Saturday, November 11, 2017

Belajar Agama Hanya Untuk (Profesi Dakwah,Ustadz) Mencari Dunia ?

Hasil gambar untuk duit

Inilah akibat orang yang belajar agama hanya untuk mencari dunia, tujuannya belajar bertahun-tahun adalah hanya untuk meraih gelar. Niat yang ikhlas karena Allah, itu yang mesti diperhatikan.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu (belajar agama) yang seharusnya diharap adalah wajah Allah, tetapi ia mempelajarinya hanyalah untuk mencari harta benda dunia, maka dia tidak akan mendapatkan wangi surga di hari kiamat.” (HR. Abu Daud no. 3664, Ibnu Majah no. 252 dan Ahmad 2: 338. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ. قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لأَنْ يُقَالَ جَرِىءٌ. فَقَدْ قِيلَ.ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِىَ فِى النَّارِ

“Orang yang pertama kali diputuskan pada hari kiamat adalah seorang laki-laki yang mati syahid di jalan Allah. Lalu dia didatangkan, kemudian Allah memperlihatkan kepadanya nikmat-Nya, maka dia pun mengenalinya. Allah berkata, “Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat itu?” Orang tersebut menjawab, “Aku telah berperang di jalan-Mu sampai aku mati syahid.” Allah berkata, “Engkau dusta, akan tetapi engkau melakukan itu supaya disebut sebagai seorang pemberani dan ucapan itu telah dilontarkan.” Kemudian diperintahkan agar orang tersebut dibawa, maka dia diseret dengan wajahnya (terjerembab di tanah), sampai dia pun dilemparkan di neraka.”

وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ. قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ. وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ. فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِىَ فِى النَّارِ

“Kemudian ada orang yang belajar agama dan mengajarkannya, serta membaca Al Qur’an. Lalu orang itu didatangkan, lalu Allah memperlihatkan nikmat-Nya dan orang itu pun mengenalinya. Allah berkata, “Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat itu?” Orang itu menjawab, “Aku telah belajar agama, mengajarkannya dan aku telah membaca Al Qur’an.” Allah berkata, “Engkau dusta, akan tetapi engkau belajar agama supaya disebut orang alim dan engkau membaca Al Quran supaya disebut qari’ dan ucapan itu telah dilontarkan.” Kemudian diperintahkan agar orang tersebut dibawa, maka dia pun diseret dengan wajahnya (terjerembab di tanah) sampai dia pun dilemparkan di neraka.”

وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلاَّ أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ. فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِىَ فِى النَّارِ

“Kemudian ada seorang laki-laki yang diberikan kelapangan oleh Allah dan menganugerahinya segala macam harta. Lalu dia pun didatangkan, lalu Allah memperlihatkan nikmat-Nya itu dan orang itu pun mengenalinya. Allah berkata, “Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat itu?” Orang itu menjawab, “Aku tidak meninggalkan satu jalan pun sebagai peluang untuk berinfak melainkan aku berinfak di situ semata-mata karena-Mu.” Allah berkata, “Engkau dusta, akan tetapi engkau melakukan seperti itu supaya disebut dermawan dan ucapan itu telah dilontarkan.” Maka orang itu diperintahkan untuk dibawa, lalu dia pun diseret dengan wajahnya (terjerembab di tanah), kemudian dia dilemparkan di neraka.” (HR. Muslim no. 1905)

Hadits pertama menerangkan bahaya jika orang belajar agama hanya untuk meraih dunia. Sedangkan hadits kedua menerangkan bahaya belajar agama hanya untuk cari pujian orang lain dengan supaya disebut orang alim atau belajar agama agar supaya digelari Ustadz atau Kyai.

Moga kita dimudahkan untuk meluruskan niat kita untuk ikhlas karena Allah dalam belajar agama.


Dari Abu Hurairah, ia berkata : “Orang-orang berkata : ‘Abu Hurairah terlalu banyak meriwayatkan hadits’. Jika saja bukan karena dua ayat dalam Kitabullah, niscaya aku tidak akan meriwayatkan hadits”. Kemudian ia (Abu Hurairah) membaca firman Allah : ‘Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati. kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima ' (QS. Al-Baqarah : 159-160)” (HR. Bukhari)(tambahan, admin)
Muhammad Abduh Tuasikal
Antara Kata dan Perbuatan

Tidak disangsikan lagi bahwa adanya perbedaan antara kata dan realita adalah salah satu hal yang sangat berbahaya. Itulah sebab datangnya murka Allah sebagaimana firman-Nya surat Shaff ayat 2 dan 3.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ . كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Shaff: 2-3)


Allah juga mencela perilaku Bani Israil dengan firman-Nya,

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلا تَعْقِلُونَ

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS. Al-Baqarah: 44)

Demikian pula terdapat dalam hadits. Dari Usamah, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan didatangkan seorang pada hari kiamat lalu dicampakkan ke dalam neraka. Di dalam neraka orang tersebut berputar-putar sebagaimana keledai berputar mengelilingi mesin penumbuk gandum. Banyak penduduk neraka yang mengelilingi orang tersebut lalu berkata, ‘Wahai Fulan, bukankah engkau dahulu sering memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran?’ Orang tersebut menjawab, ‘Sungguh dulu aku sering memerintahkan kebaikan namun aku tidak melaksanakannya. Sebaliknya aku juga melarang kemungkaran tapi aku menerjangnya.'” (HR Bukhari dan Muslim)

Berkaitan dengan para penceramah, dai dan mubaligh bahkan terdapat hadits khusus. Dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda, “Saat malam Isra’ Mi’raj aku melintasi sekelompok orang yang bibirnya digunting dengan gunting dari api neraka.” “siapakah mereka”, tanyaku kepada Jibril. Jibril mengatakan, “mereka adalah orang-orang yang dulunya menjadi penceramah ketika di dunia. Mereka sering memerintahkan orang lain melakukan kebaikan tapi mereka lupakan diri mereka sendiri padahal mereka membaca firman-firman Allah, tidakkah mereka berpikir?” (HR. Ahmad, Abu Nu’aim dan Abu Ya’la. Menurut al-Haitsami salah satu sanad dalam riwayat Abu Ya’la para perawinya adalah para perawi yang digunakan dalam kitab shahih)

Dalil-dalil di atas menunjukkan pengingkaran keras terhadap orang yang punya ilmu tapi tidak mengamalkan ilmunya. Inilah salah satu sifat orang-orang Yahudi yang dicap sebagai orang-orang yang mendapatkan murka Allah disebabkan mereka berilmu namun tidak beramal.

Oleh karena itu, Ibnu Qudamah mengatakan, “Ketika berkhutbah seorang khatib dianjurkan untuk turut meresapi apa yang dia nasihatkan kepada banyak orang.” (Al-Mughni, 3/180)

Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Duhai orang-orang yang memiliki ilmu amalkanlah ilmu kalian. Orang yang berilmu secara hakiki hanyalah orang yang mengamalkan ilmu yang dia miliki sehingga amalnya selaras dengan ilmunya. Suatu saat nanti akan muncul banyak orang yang memiliki ilmu namun ilmu tersebut tidaklah melebihi kerongkongannya sampai-sampai ada seorang yang marah terhadap muridnya karena ngaji kepada guru yang lain.” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah, 2/53)

Abu Darda radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “tanda kebodohan itu ada tiga; pertama mengagumi diri sendiri, kedua banyak bicara dalam hal yang tidak manfaat, ketiga melarang sesuatu namun melanggarnya. (Jami’ Bayan Al-Ilmi wa Fadhlih, 1/143)

Jundub bin Abdillah Al-Bajali mengatakan, “gambaran yang tepat untuk orang yang menasihati orang lain namun melupakan dirinya sendiri adalah laksana lilin yang membakar dirinya sendiri untuk menerangi sekelilingnya.” (Jami’ Bayan Ilmi wa Fadhlih, 1/195)

Bahkan sebagian ulama memvonis gila orang yang pandai berkata namun tidak mempraktekkannya karena Allah berfirman, “Tidakkah mereka berakal?” (QS. Al-Baqarah: 44)

Sungguh tepat syair yang disampaikan oleh manshur al-Fakih, “Sungguh ada orang yang menyuruh kami untuk melakukan sesuatu yang tidak mereka lakukan, sungguh orang-orang gila. Dan sungguh mereka tidaklah berterus terang.” (Tafsir Qurthubi, 1/410)

Berikut ini, beberapa perkataan salafus shalih berkaitan dengan masalah ini sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Ilmi wa Fadhlih :

Siapa saja yang Allah halangi untuk mendapatkan ilmu maka Allah akan menyiksanya karena kebodohannya. Orang yang lebih keras siksaannya adalah orang yang ilmu itu datang kepadanya tapi dia berpaling meninggalkan ilmu. Demikian pula orang yang Allah berikan kepadanya ilmu tapi tidak diamalkan.
Ubay bin Ka’ab mengatakan, “Pelajarilah ilmu agama dan amalkanlah dan janganlah kalian belajar untuk mencari decak kagum orang. Jika kalian berumur panjang segera akan muncul satu masa di masa tersebut orang mencari decak kagum orang lain dengan ilmu yang dia miliki sebagaimana mencari decak kagum dengan pakaian yang dikenakan.
Abdullah ibn Mas’ud mengatakan, “semua orang itu pintar ngomong. Oleh karenanya siapa yang perbuatannya sejalan dengan ucapannya itulah orang yang dikagumi. Akan tetapi bila lain ucapan lain perbuatan itulah orang yang mencela dirinya sendiri.
Al-Hasan Bashri mengatakan, “Nilailah orang dengan amal perbuatannya jangan dengan ucapannya. Sesungguhnya semua ucapan itu pasti ada buktinya. Berupa amal yang membenarkan ucapan tersebut atau mendustakannya. Jika engkau mendengar ucapan yang bagus maka jangan tergesa-gesa menilai orang yang mengucapkannya sebagai orang yang bagus. Jika ternyata ucapannya itu sejalan dengan perbuatannya itulah sebaik-baik manusia.”
Imam Malik menyebutkan bahwa beliau mendapatkan berita al-Qasim bin Muhammad yang mengatakan, “Aku menjumpai sejumlah orang tidak mudah terkesima dengan ucapan namun benar-benar salut dengan amal perbuatan.”
Abu Darda mengatakan, “Sebuah kecelakaan bagi orang yang tidak tahu sehingga tidak beramal. Sebaliknya ada 70 kecelakaan untuk orang yang tahu namun tidak beramal.”
Tidak diragukan lagi bahwa permisalan orang yang beramar makruf nahi mungkar adalah seperti dokter yang mengobati orang lain. Satu hal yang memalukan ketika seorang dokter bisa menyebutkan obat yang tepat untuk pasiennya demikian pula tindakan preventif untuk mencegah penyakit pasiennya kemudian ternyata dia sendiri tidak menjalankannya. Berdasarkan keterangan yang lewat, jelas sudah betapa bahaya hal ini, karenanya menjadi kewajiban setiap da’i dan muballigh untuk memperhatikannya. Karena jika obyek dakwah mengetahui hal ini maka mereka akan mengejek sang pendakwah. Belum lagi hukuman di akhirat nanti dan betapa besar dosa yang akan dipikul nanti.

Sebagian orang tidak mau melaksanakan amar makruf dan nahi mungkar karena merasa belum melakukan yang makruf dan masih melanggar yang mungkar. Orang tersebut khawatir termasuk orang yang mengatakan apa yang tidak dia lakukan.

Sa’id bin Jubair mengatakan, “Jika tidak boleh melakukan amar makruf dan nahi mungkar kecuali orang yang sempurna niscaya tidak ada satupun orang yang boleh melakukannya.” Ucapan Sa’id bin Jubair ini dinilai oleh Imam Malik sebagai ucapan yang sangat tepat. (Tafsir Qurthubi, 1/410)

Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata kepada Mutharrif bin Abdillah, “Wahai Mutharrif nasihatilah teman-temanmu.” Mutharrif mengatakan, “Aku khawatir mengatakan yang tidak ku lakukan.” Mendengar hal tersebut, Hasan Al-Bashri mengatakan, “Semoga Allah merahmatimu, siapakah di antara kita yang mengerjakan apa yang dia katakan, sungguh setan berharap bisa menjebak kalian dengan hal ini sehingga tidak ada seorang pun yang berani amar makruf nahi mungkar.” (Tafsir Qurthubi, 1/410)

Al-Hasan Al-Bashri juga pernah mengatakan, “Wahai sekalian manusia sungguh aku akan memberikan nasihat kepada kalian padahal aku bukanlah orang yang paling shalih dan yang paling baik di antara kalian. Sungguh aku memiliki banyak maksiat dan tidak mampu mengontrol dan mengekang diriku supaya selalu taat kepada Allah. Andai seorang mukmin tidak boleh memberikan nasihat kepada saudaranya kecuali setelah mampu mengontrol dirinya niscaya hilanglah para pemberi nasihat dan minimlah orang-orang yang mau mengingatkan.” (Tafsir Qurthubi, 1/410)

Untuk mengompromikan dua hal ini, Imam Baihaqi mengatakan, “Sesungguhnya yang tidak tercela itu berlaku untuk orang yang ketaatannya lebih dominan sedangkan kemaksiatannya jarang-jarang. Di samping itu, maksiat tersebut pun sudah ditutup dengan taubat. Sedangkan orang yang dicela adalah orang yang maksiatnya lebih dominan dan ketaatannya jarang-jarang.” (Al-Jami’ Li Syuabil Iman, 13/256)

Sedangkan Imam Nawawi mengatakan, “Para ulama menjelaskan orang yang melakukan amar makruf dan nahi mungkar tidaklah disyaratkan haruslah orang yang sempurna, melaksanakan semua yang dia perintahkan dan menjauhi semua yang dia larang. Bahkan kewajiban amar makruf itu tetap ada meski orang tersebut tidak melaksanakan apa yang dia perintahkan. Demikian pula kewajiban nahi mungkar itu tetap ada meski orangnya masih mengerjakan apa yang dia larang. Hal ini dikarenakan orang tersebut memiliki dua kewajiban, pertama memerintah dan melarang diri sendiri, kedua memerintah dan melarang orang lain. Jika salah satu sudah ditinggalkan bagaimanakah mungkin hal itu menjadi alasan untuk meninggalkan yang kedua.” (Al-Minhaj, 1/300)

Ibnu Hajar menukil perkataan sebagian ulama, “Amar makruf itu wajib bagi orang yang mampu melakukannya dan tidak khawatir adanya bahaya menimpa dirinya meskipun orang yang melakukan amar makruf tersebut dalam kondisi bermaksiat. Secara umum orang tersebut tetap mendapatkan pahala karena melaksanakan amar makruf terlebih jika kata-kata orang tersebut sangat ditaati. Sedangkan dosa yang dia miliki maka boleh jadi Allah ampuni dan boleh jadi Allah menyiksa karenanya. Adapun orang yang beranggapan tidak boleh beramar makruf kecuali orang yang tidak memiliki cacat maka jika yang dia maksudkan bahwa itulah yang ideal maka satu hal yang baik. Jika tidak maka anggapan tersebut berkonsekuensi menutup pintu amar makruf jika tidak ada orang yang memenuhi kriteria.” (Fathul Baari, 14/554)
Penulis: Ustadz Aris Munandar

Jangan Sampai Susah Payah Beramal Tetapi Sia-Sia

Ada tiga syarat penting lagi agung yang perlu diketahui oleh setiap hamba yang beramal, jika tidak demikian, maka amal terebut tidak akan diterima
By Anita Rahmawati  June 17, 2011
Wahai saudariku janganlah melelahkan dirimu dahulu dengan banyak melakukan amal perbuatan, karena banyak sekali orang yang melakukan perbuatan, sedangkan amal tersebut sama sekali tidak memberikan apa-apa kecuali kelelahan di dunia dan dan siksa di akhirat. Oleh karena itu sebelum melangkah untuk melakukan amal perbuatan, kita harus mengetahui syarat diterimanya amal tersebut, dengan harapan amal kita bisa diterima di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Di dalam masalah ini ada tiga syarat penting lagi agung yang perlu diketahui oleh setiap hamba yang beramal, jika tidak demikian, maka amal terebut tidak akan diterima.

Pertama, Iman Kepada Allah dengan Men-tauhid-Nya

إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّـلِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّـتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلاً

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal sholeh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal.”(QS. Al- Kahfi:107)

Tempat masuknya orang-orang kafir adalah neraka jahannam, sedangkan surga firdaus bagi mereka orang-orang yang mukmin, namun ada 2 syarat seseorang bisa memasuki surga firdaus tersebut yaitu:

1. Iman

Aqidah Islam dasarnya adalah iman kepada Allah, iman kepada para malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada para rasul-Nya, iman kepada hari akhir, dan iman kepada takdir yang baik dan yang buruk. Dasar-dasar ini telah ditunjukkan oleh kitabullah dan sunnah rasul-Nya

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam sunnahnya sebagai jawaban terhadap pertanyaan malaikat Jibril ketika bertanya tentang iman:

“Iman adalah engkau mengimani Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kemudian, dan mengimani takdir yang baik dan yang buruk.” (HR Muslim)

2. Amal Shalih

Yaitu mencakup ikhlas karena Allah dan sesuai dengan yang diperintahkan dalam syariat Allah.

إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ (2) أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agamya yang bersih (dari syirik).” (Az-Zumar: 2-3)

الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَوَاتٍ طِبَاقًا مَا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ فُطُورٍ

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya.” (All-Mulk : 2)

Al-Fudhail berkata: “Maksud yang lebih baik amalnya dalam ayat ini adalah yang paling ikhlas dan paling benar.” (Tafsir al-Baghawi, 8:176)

Kedua, Ikhlas karena Allah

Mungkin kita sudah bosan mendengar kata ini, seringkali kita dengar di ceramah-ceramah, namun kita tidak mengetahui makna dari ikhlas tersebut. Ikhlas adalah membersihkan segala kotoran dan sesembahan-sesembahan selain Allah dalam beribadah kepada-Nya. Yaitu beramal karena Allah tanpa berbuat riya’ dan juga tidak sum’ah.

Orang-orang bertanya: “Wahai Abu Ali, apakah amal yang paling ikhlas dan paling benar itu?”.

Dia menjawab, “Sesungguhnya jika amal itu ikhlas namun tidak benar, maka ia tidak diterima. Jika amal itu benar namun tidak ikhlas maka ia tidak akan diterima, hingga amal itu ikhlas dan benar. Yang ikhlas ialah yang dikerjakan karena Allah, dan yang benar ialah yang dikerjakan menurut As-Sunnah.” Kemudian ia membaca ayat:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (Al-Kahfi :110)

Allah juga berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ

“Artinya : Dan sipakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan?” (An-Nisa’ :125)

Menyerahkan diri kepada Allah artinya memurnikan tujuan dan amal karena Allah. Sedangkan mengerjakan kebaikan ialah mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah beliau.

Allah juga berfirman.

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

” Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan”. (Al-Furqan : 23)

Amal yang seperti debu itu adalah amal-amal yang dilandaskan bukan kepada As-Sunnah atau amal yang dimaksudkan untuk selain Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Sa’ad bin Abi Waqqash, “Sesungguhnya sekali-kali engkau tidak akan dibiarkan, hingga engkau mengerjakan suatau amal untuk mencari wajah Allah, melainkan engkau telah menambah kebaikan, derajat dan ketinggian karenanya.”

Ketiga, Sesuai dengan Ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dasar dari setiap amal adalah ikhlas dalam beramal dan jujur dalam batinnya sehingga tidak terbesit di dalam pikirannya hal-hal yang merusak amal tersebut, karena segala saesuatu hal yang kita kerjakan harus dilandasi perkara ikhlas ini. Namun, apakah hanya dengan ikhlas saja, amal kita sudah diterima oleh Allah?

Adapun pilar yang ketiga ini yaitu harus sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salla. Mayoritas di kalangan masyarakat kita, sanak saudara kita, bahkan orang tua kita melakukan amalan-amalan yang tidak dicontohkan oleh Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan parahnya lagi bisa terjerumus dalam keyirikan. Adapun hadits yang termahsyur yang menjelaskan hal ini:

Dari Ummul Mu’minin, Ummu Abdillah, Aisyah radhiallahuanha dia berkata : Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya), maka dia tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim), dalam riwayat Muslim disebutkan:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa yang melakukan suatu perbuatan (ibadah) yang bukan urusan (agama) kami, maka dia tertolak.”

Setiap perbuatan ibadah yang tidak bersandar pada dalil yang syar’i yaitu yang bersumber dari Al-Qur’an dan As Sunnah maka tertolaklah amalannya. Oleh karena itu amalan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alahi wa sallam merupakan amalan yang sangat buruk dan merupakan salah satu dosa besar.

Wahai saudariku, agama Islam adalah agama yang berdasarkan ittiba’ (mengikuti berdasarkan dalil) bukan ibtida’ (mengada-ada suatu amal tanpa dalil) dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berusaha menjaganya dari sikap yang berlebih-lebihan dan mengada-ada. Dan Agama islam merupakan agama yang sempurna tidak ada kurangnya. Oleh karena itu, jangan ditambah-ditambahi ataupun dikurang-kurangi.

Itulah sekelumit tentang 3 syarat diterimanya suatu amalan. Apabila salah satunya tidak dilaksanakan, maka amalannya tertolak. Walaupun hati kita sudah ikhlas dalam mengerjakan suatu amalan, namun tidak ada dalil yang menjelaskan amalan tersebut atau tidak dicontohkan oleh Rasulullah maka amalannya menjadi tertolak. Begitupula sebaliknya, apabila kita sudah bersesuaian dengan tuntunan Rasulullah shallallaahu ‘alahi wa sallam, namun hati kita tidak ikhlas karena Allah ta’ala malah ditujukan kepada selain-Nya maka amalannya pun juga tertolak.
Wallahu a’lam
Penulis: Ummu Farroos Anita Rahma Wati
Murajaah: Ust Ammi Nur Baits

Maraji’:
Ikhlas Syarat Diterimanya Ibadah,Husain bin ‘Audah al-‘Awayisyah,Pustaka Ibnu Katsir.
Khudz ‘Aqiidataka Minal Kitab wa Sunnah As-Shohiihah, Syaikh Muhammad Jamil Zainu
Syarh Hadits Arba’in An-Nawawi, Imam An-Nawawi dalam program salafidb.com, download program di
Tafsir Al Qur’an Al-‘Adzim: Surat Al- Kahfi, Shaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin, Dar ‘Umar bin Khattab

Haruskah Menjadi Sempurna Untuk Bisa Menasehati?

Sebagian orang enggan melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, karena merasa belum mampu melakukan amalan ma’ruf yang hendak ia perintahkan, atau meninggalkan kemungkaran yang hendak ia larang. Dia khawatir termasuk ke dalam golongan orang yang mengatakan apa yang tidak dia lakukan. Sebagaimana yang disinggung dalam firman Allah ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ(3)

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kemurkaan Allah bila kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan” (QS. As-Shof: 2-3).

Pertanyaan yang harus kita temukan jawabannya adalah: apakah seorang harus sempurna dulu amalannya,  untuk bisa menasehati orang lain? Kemudian apakah setiap orang yang tidak melakukannya apa yang ia perintahkan, dan melanggar sendiri apa yang dia larang, masuk dalam ancaman ayat di atas?

Syaikh Anis Thahir Al-Indunisy, saat kajian membahas kitab Iqtidho’ as-Shirot al-Mustaqiem , di masjid Nabawi malam Senin (20 Rabi’us Tsani 1436 H) menerangkan, bahwa ada dua hal yang perlu dibedakan dalam masalah ini. Beliau mengatakan,

فيه فرق بين أن تنصح غيرك وأنت عاجز عن العفل، وبين أن تنصح غيرك و أنت قادر على الفعل

“Bedakan, antara Anda menasehati seorang, sementara Anda belum ada daya untuk melakukan apa yang Anda nasehatkan. Dengan Anda menasihati seorang,  sementara Anda mampu melakukan apa yang Anda nasehatkan.”

Jadi, ada dua jenis orang dalam masalah ini:

Petama, adalah orang yang menasehati orang lain, namun dia belum mampu melakukan amalan ma’ruf yang ia sampaikan, atau meninggalkan kemungkaran yang ia larang.
Yang kedua, adalah orang yang menasehati orang lain sementara sejatinya dia mampu untuk melakukan pesan nasehat yang ia sampaikan. Akan tetapi justru mengabaikan kemampuannya dan ia terjang sendiri nasehatnya,  tanpa ada rasa bersalah dan menyesal. Ia merasa nyaman dan biasa-biasa saja dengan tindakan kurang terpuji tersebut.
Orang jenis pertama, dia belum bisa melakukan amalan ma’ruf yang dia perintahkan, karena dia belum memiliki daya untuk melakukannya. Bisa jadi karena hawa nafsunya yang mendominasi, setelah pertarungan batin dalam jiwanya.  Sehingga, saat ia melanggar sendiri apa yang dia nasehatkan, dia merasa bersalah dan menyesal atas kekurangannya ini. Serta senantiasa memperbaharui taubatnya.

Saat ia tergelincir pada larangan yang ia larang, ia katakan pada dirinya, “Sampai kapan… sampai kapan kamu seperti ini?! Kamu menasehati orang-orang untuk menjauhi perbuatan ini.. sementara kamu sendiri yang melakukannya?! Tidakkah kamu takut kepada Allah.”

Untuk orang yang seperti ini, hendaknya ia jangan merasa enggan untuk beramar ma’ruf dan nahi munkar. Karena tidak menutup kemungkinan, nasehat yang ia sampaikan, akan membuatnya terpacu untuk melaksanakan amalan ma’ruf yang dia perintahkan, atau meninggalkan kemungkaran yang dia larang. Hal ini sudah menjadi suatu hal yang lumrah dalam pengalaman seorang.

Adapun orang jenis kedua, dia menerjang sendiri pesan nasehatnya, setelah adanya daya dan kemampuan untuk melakukan nasehat tersebut. Namun justru dia abaikan. Saat menerjangnya pun, dia tidak merasa menyesal dan bersalah atas tindakannya tersebut. Orang seperti inilah yang termasuk dalam ancaman ayat di atas.

Seperti seorang ayah merokok di samping anaknya yang dia juga merokok. Lalu Sang Ayah menasehatikan anaknya, “Nak…jangan ngrokok. Ndak baik ngrokok itu..” .Sementara dia sendiri klepas-klepus ngrokok di samping anaknya, tanpa merasa menyesal dan bersalah.

Barangkali makna inilah yang disinggung dalam perkataan para salafus sholih dahulu.

Sa’id bin Jubair mengatakan, “Jika tidak boleh melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar,  kecuali orang yang sempurna niscaya tidak ada satupun orang yang boleh melakukannya”. Ucapan Sa’id bin Jubair ini dinilai oleh Imam Malik sebagai ucapan yang sangat tepat. (Tafsir Qurthubi, 1/410).

Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata kepada Mutharrif bin Abdillah, “Wahai Mutharrif nasihatilah teman-temanmu”. Mutharrif mengatakan, “Aku khawatir mengatakan yang tidak ku lakukan”. Mendengar hal tersebut, Hasan Al-Bashri mengatakan, “Semoga Allah merahmatimu, siapakah di antara kita yang mengerjakan apa yang dia katakan, sungguh setan berharap bisa menjebak kalian dengan hal ini sehingga tidak ada seorang pun yang berani amar ma’ruf nahi mungkar.” (Tafsir Qurthubi, 1/410).

Al-Hasan Al-Bashri juga pernah mengatakan, “Wahai sekalian manusia sungguh aku akan memberikan nasihat kepada kalian padahal aku bukanlah orang yang paling shalih dan yang paling baik di antara kalian. Sungguh aku memiliki banyak maksiat dan tidak mampu mengontrol dan mengekang diriku supaya selalu taat kepada Allah. Andai seorang mukmin tidak boleh memberikan nasihat kepada saudaranya kecuali setelah mampu mengontrol dirinya niscaya hilanglah para pemberi nasihat dan minimlah orang-orang yang mau mengingatkan.” (Tafsir Qurthubi, 1/410).
Referensi :
Faidah kajian pembahasan kitab Iqtidho’ as-Shirot al-Mustaqiem li mukholafati ash-Haabi al-Jahiim, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, bersama Syaikh Anis Thahir Al-Indunisy. Setiap malam senin di Masjid Nabawi.
Tulisan di Muslim.Or.Id, yang bertema “Antara Kata dan Perbuatan.” https://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/antara-kata-dan-perbuatan.html
Penulis: Ahmad Anshori


Memilih-Milih Guru/Ustadz dalam Menuntut Ilmu ?

Tanya : Ada sebagian orang yang yang mengatakan bahwa kita tidak boleh memilih-milih guru atau ustadz dalam menuntut ilmu agama karena (katanya) jika kita punya sikap memilih-milih menunjukkan bahwa kita termasuk orang yang sombong. Namun sebagian lain mengatakan bahwa kita tidak boleh sembarangan memilih guru/ustadz dalam hal itu. Bagaimana sebenarnya kedudukan permasalahan ini ?

Jawab : Ilmu agama (ilmu syar’i) adalah adalah sarana dalam memperoleh keselamatan dan kemenangan dunia - akhirat. Allah ta’ala telah berfirman :

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا

”Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” [QS. Al-Fath : 28].

وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka" [QS. Al-Baqarah : 201].

Mengenai ayat di atas, Al-Hasan (w. 110 H) berkata : ”Yang dimaksud dengan kebaikan dunia adalah ilmu dan ibadah”. Beliau menambahkan : ”Dan kebaikan akhirat – maksudnya adalah surga” [Jaami’ Bayaanil-’Ilmi wa Fadhlihi oleh Ibnu ’Abdil-Barr, hal. 36, Maktabah Al-Misykah].

Disebabkan ilmu agama adalah ilmu yang sangat mulia, maka ia tidaklah boleh dituntut kecuali dari orang-orang yang ikhlash, terpercaya, lagi mempunyai pemahaman yang lurus. Allah telah memberikan contoh yang sangat baik kepada kita akan hal tersebut, yaitu ketika Dia mengisahkan pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Khidir ’alaihimas-salaam :

فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا * قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" [QS. Al-Kahfi : 65-66]

Di sini Allah telah memerintahkan Nabi Musa untuk menemui Nabi Khidir yang mempunyai keutamaan besar di sisi Allah. [1]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف الغالين وتأويل الجاهلين وانتحال المبطلين قال فسبيل العلم ان يحمل عمن هذه سبيله ووصفه

”Ilmu (agama) ini akan dibawa oleh orang-orang terpercaya dari setiap generasi. Mereka akan meluruskan penyimpangan orang-orang yang melampaui batas, ta’wil orang-orang jahil, dan pemalsuan orang-orang bathil. Ilmu ini hanya layak disandang oleh orang-orang yang memiliki karakter dan sifat seperti itu” [lihat Al-Jaami’ li-Akhlaqir-Raawi wa Adabis-Saami’ oleh Al-Khathib Al-Baghdadi 1/129 – shahih].

Oleh karena itu, para ulama telah memberikan peringatan bahwa ilmu agama ini tidaklah dituntut secara sembarangan kepada setiap orang tanpa ”seleksi”. Hal ini tercermin dalam pesan beliau shallallaahu ’alaihi wasallam kepada Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma :

يا بن عمر دينك دينك انما هو لحمك ودمك فانظر عمن تأخذ خذ عن الذين استقاموا ولا تأخذ عن الذين مالوا

”Wahai Ibnu ’Umar, agamamu ! agamamu ! Ia adalah darah dan dagingmu. Maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambilnya. Ambillah dari orang-orang yang istiqamah (terhadap sunnah), dan jangan ambil dari orang-orang yang melenceng (dari sunnah)” [Al-Kifaayah fii ’Ilmir-Riwayah oleh Al-Khathib hal. 81, Bab Maa Jaa-a fil-Akhdzi ’an Ahlil-Bida’ wal-Ahwaa’ wa Ihtijaaj bi-Riwayaatihim, Maktabah Sahab].

’Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ’anhu ketika berada di masjid Kuffah (’Iraq) pada suatu hari pernah berkata :

انظروا عمن تأخذون هذا العلم فإنما هو الدين

”Lihatlah dari siapa kalian mengambil ilmu ini, karena ia adalah dien/agama” [idem].

Muhammad bin Sirin (seorang pembesar ulama tabi’in) berkata :

إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم

”Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapakah kalian mengambil agama kalian” [Diriwayatkan oleh Muslim dalam muqaddimah kitab Shahih-nya 1/7 Maktabah Sahab].

Dari perkataan di atas kita dapatkan petunjuk dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam serta para shahabat dan tabi’in (serta ulama lain setelah mereka) agar kita mengambil ilmu dari orang yang alim, ’adil (terpercaya dalam agamanya) dan istiqamah, serta melarang mengambil ilmu dari orang-orang jahil dan fasiq. Al-Imam Malik bin Anas menambahkan : ”Ilmu tidaklah diambil dari empat orang :

من سفيه معلن بالسفه وإن كان أروى الناس ولا تأخذ من كذاب يكذب في أحاديث الناس إذا جرب ذلك عليه وإن كان لا يتهم ان يكذب على رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا من صاحب هوى يدعو الناس الى هواه ولا من شيخ له فضل وعبادة إذا كان لا يعرف ما يحدث

”(1) Orang yang bodoh yang menampakkan kebodohannya meskipun ia banyak meriwayatkan dari manusia; (2) Pendusta yang ia berdusta saat berbicara kepada manusia, meskipun ia tidak dituduh berdusta atas nama Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam (dalam hadits); (3) Orang yang menurutkan hawa nafsunya dan mendakwahkannya; dan (4) Orang yang mempunyai keutamaan dan ahli ibadah, namun ia tidak tahu apa yang dikatakannya (yaitu tidak faqih)” [Al-Kifaayah 1/77-78].

Tuntutan untuk memilih orang yang akan diambil ilmunya adalah merupakan kenyataan dan keniscayaan dalam merealisasikan kemaslahatan agama kita. Secara akal sehat, tentu kita tidak bisa menerima perkataan orang-orang yang telah divonis para ulama sebagai orang yang fasiq, sesat, dan menyimpang (seperti beberapa kelompok kontemporer belakangan). Akan tetapi, di jaman sekarang sungguh sangat sulit bagi sebagian orang untuk menilai siapa orang yang berada di atas sunnah dan siapa yang tidak berada di atas sunnah. Selain kebodohan yang telah merajalela, banyak orang (yang sebenarnya) jahil namun berhias dengan pakaian dan perkataan ulama (berlagak seperti orang berilmu). Nampaklah ia di mata masyarakat dan teranggaplah ia sebagai ”ulama”. Tidaklah aneh jika kemudian muncul para da’i ”dadakan” yang bukan merupakan lulusan majelis-majelis ilmu. Tidak lebih, mereka hanyalah lulusan majelis gelak tawa dan hiburan (entertainment). Menjamurlah para komedian dan penyanyi (artis) yang telah ”beralih profesi” menjadi da’i. Masyarakat awam pun menjadi tertipu atas ulah mereka. Dan inilah fitnah dan bencana besar yang melanda umat. Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ’anhu berkata :

لا يزال الناس بخير ما أخذوا العلم عن أكابرهم فإذا أخذوه من أصاغرهم وشرارهم هلكوا

”Senantiasa umat manusia dalam kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari para akaaabir (yaitu ahli ilmu/ulama) mereka,. Jika mereka mengambil ilmu dari ashaaghir (orang-orang bodoh dan pelaku bid’ah) dan orang-orang jelek di antara mereka, niscara mereka akan binasa” [Jaami’ Baayanil-’Ilmi wa Fadhlihi oleh Ibnu ’Abdil-Barr Al-Andalusy hal. 112; Maktabah Al-Misykah].

Bila kita baca di kitab-kitab para ulama terdahulu, niscaya kita akan melihat betapa mereka sangat hati-hati dalam mengambil ilmu atau hadits dari seseorang. Misalnya, sebagian di antara mereka ada yang menilai dari parameter dhahir shalatnya. Jika shalatnya bagus (baik dalam kaifiyatnya maupun semangat penegakkannya), maka ia akan ambil ilmunya. Namun jika jelek, ia tinggalkan.

Di jaman sekarang, sungguh lebih jelek keadaannya dibanding apa yang dialami ulama kita terdahulu. Ada sebagian yang dianggap tokoh (ustadz) oleh masyarakat, namun melazimkan masbuk dalam shalat berjama’ah di masjid. Atau bahkan tidak melazimkan shalat berjama’ah di masjid sama sekali. [2] Sebagian lagi dari mereka ada yang mencukur habis jenggotnya hanya dengan alasan penampilan dan ”kerapian”. Jika ada yang mengingatkannya, maka dijawab dengan enteng bahwa hal itu hanya merupakan khilaf furu’iyyah semata (?!) [3]. Ada lagi yang lain yang membiarkan istrinya tidak memakai jilbab syar’i.[4] Semangat dalam melakukan perbaikan terhadap masyarakat, namun lemah lagi lalai terhadap diri dan keluarganya yang notabene menjadi tanggung jawab terbesar baginya di hadapan Allah kelak di hari akhirat. Ini suatu musibah. Jikalau para ulama kita terdahulu mendapati model ulama, ustadz, atau pengajar macam ini, entah apa yang akan mereka katakan.................

Kita tidak mengatakan bahwa seorang ulama, ustadz, atau pengajar itu harus ma’shum terbebas dari segala macam kesalahan sehingga dapat diambil ilmunya. Benarnya prinsip-prinsip aqidah dan manhaj adalah satu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Selain itu, kita juga menilai seberapa besar kecintaan orang tersebut dalam menghidupkan sunnah/syari’at yang bersifat dhuhur (nampak) dalam kehidupan sehari-harinya.[5]

Fenomena kebalikan dari hal di atas adalah bahwa ada sebagian orang yang meninggalkan seorang ulama, ustadz, atau pengajar tertentu yang dikenal berilmu (kompeten), istiqamah, taqwa, dan semangat menjalankan sunnah-sunnah dalam Islam (baik bagi diri, keluarga, dan masyarakat) hanya karena alasan ketidaksenangannya semata. Tidak lain – menurut anggapannya – ulama/ustadz/pengajar tersebut dianggap bertentangan dengan kebiasaan, tradisi, atau nidham-nidham (aturan/kebijakan) kelompok/organisasi yang ia ikuti. Ini adalah tidak benar. Sikap ini merupakan buah dari sikap ta'ashub (fanatik) terhadap madzhab, kelompok, atau tokoh-tokoh tertentu. Ia mengambil al-walaa' wal-baraa' tidak berdasar atas nama Islam.

Kesimpulan : Memilih guru atau ustadz dalam mengajarkan ilmu agama itu perlu (dan bahkan harus) jika dilandasi oleh alasan-alasan syar’i, bukan hawa nafsu. Hal itu bukanlah satu kesombongan yang dilarang dalam agama. Namun jika ia memilih-milih ustadz atau pengajar hanya karena alasan suka dan tidak suka (like and dislike) – padahal ia adalah seorang yang jahil yang butuh ilmu dari si ustadz/pengajar bersangkutan –, maka perbuatan ini merupakan sikap kesombongan yang menghancurkan. Ini adalah sikap pertengahan dari hal yang Saudara tanyakan. Wallaahu a’lam.
Abul-Jauzaa' 1429H
Catatan kaki :
[1] Kita tidak mengatakan bahwa Nabi Khidir lebih utama secara mutlak daripada Nabi Musal ‘alaihimas-salaam. Bahkan Nabi Musa lebih utama daripada Nabi Khidir sebagaimana dijelaskan para ulama. Masing-masing mempunyai keutamaan yang tidak dipunyai yang lainnya.
[2] Dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda (yang artinya) : ”Demi (Allah) yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah bermaksud memerintah (manusia untuk) mendatangkan kayu bakar untuk dikumpulkan, dan memerintahkan shalat sehingga ia dikumandangkanlah adzan yang kemudian aku perintahkan seseorang agar mengimaminya. Aku akan pergi menuju kaum laki-laki (yang shalat di rumah) sehingga aku membakar rumah-rumah mereka” [HR. Bukhari dan Muslim].
[3] Padahal, keharaman mencukur habis jenggot merupakan kesepakatan para ulama mu’tabar empat madzhab. Ibnu Hazm bahkan memasukkannya dalam daftar ijma’ dalam kitabnya Maraatibul-Ijma’ (hal. 157) dimana beliau berkata : { واتفقوا أن حلق جميع اللحية مثلة لا تجوز } ”Para ulama sepakat (ijma’) bahwa mencukur habis jenggot adalah tidak boleh (haram)”. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Sesungguhnya orang musyrik itu membiarkan kumis mereka lebat. Maka selisihilah mereka ! Peliharalah jenggot dan potonglah kumis kalian” [HR. Al-Bazzar no. 8123; hasan]. Artikel terkait, silakan baca : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/05/hukum-jenggot-dalam-syariat-islam.html
[4] Allah ta’ala berfirman : {يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ} "Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". [QS. Al-Ahzaab : 59].
[5] Kita tidak menilai pada sesuatu hal yang sifatnya tersebunyi karena haram hukumnya tajassus (mencari-cari sesuatu yang sifatnya tersembunyi) dari kesalahan manusia.

COMMENTS
Adni Abu Faris an-Nuri mengatakan...
Biasanya terjadi kerancuan antara: "menimba ilmu" dan "menerima kebenaran". Mungkin penting untuk ditegaskan, keduanya merupakan dua hal yang berbeda.
Adapun "menerima kebenaran", maka kebenaran itu harus diterima dari mana pun, selama itu memang benar, meskipun dari musuh atau setan sekalipun. Nabi `alaihi'sh shalatu wa's salam sendiri membenarkan kebenaran yang disampaikan oleh setan serta kritik yang benar dari Yahudi. Atsar-atsar dari Salaf pun menguatkan hal dimaksud.
wa'Llahu a`lam
30 Mei 2008 14.35
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Benar ustadz,... apa yang saya tulis di atas ruhnya adalah menuntut ilmu. Bukan menerima kebenaran. Adapun menerima kebenaran - seperti keterangan antum - maka ia harus diterima dari manapun. Bahkan termasuk orang kafir sekalipun.
30 Mei 2008 15.52
Anonim mengatakan...
'afwan...
hadits yang antum bawakan diatas:
يا بن عمر دينك دينك انما هو لحمك ودمك فانظر عمن تأخذ خذ عن الذين استقاموا ولا تأخذ عن الذين مالوا
”Wahai Ibnu ’Umar, agamamu ! agamamu ! Ia adalah darah dan dagingmu. Maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambilnya. Ambillah dari orang-orang yang istiqamah (terhadap sunnah), dan jangan ambil dari orang-orang yang melenceng (dari sunnah)”
[Al-Kifaayah fii ’Ilmir-Riwayah oleh Al-Khathib hal. 81, Bab Maa Jaa-a fil-Akhdzi ’an Ahlil-Bida’ wal-Ahwaa’ wa Ihtijaaj bi-Riwayaatihim, Maktabah Sahab]
DI DHAIFKAN OLEH AL-IMAM AL-ALBANIY di as-Silsilah adh-Dhaifah (III/257)
mungkin antum memiliki jalur-jalur lain, sehingga antum menghasankan atau menshahiihkan hadits ini?
baarakallahu fiik
31 Oktober 2010 11.59
aris munandar mengatakan...
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف الغالين وتأويل الجاهلين وانتحال المبطلين قال فسبيل العلم ان يحمل عمن هذه سبيله ووصفه
”Ilmu (agama) ini akan dibawa oleh orang-orang terpercaya dari setiap generasi. Mereka akan meluruskan penyimpangan orang-orang yang melampaui batas, ta’wil orang-orang jahil, dan pemalsuan orang-orang bathil. Ilmu ini hanya layak disandang oleh orang-orang yang memiliki karakter dan sifat seperti itu” [lihat Al-Jaami’ li-Akhlaqir-Raawi wa Adabis-Saami’ oleh Al-Khathib Al-Baghdadi 1/129 – shahih].
Ustadz, tentang hadits di atas yang tepat derajatnya hasan li ghairihi ataukah shahih li dzatihi ataukah shahih li ghairihi?
أفيدونا جزاكم الله خيرا
31 Oktober 2010 15.36
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Dalam Al-Kifaayah tertulis sanad dan matan atsar tersebut sebagai berikut :
أخبرنا أبو سعد الماليني قال أنا عبد الله بن عدى الحافظ قال ثنا على بن الحسين بن عبد الرحيم قال ثنا أحمد بن نصر المقري العابد قال أنا المبارك مولى إبراهيم بن هشام المرابطي [ح وأخبرني] عبيد الله بن أبي الفتح قال ثنا على بن عمر الحربي قال ثنا حاتم بن الحسن الشاشي قال حدثني حبيب بن المغيرة الشاشي قال ثنا المبارك قال ثنا العطاف بن خالد عن نافع عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم أنه قال: "يا ابن عمر دينك دينك إنما هو لحمك ودمك فانظر عمن تأخذ خذ عن الذين استقاموا ولا تأخذ عن الذين مالوا".
Asy-Syaikh Al-Albaaniy melemahkan riwayat tersebut dengan sebab 'Athaaf bin Khaalid dan Mubaarak maulaa Ibraahiim bin Hisyaam. Beliau menghukumi 'Athaaf sebagai seorang yang 'diperselisihkan', tanpa menyebutkan finalisasi penghukumannya. Namun sepertinya beliau (dalam Silsilah Adl-Dla'iifah) cenderung melemahkannya. Ibnu Hajar menghukumi shaduuq yahimu. Adapun saya, cenderung pada penghukuman bahwa 'Athaaf ini shaduuq. Ia tlah ditsiqahkan oleh jumhur, namun dilemahkan Maalik bin Anas, An-Nasaa'iy, dan Abu Haatim dengan jarh yang ringan.
Adapun Mubaarak, maka Syaikh tidak menemukan biografinya. Begitu pula dengan saya.
Result : Atsar tersebut lemah.
Apa yang antum tulis sekaligus tambahan informasi dari artikel di atas. Jazaakallaahu khairan.
31 Oktober 2010 16.10
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
@Ustadz Aris,.... yang jelas bukan shahih li-dzaatihi, sebab dalam beberapa jalan ada kelemahan.
Untuk sementara saya belum pernah melihat (meneliti) secara khusus. Namun saya pernah membaca berbagai ragam pembahasan hadits tersebut, baik yang pro (menshahihkan atau menghasankan) maupun yang kontra (yang melemahkannya). Dan untuk sementara, saya membiarkan diri saya bertaqlid kepada penghukuman Asy-Syaikh Saliim Al-Hilaaliy (dalam kitab Al-Mausu'ah)dan gurunya, Asy-Syaikh Al-Albaaniy (dalam kitab Al-Misykah) atas keshahihan hadits itu (yaitu shahih li-ghairihi).
[catatan : Syaikh Muqbil mendla'ifkan hadits tersebut].
Wallaahu ta'ala a'lam.
31 Oktober 2010 16.21
aris munandar mengatakan...
Orang sekelas Ust Abul Jauzaa dalam bidang pengkajian hadits nampaknya sudah seharusnya dalam level HARAM utk TAQLID dalam menilai derajat hadits.
31 Oktober 2010 19.55
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Bisa saja ni antum,.... orang yang jauh lebih 'alim dari saya saja boleh menyandarkan penghukuman pada Syaikh Al-Albaaniy. Dan bagi saya, saat saya belum bisa mengadakan penelitian karena adanya keterbatasan (ilmu, waktu, dan yang lainnya), pandangan saya akan selalu menoleh kepada kitab Asy-Syaikh Al-Albaaniy. Karena ilmu hadits dan takhrij hadits dapat bersinar di jaman ini, salah satunya karena keberadaan beliau.....
31 Oktober 2010 20.47
wawan mengatakan...
apakah termasuk belajar membaca al quran?,
di daerah kami tidak ada yang mengajar membaca al quran kecuali orang IM,
bagaimana? Apakah kami keluar dari lembaga pendidikan mereka?
15 Desember 2010 05.34
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Memilih guru yang baik berlaku pada bidang apa saja. Namun jika tidak ada yang terbaik, maka di bawahnya, kemudian di bawahnya, begitu seterusnya.
Kita tidak perlu keluar atau malah stagnan di rumah dengan alasan tidak ada guru yang benar-benar 'salafiy', sehingga membiarkan diri kita terus menerus tidak bisa membaca Al-Qur'an. Ilmu membaca Al-Qur'an itu wajib. Oleh karenanya, tidak mengapa kita, mengambil dari guru dari IM, Muhammadiyyah, Persis, atau yang semisalnya dalam perkara-perkara daruriy (yang tidak ada yang mengajar melainkan dirinya).
wallaahu a'lam.
15 Desember 2010 16.46
hadiman abu yahya mengatakan...
Subhanallah nikmat membacanya asatidzah dalam menelaah
1 Juli 2017 11.25

[IT] Azab Para Da’i yang Tidak Menjalankan Nasihatnya Sendiri,
4 Tipe Ustadz Dalam Berdakwah. 4 Tipe Manusia Dalam Beramal
Zuhud, Bayaran Dalam Dakwah, Dan Upah Khatib Jum’at
[OOT] Kaidah dan Landasan Para Juru Dakwah