Wednesday, July 12, 2017

Bahasan Keempat (Rangkuman), Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah Menurut Ulama Tiga Abad Pertama Hijriyah Dan Ulama Al-Syafi‘Iyyah : Bahwasanya Al-Qur’an Adalah Firman Allah, Lafal-Lafalnya Dari Allah, Merupakan Kalamullah, Bukan Makhluk.

Hasil gambar untuk al quran kalamullah

Al-Qur’an Kalamullah Bukan Makhluk [Tanggapan Atas Jawaban Seorang Doktor Di Detik Ramadhan]
Allah Berfirman dengan Suara yang Dapat Didengar
Allah Berfirman dengan Suara dan Huruf
(Bagian 4) Mengimani Sifat-sifat Allah : 'Aqidah Ulama Besar Ahlus Sunnah, 'Aqidah Jahmiyah dan 'Aqidah "oknum" Aswaja
(Bagian 6) Mengimani Sifat-sifat Allah : " Mengimani bahwa kalamullah itu berhuruf dan bersuara "
Qidam Sifat Allah?

Al-Qur’an Yang Kita Baca Adalah Makhluk Menurut Asyairoh (Bagian Pertama)

Abu Abdil Muhsin Firanda
Diterbitkan pada 11 July 2017
Aqidah ahlus sunnah wal jamaah tentang al-Qur’an sangatlah jelas, bahwasanya Al-Qur’an adalah firman Allah, lafal-lafalnya dari Allah, dan merupakan kalamullah. Allah berbicara dengan suara yang bisa didengar, sebagaimana didengar oleh para malaikat dan juga didengar oleh para Nabi. Diantaranya didengar oleh Nabi Musa sehingga Nabi Musa digelari dengan Kaliimullah (yang diajak berbicara dengan Allah). Jadi Allah berbicara dengan siapa yang Allah kehendaki, dengan bahasa apa saja yang Allah kehendaki dan dengan topik apa saja yang Allah kehendaki serta kapan saja Allah kehendaki. Akan tetapi tentunya firman Allah tidak seperti kalam makhluk, suara Allah tidak seperti suara makhluk, sebagaimana dzat Allah tidak seperti dzat makhluk.

Inilah yang dipahami oleh orang-orang awam kaum muslimin di tanah air. Semuanya berkata “Mari kita mendengarkan pembacaan firman Allah”. Demikian juga mereka tatkala membaca al-Qur’an mereka berkata, “Allah berfirman”. Tentunya maksud mereka adalah firman Allah secara hakikat dan sesungguhnya. Tidak ada yang berkata (apalagi memahami) bahwa yang dimaksud adalah firman Allah majazi hanya ungkapan dari bahasa jiwa Allah !!. Saya rasa orang-orang awam malah tidak pernah mendengar hal yang seperti ini.

(Insya Allah ucapan-ucapan para salaf yang menjelaskan aqidah ahlus sunnah tentang al-Qr’an adalah firman Allah akan saya nukilkan di artikel selanjutnya)

Jika ada sesuatu yang menyimpang maka mau tidak mau harus diluruskan. Diantaranya keyakinan Asya’iroh bahwasanya al-Qur’an yang kita baca ini bukanlah firman Allah hakiki, bukanlah sifat Allah, akan tetapi hanyalah ibarat atau ungkapan dari firman Allah yang hakiki. Hal ini perlu dibahas kembali sebagai pembahasan ilmiyah mengingat masih ada orang yang mengaku berpemahaman asya’iroh tapi kurang faham dengan aqidah asya’iroh.

Berikut kesimpulan aqidah al-Asyaairoh tentang al-Qur’an :

Pertama : Allah memiliki sifat berbicara/kalam, akan tetapi kalam Allah adalah bahasa jiwa yang ada di dzat Allah. Inilah yang disebut dengan kalam nafsi

Kedua : Kalam nafsi adalah tanpa suara dan tanpa huruf, tentunya tanpa bahasa

Ketiga : Nah kalam nafsi ini (yang tanpa huruf dan bahasa) jika diungkapkan (diibaratkan) dengan bahasa Arab maka jadilah al-Qur’an, jika diungkapkan dengan bahasa Ibrani maka jadilah taurat dan jika diungkapkan dengan siryani maka jadilah injil. Maka sebenarnya Taurat, Injil, dan Al-Qur’an adalah ibarat/ungkapan dari perkara yang sama yaitu dari kalam nafsi.

Keempat : Karenanya al-Qur’an yang kita baca ini bukanlah firman Allah yang hakiki tapi hanyalah ibarat atau ungkapan atau isyarat dari kalam nafsi. Karena firman Allah yang hakiki adalah kalam nafsi. Meskipun Al-Qur’an terkadang dinamakan dengan firman Allah atau kalamullah tapi hanyalah penamaan majazi dan bukan secara hakikat.

Kelima : Jika Al-Qur’an adalah bukan firman Allah hakiki lantas ibaratnya (lafal-lafal dalam al-Qur’an yang kita baca) dari siapa?, maka ada tiga pendapat di kalangan para asyairoh.

Ada yang mengatakan bahwa ibarat tersebut diciptakan oleh Allah dan diletakan di al-lauh al-mahfuz, dan ini adalah pendapat al-Baajuri.
Ada yang mengatakan bahwa ibarat tersebut dari Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, sebagaimana ibarat Taurat dari Musa, dan ibarat Injil dari Isa. Dan ini adalah pendapat Al-Baaqillaani.
Ada yang berpendapat bahwa ibaratnya dari Jibril ‘alaihis salaam (dan pendapat ini disebutkan oleh Ar-Raazi).

Keenam : Dari sini para ulama asyairoh sepakat dengan mu’tazilah bahwa al-Qur’an adalah makhluk ciptaan Allah, dan bukan sifat yang tegak di zat Allah (bukan sifat yang ada pada diri Allah), karena makhluk tidak boleh berada di zat Allah.

Ketujuh : Karenanya akhirnya kaum Liberal dengan tafsir Hermeneutika berdalil dengan aqidah Asya’iroh untuk melegalkan metode tafsir kontekstual mereka (yaitu Hermeneutika) dengan dalih bahwa al-Qur’an bukan lah firman Allah karena Allah tidak berbicara dengan bahwasa Arab, maka kita jangan terpaku dengan tekstual Al-Qur’an yang merupakan produk Muhammad. Jadi kaum liberal memilih pendapat al-Baqqilaani bahwa al-Qur’an itu ibaratnya dari Muhammad.

Berikut nukilan-nukilan dari ulama Asyaairoh yang menjelaskan poin-poin di atas disertai sedikit komentar :

PERTAMA : Nukilan tentang hakikat aqidah Asyairoh

Al-Baaqillani berkata :

ويجب أن يعلم أن الكلام الحقيقي هو المعنى الموجود في النفس، لكن جعل عليه أمارات تدل عليه

“Dan wajib untuk diketahui bahwasanya kalam Allah yang hakiki adalah makna yang terdapat pada jiwa, akan tetapi Allah menjadikan adanya tanda-tanda yang menunjukkan kepada makna tersebut” (Al-Insoof hal 101)

Komentar : Jadi menurut Asyairoh kalam nafsi itulah firman Allah yang hakiki, adapun al-Qur’an adalah firman Allah yang majazi.

Apa yang dimaksud dengan kalam nafsi ?

Al-Juwaini berkata :

وذهب أهل الحق إلى إثبات الكلام القائم بالنفس وهو الفكر الذي يدور في الخلد، وتدل عليه العبارات تارة وما يصطلح عليه من الإشارات ونحوها أخرى

“Dan  ahlul hak menetapkan adanya kalam nafsi, yaitu fikiran yang berputar di dalam jiwa, yang ditunjukan terkadang dengan ibarat/ungkapan, atau terkadang dengan isyarat-isyarat dan yang semisalnya” (Al-Irsyaad hal 105)

Komentar : Jadi menurut Asyairoh bahwa Kalam nafsi itu seperti sesuatu makna yang ada di hati, nah al-Qur’an itu hanyalah ungkapan dari bahasa jiwa tersebut

Al-Baaqillaani juga berkata

ويجب أن يعلم أن الله تعالى لا يتصف كلامه القديم بالحروف والأصوات ولا شيء من صفات الخلق، وأنه تعالى لا يفتقر في كلامه إلى مخارج وأدوات

“Dan wajib diketahui bahwasanya kalam (firman) Allah yang qodim tidak disifati dengan huruf dan suara, dan tidak juga sesuatu apapun dari sifat-sifat makhluk, dan bahwasanya Allah dalam firmanNya tidak membutuhkan tempat keluar suara dan alat-alat“ (Al-Insoof hal 104)

Komentar : Jadi menurut Asyairoh firman Allah itu tanpa suara dan huruf serta bahasa, karena itu adalah sifat-sifat makhluk. Karenanya jelas bahwa al-Qur’an yang berisi huruf dan bahasa adalah makhluk

Ibnu Hajar menukil pendapat-pendapat tentang kalaamullah beliau berkata :

وَقَالَتِ الْأَشَاعِرَةُ كَلَامُ اللَّهِ لَيْسَ بِحَرْفٍ وَلَا صَوْتٍ وَأَثْبَتَتِ الْكَلَامَ النَّفْسِيَّ وَحَقِيقَتُهُ مَعْنًى قَائِمٌ بِالنَّفْسِ وَإِنِ اخْتَلَفَتْ عَنْهُ الْعِبَارَةُ كَالْعَرَبِيَّةِ وَالْعَجَمِيَّةِ وَاخْتِلَافُهَا لَا يَدُلُّ عَلَى اخْتِلَافِ الْمُعَبَّرِ عَنْهُ وَالْكَلَامُ النَّفْسِيُّ هُوَ ذَلِكَ الْمُعَبَّرُ

“Dan Aysairoh berkata bahwasasanya firman/kalaam Allah tidaklah dengan huruf dan suara, dan mereka menetapkan adanya kalam nafsi. Dan hakikatnya adalah suatu makna yang tegak/berada di dzat/diri Allah, meskipun ibarat-ibarat (yang mengungkapkannya) berbeda-beda, seperti diungkapkan dengan bahasa Arab atau bahasa ‘ajam (selain Arab) maka perbedaan tersebut tidaklah menunjukkan adanya perbedaan dari yang diungkapkan. Dan yang diungkapkan tersebut adalah kalaam nafsi” (Fathul Baari 13/460)

Komentar : Jadi menurut Asyairoh Al-Qur’an dan At-Taurot, dan Al-Injil sama-sama mengungkapkan hal yang sama yaitu kalam nafsi. Atau bahasa kasarannya al-Qur’an, At-Taurot dan Al-Injil adalah terjemahan dari kalam nafsi. Karena kalam nafsi tanpa bahasa dan huruf.

KEDUA : Nukilan bahwa Asyairoh mengakui al-Qur’an (yang kita baca) adalah makhluk bukan sifat Allah

Al-Baajuuri berkata :

ومذهب أهل السنة أن القرآن الكريم –بمعنى الكلام النفسي- ليس بمخلوق، وأما القرآن –بمعنى اللفظ الذي نقرؤه- فهو مخلوق. لكنه يمتنع أن يقال : القرآن مخلوق، ويراد به اللفظ الذي نقرؤه إلا في مقام التعليم، لأنه ربما أوهم أن القرآن –بمعنى الكلام النفسي- مخلوق

"Dan madzhab Ahlus Sunnah bahwasanya Al-Qur'an Al-Kariim –maksudnya yaitu kalam nafsi- bukanlah makhluq. Adapun al-Qur'an –yaitu lafal yang kita baca- maka adalah makhluk. Akan tetapi tidak boleh dikatakan bahwasanya al-Qur'an makhluk dan dimaksudkan adalah lafal yang kita baca kecuali dalam pengajaran. Karena bisa jadi bisa disangka bahwasanya al-Qur'an –yaitu kalam nafsi- adalah makhluk" (Syarh Jauharat At-Tauhiid 173)

Jadi : Al-Qur’an adalah makhluk menurut asyairoh, tapi tidak boleh dijelaskan secara terang-terangan kepada orang awam dikawatirkan mereka salah paham, sehingga mengira al-qur’an adalah kalam nafsi yang disangka makhluk. Hanya boleh dijelaskan terang-terangan tatkala dalam pengajaran agar tidak disalah pahami.

KETIGA : Nukilan bahwa Asyairoh sepakat dengan Muktazilah dan tidak mengingkari mereka dalam perihal Al-Qur’an adalah Makhluk

Pertama : Al-Juawaini berkata

واعلموا بعدها أن الكلام مع المعتزلة وسائر المخالفين في هذه المسألة يتعلق بالنفي والإثبات، فإن ما أثبتوه وقدَّروه كلاما، فهو في نفسه ثابت، ... فإن معنى قولهم "هذه العبارات كلام الله" أنها خَلْقُه ونحن لا ننكر أنها خلق الله، ولكن نمتنع من تسمية خالق الكلام متكلما به، فقد أطبقنا على المعنى وتنازعنا بعد الاتفاق في تسميته

"Ketahuilah setelah ini bahwasanya pembicaraan bersama Mu'tazilah dan para penyelisih yang lainnya dalam permasalahan ini berkaitan dengan penafian dan penetapan. Karena sesungguhnya apa yang mereka tetapkan dan mereka anggap sebagai kalaam (sifat berbicara Allah) maka sifat tersebut secara dzatnya ada….

Sesungguhnya makna perkataan mereka (Mu'tazilah) : "Ibarat-ibarat ini (lafal-lafal Al-Qur'an-pen) adalah firman Allah" yaitu adalah makhluk (ciptaan) Allah. Dan kami (Asyaa'iroh-pen) tidaklah mengingkari bahwasanya ibarat-ibarat tersebut adalah makhluk Allah, akan tetapi kami tidak mau menamakan Pencipta Al-Kalam berbicara dengan kalam tersebut. Maka kita telah sepakat dalam makna dan kita berselisih –setelah kesepakatan kita- dalam hal penamaan" (Al-Irsyaad Ilaa Qowaathi'il Adillah fi Ushuul Al-I'tiqood 116-117)

Komentar : Jadi Asyairoh tidak mengingkari pernyataan mu’tazilah bahwa al-Qur’an adalah makhluk

Kedua : Asy-Syahristani berkata  :

وخصومنا لو وافقونا على أن الكلام في الشاهد معنى في النفس سوى العبارات القائمة باللسان، وأن الكلام في الغائب معنى قائم بذات الباري تعالى سوى العبارات التي نقرؤها باللسان ونكتبها في المصاحف، لو وافقونا على اتحاد المعنى، لكن لما كان الكلام لفظا مشتركا في الإطلاق لم يتوارد على محل واحد، فإن ما يثبته الخصم كلاماً فالأشعرية تثبته وتوافقه على أنه كثير وأنه محدث مخلوق، وما يثبته الأشعري كلاماً فالخصم ينكره أصلاً

"Kalau seandainya musuh-musuh kami (yaitu Mu'tazilah-pen) sepakat dengan kami tentang bahwasanya al-kalaam (perkataan) yang nampak adalah makna di Dzat selain ibarat-ibarat yang diungkapkan lisan, dan bahwasanya al-kalam (perkataan) yang ada di alam ghaib tegak/berada di Dzat/diri Allah selain ibarat-ibarat yang kita baca dengan lisan kita dan yang kita tulis di mushaf-mushaf, maka tentunya mereka akan bersepakat dengan kita pada kesatuan makna.

Akan tetapi al-kalam adalah lafal yang musytarok (mengandung makna berbilang-pen) dan tidak datang pada satu makna saja, maka apa yang ditetapkan oleh musuh (Mu'tazilah) (yaitu Al-Qur'an-pen) sebagai kalam maka Asya'iroh juga menetapkannya dan sepakat bahwasanya kalam tersebut banyak dan muhdats (baru) serta makhluk.

Dan apa yang ditetapkan oleh Asya'iroh sebagai kalam (sifat kalam nafsi-pen) maka musuh (Mu'tazilah) mengingkarinya"  (Nihaayatul Iqdaam 289)

Ketiga : Al-Buuthi berkata :

أما جماهير المسلمين أهل السنة والجماعة، فقالوا : إننا لا ننكر هذا الذي تقوله المعتزلة، بل نقول به، ونسميه كلاماً لفظياً، ونحن جميعاً متفقون على حدوثه وأنه غير قائم بذاته تعالى، من أجل أنه حادث، ولكنا نثبت أمراً وراء ذلك وهو الصفة القائمة بالنفس والتي يعبّر عنها بالألفاظ وهي غير حقيقة العلم وغير الإرادة، وإنما هي صفة مهيأة لأن يخاطب بها الأخرين على وجه الأمر أو النهي أو الإخبار، تدل عليه الألفاظ وهي صفة قديمة قائمة بذاته تعالى، ضرورة استحالة توارد الخواطر وطروء المعاني عليه كما هو شأن الإنسان، وهذا هو المقصود بإسناد الكلام إلى الله تعالى

"Adapun mayoritas kaum mulsimin Ahlus Sunnah wal Jamaa'ah (yaitu Asya'iroh-pen) maka mereka berkata : Kami tidak mengingkari apa yang dikatakan oleh Mu'tazilah, bahkan kamipun sependapat, dan kami menamakannya dengan kalam secara lafal. Dan kami semua sepakat bahwa kalam lafal tersebut (yaitu al-Qur'an-pen) adalah sesuatu yang baru, dan ia tidak berdiri di Dzat Allah karena ia adalah hadits (baru). Akan tetapi kami menetapkan suatu perkara dibalik ini semua, yaitu kalam adalah sifat yang berdiri di Dzat Allah yang diungkapkan dengan lafal-lafal" (Kubro Al-Yaqiniyaat Al-Kauniyah 125)

Komentar : Demikianlah bahwa asyairoh membenarkan keyakinan mu’tazilah bahwa al-Qur’an adalah makhluk.

KEEMPAT : Nukilan bahwa al-Qur’an itu ibaratnya (lafal-lafal Qur’an yang kita baca) dari Muhammad atau ibaratnya Jibril atau dari ibarat yang diciptakan Allah.

Al-Baqqilaani berpendapat bahwal al-Qur’an ibaratnya dari Nabi Muhammad, beliau berkata :

فأخبر تعالى أنه أرسل موسى عليه السلام إلى بني إسرائيل بلسان عبراني، فأفهم كلام الله القديم القائم بالنفس بالعبرانية، وبعث عيسى عليه السلام بلسان سرياني، فأفهم كلام الله القديم بلسانهم، بعث نبينا صلى الله عليه وسلم بلسان العرب، فأفهم قومه كلام الله القديم القائم بالنفس بكلامهم. فلغة العرب غير لغة العبرانية ولغة السريانية وغيرهما، لكن الكلام القديم القائم بالنفس شيء واحد لا يختلف ولا يتغير

“Maka Allah mengabarkan bahwa Allah mengutus Musa ‘alaihis salam kepada bani Israil dengan bahasa Ibrani, maka Musa memahamkan kalamullah al-Qodim (yang hakiki, yaitu kalam nafsi-pent) kepada kaumnya dengan bahasa ibrani. Dan Allah mengutus Nabi Isa ‘alaihis salam dengan bahasa Siryani. Maka Nabi Isa memahamkan kalamullah (kalam nafsi) kepada kaumnya dengan bahasa Siryani. Dan Allah mengutus Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dengan bahasa Arab. Maka Nabi Muhammad memahamkan kalamullah nafsi kepada kaumnya dengan bahasa mereka. Maka bahasa Arab bukanlah bahasa Ibrani, bukan pula bahasa Siryani, dan juga bahasa yang lain. Akan tetapi kalamullah yang qodim dan kalam nafsi ada sesuatu yang satu tidak berbeda dan tidak berubah” (Al-Insoof hal 101-102)

Adapun Ar-Raazi maka beliau menyampaikan pendapat bahwa bisa saja ibaratnya dari Jibril. Beliau berkata :

فإن قيل كيف سمع جبريل كلام الله تعالى، وكلامه ليس من الحروف والأصوات عندكم؟ قلنا يحتمل أن يخلق الله تعالى له سمعا لكلامه ثم أقدره على عبارة يعبر بها عن ذلك الكلام القديم

“Kalau ada yang bertanya : Bagaimana Jibril mendengar kalamullah, sementara kalamullah tidak ada huruf dan suaranya menurut kalian?. Maka kami jawab : Bisa jadi Allah menciptakan bagi jibril pendengaran untuk mendengar kalamNya lalu Allah menjadikan Jibril mampu untuk memiliki ibarat untuk mengungkapkan kalamullah yang qodim tersebut” (Mafaatiihul Goib 2/277)

Adapun al-Baajuuri maka beliau berpendapat bahwa lafal-lafal al-Qur’an adalah ciptaan Allah yang Allah ciptakan lalu Allah letakan di al-Lauh Al-Mahfuuz. Beliau berkata :

وهو الذي خلقه الله تعالى أولاً في اللوح المحفوظ، ثم أنزله في صحائف إلى سماء الدنيا في محل يقال له "بيت العزة" في ليلة القدر... ثم أنزله على النبي صلى الله عليه وسلم مفرقاً بحسب الوقائع

“Dan al-Qur’an adalah  yang telah menciptakan pertama kali di al-Lauh al-Mahfuuz lalu Allah turunkan di lembaran-lembaran di langit dunia di suatu tempat yang disebut dengan baitul ‘izzah dai malam lailatul qodar....

Lalu Allah turunkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam secara terpisah-pisah berdasarkan kejadian dan peristiwa” (Hasyiatul Baajuuri 162)

Jakarta, 17-10-1438 H / 11-07-2017
Abu Abdil Muhsin Firanda

AL-QURAN YANG KITA BACA ADALAH MAKHLUK MENURUT ASYAIROH
(Bagian kedua : Bantahan terhadap syubhat-syubhat Asyairoh)
Pernyataan Asya’iroh bahwasanya Allah tidak berbicara dengan suara bukanlah produk yang baru, akan tetapi pendapat seperti ini sudah ada di zaman al-Imam Ahmad bin Hanbal (yang wafat tahun  241 H), yaitu jauh sebelum lahirnya madzhab Asyairoh

Abdullah (putranya imam Ahmad) berkata:

سَأَلْتُ أَبِي رَحِمَهُ اللَّهُ عَنْ قَوْمٍ، يَقُولُونَ: لَمَّا كَلَّمَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مُوسَى لَمْ يَتَكَلَّمْ بِصَوْتٍ فَقَالَ أَبِي: «بَلَى إِنَّ رَبَّكَ عَزَّ وَجَلَّ تَكَلَّمَ بِصَوْتٍ هَذِهِ الْأَحَادِيثُ نَرْوِيهَا كَمَا جَاءَتْ»

“Aku bertanya kepada ayahku tentang suatu kaum yang mereka berkata, “Tatkala Allah berbicara dengan Musa, maka Allah tidaklah berbicara dengan suara?”. Maka ayahku (yaitu Al-Imam Ahmad bin Hanbal)  berkata, “Justru sesungguhnya Rabbmu azza wa jalla telah berfirman dengan suara. Inilah hadits-haditsnya kami riwayatkan sebagaimana datangnya’ (As-Sunnah 1/280 No. 533, sebagaimana juga dinukil oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 13/460)

Abdullah putra Al-Imam Ahmad juga berkata :

وَقَالَ أَبِي رَحِمَهُ اللَّهُ: «حَدِيثُ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ» إِذَا تَكَلَّمَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ سُمِعَ لَهُ صَوْتٌ كَجَرِّ السِّلْسِلَةِ عَلَى الصَّفْوَانِ " قَالَ أَبِي: وَهَذَا الْجَهْمِيَّةُ تُنْكِرُهُ وَقَالَ أَبِي: هَؤُلَاءِ كُفَّارٌ يُرِيدُونَ أَنْ يُمَوِّهُوا عَلَى النَّاسِ، مَنْ زَعَمَ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَتَكَلَّمْ فَهُوَ كَافِرٌ، أَلَا إِنَّا نَرْوِي هَذِهِ الْأَحَادِيثَ كَمَا جَاءَتْ

“Dan ayahku -semoga Allah merahmatinya- berkata : Hadits Ibnu Mas’udh radhiallahu ‘anhu (dimana Nabi bersabda) : “Jika Allah azza wa jalla berfirman maka terdengar suaraNya seperti gegsekan rantai besi di atas batu licin”. Ayahku berkata, “Hadits ini diingkari oleh Jahmiyah”. Beliau berkata, “Mereka itu (jahmiyah) adalah kafir, mereka ingin mengelabui manusia. Barangsiapa yang menyangka bahwa Allah tidak berbicara maka ia telah kafir. Dan kami meriwayatkan hadits-hadits ini sebagaimana datangnya” (As-Sunnah hal 1/281 No. 534)

Karenanya sikap tegas telah nampak sejak dulu dari para ulama terhadap kaum yang menyatkan Allah berbicara tanpa suara.

Al-Imam Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah al-Maqdisi (wafat 620 H) berkata :

ومن زعم أن هذا الكتاب غير القرآن، وأنه كلام المخلوقين وأن القرآن معنىً في النفس لا ينزل ولا يقرأ، ولا يسمع ولا يتلى، ولا ينفع، ولا له أول ولا آخر، ولا جزء ولا بعض، ولا هو سور، ولا آيات وحروف، ولا كلمات، فهذا زنديق راد على رب العالمين، وعلى رسوله الصادق الأمين، مخالف لجميع المسلمين، ناكب عن الصراط المستقيم

“Barang siapa yang menyangka bahwa al-kitab ini bukanlah al-Qur’an dan bahwasanya al-kitab ini adalah perkataan makhluk, dan bahwasanya al-Qur’an adalah makna yang ada pada diri (Allah) dan tidak turun, tidak dibaca, tidak didengar, tidak dibaca.., tidak ada awalnya dan tidak ada akhirnya, tidak terbagi, tidak ada sebagian, dan bukanlah surat-surat, bukan juga ayat-ayat, huruf-huruf, dan kalimat-kalimat, maka ia adalah zindiq, yang telah membantah Robbul ‘aalamin, dan membantah Rasulnya yang jujur dan terpercaya, menyelisihi seluruh kaum muslimin, dan menyimpang dari jalan yang lurus” (Risalaah fi al-Qur’an wa Kalaamillah hal 34)

Adapun dalil-dalil bahwasanya Allah berbicara dengan suara sangatlah banyak, diantaranya ;

Pertama : Dalam banyak ayat Allah mengkhabarkan bahwa Allah menyeru/memanggil hamba-hambaNya, seperti firman Allah :

وَنَادَيْنَاهُ مِنْ جَانِبِ الطُّورِ الْأَيْمَنِ

“Dan Kami telah memanggilnya (yaitu Musa) dari sebelah kanan gunung Thur” (QS Maryam : 52)

وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيْمُ

“Dan Kami panggil dia : “Wahai Ibrahim” (QS As-Soffaat : 104)

وَيَوْمَ يُنَادِيهِمْ فَيَقُولُ أَيْنَ شُرَكَائِيَ الَّذِينَ كُنْتُمْ تَزْعُمُونَ

“Dan ingatlah hari di waktu Allah menyeru mereka, seraya berkata : “Dimanakah sekutu-sekutu-Ku yang dahulu kamu katakan?” (QS Al-Qosos : 62).

Dan firman Allah وَيَوْمَ يُنَادِيهِمْ  (Dan Ingatlah hari di waktu Allah menyeru mereka) juga terdapat pada ayat-ayat berikut (QS Al-Qosos : 65 dan 74) dan (QS Fussilat : 47)

وَنَادَاهُمَا رَبُّهُمَا أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Dan Rabb mereka berdua menyeru mereka : “Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepada kamu berdua : “Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?” (QS Al-A’raaf : 22)

Dan dalam bahasa Arab tidaklah dikatakan An-Nidaa’ (seruan) kecuali dengan suara.

Kedua : Firman Allah kepada nabi Musa ‘alaihis salam :

فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوحَى

“Maka dengarlah kepada apa yang akan diwahyukan kepadamu” (QS Thoha : 14)

Abu Nasr As-Sijzi (wafat 444 H) telah menjelaskan bahwa yang namanya mendengar yaitu mendengar suara. Dan mendengar berbeda dengan memahami (lihat Risalah As-Sijzi hal 165 dan 244)

Karenanya Allah membedakan Nabi Musa dengan sebagian nabi-nabi yang lain, dimana Nabi Musa langsung diajak berbicara oleh Allah, sementara sebagian nabi-nabi yang lain dengan wahyu tanpa pembicaraan langsung. Allah berfirman :

إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ ... وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا

Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya ... Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung (QS An-Nisaa : 163-164)

Dan dua cara ini (memberi wahyu dan berbicara langsung di balik hijab) telah dijelaskan juga Allah dalam ayat yang lain. Allah berfirman :

وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ

Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir (QS Asy-Syuuroo ; 51)

Dibalik tabir yaitu Allah berbicara langsung dengannya dan bukan mewayhukan dengan memahamkan semata. (lihat Majmuu’ Al-Fataawaa 6/531-532)

Ketiga : Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam

يقول الله عز وجل أنا عند ظن عبدي بي وأنا معه حين يذكرني فإن ذكرَني في نفسه ذَكَرْتُه فِي نَفْسِي وإن ذكرَني في ملأ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَأٍ خير منهم

“Allah azza wa jalla berkata ; Aku berdasarkan persangkaan hambaKu kepadaKu, dan Aku bersamanya tatkala ia menyebutku. Jika ia menyebutKu dalam dirinya maka Aku akan menyebutnya di diriKu, dan jika ia menyebutKu di kumpulan orang maka Aku akan menyebutnya di kumpulan yang lebih baik dari kumpulan tersebut” (HR al-Bukhari No. 7405 dan Muslim No. 2675)

Al-Imam Adz-Dzahabi mengomentari hadits ini dengan berkata :

هذا حديث صحيح وفيه التفريق بين كلام النفس والكلام المسموع فهو تعالى متكلم بهذا وبهذا وهو الذي كلم موسى تكليما وناداه من جانب الطور

“Ini adalah hadits shahih, dan menunjukkan adanya perbedaan antara perkataan jiwa dan perkataan yang di dengar. Dan Allah yang maha tinggi berbicara dengan kedua cara ini, dan Dialah yang telah berbicara langsung dengan Musa dan memanggilnya dari sisi gunung at-Tuur” (al-‘Uluw li al-‘Aliy al-Ghoffaar hal 57)

                Sebelum menyebutkan syubhat-syubhat mereka, maka penulis ingatkan kembali tentang hakikat aqidah Asyairoh tentang al-Qur’an (maka silahkan baca kembali "AL-QUR’AN YANG KITA BACA ADALAH MAKHLUK MENURUT ASYAIROH (Bagian Pertama)"), dan penulis mendahulukan bantahan terhadap aqidah Asya’iroh tersebut secara global.

Sesungguhnya kelaziman dari aqidah mereka tentang kalamullah sebagai berikut :

    Mereka (Asyairoh) memandang bahwa Allah tidak pernah berbicara dengan suara. Kalau hal ini benar, lantas kenapa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya tidak pernah menjelaskan sama sekali?. Jangankan dalam hadits yang shahih bahkan hadits yang palsu pun tidak pernah menjelaskan bahwa Allah bicara tanpa suara, dan al-Qur’an yang kalian baca tersebut hanyalah ungkapan dari bahasa jiwa Allah !!
    Bahkan seluruh ayat dan hadits menyatakan secara langsung dan tegas : “Allah berfirman”. Jika ternyata al-Qur’an bukan firman Allah hanya ungkapan/ibarat maka tentu kaum muslimin dari zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam hingga saat ini tertipu dengan hal tersebut.
    Dalam seluruh bahasa (bahkan dalam bahasa Indonesia) yang namanya berbicara itu adalah dengan suara. Karena kalau renungan dalam hati dikatakan berbicara maka orang bisu bisa dikatakan sebagai orang yang berbicara. Akan tetapi dalam bahasa apapun orang bisu tetap dikatakan orang bisu (yaitu yang tidak bisa berbicara). Kita boleh menamakan pembicaraan dalam hati sebagai pembicaraan jika kita menyebutnya secara khusus yaitu “berbicara dalam hatinya”. Adapun kata “berbicara” tanpa disertai dengan “dalam hati” maka tidak dipahami kecuali berbicara dengan suara.
    Jika kalamullah hanyalah kalam nafsi yang tidak ada suara dan tanpa huruf, akan tetapi hanya makna yang ada pada jiwa, maka kalamullah dan sifat irodah (kehendak) Allah merupakan sesuatu yang sama tidak ada bedanya. Padahal Asyairoh sepakat bahwa sifat irodah bukan sifat kalam.
    Jika firman Allah tanpa suara, maka ini berarti Nabi Musa sesungguhnya tidak pernah berbicara dengan Allah secara langsung, sebagaimana ini juga pernyataan kaum jahmiyah. Dan ini jelas-jelas bertentangan dengan firman Allah “Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung” (QS An-Nisaa : 164)
    Hal ini juga menghilangkan keistimewaan Nabi Musa yang dikenal dengan Kaliimullah, karena pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara Nabi Musa dengan nabi-nabi yang lain.
    Asyairoh memandang bahwa kalaamullah adalah kalaam nafsi (kalam jiwa) dan qodim serta tidak pernah bertambah dan berkurang, selain itu juga tidak menerima pembagian. Sehingga jika kalam nafsi ini diungkapkan dengan bahasa Arab jadilah al-Qur’an, kalau diungkapkan dengan bahasa Ibrani jadilah Tauroh, dan jika diungkapkan dengan bahasa siryani jadilah injil. Padahal kita tahu isi al-Qur’an bukanlah isi Taurot, dan Isi Taurot bukanlah isinya injil. Kalau berdasarkan pemahaman Asyairoh seharusnya al-Qur’an kalau diterjemahkan ke bahasa Ibrani jadinya Taurot, dan kalau Injil diterjemahkan ke bahasa Arab jadi Al-Qur’an. Karena ketiga kitab suci ini (Al-Qur’an, Taurat, dan Injil) adalah sama-sama ungkapan dari kalam nafsinya Allah.
    Kita tahu bahwasanya kalamullah tiada batasnya, sementara al-Qur’an atau Taurot atau Injil isinya terbatas, maka tentu ini menunjukkan bahwa kitab-kitab suci tersebut tidak bisa mengungkapkan kalamullah an-nafsi yang tidak terbatas
    Kalau al-Qur’an adalah ungkapan dari sebagian kalaamullah an-Nafsi, maka berarti kalamullah an-nafsi bisa terbagi-bagi menjadi sebagian-sebagian. Dan ini menumbangkan aqidah Asyairoh yang meyakini bahwa kalamullah an-Nafsi tidak menerima pembagian dan parsial.
    Kalau al-Qur’an adalah ungkapan dari kalamullah an-Nafsi, lantas kenapa dalam al-Qur’an begitu banyak huruf-huruf terputus-putus di awal-awal surat yang tidak mengungkapkan makna tertentu?. Seperti aliif laam miim, shood, Qoof, nuun, dll, maka ini tentu bukan bahasa ungkapan. Karena ungkapan/ibarat dari sesuatu harusnya jelas. Karena tujuan dari ungkapan adalah penafsiran makna dari kalam nafsi, maka seharusnya ungkapan tersebut dipahami maknanya dengan kesepakatan
    Jika kalamullah an-nafsi qodim dan tidak pernah mengalami perubahan dan tidak bisa dibagi-bagi, lantas kenapa ungkapannya (yaitu al-Qur’an) bisa mengalami nasikh dan mansukh?, bahkan ada ayat-ayat yang tadinya dibaca sebagai al-Qur’an kemudian dimansukhkan sehingga tidak dicantumkan lagi sebagai Al-Qur’an?.
    Jika al-Qur’an hanyalah ibarat/ungkapan maka seharusnya tidak mengapa al-Qur’an diriwayatkan dengan makna, dan tidak harus dengan huruf-hurufnya, yang penting maknanya sama. Bahkan seharusnya boleh al-Qur’an dibaca dengan bahasa yang lain dan tidak harus bahasa Arab.
    Asyairoh meyakini bahwa Allah memahamkan kalaam nafsiNya kepada Muhammad. Nah pertanyaannya, apakah Allah memahamkan seluruh kalaf nafsiNya kepada Muhammad, atau sebagian kalam nafsiNya?. Jika Allah memahamkan seluruh kalaf nafsiNya yang tidak terbagi-bagi kepada Muhammad, berarti Muhammad ilmunya sama dengan ilmu Allah, karena ia memahami seluruh kalam nafsiNya Allah. Bahkan Nabi juga mengetauhi ilmu ghoib sama dengan Allah, dan ini jelas merupakan kekufuran. Namun jika Muhammad hanya dipahamkan sebagian kalam nafsiNya maka ini melazimkan kalam nafsiNya Allah tidak merupakan kesatuan, tapi bisa dibagi-bagi, dan ini berarti menumbangkan aqidah asyairoh.
    Padahal ayat tegas menjelaskan bahwa para Rasul tidak mengetahui seluruh yang di jiwa Allah.

Nabi Isa ‘alaihis salam berkata :

تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ

“Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib" (QS Al-Maidah : 116)

Berikut syubhat-syubhat kaum Asya’iroh yang menyatakan bahwa al-Qur’an yang kita baca adalah makhluk.

Syubhat Pertama : Kalau Allah berbicara dengan suara maka berarti menyamakan suara Allah dengan suara makhluk,

Bantahan :

Pertama : Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Allah berbicara/berfirman dengan suara maka sangatlah banyak sebagaimana telah lalu.

Kedua : Persangakaan Asyairoh kalau Allah berbicara/berfirman dengan huruf dan bahasa dan suara berarti seperti makhluk ini adalah persangkaan yang keliru dan telah dibantah oleh para ulama sejak dahulu. Karena bid’ah ini sudah muncul sejak dahulu. Berikut bantahan al-Imam Al-Bukhari rahimahullah. Beliau menjelaskan jika firman Allah dengan suara maka tidak melazimkan bahwa suara Allah seperti suara makhluk, sebagaimana pendengaran dan penglihatan Allah tidak seperti makhluk dan sebagaimana dzat Allah tidak seperti dzat makhluk : Al-Imam Al-Bukhari (wafat 256 H) berkata :

وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَادِي بِصَوْتٍ يَسْمَعُهُ مَنْ بَعُدَ كَمَا يَسْمَعُهُ مَنْ قَرُبَ، فَلَيْسَ هَذَا لِغَيْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ذِكْرُهُ قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: " وَفِي هَذَا دَلِيلٌ أَنَّ صَوْتَ اللَّهِ لَا يُشْبِهُ أَصْوَاتَ الْخَلْقِ، لِأَنَّ صَوْتَ اللَّهِ جَلَّ ذِكْرُهُ يُسْمَعُ مِنْ بُعْدٍ كَمَا يُسْمَعُ مِنْ قُرْبِ، وَأَنَّ الْمَلَائِكَةَ يُصْعَقُونَ مِنْ صَوْتِهِ، فَإِذَا تَنَادَى الْمَلَائِكَةُ لَمْ يُصْعَقُوا، وَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ: {فَلَا تَجْعَلُوا لِلِّهِ أَنْدَادًا} فَلَيْسَ لِصِفَةِ اللَّهِ نِدٌّ، وَلَا مِثْلٌ، وَلَا يوجدُ شَيْءٌ مِنْ صِفَاتِهِ فِي الْمَخْلُوقِينَ "

"Dan sesungguhnya Allah menyeru dengan suara yang didengar orang orang yang jauh sama sebagaimana didengar oleh orang yang dekat. Dan seperti ini tidak bisa untuk selain Allah. Dan ini adalah dalil bahwasanya suara Allah tidak seperti suara-suara makhluk. Karena suara Allah didengar oleh orang yang jauh sebagaimana pendengaran orang yang dekat. Jika para malaikat mendengar suara Allah maka mereka pingsan, dan jika para malaikat –diantara mereka- saling memanggil maka mereka tidak pingsan. Dan Allah telah berfirman

فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا

"Karena itu janganlah kamu Mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah" (QS Al-Baqoroh : 22)

Maka tidak ada tandingan bagi sifat Allah, dan juga tidak ada yang menyamai, dan tidak ada satu sifat Allah pun yang ada pada para makhluk" (Kholqu Af'aalil 'Ibaad hal 91-92).

Al-Imam Al-Bukhari menjelaskan poin perbedaan suara Allah dengan suara makhluk diantaranya :

    Suara Allah didengar sama antara yang jauh maupun yang dekat, dan ini berbeda dengan suara manusia
    Suara Allah kalau didengar para malaikat maka merekapun pingsan. Berbeda dengan suara malaikat, takala malaikat berbicara saling mendengar suara diantara mereka maka mereka tidaklah pingsan.

Syubhat Kedua : Kalau Allah berbicara dengan suara maka melazimkan Allah membutuhkan tempat keluar suara, pita suara, udara, dll

Bantahan :

Pertama : Itu semua menjadi lazim jika yang dimaksud adalah suara makhluk yang dikenal oleh manusia, adapun suara Allah maka berbeda dan tidak lazim.

Ibnu Hajar berkata :

فَمَنْ مَنَعَ قَالَ إِنَّ الصَّوْتَ هُوَ الْهَوَاءُ الْمُنْقَطِعُ الْمَسْمُوعُ مِنَ الْحَنْجَرَةِ وَأَجَابَ مَنْ أَثْبَتَهُ بِأَنَّ الصَّوْتَ الْمَوْصُوفَ بِذَلِكَ هُوَ الْمَعْهُودُ مِنَ الْآدَمِيِّينَ كَالسَّمْعِ وَالْبَصَرِ وَصِفَاتُ الرَّبِّ بِخِلَافِ ذَلِكَ فَلَا يَلْزَمُ الْمَحْذُورُ الْمَذْكُورُ مَعَ اعْتِقَادِ التَّنْزِيهِ وَعَدَمِ التَّشْبِيهِ وَأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مِنْ غَيْرِ الْحَنْجَرَةِ فَلَا يَلْزَمُ التَّشْبِيهَ

"Adapun suara maka barang siapa yang melarang (sifat suara bagi Allah) beralasan bahwa suara adalah aliran nafas yang terhenti yang terdengar dan keluar dari kerongkongan. Maka orang yang menetapkan sifat suara menjawab dengan dalih bahwasanya suara yang sifatnya demikian adalah suara yang dikenal dari para manusia. Sebagaimana pendengaran dan penglihatan. Dan sifat-sifat Ar-Robb berbeda dengan itu semua dan tidaklah melazimkan adanya perkara yang disebutkan yang dilarang tersebut jika disertai keyakinan tanzih (pensucian sifat Allah dari kekurangan-pen) dan tidak adanya tasybih (menyamakan dengan makhluk-pen). Dan suara bisa keluar tanpa kerongkongan, sehingga tidak melazimkan tasybih." (Fathul Baari 13/460)

Kedua : Ternyata makhluk juga ada yang bisa mengeluarkan suaranya tanpa pita suara dan rongga suara. Bukankah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah menyebutkan bahwa ada batu yang pernah memberi salam kepadanya?. Beliau berkata :

إني لأعرف حجراً بمكة كان يسلِّم علي قبل أن أُبْعَثُ إِنِّي لأعرفه الآنَ

“Sesungguhnya aku mengetahui sebuah batu di Mekah pernah memberi salam kepadaku sebelum aku diangkat menjadi Nabi, dan sungguh aku mengetahuinya sekarang” (HR Muslim No. 2277)

Bukankah makanan pernah bertasbih dihadapan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam?, Ibnu Mas’ud berkata :

ولقد كُنَّا نَسْمَعُ تَسْبِيْحَ الطَّعَامِ وَهُوَ يُؤْكَلُ

“Dan sungguh kami mendengar tasbih makanan padahal makanan tersebut sedang dimakan” (HR Al-Bukhari No. 3579)

Dalam riwayat yang lain :

كُنَّا نَأْكُلُ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، وَنَحْنُ نَسْمَعُ تَسْبِيْحَ الطَّعَامِ

“Kami makan bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan kami mendengar tasbihnya makanan” (Lihat Fathul Baari 6/592)

Bukankah para sahabat mendengar suara tangisan batang korma tatkala ditinggal oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam? Ibnu Umar berkata ;

كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَخْطُبُ إِلَى جِذْعٍ فَلَمَّا اتَّخَذَ الْمِنْبَرَ تَحَوَّلَ إِلَيْهِ فَحَنَّ الْجِذْعُ فَأَتَاهُ فَمَسَحَ عَلَيْهِ

“Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkhutbah di batang kurma, tatkala dibuat mimbar dan Nabi ke mimbar maka batang kurma tersebut terisak, lalu Nabi ke batang tersebut lalu mengusapnya’ (HR Al-Bukhari No. 3583)

Jika makhluk saja bisa bersuara tanpa rongga dan tanpa pita suara maka bagaimana lagi dengan Allah sang Maha Pencipta?. Bukankah pada hari kiamat kaki, tangan, kulit, dan jari bisa berbicara?

Syubhat ketiga : Kalau Allah berbicara dengan huruf maka berarti Allah menerima pembagian, padahal Allah tidak bisa dibagi-bagi.

Bantahan :

Pertama : Mana dalil bahwasanya firman Allah tidak boleh terbagi-bagi sama sekali?. Terserah Allah membagi firmanNya berbicara sebagian pada suatu waktu dan berbicara dengan topik dan pembicaraan yang lain pada waktu yang lain?. Kenapa tidak boleh?. Bukankah Allah maha berbicara?. Allah berbicara dengan Nabi Musa, bahkan berdialog dengan Nabi Musa, maka pembicaraan Allah terbagi-bagi, bertahap sehingga terjadi dialog dan sahut menyahut dengan Nabi Musa ‘alaihis salam?

Bukankah Allah jika berkehendak sesuatu maka Allah mengatakan “Kun Fayakun”, berarti setiap kehendak yang berbeda maka Allah mengucapkan “Kun Fayakun”, bukankah ini berarti Allah terbagi-bagi kalamNya?

Yang tidak boleh jika kita mengatakan bahwa zat Allah terbagi-bagi, menjadi ganda atau lebih, memiliki anak atau istri. Adapun sifat Allah terbagi-bagi maka tidak ada larangan, bukankah sifat-sifat Allah banyak?, bukankah sifat-sifat tersebut berbeda-beda? Apakah ini berarti terbagi-bagi yang dilarang?.

Jadi kaum Asyairoh terjebak dengan logika filsafat mereka “Allah tidak boleh terbagi-bagi” sehingga tidak bisa masuk akal mereka jika firman Allah terangkai atas suara dan huruf-huruf.

Kedua : Kaum Asyairoh juga terjatuh pada apa yang mereka lari darinya -sebagaimana telah lalu penjelasan bantahan secara global-.  Karena mereka meyakini bahwa at-Taurot dan Injil adalah ungkapan dari kalaam Allah yang qodiim? (yang kalam yang qodim tersebut satu kesatuan tidak terbagi-bagi dan tidak berubah-rubah). Demikian pula dengan al-Qur’an adalah ungkapan dari kalam Allah yang qodim tersebut. Nah yang menjadi pertanyaan, apakah al-Qur’an tersebut adalah ungkapan dari seluruh kalam Allah yang qodim tersebut? Ataukah sebagian dari kalaam yang qodim tersebut?

    Kalau mereka berkata al-Qur’an adalah ibarat/ungkapan dari seluruh kalaam qodiim tersebut berarti kalam Allah terbatas dong? Karena ungkapannya terbatas?.
    Kalau mereka (Asyairoh) berkata bahwa al-Qur’an adalah ungkapan dari sebagian kalam Allah yang qodim, maka berarti mereka terjatuh dalam apa yang mereka lari darinya !

Mataram, Lombok 24 syawwal 1438/18 juli 2017
Firanda Andirja


Al-Qur’an Bukan Makhluk

Ustadz Ahmas Faiz bin Asifuddin
Makalah ini disadur dan disusun dengan rujukan utama Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyah, yang disyarah oleh Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan –hafizhahullah-. Ditambah beberapa referensi lain yang akan dijelaskan pada catatan kaki insya Allah. Silahkan menyimak.
AL-QUR`AN KALAM ALLAH, BUKAN MAKHLUK
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan dalam kitab al-‘Aqidah al-Wasithiyah:

Termasuk beriman kepada Allah dan kepada kitab-kitab Allah ialah, beriman bahwa al-Qur`an Kalam Allah yang diturunkan dan bukan makhluk. Dari Allah al-Qur`an bermula dan kepada-Nya ia akan kembali. Dan sesungguhnya, Allah berbicara dengan al-Qur`an ini secara hakiki. Sesungguhnya al-Qur`an yang telah Allah turunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah perkataan Allah yang sebenarnya, bukan perkataan selain-Nya. Tidak boleh melepaskan kata-kata bahwa al-Qur`an adalah hikayat dari kalam Allah atau ungkapan tentang kalam Allah. Bahkan apabila manusia membacanya atau menuliskannya dalam mushaf-mushaf, al-Qur`an tetap tidak keluar dengan demikian dari keadaannya sebagai kalam Allah yang sebenarnya. Sesungguhnya suatu perkataan hanya akan disandarkan secara hakiki kepada yang sejak semula mengatakannya, dan tidak disandarkan kepada orang yang mengatakannya sebagai penyampai. Al-Qur`an adalah kalam Allah; baik huruf-hurufnya maupun makna-maknanya. Kalam Allah bukan hanya huruf-huruf saja tanpa makna, dan bukan pula makna-makna saja tanpu huruf.[1]

Senada dengan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, yaitu perkataan Imam Thahawi rahimahullah. Beliau berkata: “Sesungguhnya al-Qur`an adalah kalam Allah, dari-Nya ia muncul sebagai perkataan, tanpa boleh dipertanyakan kaifiyah (bentuk)nya. Allah telah turunkannya kepada Rasul-Nya sebagai wahyu. Kaum Mukminin mempercayai al Qur`an benar-benar demikian keadaannya, dan mereka meyakini bahwa al-Qur`an kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sebenarnya; ia bukan makhluk seperti perkataan manusia. Maka barangsiapa yang mendengar al-Qur`an, lalu ia beranggapan bahwa al-Qur`an adalah perkataan manusia, maka ia kafir; Allah mencelanya, mencacatnya dan mengancamnya dengan Neraka Saqar, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“(Orang kafir itu berkata): “Al-Qur`an ini tidak lain hanyalah perkataan manusia”. [al-Muddatstsir/74:25]. Kita memahami dan kita meyakini bahwa, al-Qur’an itu adalah perkataan Pencipta manusia, tidak serupa dengan perkataan manusia.[2]

Pensyarah kitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, yaitu Imam Ibnu Abi al-Izz al-Hanafi rahimahullah, terhadap apa yang dikatakan Imam Thahawi rahimahullah, ia mengatakan: “Ini merupakan kaidah dan pokok yang mulia dan agung di antara pokok-pokok agama. Banyak kelompok manusia yang tersesat dalam masalah ini. Apa yang dikatakan oleh Imam Thahawi rahimahullah ini merupakan kebenaran yang telah dibuktikan oleh dalil-dalil al-Qur`an dan as-Sunnah bagi siapa saja yang merenungkannya. Juga telah disaksikan oleh fitrah-fitrah sehat, fitrah yang belum mengalami perubahan akibat syubhat-syubhat, keragu-raguan dan pendapat-pendapat batil”[3]

Demikianlah madzhab Ahlu Sunnah wal jama’ah.

Pandangan Kelompok Ahli Bid’ah Entang Al-Qur`An Dan Kalam Allah

Di bawah ini pemaparan Syaikh Shalih al-Fauzan –hafizhahullah- secara garis besar (diterjemah secara ringkas dan bebas, Pen.) tentang beberapa perkataan kelompok ahli bid’ah mengenai al-Qur`an dan kalam Allah. Beliau menyebutkan sebagai berikut.[4]

Pertama : Perkataan Jahmiyah.
Mereka mengatakan, bahwa Allah tidak berbicara, tetapi Allah menciptakan perkataan pada diri selain-Nya dan menjadikan yang selain-Nya itu menjadi pengungkap perkataan Allah. Disebutkannya suatu perkataan sebagai perkataan Allah menurut mereka adalah majaz (kiasan), bukan hakiki, sebab Allah-lah yang menciptakan perkataan itu, sehingga Dia disebut sebagai Yang berkata, karena Dialah pencipta perkataan itu pada diri selain-Nya

Perkataan Jahmiyah ini batil, bertentangan dengan dalil-dalil sam’i (al-Qur`an dan as-Sunnah) maupun dalil-dalil akal. Juga bertentangan dengan perkataan para salaf dan imam-imam kaum Muslimin. Karena sesungguhnya tidaklah masuk akal seseorang disebut sebagai orang yang berkata, kecuali jika perkataan itu benar-benar ada pada dirinya. Bagaimana mungkin Allah disebut telah berkata, padahal yang berkata adalah selain Allah? Bagaimana mungkin disebut perkataan Allah, padahal ia adalah perkataan selain-Nya?

Perkataan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah di atas, bahwa “dari Allah al-Qur`an bermula dan kepada-Nya ia akan kembali. Dan sesungguhnya Allah berbicara dengan al-Qur`an ini secara hakiki. Sesungguhnya al-Qur`an yang telah Allah turunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah perkataan Allah yang sebenarnya, bukan perkataan selain-Nya”.

Maksud Syaikhul-Islam dengan perkataannya ini adalah, untuk membantah orang-orang Jahmiyah yang mengatakan bahwa al-Qur`an bermula dari selain Allah, dan bahwa Allah tidak berbicara dengan al-Qur`an itu secara hakiki, tetapi majaz. Al-Qur`an (menurut mereka) adalah perkataan selain Allah yang disandarkan sebagai perkataan Allah karena Dialah Penciptanya.

Kedua : Perkataan Kullabiyah, para pengikut ‘Abdullah bin Sa’id bin Kullab.
Mereka beranggapan bahwa al-Qur`an merupakan hikayat dari kalam Allah. Karena kalam Allah menurut mereka adalah ma’na yang ada pada Dzat Allah yang senantiasa tetap pada-Nya, sebagaimana tetapnya sifat hidup dan sifat ilmu pada Dzat Allah. Tidak berkaitan dengan kehendak dan iradah Allah. Makna yang ada pada Dzat Allah ini bukan makhluk. Tetapi lafazh-lafazh yang keluar yang terdiri dari huruf dan suara adalah makhluk. Lafazh-lafazh ini merupakan hikayat dari kalam Allah, dan bukan kalam Allah itu sendiri.

Ketiga : Perkataan kaum Asy’ariyah, orang-orang yang mengaku pengikut Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari rahimahullah.
Mereka mengatakan bahwa al-Qur`an adalah ungkapan tentang kalam Allah. Sebab kalam Allah menurut mereka adalah: Ma’na yang ada pada dzat Allah. Ma’na ini bukan makhluk. Adapun lafazh-lafazh yang dibaca, merupakan ungkapan tentang makna yang ada pada Dzat Allah. Lafazh-lafazh ini adalah makhluk. Ia merupakan ungkapan dari kalam Allah dan tidak dikatakan hikayat dari kalam Allah.

Sebagian ulama mengatakan, perselisihan pendapat antara Asy’ariyah dengan Kullabiyah hanyalah perselisihan secara redaksional saja. Sebenarnya tidak ada perselisihan di dalamnya. Sebab, baik Asy’ariyah maupun Kullabiyah sama-sama mengatakan bahwa al-Qur`an terdiri dari dua macam. Yaitu, terdiri dari lafazh dan makna. Lafazhnya adalah makhluk, yakni lafazh-lafazh yang ada dan dibaca ini. Sedangkan maknanya bersifat qadim (sejak dahulu); ia ada pada Dzat Allah. Ia merupakan makna yang satu, tidak dapat terbagi-bagi dan tidak dapat berbilang. Ini bukan makhluk.

Inti perkataan Asy’ariyah dan perkataan Kullabiyah, andaikata tidak dapat dikatakan sama, maka paling tidak saling berdekatan.

Kedua pendapat itu sama-sama batil. Sebab al-Qur`an tidak dapat dikatakan hikayat dari kalam Allah seperti perkataan Kullabiyah, dan tidak dapat pula dikatakan ungkapan dari kalam Allah seperti perkataan Asy’ariyah. Bahkan al-Qur`an adalah kalam Allah itu sendiri, baik lafazh maupun maknanya, di manapun didapatkan, baik dihafal dalam dada-dada manusia maupun ditulis dalam mushaf-mushaf. Al-Qur`an tetap merupakan kalam Allah yang sebenarnya, bukan makhluk.

Keempat : Perkataan Mu’tazilah.
Mereka mengatakan bahwa, kalam Allah hanyalah huruf tanpa makna. Menurut mereka, apa yang disebut perkataan atau kalam, ketika dinyatakan secara mutlak hanyalah nama bagi suatu lafazh saja. Sedangkan makna bukan merupakan bagian dari apa yang disebut kalam. Makna hanyalah sesuatu yang ditunjukkan oleh apa yang disebut kalam.

Pendapat Mu’tazilah ini merupakan kebalikan dari pendapat Asy’ariyah dan Kullabiyah yang mengatakan, bahwa kalam Allah adalah makna saja tanpa huruf.

Demikian secara ringkas pemaparan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah.

Kesimpulan
Semua pernyataan kelompok di atas adalah batil. Yang benar ialah pernyataan Ahlu Sunnah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah dan Imam Thahawi di atas. Salah satu dalilnya, ialah seperti yang dikemukakan oleh Syaikh Shalih al-Fauzan, yaitu firman Allah lSubhanahu wa Ta’ala:

“Dan jika seseorang dari orang-orang musyirikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah”. [at-Taubah/9:6].

Maksud mendengar pada ayat ini, yaitu mendengar melalui bacaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kedudukannya sebagai penyampai. Sedangkan bacaan al-Qur`an dari Rasulullah yang didengar itu tetap disebut kalam Allah. Maka hal ini membuktikan bahwa perkataan hanyalah diakukan kepada yang sejak semula mengatakannya. Bukan diakukan kepada penyampainya.[5]

Imam Syafi`i rahimahullah juga mengatakan bahwa al-Qur`an adalah kalam Allah, bukan makhluk. Dan barangsiapa yang mengatakan al-Qur`an makhluk, maka ia kafir [6]. Imam Ahmad bin Hanbal pun mengatakan hal yang sama dalam Ushulus-Sunnah[7].

Demikianlah madzhab Ahlu Sunnah tentang al-Qur`an dan tentang kalam Allah. Wallahu Waliyyut-Taufiq.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05//Tahun V/1422H/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, Cetakan VI, Tahun 1413 H/1993 M, halaman 136.
[2]. Lihat Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, Imam Ibnu Abi al-Izz al-Hanafi; Tahqiq wa Muraja’ah: Jama’ah minal-‘Ulama; Takhrij: Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani. Penerbit al-Maktab al-Islami, Beirut, Cetakan IX, Tahun 1408 H/1998 M, halaman 168.
[3]. Lihat Lihat Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, Imam Ibnu Abi al-Izz al-Hanafi; Tahqiq wa Muraja’ah: Jama’ah minal-‘Ulama; Takhrij: Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
[4]. Lihat Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, halaman 136-139.
[5]. Lihat Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, halaman 138.
[6]. Lihat catatan kaki dari kitab Ushulus-Sunnah, Imam Ahmad dari riwayat ‘Abdus bin Malik al-Aththar, Syarh dan Ta’liq: al-Walid bin Muhammad Nabih bin Saif an-Nashr. Taqdim dan Ta’liq: Syaikh Muhammad bin ‘Id al-Abbasi. Penerbit Maktabah Ibnu Taimiyah, Kairo, distribusi Maktabah al-‘Ilmu, Jeddah, Cetakan I, 1416 H./1996 M, halaman 50.
[7]. Lihat kitab yang sama pada ashl yang ke 13