Friday, September 22, 2017

Perayaan Asyura Syi'ah : Memupuk Dusta Menuai Nestapa Sejarah Syiah

Peringatan Asyuro kaum Syiah dengan melukai badan sendiri

Oleh: Hasan Al Faruqi
SEPERTI biasa, di setiap tahunnya pada tanggal 10 Muharram para penganut (ajaran) Syi’ah merayakan hari duka cita. Konon perayaan tersebut ditujukan sebagai bukti kecintaannya kepada Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhuma yang menjadi cucu Nabi Shallahu ‘alaihi Wassallam.

Padahal kalau benar-benar mereka mau mencari, mengkaji lalu berpikir, sebenarnya kematian Husain justru atas penghianatan orang-orang Syi’ah yang berada di Kuffah pada waktu itu. Pernyataan tersebut tentu bukan tuduhan tanpa bukti dan argumen yang kuat. Tapi hal ini dilontarkan sendiri oleh Ali Zainal Abidin yang menjadi anak Husain sendiri, selain itu ia turut serta di dalam peristiwa pembunuhan Husain ayahnya.

Ia berkata kepada orang-orang Kufah lelaki dan perempuan yang meratap dengan mengoyak-ngoyak baju mereka sambil menangis, dalam keadaan sakit beliau dengan suara yang lemah berkata kepada mereka, “Mereka ini menangisi kami. Bukankah tidak ada orang lain yang membunuh kami selain mereka?” (Al-Ihtijaj karya At Thabarsi, halaman 156).

Sikap seperti ini pun diamini oleh para ulama Syi’ah sendiri. Seperti petikan berikut, Mullah Baqir al-Majlisi, seorang ulama rujukan Syiah menulis;

“Sekumpulan orang-orang Kufah terkejut oleh satu suara ghaib. Maka berkatalah mereka, “Demi Tuhan! Apa yang telah kita lakukan ini tak pernah dilakukan oleh orang lain. Kita telah membunuh “Penghulu Pemuda Ahli Surga” (Husain) karena Ibnu Ziyad anak haram itu. Di sini mereka mengadakan janji setia di antara sesama mereka untuk memberontak terhadap Ibnu Ziyad tetapi tidak berguna apa-apa.” (Dalam Jilaau al-‘Uyun, halaman 430).

Sejarah tidak lupa dan tidak akan melupakan peranan Syits bin Rab’i di dalam pembunuhan Husain radhiyallahu anhu di Karbala.
Siapa itu Syits bin Rab’i? Dia adalah seorang Syiah tulen, pernah menjadi duta Ali radhiyallahu anhu di dalam peperangan Shiffin, dan senantiasa bersama Husain radhiyallahu ‘anhu. Dialah juga yang menjemput Husain radhiyallahu anhu ke Kufah untuk mencetuskan pemberontakan terhadap pemerintahan pimpinan Yazid, tetapi apakah yang telah dilakukan olehnya?

Sejarah memaparkan bahwa dialah yang mengepalai 4.000 orang bala tentara untuk menentang Husain radhiyallahu anhu, dan dialah orang yang mula-mula turun dari kudanya untuk memenggal kepala Husain radhiyallahu anhu. (Jilaau al-Uyun dan Khulashatu al-Mashaaib, hal. 37).

Pelajaran dari Tragedi Karbala

Dengan penjelasan di atas, bahwa yang membunuh Husain Radhiyallahu ‘anhu adalah ‘Ubaidillah bin Ziyad yang berkolaborasi dengan Syi’ah Husain di Kuffah. Mereka adalah para pengkhianat, musuh-musuh semua kaum Muslimin, bukan hanya bagi Ahlus Sunnah saja.
Dr. Imad Ali Abdus Sami’ dengan judul ‘Penghianatan-Penghianatan Syi’ah dan Pengaruhnya Terhadap Kekalahan Umat Islam’ yang diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar mengungkapkan, jika benar mereka cinta kepada Ahlul Bait tentulah mereka tidak akan memusuhi para Sahabat Nabi juga Ahlus Sunnah. Karena kecintaan seseorang terhadap Ahlul Bait tidak lantas atau harus memusuhi para sahabat dan Ahlu Sunnah.

Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam An-Nawawi memuat satu bab yang berjudul ‘Ikramu Ahli Baiti Rasulillah wa Bayani Fadhlihim’ (Memuliakan Ahlul Bait dan Penjelasan Keutamaan Mereka). Keyakinan seperti inilah (mencintai Ahlul Bait dan Sahabat Nabi) yang akhirnya membuat salah seorang mantan tokoh Syi’ah yang bernama Abu Khalifah Ali bin Muhammad al-Qudhaibi kembali kepada Islam dengan menulis salah satu kitab ‘Rabihat Ash-Shahabah wa Lam Akhsar Ala Bait’ (Beruntunglah Para Sahabat dan Tidak Rugi Ahlul Bait).

Banyak sekali bukti bahwa Ahlul Bait itu memiliki hubungan yang baik dengan para sahabat Nabi, tidak seperti yang digambarkan oleh orang-orang Syi’ah yang memberikan gambaran kehinaan. Maka tidak heran jika akhirnya banyak mencela bahkan mengkafirkan para Sahabat karena memang kacamata sejarah mereka sudah kotor terlebih dahulu.

Perayaan Asyura Syi’ah pada tanggal 10 Muharam pada setiap tahun, sejatinya adalah upaya menebarkan kedustaan di kalangan kaum Muslimin untuk memelihara dan mendukung aqidah dan ajaran-ajaran serta pemahaman-pemahaman mereka yang menyimpang dan rapuh.

Bahkan lewat perayaan tersebut mereka hendak mengundang simpati kaum Muslimin, seolah-olah para penganut Syi’ah adalah kaum yang terdzalimi dengan terbunuhnya cucu Nabi Husain dan berhak untuk mendapatkan bantuan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan, “Karena peristiwa pembunuhan Husain radhiyallahu anhu itu, syetan membisikan kepada manusia agar membuat dua bid’ah, yaitu bid’ah bersedih dan berkabung pada hari Asyura, dengan memukul wajah dan berteriak, menangis, menyiksa diri, dan sebagainya. Hal itu menyebabkan mereka menghina para salaf, melaknat mereka, dan memasukan orang yang tidak berdosa ke dalam golongan yang berdosa hingga mereka mencela orang-orang As-Sabiquna Al-Awwalun (pertama kali masuk Islam). Dalam upacara itu dibacakan sejarah peperangan yang kebanyakan dusta. Tujuan dari pengadaan upacara itu adalah untuk membuka pintu fitnah dan perpecahan di antara umat. Sungguh menurut kesepakatan kaum Muslimin, ini bukanlah perkara wajib atau sunah. Bahkan, meratapi dan bersedih terhadap musibah [ada masa lalu merupakan tindakan yang sangat diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.” (Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyah, II: 322-333)

Hendaknya kaum Muslimin menjelaskan hakikat pembunuhan Husain radhiyallahu anhu; siapa yang membunuhnya, siapa yang menghianatinya, siapa yang beruntung atas kematiannya. Selanjutnya, mencegah umat Islam untuk bisa ikut atau mendukung perayaan Asyura bahkan berupaya agar kegiatan tersebut tidak bisa terwujud, sebab ini sebagai bentuk amar ma’ruf nahyi munkar yang menjadi kewajiban setiap Muslim dan wujud nyata kecintaan kita kepada Islam dan Ahlul Bait Nabi. Karena membiarkan perayaan tersebut berlangsung berarti membiarkan kedustaan sejarah Islam yang dijadikan Syi’ah sebagai batu loncatan untuk membeci, mencela bahkan mengkafirkan para Sahabat Nabi.

Adalah benar, bahwa Husain (dan demikian pula kakaknya Hasan) radhiyallahu anhuma memiliki keutamaan seperti yang Nabi sabdakan, tapi tentu tidak lantas Nabi memerintahkan untuk senantiasa berkabung atas kematiaannya di setiap tahun. Apalagi jika ritual seperti ini harus meratap dengan memukul-mukul pipi atau dada atau merobek-robek pakaian atau bentuk ratapan yang sepertinya justru menyelisihi apa yang diperintahkan oleh Nabi sendiri. Nabi shallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bukan termasuk golongan kami, orang-orang yang menampar-nampar pipi dan merobek pakaian dan berdo’a dengan do’a jahiliyyah.” (HR. Bukhari no.1294)

Tidak pernah diriwayatkan bahwa Ali bin Husain atau putranya Muhammad, atau Ja’far ash-Shadiq atau Musa bin Ja’far radhiallahu ‘anhum, para imam dari kalangan Ahlul Bait maupun selain mereka pernah memukul-mukul pipi mereka, atau merobek-robek pakaian atau berteriak-teriak, dalam rangka meratapi kematian Husein. Tirulah mereka kalau engkau tidak bisa serupa dengan mereka, karena meniru orang-orang yang mulia itu adalah kemuliaan. Wallahu a’lam.*

Penulis adalah Sekretaris Dewan Dakwah (DDII) Kabupaten Bandung,Pembina Majelis Taklim Korni (Keluarga Qurani), Ketua Tim Investigasi Ilmiah Pembela Ahlus Sunnah Jawa Barat ( PAS JABAR)
Dikutip dari             : Muslim Djamil