Saturday, April 29, 2017

Riwayat-Riwayat Shahih (Valid) Tentang Wafatnya Nabi Shallallaahu ’Alaihi Wasallam. Membantah Syubuhaat Syi’ah Tidak Wafat Di Pangkuan ’Aisyah. Tidak Ada Penyebutan Kalimah “Ummati, Ummati, Ummati”.

Riwayat-Riwayat Shahih tentang Wafatnya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam

Oleh Abu Al-Jauzaa'
Prolog : Artikel berikut merupakan paparan kisah seputar hari-hari wafatnya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam yang diambil dari riwayat-riwayat yang valid. Seleksi validitas riwayat dinukil dari telaahan Prof. Dr. Akram Dliyaa’ Al-’Umari hafidhahullah dalam bukunya : As-Siirah An-Nabawiyyah Ash-Shahiihah : Muhaawalatun li-Tathbiiqi Qawaaidil-Muhadditsiin fii Naqdi Riwaayaati As-Siirah An-Nabawiyyah. Di akhir pembahasan kami lengkapi dengan penjelasan Mamduh Farhan Al-Buhairi mengenai syubuhaat Syi’ah yang mengklaim bahwa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam tidak wafat di pangkuan ’Aisyah, tapi di pangkuan ’Ali bin Abi Thalib.
Sekitar tiga bulan sepulang menunaikan haji wada’, beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menderita sakit yang cukup serius.[1] Beliau pertama kali mengeluhkan sakitnya di rumah Ummul-Mukminin Maimunah radliyallaahu ’anhaa[2]. Beliau sakit selama 10 hari,[3] dan akhirnya wafat pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul-Awwal[4] pada usia 63 tahun.[5] Dan telah shahih (satu riwayat yang menyatakan) bahwa sakit beliau tersebut telah dirasakan semenjak tahun ketujuh pasca penaklukan Khaibar, yaitu setelah beliau mencicipi sepotong daging panggang yang telah dibubuhi racun yang disuguhkan oleh istri Sallaam bin Masykam Al-Yahudiyyah. Walaupun beliau sudah memuntahkannya dan tidak sampai menelannya, namun pengaruh racun tersebut masih tersisa.[6] Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam meminta ijin kepada istri-istrinya agar diperbolehkan untuk dirawat di rumah ’Aisyah Ummul-Mukminiin.[7] Ia (’Aisyah) mengusap-usapkankan tangan beliau pada badan beliau sambil membacakan surat Al-Mu’awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas).[8]

Ketika beliau shallallaahu ’alaihi wasallam dalam keadaan kritis, beliau berkata kepada para shahabat :

هلموا أكتب لكم كتابًَا لا تضلوا بعده

”Kemarilah, aku ingin menulis untuk kalian yang dengan itu kalian tidak akan tersesat setelahnya”.

Terjadi perselisihan di antara mereka. Sebagian berkeinginan memberikan alat-alat tulis (sebagaimana permintaan beliau), sebagian yang lain tidak setuju karena khawatir hal itu justru akan memberatkan beliau. Belakangan menjadi jelas bahwa perintah untuk menghadirkan alat tulis itu bukan merupakan hal yang wajib, namun merupakan sebuah pilihan. Ketika mendengar ’Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ’anhu mengatakan : (حسبنا كتاب الله) ”Kami telah cukup dengan Kitabullah”; maka beliau tidak mengulangi permintaannya tersebut. Seandainya hal itu merupakan satu kewajiban, tentu beliau akan menyampaikannya dalam bentuk pesan. Sebagaimana pada saat itu beliau berpesan secara langsung kepada mereka agar mengeluarkan orang-orang musyrik dari Jazirah ’Arab dan agar memuliakan rombongan delegasi yang datang ke Madinah.[9] Sebuah riwayat shahih menyebutkan bahwa beliau meminta alat tulis tersebut pada hari Kamis, 4 hari sebelum beliau wafat. «Seandainya permintaan tersebut wajib, niscaya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam tidak akan meninggalkannya karena adanya perselisihan para shahabat pada waktu waktu itu. Beliau tidak mungkin meninggalkan tabligh (atas risalah) meskipun ada yang menyelisihi. Para shahabat sudah biasa mengkonfirmasi kepada beliau dalam beberapa perkara yang ada perintah secara pasti».

Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam memanggil Fathimah radliyallaahu ’anhaa yang kemudian membisikinya yang dengan itu kemudian Fathimah menangis. Beliau memanggil kembali dan membisikinya yang dengan itu kemudian Fathimah tersenyum. Setelah wafat, Fathimah menjelaskan bahwa ia menangis karena dibisiki bahwa beliau akan wafat, dan ia tersenyum karena dibisiki bahwa ia merupakan anggota keluarganya yang pertama yang akan menyusul beliau.[10] Dan salah satu tanda nubuwwah tersebut akhirnya terbukti.

Sakit yang beliau derita semakin bertambah berat sehingga beliau tidak sanggup keluar untuk shalat bersama para shahabat. Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :

مروا أبا بكر فليصل بالناس

”Suruhlah Abu Bakr agar shalat mengimami manusia”.

’Aisyah berusaha agar beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menunjuk orang lain saja karena khawatir orang-orang akan berprasangka yang bukan-bukan kepada ayahnya (Abu Bakr). ’Aisyah berkata :

إن أبا بكر رجل رقيق ضعيف الصوت كثير البكاء إذا قرأ القرآن

”Sesungguhnya Abu Bakr itu seorang laki-laki yang fisiknya lemah, suaranya pelan, mudah menangis ketika membaca Al-Qur’an”.[11]

Namun beliau tetap bersikeras dengan perintahnya tersebut. Akhirnya Abu Bakr maju menjadi imam shalat bagi para shahabat.[12] Pada satu hari, Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam keluar dengan dipapah oleh Ibnu ’Abbas dan ’Ali radliyallaahu ’anhuma untuk shalat bersama para shahabat, dan kemudian beliau berkhutbah. Beliau memuji-muji serta menjelaskan keutamaan Abu Bakr radliyallaahu ’anhu dalam khutbahnya tersebut dimana ia (Abu Bakr) disuruh memilih oleh Allah antara dunia dan kahirat, namun ia memilih akhirat.[13]

Khutbah terakhir yang beliau sampaikan tersebut adalah 5 hari sebelum wafat beliau. Beliau berkata di dalamnya :

إن عبدًا عرضت عليه الدنيا وزينتها فاختار الآخرة

”Sesungguhnya ada seorang hamba yang ditawari dunia dan perhiasannya, namun justru ia memilih akhirat”.

Abu Bakr paham bahwa yang dimaksud adalah dirinya. Ia pun menangis. Melihat hal tersebut, orang-orang merasa heran karena mereka tidak paham apa yang dirasakan oleh Abu Bakr.[14]

Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam membuka tabir kamar ’Aisyah pada waktu shalat Shubuh, hari dimana beliau wafat, dan kemudian beliau memandang kepada para shahabat yang sedang berada pada shaf-shaf shalat. Kemudian beliau tersenyum dan tertawa kecil seakan-akan sedang berpamitan kepada mereka. Para shahabat merasa sangat gembira dengan keluar beliau tersebut. Abu Bakr pun mundur karena mengira bahwa Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ingin shalat bersama mereka. Namun beliau memberikan isyarat kepada mereka dengan tangannya agar menyelesaikan shalat mereka. Beliau kemudian kembali masuk kamar sambil menutup tabir.

Fathimah masuk menemui beliau shallallaahu ’alaihi wasallam dan berkata : ”Alangkah berat penderitaan ayah”. Maka beliau menjawab :

ليس على أبيك كرب بعد اليوم

”Setelah hari ini, tidak akan ada lagi penderitaan”.[15]

Usamah bin Zaid masuk, dan beliau memanggilnya dengan isyarat. Beliau sudah tidak sanggup lagi berbicara dikarenakan sakitnya yang semakin berat.[16]

Pada saat-saat menjelang ajal, beliau bersandar di dada ’Aisyah. ’Aisyah mengambil siwak pemberian dari saudaranya yang bernama ’Abdurrahman. Ia lalu menggigit siwak tersebut dengan giginya dan kemudian memberikannya kepada beliau shallallaahu ’alaihi wasallam. Beliaupun lantas bersiwak dengannya.[17]

Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam kemudian memasukkan tangannya ke dalam bejana yang berisi air dan membasuh mukanya. Beliau pun bersabda :

لا إله إلا الله إن للموت سكرات

”Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah. Sesungguhnya pada setiap kematian itu ada saat-saat sekarat”.[18]

Dan ’Aisyah samar-samar masih sempat mendengar sabda beliau :

مع الذين أنعم الله عليهم

”Bersama orang-orang yang dikaruniai nikmat oleh Allah”.[19]

Lalu beliau pun berdoa :

اللهم في الرفيق الأعلى

”Ya Allah, pertemukan aku dengan Ar-Rafiiqul-A’laa (Allah)”.

’Aisyah mengetahui bahwasannya beliau pada saat itu disuruh memilih, dan beliau pun memilih Ar-Rafiiqul-A’laa (Allah).[20]

Akhirnya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam pun wafat pada waktu Dluhaa  - dan ada yang mengatakan pada waktu tergelincirnya matahari - sedangkan kepala beliau di pangkuan ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa. Abu Bakr radliyallaahu ’anhu segera masuk, dimana ketika wafatnya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam ia tidak berada di tempat. Ia membuka penutup wajah beliau, dan kemudian ia menutupnya kembali dan menciumnya. Ia pun keluar menemui orang-orang. Pada waktu itu, orang-orang berada dalam keadaan percaya dan tidak percaya atas khabar wafatnya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam. ’Umar radliyallaahu ’anhu termasuk orang yang tidak percaya atas berita wafatnya beliau tersebut. Orang-orang pun kemudian berkumpul menemui Abu Bakr. Ia (Abu Bakr) pun kemudian berkata :

أما بعد، من كان منكم يعبد محمدًا فإن محمدًا قد مات، ومن كان منكم يعبد الله فإن الله حي لا يموت. قال الله : (وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ)

”Amma ba’du, barangsiapa di antara kalian yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad saat ini telah mati. Dan barangsiapa di antara kalian yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah itu Maha Hidup dan tidak akan pernah mati. Allah telah berfirman : ”Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur” (QS. Aali ’Imraan : 144)”.

(Mendengar itu), maka para shahabat pun merasa tenang. Sementara itu, ’Umar radliyallaahu ’anhu duduk di tanah tidak sanggup berdiri. Seakan-akan mereka belum pernah mendengar ayat tersebut melainkan pada saat itu saja.[21]

Fathimah radliyallaahu ’anhaa berkata :

يا أبتاه أجاب ربًا دعاه.

يا أبتاه من جنة الفردوس مأواه.

يا أبتاه إلى جبريل ننعاه.

”Wahai ayah, Rabb telah memenuhi doamu

 Wahai ayah, surga Firdaus tempat kembalimu

Wahai ayah, kepada Jibril kami mengkhabarkan atas kewafatanmu”.[22]

Semoga Allah melimpahkan shalawat, salam, barakah, dan nikmat kepada Nabi-Nya, keluarganya, dan para shahabatnya.

Dan akhir seruan/doa kami adalah alhamdulillaahi rabbil-’aalamiin.

[selesai – diambil dari kitab As-Siirah An-Nabawiyyah Ash-Shahiihah oleh Prof. Dr. Akram Dliyaa’ Al-’Umariy, 2/553-556; Maktabah Al-’Ulum wal-Hikam, Cet. 6/1415, Madinah Munawarah].

Saya tambahi keterangan Mamduh Farhan Al-Buhairiy[23] tentang bantahan terhadap syubhat Syi’ah yang mengingkari riwayat wafatnya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam di dada ’Aisyah, dimana mereka mendasarkan pengingkaran mereka dengan riwayat-riwayat yang tidak valid.

1.Hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’d dengan sanad sampai ’Ali radliyallaahu ’anhu, ia berkata :

((أُدْعُوا لِي أَخِي))، فَأَتَيتُهُ، فَقَالَ : ((أَدْنُ مِنِّي))، فَدَنَوْتُ  مِنْهُ، فَاسْتَنَدَ إِلَيَّ فَلَمْ يَزَلْ مُسْتَنِدًا إِلَيَّ، وَإِنَّهُ لَيُكَلِّمُنِيْ حَتَّى إِنَّ رِيْقَهُ لَيُصِيْبُنِيْ

”Panggilkan untukku saudaraku !”. Maka akupun mendatangi beliau, lalu beliau bersabda : ”Mendekatlah kepadaku !”. Maka akupun mendekat kepada beliau, kemudian beliau bersandar kepadaku dan tidak henti-hentinya beliau bersandar kepadaku, dan beliau berbicara kepadaku hingga air ludah beliau mengenaiku”.

Ini adalah hadits haalik (rusak) sangat dla’if, dikarenakan Ibnu Sa’d meriwayatkannya dari Muhammad bin ’Umar Al-Waqidiy. Dia adalah pendusta.

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata : ”Dia adalah pendusta, dia membolak-balik hadits”. Ibnu Ma’in rahimahullah berkata : ”Dia bukan termasuk orang yang tsiqah, haditsnya tidak ditulis”. Al-Bukhari dan Abu Hatim berkata : ”Matruk (haditsnya ditinggalkan)”. Abu Hatim dan An-Nasa’i juga berkata : ”Haditsnya diletakkan” [Al-Miizaan, 3/662].

2.Juga hadits ’Ali radliyallaahu ’anhu yang lain :

عَلِّمَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلْفَ بَابٍ كُلُّ بَابٍ يَفْتَحُ أَلْفَ بَابٍ.

”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam mengajari aku seribu bab, setiap bab membuka seribu bab”.

Ini adalah hadits maudlu’ (palsu), sebab ’Imran bin Haitsam adalah pendusta. Seandainya saja kita menyerah tidak mendebat keshahihan hadits ini, maka tidak ada di dalamnya hal yang menunjukkan bahwa pengajaran ini pada saat-saat kematian beliau shallallaahu ’alaihi wasallam, bahkan tidak masuk akal semua itu bisa dilakukan pada saat-saat seperti itu.

3.Hadits Jaabir bin ’Abdillah radliyallaahu ’anhu, bahwasannya Ka’b Al-Ahbar bertanya kepada ’Umar radliyallaahu ’anhu seraya berkata :

مَا آخِرُ مَا تَكَلَّمَ بِهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَقَالَ عُمَرُ : سَلْ عَلِيًا.....

”Apa yang terakhir kali dibicarakan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasalam ?”. Maka ’Umar menjawab : ”Tanyalah kepada ’Ali....”.

Hadits ini adalah dla’if (lemah) yang tidak boleh ditoleh, karena di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin ’Umar Al-Waqidi. Dia dalah matrukul-hadiits (haditsnya ditinggalkan) sebagaimana telah lalu perinciannya [Al-Miizaan, 3/662]. Juga di dalamnya terdapat Haram bin ’Utsman Al-Anshariy, dia juga matruk. Al-Imam Malik dan Yahya berkata : ”Dia tidak tsiqah”. Al-Imam Ahmad berkata : ”Manusia meninggalkan haditsnya”. Al-Imam Asy-Syafi’iy dan Yahya bin Ma’in berkata : ”Riwayat dari Haram hukumnya haram”. Ibnu Hibban berkata : ”Dia keterlaluan dalam memihak Syi’ah, membolak-balik sanad, dan membuat yang mursal menjadi marfu’ [Al-Miizaan, 1/468].

4.Hadits :

قِيْلَ لِابْنِ عَبَّاسٍ : أَرَأَيْتَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُوْفِيَ وَرَأْسُهُ فِي حِجْرِ أَحَدٍ؟ قَالَ : نَعَمْ، تُوْفِيَ وَإِنَّهُ لَمُسْتَنِدٌ إِلَى صَدْرِ عَلِيّ

Dikatakan kepada Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma : ”Apakah engkau melihat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat dan kepala beliau di pangkuan seseorang ?”. Maka ia menjawab : ”Ya, beliau wafat dan beliau bersandar di dada ’Ali....”.

Hadits ini adalah dla’if (lemah). Karena di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin ’Umar Al-Waqidiy, dia adalah matrukul-hadits sebagaimana penjelasan sebelumya. Di dalam sanadnya juga terdapat orang yang bernama Sulaiman bin Dawud bin Al-Hushain, dari Abu Ghatfal, dia majhul tidak diketahui keadaannya.

5.Hadits ’Ali bin Al-Husain :

قُبِضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَرَأْسُهُ فِي حِجْرِ عَلِيٍّ.

”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat sementara kepala beliau di pangkuan ’Ali”.

Hadits ini dla’if, karena di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin ’Umar Al-Waqidiy. Dia matrukul-hadiits. Di samping itu, sanadnya terputus.

6. Hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’d dengan sanadnya kepada Asy’Sya’biy, ia berkata :

تُوْفِيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَأْسُهُ فِي حُجْرِ عَلِيٍّ.

”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat sementara kepala beliau ada di pangkuan ’Ali”.

Dalam sanad hadits ini terdapat Muhammad bin ’Umar Al-Waqidiy yang dia ini matruk. Selain itu, dalam sanadnya terdapat Abul-Huwairits yang namanya adalah ’Abdurrahman bin Mu’awiyyah. Ibnu Ma’in dan yang lainnya berkata : ”Tidak bisa dijadikan hujjah”. Al-Imam Malik dan An-Nasa’i berkata : ”Dia tidak tsiqah” [Al-Miizaan, 2/591].

7.Hadits Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata :

كَانَ عَلِيٌّ لَأَقْرَبُ النَّاسِ عَهدًا بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.....

“’Ali adalah benar-benar manusia yang paling dekat masanya dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”.

Hadits ini shahih, namun sama sekali tidak menafikkan hadits ‘Aisyah bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam wafat di dadanya, bahkan hadits ‘Aisyah lebih shahih dari hadits Ummu Salamah. Para ulama ahli hadits telah menggabungkan dan mengkompromikan antara hadits Ummu Salamah dengan hadits ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhuma.

Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul-Baariy (12/255) : “Mungkin bisa dikompromikan bahwa ‘Ali adalah orang yang paling akhir masanya dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dia tidak meninggalkan beliau hingga kepala beliau condong. Saat itu dia menyangka bahwa beliau telah wafat. Maka dia adalah orang yang paling akhir bertemu dengan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam. Kemudian beliau siuman, dan dia sudah pergi. Setelah itu ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa menyandarkan beliau di dadanya, kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam wafat”.

8.Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr dari ‘Ali radliyallaahu ’anhum, ia berkata :

“Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepadaku seribu bab, pada setiap bab dibukakan untuknya seribu bab”.

Hadits ini adalah dla’if, di dalam sanadnya terdapat Kaamil bin Thalhah. Para ulama ahli hadits berselisih tentangnya. Al-Imam Ahmad dan Ad-Daruquthni menyatakan tsiqah, namun Yahya bin Ma’in berkata : “Tidak bernilai apa-apa” [Al-Miizaan, 3/400].

Di dalam sanadnya juga terdapat ‘Abdullah bin Lahi’ah. Ibnu Ma’in berkata : “Dia lemah, tidak bisa dijadikan hujjah”. Yahya bin sa’id sama sekali tidak menganggapnya sama sekali. Abu Zur’ah berkata : ”Dia bukan termasuk orang yang bisa dijadikan hujjah dengan haditsnya”. An-Nasa’i berkata : ”Dia lemah”. Al-Jauzajani berkata : ”Tidak ada cahaya pada haditsnya, tidak layak berhujjah dengannya”. Al-Bukhari berkata dalam kitab Adl-Dlu’afaa’ saat menyebut Ibnu Lahi’ah dengan mengomentari hadits yang diriwayatkannya : ”Ini adalah munkar”.

Di dalam sanadnya juga terdapat Huyay bin ’Abdillah Al-Maghafiriy. Ibnu ’Adiy berkata : ”Ibnu Lahi’ah memiliki sekian belas hadits yang umumnya munkar. Diantaranya hadits : ”Beliau mengajarkan kepadaku seribu bab, pada setiap bab dibukakan untuknya seribu bab” [Al-Miizaan, 1/623].

Adapun orang yang tanpa ilmu menginginkan untuk menjadikan hadits-hadits lemah lebih kuat sanadnya, maka itu adalah murni disebabkan hawa nafsu. Tentang hadits-hadits tersebut, Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata : ”Hadits ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa menceritakan bahwa beliau shallallaahu ’alaihi wasallam wafat di antara dada dan lehernya; membantah apa yang diriwayatkan Al-Haakim dan Ibnu Sa’d dari berbagai jalur yang menceritakan bahwa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam wafat sementara kepala beliau ada di pangkuan ’Ali radliyallaahu ’anhu. Seluruh jalan hadits tersebut tidak luput dari orang Syi’ah. Maka tidak layak dilirik sama sekali” [Fathul-Baariy, 8/139].

Abul-Jauzaa’ – 4 Shaffar 1430, di Ciomas Permai.
[1]    Ibnu Katsir berkata bahwa wafatnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah 81 hari setelah pelaksanaan hari haji akbar [Al-Bidaayah wan-Nihaayah, 5/101].
[2] Ibnu Hajar berkata bahwa itu merupakan pendapat yang mu’tamad. Ada beberapa riwayat lain yang bertolak-belakang yang menyatakan bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam pertama kali mengeluhkan sakitnya di rumah Zainab binti Jahsy atau Raihaanah [Fathul-Baariy, 8/129].
[3]Sulaiman At-Taimiy memastikan pendapat ini. Riwayat ini dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad shahih. Dan menurut pendapat kebanyakan ulama, bahwasannya beliau jatuh sakit selama 13 hari [Fathul-Baariy, 8/129].
[4]Al-Haafidh berpegang pada pendapat/perkataan Abu Mikhnaf bahwasannya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam wafat pada tanggal 2 Rabi’ul-Awwal. Tambahan angka 1 di depan angka 2 sehingga menjadi 12 merupakan kesalahan [Fathul-Baariy, 8/130].
[5]Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/150).
[6]Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/131).
[7]Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/141) dan Musnad Ahmad (Fathur-Rabbaaniy 21/226) dengan sanad shahih.
[8]Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/131).
[9]Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/132).
[10]Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 1/208). Lihat makna-makna yang lain dalam A’laamul-Hadiits oleh Al-Khaththaabiy.
[11]Siirah Ibni Hisyaam, 4/330 dengan sanad shahih; dan Al-Bidaayah wan-Nihaayah oleh Ibnu Katsir, 5/233.
[12]  Lihat Al-Bidaayah wan-Nihaayah oleh Ibnu Katsir, 5/232-233.
[13]Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy 8/141). Lihat Musnad Ahmad (Fathur-Rabbaaniy 21/231I; dan Al-Bidayah wan-Nihaayah oleh Ibnu Katsir, 5/229-230.
[14]  Musnad Ahmad (Fathur-Rabbaaniy, 21/222 berikut catatan pinggir/hasyiyah no. 3); dan Tirkatun-Nabiy (ق.أ.ب) dengan sanad dimana rijalnya adalah tsiqah, namun mursal.
[15]Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/149).
[16]Sirah Ibni Hisyaam, 4/329 dengan sanad shahih.
[17]Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/139).
[18]Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/144).
[19]Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/136).
[20]Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/136); dan Siirah Ibni Hisyaam, 4/329 dengan sanad shahih.
[21]Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/145).
[22]Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/149).
[23]Qiblati, edisi 10, Thn. II – Juli 2007 M/Jumadats-Tsaniyyah 1428 M, hal. 28-30.
COMMENTS

Anonim mengatakan...
Ya Abal Jauzaa', mengenai mamduh bagaimana manhajnya? apa ada rekomendasi dari ulama ahlus-sunnah tentang beliau?
setau ana telah ada beberapa komentar dari para ulama tentang beliau ini; bahkan salah satu ustadz kabiir salafiyyin (bukan LJ) memperingatkan ana darinya.
bagaimana ustadz?
21 Agustus 2010 14.30
Anonim mengatakan...
ustadz, bagaimana dengan hadits riwayat bukhari dalam adabul mufrad bab 'menjadi tuan yg baik' yang mengatakan ali ra yang terakhir dekat nabi saw?
19 Februari 2013 07.35
Anonim mengatakan...
Terjadi perselisihan di antara mereka (para sahabat Nabi saw.). Sebagian ingin memberikan alat2 tulis (sebagaimana permintaan Nabi), sebagian yang lain tidak setuju "karena khawatir hal itu justru akan memberatkan beliau".
Tidak saya temukan adanya riwayat bhw ketidaksetujuan sebagian Sahabat utk diambilkan alat tulis bagi Nabi saw. adalah karena "mereka khawatir itu akan memberatkan Nabi saw." Demi Allah, yg saya temukan dlm periwayatan hadis: bhw di antara mereka yg menolak diambilkan alat tulis itu menyatakan bhw Nabi Muhammad saw. "hajara/yahjur" (meracau/mengigau/bicara tidak karuan).
Alasan "mereka khawatir diambilkannya alat tulis akan memberatkan Nabi saw." adalah alasan apologia utk memberi pembenaran atas perbuatan tidak taat kpd Nabi Muhammad saw. dan juga alasan yg dibuat-buat utk mengalihkan perhatian dari suatu perilaku berbicara yg nyata munkar yaitu mengatakan Nabi Muhammad saw. sbg hajara/yahjur (mengigau).
Dalam keadaan terbaring sakit, Nabi saw. masih berpikir utk memberi petunjuk (dgn menuliskan pesan) agar umatnya tidak sesat sepeninggal beliau. Beliau hanya meminta sesuatu yg sangat ringan: ambilkan alat tulis. Ajaibnya, ada di antara Sahabat yg menilai ucapan Nabi saw itu adalah ucapan yg keluar karena mengigau.
Tidakkah kita bisa melihat bhw pernyataan orang tsb hanya dalih utk tidak mau mematuhi Nabi Muhammad saw.?
Saya jadi teringat kisah ketika Nabi Musa a.s. memerintahkan Bani Israil utk menyembelih sapi. Titik. Lalu, tidakkah kita bisa melihat bhw Bani Israil cari2 alasan utk tidak melaksanakannya?
Sungguh benar sabda Nabi saw.: Latattabi'unna sunana man kana qablakum (Sungguh kalian akan mengikuti sunnah2 orang2 sebelum kalian (Yahudi&Nasrani)).
Allah al-musta'an. Allahumma shalli 'ala Sayyidina Muhammad wa 'ala aali Sayyidina Muhammad.
19 Februari 2013 16.53
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Kalau memang wasiat itu sangat penting bagi umat dan merupakan salah satu pokok dalam agama Islam, apakah Anda pikir Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam akan melemah keinginannya untuk menyampaikannya ?. Kalau misal tidak di waktu itu, bukankah sangat mungkin disampaikan di waktu setelahnya ?. Bukankah di sana ada keluarga beliau ?. Tapi apa kenyataannya ?. Perkataan Anda itu hanyalah tuduhan dan perendahan akan martabat Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam yang lemah hanya karena keengganan - seandainya saya sepakat itu adalah keengganan - sebagian shahabat. Lihatlah kisah Muusaa yang Anda contohkan. Meski Bani Israaiil enggan menttaati Muusaa 'aklaihis-salaam, namun Muusaa tidaklah lemah akan hal itu.
Dan tolong refresh kembali pengetahuan Anda. Berikut ini adalah sebagian hadits yang Anda maksud :
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى، أَخْبَرَنَا هِشَامٌ، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " لَمَّا حُضِرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَفِي الْبَيْتِ رِجَالٌ فِيهِمْ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، قَالَ: هَلُمَّ أَكْتُبْ لَكُمْ كِتَابًا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ، قَالَ عُمَرُ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَلَبَهُ الْوَجَعُ وَعِنْدَكُمُ الْقُرْآنُ، فَحَسْبُنَا كِتَابُ اللَّهِ وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْبَيْتِ وَاخْتَصَمُوا، فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ: قَرِّبُوا يَكْتُبْ لَكُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كِتَابًا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ: مَا قَالَ عُمَرُ
Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Muusaa : Telah mengkhabarkan kepada kami Hisyaam, dari Ma’mar, dari Az-Zuhriy, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : Saat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjelang wafat, maka di rumah beliau terdapat beberapa orang laki-laki yang di antaranya adalah ‘Umar bin Al-Khaththaab. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Kesinilah, akan aku tuliskan kepada kalian satu tulisan yang (dengannya) kalian tidak akan tersesat selama-lamanya”. ‘Umar berkata : “Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menderita sakit dan Al-Qur’an di tengah kalian. Maka, cukuplah bagi kami Kitabullah”. Ahlul-Bait pun berselisih dan bertengkar. Di antara mereka ada yang berkata : “Dekatkan pena kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam agar beliau menulis wasiat yang kalian tidak akan sesat selamanya”. Sebagian lagi mengatakan seperti ucapan Umar…..” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7366].
Jadi siapakah yang ribut dan bertengkar ?. Berbeda dengan hadits lainnya dimana Syi’ah berlomba-lomba mengklaim apa yang ingin mereka klaim atas penisbatan lafadh Ahlul-Bait; maka dalam hadits di atas, tidak ada satupun orang Syi’ah yang mengambil hak atas lafadh Ahlul-Bait sebagaimana sebelumnya. 'Aliy dan (sebagian) keluarganya lagi-lagi ‘disucikan’ dan ditimpakanlah kesalahan itu kepada ‘Umar dan para shahabat yang lainnya radliyallaahu ‘anhum. Kemana saja 'Aliy ?. Apakah 'Aliy waktu itu kabur saat para shahabat-shahabat besar lain khawatir dan menunggui Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam ?. Apakah 'Aliy juga lemah untuk mengambilkan pena ?. Apakah 'Aliy takut terhadap 'Umar ?.
19 Februari 2013 20.57
Anonim mengatakan...
saya orang baru ngaji dan pingin suka baca artikel islam salafy. kenapa istilah salafy LJ selalu disebut2 sementara yang saya tahu mereka sudah berlepas diri dari LJ bahkan sudah menyatakan taubat dan menerbitkan buku dalam rangka taubat mereka. apakah hal itu tidak menyakiti hati sesama muslim? atau ada apa di balik ini semua ???
5 Oktober 2013 06.49
Eko Harjito mengatakan...
Ambilah kebenaran (yang menang haq) dari manapun ia hadir.. Jika diperkenankan.. Ijin copas..
7 April 2015 09.32
Reinat Fuad mengatakan...
Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh ustadz,
ana mau nanya bagaimana status hadist berikut:
Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali mendekatkan telinganya.”Uushiikum bis-shalaati, wamaa malakat aimaanukum – peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu.” Di luar, pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. “Ummatii, ummatii, ummatiii!” – “Umatku, umatku, umatku” Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu.
Karena sangat terkenal ditengah kaum muslimin kisah ini mohon penjelasannya,
Barakallahufiik ya ustadz
18 Mei 2015 18.43
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
wa'alaikumus-salaam warahmatullaahi wabarakatuh.
@Rainat, saya belum tahu.
22 Mei 2015 07.18
amiruddin mengatakan...
Meninggalnya rasulullah di pangkuan siapa masih belum jelas
26 Mei 2015 12.46
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Berarti Anda belum membaca artikel di atas dong ya....
27 Mei 2015 07.58
iqbal salam mengatakan...
Alhamdulillah, Jazakallohu khoir atas Nasehatnya...
10 Maret 2017 09.39


Saat-saat Kematian Nabi Muhammad yang Sahih

Rasulullah s.a.w kekasih Allah wafat ditangisi oleh makhluk seluruh alam. Namun apa yang selama ini telah dikisahkan kepada kita yakni kisah wafatnya Nabi dengan menyebut kalimah “Ummati, ummati, ummati” yang membawa maksud “Umatku, umatku, umatku” adalah jelas suatu pembohongan dan rekaan cerita dari mereka yang tidak bertanggungjawab dan sekaligus menyebarkan ia menjadikan kita semua menjadikan ia suatu kata-kata yang sahih. Mari baca kisah sebenar kewafatan baginda Rasulullah s.a.w..

Kisahnya bermula…

“Kepalaku!” kata Aisyah.

Baginda Rasulullah s.a.w dan Aisyah r.a baru sahaja pulang daripada menziarahi perkuburan al-Baqi’ lewat malam tadi. Kepala Aisyah sakit berdenyut-denyut. Baginda menyedarinya.

“Bahkan kepalaku juga wahai Aisyah. Oh kepalaku!” kata Baginda s.a.w.

Jika suami pening, tangan isteri yang memicit banyak mendatangkan rasa lega. Jika isteri yang sakit, belaian seorang suami adalah penyembuh paling berharga. Tetapi di malam itu kedua-duanya sakit. Kepala mereka berat.

“Janganlah engkau bersusah hati wahai Aisyah. Seandainya engkau mati sebelumku, nescaya aku akan menyempurnakan urusanmu. Aku akan mandikan dikau, kukafankan dirimu dan akan kudirikan solat buatmu serta engkau akan kukebumikan!!”, usik sang suami.

“Demi Allah, aku rasa kalau begitulah kisahnya pasti selepas itu engkau akan pulang ke rumahku dan berpesta gembira dengan isteri-isterimu yang masih hidup!” si isteri tersentak dengan gurauan sang suami.

Merajuk. Nabi s.a.w ketawa. Dalam sakit yang luar biasa itu, baginda masih suami yang hangat dengan mawaddah. Sakitnya tidak menjadikan beliau keluh kesah. Sempat pula mengusik isteri yang tidak tentu rasa.

SAKIT YANG BERTAMBAH

Malam itu berlalu dengan sakit yang tidak beransur kurang. Kesakitan itu memuncak semasa Nabi s.a.w memenuhi giliran Baginda di rumah isterinya, Maimunah r.a. Bukan sakit yang sembarangan. Ia sakit yang menjadi kemabukan sebuah kematian. Sakaraat al-Maut!

“Esok aku di mana? Esok aku di mana?” Baginda s.a.w bertanya.

Dalam sakit yang bersangatan, Baginda masih ‘sedar’ akan tanggungjawab dirinya berlaku adil kepada para isteri. Itulah ukuran adil seorang mukmin terhadap isteri-isterinya. Mengusahakan segala tenaga yang berbaki untuk tidak memalit zalim dalam melunaskan amanah sebagai seorang suami. Tidak mengambil mudah hanya dengan alasan yang remeh temeh untuk melebihkan seorang isteri berbanding yang lain.

Itulah juga ukiran makna bagi sebuah Mawaddah. Cinta yang bertambah hasil kesungguhan mengatasi ujian dan musibah. Namun di situlah terselitnya Rahmah. Sifat belas ihsan yang terbit daripada hati yang mengasihi.

“Izinkan aku berhenti bergilir dengan menetap di rumah Aisyah” Rasulullah s.a.w meminta izin daripada para isterinya.

Siapakah yang pernah membantah permintaan seorang Rasul. Namun Baginda tetap meminta izin kerana keizinan itu hakikatnya kekal bagian seorang isteri. Tiada isteri yang dipinggirkan. Hak masing-masing dihormati. Andaikata seorang Rasul boleh meminta izin menahan giliran daripada isteri Baginda, bagaimana mungkin seorang suami menjadi angkuh mempertahankan haknya di hadapan isteri atau isteri-isterinya?

HARI-HARI TERAKHIR

Masruq meriwayatkan daripada Aisyah r.a: Tatkala Baginda s.a.w gering, kesemua isteri Baginda berada di sisi. Tiada seorang pun yang tercicir antara mereka. Ketika mereka berhimpun, anakanda kesayangan Baginda s.a.w, Fatimah r.a datang berjalan. Demi sesungguhnya cara berjalan Fatimah tidak ubah seperti ayahandanya, Rasulullah s.a.w.

“Selamat datang wahai anakandaku,” Baginda s.a.w dengan suara yang lemah menjemput Fatimah duduk di sisinya.

Baginda membisikkan sesuatu ke telinga Fatimah. Anakanda itu menangis. Kemudian Baginda s.a.w membisikkan sesuatu lagi ke telinga anak kesayangannya. Fatimah ketawa.

Apabila Fatimah bangun dari sisi ayahandanya, Aisyah r.a bertanya, “Apakah yang diperkatakan oleh Rasulullah s.a.w hingga menyebabkan engkau menangis dan engkau ketawa?”

Fatimah menjawab, “Aku tidak akan mendedahkan rahsia Rasulullah s.a.w!”

Demi sesungguhnya, selepas wafatnya Baginda s.a.w, Aisyah r.a mengulang kembali soalan yang sama kepada Fatimah, “Aku bertanyakan engkau soalan yang engkau berhak untuk menjawab atau tidak menjawabnya. Aku ingin sekali engkau memberitahuku, apakah rahsia yang dikhabarkan oleh Rasulullah s.a.w dahulu?”

Kata Fatimah, “Ada pun sekarang, maka ya, aku bisa memberitahunya! Baginda s.a.w berbisik kepadaku dengan berkata: Sesungguhnya Jibril selalunya mendatangiku untuk mengulang semakan Al-Quran sekali dalam setahun. Namun di tahun ini beliau mendatangiku dua kali. Tidaklah aku melihat kelainan itu melainkan ia adalah petanda ketibaan ajalku. Justeru, bertaqwalah kepada Allah dan bersabarlah kamu dengan ketentuan ini. Atas segala yang telah ditempuh dalam kehidupan ini, sesungguhnya aku adalah untukmu wahai Fatimah!”

Aku menangis…

“Kemudian Baginda s.a.w berbisik lagi kepadaku dengan berkata: Apakah engkau gembira kalau aku khabarkan kepadamu bahawa engkau adalah penghulu sekalian wanita di Syurga? Dan sesungguhnya engkau adalah insan pertama yang akan menurutiku daripada kalangan ahli keluargaku!, aku ketawa”, sambung Fatimah.

Sesungguhnya Fatimah r.a benar-benar kembali kepada Allah, menuruti pemergian ayahandanya enam bulan selepas kewafatan Baginda s.a.w. Benarlah beliau ahli keluarga pertama Baginda yang pergi. Dan benarlah kalam utusan Allah, Rasulullah s.a.w!

DETIK SEMAKIN HAMPIR

Dhuha itu tepu dengan kegelisahan. Senyuman yang dilemparkan Baginda s.a.w kepada Abu Bakar dan sahabat semasa mereka mengerjakan solat Subuh tadi, benar-benar mengubat rindu mereka. Namun para sahabat tidak tahu bahawa kerinduan mereka hanya terubat seketika, dan mereka akan kembali merindui wajah itu, buat selamanya. Senyuman itu bukan senyuman kesembuhan. Ia adalah senyuman perpisahan.

Badan Baginda s.a.w semakin panas. Sesekali ada dengusan yang keras dari nafas kekasih Allah itu mendepani mabuknya kesakitan sebuah kematian.

“Laknat Allah ke atas Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kubur-kubur Nabi mereka sebagai masjid!” bibir Baginda s.a.w masih tidak berhenti menuturkan pesan-pesan yang penting buat umat yang bakal dilambai perpisahan.

Aisyah r.a meneruskan catatannya: Aku melihat sendiri Rasulullah s.a.w mendepani kematian Baginda. Kami ketika itu berbicara sesama kami bahawa sesungguhnya Nabi s.a.w tidak akan meninggal dunia sehinggalah Baginda membuat pilihan antara Dunia dan Akhirat. Tatkala Baginda s.a.w semakin gering mendepani kematian, dalam suara yang serak aku mendengar Rasulullah s.a.w berkata: Aku bersama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah ke atas mereka daripada kalangan para Nabi, Siddiqin, Syuhada’ dan Solihin, dan itulah sebaik-baik peneman yang menemankan aku!

Dan tahulah kami, Baginda s.a.w telah menyempurnakan pilihannya itu. Dalam kegeringan itu, aku sandarkan tubuh Rasulullah s.a.w rapat ke dadaku. Telingaku menangkap bicara lemah di ambang kematian, Baginda s.a.w berbicara: Allahumma, ampunkanlah diriku, rahmatilah aku, dan temukanlah aku dengan-Mu, Temanku yang Maha Tinggi.

Ketika Baginda s.a.w bersandar di dadaku, datang adikku, Abdul Rahman bin Abi Bakar dengan siwak yang basah di tangannya. Aku menyedari yang Baginda s.a.w merenung siwak itu, sebagai isyarat yang Baginda menggemarinya. Apabila ditanya, Baginda s.a.w mengangguk tanda mahukan siwak itu. Lalu kulembutkan siwak itu untuk Baginda dan kuberikan kepadanya. Baginda cuba untuk melakukannya sendiri tetapi ketika siwak yang telah kulembutkan itu kena ke mulut Baginda, ia terlepas daripada tangan dan terjatuh. Air liurku bersatu dengan air liur Rasulullah s.a.w di detik akhirnya di Dunia ini, dan detik pertamanya di Akhirat nanti.

Di sisinya ada sebekas air. Baginda s.a.w mencelupkan tangannya dan kemudian menyapu wajahnya dengan air itu lalu berkata: Laa Ilaaha Illallaah! Sesungguhnya kematian ini kesakitannya amat sakit hingga memabukkan! Allahumma, bantulah aku mendepani Sakaraat al-Maut ini!

Baginda s.a.w mengangkat jari kirinya ke langit lalu berkata: Kembalilah aku kepada Teman yang Maha Tinggi! Kembalilah aku kepada Teman yang Maha Tinggi! (Allahumma Rafiqul A’laa)”

Tangan itu layu. Jatuh ke dalam bejana. Leher Baginda s.a.w terkulai di dada Aisyah. Pencinta Ilahi yang rebah di pelukan isteri tercinta. Melambai pergi ummah yang dirindui. Pencinta yang agung itu telah mati. Tetapi cintanya harum hingga ke detik ini.

Innaa Lillaah wa Innaa Ilayhi Raaji’un.

Sesungguhnya Allah dan malaikatNya berselawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman berselawatlah kamu kepadanya serta ucapkanlah salam sejahtera dengan penghormatan yang sepenuhnya. [Al-Ahzaab 33: 56]

Kita pernah dengar kan ayat terakhir nabi sebelum meninggal nabi menyebut Ummati, Ummati, Ummati kan?? sebenarnya itu hadis yang lemah,,Hadis yang sahih seperti riwayat Aisyah, isteri nabi, sebab nabi meninggal di pangkuan Aisyah, bermaksud Aisyah yang paling dekat dengan nabi..hadis yang sahih adalah spt di bawah


Berkata Aisyah r.a: Adalah akhir kalimah yang diucapkan oleh Nabi s.a.w ialah “Allahumma Rafiqul A’laa” (Hadith Riwayat Bukhari & Muslim)Hadith2 Tentang Kewafatan Rasulullah SAW

Hadis-Hadis berkaitan saat kewafatan Nabi

Hadis Sahih Bukhari Jilid 3. Hadis Nombor 1574.
Dari Aisyah r.a., katanya: Di antara nikmat Allah kepada saya, Rasulullah s.a:w. wafat di rumah saya, di hari giliran saya, antara dada dan leher saya (bersandar kepadanya). Dan Tuhan mempercampurkan air liur saya dengan air liur beliau kerana sugi waktu beliau akan wafat. Abdur Rahman datang ke rumah saya, di tangannya ada sugi (pembersih gigi) sedang Rasulullah s.a.w. bersandar kepada saya. Saya lihat beliau memandang kepadanya. Saya ketahui bahawa beliau ingin bersugi. Saya tanyakan: "Akan saya pakaikan sugi itu untuk tuan?" Lalu beliau isyaratkan dengan kepala beliau (mengatakan setuju). Lalu saya berikan kepada beliau dan terasa keras oleh beliau. Lalu saya berkata: "Akan saya lunakkankah untuk tuan?" Beliau isyaratkan dengan kepala (tanda setuju). Lalu saya lunakkan dengan gigi. Dan di hadapan beliau ada bejana kecil atau bejana besar yang berisi air. Lalu beliau masukkan kedua tangan beliau ke dalam air itu dan beliau sapukan ke muka beliau sambil bersabda: "Tiada Tuhan selain Allah! Sesungguhnya bagi kematian itu ada sakaratul maut". Lalu beliau mengangkat tangannya sambil mengucapkan: "Teman Yang Maha Tinggi". Lalu beliau wafat dan rebahlah tangan beliau.

Hadis Sunan Ibnu Majjah Jilid 2. Hadis Nombor 1232.
Mewartakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah, mewartakan kepada kami Abu Mu'awiyah dan Waki', dari Al-A'masy. Mewartakan kepada kami 'Ali bin Muhammad, mewartakan kepada kami Waki', dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari 'Aisyah, dia berkata: Ketika Rasulullah SAW. sakit, dengan sakitnya itu, beliau wafat. (Abu Mu'awiyah berkata: Ketika Nabi SAW. berat sakitnya). Bilal datang memberi khabar solat kepadanya. Nabi berkata: "Perintahkan olehmu sekalian kepada Abu Bakar, maka hendakah dia mengimami solat bersama orang-orang (para sahabat). Kami berkata: "Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Abu Bakar itu orangnya cepat menangis -sentimental--." 'Aisyah bermaksud: Abu Bakar itu halus hatinya. Ketika dia menempati berdiri di tempatmu, dia menangis, tidak mampu -menjadi imam-. Kalau engkau memerintahkan 'Umar, maka dia akan mengimami solat bersama orang-orang. Nabi berkata: "Perintahkan olehmu sekalian kepada Abu Bakar, maka hendaklah dia mengimami solat bersama orang-orang. Sebab kamu sekalian ini bagai perempuan teman-teman Yusuf saja." 'Aisyah berkata: "Kemudian kami mengirimkan -utusan- kepada Abu Bakar, kemudian Abu Bakar mengimami solat bersama orangorang. Lalu Rasulullah SAW. mendapati dirinya terasa ringan sakitnya. Lalu dia keluar menuju solat, dipapah oleh dua orang lelaki. Sedang kedua kaki beliau nyeret ke tanah/bumi. Maka ketika Abu Bakar merasa ada Nabi, dia mundur -belakang- lalu Nabi SAW. memberi isyarat kepadanya: "Tetaplah di tempatmu." Selanjutnya kata perawi: Kemudian Nabi SAW datang, sehingga dua orang pemapah mendudukan beliau di samping -di dekat- Abu Bakar. Sementara Abu Bakar mengikut Nabi SAW. dan orang-orang (Sahabat) mengikuti Abu Bakar -mengerjakan solat.

Hadis Sahih Bukhari Jilid 1. Hadis Nombor 0386.
Diceritakan oleh Anas bin Malik Al Anshari r.a., yang biasa mengikuti, melayani dan menemani Rasulullah saw. dan yang menyukakannya, katanya: "Abu Bakar menjadi imam solat bagi kami ketika Nabi saw. sakit menjelang akhir hayat beliau. Maka pada suatu hari, hari Isnin, mereka telah berbaris hendak solat. Tiba-tiba Nabi saw., menyingkapkan tabir biliknya melihat kepada kami. Beliau berdiri dengan wajah seputih kertas (berkilauan), senyum dan tertawa. Sehingga kami hampir saja tertipu kerana kegirangan melihat Nabi saw. (telah sembuh). Abu Bakar mundur ke belakang untuk masuk ke dalam saf, kerana dia mengira bahawa Nabi saw. akan datang solat. Tetapi Nabi saw. memberi isyarat kepada kami supaya kami menyempurnakan solat kami, dan setelah itu beliau lepaskan tabir. Ternyata beliau wafat pada hari itu juga.

Hadis Sahih Bukhari Jilid 4. Hadis Nombor 1979.
Dari Ibnu Abbas r.a. katanya: Di waktu Nabi saw. hampir wafat, sedang dalam rumah ketika itu ada beberapa orang, di antaranya Umar bin Khattab, Nabi berkata: "Mari ku tuliskan untuk kamu suatu kitab yang kamu tidak akan sesat sesudah itu." Umar berkata: "Sesungguhnya Nabi saw. sedang keras sakitnya dan kamu ada mempunyai Quran. Maka cukuplah untuk kita Kitab Allah itu. "Orang-orang yang dalam rumah itu bertikai pendapat dan berselisih, kerana diantara mereka ada yang mengatakan supaya Rasulullah saw. didekati untuk menuliskan suatu Kitab yang kita tidak akan sesat sesudah itu. Yang lain mengatakan serupa yang dikatakan Umar. Setelah itu jadi hiruk pikuk dan perselisihan pendapat dekat Nabi, beliau berkata: "Pergilah kamu dari sini!"

Hadis Sunan At-Termizi Jilid 5. Hadis Nombor 3697.
Bisyr bin Hilal Ash Shawwaf AI-Bashri menceritakan kepada kami, Ja'far bin Sulaiman Adh Dhuba'i menceritakan kepada kami dari Tsabit dari Anas bin Malik berkata: "Pada hari dimana Rasulullah SAW memasuki kota Madinah, maka segala sesuatu di Madinah bersinar dan pada hari dimana Rasulullah SAW wafat, maka segala sesuatu di Madinah gelap dan kami tidak menghilangkan debu yang ada pada tangan-tangan dari Rasulullah SAW dan kami sungguh sibuk mengebumikan Beliau sehingga hati kami tidak percaya."

Hadis Sunan An-Nasai Jilid 2. Hadis Nombor 1629.
Dari Ummi Salamah katanya: "Demi Tuhan yang memegang jiwaku, ketika mendekati saat wafatnya, Rasulullah sering melakukan solat sunat sambil duduk. Dan amalan yang paling disenangi oleh beliau adalah yang dilakukannya secara istiqamah, walaupun hanya sedikit."

Hadis Sahih Bukhari Jilid 3. Hadis Nombor 1573.
Dari Aisyah r.a.: Saya mendengarkan sabda Nabi s.a.w. dengan penuh perhatian sebelum beliau wafat, sedang beliau menyandarkan punggungnya kepada saya. Beliau mendoa: "Wahai Tuhan! Ampunilah saya! Kasihanilah saya dan hubungkan saya dengan teman yang maha tinggi".

Hadis Sunan An-Nasai Jilid 2. Hadis Nombor 1867.
Dari Aisyah katanya: "Ketika Rasulullah saw wafat, maka beliau dikafani dengan tiga helai kain putih yang dibuat di desa Suhuliyah tanpa di beri qamish mahupun serban."

Hadis Sunan An-Nasai Jilid 3. Hadis Nombor 3481.
Dari Al Aswad dari Aisyah ra. berkata: "Ketika Rasulullah saw sakit keras, beliau meminta sebuah bejana padaku untuk tempat kencingnya. Dan ketika beliau wafat, tiada seorangpun di sampingnya kecuali aku."

Diwartakan kepada kami 'Ali bin Muhammad, mewartakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari 'Abdur-Rahman bin Abu Bakar, dari Ibnu Abi Mulaikah, dari 'Aisyah, dia berkata: Ketika Rasulullah SAW. meninggal dunia, sementara Abu Bakar di tempat istrinya, yaitu putri Kharijah, di 'Awaliy. Mereka berkata: "Nabi SAW. belum mati. Hanya saja dia dalam keadaan suatu kondisi mendapatkan wahyu". Kemudian datang Abu Bakar, lalu dia membuka tutup dari wajah beliau, dan mencium di antara kedua mata beliau, dan berkata: "Engkau adalah lebih mulia bag! Allah, kalau Dia mematikanmu dua kali. Sungguh, demi Allah, Rasulullah SAW. telah meninggal dunia". Sedangkan 'Umar berada di sudut masjid, mengatakan: "Rasulullah SAW. tidak mati, dan dia tidak akan mati, sehingga memotong tangan orang-orang munafik, banyak sekali, dan kaki-kaki mereka". Kemudian Abu Bakar berdiri, naik mimbar, berkata: "Barangsiapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah itu hidup, tidak akan mati. Barangsiapa yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad sudah mati. Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat ataukah dibunuh, kamu sekalian membalikkan tumitmu -yakni murtad"? Barangsiapa yang membalikkan tumitmu "yakni murtad", maka ia tidak dapat mendatangkan madharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan membalas -kebajikan- kepada orang-orang yang bersyukur". 'Umar berkata: "Maka sungguh sepertinya aku ini tidak pernah membaca ayat tersebut (QS. 3:144) kecuali pada kali ini"

Hadis Sunan An-Nasai Jilid 2. Hadis Nombor 1811.
Kata Abu Salamah, bahawasanya Aisyah pernah memberitahu padanya: "Ketika mendengar berita wafatnya Nabi saw, maka Abu Bakar datang dari rumahnya di Sunuh dengan berkenderaan kuda. Sesampainya di pintu masjid, maka dia turun dan dia segera masuk ke rumah Aisyah tanpa bercakap-cakap dengan seorangpun yang ada di masjid. Di rumah Aisyah dia dapatkan Rasulullah saw telah ditutupi dengan sehelai kain selimut. Setelah dibuka dibahagian wajahnya, maka Abu Bakar, menurunkan kepalanya dan mencium kening Nabi saw seraya menangis. Kata Abu Bakar: "Demi ayahku, setelah ini Allah tidak akan menjadikan kematian lagi bagimu wahai Rasulullah".

Hadis Sahih Bukhari Jilid 3. Hadis Nombor 1544.
Dari Aisyah r.a., katanya: Fatimah datang berjalan kaki, seolah-olah perjalanannya sama dengan perjalanan Nabi s.a.w. Beliau bersabda: "Selamat datang, wahai anakku!" Kemudian beliau suruh duduk di kanan atau di kiri beliau. Lalu beliau bisikkan suatu berita kepadanya. Lantas Fatimah menangis. Saya bertanya kepadanya: "Mengapa engkau menangis?" Kemudian beliau membisikkan lagi suatu berita kepadanya. Lalu Fatimah tertawa. Saya berkata: Belum pernah saya melihat seperti kejadian di hari ini, suka yang mendampingi duka. Saya bertanya kepadanya mengenai apa yang dibisikkan Rasulullah kepadanya. Jawab Fatimah: "Saya tiada akan membukakan rahsia (bisik) Rasulullah s.a.w." Setelah Nabi s.a.w. wafat, saya ulang menanyakan. Jawabnya: Beliau membisikkan kepada saya: Bahawa malaikat Jibril datang mengajarkan Quran selengkapnya pada saya sekali setahun. Dan dia datang kepada saya tahun ini dua kali. Saya mengira ajal saya telah dekat. Engkau di antara keluarga saya yang pertama mengikuti saya. Lantas saya (Fatimah) menangis. Beliau bersabda: "Apakah engkau tidak suka jadi ketua wanita-wanita yang mendiami syurga atau ketua wanita mukmin?" Lalu saya (Fatimah) tertawa kerananya.

Hadis Sahih Bukhari Jilid 3. Hadis Nombor 1375.
Dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata: "Hari Khamis! Apakah hari Khamis itu?" Kemudian ia menangis sehingga air matanya membasahi pasir. Katanya: "Rasulullah s.a.w. sakit keras pada hari Khamis, beliau lalu bersabda: "Bawalah kemari sebuah buku! Saya suruh tuliskan untuk kamu sesuatu yang kamu tiada akan tersesat sesudah itu selamanya". Mereka lalu berselisih, sedangkan berselisih itu tidak patut dekat Nabi. Mereka berkata: "Rasulullah s.a.w. akan pulang". Beliau bersabda: "Biarkanlah saya! Keadaan saya sekarang lebih baik daripada apa yang kamu katakan". Beliau berwasiat ketika beliau akan wafat dengan tiga perkataan: Pertama: Keluarkanlah orang musyrik dari Jazirah Arab, kedua: sambutlah perutusan sebagaimana saya pernah menyambut mereka, dan yang ketiga: saya (lbnu Abbas) lupa".

Hadis Sunan At-Termizi Jilid 2. Hadis Nombor 0986.
l Hasan bin Al Shabah Al Bazzar menceritakan kepada kami, Mubasyir bin Ismail Al Halabi memberitahukan kepada kami dari Abdur Rahman bin Al Alaa' dari ayahnya dari ibnu umar dari aisyah, ia berkata. "saya tidak iri pada seseorang dengan mudahnya mati, sesudah saya melihat beratnya wafat Rasulullah saw. "Rawi berkata: Saya bertanya kepada Abu Zur'ah tentang hadis ini, saya tanyakan siapa itu Abdur Rahman bin Al Alaa'? Dia menjawab: Abdur Rahman adalah anak laki-laki Al Alaa' bin Al Lajlaj dan saya mengetahui dari arah ini

Hadis Sahih Bukhari Jilid 3. Hadis Nombor 1347.
Dari Abu Hurairah r.a.: Rasulullah s.a.w. bersabda: "Saya diutus membawa perkataan yang cukup ringkas. Saya ditolong beroleh kemenangan dengan perasaan takut di hati musuh. Pada suatu malam ketika saya sedang tidur, saya bermimpi diberi anak kunci perbendaharaan bumi (negeri-negeri), lalu diletakkan di tanganku". Kata Abu Hurairah: "Rasulullah s.a.w. telah pergi (wafat), dan kamulah yang akan menggali isi perbendaharaannya."

Hadis Sunan Ibnu Majjah Jilid 3. Hadis Nombor 2697.
Mewartakan kepada kami Ahmad bin Al-Miqdam; mewartakan kepada kami Al-Mu'tamir bin Sulaiman; aku mendengar ayahku mewartakan hadis dari Qatadah, dari Anas bin Malik dia berkata: "Adalah kebanyakan washiyat Rasulullah saw. ketika menjelang wafatnya, beliau berdesah diri: "(Jagalah) solat, dan budak-budak yang kalian miliki". Dalam Az-Zawa-id: Isnadnya hasan, kerana kekurangan Ahmad bin Al- Miqdam dari derajat Ahlu-dhabit. (kuat, cermat, betul) sanad selebihnya sesuai dengan Persyaratan Bukhari-Muslim

Hadis Sunan An-Nasai Jilid 2. Hadis Nombor 1814.
Dari Anas katanya: "Ketika Rasulullah saw wafat, maka Siti Fatimah menangisi beliau seraya berkata: "Wahai ayahku, alangkah dekatnya engkau di sisi Tuhanmu, wahai ayahku, hanya kepada Jibril akan kami sampaikan rasa susah hati kami, wahai ayahku, sungguh tiada tempat yang pantas engkau diami setelah ini selain syurga Al-Firdaus".

Hadis Sunan An-Nasai Jilid 2. Hadis Nombor 1628.
Dari Ummi Salamah katanya: "Ketika mendekati saat wafatnya, Rasulullah saw sering melakukan solat sunat sambil duduk. Dan amalan yang paling disenangi oleh beliau adalah yang dikerjakannya secara istiqamah, walaupun amalan itu hanya sedikit."

Hadis Sunan An-Nasai Jilid 2. Hadis Nombor 1801.
Dari Anas katanya: "Pandangan terakhir yang aku lihat pada Rasulullah saw adalah ketika beliau membuka kain langsirnya sedangkan ketika itu para sahabat sedang berdiri dalam saf-saf mereka masing-masing dibelakang Abu Bakar. Ketika Abu Bakar hendak undur ke belakang, maka Rasulullah saw menyuruh mereka untuk tetap melaksanakan solatnya dan beliau segera menutup kain langsirnya. Dan pada akhir hari itu - hari Isnin - beliauwafat."

Artikel terkait :

Ahlul-Bait Tidak Mengakui Wasiat Estafet Imamah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam – ‘Aliy – Al-Hasan – Al-Husain – ‘Aliy bin Al-Husain – Muhammad bin ‘Aliy
Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu Mengakui ‘Umar bin Al-Khaththaab sebagai Pemimpin bagi Kaum Mukminiin (Amiirul-Mukminiin)
Aliy bin Abi Thaalib : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam Tidak Pernah Berwasiat tentang Kepemimpinan Kepada Dirinya
Aliy bin Abi Thaalib Berbaiat kepada Abu Bakr radliyallaahu ‘anhumaa [2]
Ali Khalifah Setelah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam   
(klaim kaum syi'ah) ?????
‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu Mempunyai Ilmu yang Lebih Tinggi daripada Semua Shahabat [??????]
Abu Bakar Tidak Sah Jadi Khalifah? Paparan Dibawah Ini "Menjungkirbalikkan" Fitnah-fitnah Keji Syi'ah dan Antek-anteknya !
Demi Allah, Jika Abu Bakar Tidak Jadi Khalifah, Allah Tidak Akan Disembah Lagi !
Keutamaan Abu Bakr Dan Umar Di Atas Ali Radhiallahu 'Anhum
Keutamaan Abu Bakr dan ‘Umar yang Disebutkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Depan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum
Keutamaan Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu yang Lain
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam Tidak Berwasiat tentang Kepemimpinan kepada ‘Ali radliyallaahu ‘anhu 
[2]
Siapa Yang Ribut Saat Nabi Sakit dan Apa Isi Wasiat Nabi Saat Nabi Sakit ?
Tragedi Kamis Kelabu? (Bagian 1/2)
Tragedi Kamis Kelabu? (Bagian 2/2)

Detik-Detik Menjelang Wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam

DR.Sulaiman bin Salimullah ar-Ruhaili [حَفِظَهُ الله [1
Pembicaraan kita pada kesempatan yang mulia ini adalah materi yang sangat penting dan bukan pembahasan biasa. Saat ini, kita akan membahas dan berbicara tentang kematian kekasih kita, imam kita, pembimbing kita, panutan dan Nabi kita yaitu Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana mungkin seseorang yang mencintai orang lain berbicara tentang kematian orang yang sangat dicintainya?! Lalu bagaimana pula rasanya jika pembicaraan itu berkenaan dengan orang yang paling kita cintai diantara seluruh manusia di dunia ini?! Tentang kematian orang yang lebih kita cintai dibandingkan diri kita sendiri, kedua orang tua, anak-anak kita, keluarga dan bahkan seluruh manusia.

Sesungguhnya, berita tentang kematian Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebuah berita besar, bahkan sangat besar. (Berita ini tetap menghebohkan dan menggetarkan setiap jiwa yang mendengarnya, meski para Sahabat tahu betul bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam  adalah seorang manusia biasa, dan semua manusia pasti akan mengalami kematian, karena Allâh Azza wa Jalla telah menetapkan tidak ada seorang pun manusia yang kekal abadi di dunia. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ

Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula). [Az-Zumar/39:30]

Juga Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا ۗ وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allâh sedikitpun, dan Allâh akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. [Ali Imran/3:144]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ ۖ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ

Dan Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad); maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal? [Al-Anbiya/21:34]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ

Setiap jiwa pasti akan mengalami kematian.[Ali Imran/3:185]

Wafatnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan di Mekah pada tahun yang dikenal dengan tahun gajah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di sana selama 40 tahun. Ketika usia Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam genap 40 tahun, Allâh Azza wa Jalla menobatkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabi dan Rasul. Setelah diangkat menjadi Nabi dan Rasul, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih menetap di Mekah selama 13 tahun untuk mendakwahi dan mengajak masyarakat mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dan memeluk agama Islam. Kemudian Beliau hijrah (pindah) ke Madinah dan menetap di sana. Dalam perjalanan hidup Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak sekali peristiwa-peristiwa penting yang semuanya tercantum dan tercatat rapi dalam kitab-kitab hadîts  dan sîrah (buku-buku hadits dan sejarah hidup Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ).  Namun pada kesempatan ini, kita tidak bermaksud membicarakan semua peristiwa-peristiwa itu. Pada kesempatan ini, kita akan berbicara tentang berbagai peristiwa terkait wafatnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Pada tahun ke-7 hijriah, Khaibar yang merupakan salah satu basis kekuatan orang-orang Yahudi berhasil ditaklukkan oleh Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama kaum Muslimin.  Ketika itu, salah seorang wanita Yahudi memberikan hadiah kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa daging kambing yang sudah dibakar dan dibubuhi racun. Dia memperbanyak racun pada bagian paha, karena wanita jahat ini tahu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menyukai daging kambing terutama daging bagian paha. Ketika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak mulai menikmati daging kambing tersebut, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil sepotong dari bagian pahanya dan mengunyahnya dengan mulut Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Sebelum sempat menelan daging tersebut, ada kabar yang sampai kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bahwa wanita Yahudi itu telah membubuhkan racun pada daging tersebut. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam segera menyampaikan kepada para Sahabatnya yang menyertai Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang hendak menikmati hidangan tersebut agar mereka menahan diri dan tidak melanjutkan memakan daging tersebut. Dalam sebuah riwayat dijelaskan, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ارْفَعُوْا أَيْدِيَكُمْ فَإِنَّهَا أَخْبَرَتْنِى أَنَّهَا مَسْمُوْمَةٌ

Angkatlah tangan kalian (dari daging-daging tersebut)! Karena daging-daging itu telah menyampaikan kepadaku bahwa dia itu beracun

Racun yang sudah terlanjur masuk ke tubuh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak langsung terlihat reaksinya saat itu, agar manusia tahu dan yakin bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang Nabi yang diutus dan juga agar Allâh Azza wa Jalla bisa menyempurnakan agama-Nya. Kemudian diakhir masa kehidupan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , pengaruh racun itu mulai tampak dan terasa. Hikmahnya adalah agar manusia mengetahui bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang manusia biasa yang mendapat kehormatan untuk mengemban risalah dari Allâh Azza wa Jalla . Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam harus ditaati tapi tidak disembah. Saat menderita sakit di akhir kehidupannya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sempat bersabda:

يَا عَائِشَةُ مَا أَزَالُ أَجِدُ أَلَمَ الطَّعَامِ الَّذِي أَكَلْتُ بِخَيْبَرَ فَهَذَا أَوَانُ وَجَدْتُ انْقِطَاعَ أَبْهَرِي مِنْ ذَلِكَ السُّمِّ

Wahai Aisyah! Saya masih merasakan rasa sakit akibat dari makanan yang saya konsumsi di Khaibar. Inilah saatnya, urat nadiku akan terputus karena pengaruh racun itu. [HR. Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya]

Pada tahun ke-10 hijriah, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam  melaksanakan ibadah haji terakhir yang disebut dengan hajjatul wada’. Ketika itu, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:

خُذُوا مَنَاسِكَكُمْ لَعَلِّي لَا أَلْقَاكُمْ بَعْدَ عَامِي هَذَا

Ambillah dariku cara ibadah haji kalian, karena mungkin setelah tahun ini, saya tidak akan berjumpa lagi dengan kalian

Kemudian Allâh Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya:

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ ﴿١﴾ وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا ﴿٢﴾ فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا

Apabila telah datang pertolongan Allâh dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk ke agama Allâh dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat. [An-Nashr/110:1-3]

Dalam penggalan kisah ini, tersisip pesan bahwa tidak beberapa lama lagi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan wafat, akan meninggalkan umatnya. Sejak saat itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu memperbanyak doa dalam ruku’ dan sujud:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبـِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْلِـي

Maha suci Engkau, wahai Allâh! Dan segala puji bagi-Mu. Wahai Allâh! Ampunilah aku

Usai menunaikan ibadah haji wada’, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke Madinah dan terus berada di Madinah. Di akhir bulan Shafar atau di awal bulan Rabi’ul awwal,  Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  menyempatkan diri untuk pergi ziarah ke makam para Sahabat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang gugur dalam perang Uhud (syuhada Uhud). Ziarah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kali ini seakan sebagai salam perpisahan dengan para Sahabat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia.

Sepulang dari menunaikan hajjatul wada’, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  juga sempat berziarah ke makam Baqi’ al-Gharqad di tengah malam. Beliau memohonkan ampunan kepada Allâh buat para Sahabat yang telah dimakamkan di Baqi’. Ini juga seakan sebagai salam perpisahan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka.

Pada suatu hari, saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  kembali dari pemakaman Baqi’ dan mendapati Aisyah Radhiyallahu anhuma dalam keadaan pusing dan berkata, “Aduh kepalaku sakit!” Mendengar ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  pun mengungkapkan rasa sakit kepala yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam rasakan saat itu.

Sejak saat itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai jatuh sakit. Meski demikian, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap berpindah-pindah dari rumah istri Beliau yang satu ke rumah istri Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa bertanya, “Besok, saya dimana?”  Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat merindukan dan ingin berada di rumah Aisyah Radhiyallahu anhuma . Jika sampai paad giliran Aisyah Radhiyallahu anhuma , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa tenang. Hari terus berlalu, penyakit yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam derita semakin berat dan parah, namun terus berpindah-pindah dari rumah ke rumah istri yang lainnya. Saat sakit Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin parah, dan kala itu giliran Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di rumah salah seorang ummahatul Mukmin, istri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  Maimunah Radhiyallahu anhuma , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  memohon ijin kepada istri-istri Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  untuk bisa tinggal di rumah Aisyah Radhiyallahu anhuma. Para istri Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  memberikan izin kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  untuk berada di rumah Aisyah Radhiyallahu anhuma . Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari rumah Maimunah Radhiyallahu anhuma dalam keadaan lemah, tidak mampu berjalan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpegangan pada Ibnu Abbas Radhiyallahu anhumadan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu sembari melangkahkan kaki Beliau yang mulia sampai akhirnya tiba di rumah Aisyah Radhiyallahu anhuma .

Pada hari Kamis, lima hari menjelang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, hari ini adalah hari yang sangat menyedihkan sehingga Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma ketika menceritakan kejadian hari itu tidak bisa menahan tangis. Di hari itu, sakit yang mendera Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin berat. Dalam kondisi seperti ini, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda kepada orang-orang yang berada di sekitarnya, “Ambilkanlah untuk saya sebuah buku! Saya akan menuliskan buat kalian sebuah tulisan yang dijamin kalian tidak tersesat selama kalian berpegang teguh dengannya!” Para Sahabat yang berada disekitarnya berselisih tentang sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Diantara mereka, ada yang mengatakan bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang mengalami sakit berat, sementara kita sudah memiliki al-Qur’an, maka cukuplah al-Qur’an sebagai pegangan kita. Dan ada pula yang ingin memberikan kitab supaya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa menulis sesuatu yang dijadikan sebagai pedoman sehingga umatnya tidak akan tersesat. Dan ada pula yang berpendapat yang berbeda. Mendengar perselisihan dan percekcokan diantara mereka, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

دَعُونِي فَالَّذِي أَنَا فِيهِ خَيْرٌ، أُوصِيكُمْ بِثَلَاثٍ: أَخْرِجُوا الْمُشْرِكِينَ مِنْ جَزِيرَةِ الْعَرَبِ، وَأَجِيزُوا الْوَفْدَ بِنَحْوِ مَا كُنْتُ أُجِيزُهُمْ بِهِ “، قَالَ: وَسَكَتَ، عَنِ الثَّالِثَةِ، أَوْ قَالَهَا فَأُنْسِيتُهَا

Bebaskan aku (dari semua perselisihan)! Sesungguhnya apa yang ada padaku ini lebih baik daripada apa yang ada pada kalian. Saya wasiatkan kepada kalian tiga hal : (pertama), keluarkanlah orang-orang musyrik dari Jazirah Arab; (kedua) terima dan perlakukanlah para utusan (duta) yang datang kepada kalian sebagaimana aku menerima dan memperlakukan para duta itu;

Perawi hadits ini yaitu Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma mengatakan, “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan yang ketiga atau Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menyebutkannya, namun saya lupa. (HR. Muslim)

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  meminta untuk diambilkan air dingin sebanyak tujuh qirbah (wadah air yang terbuat dari kuliat yang sudah disama’-red) yang belum dibuka talinya, karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  saat itu mengalami demam yang sangat tinggi dan kepala Beliau terasa sangat panas. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  meminta diambilkan air sebanyak itu agar dapat diguyurkan ke badan Beliau untuk mengurangi demam dan meredakan panasnya. Kemudian Aisyah Radhiyallahu anhuma dan yang lainnya mendudukkan Rasûlullâh pada mikhdhab (wadah yang biasa digunakan untuk mandi-red) milik Hafshah Radhiyallahu anhuma dan mengguyur Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan air-air tersebut sesuai dengan permintaan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau didudukkan di tempat tersebut, karena keadaan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat lemah. Setelah dirasa cukup, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan isyarat agar berhenti.

Ceramah Terakhir Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam

Kemudian setelah itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  dipandu keluar menemui para Sahabatnya dalam keadaan kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diikat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibawa keluar dari rumah Aisyah Radhiyallahu anhuma sampai ke mimbar lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk. Setelah memuja dan memuji Allâh Azza wa Jalla , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ خَيَّرَ عَبْدًا بَيْنَ الدُّنْيَا وَبَيْنَ مَا عِنْدَهُ فَاخْتَارَ ذَلِكَ الْعَبْدُ مَا عِنْدَ اللَّهِ

Sesungguhnya Allâh telah memberikan pilihan kepada seorang hamba-Nya untuk memilih dunia atau memilih apa yang ada di sisi Allâh, lalu hamba tersebut memilih apa yang ada pada Allâh.

Mendengar apa yang dikatakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Bakar Radhiyallahu anhu sedih,  menangis tersedu-sedu dan mengatakan, “Wahai Rasûlullâh! Kami siap menebus engkau dengan ayah-ayah kami dan ibu-ibu kami!”

Abu Said al-Khudri Radhiyallahu anhu mengatakan, “Kami tercengang dan terheran-heran dengan Abu Bakar.” Kala itu, sebagian orang mengatakan, “Lihatlah orang ini! Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan tentang seorang hamba disuruh memilih oleh Allâh Azza wa Jalla antara memilih perhiasan dunia apapun yang dikehendakinya atau memilih apa yang ada di sisi Allâh Azza wa Jalla , namun orang ini mengatakan, ‘Kami siap menebus engkau dengan ayah-ayah kami dan ibu-ibu kami!’

Namun akhirnya mereka sadar bahwa hamba yang dimaksudkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah diri Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, oleh karena itu Abu Bakar Radhiyallahu anhu menangis tersedu-sedu. Abu Bakar Radhiyallahu anhu sangat memahami maksud dari ucapan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Menyaksikan tangis Abu Bakar Radhiyallahu anhu , Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا أَبَا بَكْرٍ لَا تَبْكِ إِنَّ أَمَنَّ النَّاسِ عَلَيَّ فِي صُحْبَتِهِ وَمَالِهِ أَبُو بَكْرٍ وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيلًا مِنْ أُمَّتِي لَاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ وَلَكِنْ أُخُوَّةُ الْإِسْلَامِ وَمَوَدَّتُهُ لَا يَبْقَيَنَّ فِي الْمَسْجِدِ بَابٌ إِلَّا سُدَّ إِلَّا بَابُ أَبِي بَكْرٍ

Wahai Abu Bakar! Janganlah engkau menangis! Sesungguhnnya orang yang paling baik kepadaku dengan hartanya dan pertemanannya adalah Abu Bakar. Sekiranya aku boleh mengambil seseorang dari ummatku sebagai kekasih (teman yang paling akrab), maka tentu saya telah menjadi Abu Bakar sebagai kekasih, namun yang ada diantara kami persaudaraan Islam dan kasih sayangnya. Sesungguhnya semua pintu masjid kebaikan telah tertutup, kecuali pintu Abu Bakar Ash Shidiq.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan khutbah tersebut dengan sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَلَا وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ، فَلَا تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ

Ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kuburan para Nabi dan orang-orang shalih sebagai masjid, maka jangan kalian menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid!

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  juga bersabda:

أَيُّهَا النَّاسُ، فَإِنَّ النَّاسَ يَكْثُرُونَ وَيَقِلُّ الْأَنْصَارُ حَتَّى يَكُونُوا فِي النَّاسِ بِمَنْزِلَةِ الْمِلْحِ فِي الطَّعَامِ فَمَنْ وَلِيَ مِنْكُمْ شَيْئًا يَضُرُّ فِيهِ قَوْمًا وَيَنْفَعُ فِيهِ آخَرِينَ فَلْيَقْبَلْ مِنْ مُحْسِنِهِمْ وَيَتَجَاوَزْ عَنْ مُسِيئِهِمْ

Wahai manusia! Sesungguhnya manusia akan bertambah banyak namun Anshar akan semakin berkurang dan sedikit, sehingga para Anshar ini di tengah manusia ibarat garam dalam makanan. Barangsiapa diantara kalian yang diberi amanah untuk mengurusi sesuatu (menangani sesuatu sebagai pemimpin-red) yang sesuatu itu bisa mendatangkan madharat bagi sebagian kaum namun bisa mendatangkan manfaat bagi sebagian kaum yang lainnya, maka hendaklah dia menerima masukan dari orang-orang baik diantara mereka dan memaafkan orang-orang yang berbuat buruk.

Setelah menyampaikan ini, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dari mimbar. Itulah ceramah terakhir Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbarnya dihadapan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum .

Di saat itu, seluruh istri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  telah berkumpul di dekat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tidak ada seorang pun yang meninggalkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu anak Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  Fathimah Radhiyallahu anhuma datang dengan berjalan kaki. Cara berjalan Fathimah Radhiyallahu anhuma sama seperti cara berjalan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mengetahui kedatangan Fathimah Radhiyallahu anhuma , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Marbahaban (selamat datang), wahai anakku!”

Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  memberi isyarat dengan tangannya agar ia duduk di sisi kanan atau sisi kirinya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu tidak lama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  memberikan isyarat kepada Fathimah untuk mendekatkan wajahnya, mendekatkan telinganya ke mulut Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan sesuatu yang tidak didengar oleh para istri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak terdengar oleh orang lain selain Fathimah Radhiyallahu anhuma . Setelah mendengar bisikan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Fathimah Radhiyallahu anhuma menangis. Setelah itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  membisikkan sesuatu yang lain kepada Fathimah Radhiyallahu anhuma yang membuat beliau Radhiyallahu anhuma tertawa. Melihat ini, Aisyah Radhiyallahu anhuma penasaran dan bertanya, “Wahai Fathimah! Apakah yang membuatmu menangis?” Fathimah Radhiyallahu anhuma merespon pertanyaan ini dengan mengatakan, “Demi Allâh! Aku tidak akan mau membeberkan rahasia Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Setelah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Aisyah Radhiyallahu anhuma masih menyimpan rasa penasaran dan menanyakan kembali kepada Fathimah Radhiyallahu anhuma prihal bisikan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Fathimah Radhiyallahu anhuma menjawab, “Kalau sekarang, ya (saya menjelaskannya-red).  Masalah yang disampaikan kepada saya pada bisikan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pertama adalah Beliau memberitahukan bahwa Jibril Alaihissallam datang kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sekali dalam setahun untuk mendengarkan al-Qur’an seluruhnya, namun tahun ini Jibril Alaihissallam mendatangi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak dua kali. Saya kira ajalku sudah dekat atau akan datang, maka hendaklah kamu bertakwa kepada Allâh dan bersabar. Karena sesungguhnya pendahulu terbaik bagimu adalah saya.’Lalu Fathimah Radhiyallahu anhuma mengatakan, “Mendengar ini, saya menangis sebagaimana yang engkau lihat tangisku. Saat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kesedihan yang menderaku, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbisik lagi kepadaku. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Tidakkah engkau rela menjadi sayyidah umat ini?! Sayyidah kaum Mukminin?!’ Lalu saya tertawa sebagaimana yang engkau lihat.”

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Fathimah Radhiyallahu anhuma mengatakan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan bahwa saya adalah keluarga Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pertama kali mengikuti Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lalu saya tertawa sebagai yang engkau lihat.”

Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang sakit kala itu, sebagian para istri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  saling berbicara satu sama lain. Diantaranya, Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma dan Ummu Habibah Radhiyallahu anhuma mengisahkan apa yang mereka lihat ketika mereka hijrah ke Habasyah. Mereka bercerita bahwa mereka melihat sebuah gereja yang penuh dengan gambar-gambar. Mendengar ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padahal Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kondisi sakit keras:

إِنَّ أُولَئِكَ إِذَا كَانَ فِيهِمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ فَمَاتَ، بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا، وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ، أُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Sesungguhnya mereka itu jika ada da orang shalih diantara mereka yang meninggal dunia, mereka membangun masjid di atas kuburan orang shalih tersebut, lalu mereka membuatkan gambar-gambar di sana. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk di sisi Allâh Azza wa Jalla pada hari kiamat.

Perhatian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Terhadap Shalat Kaum Muslimin

Ketika dalam kondisi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  dalam kondisi sakit keras dan tidak bisa berdiri juga, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lepas perhatiannya terhadap shalat kaum Muslimin. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya:

أَصَلَّى النَّاسُ؟ فَقَالُوْا: لَا هُمْ يَنْتَظِرُونَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: ضَعُوا لِي مَاءً فِي الْمِخْضَبِ

“Apakah mereka telah melaksanakan shalat?” Para Sahabat menjawab, “Belum. Mereka masih menunggu engkau, wahai Rasûlullâh!” Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Taruhkanlah air untukku pada al-makhdhab (tempat air untuk mandi-red).

Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, “Kami melakukan apa yang diminta oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ” Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi wadah tersebut lalu bangkit hendak berdiri hendak ke masjid, namun Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak kuat lalu pingsan. Tidak lama berselang, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersadar dan bertanya:

أَصَلَّى النَّاسُ؟ فَقَالُوْا: لَا هُمْ يَنْتَظِرُونَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: ضَعُوا لِي مَاءً فِي الْمِخْضَبِ

“Apakah mereka telah melaksanakan shalat?” Para Sahabat menjawab, “Belum. Mereka masih menunggu engkau, wahai Rasûlullâh!” Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Taruhkanlah air untukku pada al-makhdhab (tempat air untuk mandi-red).

Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, “Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di al-makhdhab tersebut dan mandi. Setelah itu, Beliau bangun hendak berdiri, namun Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak kuat lalu pingsan. Tidak lama kemudian, Beliau siuman kembali. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kembali:

أَصَلَّى النَّاسُ؟ فَقَالُوْا: لَا هُمْ يَنْتَظِرُونَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: ضَعُوا لِي مَاءً فِي الْمِخْضَبِ

“Apakah mereka telah melaksanakan shalat?” Para Sahabat menjawab, “Belum. Mereka masih menunggu engkau, wahai Rasûlullâh!” Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Taruhkanlah air untukku pada al-makhdhab

Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, “Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di al-makhdhab tersebut dan mandi. Setelah itu, Beliau bangun hendak berdiri, namun Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak kuat lalu pingsan. Tidak lama kemudian, Beliau siuman kembali. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali melontarkan hal yang sama, sementara pada Sahabat setia menunggu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menunaikan shalat Isya bersama Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Setelah berusaha dan tidak mampu, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akhirnya menyuruh orang-orang yang ada disekitarnya  untuk meminta Abu Bakr Radhiyallahu anhu agar memimpin para Sahabat menunaikan shalat Isya’.

Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata:

إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ رَقِيقٌ وَإِذَا قَرَأَ الْقُرْآنَ لا يَمْلِكُ دَمْعَهُ، فَلَوْ أَمَرْتَ غَيْرَ أَبِي بَكْرٍ. قَالَتْ: وَاللَّهِ، مَا بِي إِلا كَرَاهِيَةُ أَنْ يَتَشَاءَمَ النَّاسُ بِأَوَّلِ مَنْ يَقُومُ فِي مُقَامِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya Abu Bakr seorang yang sangat peka hatinya, mudah menangis. Jika beliau Radhiyallahu anhu membaca al-Qur’an, beliau Radhiyallahu anhu tidak bisa menahan air matanya. Sekiranya engkau berkenan menyuruh Sahabat lain selain Abu Bakar Radhiyallahu anhu ?

Aisyah Radhiyallahu anhuma juga mengatakan, “Demi Allâh! Saya tidak ada apa-apa, hanya saja saya khawatir orang-orang merasa bosan dengan orang yang pertama kali menggantikan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Meski demikian, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap bersabda:

مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ

Suruhlah Abu Bakr! Hendaklah dia shalat bersama para Sahabat (sebagai imam-red)

Aisyah Radhiyallahu anhuma mengucapkan perkataan yang sama, namun Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap bersabda:

مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ

Suruhlah Abu Bakr! Hendaklah dia shalat bersama para Sahabat

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim utusan untuk menemui Abu Bakr Radhiyallahu anhu agar beliau Radhiyallahu anhu mengimami para Sahabat menunaikan shalat Isya. Setelah menjumpai Abu Bakr, utusan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan pesan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada beliau. Menerima pesan ini, Abu Bakr Radhiyallahu anhu merasa berat dan mengalihkannya kepada Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu , namun Umar Radhiyallahu anhu menolak dan mengatakan bahwa Abu Bakr Radhiyallahu anhu adalah orang yang paling berhak untuk itu. Akhirnya, sejak saat itu dalam beberapa hari , Abu Bakr Radhiyallahu anhu memimpin para Sahabat menunaikan shalat di masjid Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Ketika merasa sakitnya agak sedikit ringan, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah menuju masjid dengan dipapah oleh dua Sahabat Radhiyallahu anhuma . Saat berjalan menuju masjid, Aisyah  memperhatikan jalan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dia  mengatakan:

كَأَنِّي أَنْظُرُ رِجْلَيْهِ تَخُطَّانِ الأَرْضَ مِنَ الْوَجَعِ

seakan-akan aku melihat kedua kaki Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis di tanah (diseret) disebabkan sakit yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam derita

Setibanya di masjid, Abu Bakr Radhiyallahu anhu yang sedang mengimami shalat merasakan kedatangan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berniat hendak mundur ke barisan makmum, namun Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  memberikan isyarat kepada Abu Bakr Radhiyallahu anhu agar tetap berada pada posisinya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  terus dipapah, didudukkan dan shalat di samping Abu Bakr Radhiyallahu anhu . Abu Bakr Radhiyallahu anhu mengikuti shalat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sementara para Sahabat tetap shalat dengan mengikuti Abu Bakr Radhiyallahu anhu . Kejadian ini ini terjadi pada shalat Zhuhur pada hari Kamis. Shalat itu adalah shalat terakhir yang dilaksanakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan berjama’ah bersama para Sahabatnya.

Setelah itu, sakit yang mendera Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  semakin parah. Tiga hari menjelang wafat, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:

أَحْسِنُوْا الظَّنَّ بِاللهِ

Berbaik sangkalah kalian kepada Allâh! berbaik sangkalah kalian kepada Allâh!

Kemudian seakan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan sakit yang luar biasa, sehingga Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu anhuma mengatakan  bahwa beliau Radhiyallahu anhuma tidak pernah melihat orang yang merasakan sakit yang lebih berat daripada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Dalam kondisi ini, Abu Said al-Khudri Radhiyallahu anhu berkata, “Aku masuk ke rumah Aisyah Radhiyallahu anhuma untuk menemui Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan di saat itu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  sedang merintih merasakan sakit yang luar biasa. Aku meletakkan kedua tanganku ke tubuh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang menggunakan selimut dan aku mendapati panas tubuh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  sangat tinggi sekali. Abu Said Radhiyallahu anhu mengatakan, “Alangkah berat sakitmu, wahai Rasûlullâh.” Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:

إِنَّا كَذَلِكَ يُضَعَّفُ لَنَا الْبَلَاءُ وَيُضَعَّفُ لَنَا الْأَجْرُ

Begitulah kita. Ujian kita dilipat gandakan dan pahala kita juga dilipat gandakan

Salah seorang Sahabat yang lain yaitu Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu mengatakan, “Aku juga mendatangi Rasûlullâh, dan ketika itu, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang merintih kesakitan yang luar biasa.”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Mengutuk Yahudi Dan Nashara

Sakit Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  terus bertambah parah dan berat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil kain untuk menutupi wajah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Jika sedikit berkurang, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyingkap kain itu dari wajahnya n . Dalam kondisi menahan sakit yang sangat dahsyat ini, Beliau tidak lupa mengingatkan umatnya tentang suatu yang sangat penting. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَعْنَةُ اللهِ عَلَى اليَهُوْدِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَاءِهِمْ مَسَاجِدَ

Semoga Allâh melaknat Yahudi dan Nashara yang telah menjadikan kuburan-kuburan para nabi mereka sebagai masjid.

Pada hari-hari itu, Abu Bakr Radhiyallahu anhu terus mengimami para Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  dalam shalat-shalat mereka. Saat mereka sedang bersiap menunaikan shalat Shubuh dengan diimami oleh Abu Bakr Radhiyallahu anhu , tepatnnya pada hari Senin tanggal 12 Rabiul Awwal, menurut pendapat mayoritas para Ulama, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuka kain penutup yang menutupi kamar Aisyah Radhiyallahu anhuma dari Masjid Nabawi. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kearah para Sahabat yang sedang berbaris rapi menunaikan shalat Shubuh. Wajah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terlihat berseri-seri lalu tersenyum. Hampir saja kaum Muslimin terpengaruh dalam shalat mereka dengan senyum Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mereka lihat.  Merasakan ini, Abu Bakr Radhiyallahu anhu mundur karena menyangka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan keluar dari kamar atau rumah Aisyah Radhiyallahu anhuma menuju masjid. Namun memberikan isyarat agar mereka menyempurnakan shalat mereka. Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup kembali kain tabir itu. Para Sahabat menyangka bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mulai sembuh dari sakitnya.

Dugaan para Sahabat ini berlawanan dengan fakta yang ada. Sakit Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  semakin parah sampai-sampai Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pingsan beberapa kali. Fathimah Radhiyallahu anhuma yang terus mengamati kondisi baginda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  berkata, “Alangkah berat penderitaanmu, wahai ayahku!” Mendengar ungkapan hati Fathimah Radhiyallahu anhuma , Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meyakinkan beliau Radhiyallahu anhuma :

لَيْسَ عَلَى أَبِيكِ كَرْبٌ بَعْدَ الْيَوْمِ

Sesungguhnya setelah ini, tidak ada lagi penderitaan yang akan mendera bapakmu.

Meskipun Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang mengalami sakit parah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering sekali memberikan wasiat kepada para Sahabatnya terutama wasiat tentang shalat. Bahkan wasiat tentang shalat merupakan wasiat terakhir, ketika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengalami sakaratul maut. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya dengan terbata-bata seraya menahan sakit:

الصَّلاَةَ الصَّلاَةَ وَاتَّقُوْا اللهَ فِيْمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

Perhatikanlah shalat kalian… Perhatikanlah shalat kalian… Dan hendaklah kalian bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla dalam urusan budak-budak kalian.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Bersiwak

Pada hari Senin pagi, Abdurrahman bin Abu Bakr Radhiyallahu anhuma memasuki kamar Aisyah Radhiyallahu anhuma . Saat itu ia melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan sakit keras sehingga Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mampu lagi untuk berucap. Abdurrahman bin Abu Bakr Radhiyallahua anhuma masuk sambil membawa siwak dan sedang menggunakannya.  Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  melihat apa yang dilakukan oleh Abdurrahman bin Abu Bakr Radhiyallahua anhuma sembari bersandar pada Aisyah Radhiyallahu anhuma. Ketika melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus memandangi dan memperhatikan Abdurrahman bin Abu Bakr Radhiyallahua anhuma, Aisyah Radhiyallahu anhuma memahami bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  ingin bersiwak. Untuk memastika dugaan ini, Aisyah Radhiyallahu anhuma bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

آخُذُهُ لَكَ

 Apakah engkau ingin aku ambilkan engkau siwak itu?

Rasûlullâh memberikan isyarat dengan anggukan kepala. Aisyah Radhiyallahu anhuma mengambilkan siwak itu dan menyerahkannya kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersiwak dengannya, sementara dihadapan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada sebuah wadah air yang terbuat dari kulit. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memasukkan tangannya kedalam air yang ada dihadapannya lalu mengusap wajahnya dengan air tersebut, sembari mengatakan:

لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ إِنَّ لِلْمَوْتِ لَسَكَرَاتٍ. اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى سَكَرَاتِ الْمَوْتِ

Tidak ada ilah yang diibadahi dengan hak selain Allâh. Sesungguhnya kematian memiliki sakarat. Ya Allâh! Bantulah aku menghadapi sakaratul maut ini!

Aisyah Radhiyallahu anhuma juga mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  berdo’a:

مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنْ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

Mereka bersama orang-orang yang Allâh berikan nikmat padanya daripada para nabi dan orang-orang sholeh dan mereka adalah sebaik-baiknya teman.

Aisyah Radhiyallahu anhuma juga mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa sambil bersandar pada Aisyah Radhiyallahu anhuma :

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي، وَألْـحِقْنِي بِالرَّفِيقِ الْأَعْلَى

Wahai Allâh! Ampunilah dosaku! Karuniakanlah rahmat-Mu kepadaku dan angkatlah aku ke ar-Rafiqul A’la (masukkanlah aku ke dalam surga bersama orang-orang terbaik-red)

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan doa-doa itu, padahal Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang Rasul yang dijamin akan masuk surga, bagaimana dengan kita???

Ketika berada di atas pangkuan Aisyah Radhiyallahu anhuma, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  pingsan selama kurang lebih satu jam, lalu siuman. Saat itu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  memandang ke atap, lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kepala Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersandar pada badan Aisyah Radhiyallahu anhuma . Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  mengangkat kedua tangan Beliau yang mulia seraya terus memanjatkan doa:

اللَّهُمَّ الرَّفِيْقَ الأَعْلَى

 Ya Allâh! Masukkanlah aku ke syurga.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus memanjatkan doa itu sampai ruh Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dicabut dan tangan Beliau yang mulia pun lemas. Kalimat itulah yang terakhir kali diucapkan oleh baginda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  .

Aisyah Radhiyallahu anhuma yang menyaksikan saat yang paling menyedihkan itu mengatakan, “Ketika ruh Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dicabut, saya mencium aroma paling harum yang pernah saya ketahui.

Kematian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Bagi Para Sahabat

Akhirnya, manusia termulia itupun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat. Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam Rasûlullâh, kekasih Allâh itu wafat dalam pangkuan istri tercinta Aisyah Radhiyallahu anhuma . Setelah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, seluruh kota Madinah al-munawwarah terasa gelap gulita. Ketika itu, Abu Bakr tidak sedang berada di dekat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau Radhiyallahu anhu sedang berada di rumahnya. Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu sangat terpukul mendengar berita kematian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dia berdiri sembari menyuarakan ketidak percayaannya mendengar kematian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dia Radhiyallahu anhu mengatakan, “Demi Allâh! Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak wafat.”

Dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan bahwa Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu yang tidak percaya tentang berita wafatnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , berkata, “Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak wafat, akan Rabbnya telah mengirim utusan kepadanya sebagaimana Allâh Azza wa Jalla telah mengirim utusan-Nya kepada Musa q lalu dia meninggalkan kaumnya selama empat puluh hari. Demi Allâh! Saya yakin Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan hidup sehingga Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memotong tangan-tangan dan lisan orang-orang munafik yang mengira atau mengatakan bahwa Muhammad telah wafat.[2]

Dalam suasana mencekam akibat ketidak percayaan Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu , Abu Bakr Radhiyallahu anhu dating ke tempat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah mendengar kematian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau Radhiyallahu anhu tanpa banyak bicara langsung menuju ke jenazah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ditutup dengan kain. Abu Bakr Radhiyallahu anhu menyingkap bagian kain yang menutupi wajah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu menangis. Abu Bakr Radhiyallahu anhu mencium kening Rasûlullâh sambil menangis. Abu Bakr Radhiyallahu anhu mengatakan:

بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي طِبْتَ حَيًّا وَمَيِّتًا

Demi bapak dan ibuku! Engkau tetap wangi ketika masih hidup dan juga setelah wafat.

Dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa Abu Bakr Radhiyallahu anhu setelah mencium kening Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah wafat, beliau Radhiyallahu anhu menangis dan mengatakan:

بِأَبِي أَنْتَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ لَا يَجْمَعُ اللَّهُ عَلَيْكَ مَوْتَتَيْنِ أَمَّا الْمَوْتَةُ الَّتِي كُتِبَتْ عَلَيْكَ فَقَدْ مُتَّهَا

Demi bapakku! Wahai Nabi Allâh Azza wa Jalla! Allâh Azza wa Jalla tidak akan mengumpulkan padamu dua kali kematian. Sekarang kematian yang telah ditetapkan Allâh Azza wa Jalla untukmu telah engkau lalui.

Lalu beliau Radhiyallahu anhu keluar menemui Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu dan berusaha menenangkan beliau, namun tidak berhasil. Akhirnya Abu Bakr Radhiyallahu anhu membiarkan Umar Radhiyallahu anhu dalam ketidakpercayaannya lalu beliau Radhiyallahu anhu menghadapkan wajahnya kearah para Sahabat. Beliau mengawali pembicaraannya dengan membaca tasyahhud lalu mengatakan:     

أَمَّا بَعْدُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ مَاتَ وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ

Amma ba’du, barangsiapa yang menyembah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka sesungguhnya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat. Dan barangsiapa yang menyembah Allâh Azza wa Jalla , maka sesungguhnya Allâh maha hidup dan tidak akan mati.

Lalu Abu Bakr Radhiyallahu anhu membaca ayat:

إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ

Sesungguhnya kamu akan mati dan mereka akan mati. [Az-Zumar/39:30]

dan juga membaca ayat:

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا ۗ وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang maka dia tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada Allâh sedikit pun. Dan Allâh akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. [Ali ‘Imrân/3:144]

Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma mengatakan:

وَاللَّهِ لَكَأَنَّ النَّاسَ لَمْ يَكُونُوا يَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ حَتَّى تَلَاهَا أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَتَلَقَّاهَا مِنْهُ النَّاسُ

Demi Allâh! Seakan semua orang tidak ada yang mengetahui bahwa Allâh telah menurunkan ayat tersebut sampai Abu Bakr Radhiyallahu anhu membacakannya (kala itu), dan manusia mengambil ayat tersebut darinya.[3]

Umar Radhiyallahu anhu mengatakan, “Demi Allâh! Sesungguhnya aku seakan-akan belum pernah mendengar ayat ini sampai aku mendengar Abu Bakr Radhiyallahu anhu membaca ayat ini.  Sehingga saya lemas, saya tidak kuat berdiri dengan kedua kakiku dan jatuh ke tanah, ketika Abu Bakr Radhiyallahu anhu membacakan ayat tersebut. Saat itu, saya yakin bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat. Para Sahabat yang mendengar berita ini pun ikut menangis di masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pada hari Selasa, sehari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, para Sahabat hendak menyiapkan segala sesuatu untuk pemakaman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Saat hendak memandikan jenazah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka kebingungan dan berselisih, apakah mereka harus membuka pakaian Rasûlullâh sebagaimana yang biasa mereka lakukan saat memandikan jenazah yang alain ataukah mereka memandikan jenazah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tanpa melepaskan baju Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Dalam keadaan seperti itu, Allâh Azza wa Jalla mendatangkan rasa kantuk kepada mereka semua, kemudian mereka mendengar ada orang yang menyuruh mereka untuk memandikan jenazah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tanpa melepas pakaian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Tidak ada seorangpun diantara para Sahabat yang mengetahui, siapakah orang yang berbicara itu? Akhirnya, Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu memandikan jenazah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dibantu oleh beberapa orang Sahabat lainnya. Mereka membasahi jenazah Beliau Radhiyallahu anhu dengan lembut tanpa melepas baju yang dikenakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .  Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu  mendapatkan kemuliaan untuk menggosok-gosok jasad Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lembut. Ali Radhiyallahu anhu bercerita, “Saya terus memperhatikan jenazah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan detail, saya tidak mendapatkan apapun. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu selalu dalam keadaan baik, ketika masih hidup maupun ketika sudah wafat.”

Setelah dimandikan, jenazah Rasûlullâh dikafankan dengan tiga lapis kain berwarna putih. Beliau tidak dipakaikan baju dan juga surban. Lalu para Sahabat menyalati Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri-sendiri tanpa ada seorang imam yang mengimami mereka. Shalat jenazah diawali oleh kaum laki-laki dewasa, kemudian anak-anak kecil, lalu para wanita dan terakhir  para budak. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dimakamkan pada Rabu ditempat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat yaitu di rumah ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berada di luar masjid Nabawi kala itu. Ketika hendak menggali kubur Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , para para Sahabat kembali berselisih pendapat tentang bagaimana kuburan Rasûlullâh? Apakah dibuatkan lahat, atau hanya dibuatkan sebuah lubang begitu saja? Pada saat itu, di Madinah ada dua penggali kubur, yang satu menggali dengan membuat lahat, sementara yang satu lagi hanya berupa lubang biasa saja. Karena tidak bisa memutuskan, akhirnya para Sahabat sepakat untuk melakukan shalat Istikharah untuk memohon petunjuk kepada Allâh Azza wa Jalla lalu setelah mereka itu mereka mengirim utusan kepada dua orang penggali kuburan itu, siapapun diantara dua orang ini yang datang, maka dialah yang menggali kubur Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan caranya sendiri. Ternyata yang lebih dahulu datang adalah orang yang biasa menggali kuburan dengan ditambahkan lahat. Akhirnya kuburan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibuatkan lahat.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dimakamkan dengan beralaskan sebuah kain merah, kemudian setelah itu, sebuah batu ditancapkan di atasnya. Kuburan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditinggikan sekitar satu jengkal dari tanah semula. Setelah pemakaman selesai, Anas Radhiyallahua anhu lewat didepan rumah Fathimah binti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Fathimah Radhiyallahu anhuma berkata kepada Anas Radhiyallahua anhu, “Wahai Anas! Apakah kalian sanggup menimbunkan pasir ke jenazah Rasûlullâh?!”

Wahai saudara-saudaraku, kaum Muslimin dan Muslimat! Setiap orang yang meninggal dunia itu memiliki warisan. Namun Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mewariskan atau tidak meninggalkan dirham apalagi dinar, tidak juga kambing atau unta. Para Nabi itu tidak boleh diwarisi. Harta yang mereka tinggalkan ketika mereka meninggal dunia menjadi sedekah, bukan harta yang diwariskan. Ketika wafat, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan warisan yang begitu agung. Mestinya, semua kaum Muslimin berlomba-lomba untuk mendapatkannya. Tidak boleh ada seorang pun yang dihalanginya dari warisan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut juga tidak boleh menghalangi jika ada orang terus ingin mendapatkan tambahan dari warisannya n . Semua kaum Muslimin berhak mengambil apapun yang mereka kehendaki dari warisan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Diantara manusia, ada yang mengambilnya untuk dirinya sendiri, ada juga yang menolong orang lain untuk mendapatkannya, dengan  mendukung dan menyokong sekolah-sekolah, ma’ad-ma’had dan mejelis-majelis yang mengajarkan al-haq. Itulah ilmu yang merupakan warisan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak akan pernah habis dan tidak akan pernah hilang sampai hari kiamat.  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

Sesungguhnya para Ulama itu adalah pewaris para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . dan sesungguhnya para Nabi itu tidak meninggalkan dinar juga tidak dirham, namun mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, berarti dia telah mengambil bagian yang banyak

Pelajaran Penting

Kaum Muslimin! sesungguhnya apa yang kita bahas tadi tentang kematian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan hal yang sangat besar yang telah menimpa umat. Dan apa yang telah disampaikan dari awal sampai akhir tentang kematian Rasûlullâh adalah bersumber dari riwayat yang shahih, tidak ada satupun yang saya sampaikan dari riwayat yang dha’if apalagi palsu. Semoga kita bisa mengambil dan memetik pelajaran dari kisah kematian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. dan tidak diragukan lagi, bahwa semua kejadian terkait wafatnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengandung pelajaran penting bagi kita. Saya sudah menyampaikannya dengan panjang lebar, karena pembahasan ini memang harus dibahas dengan panjang lebar dan tidak boleh ada rasa bosan untuk mengikutinya. Bagaimana mungkin ada rasa bosan yang menghinggapi hati seseorang yang sedang menyimak kisah kematian orang yang sangat dicintainya yaitu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Namun supaya lebih bermanfaat, saya menyebutkan beberapa pelajaran penting. Diantara pelajaran penting yang bisa kita ambil dari kisah kematian Nabi Muhammad adalah:

Setiap Mukmin harus mengambil pelajaran dari kisah kematian Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau adalah khalîlullâh (kekasih Allâh), meski demikian, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap mengalami kematian. Jika seandainya ada orang yang berhak hidup kekal di dunia, tentu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam diantara yang berhak untuk kekal di dunia. Akan tetapi, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam justru mengalami kematian, bahkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kedudukannya sebagai seorang Nabi, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengalami sakaratul maut yang luar biasa.
Bagaimana mungkin kita tidak mengambil pelajaran dari kisah wafatnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?! Beliau adalah rasul termulia dan imam bagi semua orang yang bertakwa.

Setelah menyima’ dan membaca kisah ini, masih adakah orang yang menyangka atau meyakini bahwa dia tidak akan mati??? Demi Allâh! Rabbnya Ka’bah! Tidak akan ada seorang pun yang kekal hidup di dunia. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ

Setiap jiwa pasti akan mengalami kematian. [Ali Imran/3:185]

Maka, berbahagialah orang yang bisa mengambil pelajaran dari kisah ini serta sudah mulai melakukan persiapan untuk menghadapi kematian yang pasti akan mendatanginya! Dia melakukan persiapan terus-menerus sebelum terlambat, karena kedatangan malaikat pencabut nyawa tanpa didahului pemberitahuan. Betapa banyak orang yang kita cintai meninggal dihadapan kita, padahal sebelumnya dia berharap bisa mengikuti pemakaman orang tuanya. Namun takdir menetapkan lain, justru dialah yang dimakamkan oleh kedua orang tuanya.

Bahkan terkadang ada orang yang tidur seranjang dengan orang yang dicintainya dan berharap mereka menikmati udara segar bersama-sama ketika mereka bangun. Namun kenyataan berkata lain, salah seorang diantaranya, meninggal di atas kasurnya.

Ada juga orang yang meninggal dunia mendadak.

Sungguh! Wahai saudara-saudaraku! Kematian itu tidak jauh dari kita. Terkadang ada orang yang sedang berbicara, namun sebelum sempat menyelesaikan pembicaraannya, tiba-tiba kematian datang menghampirinya, sehingga dia pun mati mendadak.

Oleh karena itu, wahai saudara-saudaraku! Hendaklah kita mengambil pelajaran dari semua peristiwa kematian. Jadilah orang yang cerdas. Yaitu orang yang senantiasa mengingat kematian, lalu dia berpegang teguh dengan Islam serta mengetahui sebuah hakikat bahwa kehidupan akhirat itu jauh lebih baik dan lebih kekal daripada kehidupan dunia.

Pelajaran yang kedua adalah ta’ziyatul Muslimin (menghibur hati kaum Muslimin) ketika tertimpa musibah atau bisa meringan beban mereka ketika menerima musibah yang berat. Jika kita tertimpa penyakit, maka ingatlah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , khalilullah juga mengalami sakit keras. Jika kita merasa sedih karena kehilangan orang yang kita cintai, maka ingatlah kita pernah merasakan kesedihan yang tiada tara karena kehilangan orang yang paling kita cintai yaitu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .  Kesedihan akibat dari kehilangan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih berat dibandingkan rasa sedih akibat ditinggal oleh siapapun di dunia ini bahkan oleh semua orang. Dengan ini, beban kesedihan kita akan sedikit berkurang. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَيُّمَا أَحَدٍ مِنَ النَّاسِ، أَوْ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أُصِيبَ بِمُصِيبَةٍ، فَلْيَتَعَزَّ بِمُصِيبَتِهِ بِي عَنِ الْمُصِيبَةِ الَّتِي تُصِيبُهُ بِغَيْرِي، فَإِنَّ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِي لَنْ يُصَابَ بِمُصِيبَةٍ بَعْدِي أَشَدَّ عَلَيْهِ مِنْ مُصِيبَتِي

Wahai manusia! Siapapun diantara manusia atau kaum Mukminin yang tertimpa musibah, maka hendaklah dia menghibur dirinya dengan musibah yang menimpanya akibat kematianku untuk menghilangkan kesedihannya akibat musibah yang menimpanya karena kematian orang selainku. Karena sesungguhnya, tidak ada seorangpun dari umatku yang akan tertimpa musibah yang lebih dahsyat daripada musibah kematianku (Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam )

Pelajaran terpenting lainnya yaitu tentang keagungan tauhid yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dakwahkan selama hidupnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan di akhir hayatnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikianlah seharusnya kaum Muslimin yang mendapatkan taufiq dari Allâh Azza wa Jalla . Mereka akan terus bersemangat agar tetap menjadi orang-orang yang terus mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla . Mereka akan terus mengamalkan dan mendakwahkan tauhid sampai kematian datang menjemputnya. Mereka mencintai    semua orang yang mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dan menjadikan dirinya sebagai bagian dari mereka. Dia senantiasa bermunajat kepada Rabbnya agar diberi keteguhan hati untuk tetap berada di atas tauhid sampai meninggal dunia.

Pelajaran lain yang tidak kalah penting yaitu penjelasan tentang hukum membangun masjid di atas kubur juga tentang hukum memasukkan kuburan ke dalam lingkungan masjid. Dari kisah wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kita tahu bahwa perbuatan membangun masjid di atas kuburan adalah perbuatan dosa besar, bahkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut para pelaku perbuatan tersebut sebagai makhluk terburuk dan berhak mendapat laknat dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Apakah mungkin ada seorang Mukmin merasa nyaman hatinya untuk melakukan apa yang dilarang oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?? Padahal larangan tersebut Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan pada saat Beliau mengalami sakit keras, dan Beliau memberikan peringatan itu berulang-ulang, karena khawatir fitnah ini akan menimpa umatnya. Dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam meskipun sebagai makhluk termulia, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dikuburkan di dalam masjid. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikuburkan tempat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, yaitu di rumah Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berada di luar masjid. Ketika Utsman bin Affan Radhiyallahu anhu meluaskan masjid Nabawi, Utsman Radhiyallahu anhu tidak memasukkan kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke dalam Masjid Nabawi. Beliau Radhiyallahu anhu memperluas masjid Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke arah semua sisi, kecuali kearah sisi kuburan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Setelah itu, sebagian penguasa Bani Umayyah melakukan kesalahan yang telah memasukkan kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke dalam masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Namun yang perlu diingat, bahwa hujjah itu bukan berada pada perbuatan seseorang, tetapi hujjah hanya ada pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perbuatan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum . Oleh karena itu,  wajib bagi setiap Muslim yang lebih meninggikan risalah Rasûlullâh daripada adat nenek moyangnya untuk menjauhi perbuatan ini sejauh-jauhnya.

Kemudian, jika didapati ada sebuah kuburan di dalam masjid, maka hendaklah kita perhatikan. Jika masjid itu ada sebelum kuburan, maka kita wajib menggali kuburan tersebut dan memindahkannya ke tempat pemakaman umum.  Dan jika kuburan tersebut ada sebelum masjid, maka kita wajib merobohkan masjid tersebut dan membiarkan kuburan itu ditempatnya. Karena dia lebih berhak terhadap tempat itu daripada masjid yang ada setelahnya.

Sebagai pengetahuan tambahan tentang bagaimana menyikapi masjid yang ada kuburannya. Ketahuilah, jika ada masjid dan didalam nya ada kuburan, bukan berarti semua orang boleh menghancurkan masjid tersebut dengan seenaknya. Dia harus menyampaikan hal ini kepada penguasa setempat atau disampaikan kepada para pengurus yang bertanggungjawab terhadap masjid tersebut.  Sehingga mereka berkesempatan untuk memperbaiki segala sesuatu agar selaras dengan syari’at yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Pelajaran terakhir dari peristiwa wafatnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ingin saya sampaikan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  adalah manusia biasa yang mengalami sakit sebagaimana manusia lain mengalami sakit. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  mengalami kematian sebagaimana manusia yang lain mengalami kematian. Hanya saja, Allâh Azza wa Jalla telah memuliakannya dengan risalah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  hanyalah manusia biasa yang tidak layak untuk disembah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  adalah seorang rasul yang wajib untuk ditaati dan yang wajib untuk diikuti. Kita tidak boleh bersikap berlebihan terhadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , namun juga kita tidak boleh meremehkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kewajiban kita sebagai kaum Muslimin adalah memposisikan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  pada posisi yang semestinya, sehingga kita tidak mencedarai tauhid yang merupakan hak Allâh Azza wa Jalla .

Penutup

Saya sudah menyampaikan masalah ini dengan panjang lebar, karena materi ini sangat penting. Sebenarnya, masih banyak yang ingin saya sampaikan, namun saya harus mengakhirinya karena waktu yang singkat.

Saya memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar berkenan menjadi apa yang saya sampaikan pada kesempatan ini bermanfaat bagi diri saya sendiri dan bagi semua yang bisa menyima’ atau membaca sajian ini.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIX/1436H/2015. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta]
_______
Footnote
[1] Diangkat dari ceramah DR.Sulaiman bin Salimullah ar-Ruhaili di masjid JIC Jakarta Utara
[2] HR. Ahmad/ al-Fath ar-Rabbani (21/241-242)
[3] HR. Al-Bukhari
Jika Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Wafat Atau Di Bunuh

Ustadz Said Yai bin Imanul Huda

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا ۗ وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ﴿١٤٤﴾وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلًا ۗ وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الْآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا ۚ وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa berbalik ke belakang, maka dia tidak dapat mendatangkan ke-mudharat-an kepada Allâh sedikit pun. Dan Allâh akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.

Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allâh, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu. Dan barang siapa yang menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami berikan balasan kepada orang yang bersyukur.[Ali ‘Imrân/3:144-145]

Tafsir Ringkas

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan seorang rasul yang berbeda dengan para rasul yang lain. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk para rasul yang memiliki tugas untuk menyampaikan risalah (ajaran) dari Rabb mereka dan melaksanakan perintah-Nya.

Untuk menjalankan perintah-perintah Allâh Azza wa Jalla , tidak disyaratkan bagi para rasul harus hidup kekal. Yang wajib dilakukan oleh seluruh umat adalah menyembah Rabb mereka pada setiap waktu dan keadaan. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla berfirman, -yang artinya-, “Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang?” dengan meninggalkan keimanan, jihad dan hal-hal lainnya yang telah datang kepada kalian perintah-perintah tentangnya.

“Barangsiapa berbalik ke belakang maka dia tidak dapat mendatangkan ke-mudharat-an kepada Allâh sedikit pun.” Sebenarnya orang tersebut justru mendatangkan ke-mudharat-an untuk dirinya sendiri. Adapun Allâh, Dia Maha Kaya tidak membutuhkan orang tersebut. Allâh Azza wa Jalla tetap akan menegakkan agama-Nya dan memuliakan para hamba-Nya yang beriman.

Setelah Allâh Azza wa Jalla menghina orang yang berbalik ke belakang (murtad), Allâh Azza wa Jalla memuji orang-orang yang tetap bersama Rasul-Nya dan tetap melaksanakan perintah Rabb mereka, dengan perkataan-Nya, “Dan Allâh akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”

Kesyukuran tidak akan bisa terwujud kecuali dengan beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla di setiap keadaan.

Dalam ayat ini terdapat petunjuk dari Allâh Azza wa Jalla kepada para hamba-Nya, bahwa wafatnya seorang pemimpin atau pembesar tidak boleh membuat keimanan mereka goyah apalagi meninggalkan sebagian konsekuensi keimanan tersebut.

Dan ini hanya bisa terwujud dengan mempersiapkan segala sesuatu dalam urusan agama dan mempersiapkan orang-orang yang memiliki kemampuan, sehingga apabila ada seorang di antara mereka yang wafat maka orang lain akan menggantikannya. Dan juga akan terwujud jika tujuan dan fokus kebanyakan kaum Muslimin adalah menegakkan agama Allâh dan berjihad sesuai kemampuan, bukan membela dan menegakkan pemimpin tertentu.

Dalam ayat ini juga terdapat dalil yang menunjukkan keutamaan Abu Bakr ash-Shiddiq dan para Sahabatnya telah membunuh orang-orang yang murtad setelah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat karena mereka adalah para pembesar yang mempraktikkan kesyukuran kepada Allâh Azza wa Jalla .

“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allâh, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.” Kemudian Allâh Azza wa Jalla mengabarkan bahwa batas waktu kehidupan bagi seluruh jiwa tergantung pada izin dan qadar Allâh. Barangsiapa yang Allâh Azza wa Jalla tetapkan dia akan mati dengan takdirnya maka dia aka mati walaupun tanpa ada sebab. Barangsiapa yang Allâh Azza wa Jalla kehendaki tetap hidup, maka dia akan tetap hidup, meskipun dia telah melakukan sebab-sebab yang dapat membuatnya mati. Karena Allâh Azza wa Jalla telah menetapkan qadha’ dan qadar-Nya, dan Allâh telah menulisnya sampai ajal tertentu. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ ۖ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً ۖ وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ

Dan setiap umat mempunyai batas waktu, maka apabila telah datang batas waktunya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula bisa) memajukannya. [Al-A’raf/7: 34]

Kemudian Allâh Azza wa Jalla mengabarkan bahwa Allâh Azza wa Jalla memberikan balasan kepada manusia di dunia dan akhirat sesuai dengan apa-apa yang mereka inginkan.

Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Barang siapa yang menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu. Dan barang siapa yang menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu.”

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

كُلًّا نُمِدُّ هَٰؤُلَاءِ وَهَٰؤُلَاءِ مِنْ عَطَاءِ رَبِّكَ ۚ وَمَا كَانَ عَطَاءُ رَبِّكَ مَحْظُورًا ﴿٢٠﴾ انْظُرْ كَيْفَ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ وَلَلْآخِرَةُ أَكْبَرُ دَرَجَاتٍ وَأَكْبَرُ تَفْضِيلًا

Kepada masing-masing golongan, baik golongan ini maupun golongan itu, Kami beri bantuan dari kemurahan Rabb-mu. Dan kemurahan Rabb-mu tidak dapat dihalangi. Perhatikanlah bagaimana Kami lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian (yang lain). Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya. [Al-Isrâ’/17: 20-21]

“Dan kami berikan balasan kepada orang yang bersyukur.” Allâh tidak menyebutkan apa balasan untuk mereka untuk menunjukkan banyak dan besarnya balasan untuk mereka dan juga untuk menunjukkan bahwa balasan itu tergantung kepada kadar kesyukuran, yaitu tergantung kepada sedikit, banyak dan kualitasnya.[1]

Penjabaran Ayat

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul [Ali ‘Imrân/3:144]

Sebab Turunnya Ayat

Ketika kaum Muslimin mengalami kekalahan dalam perang Uhud, ada beberapa Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang gugur sebagai syahid dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri terluka kala itu. ‘Abdullah bin Qim-ah, salah seorang kaum musyrikin, mengatakan kepada orang-orang musyrik bahwa dia telah membunuh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Padahal, sebenarnya dia bukan membunuh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tetapi dia membunuh Mush’ab bin ‘Umair Radhiyallahu anhu . Wajah Mush’ab bin ‘Umair n memang mirip dengan wajah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . ‘Abdullah bin Qim-ah berteriak, “Sesungguhnya Muhammad telah terbunuh.” Ada yang mengatakan bahwa yang berteriak itu adalah iblis, sehingga bisa terdengar oleh seluruh orang di sana. Ada yang mengatakan yang berteriak adalah seorang Yahudi. Allâhu a’lam.

Setelah mendengar teriakan tersebut, orang-orang musyrik mengurangi serangannya kepada kaum Muslimin, karena mereka menyangka bahwa mereka telah mendapatkan apa yang mereka inginkan, yaitu membunuh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Sementara itu, sebagian Muslimin mengatakan, “Seandainya ada di antara kita yang mengutus seseorang untuk menghubungi ‘Abdullah bin Ubay, sehingga dia bisa mengamankan kita dari Abu Sufyan.” ‘Abdullah bin Ubay adalah pembesar munafik yang sangat terkenal.

Sebagian Sahabat terduduk dan pasrah. Sedangkan orang-orang munafik mengatakan, “Sesungguhnya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dibunuh. Kembalilah kalian kepada agama kalian yang semula,” yaitu agama sebelum mereka memeluk agama Islam.

Kemudian Anas bin An-Nadhr Radhiyallahu anhu mengatakan, “Wahai kaumku! Apabila Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dibunuh, maka sesungguhnya Rabb Muhammad tidaklah dibunuh. Apa yang kalian bisa lakukan dengan kehidupan ini sepeninggal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Berperanglah sebagaimana Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berperang! Matilah kalian sebagaimana Beliau terbunuh!” … Kemudian Anas bin An-Nadhr Radhiyallahu anhu maju berperang dan terbunuh.

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam muncul di atas batu besar dan memanggil manusia. Orang yang pertama kali mengenalinya adalah Ka’b bin Malik Radhiyallahu anhu .

Dia berkata, “Saya mengenali Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kedua matanya yang terlihat di bawah topi perangnya. Kemudian saya pun berteriak dengan suara saya yang paling keras, ‘Wahai kaum Muslimin! Kabar gembira! Ini adalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .’ Dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan isyarat agar saya diam. Dan beberapa Sahabat pun menuju ke arah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela orang-orang yang lari dari peperangan tersebut. Mereka mengatakan, ‘Ya Nabi Allâh! Ayah-ayah dan ibu-ibu kami menjadi tebusan untukmu! Kami menerima kabar bahwa engkau telah terbunuh. Hati-hati kami pun menjadi takut, sehingga kami mundur dari peperangan.’ Kemudian Allâh Azza wa Jalla menurunkan ayat ini.”[2]

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Seperti Rasul Yang Lainnya Yang Pasti Mengalami Kematian

Ayat ini menunjukkan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia seperti para rasul yang lainnya. Dan manusia pasti akan mati. Begitu pula dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Oleh karena itu, mengapa kalian harus terheran-heran dan tercengang dengan kematian beliau?

Hari Wafatnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam

Berkaitan dengan ayat ini, ada kisah menarik yang terjadi beberapa saat setelah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Kisah ini menunjukkan keutamaan dan kekokohan iman Abu Bakr Ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu.

‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bercerita, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, ketika itu Abu Bakr Radhiyallahu anhu berada di dataran tinggi. Umar Radhiyallahu anhu berdiri dan berkata, ‘Demi Allâh! Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak wafat. Demi Allâh! Tidak ada prasangka di hatiku kecuali hal tersebut. Allâh Azza wa Jalla akan membangkitkan Beliau dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memotong tangan dan kaki orang-orang munafik.’

Setelah itu Abu Bakr Radhiyallahu anhu , kemudian beliau membuka (kain Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) dan menciumnya. Abu Bakr Radhiyallahu anhu berkata, “Demi ayah dan ibuku! Engkau wangi, baik dalam keadaan hidup maupun wafat. Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya! Allâh selamanya tidak akan membuatmu merasakan dua kali kematian.[3]’

Kemudian beliau Radhiyallahu anhu keluar dan berkata, ‘Wahai orang yang bersumpah! Tetaplah di tempatmu! Ketika Abu Bakr berbicara, ‘Umar Radhiyallahu anhu duduk. Kemudian Abu Bakr Radhiyallahu anhu memuji Allâh Azza wa Jalla dan mengagungkan-Nya. Kemudian beliau Radhiyallahu anhu berkata, ‘Ketahuilah! Barangsiapa yang menyembah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sesungguhnya Muhammad telah wafat. Barangsiapa yang menyembah Allâh Azza wa Jalla , maka sesungguhnya Allâh Maha Hidup dan tidak akan pernah mati. lalu beliau Radhiyallahu anhu membaca ayat:

إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ

Sesungguhnya kamu akan mati dan mereka akan mati.[Az-Zumar/39:30]

dan juga membaca ayat:

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا ۗ وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang maka dia tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada Allâh sedikit pun. Dan Allâh akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” [Ali ‘Imrân/3:144]

(Setelah mendengar itu) Orang-orang pun menangis terisak-isak.”[4]

Di dalam riwayat lain dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma , setelah Abu Bakr Radhiyallahu anhu membaca ayat tersebut, beliau c mengatakan, “Demi Allâh! seolah-olah semua orang tidak ada yang mengetahui bahwa Allâh telah menurunkan ayat tersebut sampai Abu Bakr Radhiyallahu anhu membacanya, dan manusia mengambil ayat tersebut darinya. Padahal saya dulu mendengar semua orang membaca ayat tersebut.

Kemudian Said bin al-Musayyab Radhiyallahu anhu mengabarkan kepadaku bahwa ‘Umar mengatakan, “Demi Allâh! Saya mengingat ayat tersebut sampai Abu Bakr Radhiyallahu anhu membacakan ayat tersebut. Tubuhku pun lemas, sampai saya tidak bisa merasakan kedua kakiku dan saya terjatuh ke tanah ketika saya mendengar Abu Bakr Radhiyallahu anhu membaca ayat tersebut, yang berarti bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat.”[5]

Firman Allâh Azza wa Jalla :

أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ

Apakah jika dia wafat atau dibunuh kalian berbalik ke belakang? [Ali ‘Imrân/3:144]

“Berbalik ke belakang” maksudnya adalah kembali kepada agama kalian yang dulu sebelum kalian beriman kepada Allâh dan Rasul-Nya, sehingga kalian menjadi orang-orang kafir dan kalian meninggalkan jihad dan kitab Allâh.[6]

Meskipun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggal, namun syariat yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa akan terus kekal dan ada sampai hari kiamat. Dan kita wajib beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla semata dan mengikuti syariat yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan. Oleh karena itu, sebelum Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan wasiat yang sangat berharga untuk seluruh kaum Muslimin agar berpegang teguh dengan sunnahnya.

عَنْ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ قَالَ وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا بَعْدَ صَلَاةِ الْغَدَاةِ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ رَجُلٌ إِنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلَالَةٌ فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Diriwayatkan dari ‘Irbâdh bin Sâriyah Radhiyallahu anhu , dia berkata, “Pada suatu hari setelah menunaikan shalat Shubuh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasihat kepada kami. Sebuah nasihat yang membuat mata kami menangis dan menjadikan hati-hati kami takut. Kemudian salah seorang lelaki berkata, ‘Sesungguhnya ini adalah nasihat orang yang akan berpisah. Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Wahai Rasûlullâh!’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Saya mewasiatkan kepada kalian agar kalian bertakwa kepada Allâh dan mendengar lalu taat (kepada pemimpin). Meskipun dia itu seorang budak habsyi. Sesungguhnya siapa saja yang hidup di antara kalian (setelah saya wafat), dia akan melihat perselisihan yang banyak. Jauhilah oleh kalian hal-hal yang baru. Sesungguhnya hal yang baru itu sesat. Barangsiapa yang mendapatkannya di antara kalian, maka dia harus berpegang kepada sunnah–ku dan sunnah al-Khulafâ‘ ar-Râsyidin[7] yang diberi petunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi-gigi geraham kalian.” [8]

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا

Barang siapa yang berbalik ke belakang maka dia tidak dapat mendatangkan ke-mudharat-an kepada Allâh sedikit pun. [Ali ‘Imrân/3:144]

Maksudnya, barangsiapa berbalik ke belakang atau murtad, maka kemurtadannya tersebut tidak akan mendatangkan bahaya sedikit pun kepada Allâh Azza wa Jalla, justru orang tersebut telah mendatangkan bahaya untuk dirinya sendiri.

Muhammad bin Ishâq rahimahullah mengatakan, “Artinya kemurtadan tidak mengurangi sedikit pun kemuliaan, kerajaan, kekuasaan dan kemampuan Allâh Azza wa Jalla .”[9]

Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala:

وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ

Dan Allâh akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. [Ali ‘Imrân/3:144]

Muhammad bin Ishâq rahimahullah mengatakan, “Yaitu membalas orang-orang yang taat kepada-Nya dan mengerjakan perintah-Nya.”[10]

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلًا

Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allâh, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. [Ali ‘Imrân/3:145]

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Seseorang tidak akan mati kecuali dengan takdir Allâh. Dia tidak akan mati sampai selesai waktu yang Allâh Azza wa Jalla berikan untuknya. Oleh karena itu, Allâh mengatakan, ‘sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.’.”

Isi Ayat ini seperti firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَا يُعَمَّرُ مِنْ مُعَمَّرٍ وَلَا يُنْقَصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلَّا فِي كِتَابٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seseorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfudzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allâh mudah.“ [Fâthir/35:11]

Dan juga firman-Nya:

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ طِينٍ ثُمَّ قَضَىٰ أَجَلًا ۖ وَأَجَلٌ مُسَمًّى عِنْدَهُ ۖ ثُمَّ أَنْتُمْ تَمْتَرُونَ

Dialah yang menciptakan kalian dari tanah, sesudah itu ditentukan ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu hal yang ada pada sisi-Nya (Yang Dia sendirilah yang mengetahuinya), kemudian kalian masih ragu-ragu (tentang kebangkitan tersebut) [Al-An’âm/6:2]

Ibnu Katsir rahimahullah juga mengatakan, “Dalam ayat ini terdapat penyemangat untuk para penakut agar mereka mau berperang. Sesungguhnya maju atau mundur dalam peperangan tidak akan mengurangi umur seseorang dan tidak pula akan menambahnya.”[11]

Firman Allâh Ta’ala:

وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الْآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا

Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu. Dan barang siapa yang menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. [Ali ‘Imrân/3:145]

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa melakukan suatu amalan untuk mendapatkan dunia, maka dia mendapatkannya di dunia sesuai dengan yang Allâh tentukan untuknya, tetapi di akhirat dia tidak mendapatkan bagian apapun. Barangsiapa melakukan suatu amalan dengan niat meraih ad-Dâr al-akhirah (surga) maka Allâh akan berikan bagiannya di surga dan bersamaan dengan itu juga Allâh akan memberikan bagian untuknya di dunia.”

Semisal dengan ayat ini Allâh Azza wa Jalla berfirman:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ ۖ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ

Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagian pun di akhirat. [As-Syûra/42:20]

Begitu pula firman-Nya:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا ﴿١٨﴾ وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا

Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami akan segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami hendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahannam. Dia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang dia adalah seorang Mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.[l-Isra’/17: 18-19]

Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’b Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بَشِّرْ هَذِهِ الأُمَّةَ بِالسَّنَاءِ وَالتَّمْكِينِ فِي الْبِلاَدِ وَالنَّصْرِ وَالرِّفْعَةِ فِي الدِّينِ، وَمَنْ عَمِلَ مِنْهُمْ بِعَمَلِ الآخِرَةِ لِلدُّنْيَا ، فَلَيْسَ لَهُ فِي الآخِرَةِ نَصِيبٌ

Berilah kabar gembira kepada umat ini dengan ketinggian, kekuasaan di suatu negeri, kemenangan dan kemuliaan di dalam agama. Barang siapa di antara mereka yang mengerjakan amalan akhirat untuk mendapatkan dunia, maka di akhirat dia tidak akan mendapatkan bagian.[12]

Abu Wail rahimahullah mengatakan, ‘Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata:

كَيْفَ أَنْتُمْ إِذَا لَبِسَتْكُمْ فِتْنَةٌ يَهْرَمُ فِيهَا الْكَبِيرُ، وَيَرْبُو فِيهَا الصَّغِيرُ، وَيَتَّخِذُهَا النَّاسُ سُنَّةً فَإِذَا غُيِّرَتْ، قَالُوا: غُيِّرَتِ السُّنَّةُ؟ قِيلٌ: مَتَى ذَلِكَ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ؟ قَالَ: إِذَا كَثُرَتْ قُرَّاؤُكُمْ وَقَلَّتْ فُقَهَاؤُكُمْ وَكَثُرَتْ أَمْوَالُكُمْ وَقَلَّتْ أُمَنَاؤُكُمْ وَالْتُمِسَتِ الدُّنْيَا بِعَمَلِ الآخِرَةِ

Bagaimana kalian jika fitnah menguasai kalian, orang-orang dewasa menjadi tua, dan anak-anak kecil beranjak dewasa, kemudian manusia menjadikan fitnah tersebut sebagai sunnah (kebiasaan). Apabila kebiasaan tersebut ingin diubah (diperbaiki) maka mereka mengatakan, ‘Apakah sunnah (kebiasaan) telah diubah?’[13] Beliau pun ditanya, “Kapankah itu (akan terjadi) wahai Abu ‘Abdirrahman[14]?” Beliau mengatakan, “Jika penghafal-penghafal al-Qur’an di antara kalian jumlahnya banyak, tetapi sangat sedikit orang-orang yang paham (terhadap agama) di antara kalian. Begitu pula ketika harta-harta kalian banyak, tetapi sedikit orang-orang yang bisa dipercaya di antara kalian dan dunia dicari dengan mengerjakan amalan akhirat.”[15]

Malik bin Dinar rahimahullah pernah berkata:

سَأَلْتُ الْحَسَنَ مَا عُقُوبَةُ الْعَالِمِ ؟ قَالَ: مَوْتُ الْقَلْبِ. قُلْتُ: وَمَا مَوْتُ الْقَلْبِ؟ قَالَ: طَلَبُ الدُّنْيَا بِعَمَلِ الْآخِرَةِ.

Saya bertanya kepada al-Hasan (al-Bashri), ‘Apa hukuman bagi seorang yang berilmu?’, Beliau menjawab, ‘Kematian hatinya,’ Saya pun berkata, ‘Apa yang dimaksud kematian hati?’ Beliau pun menjawab, ‘Mencari dunia dengan mengerjakan amalan akhirat.’[16]

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ

Dan Kami berikan balasan kepada orang yang bersyukur. [Ali ‘Imrân/3:145]

‘Ibâd bin Manshûr rahimahullah mengatakan, “Saya bertanya kepada al-Hasan tentang arti ‘Dan kami berikan balasan kepada orang yang bersyukur,’ beliau rahimahullah mengatakan, ‘Allâh Azza wa Jalla akan memberikan kepada hamba-Nya sesuai niatnya, baik dunia maupun akhirat.’.”[17]

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Artinya adalah Kami akan memberikan kepada mereka karunia dan rahmat Kami di dunia dan akhirat tergantung besar syukur yang mereka lakukan dan amalan mereka.”[18]

Kesimpulan

●Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang pasti mengalami kematian.
●Ayat di atas menunjukkan kekokohan iman, ketinggian pemahaman dan keutamaan Abu Bakr ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu di saat manusia terbawa perasaan dan tidak bisa menerima dengan lapang akan wafatnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau Radhiyallahu anhu tetap kokoh dan bahkan bisa membimbing dan mengingatkan umat akan kebenaran wafatnya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
●Setelah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat kita tetap wajib mengikuti syariat yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa.
●Apabila ada orang yang murtad atau kafir, maka hal tersebut tidak akan mengurangi sedikit pun kekuasaan Allâh Azza wa Jalla
●Kematian sudah diatur oleh Allâh Azza wa Jalla dan seseorang tidak akan mati kecuali telah sampai ajalnya.
●Ayat di atas mengandung anjuran untuk selalu ikhlas dalam beramal dan peringatan agar tidak mencari dunia dengan amalan-amalan shalih yang dikerjakan.
●Allâh akan membalas orang-orang yang bersyukur sesuai kadar kesyukuran yang mereka kerjakan.
Demikian tulisan ini. Mudahan bermanfaat dan mudah-mudahan Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita sebagai pengikut sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai akhir hayat kita dan kita bisa selalu mengikhlaskan ibadah-ibadah kita hanya untuk Allâh semata. Amin.

Daftar Pustaka

●Aisarut Tafâsîr li Kalâm ‘Aliyil-Kabiir. Jabir bin Musa Al-Jazairi. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm wal-hikam
●Al-Jâmi’ Li Ahkâmil Qur’ân. Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi. Kairo: Daar Al-Kutub Al-Mishriyah.
●As-Sîrah an-Nabawiyah. ‘Abdul-Malik bin Hissyam bin Ayyub Al-Himyari. 1411. Beirut: Darul-Jail.
●Az-Zuhd. Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibaani. 1425 H/2004. Kairo: Darul-Hadits.
●Ma’âlimut Tanzîl. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’uud Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyaadh:Daar Ath-Thaibah.
●Tafsîr Al-Qur’ân Al-‘Adzhîm. Isma’iil bin ‘Umar bin Katsiir. 1420 H/1999 M. Riyaadh: Daar Ath-Thaibah.
●Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân. Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
●Tafsîr Ibni Abi Hâtim. Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi. Beirut: Al-Maktabah Al-’Ashriyah.
●Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIX/1436H/2015. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta]
_______
Footnote
[1] Tafsir As-Sa’di,  hlm. 150.
[2] Lihat Tafsir Al-Baghawi II/114, Tafsir Ibni Katsir II/128 dan As-Sirah An-Nabawiyah Libni Hisyam IV/21.
[3] Maksudnya Allâh k tidak akan menghidupkan kembali Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mematikannya lagi.
[4] HR. Al-Bukhâri no. 3667 dan 3668.
[5] HR. Al-Bukhâri no. 4454.
[6] Lihat Tafsir Ibni Abi Hatim III/778.
[7] Yaitu: Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhum.
[8]  HR Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzi no. 2676 dan Ibnu Mâjah no. 42, di-shahih-kan oleh Syaikh al-Albani di Shahîh Sunan Ibni Mâjah.
[9] Tafsîr Ibni Abi Hâtim III/778.
[10] Tafsîr Ibni Abi Hâtim III/779.
[11] Tafsîr Ibni Katsîr II/129.
[12] HR Ahmad no. 21224,  al-Hâkim dalam al-Mustadrak IV/354 no. 7895 dan al-Baihaqi dalam Syu’abul Imân IX/156 no. 6416. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth dkk di catatan beliau terhadap Musnad Al-Imam Ahmad dan Syaikh al-Albâni di dalam Shahîh at-Targhîb wa at-Tarhîb no. 1332.
[13] Maksudnya ketika mereka menjadikan sesuatu yang bukan agama sebagai agama, maka hal tersebut menjadi kebiasaan mereka dan mereka menyangka itu adalah bagian dari agama. Setelah kebiasaan tersebut menjadi kebiasaan yang melekat dan ada orang yang ingin memperbaikinya dan meluruskan kesalahan mereka, justru mereka terheran-heran dengan hal tersebut dan menyangka bahwa ajaran yang benar tersebut adalah ajaran baru.
[14] Abu ‘Abdirrahman adalah kunyah atau panggilan dari ‘Abdullah bin Mas’ud c .
[15] HR Ad-Darimi I/75 no. 185, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak IV/560 no. 8570 (ini adalah lafaznya) dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul-Iman IX/212 no. 6552. Isnad hadits ini shahih, Imam Adz-Dzahabi mengatakan, “Berdasarkan syarat Al-Bukhari dan Muslim,” dan Syaikh Al-Albani menyatakan shahih di dalam Tahriim Alaat Ath-Tharb hal. 16.
[16] HR Ahmad dalam Az-Zuhd no. 1502 dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman III/297 no. 1696.
[17] Tafsîr Ibni Abi Hâtim III/780.
[18] Tafsîr Ibni Katsîr II/130.

Detik-detik wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam

Detik-detik perpisahan
Pada saat dakwah telah sempurna dan Islam telah menguasai situasi, tanda-tanda perpisahan dengan kehidupan dan dengan orang-orang yang masih hidup mulai tampak terasa dalam perasaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, dan semakin jelas lagi dari perkataan-perkataan dan perbuatan beliau.
Pada bulan Ramadhan tahun 10 hijriyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf selama dua puluh hari, yang mana pada tahun-tahun sebelumnnya beliau tidak pernah beri’tikaf kecuali sepuluh hari saja, dan malaikat Jibril membaca dan menyimak bacaan al-Quran beliau sebanyak dua kali (padahal di tahun-tahun sebelumnya hanya satu kali).
Pada haji wada’ beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (artinya):”Sesungguhnya aku tidak mengetahui, barang kali setelah tahun ini aku tidak akan berjumpa lagi dengan kalian dalam keadaan seperti ini selamanya.”Dan beliau juga berkata pada saat melempar jumrah ‘Aqabah:”Tunaikanlah manasik (haji) kalian sebagaimana aku menunaikannya, barang kali aku tidak akan menunaikan haji lagi setelah tahun ini.”Dan telah diturunkan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pada pertengahan hari tasyriq surat an-Nashr, sehingga beliau mengetahui bahwa hal itu adalah perpisahan, dan merupakan isyarat akan (dekatnya) kepergian beliau untuk selama-lamanya.
Di awal bulan shafar tahun 11 hijriyah, beliau keluar menuju Uhud, kemudian melakukan shalat untuk para Syuhada’ sebagai (ungkapan) perpisahan bagi orang-orang yang masih hidup dan yang telah mati. Kemudian belaiu beranjak menuju mimbar untuk berpidato, beliau berkata:”Sesungguhnya aku akan mendahaului kalian dan menjadi saksi atas kalian. Demi Allah sesungguhnya aku sekarang benar-benar melihat telagaku, dan telah diberikan kepadaku kunci-kunci perbendaharaan dunia atau kunci-kunci bumi, dan demi Allah, sesungguhnya aku tidak mengkhawatirkan kalian akan melakukan kasyirikan sepeninggalku nanti, akan tetapi yang aku khawatirkan terhadap kalian adalah kalian berlomba-lomba di dalam merebut kekayaan dunia.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Pada pertengahan suatu malam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menuju (kuburan) Baqi’ untuk memohonkan ampunan bagi para penghuninya, Beliau berkata:”Semoga Keselamatan atas kalian, wahai ahli kubur, selamat atas apa yang kalian alami (pada saat ini) sebagaimana yang telah dialami orang-orang sebelumnya. Fitnah-fitnah (berbagai cobaan) telah datang bagai sepotong malam gelap gulita, yang silih berganti, yang datang terakhir lebih buruk dari pada yang sebelumnya.”Kemudian Beliau memberikan kabar gembira kepada mereka dengan mengucapkan:”Sesungguhnya kami akan menyusul kalian.”
Permulaan Sakit
Pada tanggall 28 atau 29 bulan shafar tahun 11 hijriyah (hari senin) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghadiri penguburan jenazah seorang sahabat di Baqi’. Ketika kembali, di tengah perjalanan beliau merasakan pusing di kepala beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan panas mulai merambat pada sekujur tubuhnya, sampai-sampai para sahabat radhiyallahu ‘anhum dapat merasakan pengaruh panas pada sorban yang beliau pakai.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat bersama para Shahabat radhiyallahu ‘anhum dalam keadaan sakit selama sebelas hari, sedangkan jumlah hari sakit beliau adalah 13 atau 14 hari.
Minggu Terakhir
Penyakit yang diderita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam semakin parah, sampai-sampai Beliau bertanya kepada istri-istrinya,”Di mana (giliranku) besok? Di mana giliranku besok?” Mereka pun memahami maksudnya, sehingga beliau diizinkan untuk berada pada tempat yang beliau kehendaki. Kemudian beliau pergi ke tempat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berjalan dengan diapit oleh al-Fadhl bin al-Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu sedangkan kepala beliau shallallahu ‘alaihi wasallam diikat dengan kain, dan beliau melangkahkan kedua kakinya hingga memasuki bilik ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menghabiskan minggu terakhir dari deti-detik kehidupan beliau di sisi ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
‘Aisyah membaca mu’awwidzat (surat al-Ikhlash, al-Falaq, dan an-Naas) dan doa-doa yang dihafalnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian meniupkannya pada tubuh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam dan mengusapkan tangannya dengan mengharapkan keberkahan dari hal tersebut.
Lima Hari Sebelum Wafat
Hari Rabu, lima hari sebelum wafat, demam menyerang seluruh tubuh beliau, hingga sakitnya pun semakin parah dan beliau pingsan karenanya. Ketika sadar belaiu berkata:”Siramkanlah kepadaku tujuh gayung air yang berasal dari sumur yang berbeda-beda, sehingga aku bisa keluar menemui para sahabat untuk menyampaikan nasehat kepada mereka.”Mereka mendudukkan beliau di sebuah bejana kemudian menyiramkan kepadanya air tersebut, hingga beliau berkata,”cukup !cukup!
Pada saat itu beliau merasa membaik, kemudian masuk ke dalam masjid dalam keadaan kepala diikat dengan sorban berwarna hitam, lalu duduk di atas mimbar. Beliau berkhutbah di hadapan para sahabatnya yang berkumpul di sekelilingnya, beliau berkata:”Semoga Allah atas orang-oranh yahiudi dan Nashrani, mereka menjadikan kuburan Nabi-nabi mereka sebagai masjjid.”Dalam sebuah riwayat yang lain disebutkan:”Semoga Allah membinasakan orang-orang Yahudi dan Nashrani, mereka telah menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.”(HR, Bukhari dan Muwatha’ Imam Malik) Kemudian beliau berkata:”Janganlah kalian jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah.”(Muwatha Imam Malik)
Dan pada saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menawarkan dirinya untuk diqishash (menerima balasan) dengan berkata:”Barangsiapa yang pernah aku pukul punggungnya, maka inilah punggungku pukulah ia, dan barangsiapa yang pernah aku lecehkan harga dirinya maka inilah harga diriku, lecehkanlah ia.”
Setelah itu beliau turun (dari mimbar) untuk melaksanakan shalat Zhuhur, kemudian duduk di atas mimbar dan mengulangi perkataanya yang pertama, dan yang lainnya. Ada seseorang yang berkata:”Sesungguhnya engkau memiliki hutang kepadaku tiga dirham.”Beliau berkata:”Bayarkan kepadanya (hutangku) wahai Fadhl”.Lalu beliau berwasiat tentang tentang kaum Anshar:”Aku mewasiatkan kepada kalian tentang kaum Ansha, sesungguhnya mereka adalah kelompokku dan penolongku. Mereka benar-benar telah menyelesaikan tugas yang dibebankan kepada mereka, dan yang tersisa adalah hak-hak mereka. Maka terimalah kebaikan mereka dan maafkanlah kesalahan mereka.”Di dalam riwayat yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallambersabda:”Sesungguhnya manusia itu banyak dan kaum Anshar itu sedikit, sehingga mereka bagaikan garam pada makanan. Maka barangsiapa di antara kalian yang memegang t5ampuk kekuasaan yang di dalamnya ia merugikan seseorang atau menguntungkannya maka terimalah kebaikan dan maafkanlah (kekurangan mereka)(HR. Bukhari)
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:”Sesungguhnya ada seorang hamba yang diminta untuk memilih satu dari dua hal oleh Allah, antara diberikan kepadanya segala macam kemewahan dunia dan kesengannya, atau diberikan kepadanya apa yang ada di sisi-Nya. Maka ia memilih apa yang ada di sisi-Nya.”Abu Sa’id al-Khudri berkata:”Abu Bakar pun menangis, dan berkata (kepada Rasulullah):”Bapak ibu kami sebagai tebusan bagimu,” sehingga kami heran kepadanya. Para sahabat radhiyallahu ‘anhum berkata:”Lihatlah orang tua ini (Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu)! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan tentang seorang hamba yang diberi oleh Allah kesempatan untuk memilih antara diberikan kepadanya kemewahan dunia atau apa yang ada di sisi-Nya, malah dia (Abu Bakar) mengatakan:”Bapak ibu kami sebagai tebusan bagimu”.Ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu sendirilah orang yang diberi kesempatan memilih, sedangkan Abu Bakar adalah orang yang paling berilmu diantara kami.
Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:
إِنَّ مِنْ أَمَنِّ النَّاسِ عَلَىَّ فِي صُحْبَتِهِ وَمَالِهِ أَبَا بَكْرٍ، وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيلاً غَيْرَ رَبِّي لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ، وَلَكِنْ أُخُوَّةُ الإِسْلاَمِ وَمَوَدَّتُهُ، لاَ يَبْقَيَنَّ فِي الْمَسْجِد ِباب إِلاَّ سُدَّ، إِلاَّ باب أَبِي بَكْرٍ ‏”‏‏.
”Sesungguhnya orang yang paling banyak pemberiaannya dalam persahabatan dan hartanya adalah Abu Bakar, seandainya aku boleh menjadikan khalil (kekasih) selain Rabbku (Allah), niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai khalilku, hanya saja, yang ada adalah persaudaraan Islam dan kasih sayang karena Islam. Tidak satu pun dari pintu masjid melainkan ditutup, kecuali pintu Abu Bakar”. (HR. Bukhari)
(Sumber: Sirah Nabawiyah (Edisi Terjemah), Pustaka al-Sofwa, hal.637-640. Oleh Abu Yusuf Sujono)