Saturday, July 1, 2017

Ayat Mutasyabihat Bukanlah Penyebab Ahlul Bid'ah Menyimpang. Apakah Setiap Perbedaan Pendapat Diterima? Khilafiyah Dan Pendapat Ulama Itu Bukanlah Dalil, Tidak Bisa Digunakan Sebagai Hujjah.


Ayat Mutasyabihat Bukanlah Penyebab Ahlul Bid'ah Menyimpang, Tetapi Mereka Sudah Menyimpang Sebelum Itu.

Syaikh Sholih bin Abdil Aziz Aalusy Syaikh hafidzhahullah menyatakan:

....segala macam bentuk perpecahan yang terjadi penyebabnya hanyalah karena hawa nafsu. Karena itu mereka (Ahlul Bid'ah yang berpecah, pent) disebut sebagai Ahlul Ahwaa' (pengikut hawa nafsu).

Apakah adanya ayat atau hadits yang mutasyabih (kurang jelas dipahami) dalam al-Quran dan Sunnah dianggap sebagai penyebab keluarnya Ahlul Ahwaa’?

Jawabannya adalah: tidak demikian. Karena Allah menjelaskan bahwa Ahlul Ahwaa’ *di dalam hati mereka ada penyimpangan sebelum mereka melihat kepada dalil-dalil*. Allah berfirman:

فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ

Adapun orang-orang yang di hatinya ada penyimpangan, mereka mengikuti (ayat) yang mutasyabih (kurang jelas dipahami) karena menginginkan fitnah (kesesatan) dan menginginkan takwilnya (agar mendukung kesesatannya, pent) (Q.S Ali Imran ayat 7).

Allah Yang Maha Suci telah berfirman di awal ayat:

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ

(Dialah Allah) Yang menurunkan kepadamu al-Kitab yang di antaranya terdapat ayat-ayat yang muhkam, yang merupakan induk dalam kitab tersebut dan yang lain adalah (ayat-ayat) mutasyabihaat (kurang jelas dipahami)(Q.S Ali Imran ayat 7).

Maka Allah menjelaskan bahwasanya Dia menjadikan Kitab-Nya di antaranya ada (ayat-ayat) yang muhkam dan ada yang mutasyabih, yaitu samar bagi seseorang dalam mengetahuinya. Apa yang terjadi? Sesungguhnya orang-orang yang di hati mereka ada penyimpangan mereka mengikuti (ayat-ayat mutasyabihat itu). Allah berfirman:

فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ

Adapun orang-orang yang di hati mereka ada penyimpangan, mereka mengikuti...(Q.S Ali Imran ayat 7).

Allah menetapkan penyimpangan di hati mereka kemudian mensifati mereka sebagai pihak yang mengikuti ayat mutasyabihat. Karena itu, ayat dan hadits yang mutasyabih dalam al-Quran dan as-Sunnah adalah ujian untuk menampakkan (perbedaan) Ahlul Ahwaa' dari Ahlussunnah wal Jamaah. Adanya hawa nafsu dan penyimpangan di dalam hati membuat dia mencari-cari (dalil) yang mendukung hawa nafsu dan penyimpangannya. Inilah yang disebutkan dalam ayat itu. Allah berfirman:

فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ

Adapun orang-orang yang di hati mereka ada penyimpangan, mereka mengikuti...(Q.S Ali Imran ayat 7).

Fa’ dalam ayat itu adalah tartiibiyyah (menunjukkan urutan bahwa setelah menyimpang kemudian mengikuti ayat mutasyabihat, pent).

(Ithaafus Saa-il bimaa fit Thohaawiyyah minal Masaa-il (36/2)).

Naskah Asli:

...كل أنواع الافتراق التي حدثت إنما كانت لأجل الهوى، ولذلك سُمُّوا أهل الأهواء.
هل وجود المتشابه في القرآن والسنة يُعْتَبَرُ سبباً في خروج أهل الأهواء؟
الجواب ليس كذلك؛ لأنَّ الله بيَّنَ أنَّ أهل الأهواء في قلوبهم زيغ قبل أن ينظروا إلى الأدلة، فقال فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ )آل عمران:7(، قال سبحانه في أول الآية الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فبيَّنَ  أنَّهُ جَعَلَ كتابه منه محكم ومنه متشابه، يعني يشتبه على المرء العلم به.
ما الذي حصل؟
أنَّ الذين في قلوبهم زيغ اتَّبَعُوا قال فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ فأَثْبَتَ الزيغ في قلوبهم ثم وصفهم باتباع المتشابه.
فإذاً المتشابه في الكتاب والسنة ابتلاء ليظْهَرَ أهل الأهواء من أهل السنة والجماعة، فحُصُولُ الهوى والزيغ في القلب ينتج عنه أن يبحَثَ عمَّا يُؤَيِّدُ به هواه ويُؤَيِّدُ به زيْغَهُ، وهذا ما نصت عليه الآية قال فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ بالفاء الترتيبية.

WA al I'tishom



Sebagian kalangan berpandangan bahwa perbedaan pendapat di antara umat Islam semestinya tidak perlu dibahas dan diangkat ke permukaan, karena itu sama saja seperti menguliti luka lama yang telah mengering. Jadi tidak usah ribut karena masalah peringatan maulid, masalah tawassul kepada Nabi setelah wafat, masalah bid'ah dan syirik! Semua itu telah menghabiskan energi umat Islam untuk menghadapi musuh yang sebetulnya yaitu orang-orang kafir. Fokuslah menghadapi musuh sedangkan kita ini bersaudara! Begitu celotehan mereka.
Tidak syakk lagi, pandangan di atas adalah kebatilan yang berasal dari orang-orang harokah. Mereka lebih mementingkan persatuan jasad daripada persatuan batin, mengklaim tauhid, sunnah, inkarul munkar sebagai perkara furu' sedangkan mendirikan negara sebagai ushuluddin, menggalang semua kalangan dalam satu wadah dengan mengenyampingkan perbedaan pendapat masing-masing sekalipun menyangkut soal prinsip.
Mereka lupa bahwa Nabi shollallahu 'alaihi wasallam telah menubuwwahkan perpecahan umatnya di belakang hari dan siapakah yang akan selamat darinya?
Mereka lupa bahwa Nabi shollallahu 'alaihi wasallam dan para Shohabatnya sangat kritis dan tegas mengingkari kesalahan dalam masalah manhaj, aqidah dan tauhid?
Mereka lupa bahwa bid'ah dan syirik sebagai sebab utama perpecahan, kekalahan dan jauhnya pertolongan Allah?
Mereka lupa bahwa bid'ah adalah pos paket yang akan mengantarkan seorang muslim kepada kekufuran?
Mereka lupa bahwa para Shohabat dan para Ulama yang datang setelahnya sangat lantang mengingkari bid'ah khowarij, murji'ah, qodariyyah, syi'ah, mu'tazilah dan kelompok-kelompok menyimpang yang lain?
Mereka lupa bahwa inti kekuatan umat Islam di masa-masa kejayaan karena merealisasikan tauhid dengan sebenar-benarnya, menghambakan diri hanya kepada Allah semata, meninggalkan syirik, meninggalkan bid'ah dan segala bentuk pelanggaran terhadap syari'at-Nya. Sedangkan sebab utama kekalahan umat karena meninggalkan sunnah, beragama mengikuti tradisi, mengukur kebenaran dengan jumlah, dan mengabaikan amar ma'ruf nahi munkar. Mereka lupa karena sedang mabuk hizbiyyah.
Lalu bagaimana sebetulnya menyikapi perbedaan pendapat yang terjadi di antara umat Islam? Apakah setiap perbedaan pendapat itu rohmat??
Syaikh Al-'Allamah Sholih Al-Fawzan berkata, "Ikhtilaf (perbedaan pendapat) ada beberapa macam:
ﺍﻟﻘﺴﻢ ﺍﻷﻭﻝ : ﺍﻹﺧﺘﻼﻑ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﻘﻴﺪﺓ ﻭﻫﺬﺍ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ؛ ﻷﻥَّ ﺍﻟﻌﻘﻴﺪﺓ ﻟﻴﺴﺖ ﻣﺠﺎﻻً ﻟﻼﺟﺘﻬﺎﺩ ﻭﺍﻻﺧﺘﻼﻑ ﻷﻧَّﻬﺎ ﻣﺒﻨﻴﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﻮﻗﻴﻒ ﻭﻻ ﻣﺴﺮﺡ ﻟﻼﺟﺘﻬﺎﺩ ﻓﻴﻬﺎ ، ﻭﺍﻟﻨﺒﻲ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﻟﻤَّﺎ ﺫﻛﺮ ﺍﻓﺘﺮﺍﻕ ﺍﻷُﻣﺔ ﺇﻟﻰ ﺛﻼﺙ ﻭﺳﺒﻌﻴﻦ ﻓﺮﻗﺔ ﻗﺎﻝ : ‏( ﻛُﻠُّﻬﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﺇﻻَّ ﻭﺍﺣﺪﺓ ‏) . ﻗﻴﻞ : ﻣﻦ ﻫﻢ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ! ؟ ﻗﺎﻝ : ‏( ﻫُﻢ ﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﺃﻧﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺃﺻﺤﺎﺑﻲ )
Pertama, perbedaan dalam masalah aqidah. Khilaf dalam hal ini tidak diperbolehkan, karena perkara aqidah tidak membuka ruang ijtihad maupun perbedaan pendapat. Sebab aqidah dibangun langsung di atas dalil dan menutup pintu ijtihad. Hal itu karena Nabi shollallahu 'alaihi wasallam tatkala menyebutkan tentang perpecahan umat menjadi 73 golongan beliau menegaskan, "Semuanya di neraka kecuali hanya satu golongan saja yang selamat. Ditanyakan kepada beliau, "Siapa mereka (golongan yang selamat itu) wahai Rosulullah? Beliau menjawab, "Mereka adalah yang beragama dengan cara beragamaku dan cara beragama para Shohabatku."
ﺍﻟﻘﺴﻢ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ : ﺍﻟﺨﻼﻑ ﺍﻟﻔﻘﻬﻲ ﺍﻟﺬﻱ ﺳﺒﺒﻪ ﺍﻻﺟﺘﻬﺎﺩ ﻓﻲ ﺍﺳﺘﻨﺒﺎﻁ ﺍﻷﺣﻜﺎﻡ ﺍﻟﻔﻘﻬﻴﺔ ﻣﻦ ﺃﺩﻟﺘﻬﺎ ﺍﻟﺘﻔﺼﻴﻠﻴﺔ ، ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻫﺬﺍ ﺍﻻﺟﺘﻬﺎﺩ ﻣِﻤَّﻦ ﺗَﻮَﻓَّﺮﺕ ﻓﻴﻪ ﻣﺆﻫﻼﺕ ﺍﻻﺟﺘﻬﺎﺩ ، ﻭﻟﻜﻨﻪ ﻗﺪ ﻇﻬﺮ ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﻣﻊ ﺃﺣﺪ ﺍﻟﻤﺠﺘﻬﺪﻳﻦ ؛ ﻓﺈﻧَّﻪ ﻳﺠﺐ ﺍﻷﺧﺬ ﺑﻤﺎ ﻗﺎﻡ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﻭﺗﺮﻙ ﻣﺎ ﻻ ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻴﻪ
Kedua, perbedaan pemahaman. Khilaf dalam perkara ini muncul karena adanya ijtihad tatkala mengambil kesimpulan hukum fiqh dari dalil-dalilnya secara terperinci, tentu selama ijtihadnya itu bersumber dari ahlinya. Akan tetapi, terkadang dalil telah nampak di hadapan salah seorang mujtahid, maka wajib bagi dia mengambil apa yang dalil tegak di atasnya dan meninggalkan yang tidak ada landasan dalilnya.
ﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ - ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ - : ‏( ﺃﺟﻤﻌﺖ ﺍﻷُﻣَّﺔ ﻋﻠﻰ ﺃﻥَّ ﻣﻦ ﺍﺳﺘﺒﺎﻧﺖ ﻟﻪ ﺳُﻨَّﺔ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﻟﻢ ﻳَﻜُﻦ ﻟﻴﺪﻋﻬﺎ ﻟﻘﻮﻝِ ﺃَﺣﺪ . ﻭﺫﻟﻚ ﻟﻘﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ : ﻓَﺈِﻥ ﺗَﻨَﺎﺯَﻋْﺘُﻢْ ﻓِﻲ ﺷَﻲْﺀٍ ﻓَﺮُﺩُّﻭﻩُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝِ ﺇِﻥ ﻛُﻨﺘُﻢْ ﺗُﺆْﻣِﻨُﻮﻥَ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻵﺧِﺮِ ﺫَﻟِﻚَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻭَﺃَﺣْﺴَﻦُ ﺗَﺄْﻭِﻳﻼً )
Al-Imam Asy-Syafi'i - rohimahullah - berkata, "Para Ulama telah bersepakat, bila telah jelas gamblang sunnah Rosulillah shollallahu 'alaihi wasallam maka tidak boleh bagi siapapun meninggalkannya lantaran mengikuti pendapat seseorang. Karena Allah ta'ala berfirman, "Jika kalian berselisih pendapat tentang suatu perkara maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rosul-Nya, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik lagi akibatnya."
Sebagian Ulama berkata:
ﻭﻟﻴﺲ ﻛُﻞُّ ﺧِﻼﻑ ﺟﺎﺀ ﻣﻌﺘﺒﺮًﺍ ... ﺇﻻَّ ﺧِﻼﻑ ﻟﻪ ﺣَﻆٌّ ﻣِﻦ ﺍﻟﻨﻈﺮ
"Tidaklah setiap khilaf itu mu'tabar (diakui), kecuali khilaf yang memiliki sudut pandang (hujjah)."
ﺍﻟﻘﺴﻢ ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ : ﺍﻻﺟﺘﻬﺎﺩ ﺍﻟﻔﻘﻬﻲ ﺍﻟﺬﻱ ﻟﻢ ﻳﻈﻬﺮ ﻓﻴﻪ ﺩﻟﻴﻞ ﻣﻊ ﺃﺣﺪ ﺍﻟﻤﺨﺘﻠﻔﻴﻦ ، ﻓﻬﺬﺍ ﻻ ﻳُﻨْﻜَﺮ ﻋﻠﻰ ﻣَﻦ ﺃَﺧﺬ ﺑﺄﺣﺪ ﺍﻟﻘﻮﻟﻴﻦ ، ﻭﻣِﻦ ﺛﻢ ﺟﺎﺀﺕ ﺍﻟﻌﺒﺎﺭﺓ ﺍﻟﻤﺸﻬﻮﺭﺓ : ‏( ﻻ ﺇﻧﻜﺎﺭ ﻓﻲ ﻣﺴﺎﺋﻞ ﺍﻻﺟﺘﻬﺎﺩ ‏) .
ﻭﻫﺬﺍ ﺍﻻﺧﺘﻼﻑ ﻻ ﻳُﻮﺟِﺐ ﻋﺪﺍﻭﺓ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻤﺨﺘﻠﻔﻴﻦ . ﻷﻥَّ ﻛُﻼًّ ﻣﻨﻬﻢ ﻳَﺤﺘﻤﻞ ﺃَﻧَّﻪُ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺤﻖِّ
Ketiga, perbedaan yang bersumber dari ijtihad fiqhi (pemahaman) lantaran dalilnya tidak nampak di antara Ulama yang berselisih pendapat. Maka dalam hal ini tidaklah diingkari jika seseorang mengambil salah satu pendapat. Oleh sebab itu, ada ungkapan yang masyhur terkait hal ini yaitu, "Tidak ada pengingkaran dalam menyikapi masalah ijtihad (yang diperselisihkan)". Khilaf dalam masalah ini tidak melazimkan percekcokan di antara keduabelah pihak yang berbeda pendapat. Karena masing-masingnya ada kemungkinan berada di atas al-haq." (Al-Ijtima' wa Nabdzul Furqoh hal. 48 - 50)
Maka tidak setiap perbedaan pendapat bisa diterima dan disikapi dengan lapang dada. Ada perbedaan yang wajib diingkari seperti perbedaan dalam masalah manhaj dan aqidah atau masalah yang telah gamblang dalilnya. Adapula perbedaan yang dapat ditolerir seperti yang telah dijelaskan rinciannya di atas.
Kendati demikian, menyikapi perbedaan itu harus dengan taqwallah dan keadilan, bukan dengan emosi, kejahilan, sentimen pribadi, atau kebencian semata. Karena semua itu akan menjerumuskan pelakunya kepada hawa nafsu dan kezaliman.
Oleh: Fikri Abul Hasan


Berikut Ini Khilafiyah Yang Tidak Tidak Dapat Ditolerir

Disebutkan bahwa tidak setiap perselisihan dapat kita hormati. Yang seperti apa yang bisa dihormati dan yang tidak bisa dihormati?

Pertanyaan:
Ustadz, antum sebutkan bahwa tidak setiap perselisihan dapat kita hormati. Yang seperti apa yang bisa dihormati dan yang tidak bisa dihormati? Mohon penjelasannya.

Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. menjawab:

Perselisihan pendapat dilihat dari sisi dapat di tolerir atau tidaknya ada dua macam:

Pertama : Perselisihan yang dapat ditolerir. Yaitu apabila kedua pendapat berdasarkan dalil yang shahih dan diterima pemahamannya secara kaidah kaidah syari’at. Dan tidak ada nash yang sharih dalam masalah tersebut.

Contohnya perselisihan ulama tentang hukum membaca al fatihah bagi makmum; apakah wajib atau tidak? Masing masing pendapat berhujjah dengan hadits hadits yang shahih dan kuat dari sisi kaidah syari’at. Maka kewajiban kita adalah memilih pendapat yang kita lihat paling kuat dengan tanpa menyesatkan yang lain.

Kedua: perselisihan yang tidak dapat ditolerir. Yaitu apabila salah satu pendapat yang berselisih:

1. Menyalahi ijma atau kesepakatan seluruh ulama. Karena ijma adalah hujjah dan orang yang menyelisihinya diancam oleh Allah dengan api Neraka. Allah berfirman:

ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيرا

“Barang siapa yang menyelisihi Rosul setelah menjadi jelas kepadanya petunjuk dan mengikuti selain jalam kaum mukminin, maka Kami biarkan ia leluasa dalam kesesatannya tersebut dan Kami akan membakarnya dengan neraka Jahannam. Dan itu adalah seburuk buruk tempat kembali” (QS. An Nisaa: 115).

2. Menyalahi dalil yang shahih, sharih, tidak mansukh, dan tidak berlawanan dengan hadits lain yang shahih. Hadits yang sharih adalah nash yang maknanya amat jelas dan tidak ada kemungkinan makna lain.

Contohnya hadits: “Setiap yang memabukkan adalah arak, dan setiap arak adalah haram“. HR Muslim.

Hadits ini amat jelas menunjukkan bahwa semua yang memabukkan itu arak. Maka dari itu para ulama mengingkari pendapat Abu Hanifah yang mengatakan bahwa arak itu adalah yang terbuat dari anggur saja.

3. Berdasarkan dalil yang palsu atau sangat lemah. Karena semua ulama bersepakat haramnya mengamalkan hadits palsu atau hadits yang amat lemah dalam semua permasalahan baik aqidah, ibadah, maupun fadlilah amal. Demikian pula para ulama bersepakat haramnya menetapkan hadits lemah yang ringan dalam masalah aqidah.

Yang diperselisihkan adalah hukum mengamalkan hadits lemah yang ringan dalam fadlilah amal. Yang paling kuat adalah pendapat yang tidak memperbolehkannya karena hadits lemah hanya menghasilkan dugaan yang lemah.

4. Hanya berdasarkan hawa nafsu bukan berdasarkan wahyu. Karena agama kita tidak dibangun di atas hawa nafsu manusia. Tapi harus berdasarkan wahyu dari Allah Ta’ala yang disampaikan kepada RasulNya shallallahu alaihi wasallam.

Inilah pendapat yang tidak dapat ditolerir dalam masalah agama, dan hendaknya kita meluruskan dan mengingkari pendapat seperti itu.

Wallahu a’lam.
Sumber: channel Al Fawaid
Penulis: Ust. Badrusalam, Lc.


Khilafiyah Dan Pendapat Ulama Itu Bukanlah Dalil, Tidak Bisa Digunakan Sebagai Hujjah

ULAMA MASIH BERSELISIH
” Inikan masih diperselisihkan , jadi tidak usah terlalu dibesar-besarkan “
Demikianlah ucapan yang sering kita dengar ketika kita menegur atau mengingkari perbuatan yang mereka lakukan , sehingga perselisihan oleh para ulama dijadikan alasan untuk membenarkan pendapat yang ia pegang sekalipun pendapat tersebut sangat lemah , padahal alasan seperti itu bukanlah hujjah syar’i , bahkan kaidah yang tidak pernah ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’iah.
PERHATIKANLAH !
Al Hafidz Abu Umar Ibnu Abdil Barr berkata :
” Perselisihan ulama bukanlah hujjah / alasan menurut seluruh fuqaha yang saya ketahui , kecuali orang yang tidak mempunyai ilmu dan bashirah dan pendapatnya tersebut tidak dapat dijadikan hujjah .”
( Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi : 2 / 229 )
Al Khaththabi berkata :
” Ikhtilaf ( perselisihan ) ulama bukan hujjah , menjelaskan sunnah itulah hujjah atas orang-orang yang berselisih dari dahulu sampai sekarang.”
( A’lamul Hadits : 3 / 2092 )
Al Imam Asy Syathibi berkata :
” Perkara ini telah melebihi batasan semestinya , sehingga perselisihan ulama dijadikan alasan untuk membolehkan…. barangkali muncul fatwa yang melarang , lalu dikatakan :
” Mengapa engkau melarang , padahal masalah ini masih diperselisihkan .”
Ini adalah sebuah kesalahan terhadap syari’at , karena ia telah menjadikan sesuatu yang tidak layak dijadikan hujjah sebagai hujjah .”
( Al Muwafaqat : 4 / 141 )
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di dalam Majmu’ Fatawa : 26 / 202 – 203 , berkata :
” Tidak boleh bagi seorangpun berhujjah dengan pendapat seorang ulama dalam masalah-masalah yang diperselisihkan.
Sesungguhnya hujjah itu hanyalah nash dan ijma’ serta dalil yang istimbath darinya yang pendahuluannya ditetapkan oleh dalil syari’at , bukan ditetapkan oleh pendapat sebagian ulama , karena pendapat ulama dapat dijadikan hujjah jika sesuai dengan dalil syari’at bukan untuk menentang dalil syari’at .”
Allahul Musta’an
Sumber : Status Fb Ustadz Badrusalam, Lc
aslibumiayu.net