Friday, November 3, 2017

Apakah Fathimiyyun Memiliki Nasab Sampai Fatimah? Hasil Skenario Hebat Seorang Yahudi Munafiq (Maimun Al Qaddah) Yang Dekat Dengan Cucunya Ja’far Shadiq (Muhammad Bin Isma’il), Mengkloning Nama Anaknya (Abdullah) Sama Dengan Nama Cucu Ismail Bin Ja’far Shadiq (Abdullah Bin Muhammad Bin Ismail Bin Ja’far Shadiq) Dan Seterusnya.

Hasil gambar untuk salahudin al ayyubi syiah

Kenapa Dinasti Fathimiyyun yang besar dan mengklaim Memiliki Nasab Sampai Fatimah RA, saat ini tidak meninggalkan jejak keturunannya (terdata)?

Bani Fatimiyyun atau ‘Ubaidiyyun juga menyatakan bahwa mereka memiliki nasab (silsilah keturunan) sampai Fatimah. Ini hanyalah suatu kedustaan. Tidak ada satu pun ulama yang menyatakan demikian.
Ahmad bin ‘Abdul Halim juga mengatakan dalam halaman yang sama,  “Sudah diketahui bersama dan tidak bisa disangsikan lagi bahwa siapa yang menganggap mereka di atas keimanan dan ketakwaan atau menganggap mereka memiliki silsilah keturunan sampai Fatimah, sungguh ini adalah suatu anggapan tanpa dasar ilmu sama sekali. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. Al Israa’: 36). Begitu juga Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali orang yang bersaksi pada kebenaran sedangkan mereka mengetahuinya.” (QS. Az Zukhruf: 86). Allah Ta’ala juga mengatakan saudara Yusuf (yang artinya), “Dan kami hanya menyaksikan apa yang kami ketahui.” (QS. Yusuf: 81). Perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun ulama yang menyatakan benarnya silsilah keturunan mereka sampai pada Fatimah.”
Begitu pula Ibnu Khallikan mengatakan, “Para ulama peneliti nasab mengingkari klaim mereka dalam nasab [yang katanya sampai pada Fatimah].” (Wafayatul A’yan, 3/117-118)
Perhatikanlah pula perkataan Al Maqrizy di atas, begitu banyak perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalam setahun, kurang lebih ada 25 perayaan. Bahkan lebih parah lagi mereka juga mengadakan perayaan hari raya orang Majusi dan Nashrani yaitu hari Nauruz (Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), dan hari Al Khomisul ‘Adas (perayaan tiga hari selelum Paskah). Ini pertanda bahwa mereka jauh dari Islam. Bahkan perayaan-perayaan maulid yang diadakan oleh Fatimiyyun tadi hanyalah untuk menarik banyak masa supaya mengikuti madzhab mereka. Jika kita menilik aqidah mereka, maka akan nampak bahwa mereka memiliki aqidah yang rusak dan mereka adalah pelopor dakwah Batiniyyah yang sesat. (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 146, 158)
‘Abdullah At Tuwaijiriy mengatakan, “Al Qodhi Abu Bakr Al Baqillaniy dalam kitabnya ‘yang menyingkap rahasia dan mengoyak tirai Bani ‘Ubaidiyyun’, beliau menyebutkan bahwa Bani Fatimiyyun adalah keturunan Majusi. Cara beragama mereka lebih parah dari Yahudi dan Nashrani. Bahkan yang paling ekstrim di antara mereka mengklaim ‘Ali sebagai ilah (Tuhan yang disembah) atau ada sebagian mereka yang mengklaim ‘Ali memiliki kenabian. Sungguh Bani Fatimiyyun ini lebih kufur dari Yahudi dan Nashrani.
Al Qodhi Abu Ya’la dalam kitabnya Al Mu’tamad menjelaskan panjang lebar mengenai kemunafikan dan kekufuran Bani Fatimiyyun. Begitu pula Abu Hamid Al Ghozali membantah aqidah mereka dalam kitabnya Fadho-ihul Bathiniyyah (Mengungkap kesalahan aliran Batiniyyah).” (Al Bida’ Al Hawliyah, 142-143)
Inilah sejarah yang kelam dari Maulid Nabi. Namun, kebanyakan orang tidak mengetahui sejarah ini atau mungkin sengaja menyembunyikannya. Dari penjelasan di atas dapat kita tarik kesimpulan:
Pertama: Maulid Nabi tidak ada asal usulnya sama sekali dari salafush sholeh. Tidak kita  temukan pada sahabat atau para tabi’in yang merayakannya, bahkan dari imam madzhab.
Kedua: Munculnya Maulid Nabi adalah pada masa Daulah Fatimiyyun sekitar abad tiga Hijriyah. Daulah Fatimiyyun sendiri dibinasakan oleh Shalahuddin Al Ayubi pada tahun 546 H.
Ketiga: Fatimiyyun memiliki banyak penyimpangan dalam masalah aqidah sampai aliran ekstrim di antara mereka mengaku Ali sebagai Tuhan. Fatimiyyun adalah orang-orang yang gemar berbuat bid’ah, maksiat dan  jauh dari ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya.
Keempat: Merayakan Maulid Nabi berarti telah mengikuti Daulah Fatimiyyun yang pertama kali memunculkan perayaan maulid. Dan ini berarti telah ikut-ikutan dalam tradisi orang yang jauh dari Islam, senang berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya, telah menyerupai di antara orang yang paling fasiq dan paling kufur. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)

Fatimiyyun yang Sebenarnya

Kebanyakan orang belum mengetahui siapakah Fatimiyyun atau ‘Ubaidiyyun. Seolah-olah Fatimiyyun ini adalah orang-orang sholeh dan punya i’tiqod baik untuk mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi senyatanya tidak demikian. Banyak ulama menyatakan sesatnya mereka dan berusaha membongkar kesesatan mereka.
Al Qodhi Al Baqillaniy menulis kitab khusus untuk membantah Fatimiyyun yang beliau namakan “Kasyful Asror wa Hatkul Astar (Menyingkap rahasia dan mengoyak tirai)”. Dalam kitab tersebut, beliau membuka kedok Fatimiyyun dengan mengatakan, “Mereka adalah suatu kaum yang menampakkan pemahaman Rafidhah (Syi’ah) dan menyembunyikan kekufuran semata.”
Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni Ad Dimasqiy mengatakan, “Tidak disangsikan lagi, jika kita melihat pada sejarah kerajaan Fatimiyyun, kebanyakan dari raja (penguasa) mereka adalah orang-orang yang zholim, sering menerjang perkara yang haram, jauh dari melakukan perkara yang wajib, paling semangat dalam menampakkan bid’ah yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, dan menjadi pendukung orang munafik dan ahli bid’ah. Perlu diketahui, para ulama telah sepakat bahwa Daulah Bani Umayyah, Bani Al ‘Abbas (‘Abbasiyah) lebih dekat pada ajaran Allah dan Rasul-Nya, lebih berilmu, lebih unggul dalam keimanan daripada Daulah Fatimiyyun. Dua daulah tadi lebih sedikit berbuat bid’ah dan maksiat daripada Daulah Fatimiyyun. Begitu pula khalifah kedua daulah tadi lebih utama daripada Daulah Fatimiyyun.”
Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Bani Fatimiyyun adalah di antara manusia yang paling fasik (banyak bermaksiat) dan paling kufur.” (Majmu’ Fatawa, 35/127)

Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


Dalam masa kebingungan besar (‘hairatusy syi’ah’) pasca wafatnya Hasan Al ‘Askari (imam ke-11 mereka, 260 H), skenario hebat seorang Yahudi Munafiq (Maimun Al Qaddah) yang dekat dengan cucunya Ja’far Shadiq (Muhammad bin Isma’il), mengkloning nama anaknya (Abdullah) sama dengan nama cucu Ismail bin Ja’far Shadiq (Abdullah Bin Muhammad bin Ismail bin Ja’far Shadiq). Juga anak cucunya dengan nama-nama anak cucu Muhammad bin Isma’il.

Hingga suatu ketika nanti kaum Yahudi tersebut akan mengklaim dirinya sebagai ahlul bait anak cucu Muhammad bin Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq! Kita sama-sama tahu bahwa kedua sekte alias Isma’iliyah dan Qaramithah sama-sama menganggap Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq sebagai imam; salah seorang cucu Maimun Al Qaddah yang bernama Ubeidullah bin Husein bin Ahmad bin Abdillah bin Maimun Al Qaddah mendapat kesempatan emas untuk mendirikan daulah di Maghrib. Ia berangkat ke Maghrib dan bersama sejumlah pengikutnya mengumumkan berdirinya daulah Isma’iliyah, lalu menjuluki dirinya dengan nama Al Mahdi. Ia mengaku sebagai imamnya ajaran Isma’iliyah, dan mengaku sebagai anak cucu Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq, dan mengatakan bahwa imam-imam sebelumnya dari leluhurnya hingga Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq konon bersembunyi selama ini. 

Nama-nama Misterius (tokoh syiah)
Dapat dipastikan bahwa banyak dari pembaca kaget saat membaca sejarah perkembangan Syi’ah. Tentunya kami tidak menulis sejarah untuk sekedar tambah wawasan, akan tetapi agar mengambil ‘ibrah dan pelajaran, lalu dapat berinteraksi dengan berbagai krisis yang menyelimuti kita dengan cara lebih baik dan visi yang lebih jelas.

Oleh karenanya, mengabaikan sejarah tadi merupakan kejahatan terhadap generasi mendatang. Kita seakan menutup diri dari cahaya saat enggan mempelajari akar masalah ini, apalagi kita telah diperintah jauh sebelumnya untuk mempelajari kisah umat-umat terdahulu dan menerapkan pelajaran yang dikandungnya pada realita kita sekarang.

Allah Ta’ala berfirman,

فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Maka ceritakanlah kisah-kisah tersebut agar mereka berfikir.” (Qs. Al A’raf: 176)

Karenanya, masalah ini semestinya tidak berhenti pada sekedar menceritakan, namun harus direnungkan pula. Kemudian menentukan langkah apa yang mesti kita ambil untuk memahami realita dan membangun masa depan kita.

Pertama-tama, saya ingin membuka artikel ini dengan dua peringatan penting:

Pertama, agar anda memahami dan mendapat faedah dari artikel ini, anda harus membaca artikel sebelumnya tentang pokok keyakinan Syi’ah. Sebab di sana ada akar sejarah perkembangan mereka, dan pokok-pokok akidah mereka yang membantu anda untuk memahami kronologi yang terjadi di lapangan.

Kedua, sampai saat ini saya baru sekedar membacakan sejarah dan menyampaikan riwayat-riwayat yang shahih. Saya belum memberi ulasan final yang menjelaskan bagaimana sikap kita yang sebenarnya terhadap Syi’ah, dan bagaimana hubungan yang mesti dijalin. Tema yang penting ini akan kusendirikan dalam tulisan berikutnya atas izin Allah. Dan menurutku sangat besar manfaatnya bagiku bila mendapat opini para pembaca tentang bentuk hubungan yang mesti terjalin antara kita dan mereka (syi’ah), terutama jika berangkat dari latar belakang sejarah dan agama yang telah kami jelaskan.

Kembali ke masalah Syi’ah…
Pasca wafatnya Hasan Al ‘Askari (yang dinobatkan sebagai imam ke-11 oleh mereka), Syi’ah memasuki masa kebingungan besar yang terkenal dalam sejarah dengan periode ‘hairatusy syi’ah’. Dalam masa tersebut mereka saling terpecah menjadi banyak firqah (sekte), dan setiap firqah memoles agamanya semaunya demi mendapat keuntungan politis yang lebih baik… dan konon firqah yang paling terkenal adalah firqah “itsna ‘asyariyah” (12 imam), yang telah kita singgung dalam tulisan sebelumnya.

Namun firqah Itsna Asyariah ini bukanlah satu-satunya di lapangan, di sampingnya juga tumbuh firqah lain yang lebih berbahaya. Munculnya firqah yang satunya ini pernah menjadi malapetaka bagi umat Islam. Firqah ini bernama Isma’iliyyah.

Syi’ah Isma’iliyah telah sesat terlampau jauh hingga mayoritas ulama mengeluarkannya dari Islam. Munculnya sekte Isma’iliyah adalah lewat skenario hebat seorang Yahudi yang ingin membuat makar bagi umat Islam, orang tersebut bernama Maimun Al Qaddah.

Mulanya orang ini menampakkan diri sebagai muslim dan mendekati Muhammad bin Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq, bahkan berteman akrab dengannya. Muhammad bin Isma’il termasuk ahlul bait, karena merupakan cucu dari Ja’far Ash Shadiq, imam keenam kaum Syi’ah Itsna Asyariyah. Ayahnya adalah Isma’il, saudara Musa Al Kazhim yang notabene imam ketujuh menurut Syi’ah Itsna Asyariyah.

Maimun telah melakukan sesuatu yang luar biasa, yang menunjukkan betapa jahatnya makar dia terhadap umat Islam. Tujuan makar tersebut ialah menghancurkan Islam walau sekian abad kemudian setelah kematiannya! Maimun menamakan anaknya dengan nama anak Muhammad bin Isma’il, yaitu Abdullah. Ia berwasiat kepada sang anak agar kelak menamai anak cucunya dengan nama-nama anak cucu Muhammad bin Isma’il. Hingga suatu ketika nanti kaum Yahudi tersebut akan mengklaim dirinya sebagai ahlul bait anak cucu Muhammad bin Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq!
Bahkan tidak sekedar itu, mereka kelak akan mengklaim bahwa Al Imamah Al Kubra (kepemimpinan terbesar) yang seharusnya memimpin umat Islam seluruhnya, haruslah dari keturunan Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq, bukan dari keturunan Musa Al Kazhim bin Ja’far Ash Shadiq sebagaimana yang diklaim oleh Syi’ah Itsna Asyariyah. Maimun si Yahudi akhirnya mendapatkan cita-citanya… firqah Isma’iliyah pun berkembang, dan anak cucunya mulai meracik pemikiran dan keyakinan sesat mereka yang bertentangan dari A-Z dengan akidah Islam. Keyakinan terburuk mereka di antaranya ialah bahwa Allah menitis kepada Imam mereka saat itu, hingga mereka menganggapnya sebagai Ilah. Mereka juga meyakini adanya reinkarnasi arwah, alias bahwa arwah yang telah tiada, lebih-lebih arwah para imam akan hidup kembali di tubuh orang lain yang masih hidup. Mereka meyakini bahwa semua imam mereka akan kembali ke dunia setelah wafat. Di samping itu mereka juga sangat liberal dan menganggap halal semua maksiat. Mereka terang-terang menghujat sahabat, bahkan menghujat Rasulullah yang kepadanya mereka menisbatkan diri.
Di antara misi terbesar mereka ialah melakukan pembunuhan tersembunyi terhadap tokoh-tokoh Ahlussunnah wal Jama’ah di dunia Islam, dan kami akan menjelaskan betapa besar sepak terjang mereka selanjutnya.

Dakwah Isma’iliyah dengan segala pemikiran merusaknya pun semakin marak. Ia tersebar di tengah-tengah kaum muslimin yang bodoh dan memanfaatkan kecintaan masyarakat terhadap ahlul bait. Mereka berhasil meyakinkan sejumlah orang bodoh tadi bahwa mereka adalah anak cucu Rasul (?)! Sejumlah besar orang keturunan Persia juga terlibat dalam dakwah mereka yang menampakkan keislaman, namun menyembunyikan kemajusian.

Di antara orang Persi tadi adalah Husein Al Ahwazi, yang tergolong pendiri dan da’i Ismai’iliyah paling terkenal. Ia konon beraktivitas di wilayah Basrah, dan di sana ia berkenalan dengan tokoh yang sangat jahat dalam sejarah Islam, namanya Hamdan bin Asy’ats.

Orang terakhir ini asal usulnya masih diperselisihkan… ada yang bilang bahwa ia majusi asal Persia, namun ada yang bilang dia yahudi asal Bahrain. Hamdan bin Asy’ats lalu menjuluki dirinya dengan nama ‘Qirmith’, dan seiring dengan berjalannya waktu ia membentuk kelompok khusus yang dinisbatkan kepadanya. Kelompok ini bernama ‘Qaramithah’ yang merupakan cabang dari Isma’iliyah meski sebenarnya lebih berbahaya lagi.

Sekte Qaramithah meyakini bahwa harta dan wanita adalah milik bersama. Mereka menghalalkan semua kemunkaran seperti pembunuhan, perzinaan, pencurian dan merekalah yang bertindak sebagai perampas, perampok, dan penyamun. Lalu secara ikut-ikutan, seluruh penyamun dan pemberontak pun bergabung dengan mereka, hingga mereka menjadi salah satu firqah yang paling berbahaya dalam sejarah umat Islam.

Semua perkembangan ini –dan perkembangan-perkembangan lain yang belum dijelaskan– terjadi di paruh kedua abad 3 hijriyah. Kemudian setelah itu muncul lagi firqah-firqah besar yang masing-masing mengaku paling benar. Mereka saling berselisih dalam hal akidah, prinsip, hukum-hukum dan semuanya. Ketiga firqah tadi; yaitu Syi’ah Itsna Asyariyah, Syi’ah Ismai’iliyah, dan Syi’ah Qaramithah, sama-sama memusuhi Ahlussunnah di samping juga saling bermusuhan satu sama lain karena tidak puas dengan keyakinan pihak lain. Hal ini wajar mengingat ketiganya tumbuh dari hawa nafsu dan bid’ah dalam agama.

Sampai periode ini, semua firqah tadi sekedar gerakan-gerakan yang menimbulkan kekacauan dalam tubuh umat Islam, dan belum memiliki kekuasaan yang mampu mengatur jalannya sejarah. Tapi seiring berakhirnya abad ketiga hijriyah dan permulaan abad keempat, kondisi mulai berubah drastis dan menimbulkan dampak yang sangat berbahaya…

Konon yang paling awal mencapai kekuasaan dari ketiga firqah tadi adalah sekte Qaramithah, mengingat mereka lah yang paling ganas dan buas. Salah seorang da’i mereka yang bernama Rustum bin Husein berhasil mendirikan daulah Qaramithah di Yaman. Ia lalu menyurati orang-orang di berbagai tempat dan mengajak mereka kepada akidahnya. Bahkan suratnya ada yang sampai ke wilayah Maghrib (Maroko & sekitarnya)! Akan tetapi daulah ini segera lenyap seiring dengan munculnya Qaramithah model lain, yaitu di Jazirah Arab, tepatnya di wilayah Bahrain (Bahrain tempo dulu bukan kerajaan Bahrain yg ada sekarang, tapi mencakup sebelah timur Jazirah Arab). Di wilayah ini berdirilah daulah Qaramithah yang sangat mengancam eksistensi kaum muslimin. Mereka melakukan pembantaian terhadap jemaah haji, dan yang paling sadis di antaranya ialah serbuan mereka ke Masjidil Haram saat hari tarwiyah (8 Dzulhijjah) tahun 317 H. Di sana mereka membantai jemaah haji dalam mesjid, dan mencuri Hajar Aswad setelah menghancurkannya!

Mereka lalu mengirim Hajar Aswad tadi ke ibukota daulah mereka di daerah Hajar, timur jazirah Arab dan Hajar Aswad tetap berada di sana selama 22 tahun penuh, hingga akhirnya dikembalikan ke Ka’bah tahun 339 H!

Sedangkan sekte Isma’iliyah mendapatkan bumi maghrib sebagai lahan subur mereka. Di sana pemikiran Rustum bin Husein yang tadinya menguasai Yaman mulai berkembang. Hal itu terjadi lewat seseorang yang bernama Abu Abdillah Asy Syi’i. Kita sama-sama tahu bahwa kedua sekte alias Isma’iliyah dan Qaramithah sama-sama menganggap Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq sebagai imam; karenanya, salah seorang cucu Maimun Al Qaddah yang bernama Ubeidullah bin Husein bin Ahmad bin Abdillah bin Maimun Al Qaddah mendapat kesempatan emas untuk mendirikan daulah di Maghrib. Ia berangkat ke Maghrib dan bersama sejumlah pengikutnya mengumumkan berdirinya daulah Isma’iliyah, lalu menjuluki dirinya dengan nama Al Mahdi. Ia mengaku sebagai imamnya ajaran Isma’iliyah, dan mengaku sebagai anak cucu Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq, dan mengatakan bahwa imam-imam sebelumnya dari leluhurnya hingga Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq konon bersembunyi selama ini.

Ia berusaha menarik simpati masyarakat dengan menamakan daulahnya dengan daulah Fathimiyah, yang secara dusta mengaku keturunan Fathimah binti Rasulillah! Padahal asal usulnya adalah Yahudi!!

Dakwahnya berkembang pesat memanfaatkan kebodohan dan simpati masyarakat terhadap hakikat mereka. Mereka mulai melebarkan sayap kekuasaanya hingga mencakup Afrika Utara. Mereka menyebarkan berbagai bid’ah, kemunkaran, dan caci makian terhadap sahabat. Mereka mengatakan bahwa roh-roh dapat menitis dan reinkarnasi, dsb. Ekspansi daulah ini berhasil menguasai Mesir pada tahun 359 H, lewat salah seorang panglima mereka yang bernama Jauhar As Siqilli Al Isma’iliy di masa Al Mu’izz lidienillah Al Ubeidy. Inilah nama yang tepat untuk mereka: ‘al ubeidy’, nisbat kepada Ubeidillah Al Mahdi; dan bukannya ‘al Fathimiy’!

Al Mu’izz lidienillah Al Ubeidy lalu masuk ke Mesir dan mendirikan kota Cairo. Ia juga menguasai mesjid Al Azhar demi menyebarkan faham Syi’ah Isma’iliyah di sana. Ia membantai ulama-ulama Ahlussunnah dan menampakkan caci makian terhadap para sahabat. Hal itu terus dilanjutkan oleh imam-imam Isma’iliyah setelahnya. Bahkan sebagian dari mereka lebih gila lagi dengan mengaku sebagai Ilah, seperti Al Haakim biamrillah. Mereka konon banyak membangun mesjid untuk menyebarkan pemikiran mereka. Mereka tetap menguasai Mesir, Syam, dan Hijaz selama dua abad, hingga kebusukan mereka akhirnya dihapus oleh Shalahuddien Al Ayyubi pada tahun 567 H, dan beliau membebaskan Mesir dari kekuasaan sekte Isma’iliyah.

Adapun firqah ketiga yaitu sekte Itsna Asyariyah, meskipun sarat dengan berbagai macam bid’ah, mereka relatif lebih ringan bahayanya dibanding dua firqah sebelumnya. Mereka mengaku beriman kepada Allah (?) kepada Rasul-Nya (?) dan kepada hari kebangkitan, namun membikin bid’ah-bid’ah dan kemunkaran besar yang menjijikkan dalam agama. Sebagian da’i mereka berhasil merasuki sejumlah keluarga besar di wilayah Persia dan Irak, hingga akibatnya mereka dapat mencapai kekuasaan di berbagai daerah.

Mereka berhasil merasuki keluarga Bani Saman yang berasal dari Persia hingga keluarga ini menjadi syi’ah, dan mereka konon menguasai banyak wilayah di Persia (Iran yg sekarang). Daulah Bani Saman ini berlangsung sejak tahun 261 H hingga 389 H, akan tetapi kesyi’ahan mereka baru nampak di awal abad keempat hijriyah kira-kira.

Mereka juga merasuki keluarga Bani Hamdan yang berasal dari Arab, dari kabilah Bani Tighlab yang mulanya menguasai wilayah Mosul di Irak sejak tahun 317 H hingga 369 H. Kekuasaan mereka terus berkembang hingga meliputi kota Halab (Aleppo, Suriah) pada tahun 333 hingga 392 H. Sedangkan penetrasi mereka yang paling berbahaya ialah terhadap keluarga Bani Buwaih yang berasal dari Persia. Mereka berhasil mendirikan sebuah daulah di wilayah Persia, lalu berkembang hingga akhirnya menguasai khilafah Abbasiyah tahun 334 H, dengan tetap membiarkan Khalifah Bani Abbas di pusatnya agar tidak memicu pemberontakan kaum muslimin Ahlussunnah terhadap mereka. Selama lebih dari seratus tahun penuh mereka menguasai khilafah Abbasiyah, dari tahun 334 hingga 447 H, hingga muncullah orang-orang Turki Seljuk yang bermazhab Ahlussunnah, dan menyelamatkan Irak dari kekuasaan syi’ah ini.

Dalam rentang waktu tersebut, kaum syi’ah menampakkan betapa besar dendam mereka terhadap ulama-ulama Ahlussunnah dan khalifah mereka. Mereka bahkan menulis caci-makian terhadap sahabat di gerbang-gerbang mesjid. Mereka bahkan mencaci Abu Bakar dan Umar secara nyata dalam khutbah-khutbah mereka, dan ini merupakan periode yang sangat menyedihkan dalam sejarah kita umat Islam.

Sebagaimana yang kita saksikan, abad keempat memang murni abad syi’ah. Kaum Syi’ah Buwaihiyun berhasil menguasai sejumlah wilayah Iran dan seluruh wilayah Irak. Sedangkan kaum Samaniyun menguasai Iran timur, sejumlah wilayah Afghanistan dan timur dunia Islam. Adapun Hamdaniyun menguasai wilayah antara Mosul hingga Aleppo, dan Qaramithah menguasai timur Jazirah Arab, dan kadang-kadang sampai ke Hijaz, Damaskus, dan Yaman. Adapun daulah Ubeidiyyah (yang sering disebut Fathimiyah), maka lebih liar lagi… mereka berhasil menguasai Afrika Utara bahkan mencaplok Palestina, Suriah dan Lebanon!

Di akhir abad keempat hijriyah, daulah Qaramithah runtuh. Lalu di pertengahan abad kelima hijriyah (th 447), daulah Bani Buwaih juga sirna. Sedangkan daulah Isma’iliyah Ubeidiyah tetap eksis hingga pertengahan abad keenam (th 567 H), dan dengan begitu dunia Islam kembali ke kuasaan Ahlussunnah di seluruh wilayahnya, meskipun dakwah kaum Syi’ah Itsna Asyariyah tetap ada di sejumlah wilayah Persia dan Irak, namun tanpa kekuasaan.

Kondisi tetap seperti itu hingga tahun 907 H, ketika Isma’il Ash Shafawi mendirikan daulah Syi’ah Shafawiyah Itsna Asyariyah di Iran. Istilah ‘shafawiyah’ ialah nisbat kepada leluhurnya yang bernama Shafiyuddin Al Ardabiliy, seorang keturunan Persia yang wafat tahun 729 H. Daulah ini semakin melebarkan kekuasaannya, dan menjadikan kota Tabriz (yg terletak di barat laut Iran sekarang) sebagai ibukotanya. Daulah Shafawiyah terlibat perang sengit dengan tetangganya, yaitu Khilafah Turki Utsmani yang bermazhab Sunni. Kaum Shafawiyyin bahkan bersekutu dengan orang-orang Portugis untuk melawan Utsmaniyyin dan berhasil menduduki sejumlah wilayah di Irak yang semula dikuasai Utsmaniyyin. Mereka hampir berhasil menyebarkan faham syi’ah di sana, kalau saja Sultan Turki Utsmani yang bernama Saliem I berhasil mengalahkan mereka dalam sebuah pertempuran besar yang bernama Perang Jaldeiran tahun 920 H. Sultan Saliem I berhasil memukul telak mereka dan mengusir mereka dari Irak.

Hari-hari terus berlalu dan perseteruan berlanjut antara Shafawiyyin dan Utsmaniyyin. Sebagian besar pertempuran mereka terpusat di bumi Irak, dan hal ini berlanjut selama lebih dari dua abad. Daulah Shafawiyah berkuasa di Iran sejak tahun 907-1148 H, kemudian jatuh pada pertengahan abad ke-18 masehi, tepatnya tahun 1735. Akibatnya, Iran terpecah menjadi beberapa wilayah yang diperebutkan antara Turki Utsmani, Rusia, Afghanistan dan beberapa panglima perang bawahan Sultan Abbas III, yang merupakan Sultan terakhir daulah Shafawiyah.
Daulah Utsmaniyah pun mulai memasuki periode lemahnya… ia dikeroyok oleh kaum Eropa dan Rusia, dan hal ini mengakibatkan lemahnya kekuasaan Utsmani terhadap wilayah barat Iran. Wilayah ini silih berganti dipimpin oleh banyak pemimpin, namun mereka selalu loyal kepada orang Barat. Sesekali mereka loyal kepada Inggeris yang menguasai India dan Pakistan, sesekali kepada Perancis, dan di lain waktu kepada Rusia.

Pada tahun 1193 H/1779 M, Agha Muhammad Gajar mengambil alih kekuasaan di Iran. Ia berasal dari keturunan Persia dan bermazhab syi’ah meski cenderung kepada sekulerisme. Dia tidak mengajak orang kepada mazhab Itsna Asyariyah dan tidak memerintah dengan ajaran tersebut. Kekuasaan Iran silih berganti dipegang oleh anak cucunya dengan luas wilayah yang mengalami pasang-surut. Mereka konon menggunakan gelar ‘Shah’, hingga keluarga ini jatuh saat Reza Pahlevi mengadakan pemberontakan terhadap mereka tahun 1343 H/1925 M.

Reza Pahlevi lalu mengumumkan dirinya sebagai Shah Iran atas bantuan Inggeris. Akan tetapi Inggeris lalu menjatuhkannya tahun 1941 M karena perselisihan di antara mereka. Inggeris mencopotnya dan menggantinya dengan puteranya yang bernama Muhamad Reza Pahlevi, yang menjadi penguasa sekuler Iran hingga tahun 1399 H/1979 M. Setelah itu bangkitlah Revolusi Syi’ah Itsna Asyariyah yang dipimpin oleh Khomeini untuk mengembalikan kekuasaan syi’ah di wilayah Persia (Iran).

Demikianlah kisah kekuasaan syi’ah atas dunia Islam sejak munculnya firqah-firqah syi’ah hingga zaman kita sekarang. Dari ini semua, jelaslah bagi kita bahwa gerakan-gerakan syi’ah seluruhnya muncul dalam bentuk pemberontakan dan konfrontasi terhadap pemerintahan Sunni. Mereka selalu memakai ‘baju agama’ dengan mengaku cinta kepada ahlul bait atau mengaku keturunan ahlul bait. Kita juga menyaksikan bahwa dalam seluruh periode tadi tidak pernah sekalipun terjadi pertempuran antara firqah-firqah syi’ah tadi dengan musuh-musuh Islam; baik terhadap kaum Salibis Rusia, Inggeris, Perancis dan Portugis, maupun terhadap kaum Tartar (Mongol) dan lainnya. Akan tetapi yang kita saksikan adalah kerjasama nyata yang terjadi berulang kali antara syi’ah dengan musuh-musuh Islam sepanjang sejarah.

Pun demikian, kita tidak menyalahkan generasi yang sekarang akibat kesalahan leluhur mereka, namun kita mendiskusikan akidah, pemikiran, dan manhaj mereka yang sama persis dengan akidah, pemikiran, dan manhaj leluhur mereka. Inilah problem utama dan akar masalahnya… Selama mereka semua meyakini bahwa kepemimpinan harus dipegang oleh keturunan tertentu, dan meyakini bahwa Imam-imam mereka itu ma’shum, dan menghujat Abu Bakar, Umar, Utsman dan seluruh sahabat beserta ummahatul mu’minin… selama itu semua masih mereka lakukan, maka kita tidak boleh berprasangka baik kepada mereka. Akan tetapi kita mesti mengatakan bahwa anak cucu masih mengikuti ajaran leluhurnya…

Menurut Anda, bagaimana sikap kita terhadap syi’ah? Bagaimana kita harus bermuamalah dengan mereka? Adakah sebaiknya kita diamkan mereka atau kita jelaskan apa adanya? Apakah sebaiknya kita acuhkan masalah ini ataukah kita pelajari? Inilah yang akan kita bahas dalam tulisan berikutnya…

Semoga Allah memuliakan Islam dan kaum muslimin…
Penulis: Dr. Ragheb Sirjani
Penerjemah: Abo Hozaifah Al Atsary

Dakwah Syiah Isma’iliyah di Yaman

Pada Abad 3H, di Yaman sudah merajalela Syi’ah (Zaidiyah dan syiah ektrim Ismailiyah), jadi kebohongan besar yang menyatakan orang Yaman Sesat, Bodoh dan Khawarij !!!
Masuknya Islam ke Yaman dan Kisah Zaidiyyin
Pada masa kekhalifahan Al Makmun dari bani Abasiyah, tepatnya tahun 199 H, salah seorang pengikut Zaidiyah bernama Muhammad bin Ibrahim Thaba ’thaba’ membelot, dan memerintahkan keponakannya, Ibrahim bin Muhammad pergi menuju Yaman guna memperoleh banyak dukungan. Zaidiyah adalah sekte yang mengikuti manhaj yang digagas oleh Zaid bin Ali bin Al Husain bin Ali bin Abi Thalib, yaitu manhaj yang masih tergolong ke dalam syi’ah meskipun terdapat kedekatan yang signifikan antara Zaidiyah dengan Ahlussunnah. Syiah Zaidiyah tidak menyatakan berbagai perkara bid’ah dan khurafat sebagaimana yang dinyatakan oleh Syi’ah Itsna Asyariyah (Syi’ah Iran, Iraq, Lebanon dan negara teluk) bahkan mereka mengamalkan Al Qur’an dan Sunnah seperti umumnya kaum muslimin, hanya saja mereka memiliki beberapa pemikiran khusus dalam masalah imamah. Mereka membatasi keimamahan hanya dari garis keturunan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dengan Fatimah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, namun mereka tidak membatasi secara person tertentu dari garis keturunan tersebut, bahkan mereka mengatakan; seseorang yang memenuhi syarat-syarat keimamahan seperti dari garis keturunan Fatimah, berilmu, bertakwa juga baik pola pikirnya, hendaknya ia mengajukan diri, apabila orang-orang membaiatnya maka keimamahannya dianggap sah. Bahkan mereka melegalkan adanya dua imam sekaligus pada dua wilayah yang berbeda, karena itu sebagaimana dinyatakan dalam setiap tingkatan sejarah, mereka selalu muncul dalam jumlah yang banyak.
Terlebih, banyak ulama’ Ahlussunnah yang menganggap Zaid bin Ali termasuk jajaran pembesar ulama’ dan imam Ahlisunnah. Beliau juga pernah memerintahkan keluar (membelot) dari imam yang fasik, memiliki perhatian yang sangat besar terhadap para sahabat radhiallahu ‘anhum dan sangat memuliakan Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma, akan tetapi beliau berpandangan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu lebih mulia daripada mereka berdua, namunpandangan ini tidak benar dengan segala kemuliaan tetap bagi Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Meskipun demikian Zaid bin Ali tetap berpendapat sahnya kekhilafahan Abu Bakar dan Umar, karena menurutnya keimamahan seorang yang mafdhul (tidak utama) tetap sah meskipun adayang lebih utama.Pendapat itu kemudian menjadi perbedaan yang sangat mendasar dengan pokok ajaran Syi’ah Itsna ‘Asyariyah yang menolak keimamahan Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma, bahkan cara mendekatkan diri mereka kepada Allah adalah dengan melaknat keduanya sebagaimana yang dinyatakan mereka. (team/syiahindonesia.com)
[1]Al Bukhari, kitab Al Maghazi; bab “Qudum Al Asy’ariyin dan Ahli Yaman”no.4128 dan Muslim, kitab Iman, bab ”Tufadhil Ahli Yaman Fiihi wa Rujhaanu Ahli Yaman Fiihi” no.52

[2]Al Bukhari, kitab Fitan, bab sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam “Al Fitnatu min Qibali As Syarq.” No 6681, Tirmidzi no.3953 dan Ahmad hadits no.5987
Sumber: As-Syiah Nidhol am Dholal oleh DR. Raghib As Sirjani.

Bersamaan dengan berdirinya Daulah Bani Russi yang bermadzhab Zaidi, muncul pula dakwah Syiah Isma’iliyah di Yaman, akan tetapi mereka berada di wilayah selatan Yaman. Seperti yang telah kami sebutkan di makalah-makalah sebelumnya semisal; “Ushul As Syi’ah” dan “Saitharah As Syi’ah”, bahwa Isma’iliyah hanyalah sebuah frasa dari madzhab Syi’ah yang sangat parah penyelewengannya, sampai-sampai mayoritas para ulama’ Ahlisunnah membuat pernyataan bahwa mereka telah keluar dari Islam. Mereka menguasai wilayah selatan Yamansejak tahun 290 H, tapi daulah mereka jatuh dalam waktu relatif singkat pada tahun 304 H.Dari peristiwa ini,wilayah Yaman pun terbagi antara orang-orang Ya’far yang berpusat di kota Shan’a dan orang-orang Zaidiyah Bani Russi yang berpusat di kota Sha’dah, kondisi semacam ini berlangsung sepanjang abad keempat Hijriah.
Pada abad kelima Hijriah, daulah Ya’fariyah tumbang, sementara daulah Zaidiyah mulai melemah meski eksistensinya masih ada, namun mulai bermunculan pula daulah-daulah baru lainnya yang sangat berpengaruh dalam perjalanan sejarah. Muncul satu daulah sunni yaitu Daulah Najahiyin (Bani Najah) yang berpusat di Zabid (sebelah barat Yaman) dan berlangsung sejak tahun 403 H hingga tahun 555 H, di sekitar daulah ini muncul pula beberapa daulah Isma’iliyah yang mengancam, semisal daulah Bani Shalih yang berpusat di Shan’a semenjak tahun 439 H hingga tahun 532 H, ada juga daulah Bani Zurai’ yang berpusat di ‘Adn sejak tahun 467 H hingga tahun 569 H, begitu juga daulah Bani Hatim yang telah berhasil menguasai Shan’a sejak tahun 533 H hingga tahun 569 H.
Kekuatan dan bantuan daulah-daulahIsma’iliyah ini ditopang oleh daulah Ubaidiyyah yang lebih dikenal dengan Daulah Fathimiyah yang saat itu tengah menguasai Mesir dan sebagian wilayah Syam,karena itu daulah-daulah Isma’iliyah tersebut tidak bertahan lama dan kemudian tumbang bersamaan dengan tumbangnya Daulah Ubaidiyah di tangan seorang pahlawan Islam, Shalahuddin AlAyyubi pada tahun 567 H.
Dengan lenyapnya beberapa daulah Isma’iliyah dari Yaman,maka Yaman memulai frase baru yang penuh kebahagiaan dengan hadirnya kepemerintahan sunni yang direpresentasikan oleh daulah Ayyubiyah sejak tahun 569 H hingga tahun 626 H, kemudian daulah Bani Rusul yang juga sunni dari tahun 626 H hingga tahun 858 H.
Meskipun demikian, kepemerintahan daulah Zaidiyah tidak sepenuhnyalenyap dari Yaman, bahkan mereka semakin menunjukkan eksistensinya di Sha’dah dan memiliki rentan waktu pertumbuhan yang sangat urgen yang lebih dikenal dengan sebutan daulah Bani Russ kedua, yaitu pada tahun 593 H hingga tahun 697 H di tengah-tengah kepemerintahan Dinasti Ayyubiyah dan Rasuliyah.
Daulah Aimmah Shan’a
Pada abad kesepuluh Hijriyah,pemerintahan di wilayah Yaman terbagi menjadi dua, yaitu pemerintahan Utsmaniyah dan pemerintahan Zaidiyah, Utsmani memerintah sejak tahun 945 H hingga 1333 H (388 tahun), peta kekuasaan mereka terutama berada di sebelah selatan. Sementara Bani Russi yang bermadzhab Zaidiyah menguasai wilayah Sha’dah yang berafeliasi ke Shan’a, sehingga pada masa itu daulah ini lebih dikenal dengan daulah Aimmah Shan’a yang berlangsung semenjak tahun 973 H hingga tahun 1382 H (409 tahun) sampai mereka mampu menguasai seluruh Yaman setelah konflik yang terjadi dengan pemerintahan Utsmani, konflik ini berakhir pada tahun 1333 H dengan kemenangan ada di pihak Zaidiyah.
Daulah Zaidiyah memerintah Yaman hingga tahun 1382 H/1962 M, tatkala terjadi revolusi Yaman yang dengannya kepemerintahan Syiah Zaidiyah berakhir di Yaman, yaitu dimulai semenjak tahun 284 H atau lebih dari seribu tahun!
Dalam proses akselerasi ini, kita melihat bahwa madzhab Zaidiyah telah mengakar kuat di tengah masyarakat Yaman, bahkan mereka telah memiliki kepemerintahan sepanjang rentan waktu tersebut baik di saat kuat atau lemah, meski di sekitar mereka muncul beberapa daulah sunni dan Ismaili walaupun pengaruh manhaj isma’ili ini tidakberlangsung lama, sebab di Yaman daulah ini hanya bertahan sekitar seratus tiga puluhan tahun dan tidak mampu menguasai Yaman secara keseluruhan dalam jangka waktu yang panjang.
Sebagaimana yang kita perhatikan, pada saat itu Syi’ah Itsna ‘Asyariyah (Imamiah) belum memiliki eksistensi di wilayah Yaman, dari sini kita dapati bahwa jumlah pengikut Zaidiyah mendekati tiga puluh persen dari penduduk Yaman,sementara prosentase jumlah pengikut sekte Itsna ‘Asyariyah sangat kecil sekali bila dibandingkan dengan jumlah masyarakat Yaman, meski disana tidak ada sensus yang akurat dalam masalah ini.
Bersamaan dengan itu, sekarang kita mendengar berbagai problematikasehubungan dengan orang-orang Hautsi yang mendominasi wilayah Yaman bagian selatan, terkhusus wilayah Sha’dah. Kita juga mendengarItsna ‘Asyariyah sebagai madzhab mereka dan intervensi Iran terhadap mereka.
Lalu darimana datangnya madzhab Itsna ‘Asyariyah ke Yaman?

Bagaimana masalah itu muncul sampai terjadi pertempuran berkepanjangan antara pemerintahan Yaman dengan para pengikut Hautsi?

Sumber: As-Syiah Nidhol am Dholal oleh DR. Raghib As Sirjani.

Keutamaan Negeri Yaman

(dalan Al Qur’an dan hadis-hadis Nabi shallallahu’alaihi wasallam)

https://muslim.or.id/25221-keutamaan-negeri-yaman.html
Negeri Yaman, Surga Para Pencari Ilmu

Keutamaan Yaman (Dari Manakah Fitnah itu Datang?)