Saturday, April 22, 2017

Al Aqidah Al Washithiyah: Penjelasan Aqidah Islam

Hasil gambar untuk Aqidah Wasithiyah

ِ إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا فَمَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ عَلَى آلِهِ وَ أَصَْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا
Tidak disangsikan lagi, kesempurnaan agama ini adalah nikmat Allah yang paling besar bagi umat ini. Agama Islam yang ditinggalkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan lengkap, sempurna dan menyeluruh, sehingga terang benderang, tidak ada kesamaran sama sekali pada ajarannya. Binasalah orang yang menyimpang darinya dan tidak mau berjalan di atas manhaj rabbaniy, manhaj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada kita seluruh kebaikan yang dapat mendekatkan ke surga dan telah memperingatkan seluruh kejelekan yang menjauhkan diri kita dari surga. Semua ini agar binasalah orang yang binasa di atas hujjah dan hiduplah orang yang mengikutinya di atas hujjah juga.

Mengenal aqidah yang benar merupakan satu keharusan bagi setiap muslim. Apalagi di masa seperti ini, masa yang penuh dengan ujian dan cobaan hidup. Disamping juga dipenuhi usaha penyesatan dan pemurtadan baik melalui kebidahan yang samar sampai kepada kekufuran yang paling jelas. Semua usaha pemurtadan ini berkembang dan tumbuh subur dengan pemeliharaan para musuh Allah dari kalangan syaitan manusia dan jin. Ditambah dengan cara yang mereka tempuh untuk mensukseskan program mereka ini.

Sungguh mengerikan dan membuat seorang muslim mengelus dada dan mengerenyutkan dahinya, khawatir di pagi hari jadi seorang muslim dan di sore harinya menjadi kafir dan sebaliknya di sore hari jadi seorang muslim dan di pagi harinya menjadi kafir.

Sudah berapa banyak kaum muslimin yang murtad dan meninggalkan agamanya.
Berapa banyak pemuda muslim yang kehilangan jati dirinya dan hidup tanpa pegangan.
Berapa banyak……berapa banyak ……dan berapa banyak yang lainnya.
Sungguh pemandangan yang sangat mengerikan ada di depan mata kita semua.

Lalu bila menengok keadaan kaum muslimin secara khusus, didapatkan mereka dalam kondisi yang sangat menyedihkan. Perselisihan, perpecahan dan permusuhan terus tumbuh berkembang dengan suburnya. Mereka tidak ingat akan peringatan Allah dalam Al Qur’an:

وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ وَلاَتَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

Dan ta’atlah kepada Allah dan Rasulnya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmt dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Qs. Al Anfal: 46)

Juga tidak ingat akan perintah Allah untuk mengembalikan perselisihan dan perbedaan pendapatnya kepada Al Qur’an dan sunnah, sebagaimana firman-Nya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs. An Nisa: 59)

Demikianlah seharusnya, sebagaimana telah jelas dalam manhaj para sahabat dan tabiin serta orang yang mengikuti jejak mereka dalam berislam.

Apalagi dalam permasalahan aqidah, permasalahan yang sangat besar bagi seorang muslim. Tentunya harus mendapatkan perhatian serius jangan sampai menyelisihi ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Ironisnya banyak kaum muslimin yang tidak memahaminya atau memahaminya dengan salah sehingga aqidah yang benar dianggap salah dan yang salah itulah dianggap kebenaran.

Untuk itu perlu sekali mengembalikan kaum muslimin kepada aqidah yang pernah diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya dan para sahabat mengajarkan kepada para tabiin dan seterusnya generasi demi generasi. Inilah yang kemudian dinamakan aqidah salaf.

Pengertian Aqidah Salaf

Aqidah salaf adalah istilah yang diambil dari dua kata; aqidah dan salaf. Kata aqidah dalam bahasa Arab memiliki pengertian ikatan, keyakinan dan kepastian. Aqidah adalah sesuatu yang diyakini hatinya dengan pasti dan mengikat, baik itu benar ataupun batil. Sedangkan dalam istilah para ulama, aqidah adalah perkara-perkara yang wajib dibenarkan oleh hati, dan jiwa menerimanya dengan penuh hingga menjadi satu keyakinan yang pasti yang tidak dicampuri satu keraguan dan kebimbangan. [1]

Sedangkan Kata salaf secara bahasa bermakna orang yang telah terdahulu dalam ilmu, iman, keutamaan dan kebaikan.

Ibnul Mandzur berkata (Lisanul Arab 9/159): Salaf juga berarti orang-orang yang mendahului kamu dari nenek moyang, orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan denganmu dan memiliki umur lebih serta keutamaan yang lebih banyak. Oleh karena itu, generasi pertama dari Tabiin dinamakan As-Salafush Sholeh.

Diantara penggunaan kata salaf dengan makna ini adalah perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada putrinya, Fathimah:

فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ

Sesungguhnya sebaik-baik pendahulu (salaf ) bagimu adalah aku. [2]

Dan diriwayatkan dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau berkata kepada putri beliau, Zainab, ketika wafat:

الْحَقِيْ بِسَلَفِنَا الصَالحِ ِعُثْمَانَ بْنِ مَظْعُوْنِ

Susullah salaf sholih (pendahulu  kita  yang sholeh) kita Utsman bin Madz’un. [3]
Adapun secara istilah, maka dia adalah sifat pasti yang khusus untuk para sahabat dan yang selain mereka diikutsertakan karena mengikuti para sahabat tersebut.

Al Qalsyaany berkata dalam Tahrirul Maqaalah min Syarhir Risaalah (q 36): As Salaf Ash Sholih adalah generasi pertama yang mendalam ilmunya lagi mengikuti petunjuk Rasulullah dan menjaga sunnahnya. Allah ta’ala telah memilih mereka untuk menegakkan agama-Nya dan meridhoi mereka sebagai imam-imam umat. Mereka telah benar-benar berjihad di jalan Allah ta’ala dan menghabiskan umurnya untuk memberikan nasihat dan manfaat kepada umat, serta mengorbankan dirinya untuk mencari keridhoan-Nya.

Sungguh Allah ta’ala telah memuji mereka dalam kitab-Nya dengan firman-Nya:

مُّحَمَّدُ رَّسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. (Qs. Al fath [48]: 29)

Dan  firman Allah,

لِلْفُقَرَآءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَرِضْوَانًا وَيَنصُرُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. (Qs. Al Hasr [59]: 8)

Di dalam ayat ini, Allah ta’ala menyebut kaum Muhajirin dan Anshor kemudian memuji ittiba’ (sikap ikut) kepada mereka dan meridhoi hal tersebut demikian juga orang yang menyusul setelah mereka dan Allah ta’ala mengancam dengan adzab orang yang menyelisihi mereka dan mengikuti jalan selain jalan mereka, maka Allah ta’ala berfirman:

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَاتَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. (Qs. An Nisa’ [4]: 115)

Maka merupakan suatu kewajiban mengikuti mereka pada hal-hal yang telah mereka nukilkan dan mencontoh jejak mereka pada hal-hal yang telah mereka amalkan serta memohonkan ampunan bagi mereka.

Allah ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ جَآءُو مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ وَلاَتَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang.” (Qs. Al Hasr  [59]: 10)

Istilah ini pun diakui oleh ahli kalam pada zaman dahulu dan mutaakhirin  (zaman sekarang -ed).  Al Ghozali berkata dalam kitab Iljaamul Awaam An Ilmil Kalaam hal 62 ketika mendefinisikan kata As Salaf: “Saya maksudkan  adalah madzhab sahabat dan tabiin.”

Al Baijuuri  berkata dalam kitab Syarah Jauharu At Tauhid hal. 111: “Yang dimaksud dengan salaf adalah orang yang terdahulu, yaitu para Nabi, sahabat, tabiin dan tabiit-tabiin.”

Istilah inipun telah dipakai oleh para ulama pada generasi-generasi yang utama untuk menunjukkan masa sahabat dan manhaj mereka, diantaranya:

1. Imam Bukhari berkata (6/66- Fathul Bari): Rasyid bin Saad berkata: “Dulu para salaf menyukai kuda jantan, karena dia lebih cepat dan lebih kuat.”

Al Hafidz Ibnu Hajar menafsirkan perkataan Rasyid ini dengan mengatakan: “Yaitu dari para sahabat dan orang setelah mereka.”

Saya berkata: Yang dimaksud adalah sahabat karena Rasyid bin Saad adalah seorang tabi’in maka sudah tentu yang dimaksud di sini adalah sahabat.

2. Imam Bukhari berkata (9/552 – Fathul Bari): Bab As Salaf tidak pernah menyimpan di rumah  atau di perjalanan mereka makanan, daging dan yang lainnya.

Yang dimaksud adalah sahabat.

3. Imam Bukhari berkata (1/342- Fathul Bari): Dan Azzuhri berkata tentang tulang-tulang bangkai-seperti gajah dan yang sejenisnya- : “Saya menjumpai orang-orang dari kalangan ulama  salaf bersisir dan berminyak dengannya dan mereka tidak mempersoalkan hal itu.”

Yang dimaksud adalah sahabat karena Azzuhri adalah seorang tabi’in.

4. Imam Muslim telah mengeluarkan dalam Muqodimah Shohihnya hal. 16 dari jalan periwayatan Muhammad bin Abdillah, beliau berkata: Aku telah mendengar Ali bin Syaqiiq berkata: Saya telah mendengar Abdullah bin Al Mubarak berkata- di hadapan manusia banyak-: “Tinggalkanlah hadits Amru bin Tsaabit, karena dia mencela salaf.”

Yang dimaksud adalah sahabat.

5. Al Auza’iy berkata: “Bersabarlah dirimu di atas sunnah, tetaplah berdiri di tempat kaum tersebut berdiri, katakanlah sebagaimana yang mereka katakan, tinggalkan apa yang mereka tinggalkan dan tempuhlah jalannya As Salaf Ash Sholih, karena akan mencukupi kamu apa saja yang mencukupi mereka. [4]

Yang dimaksud adalah sahabat.

Oleh karena itu, kata As Salaf telah mengambil makna istilah ini dan tidak lebih dari itu.

Adapun dari sisi periodisasi (perkembangan zaman), maka dia dipergunakan untuk menunjukkan generasi terbaik dan yang paling benar untuk dicontoh dan diikuti, yaitu tiga generasi pertama yang telah dipersaksikan dari lisan sebaik-baiknya manusia, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa mereka memiliki keutamaan dengan sabdanya:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ يَجِيْءُ أَقْوَامٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِيْنَهُ وَ يَمِيْنُهُ شَهَادَتَهُ

Sebaik-baiknya manusia adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya kemudian generasi sesudahnya lagi kemudian datang kaum yang syahadah salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului syahadatnya. [5]

Akan tetapi periodisasi ini kurang sempurna untuk membatasi pengertian salaf ketika kita lihat banyak dari kelompok-kelompok sesat telah muncul pada zaman-zaman tersebut, oleh karena itu keberadaan seseorang pada zaman tersebut tidaklah cukup untuk menghukum keberadaannya di atas manhaj salaf  kalau tidak sesuai dengan para sahabat dalam memahami Al Kitab dan As Sunah. Oleh karena itu para  Ulama mengkaitkan istilah ini dengan As Salaf Ash Sholih.
Dengan ini jelaslah bahwa istilah salaf ketika dipakai tidaklah melihat kepada dahulunya zaman akan tetapi melihat kepada para sahabat nabi dan yang mengikuti mereka dengan baik. Dan di atas tinjauan inilah dipakai istilah salaf yaitu dipakai untuk orang yang menjaga keselamatan aqidah dan manhaj di atas pemahaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya sebelum terjadinya perselisihan dan perpecahan. [6]

Dengan demikian aqidah salaf adalah keyakinan terhadap ajaran agama islam sesuai dengan keyakinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Arti Penting Aqidah Salaf

Sudah sepantasnya seorang yang ingin memperjari aqidah salaf mengetahui arti penting (urgensi) aqidah tersebut. Semua ini untuk memberikan gambaran kedudukan aqidah tersebut dan dapat mendorong untuk lebih semangat mempelajarinya. Terlebih-lebih pada masa sekarang ini; dimana banyak kaum muslimin yang melalaikan hal ini dan tenggelam dalam lautan syahwat dan syubhat.

Arti penting mempelajari aqidah salaf terlahir dari arti penting aqidah itu sendiri. Juga kepada kewajiban bersungguh-sungguh bekerja untuk mengembalikan manusia kepada aqidah tersebut. Hal ini karena beberapa hal:

1.    Belajar aqidah salaf termasuk mempelajari ilmu termulia, teragung dan terpenting, karena kemuliaan satu ilmu tergantung dengan dzat yang dipelajari (Al Ma’lum) dan Allah adalah Dzat yang maha agung dan maha mulia. Mengenal Allah merupakan dasar terpenting semua ilmu. Oleh karena itu imam Abu hanifah menamakan ilmu aqidah ini sebagai Fiqhul Akbar.

2.    Aqidah salaf adalah wasilah terpenting mencapai keridhoan Allah.

3.    Barisan kaum muslimin dan para da’inya hanya dapat bersatu diatas aqidah ini. Demikian juga kekuatan mereka, tanpa aqidah ini mereka akan berpecah belah. Hal ini dikarenakan aqidah salaf adalah aqidah Al Quran dan sunah serta aqidah generasi pertama umat ini dari kalangan para sahabat. Sehingga seluruh kesatuan dan persatuan yang tidak berlandaskan aqidah ini hasilnya hanyalah kegagalan dan perpecahan.

4.    Aqidah salaf membuat seorang muslim mengagungkan nash Al Qur’an dan Sunnah dan melindunginya dari penolakan makna atau bermain-main dalam menafsirkannya sesuai hawa nafsu dan keinginannya.

5.    Aqidah salaf mengikat seorang muslim kepada para salaf dari kalangan sahabat dan yang mengikuti mereka, sehingga menambah kemuliaan, iman dan kehormatannya. Hal ini karena para salaf tersebut adalah para wali Allah dan imam-imam yang bertaqwa. Hal ini seperti disampaikan oleh Ibnu Mas’ud:

إِنَّ اللَّهَ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ فَوَجَدَ قُلُوبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوب الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُونَ عَلَى دِينِهِ فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ

Sesungguhnya Allah telah melihat hati para hamba-Nya, dan mendapatkan hati Muhammad sebaik-baiknya hati mereka, lalu memilihnya dan mengutusnya membawa risalah. Kemudian melihat kepada hati para hamba setelah hati Muhammad dan mendapatkan hati para sahabat sebaik-baiknya hati para hamba, lalu menjadikan mereka sebagai pendamping nabi-Nya. Mereka berperang membela agama-Nya, sehingga apa yang dipandang kaum muslimin sebaagi kebaikan maka ia baik disisi Allah dan apa yang dipandang mereka sebagai kejelakan maka ia adlah kejelekan di sisi Allah. [7]

6.   Aqidah salaf memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh yang lainnya, yaitu kejelasannya. Aqidah salaf menjadikan Al Qur’an dan Sunnah sebagai sumber gambaran dan pemahamannya, jauh dari ta’wil, ta’thil dan tasybih. Demikian juga aqidah ini dapat menyelamatkan orang yang berpegang teguh (komitmen) kepadanya dari kerancuan pembicaraan tentang dzat Allah, menemtang nash Al Qur’an dan Sunnah nabi-Nya. Dari sana aqidah salaf memberikan pemiliknya sikap ridho dan tenang menerima taqdir Allah dan mengagungkan keagungan Allah serta tidak membebani akal untuk berfikir tentang sesuatu di luar kemampuannya, seperti masalah-masalah ghaib. Maka aqidah salaf sangat mudah sekali (dipahami –ed) serta jauh dari kerancuan dan ketidak mampuan memahaminya. [8]

Keistimewaan dan Karakteristik Aqidah salaf

Diantara kekhususan dan keistimewaan aqidah salaf, adalah:

1.    Aqidah salaf bersumber kepada sumber yang asli dan suci yaitu Al Qur’an dan Sunnah, dan jauh dari hawa nafsu dan syubhat.

2.    Aqidah salaf memberikan ketenangan dan kemantapan jiwa dan menjauhkan pemiliknya dari keraguan dan kerancuan.

3.    Aqidah salaf menjadikan sikap seorang muslim selalu mengagungkan nash-nash Al Qur’an dan Sunnah, karena ia mengetahui kebenaran dan hak hanya ada padanya. Inilah keselamatan dan keistimewaan yang penting.

4.    Aqidah salaf dapat mewujudkan sifat yang Allah ridhoi dalam firman-Nya:

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَيُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (Qs. An Nisaa’ : 65)

5.    Aqidah salaf mengikat seseorang dengan para Salaf  Sholeh.

6.    Aqidah salaf menyatukan barisan kaum muslimin dan persatuannya, karena ini merupakan perwujudan firman Allah:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (Qs.  Ali Imran: 103)

7.    Aqidah salaf menjadikan orang yang berpegang teguh (komitmen) dengannya selamat dan masuk dalam janji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan pertolongan dan kemenangan disunia dan keselamatan di akherat.

8.    Berpegang teguh kepadanya merupakan sebab terpenting keistiqomahan agama seseorang.

9.    Aqidah salaf memiliki pengaruh besar dalam perbaikan suluk dan akhlak orang yang berpegang teguh (komitmen) dengannya.

10.    Berpegang teguh dan mengamalkan aqidah salaf termasuk sebab terpenting yang dapat mendekatkan diri kepada Allah dan memperoleh keridhoannya. [9]

11.    Aqidah salaf adalah aqidah yang konsisten tidak berubah dengan tempat dan zaman.

12.    Aqidah salaf adalah aqidah yang jelas dan mudah, karena diambil dari sumber yang suci jauh dari noda syubhat dan hawa nafsu dan bersih dari ta’wil-ta’wil.

Arti Penting Kitab Al ‘Aqidah Al Wasitiyah Dalam Mempelajari Aqidah Salaf

Kitab ini telah mendapatkan pujian dan penerimaan dari para ulama dan penuntut ilmu baik terdahulu maupun sekarang. Kitab yang dikarang Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah ini sudah tidak asing lagi bagi mereka, karena kedudukan dan arti pentingnya dalam menjelaskan aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah.

Di antara arti pentingnya adalah:

1. Kitab ini telah diakui sangat bermanfaat dalam menjelaskan aqidah salaf walaupun dengan lafadz yang ringkas dan ibarat yang mudah.

2. Kandungan Aqidah Wasitiyah ini seluruhnya bersandarkan kepada Al Qur’an, Sunnah dan ijma’ salaf umat ini dan para imamnya. Ini ada pada lafadz dan maknanya. Hal ini dijelaskan beliau dalam pernyataannya dalam dialog yang terjadi dalam aqidah ini:

Saya dalam aqidah ini sangat memperhatikan petunjuk Al Quran dan Sunnah. [10]

Dan menyatakan:

Semua lafadz yang saya sebutkan (dalam aqidah ini), mesti saya sebutkan juga dengannya ayat atau hadits atau ijma’ salaf. [11]

3. Isi kandungan kitab ini adalah hasil riset penelitian Syeikhul Islam terhadap perkataan dan pendapat para salaf dalam pembahasan nama dan sifat Allah, hari akhir, iman, takdir, sahabat dan lain-lainnya dari permasalahan ushul dan i’tikad. Ini tampak dalam pernyataan beliau:

Tidaklah saya masukkan dalam kitab ini kecuali aqidah seluruh salaf sholeh. [12]

4.    Pengarang kitab ini (Syeikhul Islam) telah mengerahkan kemampuan dan kesempatannya untuk menjelaskan sejelas-jelasnya jalan firqatun najiyah dalam aqidah, sehingga beliau berkata:

Saya telah teliti secara perlahan seluruh orang yang menyelisihi saya pada satu hal dari aqidah ini selama tiga tahun. Jika ada satu huruf dari seorang yang termasuk tiga generasi mulia yang menyelisihi apa yang telah saya sampaikan, maka saya akan rujuk dari hal itu. [13]

5.    Kitab aqidah ini walaupun sangat ringkas tapi telah mencakup hampir semua permasalahan i’tikad dan ushul iman. [14]

Demikian, kitab ini telah meraih penerimaan para ulama, sehingga Al Imam Adz Dzahabi menyatakan:

Telah disepakati kitab ini merupakan i’tikad salafi yang bagus. [15]

Juga Ibnu Rajab menyatakan:

Telah disepakati, inilah I’tikad sunni salafi. [16]

Demikian juga Syeikh Abdurrahman As Sa’diy menyatakan:

Kitab ini dengan ringkas dan jelasnya telah mencakup seluruh i’tikad yang wajib diyakini dalam ushul iman dan aqidah yang shohihah. [17]

Syeikh Zaid bin Abdilaziz bin Fayyaadh menyatakan:

Sesungguhnya kitab Al Aqidah Al Wasitiyah karya Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah walaupun kecil dan ringkas namun sangat bermanfaat dan besar faedahnya. Beliau dalam kitab ini telah menjelaskan madzhab salaf dalam aqidah yang selamat dari noda-noda kebidahan dan pemikiran ahli kalam yang sesat. [18]

Syarah dan Ta’liq Kitab Al Aqidah Al Wasithiyah

Oleh karena itulah para ulama dan penuntut ilmu memberikan perhatian serius terhadap kitab ini baik dalam pengajaran atau karya tulis mereka. Mereka menulis syarah dan ta’liq (komentar penjelas) terhadap kitab ini.

Diantara hasil karya mereka yang berkenaan dengan kitab Al Aqidah Al Wasitiyah adalah sebagai berikut:

At Tambihatul Lathifah fi Maa Ihtawat ‘alaihi Al Wasithiyah minal Mabaahits Al Munifah karya Syeikh Abdurrahman bin Naashir As Sa’diy. Kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Syarah Aqidah Al Wasitiyah oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawaz, diterbitkan oleh Darul Haq, Jakarta.
Al Aqidah Al Wasithiyah yang dita’liq oleh Syeikh Muhammad bin Abdil Aziz bin Maani’, ini merupakan komentar singkat beliau, diterbitkan di percetakan Saad Ar Rasyiid di Riyadh.
Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah karya Syeikh Muhammad Kholil Haraas, kitab ini ditahqiq oleh Alwiy bin Abdil Qadir As Saqqaaf, diterbitkan oleh penerbit Darul Hijroh, Riyadh, KSA. Sebelum beliau kitab ini telah diteliti oleh Syeikh Abdur Razaaq ‘Afifiy dan dicetak oleh Al Jami’ah Al Islamiyah (Universitas Islam Madinah) dalam 176 halaman. Kemudian dicetak lagi dengan pembenahan dan komentar Syeikh Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al Amaah liidaratil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187 halaman pada tahun 1403 H.
Syarah ini memiliki keistimewaan dalam syarah yang tidak terlalu panjang, namun hampir semua ibarat Syeikhil Islam telah tersyarah kata perkata.
At Tambihatus Sunniyah ‘Alal Aqidah Al Wasithiyah karya Syeikh Abdulaziz bin Naashir Ar Rosiid. Ini adalah syarah yang cukup panjang lebar dalam 388 halaman dan diterbitkan Dar Ar Rasyid.
Al Kawaasyif Al jaliyah ‘An Ma’aaniy Al Wasithiyah karya Syeikh Abdul Aziz bin Muhammad Ali Salman. Dicetak beberapa kali dan dibagikan cuma-cuma. Akhir cetakan adalah cetakan ke-17 tahun 1410 dalam 807 halaman.
Al Asilah wal Ajwibah Al Ushuliyah ‘Alal Aqidah Al Wasithiyah karya Syeikh Abdul Aziz Ali Salman. Berisi 340 halaman dan dibagikan cuma-cuma.
Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah karya Syeikh Sholih bin Fauzaan Ali Fauzan. Beliau salah seorang anggota majlis ulama besar Saudi Arabia.  Ini adalah syarah ringkas dan mudah dalam 222 halaman. Beliau banyak bersandar dalam syarah ini kepada kitab At Tambihatus Sunniyah ‘Alal Aqidah Al Wasithiyah karya Syeikh Abdul Aziz bin Naashir Ar Rosiid dan Ar Roudhatun Nadiyah Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah karya Zaid bin Abdil Aziz bin Fayyaadh.
At Ta’liqatul Mufidah ‘Alal Aqidah Al Wasithiyah karya Abdullah bin Abdurrohman bin Ali Asy Syariif.
Al Aqidah Al Wasithiyah wa Majlis Al Munadzaroh fiha Baina Syeikhil Islam Ibnu Taimiyah wa ‘Ulama Ashrihi, ditahqiq oleh Zuhair Asy Syaawiisy.
Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah karya Syeikh Sa’id bin Ali bin Wahb Al Qohthoniy.
Ar Roudhatun Nadiyah Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah karya Zaid bin Abdil Aziz bin Fayyaadh. Kitab yang menjelaskan Aqidah Al Wasithiyah dengan panjang lebar sepanjang 516 halaman.
Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah karya Syeikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin. Ini adalah syarah yang sangat bagus dan indah, sepantasnya dimiliki oleh setiap penuntut ilmu. Dicetak dalam 2 jilid sebanyak 414 halaman di Dar Ibnil Jauziy.
Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah min Kalami Syeikhil Islam karya Syeikh Kholid bin Abdillah Al Mushlih. Dalam syarah ini beliau mengambil penukilan pernyataan Syeikhul Islam dalam karya-karya tulisnya ditambah sedikit dari pernyataan Ibnul Qayim dalam melengkapi syarahnya. Dicetak dalam 216 halaman di Dar Ibnil Jauziy tahun 1421 H
Syarah Aqidah al-Wasithiyah karya Syeikh Sholih bin Abdul Aziz Ali Syeikh
Syarah Aqidah al-Wasithiyah karya Syeikh Abdurrahman al-Baraak
At Ta’liqaat as-Sunniyah ‘Alal Aqidah Al Wasithiyah karya Syeikh Faishol bin Abdul Aziz Ali Mubaarak.
Dan lain-lain.
Sebab Penamaan Al Aqidah Al Wasitiyah

Kitab Al Aqidah Al Wasitiyah karya Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah ditulis beliau dengan satu sebab, yaitu permintaan Syeikh Radhiuddin Al Waasithiy. Beliau diminta menulis satu tulisan mengenai aqidah salaf Ahli Sunnah wal Jama’ah karena banyaknya penyimpangan dan kebodohan kaum muslimin terhadap aqidah yang benar. Hal ini beliau jelaskan dalam pernyataannya:

Seorang qadhi dari wilayah Waasith [19] bernama Radhiuddin Al Waasithiy yang bermadzhab Syafi’iy datang kepada kami sambil pergi haji. Beliau seorang yang sholeh dan berilmu. Kedatangan beliau kepada kami mengadukan keadaan manusia di negeri tersebut dan di negeri Tatar (di bawah kekuasan bangsa Tatar (Mongol)). Mereka dalam keadaan sangat bodoh dan dzolim sampai-sampai mereka kehilangan agama dan ilmu. Beliau meminta saya menulis aqidah yang dapat dijadikan sandaran (pedoman) dia dan keluarganya. Lalu saya merasa sungkan memenuhinya. Maka saya katakana padanya: “Sudah banyak para ulama telah menulis kitab aqidah yang beragam, ambillah darinya aqidah para imam sunnah.” Namun beliau terus meminta kepada saya dan berkata: “Saya hanya menginginkan aqidah yang engkau tulis.” Kemudian saya menuliskan untuknya aqidah ini dalam keadaan duduk setelah Ashar. Akhirnya tulisan aqidah ini banyak tersebar di kota Mesir, Iraq dan lainnya. [20]

Karena itulah aqidah ini dinamakan Al Aqidah Al Wasithiyah. Demikian juga aqidah ini merupakan aqidah yang tengah-tengah yang adil sebagaimana Ahlus Sunnah tengah-tengah di antara kelompok islam yang ada. Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan:

Bahkan mereka –yaitu Ahlus sunnah wal Jama’ah- wasath (tengah-tengah) di antara kelompok (firqoh) umat islam, sebagaimana umat islam adalah umat tengah-tengah di antara umat yang ada. Mereka (ahlu sunnah) bersikap adil (tengah-tengah) dalam pembahasan sifat Allah diantara ahlu ta’thil [21] Jahmiyah [22] dan ahlu Tasybih [23] Al Musyabihah [24]. Demikian juga bersikap adil (tengah-tengah) dalam masalah perbuatan Allah, di antara Al Jabariyah dan Al Qadariyah… [25]

Sehingga benar-benar wasithiyah yang wasath (yang adil tengah-tengah).

Footnotes:
[1] Al-Wajiz fi Aqidah as-Salaf hal. 20
[2] HSR Muslim No. 2450
[3] HSR Ahmad (1/237-238) dan Ibnu Saad dalam Thobaqaat (8/37) dan dishohihkan Ahmad Syakir dalam Syarah Musnad No. 3103, akan tetapi dimasukkan oleh Al Albany dalam Silsilah Dhoifah No. 1715
[4] Dikeluarkan oleh Al Aajury dalam Asy Syari’at hal.57
[5] Dan dia adalah hadits mutawatir.
[6] Lihat Limaaza Ikhtartu Manhaj as-Salafi.
[7] Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya 1/379  dan dishohihkan sanadnya oleh Syeikh Ahmad Syaakir no. 3600. Syeikh Abu Usamah Saliim bin ‘ied Al Hilaliy: “Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnadnya 3/179, Ath Thoyaalisiy dalam musnadnya hal 23 dan Al Khothib Al baghdadiy dalam Al Faqiih wal Mutafaqqih 1/166 secara mauquf dengan sanad hasan.” (diambil dari kitab Limadza Ikhtartu Al manhaj As Salafi (edisi Bahasa Arab) karya Saalim bin I’ed Al Hilalie, cetakan Markaz Al Albani hal 88
[8] Dari kata pengantar Syeikh ‘Alwi Abdil Qadiir As Saqaf pada kitab Syarah Al Aqidah Al Wasitiyah karya Muhammad Kholil Al Haras, tahqieq ‘Alwi Abdil Qadiir As Saqaf, cetakan ketiga, tahun 1415H, Dar Al Hijroh, Riyaadh. hal 6-7 dengan pengurangan.
[9] Keistimewaan ini teringkas dalam Mudzakirot  Manhaj As Salaf hasil ceramah Syeikh Abdullah Al Ubailaan. Hal 5-6.
[10] Majmu’ Fatawa 3/165
[11] ibid 3/189
[12] ibid 3/169
[13] ibid
[14] Hal ini diambil dari Syarah Al Aqidah Al Wasitiyah yang disusun Syeikh Kholid bin Abdillah Al Mushlih, cetakan pertama tahun 1421 H, Dar Ibnu Al Jauzie, Al Dammaam,  hal 5-6.
[15] Al ‘Uqud Ad Duriyah hal 212
[16] Adz Dzail ‘ala Thobaqatul Hanabilah 2/396
[17] At Tambihat Al Lathifah hal 6
[18] Ar Roudhatun Nadiyah Syarah Al Aqidah Al Wasitiyah karya Zaid bin Abdul Aziz Al Fayaadh, cetakan ketiga tahun 1414 H. Dar Al Wathon, Riyaadh. hal 3.
[19] Waasith adalah satu wilayah yang dibangun Al Hajjaaj bin Yusuf Ats Tsaqafiy seorang panglima kholifah Abdil Malik bin Marwan. Wilayah ini terletak di bagian selatan negeri Iraq di antara kota Kufah dan Bashroh. Wilayah ini menjadi tengah-tengah di antara dua kota ini. Karena inilah dinamakan Waasith. Lihat kitab Tarikh Waasith karya Bahsyal hal 22.
[20] Majmu’ Fatawa 3/164
[21] Akan datang penjelasannya.
[22] Jahmiyah adalah sekte (firqoh) yang berkembang pada akhir daulah bani Umayah dan muncul pertama kali di daerah Turmudz. Mereka adalah pengikut Jahm bin Sofwan At Turmudziy yang dibunuh Salam bin Ahwaz Al Maaziniy di Marw. Sekte ini memiliki kesamaan dengan Mu’tazilah dalam meniadakan sifat-sifat Allah, menolak aqidah bahwa penghuni surga dapat melihat Allah di surga (ru’yatullah). Dan mereka meyakini Al Qur’an adalah makhluk. Namun ini lebih parah dari Mu’tazilah karena memiliki ajaran lain yang berbahaya, diantaranya:
Tidak boleh mensifatkan Allah dengan sifat yang dipakai mensifati makhluknya, karena hal itu menunjukkan adanya tasybih (penyerupaan) Allah kepada makhluknya.
Manusia itu majbur (terjajah) dalam amal perbuatannya, ia tidak memiliki kemampuan dan kehendak sedikitpun.
Neraka dan Surga tidak kekal
Iman hanyalah mengenal Allah dan tidak bertingkat-tingkat.
Lihat kitab Al Milal wan Nihal karya Asy Syahrostaniy 1/86-88 dan kitab Maqalaat Islamiyin karya Abul Hasan Al Asy’ariy 1/15 dan catatan kaki pentahqiq kitab Aqidatus Salaf Ashhabil Hadits hal 162 serta catatan kaki pentahqiq Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah karya Muhammad Kholil Haraas op.cit hal 185.
[23] Akan datang penjelasannya.
[24] Al Musyabihah atau Mujassimah adalah lawannya Jahmiyah dalam penetapan nama dan sifat Allah. Mereka menyatakan: Allah memiliki tangan seperti tangan makhluk-Nya, memiliki pendengaran seperti pendengaran makhluk-Nya dan memiliki penglihatan seperti penglihatan makhluknya. Mereka inilah kelompok yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Lihat catatan kaki pentahqiq Syarh Al Aqidah Al Wasitiyah karya Haraas op.cit hal 185.
[25] Syarah Aqidah Al Wasithiyah karya Syeikh Kholid Al Mushlih op.cit hal 94-96.
-bersambung insya Allah-
Penyusun: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

Silsilah Penjelasan Al Aqidah Al Washithiyah

(Bagian 1)
بسم الله الرحمن الرحيم

إن الحمد لله نحمده ، ونستعينه ، ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ، ومن سيئات أعمالنا ، من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك لـه ، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ آل عمران:102

Tulisan berikut merupakan usha sederhana untuk ikut serta berdakwah kepada Alloh Ta’ala, catatan ini telah dimulai sejak 2 tahun yang lampau, dengan memohon pertolongan Alloh kami sajikan pada anda :

Rujukan Utama Tulisan :

Al-Washithiyah, Syaikh Abdurrohman Nashir As-Sa’di rohimahulloh. (Dar Al-Bashiroh).
Syarhu Al-Washithiyah, Syaikh Muhammad Kholil Haros rohimahulloh. (Dar Al-Bashiroh). Takhrij Syaikh Alwi bin Abdil Qodir Asyaqof (Sahab.org).
Al-Kawasyiful Jaliyyah ‘alal Ma‘ani Al-Washithiyyah. Abdul Aziz bin Muhammad Sulaiman. Rohimahulloh. (Dar Al-Bashiroh).
Syarhu Al-Washithiyah, Abdul ‘Aziz bin Baz rohimahulloh. (Dar Al-Bashiroh).
Syarhu Al-Washithiyah, Muhammad bin As-Shalih Al-‘Utsaimin rohimahulloh. (Dar Al-Bashiroh).
Syarhu Al-Washithiyah, Shalih bin Abdul Aziz Al-Fauzan hafidzohulloh. (Dar Al-Bashiroh).
Syarhu Al-Washithiyah, Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzohulloh. (Rekaman dan tulisan dari Sahab.org).
Syarhu At-Thohawiyah, Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzohulloh. (Dar Ibnul Jauzi dan Rekamannya).
Syarhu Al-Washithiyah, Andurrohman Nashir Al-Barrok. (Rekaman dan tulisan dari Maktabah Syamilah).
At-Ta’liqot As-Saniyah ‘alal Aqidah Al-Washithiyah, Syaikh Faishol  bin Abdul Aziz Al-Barrok rohimahulloh.
Syahu Al-Washithiyah, Kholid Al-Mushlih hafidzohulloh. (Dar Ibnul Jauzy).
Al-Masail Al-Mardhiyah ‘alal Aqidah Al-Washithiyah. Ali Khudair hafidzohulloh.
Mulhaq Al-Aqidah Al-Washithiyah, Syaikh Alwi bin Abdil Qodir Asyaqof hafidzohulloh. (Sahab.org).
Syarhu Al-Aqidah Al-Washithiyah, Syaikh Ibrohim Ar-Ruhaili hafidzohulloh. (Rekaman)
At-Ta’liqot Az Zakiyah ‘alal Aqidah al Washithiyah, Syaikh Jibrin rohimahulloh, Darul Wathon Linasyr.
التنبيهات السنية على العقيدة الواسطية, Syaikh Abdul Aziz bin Nashir ar Rosyid.
Ar Raudoh An Nadiyah Syarh al Aqidah al Washithiyah, Zaid bin Abdul Aziz, Darul Wathon.
Ar-Rosail Al-Jami’ah fil Aqidah Juz 1. (Kumpulan permasalahan Aqidah yang kami kumpulkan dari berbagai kitab). Koleksi Maktabah Keluarga Abu Abdussalam Al-Maktabah Asy-Syakilah
Muqoddimah

I. Biografi Singkat Penulis Aqidah Al-Washithiyah :

1. Nama, Gelar Dan Tempat Tanggal Lahir

Nama beliau adalah Ahmad bin Abdul Halim bin Abdussalam Ibnu Taimiyah Al Harrani kemudian Dimasqi.
Gelar Beliau adalah syaikhul Islam Taqiyuddin.
Lahir pada hari Senin tanggal 10 atau 12 Robi’ul Awwal tahun 661 H. di Kota Harran, yaitu kota yang terletak di Timur Laut negeri Syam di Jazirah Ibnu Amru. Antara sungai Tigris dan Eufrat. Pada tahun 667 H beliau pindah bersama kedua orang tuanya ke Damaskus.
2. Keluarga Beliau

Keluarga beliau adalah keluarga yang dikenal dengan kecintaannya kepada ilmu. Ayah dan kakek beliau seorang ulama terkemuka. Kakek beliau Al-Majd bin Taimiyah seorang ulama besar di zamannya, warisan kakek beliau adalah kitab ‘Muntaqol Akhbar fi Ahaditsi Sayyidil Akhyar”, demikian pula ayahnya, Syihabuddin Abdul Halim rohimahumulloh Ta’ala.
Saudaranya Abu Muhammad, beliau seorang ulama ahli fiqih dari kalangan Hanabilah.
3. Guru-Guru Penulis.

Salah seorang muridnya; Ibnu Abdil Hadi berkata : “Dan guru-guru beliau yang dia belajar dari mereka lebih dari dua ratus guru”.

Yang paling terkenalnya adalah :

Syamsuddin Abu Muhammad Abdurrohman  bin Qudamah Al-Maqdisi. (W. 682 H).
Aminuddin Abul Yaman Abdusshomad bin ‘Asakir Ad-Dimasqi As-Syafi’I (W. 687 H).
Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abdul Qowi bin Baddan Al Mardawi (W.703 H).
4. Murid-Murid Penulis

Termashurnya adalah :

Syamsuddin bin Abdul Hadi A-Hanbali (W. 744 H)
Syamsuddin  Adz-Dzahabi As-Syafi’i (W. 748 H)
Syamsuddin Ibnul Qoyyim (W.751 H)
Syamsuddin Ibnu Muflih Al-Hanbali (W. 762 H)
‘Imaduddin Ibnu Katsir As-Syafi’i (774 H)
5. Karya Tulis Penulis

Imam Adz-Dzahabi berkata : “Aku mengumpulkan tulisan Syiakhul Islam Taqiyuddin Abil Abbas Ahmad bin Taimiyyah rodiyallohu ‘anhu, maka aku dapati seribu tulisan, kemudian aku melihat pula, baginya tulisan-tulisan yang lainnya”.

Berikut kita sebutkan beberapa karya tulis beliau :

Dalam Bidang Tafsir :

Tafsiru Surotil Ikhlas, terangkum di dalam kitab Majmu’ al-Fatawa.
Jawabu Ahlil Ilmi wal Iman bi Tahqiq Ma Akhbaro bihi Rosulur Rahman, min an Qulwuallohu Ahad Ta’dilu Tsulutusul Qur’an.
Tafisrul Mu’awidatain.
Dalam Bidang Fiqih

Risalatul Qiyas
Al-Qowa’id
Risalatul Hisbah
Al -Amru bil Ma’ruf
Al-‘Uqud
Haqiyatus Shiam
Dalam Bidang Aqidah

Al-Iman
Al-Istiqomah
Iqtido shirotil Mustaqim
Al-Furqon baina Waliairrohman Wa Awaliyaisy Syaithon
At-Tawashul Wal Washilah
Al-Washithiyah
At-Tadmuriyah
Al-Hamawiyah
Minhajuss Sunnah An-Nabawiyah
Syarhu Haditsin Nuzuul
Naqdul Manthiq
Ma’arijul Wushul
6. Keilmuan Penulis

Imam As-Syubqi, Muhammad bin Abdil Bar As-Syafi’I berkata (W.777 H) :
ما يبغض ابن تيمية إلا جاهل أو صاحب هوى فالجاهل لا يدري ما يقول وصاحب الهوى يصده هواه عن الحق بعد معرفته به

“Tidaklah membenci Ibnu Taimiyah kecuali seorang yang bodoh atau pengekor hawa nafsu, orang yang bodoh tidak mengetahui apa yang dia katakan, adapun pengekor hawa nafsu maka hawa nafsunya telah menghalanginya dari kebenaran setelah dia mengetahuinya”.

Al-‘Alamah Kamaluddin Ibnu Az-Zamalkani As-Syafi’i –dan beliau salah satu dari musuhnya– berkata (W. 767) :
كان إذا سئل عن فن من العلم ظن الرائي والسامع انه لا يعرف غير ذلك الفن وحكم ان احدا لا يعرف مثله وكان الفقهاء من سائر الطوائف إذا جلسوا معه استفادوا في مذاهبهم منه ما لم يكونوا عرفوه قبل ذلك ولا يعرف أنه ناظر أحدا فانقطع معه ولا تكلم في علم من العلوم سواء كان من علوم الشرع أو غيرها إلا فاق فيه أهله والمنسوبين اليه

“Jika dia ditanya tentang satu bidang ilmu tertentu maka yang melihat dan mendengar akan menyangka bahwa dia tidaklah mengetahui ilmu yang lain kecuali ilmu tersebut, dan akan menghukumi bahwa tidak ada seorang pun yang mengetahui seperti dia. Para ahli fiqih dari berbagai kelompok, jika mereka duduk bersamanya maka mereka mendafatkan faidah tentang madzhab mereka yang sebelumnya tidak mereka ketahui. Tidaklah diketahui, jika dia berdialog dengan seseorang kemudian dia kalah. Tidaklah dia berkata tentang suatu ilmu dari ilmu-ilmu, baik ilmu syar’i atau pun yang lainnya kecuali dia ahlinya di dalam ilmu tersebut dan dinasabkan kepada ilmu yang dia bicarakan”.

Di dalam riwayat yang dikeluarkan Ibnu Rojab secara sahih dari Al-‘Alamah Kamaluddin Ibnu Az-Zamalkani, beliau berkata:

ما ير من خمسمائة سنة أو قال أربعمائة سنة والشك من الناقل وغالب ظنه انه قال من خمسمائة سنة احفظ منه انتهى

“Tidaklah didapatkan semenjak 500 tahun atau 400 tahun – dan keraguan dari yang menukil dan berat prasangkanya bahwa dia berkata :  semenjak 500 tahun – yang lebih berilmu darinya”.

Al-‘Alamah Al-Imam Abul Fathi Muhammad bin ‘Ali bin Wahb Ibnu Daqiqil ‘Id  As-Syafi’i al-Maliki berkata (W. 702 H) :
لما اجتمعت بابن تيمية رأيت رجلا العلوم كلها بين عينيه يأخذ منها ما يريد ويدع ما يريد

“Tatkala aku bertemu dengan Ibnu Taimiyah, maka aku melihat seseorang yang seluruh ilmu ada di kedua pelupuk matanya, dia mengambil yang dia inginkan dan meninggalkan yang tidak dia inginkan”.

Al-Hafidz Abul Hajaj Ad-Dimasqi As-Syafi’i berkata (W. 742 H) :
ما رأيت مثله ولا رأى هو مثل نفسه وما رأيت أحدا أعلم بكتاب الله وسنة رسول الله صلى الله عليه و سلم ولا أتبع لهما منه

“Aku belum pernah melihat orang sepertinya, dan dia sendiri tidak pernah pula melihat yang sepert dirinya, aku tidak melihat seorang pun yang lebih mengetahui kitabulloh dan sunnah rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam dan lebih mengikuti keduanya daripadanya”.

7. Wafat Beliau

Beliau meninggal pada tanggal 26 Dzul Ao’dah tahun 728 H.

Sebelum meninggal beliau sakit selama dupuluh hari lebih, kebanyakan orang tidak mengetahui tentang sakitnya, sehingga mereka sangat terkejut mendengar berita kematiannya raohiamulloh rohmatan wasi’atan.

II. Sekilas Tentang Kitab Aqidah Al-Washithiyah
1. Sebab Penulisan

Risalah ini ditulis dikarenakan adanya permintaan dari salah seorang hakim daerah  Washith di negeri Iraq. Dikatakan Washith (Pertengahan\tengah-tengah) karena daerah tersebut terletak diantara Kuffah dan Bashroh.

Di dalam Majmu Fatawa (3\129) disebutkan : Salah seorang hakim negeri Washith meminta Syaikhul Islam rohimahulloh untuk menuliskan kitab aqidah yang bisa menjadi bekal baginya dan keluarganya, maka syaikh memenuhi permintaannya.

Beliau berkata di dalam Al-Fatawa (3\160) : “Maka aku menghadirkan kitab aqidah yang ditulis dari sejak tujuh tahun sebelum datangnya pasukan Tartar ke Syam … (sampai perkataannya) …, kemudian aku mengutus orang untuk menghadirkannya\mengambilkan-nya dari rumahku, dan bersama kitab tersebut karoris (juz\bagian dari buku) dengan tulisanku. Maka datanglah al-aqidah al-washithiyah. Aku berkata kepada mereka : Sebab ditulisnya kitab ini adalah adanya seseorang hakim yang datang kepadaku dari daerah Washith, disebutkan namanya : Rodiyuddin Al-Washithy penganut madzhab Syafi’i. Datang kepada kami dalam keadaan berhaji, dia merupakan ahli khoir dan dien. Dia mengadukan sesuatu yang telah menimpa manusia di negeri tersebut di bawah kungkungan Tartar, dari tersebarnya kebodohan, kedzoliman, serta terkuburnya agama dan ilmu. Ia meminta kepadaku untuk menuliskan aqidah yang bisa menjadi bekal baginya dan keluarganya. Maka awalnya aku enggan untuk memenuhinya, aku berkata kepadanya : ‘Telah banyak para ulama yang menulis masalah ‘aqo’id\aqidah, maka ambilah sebagian kitab ‘aqo’id yang telah ditulis oleh para imam sunnah, aku tidak bisa memenuhi permintaan anda’.  Dia menimpali perkataanku : ‘Aku tidak menginginkannya kecuali kitab aqidah yang engkau tulis’. Maka aku-pun menuliskan kitab ini baginya, aku duduk ba’da ashar. Setelah itu tersebarlah nuskoh yang sangat banyak, di Mesir, Iraq dan di selain keduanya'”.

Di dalam al-Fatawa (3\194): Syaikh ‘Ilmuddin mengutipkan bahwa as-syaikh semoga Alloh mensucikan ruhhnya berkata di dalam majlis para petinggi tatkala mereka bertanya kepadanya tentang aqidah yang dianutnya, maka syaikh menghadirkan kitab aqidahnya al-washithiyah kemudian berkata : ‘Kitab aqidah ini aku menuliskannya sekitar tujuh tahun sebelum masuknya Tartar ke Syam’. Maka kitab tersebut dibacakan di majlis. Kemudian ‘Ilmuddin mengutip dari as-Syaikh, bahwa beliau (Ibnu Taimiyyah) berkata : ‘Sebab penulisan kitab ini adalah (datangnya) salah seorang hakim negeri  Washith, dari kalangan ahli khoir, ad-dien dan ilmu. Dia memintaku untuk menulis kitab aqidah baginya; sungguh aku telah berkata kepadanya : ‘Para ulama aimmah sunnah telah menulis tentang aqo’id, aku keberatan untuk memenuhi permintaan anda. Dia menyanggah alasanku : ‘Aku tidak menginginkannya kecuali kitab aqidah yang engkau tulis’. Maka aku menuliskan kitab aqidah ini, aku duduk setelah ashar’.

Komentar\catatan tentang sebab penulisan :

Bahwa ia ditulis untuk salah seorang hakim dan keluarganya. Dari hal itu merupakan suatu kemestian didalamnya ada al-quwwah (kekuatan) dan ringkas sehingga sesuai untuk seluruhnya.
Ia merupakan kitab yang khusus membahas masalah aqidah, ini pada umumnya. Didalamnya terdapat pula suatu pembahasan tentang  amal dan suluk. Pada akhir kitab beliau mengungkapkan tentang manhaj ahli sunnah wal jama’ah di dalam masdar talaqi, yang mereka (ahlu sunnah) bersandar kepadanya di dalam masalah aqidah, yaitu : Al-Kitab, As-Sunnah dan Al-Ijma (sahabat)’.
2. Global Pembahasan Aqidah Al-Washithiyah[1]

Ushul Ahli Sunnah wal Jama’ah di Dalam Masalah Asma dan Sifat.
Ushul Ahli Sunnah wal Jama’ah di Dalam Masalah Iman.
Ushul Ahli Sunnah wal Jama’ah di Dalam Masalah Asma’, Al-Ahkam dan Tentang (Al Wa’d) Ancama.
Ushul Ahli Sunnah wal Jama’ah di Dalam Masalah Qodar.
Ushul Ahli Sunnah wal Jama’ah Tentang Hari Akhir dan Segala sesuatu yang Terjadi Didalamnya, Seperti Hisab, Syafa’at, Mizan Surga dan Neraka.
Ushul Mereka di Dalam Masalah Karomah.
Ushul Ahli Sunnah wal Jama’ah di Dalam Sikapnya dengan Para Pemimpin dan Hukam.
Ushul Ahli Sunnah wal Jama’ah Tentang Sahabat dan Sikap Mereka Dengannya.
Ushul Ahli Sunnah wal Jama’ah di Dalam Masalah Masdar Talaqy, Ia Ada Tiga (Al-Kitab, as-Sunnah dan Ijma’).
Ushul Ahli Sunnah wal Jama’ah di Dalam Masalah Akhlak, Suluk, Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyi ‘Anil Munkar.
Ushul Ahli Sunnah wal Jama’ah di Dalam Masalah Jihad dan Menegakan Syia’r-Syi’ar yang Dzohir.
Penutup Risalah Dengan Mengungkapkan Tingkatan dan Jenis Ahli Sunnah wal Jama’ah.
3. Keistimewaan Kitab Aqidah Al-Washithiyah[2]

Kandungan aqidah ini senantiasa bersandar kepada kitab Alloh Ta’ala dan Sunnah Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam serta sesuatu yang telah diepakati oleh salaful umat dan para imamnya; dalam lafadz dan maknanya. Syaikhul Islam telah menjelaskan tentang keistimewaannya ketika berdialog dengan orang-orang yang mempermasalahkan kitab aqidah ini, beliau berkata : “Aku benar-benar memilih di dalam (kitab) aqidah ini; ia hanya mengikuti kitab dan sunnah”. beliau berkata pula : “Setiap lafadz yang aku menyebutkannya, maka aku sebutkan baginya ayat, atau hadits, atau ijma para salaf”.
Kandungan risalah yang berkah ini merupakan hasil dan buah penelitian Syaikhul Islam rohimahulloh terhadap perkataan para salaf. Dan merupakan hasil studi kritis pada perkataan mereka di dalam pembahasan nama-nama Alloh dan sifat-sifat-Nya, hari akhir, iman, qodar, sahabat dan yang lainnya dari permasalahan usul dan i’tiqod. Beliau rohimahulloh berkata tentang aqidah ini : “Tidaklah aku mengunpulkan kecuali aqidah as-salaf as-shalih, seluruhnya”.
Penulis rohimahulloh telah mencurahkan kemampuan dan kepiaweananya di dalam menguraikan metode kelompok yang selamat, yang ditolong, ahlu sunnah wal jama’ah di dalam aqidah ini, uraian yang sangat jelas lagi mendalam. Sehingga beliau berkata : “Aku menantang seluruh orang yang menyelisihiku di dalam aqidah ini selama tiga tahun. Jika dia datang dengan satu huruf saja dari salah satu kurun yang tiga yang Nabi sholallohu ‘alaihi wa sallam telah memuji mereka  … menyelisihi sesuatu yang aku sebutkan, maka aku akan kembali dari hal itu”. Beliau rohimahulloh berpaling dari menggunakan sebagian lafadz-lafadz yang terkenal, seperti tahrif, tasybih dan selain keduanya; karena lafadz-lafadz tersebut tidak disebutkan di dalam al-Kitab dan as-Sunnah. Walaupun kadang-kadang yang dimaksudkan dengan lafadz tersebut merupakan makna yang sahih.
Dengan sedikit dan ringkasnya akidah yang berkah ini, ia telah mencakup dari kebanyakan masalah aqidah dan usul iman, serta telah disertakan di dalam kitab ini tentang jalan yang ditempuh ahlu sunnah wal jama’ah di dalam amasalah amal dan akhlaq.
Kitab aqidah ini telah diterima oleh ahli ilmu sejak dulu dan juga sekarang. Para ulama memuji kitab ini dan menyebutkannya dengan kebaikan. Adz-Dzahabi rohimahulloh di dalam perkataannya tentang risalah ini : “Telah terjadi kesepakatan bahwa kitab ini berisi aqidah salafiy yang sangan bagus”. Ibnu Rojab rohimahulloh berkata : “Telah terjadi kesepakatan bahwa kitab ini berisi aqidah suniyyah salafiyah”. Syaikh Abdurrohman As-Si’di rohimanulloh berkata tentang kitab ini : “Kitab ini dengan singkat dan jelasnya telah mengumpulkan segala sesuatu yang wajib diyakini di dalam usul iman dan keyakinan-keyakinannya yang sahih”.
(Bersambung…., insya Alloh)

Kritik dan saran atau tambahan faidah akan sangat membantu kami dalam menyongsong hari ‘esok’, insya Alloh Ta’ala.

[1] Al-Masail Al-Mardiyyah. Lihat pula Syarhu Al-Washithiyah, Shalih Alu Syaikh.


[2] Lihat Syarhu Al-Aqidah Al-Washithiyah, Syaikh Kholid bin Abdulloh Al-Mushlih.

(Bagian 2)

قال المصنف : بسم الله الرحمن الرحيم
Penulis berkata : “Dengan Nama Alloh Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang“.

Pertama : Mengapa Diawali Dengan Bismilah ?

Penulis rohimahulloh memualai risalah yang berkah ini dengan bismillah sebagaimana tulisan-tulisan ahli ilmu. Demikian itu disebabkan beberapa alasan :

Mengikuti kitabulloh; Karena ayat  pertama yang kita dapatkan dalam al Qur’an adalah ayat (بسم الله الرحمن الرحيم)
Mengikuti petunjuk nabi sholallohu ‘alaihi wa sallam di dalam tulisan dan suratnya. Seperti surat beliau kepada Hiroql pembesar negri Romawi, sebagimana datang penyebutannya di dalam hadits Abi Sufyan rodiyallohu’anhu di awal kitab Sahih Bukhori (No. 7).
Ibnu Hajar rohimahulloh berkata : “Merupakan kebiasaa para Imam yang menulis kitab memulai kitab-kitab ilmu dengan bismillah, demikian pula untuk sebagian besar kitab-kitab rosai“l.
Bertabarruk dengannya.
Peringatan :

Adapun haditas “Setiap urusan penting yang tidak dimulai dengan ببسمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ maka terputus”. Dikeluarkan oleh Al-Khotib Al-Baghdadi  di dalam (Al-Jami’ li Adabi Ar-Rowi wa As-Sima’ 2\128), Ibnu Sam’ani di dalam (Adabul Imla 1\283), Abdul Qodir Ar-Ruhawi di dalam (Al-Arba’in), As-Subky di dalam (Thobaqot As-Syafi’iyyah 1\6).

Ia merupakan hadits yang dlho’if wahin. Oleh karenanya lebih dari seorang ulama yang telah memastikan tentang kelemahannya, diantaranya : Al-Hafidz Ibnu Hajar, As-Syakhowi, dan yang lainnya [1].

Kedua : Kesepakatan Ulama

Para ulama sepakat bahwa bismillah merupakan bagian dari surat  An- Naml ayat : 30.
Mereka sepakat pula untuk tidak mencantumkannya pada awal surat baro-ah, karena surat baro-ah dengan surat Al anfal dianggap\seakan-akan dijadikan satu surat.
Ketiga : Ikhtilaf Ulama Tentang Bismillah

Ulama berbeda pendapat Tentang bismillah; apakah ia merupakan ayat dari setiap surat yang surat-surat tersebut dibuka dengannya ? atau ayat tersendiri yang diturunkan untuk memisahkan antara surat-surat dan tabarruk memulai dengannya ?. Dari pendapat-pendapat tersebut yang terpilih adalah pendapat yang kedua[2].

Keempat : Apakah Bismillah Merupakan Bagian Dari Surat Fatihah?

Dalam masalah ini telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama; Pendapat pertama : Ia merupakan ayat pertama dari surat Fatihah dan dibaca dengan keras tatkala dalam sholat jahriyyah. Selain itu merekapun berpendapat tidak sah-nya (sholat –pen) kecuali dengan membaca bismillah. Pendapat kedua : Mereka yang berpendapat bahwa ia bukanlah termasuk ayat dari surat Al Fatihah, akan tetapi merupakan ayat yang terpisah dari kitab Alloh.

Kelima : Apakah Bismillah Merupakan Kalimat Yang Sempurna ? Bismillah merupakan kalimat yang sempurna : Bisa jumlah fi’liyyah menurut pendapat yang paling kuat atau-pun jumlah ismiyyah.

Ahli nahwu dan ahli bahasa telah berbeda pendapat dalam menentukan sesuatu yang berkaitan dengan bismillah. Huruf ‘ba’ dalam bismillah li-isti’anah dan ia berkaitan dengan sesuatu yang mahdzuf, sebagian mereka menentukan bahwa taqdir-nya adalah fi’il (kata kerja) dan sebagian yang lain menentukan taqdir-nya adalah isim (kata benda); Dua pendapat ini berdekatan karena semua itu ada dalam Al Qur’an; Alloh U  berfirman : ( اقرباسم ربك ) “Dengan menyebut nama Robb-mu” (Surat Al‘alaq) dan Alloh U -pun berfirman : (بسم الله مجريها) “Dengan menyebut nama Alloh ketika berlayar” (Surat Hud : 41).

Pendapat yang paling benar dalam masalah ini adalah : bahwasanya huruf  ‘ba’ dalam bismilah berkaitan dengan fi’il (kata kerja) yang dibuang dan diakhirkan sesuai dengan keperluan; (Sebagai contoh-pen), apabila engkau hendak makan maka taqdir-nya : بسم الله آكل “Dengan menyebut nama Alloh aku makan”; apabila engkau akan membaca maka taqdir-nya : بسم الله أقرأ  “Dengan nama Alloh aku membaca”.

Sedangkan alasan kita mentaqdirkannya diakhirkan untuk dua faidah :

Al Hasr, karena mendahulukan ma’mul berfaidah Al Hasr (yakni membatasi), maka jadilah بسم الله أقرأ itu menempati kedudukan : لا أقرأ إلا باسم الله  maknanya : “Tidaklah aku membaca kecuali dengan nama Alloh”.
Memulai dengan nama Alloh itu merupakan bentuk tayamunan (tabarruk).
Alasan kita mentaqdirkannya khusus; Karena kata kerja yang khusus itu lebih menunjukkan pada maksud daripada kata kerja umum; walaupun dari suatu yang memungkinkan bagi  kita untuk mentaqdirkannya ” بسم الله أبتدئDengan nama Alloh aku memulai”, tetapi بسم الله أبتدئ tidaklah menunjukkan pada tertentunya maksud/tujuan; sedangkan  بسم الله أقرأ itu khusus; yakni lebih menunjukkan pada makna daripada kata kerja yang masih umum.

Faidah : Adapun Syaikhul Islam berpendapat bahwa yang dibuang itu adalah isim yang diakhirkan. Demikian diungkapkan oleh Syaikh Kholid Al-Mushlih dalam syarah al-Washithiyah (rekaman).

Keenam : Arti Isim

Isim secara bahasa adalah : Sesuatu yang menunjukkan pada yang dinamai, adapun menurut para ahli nahwu (tata bahasa) adalah : Suatu kata yang menunjukkan pada maknanya dengan sendirinyan dan tidak berkaitan dengan zaman (masa). Dikatakan pula bahwa isim adalah suatu kata yang memberitahukan tentang yang dinamai, fi’il suatu kata yang memberitahukan tentang gerak dari sesuatu yang dinamai dan huruf adalah sesuatu yang memberitahukan makna yang bukan isim ataupun fi’il.

Ketujuh : Isim jalalah (Yakni nama الله)[3]

Ada yang berpendapat bahwa (lafadz الله) merupakan isim jamid, yakni bukanlah mustaq, yang benar bahwasanya (lafadz الله ) adalah mustaq.

Ibnul Qoyyim membicarakannya di dalam “Nuniyah” tentang lafdzul jalalah (Alloh), apakah ia jamid ataukah musytaq ? Beliau berkata : Yang benar ia mustaq, ini merupakan madzhab ahlu sunnah wal jama’ah mengenai lafdzul jalalah dan yang lainnya dari nama-nama Alloh.

Demikian sebagaimana firman Alloh U : ((  وهو الله في السمواة و في الأرض يعلم سركم وجهركم)) [surat Al An ‘am : 3]; Maka sesungguhnya ((قي السمواة )) berkaitan dengan lafadz jalalah, maknanya : “Dia-lah (Alloh)  yang disembah dilangit dan dibumi”.

Adapun ahli bid’ah mereka berpendapat bahwa Ismul jalalah (Alloh) jamid dan sababul qaul, sehingga mereka tidak memustaqkan sifat darinya.

Ulama berbeda pendapat permulaan mustaq­nya;

Dikatakan : أله – يأله – ألوهة وإلاهة و ألوهية  yang maknanya : عبد – عبادة .
Dikatakan pula : أله – بكسر الام – يأله – بفتحها – ألها  ini jika bingung, kacau pikirannya.
Yang benar dari dua pendapat di atas adalah yang pertama yaitu إله  yang bermakna : مألوه  yaitu معبود  (yang disembah); Oleh karenanya berkata Ibnu Abbas rodiyallohu ‘anhuma : “Alloh adalah pemilik ketuhanan dan peribadahan atas seluruh hamba-hambanya”.

Faidah[4] : Lafadz “Alloh” tidaklah dimutlakan kecuali pada pencipta langit dan bumi, berbeda dengan lafadz “illah”, karena lafadz “ilah” dimutlakan penyebutanya kepada yang diibadahi dengan benar dan juga kepada kepada sesuatu yang diibadahi dengan bathil. Oleh karenanya perkataan “Lailahailalloh” adalah laa ma’buda bi haqqin illalloh (tidak ada yang diiabadahi dengan benar kecuali Alloh). Jadi lafadz “illah” dimutlakan atas seluruh yang disembah, baik hak atau pun bathil.

Kedelapan : الرحمن الرحيم

الرحمن الرحيم” Ia adalah dua nama diantara nama-nama Alloh yang maha mulia yang berada pada puncak keindahan; Kedua-duanya menunjukkan atas sifat-Nya yaitu arrohmah, ia adalah sifat yang hakiki bagi Alloh Ta’ala, sesuai dengan kemaha mulian-Nya. Dan sebagai peringatan, bahwa tidak boleh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan rohmah itu adalah lawazimnya (keharusannya) seperti kehendak untuk ihsan (berbuat baik) ataupun yang semisal dengannya; sebagaimana dikatakan oleh mu’athilah; Akan datang penjelasannya, insya Alloh.

الرحمن” maknanya : Pemilik rahmat yang luas, karena ia mengikuti wajan (timbangan) فعلان , sedangkan timbangan tersebut dalam bahasa arab menunjukkan pada luas dan penuh; Sebagaimana dikatakan : رجل غضبان            jika keadaan marahnya itu berada pada puncaknya.

الرحيم” adalah nama yang menunjukan kepada perbuatan, karena ia fa’iil bernakna faa’il ia adalah yang menunjukan kepada perbuatan.

Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berpendapat bahwa [الرحمن] menunjukkan atas sifat yang ada pada Dzat Ta’ala. Adapun [الرحيم] adalah menunjukkan pada keterkaitannya dengan yang dirahmati; Oleh karenanya tidaklah terdapat di dalam Al-Qur’an nama Ar-rohman dalam kedaan muta’adi; Alloh Ta’ala berfirman : (( وكان الله بالمؤمنين رحيما )) [Al Ahzab : 43]. Dan tidaklah dikatakan “ رحمانا ”. Inilah sebaik-baik pendapat yang dikatakan dalam masalah perbedaan antara keduanya.

[1] Lihat pula Irwaul Gholil 1\  , Al-Muhadits Al-Albani Rohimahulloh.

[2] Syarhu Al-Washithiyah, Syaikh Holil Harros. Syaikh Abdurrozaq ‘Afifiy rohimahulloh berkata : “Ia merupakan syarah yang paling baik, paling mudah dan yang paling ringkas ungkapannya”.

[3] Dikatakan bahwa lafadz الله merupakan a’rofu lma’arif ‘alal ithlaq (Suatu nama yang paling diketahui disemua tempat dan waktu; sehingga ketika disebutkan nama الله maka pikiran-pun mengerti tentang siapakah Dia; Dia-lah Alloh Rabb semesta Alam; Pencipta, Pengatur Alam Semesta, Pemberi Rizki; Serta Dia-lah yang berhaq di sembah –pen)

Dikatakan pula lafadz الله  merupakan ismun ‘a-dzom. (Lihat Sarah Qowa’idul Arba’ karya Arrodadi,  Sarah Kasyfu Syubhat karya Abu Ubaidah Al Misroti dan yang lainnya).

[4] Syarhu At-Tadmuriyah, Syaikh Aman Al-Jami’. (www. sahab.org).