Al-Allamah Nu’man al-Alusi (wafat tahun 1317 H) rahimahullah berkisah:

ونقل الشيخ عبد الوهاب الشعرانى في كتابه ((الأجوبة المرضية)) : أن أهل زمانه رموه بالكفر واستحلال شرب الخمر والزنا وأنه كان يلبس الغيار والزنار بالليل ويخلعهما بالنهار ، وتحزبوا عليه وأتوا به مقيداً مغلولاً من الشام إلى مصر ، وجاء معه خلائق من الشام يشهدون عليه ؛ ثم تداركه اللطف على يد الشيخ جمال الدين الإسنوى . اهـ .

“Asy-Syaikh Abdul Wahhab asy-Sya’rani menukilkan dalam kitabnya ‘al-Ajwibah al-Mardhiyah’ bahwa penduduk jaman beliau (yakni Ibnus Subki) menuduhnya dengan tuduhan kafir dan tuduhan menghalalkan minum khamer dan zina. (Mereka menyatakan) bahwa beliau memakai ghiyar (pakaian khas orang kafir dzimmi, pen) dan zinar (sabuk khas orang Majusi, pen) pada malam hari dan melepasnya pada siang hari. Mereka berkumpul dan membawa beliau dalam keadaan tangan diikat rantai dari Syam menuju Mesir. Sebagian orang Syam datang menyaksikan beliau. Kemudian beliau mendapatkan pembebasan dari asy-Syaikh Jamaluddin al-Isnawi asy-Syafi’i. Selesai.” (Jala’ul Ainain fi Muhakamatil Ahmadain: 38).

Dan setelah wafat pun Ibnus Subki mendapat kritikan dan celaan dari ulama Syafi’iyah setelahnya.

Al-Hafizh Syamsuddin as-Sakhawi asy-Syafi’i (murid al-Hafizh Ibnu Hajar, wafat tahun 902 H) rahimahullah mengkritik ketidaksopanan Ibnus Subki terhadap gurunya (yaitu al-Imam adz-Dzahabi):

فالذي نسب الذهبي لذلك هو تلميذه التاج السبكي، وهو على تقدير تسليمه إنما هو في أفراد مما وقع التاج في أقبح منه… وهذا من أعجب العجاب ، وأصحب للتعصب ، بل أبلغ في خطأ الخطاب

“Orang yang menisbatkan adz-Dzahabi demikian adalah muridnya sendiri, yaitu Tajuddin as-Subki. Komentar Ibnus Subki di atas seandainya benar, maka itu menunjukkan sikap pribadi Ibnus Subki yang terjatuh kepada perkara yang lebih jelek daripada itu….. Dan ini (komentar Ibnus Subki) merupakan suatu yang paling aneh, sesuatu yang lebih menunjukkan fanatik, bahkan lebih menunjukkan kesalahan dalam berbicara..dst.” (Al-I’lan bit Taubikh li Man Dzammat Tarikh: 158).

Bahkan al-Hafizh as-Sakhawi menukilkan penilaian al-Qadhi Izzuddin al-Kinani al-Hanbali (wafat tahun 876 H) rahimahullah tentang buruknya akhlak Ibnus Subki:

هو رجل قليل الأدب عديم الإنصاف جاهل بأهل السنة ورتبهم يدلك على ذلك كلامه انتهى

“Ia (Ibnus Subki) adalah orang yang kurang adab, tidak objektif, bodoh terhadap ahlussunnah dan kedudukan mereka. Itu ditunjukkan oleh ucapannya. Selesai ucapan al-Kinani.” (Al-I’lan bit Taubikh li Man Dzammat Tarikh: 159).

Pungkasan

Di antara perkara yang menjadi sebab seorang Syafi’i Salafi menjadi Syafi’i Asy’ari adalah berkecimpung dengan ilmu Kalam yang berasal dari manthiq atau filsafat Yunani.

Al-Imam Rabi’ bin Sulaiman asy-Syafi’i (wafat tahun 240 H) rahimahullah berkata:

قال الشافعي: يا ربيع، اقبل مني ثلاثة: لا تخوضن في أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم، فإن خصمك النبي صلى الله عليه وسلم غدا، ولا تشتغل بالكلام، فإني قد اطلعت من أهل الكلام على التعطيل. وزاد المزني: ولا تشتغل بالنجوم

“Al-Imam asy-Syafi’i berkata: “Wahai Rabi’! terimalah 3 wasiat dariku: Janganlah membicarakan kejelekan para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, karena musuhmu besok adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Janganlah mempelajari ilmu Kalam, karena aku melihat bahwa Ahlul Kalam itu berakhir dengan penolakan (terhadap sifat-sifat Allah dan bahkan terhadap adanya Allah, pen).” Al-Muzani menambahkan: “Janganlah mempelajari ilmu nujum!” (Siyar A’lamin Nubala’: 10/28).

Jadi, dengan dasar ilmu kalam dan logika mantiq, seseorang berusaha mentakwil atau memalingkan makna hakiki dari sifat-sifat Allah ta’ala seperti sifat tangan, wajah, mata, bersemayam dan sebagainya karena menurut logika atau mantiq hal tersebut menyerupai sifat makhluk.

Sehingga al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengingatkan:

وقد توسع من تأخر عن القرون الثلاثة الفاضلة في غالب الأمور التي أنكرها أئمة التابعين وأتباعهم ولم يقتنعوا بذلك حتى مزجوا مسائل الديانة بكلام اليونان وجعلوا كلام الفلاسفة أصلا يردون إليه ما خالفه من الآثار بالتأويل ولو كان مستكرها ثم لم يكتفوا بذلك حتى زعموا أن الذي رتبوه هو أشرف العلوم وأولاها بالتحصيل وأن من لم يستعمل ما اصطلحوا عليه فهو عامي جاهل فالسعيد من تمسك بما كان عليه السلف واجتنب ما أحدثه الخلف

“Dan orang-orang belakangan setelah ketiga generasi Salaf (yakni: Asy’ariyah, pen) telah memperluas diri untuk mempelajari kebanyakan perkara yang telah diingkari oleh para Imam Tabi’in dan Ta’biut Tabi’in. Mereka tidak merasa cukup dengan itu, sampai pada tahap mencampuradukkan antara urusan agama dengan logika Yunani. Mereka menjadikan filsafat sebagai dasar untuk menolak hadits yang menyelisihinya dengan cara melakukan takwil, meskipun terkesan dipaksakan. Kemudian mereka tidak cukup dengan itu, sampai pada tahap menyangka bahwa ilmu yang mereka hasilkan itu merupakan ilmu yang paling utama dan paling mulia untuk dipelajari. (Mereka juga menyangka) bahwa orang yang tidak menggunakan istilah mereka (seperti: jisim, jauhar, ta’alluq, mumkinat, dsb, pen) adalah orang awam yang bodoh. Maka orang yang berbahagia adalah orang yang berpegang teguh dengan ajaran Salaf dan menjauhi perkara yang diada-adakan oleh Khalaf..dst.” (Fathul Bari bi Syarh Shahihil Bukhari: 13/253).

Kemudian sikap kita terhadap para ulama Syafi’iyah yang tergelincir dalam bid’ah Asy’ariyah padahal mereka mempunyai jasa besar di dalam menyebarkan al-Islam dan as-Sunnah, maka kita memberikan udzur dan mendoakan ampunan untuk mereka.

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

ولكن من قواعد الشّرع والحكمة أيضا أنّ من كثرت حسناته وعظمت وكان له في الإسلام تأثير ظاهر، فإنّه يحتمل له ما لا يحتمل لغيره، ويعفي عنه مالا يعفي عن غيره

“Termasuk kaidah syariat dan hikmah juga bahwa seorang ulama yang mempunyai banyak kebaikan dan mempunyai andil yang besar dalam al-Islam, maka ia berhak mendapatkan udzur atas kesalahannya dengan udzur yang tidak diberikan kepada selainnya. Ia juga berhak dimaafkan kesalahan-kesalahannya dengan maaf yang tidak diberikan kepada selainnya.” (Miftah Daris Sa’adah: 1/176).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

وان كان في كلامهم من الادلة الصحيحة وموافقة السنة ما لا يوجد في كلام عامة الطوائف فانهم اقرب طوائف اهل الكلام الى السنة والجماعة والحديث وهم يعدون من اهل السنة والجماعة عند النظر الى مثل المعتزلة والرافضة وغيرهم بل هم اهل السنة والجماعة في البلاد التي يكون اهل البدع فيها هم المعتزلة والرافضة ونحوهم

“Meskipun di dalam ucapan mereka (ulama Asy’ariyah, pen) terdapat dalil-dalil shahih dan kesesuaian dengan as-Sunnah yang tidak didapatkan dalam keterangan keumuman sekte-sekte sesat, maka mereka (Asy’ariyah, pen) adalah kelompok Ahlul Kalam yang paling mendekati Ahlus Sunnah wal Jamaah. Maka mereka dapat dianggap sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah jika melihat (membandingkan, pen) mereka dengan sekte Mu’tazilah, sekte Rafidhah dan selain mereka. Bahkan mereka (Asy’ariyah, pen) adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah di negeri-negeri yang mana Ahlul Bid’ahnya adalah Mu’tazilah, Rafidhah dan selain mereka..dst.” (Bayan Talbisil Jahmiyah: 2/87).

Semoga Allah ta’ala memasukkan kita ke dalam golongan Salaf dan para pengikut mereka dan menghindarkan kita dari bersikap ghuluw di dalam menyikapi para ulama yang tergelincir. Amien.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ