Monday, May 1, 2017

Benarkah Imam Bukhari & Ahli Hadits Sunni Mengambil Periwayatan Dari Kaum Syiah ??? (Bagian Ketiga)

Tanggapan dan Jawaban terhadap Saudara Ridho
Bagian 1 : Pengantar dan Beberapa Kaidah Ilmiah
Saudara Ridho yang cukup aktif memberikan komen di blog ini, telah menuliskan beberapa perawi syiah yang diklaimnya diambil oleh Imam Bukhari dan ahli hadits sunni. Beliau memberikan nama-nama perawi ini untuk membuktikan kepada saya bahwa para ahli hadits sunni juga meriwayatkan hadits dari kaum syiah. Diskusi ini bermula ketika saya menyebutkan bahwa kaum syiah yang gemar mencela para sahabat –bahkan sampai mengkafirkan mereka ridhwanullah ‘alaihim ajma’in– adalah kafir menurut pendapat yang terpilih.
Seorang syi’i atau shufi yang bernama Rifa’i, yang cukup aktif memberikan komen-komen ‘ngawur’ yang -jujur saja- malas saya komentari karena tidak bernilai ilmiah, menyatakan bahwa takfir itu bukan ciri khas umat Muhammad. Sekarang bukan waktunya lagi mempermasalahkan perbedaan sunni – syi’i, karena ummat Islam sedang dibantai di Palestina. Tidaklah mengapa perselisihan ini terjadi selama yang berselisih masih bersyahadat, sholat dan menegakkan pilar Islam. Si Rifai ini juga menyatakan tidak mengapa –biarkan- kaum syiah mencela sahabat, karena yang menanggung dosanya ‘kan mereka sendiri.
Kemudian saya jawab bahwa faham seperti ini seperti faham Yahudi yang meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Saya juga menjelaskan bahwa takfir itu ada di dalam syariat Islam, namun tentu saja takfir yang syar’i, yaitu siapa saja yang dikafirkan Alloh dan Rasul-Nya maka telah kafir, dan siapa saja yang tidak dikafirkan Alloh dan Rasul-Nya maka tidak kafir. Lalu saya menyebutkan diantaranya bahwa orang yang sujud kepada kuburan, atau mencela Alloh dan Rasul-Nya, atau menghina Al-Qur’an atau syariat Islam, atau mengkafirkan para shahabat Nabi yang mulia bahkan sampai melecehkan Ummul Mu’minin Aisyah, atau yang semisalnya –yang kesemuanya ini ada dalilnya yang tegas-… maka semuanya ini kafir murtad dari Islam.
Lalu saudara Ridho memperingatkan saya supaya berhati-hati di dalam masalah takfir/pengkafiran. Maka saya katakan, Jazzakallohu khoyr atas nasehat antum, namun saya juga mengingatkan jangan sampai salah faham… takfir itu ada di dalam syariat Islam dan takfir yang dilakukan oleh ahlus sunnah adalah takfir yang syar’i dan selamat, karena ahlus sunnah membedakan antara takfir muthlaq dengan takfir mu’ayan, pun masalah takfir ini juga harus memenuhi syarat-syaratnya dan menghilangkan mawani’ (penghalang-penghalangnya), dan kesemua ini bukanlah hak setiap muslim namun haknya para ulama yang mutamakkin.
Anehnya di sini, saudara Ridho beristidlal bahwa apabila saya mengkafirkan kaum Syiah maka otomatis saya harus menolak hadits-hadits Bukhari Muslim dan ahli hadits sunni lainnya, karena Imam Bukhari dan muhadditsin sunni ini –rahimahumullahu– juga mengambil periwayatan dari kaum Syi’ah. Lalu, sebagai amanat dan tanggung jawab ilmiah, saya minta kepada saudara Ridho untuk menyebutkan para perawi tersebut, dan akhirnya beliau menyebutkannya dan sekarang ini saya klarifikasi dan jawab, sekaligus sebagai penghormatan atas jerih payah beliau di dalam mempertanggungjawabkan ucapannya. Wabillahi taufiq wal hidaayah.
Sebenarnya, saya tidak pernah mengingkari adanya perawi ahli bid’ah, bukan hanya syiah, namun juga perawi khowarij, qodariyah, murji’ah, dan selainnya yang diterima periwayatannya oleh ulama hadits ahlus sunnah dengan beberapa persyaratan yang ketat. Kesemuanya ini merupakan ciri khas ahlus sunnah yang wasath dan adil. Saya sengaja menuntut Saudara Ridha untuk membuktikan hal ini sebagai pertanggungjawaban ilmiah dan sekaligus menjelaskan kepada umat tentang hakikat masalah ini, agar tidak tertipu dengan slogan ahli bid’ah, terutama kaum syiah yang sedang gencar-gencarnya menyerang ahlus sunnah dan menipu kaum awam muslimin dengan propaganda taqiyah dan taqrib (persatuan) sunni syi’i. Diantara bentuknya ada dengan cara ini, yaitu menyatakan bahwa kalangan ahli hadits sunni menerima periwayatan dari kalangan syiah.
Oleh karena itulah, saya pandang masalah ini urgen untuk dibahas dan dijelaskan hakikatnya kepada umat, agar umat ini faham dan tidak mudah tertipu dengan manipulasi dan propaganda kaum syiah. Sebelum saya menurunkan pembahasan –yang sedikit agak panjang-, saya akan menurunkan beberapa kaidah ilmiah haditsiyah, agar semakin sempurna faidah dan agar frame berfikir kita bisa terbentuk secara ilmiah.
Pertama : Yang Masyhur –khususnya di zaman belakangan ini-, apabila dikatakan Syiah secara mutlak maka yang dimaksudkan adalah Syiah Rafidhah atau Syiah Imamiyah atau Syiah Itsna Asyariyah
Ini adalah masalah pertama yang perlu difahami. Adalah suatu hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwa istilah Syiah pada generasi pertama dengan generasi-generasi berikutnya memiliki makna yang jauh berbeda. Terutama semenjak konflik yang terjadi antara Imam ‘Ali bin Abi Thalib dan Imam Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhuma. Dikatakan pada zaman itu ada dua Syi’ah, yaitu Syi’ah ‘Ali dan Syi’ah Mu’awiyah. Jadi, Syi’ah pada generasi pertama itu bermakna sebagai ‘pembela/pendukung’ dan kedua syi’ah (pendukung Ali dan Mu’awiyah) ini adalah sama-sama ahlus sunnah karena ushul mereka adalah sama dan perbedaan yang terjadi diantara mereka adalah hanya dalam ranah ijtihadiyah. [Baca Minhajus Sunnah juz V hal. 142 dst].
Kemudian istilah Syi’ah ini mulai bergeser, terutama ketika kaum zindiq dan munafiq masuk ke dalamnya dan mengembuskan pemikiran-pemikiran sesat. Yang terkemuka diantara zindiq itu adalah Abdullah bin Saba’ al-Aswad yang terkenal akan faham Saba’iyah-nya yang menuhankan Ali. Kemudian Syi’ah ini mulai berkembang sampai dikatakan oleh al-Miqrizi mencapai 300 sekte yang kesesatan mereka bertingkat. Namun sekte terbesar dan terkenal adalah sekte rafidhah atau itsna asyariyah (dua belas imam) yang meyakini hak wilayah ’Ali, mengkafirkan para shahabat Nabi aih-alih hanya beberapa saja dan berkeyakinan bahwa para a`immah mereka adalah ma’shum. Jadi, ketika disebutkan oleh para ulama kata Syiah secara mutlak, maka seringkali yang dimaksudkan adalah Rafidhah, dan apabila mereka tidak memaksudkan Rafidhah, maka mereka biasa menyebutkan nama sekte tersebut, seperti Isma’iliyah, Zaidiyah atau selainnya. [Lihat : ”Hakikat Syiah” Muhammad Dawam Anwar, hal. 4].
Dus, ketika saya menyebutkan Syiah, maka tentu saja yang dimaksud adalah Syiah yang berfaham : para sahabat selain ’Ali dan beberapa orang sahabat lainnya adalah kafir murtad, bahkan juga layak dilaknat –sebagaimana dalam do’a Shonamayn Qurasy-nya Ayatu… Khomeini-, berkeyakinan akan raj’ah, taqiyyah, imamah dan wilayah ’Ali serta terkenal akan mut’ah-nya. Oleh karena itu tidak salah apabila saya menyebutkan bahwa Syi’ah menurut pendapat terpilih adalah kaafir(!) secara umum, namun saya tidak mengkafirkan orang perorang, semisal saya katakan Jalaludin Rahmat itu kafir(!), atau fulan dan fulan kafir(!), namun saya katakan bahwa pada fulan terdapat ucapan-ucapan kafir(!) yang dapat menyebabkannya menjadi kafir apabila ia terus dalam kesesatannya ini. Masalah takfir ini telah banyak berlalu penjelasannya dalam risalah-risalah saya sebelumnya di blog ini. Jadi, kami tidak merasa heran apabila kaum syiah menuduh kami Jama’ah takfiriyah, karena tentu saja mereka berupaya untuk membela diri mereka dari tuduhan kekafiran padahal kami tidak pernah mengkafirkan mereka secara mu’ayan.
Kedua, Syiah (Rafidhah) adalah kaum yang paling pendusta
Dalam risalah saya yang membantah seorang Syi’i yang mendha’ifkan hadits ’Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ’anhu tentang berpegang dengan Sunnah Khulafaur Rasyidin, saya telah mengemukakan beberapa nukilan bahwa kaum Syi’ah itu adalah kaum paling pendusta [ingat : tidak mutlak semuanya demikian, namun aghlabahum (mayoritas mereka) adalah pendusta]. Oleh karena itu para ulama ahlus sunnah salafan wa kholafan telah menyebut mereka sebagai kaum paling pendusta. Untuk itu tidak ada salahnya apabila saya menukilkannya kembali:
قال أبوحاتم الرازي: سمعت يونس بن عبدالأعلى يقول: قال أشهب بن عبدالعزيز: سئل مالك عن الرافضة؟ فقال: لا تكلمهم ولا ترو عنهم، فإنّهم يكذبون.
Abu Hatim ar-Razi berkata : Aku mendengar Yunus bin ‘Abdil A’la berkata, Berkata Asyah bin ‘Abdil ‘Aziz, Malik ditanya tentang kelompok Rafidhah, maka beliau menjawab : ”Jangan berbicara dengan mereka dan jangan pula menerima pandangan mereka, karena mereka adalah para pendusta.” [Lihat : al-Muntaqo karya Imam adz-Dzahabi, hal. 21].
وقال أبوحاتم: حدثنا حرملة. قال: سمعت الشافعي يقول: لم أر أحدًا أشهد بالزور من الرافضة.
Berkata Abu Hatim : mengabarkan kepada kami Harmalah, beliau berkata : Aku mendengar asy-Syafi’i berkata : ”Aku belum pernah melihat seorang yang bersaksi palsu lebih parah dari Rafidhah.” [Lihat : al-Kifayah fi ’Ilmi ar-Riwayah karya Imam Khathib al-Baghdadi hal. 202].
وقال مؤمل بن إهاب: سمعت يزيد بن هارون يقول: نكتب عن كل صاحب بدعة إذا لم يكن داعية، إلا الرافضة فإنّهم يكذبون.
Berkata Mu`ammil bin Ihab : Aku mendengar Yazid bin Harun berkata : ”Kami menulis setiap (khobar) yang datang dari ahli bid’ah selama ia bukan seorang yang menyeru (kepada bid’ahnya), kecuali Rafidhah karena mereka adalah para pendusta.” [Lihat : Minhajus Sunnah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Juz I, hal. 16]
وقال محمد بن سعيد الأصبهاني: سمعت شريكًا يقول: أحمل العلم عن كل من لقيت إلا الرافضة فإنّهم يضعون الحديث ويتخذونه دينًا
Berkata Muhammad bin Sa’id al-Ashbahani : Aku mendengar Syarik berkata : ”Ambillah ilmu dari siapa saja yang kamu temui kecuali Rafidhah, karena mereka ini gemar memalsukan hadits dan menjadikan hal ini sebagai bagian agama mereka.” [Lihat : al-Muntaqo karya Imam adz-Dzahabi, hal. 22]
Dan masih banyak lagi ucapan para Imam Ahlis Sunnah tentang karakter pendusta dan pembohong kaum Syiah, bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu sendiri sampai berkata :
وقد اتفق أهل العلم بالنقل والرواية والإسناد على أن الرافضة أكذب الطوائف، والكذب فيهم قديم، ولهذا كان أئمة الإسلام يعلمون امتيازهم بكثرة الكذب
”Para ulama telah bersepakat dengan naql, riwayat dan isnad bahwa Rafidhah itu adalah kelompok yang paling pendusta diantara kelompok-kelompok lainnya dan kedustaan pada mereka mulai dari dulu, oleh karena itulah para imam kaum muslimin mengetahui bahwa ciri khas utama kelompok Syiah ini adalah banyaknya kedustaan.” [Lihat : Minhajus Sunnah, juz I, hal. 59].
Kaidah Haditsiyah yang harus difahami
Sebelum menginjak ke ta’qib atas uraian saudara Ridho, izinkan saya menguraikan dan menurunkan sebuah kaidah emas haditsiyah yang hanya dimiliki oleh ahlus sunnah, tidak selainnya. Perlu diketahui, ilmu dan metode hadits antara ahlus sunnah dengan syi’ah sangatlah jauh berbeda, karena ushul (prinsip) dan keyakinan sunni dan syi’i jauh berbeda. Misalnya, syi’i berkeyakinan bahwa para sahabat selain sejumlah orang telah kafir, maka tentu saja periwayatan selain yang sedikit itu tertolak. Syi’ah juga meyakini bahwa para a’immah mereka ma’shum sehingga statusnya sama dengan hadits Nabi dengan demikian tidak perlu mengisnadkannya kepada Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam. Bahkan landasan ’adalah (keadilan) seorang rawi menurut syi’ah jauh berbeda dengan sunni, selama perawi itu adalah seorang syi’i maka ia pasti adalah seorang yang ’adil. [lihat al-Kafi lil Kulaini, al-Fihris, al-Waafi, al-Bihaar dll dari kalangan syi’i; lihat Dawam Anwar, op.cit].
Apabila kita membaca sejarah tadwin al-Hadits, jarh wa ta’dil dan selainnya, maka kita akan mendapatkan keterangan para ulama bahwa kaum yang paling banyak memalsu hadits adalah kaum Syi’ah. Al-Mughirah bin Sa’id, seorang rawi hadits kalangan Syi’ah berkata : ”Aku palsukan ke dalam hadits kalian sekitar seribu hadits… (Tanqiihul Maqool I/174). Kesaksian ulama ahlis sunnah –sebagaimana telah berlalu di atas- menunjukkan akan hal ini.
Baiklah, sekarang mari kita menginjak ke kaidah haditsiyah sebagai pendahulu ilmiyah sebelum memasuki pembahasan terhadap para rawi hadits yang dibawakan oleh saudara Ridha sebagai para perawi Syi’ah.
Marhalah-Marhalah (Tahapan) Studi Sanad
Syaikh ’Amru ’Abdul Mun’im Salim al-Mishri dalam buku beliau yang bermanfaat, Taysiiru Diroosatil Asaaniid lil Mubtadi`iin (Cet. 1/1421/Daar adh-Dhiyaa’, Thantha, hal. 9-10) mengatakan bahwa ada 5 tahapan di dalam studi sanad, yaitu:
Meneliti sanad hadits dan membedakan antara yang marfu’ (terangkat sampai ke Nabi) dan yang mauquf (berhenti tidak sampai kepada Nabi).
Meneliti thuruq (jalur-jalur periwayatan) hadits dan menjama’ (menghimpun) riwayat-riwayatnya.
Mempelajari as-Sanad al-Ashli (sanad pokoknya).
Mempelajari sanad-sanad lainnya yang merupakan mutaba’ah (penyerta) atau syawahid (penguat).
Menghukumi secara keseluruhan yang dibangun di atas studi menyeluruh dari jalur-jalur hadits tadi.
Dan studi marhalah sanad yang dibangun untuk menghukumi status suatu hadits ini, sesungguhnya berangkat dari pengembangn studi empat syarat shahihnya hadits, yaitu:
Bersambungnya suatu sanad
Keadilan Rawi dan kedhabitannya
Tidak adanya keganjilan (syudzudz) dan kemungkaran (nakaroh)
Tidak adanya illat (penyakit yang samar dapat melemahkan status hadits).
Perincian masalah ini bisa dirujuk di dalam ilmu mushtholahul hadits dan ilmu dirosatul asaaniid, dan sekarang bukan tempatnya memperinci masalah ini –insya Alloh- di lain waktu pada pembahasannya.
Namun di sini saya hanya akan menekankan pada syarat no.2 di atas, yaitu ”Keadilan Rawi dan kedhabitannya” (al-’Adalah wadh Dhabt), dan yang akan saya uraikan secara khusus adalah masalah al-’Adalah, karena ini berkaitan dengan pembahasan kita ini..
DR. Mahmud Thahhan rahimahullahu dalam Ushul at-Takhriij wa Diroosah al-Asaaniid (Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh, tanpa tahun, hal. 140-142) berkata dalam bab Ma Yahtaaju min ’ilmil Jarhi wat Ta’diili wa Taroojimir Ruwaat (Hal yang diperlukan di dalam ilmu jarh dan ta’dil dan biografi para perawi) :
”Syarat-syarat diterimanya (riwayat) seorang Rawi : Mayoritas imam ahli hadits dan fikih bersepakat bahwa disyaratkan bagi orang yang dijadikan hujjah periwayatannya ada dua syarat asasi (pokok), yaitu :
al-’Adalah (keadilan), dan yang dimaksud dengannya adalah seorang perawi itu haruslah : Muslim, baligh, berakal, selamat dari sebab-sebab kefasikan dan selamat dari muru`ah (perangai/kebiasaan) yang buruk.,/span>
Adh-Dhobthu, dan yang dimaksud dengannya adalah seorang perawi itu haruslah : tidak buruk hafalannya, tidak kacau ingatannya, tidak menyelisihi yang lebih tsiqot, tidak banyak awhaam (salah) dan tidak ghofil (lalai).
Dengan apa seorang rawi ditetapkan ke’adalahan-nya? Ditetapkan sifat ’adalah-nya dengan salah satu dari dua hal ini :
Dengan tanshish (penegasan) para mu’addil (penta’dil) atasnya, yaitu apabila para ulama atau salah seorang ulama jarh wa ta’dil menyebutkannya di dalam buku-buku Jarh wa Ta’dil.
Dengan Istifadhoh (tersiarnya) dan syuhroh (masyhur/ketenaran), yaitu dengan tersiarnya/tersebarnya berita akan ke’adalahan seorang perawi dan kemasyhurannya akan sifat shidiq (jujur)-nya, seperti Imam Malik bin Anas, Dua Sufyan (yaitu Sufyan ats-Tsauri dan Uyainah), Auza’i, Laits bin Sa’d dan selain mereka. Orang-orang yang seperti mereka ini tidak perlu lagi untuk menta’dil mereka atau bertanya kepada ulama Jarh wa Ta’dil akan perihal mereka.
[Saya katakan] Termasuk yang dapat mencacat ke-’adalah-an seorang perawi adalah : al-Bid’ah. Bid’ah ini bermacam-macam, ada yang mukaffir (mengkafirkan pelakunya) dan ada yang mufassiq (menfasikkan pelakunya).
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani rahimahullahu di dalam Nuzhatu an-Nazhor fi Taudhiihi Nukhbatil Fikar, menjelaskan bahwa termasuk celaan kesembilan bagi seorang perawi adalah : ”Bid’ah, baik yang mengkafirkan maupun yang menfasikkan. Bid’ah yang pertama tadi (yaitu mukaffir) tidak diterima (riwayat) perawinya menurut jumhur. Adapun bid’ah yang kedua (yaitu mufassiq), tidak diterima apabila ia bukan orang yang menyeru (kepada bid’ahnya) dan ini pendapat terkuat, kecuali apabila ia meriwayatkan apa yang memperkuat bid’ahnya maka ditolak (periwayatannya) menurut pendapat terpilih. Pendapat ini ditegaskan secara terang oleh al-Juuzajaani gurunya an-Nasa`i.” [Ucapan Syaikh ini akan diterangkan oleh Syaikh ’Ali Hasan dalam pembahasannya sebentar lagi]
Siapakah yang dimaksud dengan ahli bid’ah? Syaikh Abu Lubabah Husain dalam kitab beliau yang berjudul al-Jarh wat Ta’dil yang merupakan tesis magister yang dimunaqosyahkan di Fakultas Ushulud Dien, Universitas al-Azhar tahun 1493 (cet. 1, 1399, Darul Liwa’ lin Nasyri wat Tauzi’, Riyadh, hal. 111-112) berkata : ”Yang termasuk ke dalam bid’ah adalah para penganut kelompok-kelompok yang keluar dari ijma’ salaf dari kaum zanadiqoh, Saba’iyyah, Khowarij, Nawaashib, Qodariyah, Jahmiyah, Syiah, Hasyawiyah, mereka yang mencela para sahabat, Murji’ah, Bathiniyah, Mujassamah, Waaqifu fil Qur’an (orang yang tidak berpendapat tentang al-Qur’an, maksudnya tidak menetapkan dan menolak bahwa al-Qur’an itu makhluq) dan orang-orang yang sibuk dengan filsafat…”
[saya berkata] Para ulama telah memperingatkan dari keburukan mereka dan berhati-hati dari periwayatan mereka serta kebid’ahan mereka. Diantara mereka adalah :
Imam Hasan al-Bashri rahimahullahu berkata :
لا تجالس أهل الأهواء ولا تجادلهم ولا تسمعوا منهم
”Janganlah kamu bemajelis dengan ahli ahwa dan berdebat dengan mereka dan jangan pula mendengarkan mereka.” [Jami’ Bayanil ’Ilmi wa Fadhlihi II/118].
Imam Malik rahimahullahu berkata :
لا يؤخذ العلم من صاحب هوى يدعو الناس إلى هواه
”Ilmu tidaklah diambil dari pengekor hawa nafsu yang menyeru manusia kepada hawa nafsunya.” [Ma’rifatu ’Ulumil Hadits 135]
Dan masih banyak ucapan para imam ahlus sunnah lainnya yang memperingatkan dari mengambil periwayatan ahli bid’ah.
Bagaimana hukum periwayatan ahli bid’ah
Syaikh Abu Lubabah berkata (op.cit, hal. 113-115) : ”Para ulama berupaya dengan sungguh-sungguh di dalam menjaga hadits Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam dan meyakini bahwa jiwa manusia bagaimanapun terjatuh pada suatu penyimpangan terkadang masih menyimpan sifat shidq (jujur), waro’ (berhati-hati) dan nazahah (kepolosan). Karena itulah para ulama tidak tergesa-gesa menghukumi setiap ahli bid’ah dengan menolak dan tidak menerima (periwayatannya) begitu saja dan mereka meletakkan suatu kaidah dan dhowabith (kriteria) di dalamnya agar hadits tetap dapat murni dari kebid’ahan dan kesesatan penganut bid’ah.
Bid’ah itu ada yang mukaffirah dan ada yang mufassiqoh. Dan disyaratkan di dalam (status bid’ah) yang mukaffiroh itu haruslah pengkafiran yang disepakati di atasnya kaidah-kaidah keseluruhan oleh para imam, karena mengingkari ahli bid’ah itu merupakan perkara yang mutawatir dari syara’ yang telah maklum (diketahui) dari agama secara dhoruri (pasti), maka periwayatannya (mubtadi’ mukaffir) ditolak berdasarkan ijma’.
Adapun yang tidak diingkari secara dhoruri syar’i dan ia memiliki sifat wara’ dan taqwa, maka riwayatnya diterima menurut sebagian ulama. Mereka berdalil akan hal ini dengan ’atsar mengenai ucapan ’Umar : ”Janganlah kamu berburuk sangka dengan ucapan yang dilontarkan oleh seseorang sedangkan kamu dapat membawanya kepada pemahaman yang baik.” adapun orang yang tidak waro’ dan ia menghalalkan kedustaan, maka ditolak riwayatnya.
Adapun bid’ah mufassiqoh seperti bid’ahnya khowarij atau rafidhah yang tidak ekstrim atau selain mereka dari kelompok-kelompok yang menyelisihi pokok sunnah secara nyata akan tetapi penyelisihan ini berangkat dari penakwilan, maka perlu diperinci :
Apabila salah seorangnya menghalalkan dusta, maka ditolak riwayatnya. [menurut kesepakatan, pent.]
Apabila ia seorang yang waro’, shodiq (jujur) dan muta’abbid (ahli ibadah), maka diterima riwayatnya oleh sebagian kalangan ulama seperti Syafi’i yang tidak membedakan perawi tersebut sebagai orang yang menyeru kepada bid’ahnya ataukah tidak, namun beliau membedakan perawi berdasarkan (cela di dalam) agamanya, (seperti) beliau berkata : ”telah menceritakan kepada kami seorang tsiqoh di dalam haditsnya orang yang tertuduh agamanya”, dan adapula sebagian ulama yang menolak (perawi semisal ini) seperti Malik.
Pendapat ketiga, yang membedakan antara perawi yang menyeru kepada bid’ahnya dan yang tidak. Perawi yang tidak menyeru kepada bid’ahnya maka diterima periwayatannya sedangkan yang menyeru ditolak. Ini adalah pendapat yang lebih adil dan para imam banyak yang berpendapat dengan pendapat ini.
[saya berkata*] Inilah pendapat yang diperpegangi oleh mayoritas ahli hadits salafan wa kholafan.
* Catatan : Tolong dimaafkan apabila saya terkadang menyebutkan tanda di dalam kurung [saya berkata]. Ini saya lakukan hanya untuk memisahkan antara penukilan dan ucapan saya sendiri agar tidak rancu dan mukhtalith (tercampur) antara ucapan saya dengan penukilan. Jadi harap dimaklumi dan diperhatikan.
Diantaranya adalah apa yang dipaparkan oleh Syaikhuna ’Ali Hasan al-Halabi hafizhahullahu dalam an-Nukat ’ala Nuzhatin Nazhor (cet. 4, 1419, Daar Ibnul Jauzi) mensyarh ucapan al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu yang telah berlalu penyebutannya. Beliau hafizhahullahu berkata (hal. 136-138) :
”Kemudian al-Bid’ah, ia merupakan sebab kesembilan diantara sebab-sebab celaan kepada seorang perawi. Dan bid’ah ini bisa berupa bid’ah mukaffirah seperti keyakinan yang dapat menyebabkannya kafir, atau bisa juga mufassiq.
Bid’ah yang pertama (mukaffirah) tidak diterima (periwayatannya) oleh jumhur ulama, ada pula yang berpendapat : diterima secara mutlak, ada lagi yang berpendapat : Apabila perawi itu tidak berkeyakinan halalnya kedustaan untuk menyokong pendapatnya, maka diterima (periwayatannya).
Yang kuat : adalah tidak ditolak semua (periwayatan) orang yang melakukan bid’ah mukaffirah. Karena setiap kelompok mengklaim bahwa penyelisihnya adalah mubtadi’ dan terkadang sampai mengkafirkan penyelisihnya itu. Apabila seandainya diterima pendapat ini secara mutlak, maka mengharuskan pengkafiran terhadap semua kelompok.
Yang diperpegangi yaitu, kelompok yang ditolak periwayatannya adalah mereka yang mengingkari perkara yang mutawatir dari syara’ yang diketahui dari agama secara dhoruri, dan demikian pula bagi yang berkeyakinan dengan kebalikannya.
Adapun mereka yang tidak memiliki sifat semisal ini, dan terhimpun pada mereka sifat kedhabitan mereka terhadap yang mereka riwayatkan, disertai dengan sifat wara’ dan taqwa, maka tidak ada penghalang untuk menerimanya.
Kedua : Perawi yang kebid’ahannya tidak sampai kepada kekafiran secara asal. Diperselisihkan juga dalam menerima atau menolak periwayatannya.
Ada yang berpendapat : ditolak –riwayatnya- secara mutlak –dan ini pendapat yang jauh (dari kebenaran). Mayoritas mereka (yang berpendapat yang pendapat ini) meng’ilal (mencacat) perawi ini dikarenakan periwayatan darinya akan mempromosikan kebid’ahannya dan termasuk pujian kepadanya ketika menyebutkannya. Oleh karena itu, selayaknya tidak meriwayatkan dari seorang mubtadi’ sesuatupun yang berserikat di dalamnya orang-orang bukan ahli bid’ah.
Ada pula yang berpendapat : Diterima (periwayatannya) secara mutlak kecuali apabila ia berkeyakinan kehalalan dusta, sebagaimana telah berlalu –penyebutannya-.
Ada yang berpendapat : Diterima apabila ia tidak menyeru kepada bid’ahnya, dikarenakan merupakan penghiasan terhadap bid’ahnya yang bisa jadi membawanya kepada tahrif (menyelewengkan) riwayat atau menyepadankannya dengan madzhabnya, dan pendapat ini yang paling benar. Dan sungguh sulit dimengeri Ibnu Hibban ketika beliau mendakwakan diterimanya (riwayat) orang yang tidak menyeru kepada bid’ahnya tanpa perincian.
Na’am, secara garis besar diterima periwayatan orang yang tidak menyeru kepada bid’ahnya, kecuali apabila ia meriwayatkan apa yang memperkuat bid’ahnya maka ditolak (periwayatannya) menurut madzhab yang terpilih, dan pendapat ini ditegaskan secara terang oleh al-Hafizh Abu Ishaq Ibrohim bin Ya’qub al-Juuzajaani, gurunya Abu Dawud dan an-Nasa`i di dalam buku beliau, Ma’rifatur Rijaal. Beliau berkata di dalam mensifati seorang perawi : ”Diantaranya adalah seorang yang menyeleweng dari al-Haq –yaitu dari Sunnah- orang yang shodiq (benar) lahjah (dialek)-nya dan tidak ada didalamnya suatu tipu muslihat, maka diambil haditsnya yang tidak mungkar, selama tidak menyokong kebid’ahannya.” [Selesai Ucapan Syaikh ’Ali. Catatan : kata yang digarismiringkan (italic) adalah matan (ucapan al-Hafizh Ibnu Hajar] sedangkan yang tidak italic adalah ucapan syarh/ penjelasan Syaikh ’Ali].
[Saya berkata] Hal ini juga disepakati oleh al-’Allamah al-Muhaddits Madinah zaman ini, Syaikh ’Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullahu. Beliau menjelaskan masalah ini di dalam buku Ithaaful ’Aabid bi Fawaa`idi Duruusi asy-Syaikh ’Abdil Muhsin bin Hamad al-’Abbad (cet. 1, 1425, Daar al-Imam Ahmad) yang disusun oleh murid beliau ’Abdurrahman bin Muhammad bin ’Abdullah al-’Umaisan hafizhahullahu. Beliau menjelaskan (hal. 128) bahwa riwayat dari ahli bid’ah memiliki perincian, yaitu ada dua sisi :
Pertama : perawi yang menyeru kepada bid’ahnya, maka tidak diriwayatkan darinya tanpa terkecuali.
Kedua : perawi yang mutalabbis (tercampur/terancukan) dengan kebid’ahan namun ia tidak menyeru kepada bid’ahnya. Maka hal ini dibolehkan oleh kaum salaf untuk meriwayatkannya.
[Saya berkata] Demikianlah apa yang dijelaskan oleh para ulama, yang mana ini merupakan suatu kaidah kuat yang dimiliki ahlus sunnah di dalam memelihara dan menjaga hadits Nabi yang mulia ’alaihi Sholatu wa Salam. Kaidah inilah yang membedakan ahlus sunnah dengan firqoh-firqoh lainnya.
Ahlus sunnah menerima periwayatan dari ahli bid’ah dengan syarat-syarat sebagaimana di atas. Maka tidak heran apabila kita pernah membaca bahwa Abu Darda’ Radhiyallahu ’anhu pernah berkata :
ليس في أهل أهواء أصج حديثا من الخوارج
”Tidak ada kelompok pengikut hawa nafsu yang paling shahih haditsnya selain daripada khowarij.” [Qowa’idu at-Tahdiits, 194-195].
Karena khowarij adalah kaum yang paling takut kepada Alloh melakukan kemaksiatan, sehingga mereka mengkafirkan para pelaku dosa besar. Mereka takut berdusta sehingga menjadikan mereka kafir. Walau demikian, mereka tetap dikatakan sebagai kelompok sesat, yang bahkan disebut oleh Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa Salam sebagai Kilaabun Naar (anjing-anjing neraka). Akan tetapi, para ulama menerima kesaksian dan periwayatan mereka dengan persyaratan sebagaimana di atas.
Mengapa kita menerima periwayatan sebagian ahli bid’ah?
Cukuplah jawaban Syaikh Abu Lubabah yang menukil ucapan Imam Ibnu Hibban yang mengatakan : ”Mereka –ahli hadits- menerima periwayatan dari ahli bid’ah yang tidak menyeru kepada bid’ahnya adalah sebagai bentuk sifat waro’ (kehati-hatian) mereka di dalam memelihara sunnah Nabi, sekiranya mereka tinggalkan semua periwayatan orang-orang yang memeluk madzhab (ahli bid’ah), maka niscaya yang demikian ini (akan membuka) pintu kepada ditinggalkannya sunnah-sunnah seluruhnya sampai tidak tersisa di tangan kita kecuali sesuatu yang sedikit.” [Shahih Ibnu Hibban I/121, melalui al-Jarh wat Ta’dil, Abu Lubabah, op.cit., hal. 114].
[saya berkata] Dari sini jelaslah bahwa, menerima periwayatan seorang ahli bid’ah bukan berarti membenarkan atau merekomendasi madzhab bid’ahnya. Berita mereka diterima setelah memenuhi persyaratannya, yaitu mereka adalah orang yang tsiqqoh, dhabit, waro’, taqwa, tidak menyeru kepada bid’ahnya, tidak menghalalkan kedustaan dan tidak menyokong madzhabnya.
Bagian 2 : Klarifikasi dan Tabayyun I

Setelah kita mengetahui prinsip dan kaidah di risalah sebelumnya, maka mari kita sekarang menelaah penukilan-penukilan saudara Ridha, tentang para perawi yang tertuduh syiah atau diklaim sebagai penganut madzhab syiah. Sebagai amanat ilmiah, saya menyebut jarh wa ta’dil dan tarajim para perawi ini menukil dari Maktabah Syaamilah (versi 2), setelah minggu kemarin berhasil menginstall-nya yang sekian lama selalu gagal. Alhamdulillah wa kullun min fadhlillah.
1. Thawus bin Kiisan al-Yamani
Saudara Ridha berkata :

afwan……
seperti janji saya untuk memberikan perawi2 syiah yg diambil oleh para ahli hadits sunni, diantaranya..:
1.Thawus ibn Kisah al-Yamani = Dalam at-Tahdzib, Ibn Hajar menyatakan bahwa Thawus sempat bertemu lima puluh orang sahabat. Ulama hadits juga sepakat bahwa Thawus adalah seorang yang jujur, adil, tsiqat, dzabit, taqwa, zuhud, dan banyak ibadahnya. Mereka menerima hadits Thawus yang bersumber dari ‘A’isyah, ‘Umar dan ‘Ali. Karena itulah, ulama hadits, Ashabus-Sittah meriwayatkan haditsnya.

Tanggapan :
Biografi Perawi Secara Global :
Nama : Thawus bin Kiisan al-Yamani, Abu ’Abdirrahman al-Humairi maula mereka, al-Farisi. Ada yang mengatakan nama beliau adalah Dzakwan sedangkan Thawus adalah laqob (julukan).
Thobaqoh : Ke-3 dari pertengahan tabi’in.
Wafat : Tahun 106 H dan ada yang berpendapat setelahnya
Ulama yang meriwatkan darinya : Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Nasa`i dan Ibnu Majah.
Derajatnya menurut Ibnu Hajar : tsiqoh (kredibel) faqiih (orang yang fakih) faadhil (orang yang memiliki keutamaan)
Derajatnya menurut Dzahabi : Berkata ‘Amru bin Dinar : ”Tidak pernah kulihat ada seorang yang seperti beliau sedikitpun.”

Biografi secara rinci :
Berkata al-Imam al-Mizzi rahimahullahu di dalam Tahdzibul Kamal :
( خ م د ت س ق ) : طاووس بن كيسان اليمانى ، أبو عبد الرحمن الحميرى ، مولى بحير بن ريسان الحميرى ، من أبناء الفرس ، كان ينزل الجند ، كذا قال الواقدى فى ولائه . و قال أبو نعيم و غيره : هو مولى لهمدان . و قال عبد المنعم بن إدريس : هو مولى لابن هوذة الهمدانى ، و كان أبوه كيسان طرأ من أهل فارس ، و ليس من الأبناء ، فوالى أهل هذا البيت . و قال أبو حاتم بن حبان ، و أبو بكر بن منجويه : كانت أمه من أبناء فارس ، و أبوه من النمر بن قاسط . و قال غيرهما : اسمه ذكوان ، و طاووس لقب . و روى عن يحيى بن معين قال : سمى طاووسا ، لأنه كان طاووس القراء.
[Catatan : Di dalam kitab Tahdzibul Kamal, apabila disebut huruf خ maka maksudnya adalah Bukhari, م Muslim, د Abu Dawud, ت Tirmidzi, س Nasa`i, ق Ibnu Majah; lihat Taysiir Dirosatul Asaaniid karya Syaikh ‘Amru ‘Abdul Mun’im Salim, cet. 1, Dar adh-Dhiya’, hal. 136-137]
Thowus bin Kisan al-Yamani, Abu ‘Abdirrahman al-Humairi, maula (mantan budak) Buhair (ada yang membaca Bahir) bin Risan al-Humairi yang termasuk anak-anak keturunan al-Fars. Beliau dulu tinggal di Najd, demikianlah yang dikatakan oleh al-Waaqidi dalam Wala`-nya. Abu Nu’aim dan selain beliau berkata : “Beliau (Thowus) adalah maula-nya Hamdan.” Abdul Mun’im bin Idris berkata : “Beliau adalah maula Ibnu Haudzah al-Hamdani dan dahulunya ayahanda beliau adalah Kisan yang merupakan pendatang dari keluarga Faris, bukan termasuk anak-anaknya, lalu keluarga ini memberikan perlindungan padanya.” Abu Hatim bin Hibban dan Abu Bakr bin Manjawaih berkata : “Ibundanya termasuk keturunan Faris dan bapaknya keturunan dari Nimr bin Qosith.” Berkata ulama selain mereka : “namanya (asli) adalah Dzakwan dan Thowus adalah laqob (gelar)”. Diriwayatkan dari Yahya bin Ma’in beliau berkata : “Dinamakan Thowus dikarenakan beliau adalah Thowus al-Quro’ (penghafal Qur’an yang tampan).”

Pandangan Para Ulama terhadap beliau
قال الأعمش ، عن عبد الملك بن ميسرة ، عن طاووس : أدركت خمسين من أصحاب رسول الله لى الله عليه وسلم
Masih ucapan al-Mizzi : Berkata al-A’masy dari Abdul Malik bin Maisarah dari Thowus (berkata) : “Aku bertemu dengan 50 sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam.”
. و قال ابن جريج ، عن عطاء ، عن ابن عباس : إنى لأظن طاووسا من أهل الجنة
Ibnu Juraij berkata dari Atho’ dari Ibnu ‘Abbas : “Sungguh aku menduga bahwa Thowus termasuk dari ahli surga.”
. و قال جعفر بن برقان ، عن عمرو بن دينار : حدثنا طاووس ، و لا تحسبن فينا أحدا أصدق لهجة من طاووس .
Berkata Ja’far bin Burqon dari ‘Amru bin Dinar (berkata) : “Thowus menceritakan kepada kami, dan janganlah kamu sekali-kali menyangka bahwa menurut kami ada seseorang yang lebih benar aksen/dialeknya (lahjah) melebihi Thawus.”
و قال حبيب بن الشهيد : كنت عند عمرو بن دينار ، فذكر طاووس فقال : ما رأيت أحدا قط مثل طاووس .
Berkata Habib (ada yang membaca Hubaib) bin asy-Syahid : Aku berada di sisi ‘Amru bin Dinar lalu beliau menyebut tentang Thawus dan berkata : “Aku belum pernah melihat ada seseorang yang seperti Thawus.”
و قال الزهرى : لو رأيت طاووسا علمت أنه لا يكذب
Berkata az-Zuhri : “Sekiranya aku melihat Thowus aku tahu bahwa ia tidak berdusta.”
و قال عمرو بن دينار : ما رأيت أحدا أعف عما فى أيدى الناس من طاووس .
‘Amru bin Dinar berkata : “Aku tidak pernah melihat orang yang paling menjauhkan diri dari apa yang ada pada manusia melebihi daripada Thawus.”
و قال ابن عيينة : متجنبو السلطان ثلاثة : أبو ذر فى زمانه ، و طاووس فى زمانه ، و الثورى فى زمانه . اهـ
Ibnu ‘Uyainah berkata : “Orang-orang yang menjauhi penguasa ada tiga, yaitu Abu Dzar pada zaman beliau, Thowus pada zaman beliau dan Tsauri pada zaman beliau.”
[Saya berkata] Dan masih banyak pujian ulama yang apabila disebutkan semua niscaya akan benar-benar panjang dan memerlukan halaman tersendiri. Saya rasa sekelumit penukilan di atas bisa mewakili. Di sini saya hanya sedikit menambahkah masalah bertemu dan sima’-nya Thawus dengan beberapa shahabat untuk meluruskan perkataan Saudara Ridho yang membawakan penukilan yang sayangnya tanpa menyebutkan referensinya. Saudara Ridho berkata :
Mereka menerima hadits Thawus yang bersumber dari ‘A’isyah, ‘Umar dan ‘Ali.
[Saya katakan] Ucapan saudara Ridho ini perlu dicrosscheck kembali dan diteliti.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata di dalam Tahdzibut Tahdzib (V/10):
قال ابن أبى حاتم فى ” المراسيل ” : كتب إلى عبد الله بن أحمد قال : قلت لابن معين : سمع طاووس من عائشة ؟ قال : لا أراه
“Ibnu Abu Hatim di dalam al-Marasil menuliskan kepada ‘Abdullah bin Ahmad yang berkata : Aku berkata kepada Ibnu Ma’in : “Apakah Thowus mendengar dari ‘A`isyah?” beliau (Ibnu Ma’in) menjawab : “Aku tidak berpendapat dia (mendengar dari ‘A`isyah).”
و قال الآجرى ، عن أبى داود : ما أعلمه سمع منها
Al-Ajurri berkata dari Abi Dawud : “Aku tidak mengetahui dia mendengar dari ‘A`isyah.”
و قال أبو زرعة ، و يعقوب ابن شيبة : حديثه عن عمر و عن على مرسل
Abu Zur’ah dan Ya’qub bin Syaibah berkata : “haditsnya dari ‘Umar dan ‘Ali statusnya mursal.”
و قال أبو حاتم : حديثه عن عثمان مرسل
Berkata Abu Hatim : “Haditsnya dari ‘Utsman mursal”.

Faidah : Al-‘Allamah Al-Muhaddits ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad al-Badr hafizhahullahu menyebutkan di dalam Ithaaful ‘ibaad (op.cit, hal. 80) bahwa Thowus tidak bertemu dengan ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu dan riwayatnya dari ‘Umar adalah mursal. Syaikh al-Umaisan, penyusun buku Ithaaful ‘Ibaad ini memberikan catatan kaki untuk merujuk kepada al-Maraasiil karya Abi Hatim (hal. 100) dan Tahdzibut Tahdzib.

Catatan dan Tambahan Faidah :
Saya akan sedikit menurunkan penjelasan tentang apa itu hadits mursal, macam-macamnya dan bagaimana statusnya agar para pembaca yang masih asing dengan istilah mursal dapat sedikit mudeng (faham). Banyak sekali kitab Mushtholahul Hadits yang dapat dipetik faidahnya tentang hal ini. Namun saya rasa buku Taysiir Mushtholahil Hadits karya DR. Mahmud Thahhan rahimahullahu (cet. Darul Fikr) telah mencukupi. Beliau menjelaskan (hal. 59-60) sebagai berikut :
Mursal secara etimologi/bahasa merupakan ism maf’ul (obyek penderita) dari predikat arsala yang bermakna athlaqo (melepaskan/ membebaskan/ memutlakkan), seakan-akan al-Mursil (pelaku/orang yang melakukan mursal) melepaskan/ memutlakkan isnad dan tidak mengikat/mentaqyidnya dengan seorang perawi yang ma’ruf/dikenal.
Secara terminologi/istilah, mursal itu bermakna menggugurkan sanad terakhir hadits setelah tabi’iy [Nuzhatun Nazhor hal. 43 dan tabi’iy adalah orang yang bertemu dengan sahabat dalam keadaan muslimd dan mati juga dalam kedaan Islam].
Gambarannya : misalnya seorang tabi’iy baik tabi’iy kecil atau besar mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam berkata demikian, atau melakukan demikian atau ada yang melakukan perbuatan di hadapan beliau demikian. Ini merupakan gambaran mursal menurut ulama hadits.
Misalnya : hadits yang dikeluarkan oleh Muslim di dalam Shahih-nya dalam Kitabul Buyu’ berkata : ”Menceritakan padaku Muhammad bin Rafi’, menceritakan kami Hujain, menceritakan kami al-Laits dari ’Uqoil dari Ibnu Syihab dari Sa’id bin Musayyib bahwasanya Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam melarang dari jual beli muzanabah.”
Di sini, Sa’id bin Musayyib adalah seorang tabi’in besar, beliau meriwayatkan hadits ini dari Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam tanpa menyebut perantara antara beliau dengan Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam. Maka telah gugur/ hilang sanad hadits ini pada posisi akhirnya yaitu perawi setelah tabi’iy, perawi yang gugur ini setidak-tidaknya bisa jadi seorang sahabat, dan bisa jadi pula mengandung kemungkinan selain sahabat seperti tabi’iy lainnya misalnya.
Apa yang disebutkan di atas adalah gambaran mursal menurut ulama hadits. Adapun mursal menurut fuqoha’ dan ushuliyyun maka lebih umum dari gambaran ini. Menurut mereka bahwa setiap hadits yang munqothi’ (terputus sanadnya) itu mursal ditinjau dari aspek manapun akan keterputusannya. Ini juga merupakan madzhabnya al-Khathib (al-Baghdadi).
Hukumnya : Status hadits mursal secara asal adalah dhaif mardud (tertolak), disebabkan oleh hilangnya syarat dari persyaratan diterimanya suatu hadits yaitu ittisholu as-Sanad (tersambungnya sanad, masalah ini telah disebut di awal, pent.) dan dikarenakan ketidaktahuan akan perihal perawi yang dihilangkan tersebut, yang mengandung kemungkinan bahwa perawi yang dihilangkan itu bisa jadi selain sahabat, dan dalam keadaan seperti ini maka bisa jadi hadits itu mengandung kemungkinan dha’if.
Akan tetapi, para ulama dari kalangan ahli hadits dan selainnya berselisih pendapat tentang hukum mursal dan kekuatan hujjahnya. Dikarenakan macam hadits ini merupakan bagian dari inqitha’ (keterputusan sanad) yang diperselisihkan tentang keterputusan di akhir sanad, oleh sebab perawi yang gugur di akhir sanad itu sangat besar kemungkinannya adalah seorang sahabat. Dan seluruh sahabat itu adalah adil serta tidaklah berpengaruh ketidaktahuan akan mereka.
Secara global pendapat ulama di dalam masalah ini ada tiga, yaitu :

Dha’if Mardud menurut mayoritas ahli hadis dan kebanyakan ahli ushul dan fikih. Hujjah mereka dalam hal ini adalah perawi yang dihilangkan pada akhir sanad tadi adalah orang yang tidak diketahui perihalnya, yang mengandung kemungkinan bahwa perawi tersebut bukanlah sahabat.
Shahih Yuhtajja bihi (dapat berdalil dengannya) menurut imam yang tiga, yaitu Abu Hanifah, Malik dan Ahmad dari pendapat yang masyhur darinya serta sekelompok ulama, dengan syarat bahwa hadits yang mursal dari perawi tsiqoh, tidaklah perawi itu memursalkan melainkan dari yang tsiqoh pula. Hujjah mereka adalah : bahwasanya seorang tabi’i yang tsiqoh tidak mungkin akan mengatakan “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda” melainkan apabila ia mendengarnya dari orang yang tsiqoh pula.
Menerima dengan persyaratan, yaitu shahih dengan pesyaratan dan pendapat ini diperpegangi oleh Syafi’i dan sebagian ulama.
Persyaratan ini ada 4, yang tiga berkisar tentang perawi mursal dan yang satu tentang hadits mursal. Berikut ini adalah persyaratan tersebut :
Al-Mursil (Perawi yang memursalkan) haruslah termasuk tabi’in senior.
Apabila ia menyebutkan perawi yang dimursalkan maka ia menyebutkan perawi tsiqoh.
Apabila besertanya adalah para huffazh al-Ma’munun (yang mantap) yang tidak menyelisihi (riwayat)-nya
Apabila memiliki satu dari tiga syarat di bawah ini :
Haditsnya diriwayatkan dari sisi lain secara musnad
Atau diriwayatkan dari sisi lain secara mursal dengan memursalkan perawi yang mengambil ilmu dari selain perawi-perawi mursal pertama atau selaras dengan ucapan salah seorang sahabat
Atau difatwakan oleh mayoritas ulama. [Lihat ar-Risalah karya Syafi’i, hal. 461].
Syaikh ath-Thohhan melanjutkan dengan menjelaskan Mursal Shohabiy (hal. 61) : ”Mursal Shohabiy adalah apa yang diberitakan oleh seorang sahabat dari sabda Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam atau perbuatannya, yang sahabat ini tidak mendengarnya atau menyaksikannya, bisa jadi karena umurnya yang masih muda atau masuk islamya belakangan atau karena ketidakhadirannya. Banyak sekali hadits macam ini oleh para sahabat kecil, seperti Ibnu ’Abbas, Ibnu Zubair dan selainnya.
Hukumnya : yang shahih dan masyhur adalah, jumhur ulama memastikannya bahwa hadits ini shahih dan dapat berhujjah dengannya, dikarenakan riwayat seorang sahabat dari tabi’in suatu yang sangat jarang, dan apabila mereka meriwayatkan dari tabi’in niscaya mereka akan menjelaskannya. Apabila mereka tidak menjelaskannya dan mengatakan, ”Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam bersabda” maka pada asalnya mereka mendengarkannya dari sahabat yang lain, maka penghilangan jati diri sahabat lainnya tidaklah berpengaruh, sebagaimana telah berlalu [yaitu seluruh sahabat seluruhnya adil, tidak sebagaimana tuduhan syiah yang mengkafirkan dan menfasikkan sebagian besar sahabat, pent.].
Faidah : Al-’Allamah al-’Abbad dalam Ithaaful ’Ibaad (hal. 121) menjelaskan Ahkaamul Maraasiil (hukum hadits mursal). Beliau berkata :
”Marasil (plural/jamak dari mursal)-nya tabi’in bukanlah hujjah, dikarenakan perawi yang gugur mengandung kemungkinan seorang sahabat atau seorang tabi’iy, perawi tabi’iy mengandung kemungkinan kedua yaitu bisa jadi seorang yang tsiqot dan bisa jadi seorang yang dho’if. Dengan demikian menjadi jelaslah atas kesalahan penulis Baiquniyah yang mengatakan :
ومرسل منه الصحابي سقط
”Dan mursal adalah (hadits yang) dari (sanad)-nya gugur seorang sahabat.”
Dikarenakan ketidaktahuan akan seorang sahabat tidaklah berpengaruh, namun akanlah berpengaruh apabila selain sahabat yang tidak diketahui (majhul).”
[Saya berkata] Sungguh benar al-’Allamah al-’Abbad, karena definisi yang disebutkan oleh al-Imam Baiquni dalam Manzhumah al-Baiquniyah-nya keliru. Hal ini telah diisyaratkan oleh Syaikh ’Abdus Satar yang membuat manzhumah meluruskan manzhumah al-Baiquniyah. Beliau berkata :
ومرسل من فوق تابع سقط
”Dan mursal adalah (hadits yang) perawi di atas tabi’in gugur.”
Kesimpulan : Apa yang disebutkan oleh Saudara Ridha di atas secara garis besar adalah benar. Namun saya memiliki beberapa catatan :
Saudara Ridha tidak menyebut referensi penukilannya. Saya berbaik sangka mungkin beliau belum memiliki kelapangan untuk menyebutkannya
Ucapannya bahwa Thowus rahimahullahu menerima hadits dari ’A`isyah, ’Umar dan ’Ali perlu diteliti kembali. Penjelasan al-Hafizh dan beberapa ulama -sebagaimana telah berlalu- menunjukkan bahwa haditsnya dari ketiga sahabat di atas berstatus mursal.
Hadits mursal dari tabi’iy menurut pendapat yang paling rajih adalah dha’if statusnya, tanpa menafikan naiknya derajat hadits tersebut dengan jam’u thuruq (menghimpun jalur periwayatan lainnya) baik mutaba’ah atau syawahid-nya
Yang terpenting lagi, saya belum menemukan ucapan ulama yang menyebut bahwa Thawus rahimahullahu adalah seorang syi’ah atau tasyayu’. Padahal pembahasan kita ini adalah tentang perawi tasyayu’ yang diterima periwayatannya oleh ahli hadits sunni. Maka untuk itu, saudara Ridha harus menunjukkan pendapat ulama hadits sunni yang menyebut bahwa Thawus adalah syi’ah. Jika saudara Ridha menukil dari kaum syi’ah, maka –maaf-maaf saja-, saya tidak bisa menerimanya, karena mereka kaum pendusta yang suka menyandarkan para ulama kepada madzhabnya padahal ini tidak benar.

2. ’Abdurrahman bin Shalih al-Azdi
2.Abdurahm’an ibn Shaleh al-Azdi al-Ataki = Diceritakan bahwa Ibn Shaleh akan menemui Ahmad ibn Hanbal. Dikatakan hal itu kepada Ahmad. Lalu Ahmad berkata: “Maha Suci Allah! ia seorang yang mencintai keluarga Nabi. Ia adil.”
Menurut Yahya ibn Mu’in, ia tsiqat, jujur, dan syi’ah. Bagi Ibn Shaleh, demikian Yahya, jatuh pingsan dari langit lebih ia sukai daripada berdusta walau hanya sepatah kata. Abu Hatim menilai Ibn Shaleh sebagai orang yang jujur. Musa ibn Harun berkata: “Ia tsiqat, yang bercerita tentang kekurangan-kekurangan para istri Rasulullah dan para sahabat:” Abu al-Qasim berkata: “Aku mendengar Ibn Shaleh berkata: “Orang paling utama setelah Nabi Muhammad adalah Abu Bakar dan ‘Umar.” Shaleh ibn Muhammad berkata: “Ia orang Kufah, yang mencerca ‘Utsman, tetapi ia jujur.”
Abu Dawud berkata: “Aku tidak berminat untuk mendaftar hadits Ibn Shaleh. Ia menulis buku yang mengecam sahabat-sahabat Rasul” Ibn Hibban menyebut Ibn Shaleh dalam kitab ats-Tsiqat. Ibn Adi berkata: “Ibn Shaleh sangat dikenal di kalangan orang Kufah. Tidak ada orang yang menyatakan haditsnya dha’if. Hanya saja ia sangat menonjol dalam berpaham Syi’ahnya.

Tanggapan :
Baiklah mari kita cek penukilan saudara Ridho… untuk mempersingkat halaman dan waktu agar pembaca tidak bosan, maka saya ambil poin-poin penting saja dan menyebutkan hal-hal yang terkait saja dengan ulasan saudara Ridho di atas. Saya hanya akan menyebutkan biografi global dan penilaian ulama, lalu kesimpulan serta beberapa hal yang saya rasa penting dan perlu.

Biografi Global :
Nama : ’Abdurrahman bin Sholih al-Azdi al-’Ataki, Abu Sholih. Ada yang berpendapat kunyahnya adalah Abu Muhammad al-Kufi. Tinggal di Baghdad bertetangga dengan ’Ali bin Ja’d.
Thobaqoh : Ke-10 dari tabi’u tabi’ at-Tabi’in senior.
Wafat : 235 H.
Ulama Yang Meriwayatkan Darinya : Imam an-Nasa`i.
Tingkatannya Menurut Ibnu Hajar : Shoduq (jujur) yatasyayu’ (condong ke Syi’ah).

Pandangan Ulama Terhadapnya
Saudara Ridha berkata :
Diceritakan bahwa Ibn Shaleh akan menemui Ahmad ibn Hanbal. Dikatakan hal itu kepada Ahmad. Lalu Ahmad berkata: “Maha Suci Allah! ia seorang yang mencintai keluarga Nabi. Ia adil.”
Setelah saya periksa, demikian naskah aslinya sebagaimana disebutkan oleh al-Mizzi dalam Tahdzibul Kamal :
قال يعقوب بن يوسف المطوعى : كان عبد الرحمن بن صالح الأزدى رافضيا و كان يغشى أحمد بن حنبل ، فيقربه و يدنيه ، فقيل له : يا أبا عبد الله ، عبد الرحمن بن صالح رافضى . فقال : سبحان الله ، رجل أحب قوما من أهل بيت النبى صلى الله عليه وسلم نقول له ( لا ) تحبهم ! هو ثقة .
Berkata Ya’qub bin Yusuf al-Muthu’i : ”Adalah ’Abdurrahman bin Sholih al-’Azdi seorang Rafidhi dan ia hendak mendatangi Ahmad bin Hanbal maka ia mendekati Imam Ahmad. Seseorang berkata kepada Imam Ahmad : ”Wahai Aba Abdillah, ’Abdurrahman bin Shalih itu seorang Rafidhi.” Lantas Imam Ahmad menukas : ”Subhanalloh, (dia itu) seseorang yang mencintai kaum dari ahli bait (keluarga) Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam dan (mana mungkin) kami katakan padanya : janganlah kamu mencintai mereka (ahlu bait)! Dia itu tsiqoh.”

Saudara Ridha menukil :
Menurut Yahya ibn Mu’in, ia tsiqat, jujur, dan syi’ah. Bagi Ibn Shaleh, demikian Yahya, jatuh pingsan dari langit lebih ia sukai daripada berdusta walau hanya sepatah kata.
Masih dalam Tahdzibul Kamal, al-Mizzi membawakan pendapat Ibnu Ma’in yang cukup banyak. Diantaranya yang maknanya sama dengan yang disampaikan oleh saudara Ridha. Berikut ini teksnya :
و قال سهل بن على الدورى : سمعت يحيى بن معين يقول : يقدم عليكم رجل من أهل الكوفة ، يقال له : عبد الرحمن بن صالح ، ثقة ، صدوق ، شيعى ، لأن يخر من السماء أحب إليه من أن يكذب فى نصف حرف .
Berkata Sahl bin ’Ali ad-Duri : Aku mendengar Yahya bin Ma’in berkata : Ada orang terdepan di antara kalian dari penduduk Kufah, dikatakan tentangnya : ’Abdurrahman bin Sholih, seorang tsiqoh, shoduq, syi’i. Dikarenakan ia dijatuhkan dari langit lebih ia cintai daripada harus berdusta walau sepenggal huruf.

Saudara Ridha berkata :
Abu Hatim menilai Ibn Shaleh sebagai orang yang jujur. Musa ibn Harun berkata: “Ia tsiqat, yang bercerita tentang kekurangan-kekurangan para istri Rasulullah dan para sahabat:” Abu al-Qasim berkata: “Aku mendengar Ibn Shaleh berkata: “Orang paling utama setelah Nabi Muhammad adalah Abu Bakar dan ‘Umar.” Shaleh ibn Muhammad berkata: “Ia orang Kufah, yang mencerca ‘Utsman, tetapi ia jujur.”
Setelah dicek dikatakan :
و قال أبو حاتم : صدوق
Abu Hatim berkata : ”shoduq”.
و قال موسى بن هارون : شاعى محترق ، خرقت عامة ما سمعت منه ، يروى أحاديث سوء فى مثالب أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم .
Musa bin Harun berkata : ”Penyebar kebingungan yang membingungkan orang banyak yang mendengarkan ucapannya. Ia meriwayatkan hadits buruk seputar kejelekan para sahabat Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa salam.”
و قال فى موضع آخر : كان ثقة ، و كان يحدث بمثالب أزواج رسول الله صلى الله عليه وسلم و أصحابه .
Beliau (Musa bin Harun) berkata pada tempat yang lain : ”Dia orang yang tsiqoh dan menceritakan kejelekan isteri-isteri Rasullullah Shallallahu ’alaihi wa salam dan para sahabat.”
و قال على بن محمد بن حبيب المروزى ، عن صالح بن محمد الحافظ : صدوق .
Berkata ’Ali bin Muhammad bin Habib al-Maruzi (ada yang membaca al-Marwazi) dari Sholih bin Muhammad al-Hafizh (tentang Ibnu Sholih) : ”Shoduq”.
و قال عبد المؤمن بن خلف النسفى ، عن صالح بن محمد : كوفى صالح ، إلا أنه كان يقرض عثمان ! و
Berkata ’Abdul Mu`min bin Kholaf an-Nasafi dari Sholih bin Muhammad : ”Seorang penduduk Kufah yang shalih, hanya saja ia mencela ’Utsman!”
قال أبو القاسم البغوى : سمعت عبد الرحمن بن صالح الأزدى يقول : أفضل ، أو خير هذه الأمة بعد نبيها أبو بكر و عمر .
Berkata Abul Qosim al-Baghowi : Aku mendengar ’Abdurrahman bin Shalih al-Azdi berkata : ”Seutama-utama atau sebaik orang umat ini setelah Nabi adalah Abu Bakr dan ’Umar.”

Saudara Ridha berkata :
Abu Dawud berkata: “Aku tidak berminat untuk mendaftar hadits Ibn Shaleh. Ia menulis buku yang mengecam sahabat-sahabat Rasul” Ibn Hibban menyebut Ibn Shaleh dalam kitab ats-Tsiqat. Ibn Adi berkata: “Ibn Shaleh sangat dikenal di kalangan orang Kufah. Tidak ada orang yang menyatakan haditsnya dha’if. Hanya saja ia sangat menonjol dalam berpaham Syi’ahnya.
Setelah dicek demikian disebutkan :
و قال أبو عبيد الآجرى : سألت أبا داود عن عبد الرحمن بن صالح . فقال : لم أر أن أكتب عنه ، وضع كتاب مثالب فى أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم . قال : و ذكره مرة أخرى فقال : كان رجل سوء
Berkata Abu ’Ubaid al-Ajurri : Aku bertanya kepada Abu Dawud tentang ’Abdurrahman bin Shalih, lantas beliau menjawab : ”Aku tidak berminat menulis (riwayat) darinya. Dia meletakkan kitab celaan-celaan terhadap sahabat Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa salam.” Abu ’Ubaid berkata : Beliau menyebutkannya sekali lagi lalu berkata : ”Dia adalah orang yang jelek.”
و ذكره ابن حبان فى كتاب ” الثقات ” . و قال أبو أحمد بن عدى : معروف مشهور فى الكوفيين ، لم يذكر بالضعف فى الحديث و لا اتهم فيه ، إلا أنه محترق فيما كان فيه من التشيع
Ibnu Hibban menyebutkannya di dalam buku ats-Tsiqoot. Abu Ahmad bin ’Adi berkata : ”Terkenal dan Masyhur di kalangan penduduk Kufah. Belum ada yang menyebutkan kedhaifannya di dalam hadits dan tuduhan atasnya, hanya saja ia orang yang begitu bersemangat dengan apa yang ada dalam dirinya berupa faham syiah.”
[Saya berkata] Terjadi silang pendapat di antara para ulama tentang Jarh dan Ta’dil pada dirinya. Kebanyakan jarh yang sampai padanya kembali ke masalah tasyayu’ yang ada pada dirinya dan haditsnya yang menceritakan cerita fitnah seputar isteri dan sahabat Rasulullah. Hanya saja ia seorang yang jujur tidak pernah berdusta. Berbeda dengan kaum syiah pada umumnya yang sangat gemar berdusta. Ia pun memuji sahabat Abu Bakr dan ’Umar sedangkan Rafidhah umumnya mengkafirkan kedua sahabat yang mulia ini. Namun ia mencela beberapa sahabat terutama sahabat ’Utsman Radhiyallahu ’anhu. Perawi ahlus sunnah yang meriwayatkan darinya tercatat hanya Imam an-Nasa`i, itupun beliau hanya meriwayatkan satu buah hadits saja. Sebagaimana dikatakan oleh al-Mizzi dalam Tahdzibul Kamal :
روى له النسائى فى كتاب ” الخصائص ” حديثا واحدا ، من رواية محمد بن كعب عن علقمة ، عن على
”Nasai meriwayatkan darinya di dalam kitab al-Khasha`ish satu buah hadits saja, dari riwayat Muhammad bin Ka’ab ’Alqomah, dari ’Ali.”
Dalam pembahasan ini adalah beberapa komentar yang ingin saya berikan kepada Saudara Ridha :
Anda benar bahwa Ibnu Shalih al-Azdi ini seorang yang terpengaruh dengan pemahaman Syi’ah. Namun ia dikatakan para ulama shoduq dan diriwayatkan tidak pernah berdusta. Berbeda dengan kaum syiah pada umumnya.
Saya ’kan meminta anda untuk membawakan Rijal (perawi) Bukhari yang tasyayu’, sebagaimana anda sebutkan. Namun anda membawakan salah seorang rijal Nasa`i; dan itupun Nasa`i hanya meriwayatkan satu hadits saja darinya. Bahkan Abu Dawud tidak mau menuliskan haditsnya dan menyebut dirinya ”Rajulun Suu`”.
Sebagaimana pendahuluan yang saya kemukakan dengan cukup panjang di atas, bahwa penerimaan riwayat dari ahli bid’ah itu tidak serta merta otomatis menunjukkan akan rekomandasi atas madzhabnya. Bahkan para ulama, walaupun menyebutkan sifatnya yang tsiqoh, shoduq dst… namun mereka juga menyebutkan jarh terhadapnya tentang kecenderungannya kepada madzhab bid’ah, yaitu madzhab syi’ah.
Bagian 3 : Klarifikasi dan Tabayyun II (Selesai)


Kita lanjutkan ke pembahasan berikutnya…

3. ’Abdurrazaq bin Hammam bin Nafi’ ash-Shan’ani

Biografi Global :
Nama : ’Abdurrazzaq bin Hammam bin Nafi’ al-Humairi –maula mereka- al-Yamani, Abu Bakr ash-Shon’ani
Lahir : 126 H.
Thobaqoh : ke-9 dari Atba’ut Tabi’in kecil
Wafat : 211 H.
Yang Meriwayatkan Darinya : Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Nasa`i dan Ibnu Majah
Tingkatannya Menurut Ibnu Hajar : Tsiqqoh Haafizh (pemilik) Mushonnaf (Abdurrazaq), buta pada akhir umurnya dan taghoyar (berubah). Ia yatasyayu’ (memiliki kecenderungan syiah).
Tingkatannya Menurut Adz-Dzahabi : salah seorang a’lam , penulis tashonif.
Di dalam Taqribut Tahdzib, al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata :
[ 4064 ] عبد الرزاق بن همام بن نافع الحميري مولاهم أبو بكر الصنعاني ثقة حافظ مصنف شهير عمي في آخر عمره فتغير وكان يتشيع .
[Rawi no. 4064] ’Abdurrazaq bin Hammam bin Nafi’ al-Humairi –maula mereka- Abu Bakr ash-Shon’ani seorang yang tsiqqoh haafizh (pemilik buku) Mushonaf yang terkenal, buta pada akhir usianya dan taghoyar (berubah). Beliau orang yang memiliki kecenderungan kepada syiah. [Dinukil dari Taqribut Tahdzib, download softcopy dari www.sahab.org].

Faidah : Mengenal Sekelumit Tentang Kitab Taqriibut Tahdziib
Bagi para penuntut ilmu yang pernah merasakan aroma harumnya ilmu hadits dan rijalul hadits, pasti tidak akan asing dengan karya al-Hafizh yang satu ini. Sebenarnya, kitab tarajum yang paling masyhur dan mu’tamad adalah Tahdzibul Kamal karya al-Hafizh al-Mizzi yang menghimpun rijal Kutubus Sittah. Kitab karya al-Mizzi ini merupakan tahdzib dari kitab al-Kamal karya ’Abdul Ghoni al-Maqdisi. Kemudian al-Mizzi mengurutkan, meringkas, membenahi kesalahan-kesalahan dan jadilah kitab Tarajum ar-Ruwat (biografi para perawi) yang terkenal ini. Kemudian datanglah al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dan menyusun kembali, meringkas dan membenahi kitab Tahdzibul Kamal ini dalam buku beliau Tahdzibut Tahdzib dan menambahkan beberapa pendapat ahli hadits serta mentarjih pendapat yang paling kuat.
Setelah al-Hafizh menulis Tahdzibut Tahdzib, beliau menyempurnakan karyanya ini dengan menulis sebuah kitab tarajum yang lebih ringkas dan memilih pendapat-pendapat para nuqad (pengkritik hadits) yang paling ashah (benar/kuat), yaitu kitab Taqribut Tahdzib. Sistematika buku ini adalah, al-Hafizh menyebutkan nama rawi, thobaqoh-nya, martabat/tingkatan-nya dari Jarh wa Ta’dil, dan menyebutkan sebagian besar wafatnya perawi hadits. Buku ini adalah buku yang sangat besar sekali faidahnya dan lebih ringkas serta lebih mudah.
Al-Hafizh berkata di dalam muqoddimah kitabnya : ”Sesungguhnya aku menghukumi setiap orang dari para perawi, dengan suatu hukum yang cakupannya paling shahih dari pendapat (para nuqad) kepadanya, paling adil di dalam pensifatannya, paling ringkas ungkapannya dan paling jelas penunjukannya. Dimana setiap tarjamah (biografi)-nya, hampir semuanya tidak lebih dari satu paragraf saja yang menghimpun nama perawi, bapak dan kakeknya, kemudian akhir nisbat dan nasabnya yang paling masyhur serta kunyah dan laqob­-nya, beserta menjelaskan syakal huruf padanya lalu sifatnya yang khusus dengan jarh atau ta’dil…”
Para pembaca mungkin akan mendapatkan istilah-istilah jarh dan ta’dil dalam risalah ini, semisal tsiqoh haafizh, shoduq qod yukhthi’, dll. Istilah-istilah ini, antara satu ulama hadits dengan lainnya seringkali berbeda dan tingkatannya juga berbeda. Oleh karena itu kita perlu memahami tingkatan martabat perawi menurut al-Hafizh agar tidak rancu dengan martabat yang dibuat oleh ulama hadits lainnya. Al-Hafizh membagi martabah/tingkatan perawi di dalam buku beliau ini menjadi 12 tingkatan, yaitu :
Tingkatan I : Sahabat [dan semua sahabat itu adil, pent.]
Tingkatan II : Perawi yang pujiannya dita’kid (dikuatkan) seperti : tsiqotu tsiqoh atau tsiqotu haafizh.
Tingkatan III : Yang disifatkan dengan sifat tunggal seperti : tsiqoh, mutqin, tsabt atau adil.
Tingkatan IV : Shoduq Laa Ba’sa Bihi atau Laysa Bihi Ba’s (jujur, tidak ada masalah dengan periwayatannya).
Tingkatan V : Shoduq Sayyi`ul Hifzh (jujur namun hapalannya buruk) atau shoduq yahimu atau lahu auhaam (sering salah meriwayatkan).
Tingkatan VI : Maqbul yaitu apabila sebagai mutaba’ah, dan apabila tidak maka haditsnya layyin (lemah).
Tingkatan VII : Mastur atau Majhul al-Haal (perihal perawi tidak diketahui).
Tingkatan VIII : Dha’if.
Tingkatan IX : Majhul, yang membawa kepada majhul al-’Ain (identitas perawi tidak diketahui sama sekali).
Tingkatan X : Matruk, Matrukul Hadits, Waahiyul Hadits atau Saaqith.
Tingkatan XI : Perawi yang tertuduh kidzb (dusta).
Tingkatan XII : Perawi yang disifatkan berdusta atau memalsu hadits.
Demikian ini adalah sekelumit tentang kitab beliau yang agung, Taqribut Tahdzib. Mudah-mudahan bermanfaat. [Lihat lebih rinci dalam Taysiir Diroosatul Asaaniid karya Syaikh ’Amru ’Abdul Mun’im Salim, Cet. 1, 1421, Daar adh-Dhiyaa’, hal. 147-156].
Sekarang kita kembali kepada penilaian para nuqad (kritikus hadits) lainnya. Al-Hafizh al-Mizzi membawakan periwayatan yang banyak tentang penilaian kepada ’Abdurrazaq. Sebagaiannya telah disebutkan oleh Saudara Ridha, dan saya akan turunkan sebagiannya lagi.
و قال أبو زرعة الدمشقى ، عن أبى الحسن بن سميع ، عن أحمد بن صالح المصرى : قلت لأحمد بن حنبل : رأيت أحدا أحسن حديثا من عبد الرزاق ؟ قال : لا . قال أبو زرعة : عبد الرزاق أحد من ثبت حديثه
Abu Zur’ah ad-Dimsayqi berkata : dari Abul Hasan bin Sami’, dari Ahmad bin Shalih al-Mishri (berkata) : Aku berkata kepada Ahmad bin Hanbal : ”Adakah kau pandang ada orang yang lebih baik haditsnya daripada ’Abdurrazaq?” beliau menjawab : ”tidak”. Abu Zur’ah berkata : ”Abdurrazaq adalah salah seorang yang tsabat (mantap/kuat) haditsnya.”
و قال الأثرم : سمعت أبا عبد الله يسأل عن حديث النار جبار ؟ فقال : هذا باطل ليس من هذا شىء . ثم قال : و من يحدث به عن عبد الرزاق ؟ قلت : حدثنى أحمد ابن شبويه . قال : هؤلاء سمعوا بعدما عمى ، كان يلقن فلقنه ، و ليس هو فى كتبه و قد أسندوا عنه أحاديث ليس فى كتبه كان يلقنها بعدما عمى . و قال حنبل بن إسحاق ، عن أحمد بن حنبل نحو ذلك ، و زاد : من سمع من الكتب فهو أصح .
Abu Bakr al-Atsram berkata : Aku mendengar Abu ’Abdillah (Imam Ahmad) bertanya tentang hadits neraka Jabbar. Lantas beliau (Imam Ahmad) berkata : ”Ini batil tidak ada sesuatupun dari hal ini”. Kemudian beliau berkata : ”Siapa yang menceritakan hal ini dari ’Abdurrazaq?” Aku berkata : menceritakan padaku Ahmad bin Syibawaih. Beliau berkata : ”Mereka ini mendengar setelah dia (’Abdurrazaq) buta. Dia (’Abdurrazaq) mendiktekannya lalu mereka mendengarkannya padahal tidak ada hal ini di dalam buku-bukunya. Mereka telah meyandarkan padanya hadits-hadits yang tidak ada di dalam bukunya, ia mendiktekannya setelah ia mengalami kebutaan.” Berkata Hanbal bin Ishaq dari Ahmad bin Hanbal yang serupa dengan di atas, dan ditambakan (oleh Imam Ahmad) : ”Barangsiapa yang mendengarnya dari buku-bukunya maka ini lebih shahih.”
و قال أبو زرعة الدمشقى : قلت لأحمد بن حنبل : كان عبد الرزاق يحفظ حديث معمر ؟ قال : نعم . قيل له : فمن أثبت فى ابن جريج عبد الرزاق أو محمد بن بكر البرسانى ؟ قال : عبد الرزاق .
Berkata Abu Zur’ah ad-Dimasyqi : Aku berkata kepada Ahmad bin Hanbal : ”Apakah ’Abdurrazaq mengahafal haditsnya Ma’mar?” beliau menjawab : ”iya”. Ada yang bertanya pada beliau : ”Mana yang lebih tsabat (mantap periwayatannya) dari Ibnu Juraij, ’Abdurrazaq-kah ataukah Muhammad bin Bakr al-Barsaani?” beliau menjawab : ”’Abdurrazaq”.
قال : و أخبرنى أحمد بن حنبل ، قال : أتينا عبد الرزاق قبل المئتين و هو صحيح البصر و من سمع منه بعدما ذهب بصره ، فهو ضعيف السماع .
Abu Zur’ah berkata : Ahmad bin Hanbal memberitakan kepadaku : ”Kami mendatangi ’Abdurrazaq sebelum 200 H dan beliau dalam keadaan sehat matanya. Barangsiapa yang mendengarkan darinya setelah hilang pengelihatannya (buta) maka sima’ (pendengaran)-nya berstatus lemah.
و قال عباس الدورى ، عن يحيى بن معين : كان عبد الرزاق فى حديث معمر أثبت من هشام بن يوسف ، و كان هشام بن يوسف فى حديث ابن جريج أثبت من عبد الرزاق ، و كان أقرأ للكتب ، و كان أعلم بحديث سفيان الثورى من عبد الرزاق .
’Abbas ad-Dauri berkata dari Yahya bin Ma’in, (beliau berkata) : ”’Abdurrazaq di dalam periwayatan hadits Ma’mar itu lebih mantap daripada Hisyam bin Yusuf, namun Hisyam bin Yusuf itu di dalam periwayatan hadits Ibnu Juraij lebih mantap daripada ’Abdurrazaq. Aku pernah membaca buku-bukunya dan aku mengetahui hadits Sufyan ats-Tsauri itu dari ’Abdurrazaq.”
و قال يعقوب بن شيبة ، عن على ابن المدينى ، قال : لى هشام بن يوسف : كان عبد الرزاق أعلمنا و أحفظنا . قال يعقوب : و كلاهما ثقة ثبت .
Ya’qub bin Syaibah berkata, dari ’Ali ibnul Madini (beliau berkata) : Berkata Hisyam bin Yusuf kepadaku : ”’Abdurrazaq itu orang yang lebih ’alim dan hafizh daripada kami.” Ya’qub berkata : keduanya (yaitu Hisyam bin Yusuf dan ’Abdurrazaq) adalah sama-sama tsiqoh tsabt.
و قال الحسن بن جرير الصورى ، عن على بن هاشم : قال عبد الرزاق : كتب عنى ثلاثة لا أبالى أن لا يكتب عنى غيرهم ; كتب عنى ابن الشاذكونى ، و هو من أحفظ الناس ، و كتب عنى يحيى بن معين و هو من أعرف الناس بالرجال ، و كتب عنى أحمد بن حنبل و هو من أزهد الناس .
Al-Hasan bin Jarir ash-Shuri berkata, dari ’Ali bin Hisyam bahwa ’Abduurrazaq berkata : ”Menulis dariku tiga orang yang aku tidak peduli apabila tidak ada orang yang menulis dariku selain mereka ini, yaitu : telah menulis dariku Ibnu Syadzikun dan dia adalah orang yang paling hafizh, telah menulis dariku Yahya bin Ma’in dan dia adalah orang yang paling mengetahui tentang para perawi hadits dan telah menulis dariku Ahmad bin Hanbal dan ia adalah manusia yang paling zuhud.”
[Saya berkata] Dan masih banyak lagi penilaian para a`immah kepada beliau, namun saya rasa yang di atas ini sudah cukup. Saya ingin melanjutkan sedikit dengan masalah tasyayu’ (kecenderungan pada faham Syi’ah)-nya ’Abdurrazaq dan menukil ucapan sebagian imam dalam masalah ini.
و قال أبو بكر بن أبى خيثمة : سمعت يحيى بن معين و قيل له : إن أحمد بن حنبل قال : إن عبيد الله بن موسى يرد حديثه للتشيع ، فقال : كان والله الذى لا إله إلا هو عبد الرزاق أغلى فى ذلك منه مئة ضعف ، و لقد سمعت من عبد الرزاق أضعاف أضعاف ما سمعت من عبيد الله .
Abu Bakr bin Abi Khaitsamah berkata : Aku mendengar Yahya bin Main dan ada yang berkata padanya : ”Sesungguhnya Ahmad bin Hanbal berkata, bahwa sesungguhnya ’Ubaidillah bin Musa membantah hadits ’Abdurrazaq dikarenakan tasyayu’-nya.” Lantas Ibnu Ma’in menukas : ”Demi Alloh yang tidak ada sesembahan yang haq untuk di sembah melainkan Dia, ’Abdurrazaq itu jauh lebih bernilai (periwayatannya) darinya berkali-kali lipat. Dan sungguh aku telah mendengar dari ’Abdurrazaq berkali-kali lipat daripada aku mendengar dari ’Ubaidillah.”
و قال عبد الله بن أحمد بن حنبل : سألت أبى ، قلت : عبد الرزاق كان يتشيع و يفرط فى التشيع ؟ فقال : أما أنا فلم أسمع منه فى هذا شيئا ، و لكن كان رجلا تعجبه أخبار الناس ، أو الأخبار .
’Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata : Aku bertanya pada ayahku, ”’Abdurrazaq itu tasyayu’ dan melampaui batas di dalam tasyayu’.” lalu beliau menjawab : ”Adapun aku belum pernah mendengar hal ini sedikitpun, namun dia adalah orang yang beritanya mengagumkan manusia.”
و قال عبد الله أيضا : سمعت سلمة بن شبيب يقول : سمعت عبد الرزاق يقول : والله ما انشرح صدرى قط أن أفضل عليا على أبى بكر و عمر ، رحم الله أبا بكر و رحم الله عمر و رحم الله عثمان و رحم الله عليا ، من لم يحبهم فما هو مؤمن ، و قال : أوثق عملى حبى إياهم .
’Abdullah juga berkata : Aku mendengar Salamah bin Syabib (ada yang membaca Syubaib) berkata : Aku mendengar ’Abdurrazaq berkata : ”Demi Alloh, tidak akan lapang dadaku sedikitpun apabila ’Ali itu dikatakan lebih utama daripada Abu Bakr dan ’Umar. Semoga Alloh merahmati Abu Bakr, Umar, ’Utsman dan ’Ali. Barangsiapa yang tidak mencintai mereka maka bukanlah seorang mukmin.” beliau berkata lagi : ”Amalku yang terkuat adalah cintaku pada mereka.”
[Saya berkata] Subhanalloh wallohu Akbar, semoga Alloh merahmati ’Abdurrazaq ash-Shon’ani yang telah mencintai para sahabat agung, empat khulafa’ur rasyidin yang sebagaiannya telah dikafirkan oleh kaum syiah yang laknat, semoga Alloh membinasakan kaum yang melaknat dan mencela sahabat Nabi yang mulia.
و قال أبو الأزهر أحمد بن الأزهر النيسابورى : سمعت عبد الرزاق يقول : أفضل الشيخين بتفضيل على إياهما على نفسه ، و لو لم يفضلهما لم أفضلهما ، كفى بى آزرا أن أحب عليا ثم أخالف قوله .
Abul Azhar Ahmad bin al-Azhar an-Naisaburi berkata : Aku mendengar ’Abdurrazaq berkata : ”Aku lebih mengutamakan syaikhain (Abu Bakar dan ’Umar) dengan pengutamaan ’Ali keduanya daripada dirinya sendiri, seandainya ’Ali tidak mengutamakan mereka berdua maka aku pun tidak pula mengutamakan mereka. Cukuplah bagiku dosa dikarenakan aku mencintai ’Ali namun aku menyelisihi perkataannya.”
و قال أبو أحمد بن عدى : و لعبد الرزاق أصناف و حديث كثير ، و قد رحل إليه ثقات المسلمين و أئمتهم و كتبوا عنه . و لم يروا بحديثه بأسا إلا إنهم نسبوه إلى التشيع . و قد روى أحاديث فى الفضائل مما لا يوافقه عليه أحد من الثقات ، فهذا أعظم ما ذموه من روايته لهذه الأحاديث ، و لما رواه فى مثالب غيرهم ، و أما فى باب الصدق فإنى أرجو أنه لا بأس به إلا أنه قد سبق منه أحاديث فى فضائل أهل البيت و مثالب آخرين مناكير .
Abu Ahmad bin ’Adi berkata : ”’Abdurrazaq memiliki Ashnaaf dan hadits yang banyak. Banyak para tsiqot dan imam muslim mendatanginya dan menulis darinya dan mereka tidak berpandangan ada masalah dengan haditsnya hanya saja mereka menisbatkannya kepada tasyayu’. Dia meriwayatkan hadis tentang keutamaan-keutamaan (Alul Bait) yang tidak disepakati oleh para tsiqot. Dan inilah celaan mereka yang paling besar kepadanya oleh sebab riwayatnya tentang hadits-hadits ini dimana ia meriwayatkan celaan-celaan kepada selain Alul Bait. Adapun dalam masalah shidq (kejujuran) maka aku harap mudah-mudahan tidak ada masalah dengannya, hanya saja ia bermasalah dalam hadits-hadits tentang keutamaan ahlul bait dan celaan terhadap selainnya yang statusnya munkar.”

Kesimpulan :
’Abdurrazaq ash-Shon’ani adalah perawi yang tsiqoh namun memiliki kecenderungan kepada syiah. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Ijli : ثقة يتشيع ”seorang yang tsiqoh dan memiliki kecenderungan syiah”.
Hadits riwayatnya tidak langsung diterima namun diteliti dahulu, sebagaimana kata Imam an-Nasa’i : فيه نظر ، لمن كتب عنه بآخره كتب عنه أحاديث مناكير ”Perlu penelitian lagi tentang (riwayat)-nya, bagi orang yang menulis darinya pada usia senjanya maka ia menulis hadits-hadits yang mungkar.”
Ditolak periwayatannya yang apabila menyokong atas ketasyayu’annya, sebagaimana ucapan Imam Ibnu Hibban : كان ممن يخطىء إذا حدث من حفظه على تشيع فيه ”Dia termasuk orang yang salah apabila menyampaikan (riwayat) dari hafalannya tentang tasyayu’-nya.”
Beliau memiliki keyakinan yang jauh berbeda dengan syiah rafidhah ekstrim, dimana beliau memuji dan mengutamakan Abu Bakr dan ’Umar daripada ’Ali ridhwanulloh ’alaihim ajma’in.

Oleh karena itu terhadap ucapan Saudara Ridha yang mengatakan
Pernyataan-pernyataan di atas menunjukkan dengan jelas bahwa ‘Abdurrazaq bukanlah Syi’ah Rafidhah. Jika demikian, bagaimana bisa dibenarkan pendapat yang menyatakan bahwa ‘Abdurrazaq penganut paham Rafidhah, dan ia dipandang salah seorang perawi yang tsiqat dan adil? Ini jelas merupakan kepalsuan yang besar yang mengandung motif menghancurkan sendi-sendi sunnah Nabi, dan menceburkan keragu-raguan kepada mereka yang memelihara sunnah, supaya mereka dengan mudah bisa menghancurkan Islam. Orang-orang Sunni hendaknya awas dan peka terhadap hal ini!
Adalah ucapan yang benar dan jujur… Barokallohu fiikum…

4. ’Adi bin Tsabit al-Anshori al-Kufi

Biografi Global :
Nama : ’Adi bin Tsabit al-Anshori al-Kufi (putera dari saudari (kemenakan/ keponakan) ’Abdullah bin Yazid al-Khatmi seorang sahabat radhiyallahu ’anhu).
Thobaqot : ke-4, pertengahan tabi’in
Wafat : 116 H
Yang Meriwayatkan Darinya : Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Nasa`i dan Ibnu Majah
Tingkatannya menurut Ibnu Hajar : tsiqoh dituduh tasyayu’
Tingkatannya menurut Dzahabi : tsiqoh, orator Syiah dan imam masjid mereka di Kufah.

Penilaian Ulama terhadapnya :
Masih dalam penukilan al-Mizzi rahimahullahu dalam kitabnya yang agung, Tahdzibul Kamal (melalui perantaraan Maktabah Syamilah v.2) :
قال عبد الله بن أحمد بن حنبل ، عن أبيه : ثقة . و كذلك أحمد بن عبد الله العجلى و النسائى .
Berkata ’Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari ayahandanya (berkata) : ”tsiqoh”. Demikian pula dengan Ahmad bin ’Abdullah al-’Ijli dan an-Nasa`i (juga mentsiqohkannya).
و قال أبو حاتم : صدوق ، و كان إمام مسجد الشيعة و قاصهم .
Berkata Abu Hatim : ”Shoduq, dan ia adalah imamnya Masjid Syiah serta orator mereka.”
Al-Hafizh berkata di dalam at-Tahdzib VII/165 :
قال البرقانى : قلت للدارقطنى : فعدى بن ثابت عن أبيه عن جده ؟ ، قال : لا يثبت و لا يعرف أبوه و لا جده ، و عدى ثقة .
Berkata al-Burqoni : Aku bertanya kepada ad-Daruquthni : ”Apakah ’Adi bin Tsabit (mengambil riwayat) dari ayahandanya dari kakeknya?” beliau (ad-Daruquthni) menjawab : ”Tidak tsabat (tetap periwayatannya) dan tidaklah diketahui ayahnya dan kakeknya, sedangkan ’Adi seorang yang tsiqoh.”
و قال الطبرى : عدى بن ثابت ممن يجب التثبت فى نقله .
Ath-Thobari berkata : ”’Adi bin Tsabit termasuk orang yang wajib ditabayuni (dinverifikasi) penukilannya.”
و قال ابن معين : شيعى مفرط .
Ibnu Ma’in berkata : ”seorang syi’ah yang melampaui batas.”
و قال السلمى : قلت للدارقطنى : فعدى بن ثابت ، قال : ثقة إلا أنه كان غاليا ـ يعنى فى التشيع .
Berkata as-Silmi (ada yang membaca as-Sulami) : Aku bertanya kepada ad-Daruquthni : “bagaimana dengan ‘Adi bin Tsabit?”, beliau menjawab : ”seorang yang tsiqoh hanya saja ia orang yang berlebih-lebihan di dalam kesyiahannya.”
و قال ابن شاهين فى ” الثقات ” : قال أحمد : ثقة إلا أنه كان يتشيع . اهـ .
Ibnu Syahin mengatakan di dalam ats-Tsiqoot : Berkata Ahmad : ”tsiqot hanya saja ia cenderung kepada syiah.”

و قال ابن شاهين فى ” الثقات ” : قال أحمد : ثقة إلا أنه كان يتشيع . اهـ .

Saudara Ridha berkata :
Pendeknya para Ulama sepakat mengenai sifat adil ‘Adi ibn Tsabit dan tsiqatnya. Mereka hanya mengkritik ‘Adi dalam posisinya sebagai orang Syi’ah. Maksudnya orang yang sangat condong membela dan berpihak kepada ‘Ali, baik dalam soal Khalifah maupun dalam pertempurannya melawan Mu’awiyah. Namun hal itu tidak mengurangi nilai keadilan ‘Adi dan nilai kehujjahan haditsnya. Karena itu Ashabus-Sittah meriwayatkan haditsnya dan menjadikannya sebagai hujjah. Apalagi dia bukan orang yang mempromosikan ajaran bid’ahnya. Namun Imam Bukhari dan Muslim masih melakukan bertindak hati-hati dan waspada, dengan tidak meriwayatkan dari ‘Adi hadits-hadits yang tampaknya memperkuat ajaran bid’ahnya.

[Saya katakan] Saudara Ridha telah bersikap jujur dan benar di dalam mengomentari ’Adi bin Tsabit al-Khatmi. Beliau (’Adi bin Tsabit) tetap dijadikan hujjah di dalam haditsnya dikarenakan ketsiqohan dan keadilan beliau, hanya saja beliau cenderung kepada Syiah namun tidak menyeru kepada bid’ahnya walaupun beliau seorang imam masjid Syiah dan orator mereka. Sebagaimana telah berlalu, periwayatan ahli bid’ah yang tidak menyeru kepada bid’ahnya, tidak mempromosikan bid’ahnya dan tidak membelanya, sedangkan ia seorang yang tsiqoh, adil, waro’ dan takwa serta tidak menghalalkan dusta, maka haditsnya diterima.

5. Yahya bin Sa’id al-Qoththon
Biografi Global :
Nama : Yahya bin Sa’id bin Furuj al-Qoththon at-Tamimi, Abu Sa’di al-Bashri al-Ahwal al-Hafizh, dikatakan beliau adalah maula bani Tamim (dan ada yang berpendapat : tidak ada seorang pun yang pernah memberikan perwalian atasnya.)
Lahir : 120 H.
Thobaqot : ke-9, dari atba’ut tabi’in kecil.
Wafat : 198 H.
Yang meriwayatkan darinya : Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Nasa`i dan Ibnu Majah.
Tingkatannya menurut Ibnu Hajar : Tsiqoh mutqin (mantap/kokoh) haafizh imaam qudwah (tauladan)
Tingkatannya menurut Adz-Dzahabi : al-Hafizh al-Kabir, seorang penghulu di dalam ilmu dan amal. Berkata Ahmad : ”tidak ada kulihat ada seorang yang semisalnya”.

Penilai Ulama atasnya :
Masih dalam Tahdzibul Kamal karya al-Mizzi. Beliau menyebutkan ta’dil (pujian) yang sangat panjang terhadap Yahya al-Qoththon. Berikut ini diantaranya :
و قال عمرو بن على ، عن يحيى بن سعيد : ما اجتمعت أنا و معاذ فى شىء إلا قدمانى و قال أبو الخصيب المصيصى ، عن القواريرى : سمعت عبد الرحمن بن مهدى يقول : ما رأيت أحدا أحسن أخذا للحديث و لا أحسن طلبا له من يحيى بن سعيد القطان ، و سفيان بن حبيب .
Berkata Abul Khashib al-Mashishi dari al-Qowariri : Aku mendengar ’Abdurrahman bin Mahdi berkata : ”Belum pernah aku melihat seorangpun yang lebih baik di dalam mengambil hadits dan menuntutnya selain daripada Yahya bin Sa’id al-Qoththon dan Sufyan bin Habib.”
و قال زكريا بن يحيى الساجى : حدثت عن على ابن المدينى ، قال : ما رأيت أعلم بالرجال من يحيى بن سعيد القطان ، و لا رأيت أعلم بصواب الحديث و الخطأ من عبد الرحمن بن مهدى ، فإذا اجتمع يحيى و عبد الرحمن على ترك حديث رجل تركت حديثه ، و إذا حدث عنه أحدهما حدثت عنه
Berkata Zakaria bin Yahya as-Saaji : Aku menceritakan dari ’Ali bin al-Madini beliau berkata : ”Belum pernah kulihat ada orang yang lebih mengetahui tentang rijal (perawi hadits) selain Yahya bin Sa’id al-Qoththon dan belum pernah aku melihat orang yang paling tahu tentang benar dan salahnya suatu hadits daripada ’Abdurrahman bin Mahdi. Apabila Yahya dan ’Abdurrahman bersepakat untuk meninggalkan hadits seseorang maka aku tinggalkan haditsnya, dan apabila menceritakan salah seorang dari mereka sebuah hadits maka aku juga turut menceritakannya.”
و قال عبد الله بن أحمد بن حنبل : سمعت أبى يقول : حدثنى يحيى القطان و ما رأت عيناى مثله .
Berkata ’Abdullah bin Ahmad bin Hanbal : Aku mendengar ayahandaku berkata : ”Menceritakan kepada Yahya al-Qoththon dan belum pernah kedua mataku melihat orang yang seperti dia.”
و قال عبد الله بن بشر الطالقانى : سمعت أحمد بن حنبل يقول : يحيى بن سعيد أثبت الناس . قال أحمد : و ما كتبت عن مثل يحيى بن سعيد .
Abdullah bin Bisyr al-Qohthoni berkata : Aku mendengar Ahmad bin Hanbal berkata : ”Yahya bin Said adalah manusia yang paling tsabat”. Ahmad berkata : ”Aku tidak pernah menulis dari orang yang semisal Yahya bin Sa’id.”
و قال عباس الدورى ، عن يحيى بن معين : قال لى عبد الرحمن بن مهدى : لا ترى بعينيك مثل يحيى بن سعيد القطان أبدا ! .
’Abbas ad-Dauri berkata dari Yahya bin Ma’in : Berkata kepada ’Abdurrahman bin Mahdi : ”Kamu tidak bakal melihat dengan kedua matamu ada orang yang semisal Yahya bin Sa’id al-Qoththon selamanya!”
و قال أيضا ، عن يحيى بن معين : يحيى بن سعيد أثبت من عبد الرحمن بن مهدى فى سفيان .
Beliau (’Abbas ad-Dauri) berkata juga : Dari Yahya bin Ma’in : ”Yahya bin Sa’id lebih tsabat daripada ’Abdurrahman bin Mahdi di dalam (riwayat) Sufyan.”
و قال أبو زرعة الدمشقى : قلت ليحيى بن معين : يحيى بن سعيد فوق ابن مهدى ؟ قال : نعم .
Berkata Abu Zur’ah ad-Dimasyqi : Aku berkata kepada Yahya bin Ma’in : ”Yahya bin Sa’id di atas Ibnu Mahdi?” Beliau menjawab : ”iya”.
و قال أبو بكر بن خزيمة ، عن بندار : حدثنا يحيى بن سعيد إمام أهل زمانه .

Berkata Abu Bakr bin Khuzaimah dari Bandar : ”Menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id seorang imam pada zamannya.”
و قال الحسين بن إدريس : كان يحيى بن سعيد يشبه التجار إذا نظرت إليه ، حتى يأخذ فى الحديث ، فإذا أخذ فى الحديث علمت أنه صاحب حديث .
Berkata al-Husain bin Idris : ”Yahya bin Sa’id itu apabila aku melihat dirinya mirip seperti pedagang, sampai ia mengambil (riwayat) hadits, ketika ia mengambil suatu hadits maka aku tahu bahwa ia adalah seorang ahli hadits.”
و قال محمد بن سعد : كان ثقة مأمونا رفيعا حجة . و قال النسائى : ثقة ثبت مرضى .
Berkata Muhammad bin Sa’id : ”Dia adalah orang yang tsiqoh ma`mun (mantap) rofi’an (tinggi derajatnya) dan hujjah. Berkata an-Nasa`i : ”Tsiqoh Tsabat yang diridhai.”
و قال أبو زرعة : يحيى القطان من الثقات الحفاظ . و قال أبو حاتم : ثقة حافظ .
Berkata Abu Zur’ah : ”Yahya al-Qoththon adalah termasuk ats-Tsiqoot al-Huffaazh. Berkata Abu Hatim : ”Tsiqoh Haafizh.”
[Saya berkata] Dan sungguh, masih banyak lagi untaian kata berderai bagi al-Imam as-Sunnah di zamannya, Yahya bin Sa’id al-Qoththon, namun saya tutup pujian kepada beliau dengan apa yang dibawakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu di dalam Tahdzibut Tahdzib (XI:220) dari al-Kholili…
و قال الخليلى : هو أمام بلا مدافعة ، و هو أجل أصحاب مالك بالبصرة ، و كان الثورى يتعجب من حفظه ، واحتج به الأئمة كلهم ، و قالوا : من تركه يحيى تركناه . اهـ .
Al-Kholili berkata : ”Beliau adalah seorang imam tanpa diragukan lagi, dan beliau termasuk sahabat utama Malik di Bashrah. Ats-Tsauri terkagum-kagum dengan hafalannya dan para imam berhujjah dengannya seluruhnya dan berkata, barangsiapa meninggalkan Yahya maka ia kami tinggalkan.”
[Saya berkata] Perhatikan ucapan Imam al-Kholili, yang mana beliau menyebutkan bahwa seluruh imam berhujjah dengan Imam Yahya bin Sa’id al-Qoththon, seakan-akan beliau ingin menyatakan ijma’nya penerimaan riwayat dari Yahya al-Qoththon. Bahkan ta’dil yang disebutkan oleh para mu’addilin kepada beliau adalah ta’dil tingkatan pertama, yang tidak ditemukan adanya jarh (celaan) atau cacat pada diri beliau.
Maka sekali lagi saya katakan bahwa apa yang disebutkan Saudara Ridha di bawah ini…
Dari berbagai pendapat di atas nyatalah bahwa para ulama sepakat mengenai keadilan, ketsiqatan dan kehujjahan hadits Yahya al-Qaththan tanpa ada perselisihan. Mereka tidak ada yang melontarkan kecaman kepadanya yang dapat merusak sifat adil dan kehujjahan haditsnya. Karena itu, beberapa orang Ashabus-Sittah meriwayatkan hadits Yahya.
Adalah suatu ucapan yang benar, bilaa mudafa’ah (tanpa diragukan lagi). Karena seluruh imam ahlus sunnah sepakat menerima riwayatnya dan beliau adalah hujjah.
Namun, dimana letak klaim atau dakwaan bahwa Imam Yahya bin Sa’id adalah tasyayu’ atau memiliki kecenderungan kepada Syi’ah?! Saya tidak menemukan hal ini di dalam penelaahan baik terhadap Tahdzibul Kamal karya al-Mizzi, Tahdzibut Tahdzib, Lisanul Mizan dan Taqribut Tahdzib karya al-Hafizh, demikian pula dengan Syiaru ’A’lamin Nubalaa`dan al-Miizan karya adz-Dzahabi, dll yang kesemuanya ada di Maktabah Syamilah v.2. Bahkan penukilan saudara Ridha pun tidak menunjukkan adanya pendapat ulama yang menuduh Imam Yahya bin Sa’id sebagai Syiah atau cenderung kepada Syiah. Lantas, bagaimana bisa disebutkan sebagai perawi Syiah yang diambil periwayatannya oleh ulama hadits ahlus sunnah?! Mungkin saudara Ridha lupa kali… Allohu a’lam…

6. Yahya bin al-Jazar al-’Uroni al-Kufi
Biografi Global
Nama : Yahya bin al-Hajar al-’Uroni (atau al-’Aroni) al-Kufi, laqob beliau Zabaan dan ada yang berpendapat Yahya bin Zabaan [maksudnya yang Zabaan adalah ayahandanya, pent.], maula Bajilah.
Thobaqot : ke-3 dalam jajaran tabi’in pertengahan.
Yang meriwayatkan darinya : Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Nasa`i dan Ibnu Majah.
Tingkatannya menurut Ibnu Hajar : Shoduq dituduh ghuluw (ekstrem) di dalam kecenderungan kepada Syiah.
Tingkatannya menurut Dzahabi : Tsiqoh.

Penilaian ulama terhadapnya
Masih di dalam Tahdzibul Kamal karya al-Hafizh al-Mizzi :
قال إبراهيم بن يعقوب الجوزجانى : كان غاليا مفرطا .
Berkata Ibrahim bin Ya’qub al-Jauzajaani : ”Dia orang yang berlebih-lebihan dan melampaui batas (di dalam tasyayu’)”
و قال أبو زرعة ، و أبو حاتم ، والنسائى : ثقة . و ذكره ابن حبان فى كتاب ” الثقات ” .
Berkata Abu Zur’ah, Abu Hatim dan an-Nasa`i : tsiqoh. Ibnu Hibban menyebutkan dirinya di dalam kitab ats-Tsiqoot.
Para jama’ah ahli hadits meriwayatkan darinya kecuali Bukhari.
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Tahdzibut Tahdzib XI/192 membawakan penilaian ulama terhadapnya, diantaranya :
و قال ابن سعد : كان يغلو فى التشيع ، و كان ثقة ، و له أحاديث .
Berkata Ibnu Sa’d : ”Dia orang yang ghuluw di dalam kesyi’ahannya, namun ia seorang yang tsiqoh dan memiliki sejumlah hadits.”
و قال العجلى : كوفى ثقة ، و كان يتشيع .
Berkata al-’Ijli : ”Seorang penduduk Kufah yang tsiqoh namun cenderung kepada Syiah.”
و روى العقيلى عن الحكم بن عتيبة أنه قال : كان يحيى بن الجزار يغلو فى التشيع .
Al-’Uqoili meriwayatkan dari al-Hukm bin ’Utaibah yang berkata : ”Yahya bin al-Jazaar itu ghuluw di dalam kesyia’ahannya.”
و قال حرب : قلت لأحمد : هل سمع من على ؟ قال : لا .
Berkata Harb : Aku bertanya kepada Ahmad : ”Apakah ia mendengar dari ’Ali?” Imam Ahmad menjawab : ”tidak”.
[Saya berkata] Yahya bin al-Jazar terhimpun padanya jarh dan ta’dil. Ia dita’dil akan ketsiqohannya dan dijarh atas tasyayu’nya yang cenderung berlebih-lebihan. Para imam menerima riwayat dari ahli bid’ah dengan persyaratan sebagaimana telah dikemukakan di awal pembahasan, yaitu hendaklah perawi ahli bid’ah itu tidak menyeru kepada bid’ahnya dan membawakan periwayatan yang menyokong bid’ahnya, selain itu ia haruslah orang yang tsiqoh, adil, taqwa dan waro’ serta tidak menghalalkan kedustaan. Riwayat yang seperti ini diterima dan apabila tidak terpenuhi maka tertolak.
Saudara Ridha berkata :
Adanya kesepakatan ulama mengenai tsiqatnya Yahya ibn Jazar –walaupun ada sebagian orang yang memandang tasyayyu’nya berlebih-lebihan– menunjukkan bahwa kecenderungan Syi’ah Yahya belum sampai ke tingkat yang dapat merusak ketsiqatan dan kehujjahan haditsnya. Dengan kata lain, kesepakatan Ulama mengenai tsiqatnya Yahya menunjukkan bahwa ia bukan pelaku bid’ah yang mengkafirkan, juga bukan orang yang mempromosikan menghalalkan dusta untuk bid’ahnya. Ia juga bukan orang yang menguatkan mazhabnya. Barangsiapa yang kondisinya seperti itu, maka dapat diterima riwayatnya, dan tidak ada halangan untuk berhujjah dengan haditsnya. Karena itu, beberapa orang Ashabus-Sittah meriwayatkan hadits Yahya ibn Jazar. udah dulu ya nunggu komentar anda dulu…. jazakallah atas komentar2 nya…..
Saya katakan : Apa yang dilontarkan oleh Saudara Ridha di atas benar tidak salah. Tidak ada riwayat yang menunjukkan bahwa ekstremnya Yahya bin al-Jazar itu sampai kepada derajat mukaffirah (mengkafirkan pelakunya). Para ulama hadits zaman dahulu, sering kali menyebut seseorang itu ghuluw atau mufrith di dalam kecenderungan kepada Syiah, apabila ia membawakan riwayat-riwayat yang berisi celaan kepada para sahabat dan pengagungan kepada ’Ali radhiyallahu ’anhu yang riwayat-riwayat tersebut adalah riwayat munkar. Sekiranya perawi itu sifatnya sebagaimana kaum Syiah pada umumnya, yang sampai menghalalkan dusta maka derajat periwayatannya otomatis tertolak dan perawinya dikatakan matruk…

Mulhaq (Tambahan) : Sejumlah Perawi Syi’ah Dalam Timbangan
Sebenarnya banyak sekali para perawi syiah yang ditolak periwayatannya dikarenakan karakternya yang gemar berbohong dan membual. Mayoritas mereka disebutkan oleh para ulama sebagai matrukin (orang yang ditinggalkan haditsnya karena tertuduh berdusta, walau derajatnya di bawah al-Kadzdzab), adh-Dhu’afa’ bahkan ada yang kadzdzab. Berikut ini adalah diantara mereka :
1. Muhammad bin Bisyr al-Kalbi al-Kufi as-Syi’i, salah seorang matrukin sebagaimana bapaknya yang juga matruk.
Imam adz-Dzahabi berkata tentangnya dalam Siyaru A’laamin Nubalaa` juz X hal. 101 :
روى عن أبيه كثيرا، وعن مجالد، وأبي مخنف لوط، وطائفة.
Dia meriwayatkan banyak hadits dari bapaknya, Mujalid (bin Sa’id), Abu Mikhnaf Luth dan sejumlah kelompok (syiah).
قال أحمد بن حنبل: إنما كان صاحب سمر ونسب، ما ظننت أن أحدا يحدث عنه
Ahmad bin Hanbal berkata : ”Sesungguhnya ia orang yang gemar bergadang dan seorang pendongeng. Aku tidak mengira ada orang yang mau menyampaikan (riwayat) darinya.”
وقال الدارقطني وغيره: متروك الحديث
Ad-Daruquthni dan selain beliau berkata : ”orang yang matruk haditsnya.”
Di dalam Lisanul Mizan VI/19 disebutkan bahwa Yahya bin Ma’in mengatakan :
غير ثقة، وليس عن مثله يروى الحديث.
”Tidak tsiqoh, tidak ada dari selainnya yang meriwayatkan hadits.”
Ibnu Asakir berkata : ”Seorang Rafidhah dan tidak tsiqoh.”
Al-’Uqoili memasukkannya ke dalam adh-Dhu’afa’ al-Kabir juz IV, hal, 339, dan mengatakan tentangnya : ”Padanya banyak kelemahan.”
Ibnul Jarud, Ibnu Sakan dan selainnya juga menyebutkannya sebagai adh-Dhu’afaa’.
Ibnu Hibban menyebutkannya di dalam al-Majruhin juz VIII, hal. 91 : ”Ia meriwayatkan dari bapaknya, Ma’ruf maula Sulaiman dan dari orang-orang Iraq yang kontroversial dan berita-berita aneh tak berdasar. Ia seorang penganut Syiah yang ekstrem dan berita-beritanya yang kacau balau sudah cukup bagi orang yang mencari kejelasan dan keterangan tentangnya.”
Ibnu ’Adi dalam al-Kamil fid Dhu’afaa ar-Rijaal (VII:2568) mengatakan : ”Hisyam al-Kalbi adalah orang yang suka membual di waktu malam, saya tidak melihat adanya suatu musnad yang meriwayatkan daripadanya. Bapaknya juga seorang pendusta.”
2. Luth bin Yahya Abu Mikhnaf, seorang perawi matrukin yang banyak diriwayatkan oleh perawi yang matruk pula.
Abu Hatim mengatakan tentangnya : ”matruk”.
Ad-Daruquthni dalam adh-Dhuafaa’ menyebutnya ”dha’if.”
Ibnu Ma’in menyebutnya : ”tidak tsiqoh” dan ”laysa bi syai’ (tidak ada apa-apanya).”
Ibnu ’Adi dalam al-Kamil fidh Dhu’afaa’ (VI:2110) berkata tentangnya : ”Seorang syiah tulen dan nara sumber sejarah mereka.”
Adz-Dzahabi dalam al-Mizan (III/419) sendiri mengatakan : ”Perawi yang rusak tidak dapat dipercaya.”
3. Jabir bin Yazid al-Ju’fi, seorang Syiah ekstrim yang pendusta dan meyakini aqidah sesat raj’ah (Reinkarnasi ’Ali).
Ibnu Ma’in mengomentarinya : ”Jabir adalah kadzdzab (pendusta besar).” beliau juga berkata : ”Jabir tidak ditulis haditsnya dan tidak ada martabatnya.”
Berkata Za`idah : ”Demi Alloh! Al-Ju’fi itu pendusta yang meyakini aqidah raj’ah kaum syiah.”
Al-Jauzajaani mengatakan : ”Jabir al-Ju’fi adalah pendusta.”
Abu Hanifah pun angkat suara : ”Saya belum pernah menemukan orang yang kedustaannya melebihi Jabir al-Ju’fi.” sebagaimana dinukil oleh adz-Dzahabi dalam al-Mizan.
An-Nasa`i dalam adh-Dhu’afaa’ wal Matrukin hal. 71 mengatakan : ”Dia termasuk perawi yang matruk.”
Al-Ajurri dalam as-Su`alaat hal. 180 menukil ucapan Abu Dawud : “Menurutku tidak ada kekuatan dalam (riwayat) haditsnya”
Bahkan lebih terang lagi adalah apa yang diucapkan Ibnu Hibban dalam al-Majruhin (I/208) : ”Al-Ju’fi adalah pengikut aliran Saba’iyah yaitu pengikut ’Abdullah bin Saba’ yang memiliki doktrin bahwa ’Ali akan kembali ke dunia (raj’ah/reinkarnasi).”
Dan masih banyak lagi perawi-perawi Syi’ah yang matruk ditinggalkan haditsnya dikarenakan sifatnya yang gemar berdusta, menghalalkan dusta dan tidak kredibel alias tsiqoh.
Alhamdulillah, Syaikh ’Abdurrahman bin ’Abdullah az-Zar’i memiliki kitab yang bermanfaat dalam masalah ini, judulnya Rijaal asy-Syi’ah fil Miizan, diterbitkan oleh Darul Arqom, Kuwait. Bagi yang ingin memperluas wawasannya tentang hal ini silakan merujuk ke sana…

Sebuah Peringatan Penting!!!
Wahai saudaraku kaum muslimin… ketahuilah bahwa Syi’ah adalah suatu sekte atau aliran yang menyimpang dari Islam, mereka tidak hanya gemar memalsu dan memanipulasi hadits dari Rasulullah, dan mereka bukan saja kaum yang paling pendusta, namun mereka juga meyakini akan adanya tahrif dan adanya perubahan pada Al-Qur’an, kecuali sebagian kecil mereka yang masih dirahmati Alloh…
Lihatlah apa yang diucapkan oleh as-Sayyid Hasyim al-Bahrooni seorang mufassir Syi’ah yang terkenal di dalam muqoddimah tafsirnya ”al-Burhaan”, dia berkata :
وعندي يقين من وضوح صحة هذا القول (أي القول بتحريف القرآن وتغييره) بعد تتبع الأخبار، وتفحص الآثار، بحيث يمكن الحكم بكونه من ضروريات مذهب التشيع [البرهان في تفسير القرآن، مقدمة الفصل الرابع ص49 ط إيران].
”Dan aku sangat yakin akan terangnya keshahihan pendapat ini (yaitu yang menyatakan) adanya tahrif (penyelewengan) dan taghyir (perubahan) al-Qur’an) setelah meneliti berita-berita dan menyelidiki atsar-atsar yang sangat memungkinkan menghukumi adanya hal ini sebagai suatu hal yang dhoruri (pasti) dari madzhab Syi’ah, dan sesungguhnya inilah tujuan-tujuan terbesar dirampoknya kekhilafahan, oleh karena itu renungkanlah!” [Al-Burhan fi Tafsiiril Qur`an, pengantar pasal ke-4 hal. 49, cetakan Iran; melalui perantaraan Baina Syi’ah wa Ahlus Sunnah karya al-’Allamah Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullahu; Pimpinan Redaksi Majalah ”Turjumanul Hadits” Ahwar Pakistan dan Pimpinan Umum Jum’iyah Ahlil Hadits Pakistan; download dari www.albrhan.com.]
Yang semisal dengan ini adalah apa yang dilontarkan oleh Syaikh ’Ali Ashghor al-Barwujardi salah seorang tokoh Syi’ah abad XIII dalam kitab Aqo`id-nya, dia berkata :
وواجب علينا أن نعتقد أن القرآن الأصلي لم يغير ولم يبدل وهو موجود عند إمام العصر (الغائب) عجل الله فرجه، لا عند غيره، وإن المنافقين قد غيروا وبدلوا القرآن الموجود عندهم” [كتاب عقائد الشيعة فارسي ص27-ط إيران].
”Dan wajib atas kita untuk meyakini bahwa al-Qur’an yang asli itu tidak dirubah dan tidak diganti, dan kitab ini berada di tangan Imam Akhir Zaman yang Ghaib -semoga Alloh menyegerakan keluarnya- tidak pada selainnya. Sesungguhnya kaum munafikinlah yang telah merubah dan mengganti al-Qur’an yang saat ini ada pada mereka.” [Kitab Aqo`idu asy-Syi’ah Faarisi, hal. 27, cet. Iran; melalui perantaraan Baina Syi’ah wa Ahlus Sunnah, ibid.].
[Saya berkata] Lantas, adakah kesesatan yang lebih besar daripada ini? Apabila al-Qur’an yang ada di tangan kaum muslimin saat ini adalah al-Qur’an yang telah diubah-ubah, lantas bukankah berarti sekarang kaum muslimin tidak ubahnya layaknya ahli kitab yang kitab mereka telah ditahrif dan ditabdil oleh tangan-tangan mereka sendiri?!! Lantas dimanakah kebenaran Islam apabila Kitab Suci umat Islam sendiri diyakini telah dirubah dan diganti?!! Allohul Musta’an wa Ilayhil Musytaka…
Adakah kekufuran yang lebih dahsyat daripada ini? Yang membatalkan keabsahan al-Qur’an?!!

Suatu Kaidah Penting
Di dalam Tarikh ar-Rusul karya ath-Thobari (IV/279), ada sebuah ucapan indah yang diucapkan oleh seorang sahabat yang mulia lagi agung, Dzun Nur’ain yang menikahi dua puteri Rasulullah, seorang Alul Bait setia yang wajib dicintai, ’Utsman bin ’Affan radhiyallahu ’anhu yang mengatakan : ”Lihatlah kedudukan setiap orang, dan berikanlah apa yang menjadi haknya secara proporsional.”
Sungguh benar apa yang dikatakan oleh sahabat yang agung ini, bahwa hendaknya kita berikan setiap orang itu apa yang menjadi haknya secara proporsional. Jika ia adalah seorang yang jujur, adil, terpercaya, takwa, waro’ (berhati-hati dari sesuatu yang haram), namun ia jatuh kepada pemahaman yang menyimpang, namun ia tidak menyeru umat kepada pemahamannya, tidak menyelisihi ushul Islam yang prinsip dan dhoruri, tidak memiliki keyakinan yang mengkafirkan, maka kita berikan haknya sebagai muslim. Diterima periwayatannya dan berita darinya, setelah melakukan verifikasi dan cek dan ricek tentunya.
Adapun mereka yang gemar berdusta dan membual, membangun agamanya dari taqiyah, menghalalkan kedustaan bahkan menjadikannya sebagai bagian dari agama, fanatik dan menyeru umat kepada kebid’ahannya, mencela para sahabat Nabi yang mulia dan mengagungkan sebagiannya dengan pengagungan yang berlebih-lebihan; maka orang yang seperti ini sangat layak dicap sebagai pembual, pendusta, penipu, manipulator, pembohong dan wajib menolak riwayat dan berita-berita darinya. Walaupun mereka membungkusnya dengan perkataan yang indah-indah dan menghiasinya dengan penipuan-penipuan.
Di dalam menerima berita dari ahli bid’ah, ada suatu kaidah yang mu’tabar yang perlu diperpegangi, yaitu :
الرجوع إلى الأمر المعلوم المحقق للخروج من الشبوهات والتوهمات
”Kembali kepada perkara yang telah maklum (diketahui) dan terpilih untuk keluar dari syubuhat dan kesamar-samaran.” atau
الموهم لا يدفع المعلوم والمجهول لا يعارض المحقق
”Sesuatu yang samar tidak dapat mengalahkan yang maklum dan suatu yang majhul (tidak dikenal) tidak dapat mengalahkan yang muhaqqoq (terpilih dan terang).” [Lihat Al-Qowa’iu Hisaan fi Tafsiiril Qur’an karya al-’Allamah Nashir as-Sa’di, hal. 195].
Oleh karena itu, menerima pemberitaan atau riwayat dari ahli bid’ah haruslah melakuan tabayun (verifikasi) dan tatsabut (cek-ricek) dari referensi-referensi yang terpercaya agar kita mengetahui hakikat sebenarnya. Dan betapa banyak shahibul hawa wal bid’ah menggambarkan sesuatu yang tidak sebenarnya kepada umat Islam oleh sebab dorongan hawa nafsu dan pembelaan terhadap madzhab batilnya, kemudian mereka melakukan kedustaan dan talbis serta tadlis kepada umat, hanya untuk membohongi umat bahwa mereka sebenarnya sama dengan ahlus sunnah, namun kenyataannya ahlus sunnah berlepas diri dari mereka…
Alloh Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
”Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS al-Hujurat : 6)

وأرجو الله العلي القدير أن يخلص نياتنا لوجهه الكريم، ويجعلنا مدافعين عن حوزة العقيدة الصحيحة والصراط المستقيم. إنه سميع مجيب.
Aku mohon kepada Alloh Yang Maha Tinggi Lagi Berkuasa agar mengikhlaskan niat-niat kami hanya mengharam wajah-Nya Yang Mulia, dan menjadikan kami sebagai orang-orang yang membela aqidah shahihah dan ash-shirathal mustaqim. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Yang Maha Menjawab/Mengabulkan.
Malang, 10 Rabi’ ats-Tsani 1428
28 April 2007-04-28
Akhukum, al-Faqir ila Maghfirati Rabbihi
Abu Salma at-Tirnatiy


Abu Hurairah Vs Jabir Al Ju'fi
Apakah Syi'ah Memiliki Kitab Shahih?
Apakah Syi'ah Memiliki Kitab Shahih? [2]
Benarkah Ajaran Syi'ah Putus Sanad ? Masihkah Mahluk Syiah Khumainiyyah Berani Mengaku-Ngaku Sebagai Pewaris Ajaran Ahlul bait?
Benarkah Imam Bukhari Mengambil Riwayat Dari Kaum Syiah?
Bukti nyata kepalsuan Madzhab Syi’ah
Bantahan Ustadz Firanda : Habib Husain Al-Atas (Pengasuh Radio RASIL), antara Syi'ah, Sunnah, atau Liberal ?!
Dialog Sunnah Syiah Syarafuddin As-Musawi
Diantara Dusta Syi’ah Atas Nama Al-Imam Al-Bukhariy
Imam Ja'far Ash Shadiq, Imam Ahli Sunnah, Bukan Milik Syi'ah. Al Bukhari Tidak Meriwayatkan Satu Hadits Pun Dari Imam Ahlul Bait?
Imam Syafi’i : Sang Pembela Sunnah dan Hadits Nabi dan Biografi Singkat Imam Ahmad bin Hanbal
jika Syi’ah dikafirkan, sama artinya akan banyak sekali hadis Shahih Bukhari-Muslim yang mesti ditolak adalah perkataan yang batil
Kaum Syiah, Golongan Pemalsu Hadits Terdepan
Kepalsuan Madzhab Ja’fari
Kesepakatan Umat (Ulama) Kitab Shahih Al-Bukhari Dan Muslim, Kitab Yang Paling Shahih Setelah Al-Qur’an,Kecuali Golongan Syi’ah/Taqiyaher/Kamuflaser Yang Tidak Mengakui Keberadaan Keduanya.
Keujudan Abdullah Ibn Saba’ Dari Sumber Syiah
Kitab Shahih Mazhab Syi'ah
Konsep Batil Hadits Syiah, dari Cacat Ruwat hingga Cacat Sanad
Kesepakatan Umat (Ulama) Kitab Shahih Al-Bukhari Dan Muslim, Kitab Yang Paling Shahih Setelah Al-Qur’an,Kecuali Golongan Syi’ah/Taqiyaher/Kamuflaser Yang Tidak Mengakui Keberadaan Keduanya.
Kedudukan Shahih Bukhari Muslim [bagian I]
Lima strategi asas Syi‘ah dalam berhujah dan Jawapan Ahl al-Sunnah ke atasnya : Keempat (Malaysia)
Mana Riwayat Jabir Al Ju'fi?
Membongkar Argumentasi Syi'ah
Menyoal Validitas Hadits Syi’ah
Metodologi Kritik Hadits Dalam Pandangan Syiah Imamiyah
(Pelengkap)
Mengapa Imam Al-Bukhari Menulis Kitab Shahihnya? Mengenal Sisi Lain Shahih Al-Bukhari
Riwayat Hadits Nabi Saw Dari Kitab Sunni Dan Syi'ah
Riwayat Syi’ah dlm Shahihain (Bagian Pertama)
(tanggapan atas Habib Rizieq Shihab)
Riwayat Syi’ah dlm Shahihain (updated !!) (Bagian Kedua)
(tanggapan atas Habib Rizieq Shihab)
Sanad Hadits, Pentingkah?
Sekilas tentang Perawi Utama Syi’ah : Jaabir Al-Ju’fiy, Zuraarah, dan Muhammad bin Muslim
Sesatkah Syi’ah Ja’fariyah dan Pantaskah Syi'ah Disebut Mazhab ?
Sumber ajaran syiah seri (satu)
Sumber ajaran syiah seri (dua)
Syi’ah dan Riwayat Hadits dalam Kitab Mereka [bagian 2]
Syiah adalah bagian dari madzhab dalam islam? Yang bener saja, ini lho fatwa-fatwa agama syiah, bagi yang belum pernah membacanya..
Syiah Mencela Aisyah, Abu Hurairah, Wahabi, Salafi
http://lamurkha.blogspot.co.id/2015/03/syiah-mencela-aisyah-abu-hurairah.html