Sunday, December 3, 2017

Jangan Terkesima Dengan Banyaknya Pengikut (Bukan Barometer Kebenaran). Ketenaran Dan Popularitas Adalah Ujian, Hindari Jika Mampu.

Hasil gambar untuk ustadz populer

Jangan Terkesima Dengan Banyaknya Pengikut

Al ‘Allamah Al Albani berkata :

أن كثرة الأتباع وقلتهم ، ليست معيارا لمعرفة كون الداعية على حق أو باطل ، فهؤلاء الأنبياء عليهم الصلاة والسلام مع كون دعوتهم واحدة ، ودينهم واحدا ، فقد اختلفوا من حيث عدد أتباعهم قلة وكثرة ، حتى كان فيهم من لم يصدقه إلا رجل واحد ، بل ومن ليس معه أحد !

Bahwa banyak atau sedikitnya jumlah pengikut bukanlah ukuran untuk mengetahui apakah seorang da’i itu berada di atas kebenaran ataukah kesesatan. Sebab para nabi ‘alaihimus sholaatu was salaam walaupun dakwah mereka sama dan agama mereka sama namun berbeda-beda dalam banyak dan sedikitnya jumlah pengikut mereka. Sampai-sampai ada di antara mereka yang hanya diimani oleh satu orang saja. Bahkan ada yang tidak ada seorang pun yang mengikutinya.

ففي ذلك عبرة بالغة للداعية والمدعوين في هذا العصر ، فالداعية عليه أن يتذكر هذه الحقيقة ،ويمضي قدما في سبيل الدعوة إلى الله تعالى ، ولا يبالي بقلة المستجيبين له ،لأنه ليس عليه إلا البلاغ المبين ، وله أسوة حسنة بالأنبياء السابقين الذين لم يكن مع أحدهم إلا الرجل والرجلان !

Dalam paparan di atas terdapat pelajaran yang berharga bagi para da’i dan orang-orang yang didakwahi di masa ini. Seorang da’i harus memperhatikan kenyataan ini. Dia harus terus berjalan di jalan dakwah kepada Allah Ta’ala. Dia tidak perlu mempedulikan bila jumlah orang yang menyambut seruan dakwahnya itu sedikit. Sebab kewajiban baginya hanyalah menyampaikan (dakwah) dengan jelas. Hendaknya dia meneladani para nabi terdahulu yang hanya memiliki pengikut seorang atau dua orang saja.

والمدعو عليه أن لا يستوحش من قلة المستجيبين للداعية ، ويتخذ ذلك سببا للشك في الدعوة الحق وترك الإيمان بها ، فضلا عن أن يتخذ ذلك دليلا على بطلان دعوته بحجة أنه لم يتبعه أحد ، أو إنما اتبعه الأقلون ! ولو كانت دعوته صادقة لاتبعه جماهير الناس ! والله عز و جل يقول : \” ومَا أَكْثَرُ النَّاسِ ولَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ (103) سورة يوسف .الألباني في \”السلسلة الصحيحة\” 1/684.

Sedangkan bagi orang yang didakwahi hendaknya dia tidak menjauh hanya karena melihat sedikitnya jumlah orang yang menyambut seruan dakwah sang da’i. Lalu menjadikannya sebab untuk meragukan kebenaran dakwah tersebut yang pada gilirannya meninggalkan keimanan pada dakwah tersebut. Lebih parah lagi jika dia menjadikan hal itu sebagai dasar untuk menyatakan sesatnya dakwah tersebut dengan alasan karena pengikutnya hanya seorang atau sedikit orang. (Dia beranggapan 🙂 kalau dakwah tersebut adalah dakwah yang benar tentu banyak orang yang akan mengikutinya !.
Padahal Allah Azza wa Jalla berfirman :

ومَا أَكْثَرُ النَّاسِ ولَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ

“Dan tidaklah kebanyakan manusia itu – walaupun kamu sangat menginginkannya – akan beriman. ” (Surat Yusuf)

كان علماء السلف رضوان الله عليهم وصالحيهم يخافون على قلوبهم من فتنة الشهرة، وسحر الجاه والصيت، ويحذرون من ذلك تلاميذهم، بل ويخشون على أنفسهم من كثرة الأتباع وتزاحم التلاميذ ,

Para ulama dan orang-orang shalih terdahulu ridlwaanallaahu ‘alaihim takut hatinya akan terjerumus (dalam kesesatan) karena popularitas, kedudukan, dan ketenaran. Mereka pun memperingatkan murid-muridnya terhadap hal itu. Mereka pun takut akan hal-hal yang akan menimpa diri mereka dengan banyaknya jumlah pengikut dan membludaknya jumlah murid.

Dari Habib bin Abi Tsabit beliau berkata :

تَبعَ ابْنَ مَسْعُودٍ نَاسٌ فَجَعَلُوا يَمْشُونَ خَلْفَهُ فَقَالَ : أَلَكُمْ حَاجَةٌ ؟ قَالُوا : لاَ ، قَالَ : ارْجِعُوا فَإِنَّهَا ذِلَّةٌ لِلتَّابِعِ فِتْنَةٌ لِلْمَتْبوعِ

“Orang-orang mengikuti Ibnu Mas’ud dan berjalan di belakangnya. Ibnu Mas’ud pun berkata : “Apakah kalian ada keperluan? “. mereka menjawab : “Tidak”. Ibnu Mas’ud berkata : “Kembalilah kalian! Karena ini adalah kehinaan bagi yang mengikuti dan sesuatu yang menjerumuskan bagi yang diikuti.”

Dari Sulaim bin Handhalah beliau berkata :

أَتَيْنَا أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ لِنَتَحَدَّثَ عَندَهُ ، فَلَمَّا قَامَ قُمْنَا نَمْشِي مَعَهُ ، فَلَحِقَهُ عُمَرُ فَرَفَعَ عَلَيْهِ الدِّرَّةَ فَقَالَ : يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ ، اعْلَمْ مَا تَصْنَعُ ؟ قَالَ : إنَّمَا تَرَى فِتْنَةً لِلْمَتْبُوعِ ذِلَّةً لِلتَّابِعِ.المصنف لابن أبي شيبة 9/20.

“Kami datang kepada Ubay bin Ka’ab untuk berbicara dengan beliau. Pada saat beliau berdiri kami pun ikut berdiri lalu berjalan mengikuti beliau. Ternyata Umar membuntuti beliau sambil mengacung-acungkan tongkatnya [1] kepada beliau. Beliau pun bertanya : “Wahai Amirul Mukminin, beritahukanlah kepada saya tentang apa yang Anda lakukan .” Umar menjawab : “Sesungguhnya yang kau lihat tadi adalah sesuatu yang dapat menjerumuskan bagi orang yang diikuti dan kehinaan bagi orang yang mengikuti.” «Al Mushannaf karya Ibnu Abi Syaibah 9/20»
Ada yang berkata kepada Imam Ahmad :

إن الناس يدعون لك فقال: أخشى أن يكون هذا استدراج , وكان يكره أن يمشي خلفه أحد من الناس.بل كان بعض السلف إذا اجتمع عنده فوق العشرة ترك المجلس وقام , وقال بعضهم: إذا طال المجلس كان للشيطان فيه نصيب، أي مدخل للغرور أو للرياء أو لنحو ذلك من المداخل.

“Orang-orang mendoakan Anda kebaikan.” Beliau menjawab : “Saya takut bahwa ini hanyalah jebakan.” Beliau juga tidak suka bila ada seorang pun yang berjalan mengikuti beliau dari belakang.
Bahkan beberapa ulama terdahulu apabila ada lebih dari sepuluh orang berkumpul di dekatnya maka segera saja dia berdiri meninggalkan kumpulan tersebut. Ada juga yang berkata : “Apabila perkumpulan itu terlalu lama maka setan akan punya bagian padanya.” Artinya : kesempatan untuk memasukkan rasa terkesima atau rasa ingin dilihat orang pada diri seseorang serta kesempatan-kesempatan lainnya. ”
[1] الدِرَّةُ yaitu alat yang digunakan untuk memukul baik itu berupa cambuk atau tongkat «Musthafa Al Bagha»
Diterjemahkan oleh Abû Azizah al-Atsari

Jumlah Banyak Bukan Barometer Kebenaran

Ustadz Abu Minhal, Lc
Jika ada seseorang menyaksikan banyak manusia mengucapkan satu pendapat yang sama atau meyakini sesuatu yang serupa, kondisi demikian akan mudah mendorongnya untuk mengikuti ucapan dan keyakinan mereka. Sebab, seperti diungkapkan pepatah Arab, manusia itu bak gerombolan burung, sebagian akan mengikuti lainnya. Dan pada gilirannya, akan menanamkan kesan pada benak orang tersebut bahwa pendapat yang menyalahi mereka merupakan pendapat yang keliru dan salah, dan otomatis orang-orang yang tidak sejalan dengan mereka pun ia anggap kumpulan orang yang salah jalan (baca: sesat). Ya, apapun pendapat, keyakinan dan kebiasaan mayoritas manusia, kendatipun salah, keliru dan menyimpang.

Dengan melihat fakta di atas, maka tidaklah adil dan ilmiah bila kuantitas dijadikan sebagai barometer al-haq (kebenaran). Bila mayoritas manusia memang berada di atas al-haq, dengan mengagungkan nash-nash al-Qur`ân dan Sunnah shahîhah serta berkomitmen tinggi untuk mengamalkannya secara keseluruhan dan mendakwahkannya, maka itulah kondisi yang ideal bagi manusia untuk mengenal kebenaran. Komunitas sosial yang lurus tersebut akan menjadi media yang kondusif bagi perkembangan anak-anak dan generasi selanjutnya. Mereka akan memiliki teladan baik dan contoh luhur dalam aqidah, akhlak, ibadah dan muamalah serta aspek-aspek keagamaan lainnya.

Namun, persoalan akan muncul bila mayoritas berada dalam kondisi sebaliknya; ideologi yang berkembang tidak pernah dikenal di masa Salafush-Shâlih, taklid buta menjadi dasar agama, tradisi lokal sangat diagungkan, hadits-hadits palsu diamalkan, kaifiyah ibadah baru lagi tak berdasar menjadi ‘sunnah’ yang mesti dipertahankan. Pengaruh mayoritas ini dalam masyarakat tersebut akan menyeret anak-anak, generasi muda Islam dan orang-orang jahil serta orang muallaf memahami Islam tidak sebagaimana mestinya. Mungkin saja, mereka menjadi pihak yang superior, tapi yang pasti, standar al-haq (kebenaran) bukanlah berdasarkan besarnya jumlah massa suatu kelompok dan kekuatan otot mereka.

Menurut al-qur`ân, kebanyakan manusia tidak berada di atas jalan lurus

Melalui beberapa ayat, justru al-Qur`ân yang merupakan pedoman hidayah umat Islam mencela jumlah manusia yang mayoritas dan memberitahukan bahwa kebanyakan manusia berada dalam kesesatan dan kebatilan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ ﴿١١٦﴾ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ مَنْ يَضِلُّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allâh. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allâh). Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk. [al-An’âm/6:116-117].

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan, “(Dalam ayat ini) AllâhTa’ala mengabarkan kondisi kebanyakan penduduk muka bumi dari anak keturunan Adam, sesungguhnya (mereka berada) dalam kesesatan”. [Tafsîru al-Qur`ânil-‘Azhîm, 3/322].

Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَا هُمْ

Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikit lah mereka ini. [Shâd/38:24].

Bukankah jumlah kaum Muslimin lebih sedikit dibandingkan bilangan orang-orang yang kafir? Dan umat Islam yang taat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya lebih sedikit ketimbang orang-orang yang mengabaikannya?
Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata, “Kaum Mukminin berjumlah sedikit di tengah manusia. Dan ulama berjumlah sedikit di tengah kaum Mukminin”.[1]

Maka, untuk mengelabui orang, klaim jumlah yang banyak dijadikan oleh ahli batil untuk menegaskan kebenaran jalan dan keyakinan mereka. Karenanya, para pengusung kebatilan, penyeru kepada bid’ah, penjaja liberalisme dan orang-orang yang memusuhi kebenaran al-Qur`ân dan Sunnah shahîhah berusaha melariskan ‘dagangan’ mereka dengan menyebarluaskan klaim banyaknya para pengikut dan pendukung mereka. Misi-misi dan doktrin mereka suarakan melalui berbagai media massa agar terbentuk opini. Betapa banyak orang yang mengikuti mereka, kemauan merekalah yang diinginkan oleh publik dan selanjutnya klaim bahwa mereka berada di atas jalur yang benar dan lurus. Bukankah bila satu golongan menyimpang yang memiliki cabang di mana-mana, sedikit banyak akan mempengaruhi pandangan miring orang terhadap golongan itu?

Dalam kitab Masâilu al-Jâhiliyyah, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb rahimahullah menyebutkan salah satu ciri jahiliyah, “Berhujjah dengan apa yang dipegangi kebanyakan orang tanpa menengok dasarnya”.

Parameter Kebenaran

Dengan demikian, parameter kebenaran bukanlah berdasarkan kuantitas, banyak atau sedikit. Akan tetapi, “kebenaran itu (disebut kebenaran) tatkala sesuai dengan dalil tanpa perlu menengok banyaknya orang yang menerima atau minimnya penolakan orang. Antipati manusia atau respon positif mereka tidak otomatis menunjukkan kebenaran atau penyimpangan satu pendapat. Tiap pendapat dan perbuatan haruslah berdasarkan dalil (yang shahîh) kecuali pendapat (ucapan) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena ucapan beliau sudah menjadi hujjah (dasar, dalil)”[2].

Allâh Azza wa Jalla telah mengabarkan tentang umat terdahulu bahwa kaum minoritas bisa saja berada di atas al-haq. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا آمَنَ مَعَهُ إِلَّا قَلِيلٌ

Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit. [Hûd/11:40].

Maka, siapa saja berada di atas al-haq yang berlandaskan dalil yang shahîh dan lurus, berkomitmen kuat dengannya dalam ucapan, perbuatan, keyakinan, meskipun ia sendirian, dialah orang yang benar dan lurus, dan selanjutnya pantas diikuti oleh orang lain.

Bahkan, seandainya pun tidak ada seorang pun yang berpegang teguh dengan al-haq, selama itu merupakan kebenaran, tetaplah merupakan kebenaran dan menjadi sumber keselamatan.

Apabila kebanyakan orang hanyut dalam kebatilan dengan melanggar syariat, tidak konsisten dengan ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diutus untuk menyampaikan ilmu dan hidayah kepada semua manusia, mengadakan hal-hal baru dalam agama Islam yang tidak ada dasarnya yang jelas dan tidak pernah dikenal oleh generasi terbaik umat Islam; dalam kondisi demikian, pendapat mereka harus ditolak dan tidak boleh terpedaya dengan jumlah mereka yang ada di mana-mana.

Sahabat ‘Abdullâh bin Mas’ud Radhiyallahu anhu pernah berkata:

لاَ يَكُنْ أَحُدُكُمْ إِمَّعَةً يَقُوْلُ: “أَنَا مَعَ النَّاسِ”. لِيُوَطِّنَ أَحَدُكُمْ عَلَى أَنْ يُؤْمِنَ وَلَوْ كَفَرَ النَّاسُ

[Janganlah seseorang dari kalian menjadi latah (dengan) mengatakan, ‘Aku bergabung dengan (arus) manusia (saja)’. Hendaknya ia melatih diri untuk beriman walaupun orang-orang telah kafir].

Atas dasar nasihat berharga di atas, mari kita tanamkan pada diri kita, “Hendaklah kita melatih diri (dan berusaha keras) untuk berkomitmen dengan petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , walaupun banyak orang telah mengabaikan petunjuk beliau dan mengadakan hal-hal baru dalam Islam”. Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan hidayah, rasyâd dan taufik-Nya kepada kita semua.

Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah juga telah menggariskan pesan pentingnya, “Janganlah engkau (mudah) tertipu dengan apa yang mengelabui orang-orang jahil. Mereka itu mengatakan, ‘Jika orang-orang itu (yang berada di atas al-haq) betul-betul di atas kebenaran, mestinya jumlah mereka tidak akan sedikit. Sementara manusia lebih banyak yang tidak sejalan dengan mereka’. Ingatlah bahwa sesungguhnya orang-orang (yang berada di atas al-haq) itulah manusia (sebenarnya). Sedangkan orang-orang yang bertentangan dengan mereka hanyalah serupa dengan manusia, bukan manusia. Manusia (sebenarnya) hanyalah orang-orang yang mengikuti al-haq meskipun mereka berjumlah paling sedikit”.[4]

Syaikh Shâlih al-Fauzân hafizhahullâh mengatakan, “Memang betul, bila mayoritas (manusia) di atas kebenaran dan al-haq, maka itu bagus sekali. Akan tetapi, sunnatullâh (ketetapan Allâh Azza wa Jalla ) yang berjalan bahwa kuantitas yang besar berada di atas kebatilan. (Ketetapan Ilahi ini berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla.

وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ

Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman – walaupun kamu sangat menginginkannya [Yûsuf/12 : 103]

Dan firman-Nya:

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allâh. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allâh). [al-An’âm/6 ayat 116][5].

Benarkah Mayoritas Kaum Muslimin Pada Masa Sekarang Beraqidah Asy’ariyah?

Kaum Asya’irah (yang beraqidah Asy’ariyah) adalah orang-orang yang berintisab (menisbatkan diri) kepada Abul-Hasan al-Asy’ari, yaitu ‘Ali bin Ismâ’îl yang wafat pada tahun 330H. Sebenarnya, melalui aspek historis, dapat diketahui bahwa sosok yang terkenal ini mengarungi tiga fase dalam aqidahnya: bermadzhab Mu’tazilah, kemudian berada dalam fase antara pengaruh aqidah Mu’tazilah dan mengikuti Sunnah dengan menetapkan sebagian sifat Allâh, namun masih menakwilkan sebagian besarnya. Fase ini yang kemudian dikenal dengan aqidah Asy’ariyah. Lalu keyakinannya yang terakhir, meyakini aqidah yang dipegangi dan diyakini oleh generasi Salaf umat Islam. Sebab, ia telah menegaskan dan memaparkannya dalam kitabnya al-Ibânah yang termasuk karya terakhir beliau. Di dalamnya, beliau menjelaskan bahwa dirinya mengikuti aqidah yang dipegangi oleh Imam Ahli Sunnah, Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dan Ulama Ahli Sunnah lainnya. Yaitu, menetapkan semua nama dan sifat yang ditetapkan Allâh Azza wa Jalla bagi Dzat-Nya dan ditetapkan oleh Rasûlullâh bagi-Nya, sesuai dengan keagungan dan kemuliaan Allâh Azza wa Jalla , tanpa takyîf, tamtsîl, tahrîf dan takwîl. Berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla.

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat. [asy-Syûrâ/42:11].

Dikala panutan dan tokoh utama Asy’ariyah, Abul-Hasan al-Asy’ari rahimahullah telah meninggalkan aqidah 20 sifatnya, para penganut aqidah Asy’ariyah masih bertahan dengan pemikiran Abul-Hasan al-Asy’ari rahimahullah sebelum meninggalkan aqidah yang digagasnya menuju aqidah Ahli Sunnah wal-Jama’ah. Belakangan, ada ungkapan populer di tengah sebagian masyarakat bahwa golongan Asy’ariyah di masa ini merepresentasikan 95% dari jumlah kaum muslimin. Artinya, yang memegangi aqidah Asy’ariyah di dunia Islam merupakan kaum mayoritas.

Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad menyanggah pendapat tersebut, melalui, dengan beberapa tinjauan, sebagai berikut:[6]

1. Bahwa penetapan prosentase di atas haruslah berdasarkan penghitungan detail yang menghasilkan data empiris yang valid. Dan ternyata tidak ada sensus untuk menghitung jumlah penganutnya, hanya sekedar klaim kosong belaka.

2. Anggap saja prosentasi itu benar, namun tidak otomatis jumlah yang banyak mengindikasikan lurus dan benarnya aqidah tersebut. Sebab, aqidah yang benar dan lurus hanya dapat digapai dengan mengikuti aqidah yang diyakini oleh generasi Salaf dari kalangan Sahabat Nabi dan insan-insan yang berjalan di atas manhaj mereka dengan baik. Bukan dengan mengikuti aqidah yang penggagasnya baru wafat pada abad empat hijriyah, apalagi yang bersangkutan telah meninggalkan aqidah (yang salah) itu. Selain itu, secara logika, tidak mungkin ada kebenaran yang tertutup dan tersembunyi bagi para Sahabat Nabi, generasi Tabi’in dan para pengikut mereka dengan baik, dan kemudian kebenaran itu baru diketahui oleh orang yang kelahirannya setelah masa generasi terbaik umat Islam.

3. Selain itu, aqidah Asy’ariyah hanyalah diyakini oleh orang-orang yang mendalaminya di lembaga pendidikan Asy’ariyah atau mereka mempelajarinya dari tangan guru-guru berkeyakinan Asy’ariyah. Sedangkan orang-orang awam yang jumlahnya sangat banyak itu tidaklah mengenal Asy’ariyah. Aqidah mereka masih di atas fitrah.

4. Syaikh Bakr Abu Zaid dalam at-Ta’âlum menambahkan bahwa aqidah orang-orang dari tiga generasi terbaik; dari generasi Sahabat dan dua generasi selanjutnya sejalan dengan Kitâbullâh dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dalam perjalanan sejarah dikenal dengan Aqidah Salaf.

Maka, Bersabarlah Dan Tetaplah Komitmen Dengan Al-Haq

Dengan melihat fakta lapangan, orang yang tidak dan belum komitmen dengan ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam jumlahnya lebih banyak bahkan dominan di tengah masyarakat, maka seorang Muslim yang taat kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak perlu merasa cemas, resah dan terasing lantaran tidak “memiliki” teman banyak atau bahkan tidak punya teman sama sekali. Sebab, hatinya ingin bersama dengan “orang-orang orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allâh, yaitu: nabi-nabi, para shiddîqîn, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”.[8]

Apabila kesabaran dan keyakinannya menipis, maka ia akan meninggalkan kebenaran itu, tidak sanggup menanggung beban (untuk menjalankan)nya, apalagi bila ia tidak memiliki teman dan merasa resah dengan kesendiriannya. Akhirnya, ia akan berkata, “Kemana manusia pergi, maka aku mengikuti mereka”.[9]

Mari Sebarkan Ajaran Ahli Sunnah Wal-Jamaah!

Tersebarnya ajaran dan petunjuk yang bersumber dari al-Qur`ân dan Sunnah yang shahîhah di tengah satu masyarakat, dari masyarakat terkecil seperti keluarga, hingga masyarakat berskala besar seperti negara, akan mendatangkan kebaikan demi kebaikan bagi mereka semua. Oleh karena itu, sepatutnya penyeru kepada perbaikan berusaha keras untuk memperbanyak jumlah ahlul-haq. Sebab, para nabi pun memperoleh kedudukan yang berbeda-beda juga berdasarkan sedikit banyaknya pengikut mereka. Oleh sebab itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنِّي لَأَرْجُوْ أَنْ تَكُونُوْا أَكْثَرَ أَهْلَ الْجَنَّةِ

Sesungguhnya aku benar-benar berharap kalian menjadi penghuni terbanyak di dalam surga. [HR al-Bukhâri dan Muslim dari hadits Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu][10].

Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Miftâhu Dâris-Sa’âdah, 1/147.
[2]. Lihat Manhajul-Istidlâl, 2/695.
[3]. Syarhu Masâili al-Jâhiliyyah, hlm. 61.
[4]. Miftâhu Dâris-Sa’âdah, 1/147.
[5]. Syarhu Masâili al-Jâhiliyyah, Shâlih al-Fauzân, hlm. 62.
[6]. Lihat Qathfu Jana ad-Dânî, Darul-Fadhîlah, Cet. I Th. 1423H-2002M, hlm35-36
[7]. At-Ta’âlum, hlm. 121-122.
[8]. an-Nisâ/4 ayat 69. Lihat keterangan ini dalam ash-Shawâriwu ‘anil-Haqq, hlm. 109.
[9]. Syarhu al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyah, 2/361.
[10]. Ash-Shawâriwu ‘anil-Haqq, hlm. 106-112.

Nabi Saja Ada Yang Tidak Punya Follower

“MasyaAllah, pasti Ustadz tenar ni, followernya banyak sekali”

“Ini baru ustadz yang bener, followernya aja segitu banyaknya”

Sebagian (kecil) ustadz dan aktifis dakwah ada yang tujuan utamanya adalah menjadi terkenal dan mengumpulkan massa, pengikut atau follower. Tentunya agar lebih mudah menggandeng follower dan meraih massa dengan cepat harus tahu apa yang “diinginkan oleh pasar”. Karenanya tidak heran kalau ustadz yang agak laku sekarang adalah:

– ustadz yang bisa melucu, kalau bisa melawak yang membuat terpingkal-pingkal walaupun wibawa jatuh

-ustadz yang bisa nyanyi juga kalau perlu

-ustadz yang, ehem agak ganteng  dan muka menjual sedikit

-ustadz yang doyan cerita-cerita yang membuat takjub, merasa aneh, pintar memotivasi walaupun bahannya ceramah tidak Islami

-dll

Dan yang perlu kita perhatikan bersama adalah, keberhasilan dakwah bukan dengan banyaknya pengikut atau banyaknya yang berhasil kita dakwahi. Akan tetapi bukan berarti juga ustadz atau aktifis dakwah yang banyak diikuti adalh sesat. Akan tetapi cara dan niatnya yang perlu diperhatikan.

Berikut sedikit pembahasan mengenai hal ini.

Ada nabi yang tidak punya follower/pengikut sama sekali

Keberhasilan dakwah bukan dilihat dari banyaknya pengikut, jika tolak ukurnya adalah keberhasilan dalam segi jumlah, maka nabi yang hanya punya pengikut satu orang atau tidak punya pengikut sama sekali bisa dibilang dakwahnya gagal.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallampernah bersabda,

مَا صُدِّقَ نَبِيٌّ (مِنَ الأَنْبِيَاءِ) مَا صُدِّقْتُ، إِنَّ مِنَ الأَنْبِيَاءِ مَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُ مِنْ أُمَّتِهِ إِلاَّ رَجُلٌ وَاحِدٌ

“Tidaklah seorang Nabi (dari para Nabi) dibenarkan sebagaimana aku dibenarkan, sesungguhnya diantara para Nabi ada yang tidak dibenarkan oleh ummatnya kecuali hanya oleh satu orang.”[1]

Bahkan ada yang tidak punya pengikut sama sekali.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

عرضت علي الأمم، فرأيت النبي و معه الرهط، والنبي و معه الرجل والرجلان والنبي ليس معه أحد

“Diperlihatkan kepadaku umat-umat, lalu aku melihat seorang Nabi bersamanya ar-rahth (sekelompok orang yang terdiri dari 3-10 orang), dan seorang Nabi bersamanya seorang dan dua orang, dan seorang Nabi tidak ada bersamanya seorangpun…..”.[2]

Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata,

وفي الحديث دليل واضح على أن كثرة الأتباع وقلتهم ، ليست معيارا لمعرفة كون الداعية على حق أو باطل ، فهؤلاء الأنبياء عليهم الصلاة والسلام مع كون دعوتهم واحدة ، ودينهم واحدا ، فقد اختلفوا من حيث عدد أتباعهم قلة وكثرة

“Kandungan hadits menunjukkan dalil yang tegas bahwa banyak dna sedikitnya pengikut bukanlah tolak ukur untuk mengetahui apakah seorang dai di atas kebenaran atau di atas kebatilan. Mereka para nabi saja, dawakh dan agama mereka satu (sama), akan tetapi berbeda dalam jumlah pengikut mereka.”[3]

Banyaknya jumlah bukanlah tolak ukur kebenaran

Bahkan jumlah yang banyak dan kata-kata banyak dalam syariat mayoritasnya kurang baik. Jika kita mengikuti kebanyakan manusia  maka kita bisa “terpleset”.

Allah Ta’ala berfirman :

وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ

“Dan tidaklah kebanyakan manusia itu beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya”(QS. Yusuf : 103)

Dan firman Allah Ta’ala,

وَ إْن تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ

“ Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di muka bumi Ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah “. (Al An’am : 116).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata menafsirkan,

يخبر تعالى عن حال أكثر أهل الأرض من بني آدم أنه الضلال، كما قال تعالى: {ولقد ضل قبلهم أكثر الأولين} [الصافات: 71]

“Allah memberitakan bawah keadaan mayoritas penduduk bumi dari anak Adam adalah dalam kesesatan (tidak mendapat petunjuk yang benar) sebagaimana pula firman Allah “Sungguh Telah sesat juga kebanyakn orang sebelum kalian” (as-Shaffat: 71)”[4]

Demikian semoga bermanfaat

@gedung Radiopoetro, FK UGM, Yogyakarta tercinta
Penyusun:   Raehanul Bahraen
[1] as-Silsilah ash-Shahihah 1/684
[2] HR. Bukhari dan Muslim
[3] as-Silsilah ash-Shahihah 1/684
[4] Tafsir Ibni Katsir 3/322, Darut Thayyibah, 1420 H, syamilah

Ketenaran dan Popularitas Adalah Ujian, Hindari Jika Mampu

Mendewakan dan memburu ketenaran, bagaikan semut yang melihat genangan madu, terpukau. Semakin ia meraihnya ke tengah semakin tenggelam dalam genangan madu”

Para ulama dan penuntut ilmu juga tidak terlepas dari penyakit ini. Karenanya Asy-Syathibi rahimahullah berkata,

آخر الأشياء نزولا من قلوب الصالحين : حب السلطة والتصدر! .

“Hal yang paling terakhir luntur dari hatinya orang-orang shalih: cinta kekuasaan dan cinta eksistensi (popularitas)”  (Al-I’tisham Asy-Syathibi)

Akan tetapi jika ketenaran itu datang tanpa dicari maka tidak mengapa dan tidak tercela.

Al-Ghazali rahimahullah mengatakan,

“Yang tercela adalah apabila seseorang mencari ketenaran. Namun jika ia tenar karena karunia Allah tanpa ia cari-cari, maka itu tidaklah tercela.”

Semoga kita selamat dari ujian ketenaran dan kita hanya menjadi tokoh di belakang layar yang tenar dan populer di langit

@Markaz YPIA, Yogyakarta tercinta
Penyusun: Raehanul Bahraen

Merasa Berjasa Dalam Dakwah

Terkadang kita sudah berusaha ikhlas
sudah berusaha melawan keinginan lain di balik dakwah
melawan keinginan mendapatkan mendapatkan ketenaran dalam dakwah
melawan keinginan mendapatkan bagian dunia dari dakwah (mukafaah)

dan kita sudah yakin insyaAllah akan mendapat pertolongan dunia-akhirat jika kita menolong agama Allah, sebagaimana firman-Nya.

يا أيها الذين آمنوا إن تنصر الله ينصركم

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu.” ( Muhammad: 7).

Akan tetapi tetap saja setan berusaha menjerumuskan manusia dalam kelalaian dan kebinasaan. Sebagaimana janji Iblis laknatullah,

قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ , إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ

Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.” (Shaad: 79-83)

Cara yang ditempuh Iblis itu adalah membuat aktifis dakwah “merasa memiliki jasa dalam dakwah”

“Kalau bukan saya, dakwah di kita ini tidak jalan”

“Saya yang menggagas dakwah di ma’had ini”

“saya yang membimbing ia agar mendapat hidayah”

“Saya pencetus dan penggerak program hapalan ini”

Hal ini mengingatkan kita bersama dengan kisah Arab badui yang datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia mengaku dan menampakkan diri bahwa dirinyalah yang telah berjasa menolong beliau, berjasa telah membantu Islam dan Nabi, akan tetapi ini sungguh terbalik. Akhirnya diabadikan dalam Al-Quran,

يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا قُل لّا تَمُنُّوا عَلَيَّ إِسْلامَكُم بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلإِيمَانِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ

“Mereka merasa telah berjasa kepadamu dengan keIslaman mereka. Katakanlah, “Janganlah kamu merasa berjasa kepadaku dengan keIslamanmu, sebenarnya Allah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukkan kamu kepada keimanan, jika kamu orang yang jujur.” ( Al-Hujurat: 17)

At-Thabari rahimahullah berkata,

وذُكر أن هؤلاء الأعراب من بني أسد, امتنوا على رسول الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم, فقالوا: آمنا من غير قتال, ولم نقاتلك كما قاتلك غيرنا, فأنـزل الله فيهم

“Disebutkan bahwa mereka adalah Arab badui dari bani Asad yang menyebut-nyebut (jasa) kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam , mereka berkata, kami masuk Islam tanpa peperangan, kami tidak memerangimu sebagimana orang yang lain. Maka Allah menurunkan Ayat ini.”[1]

Dalam Tafsir Al-Muyassar dijelaskan,

يَمُنُّ هؤلاء الأعراب عليك -أيها النبي- بإسلامهم ومتابعتهم ونصرتهم لك، قل لهم: لا تَمُنُّوا عليَّ دخولكم في الإسلام؛ فإنَّ نفع ذلك إنما يعود عليكم، ولله المنة عليكم فيه أنْ وفقكم للإيمان به وبرسوله، إن كنتم صادقين في إيمانكم.

“Orang Arab Badui (bani Asad) menyebut-nyebut (jasa) kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan masuk Islamnya mereka, mengikuti dan menolong. Maka katakan kepada mereka, jangan sebut jasa kalian dengan masuk Islam karena manfaatnya kembali kepada kalian. Allah yang memberikan kenikmatan kepada kalian yaitu memberikan taufik dalam keimanan. Jika iman kalian benar.”[2]

Semoga kita sadar..

Bahwa bisa saja Allah meolong agama ini bukan dari tangan kita, melainkan tangan orang lain, atau bahkan bisa jadi dari tangan orang yang fasik.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَأَنَّ اللهَ يُؤَيِّدُ هَذَا الدِّينَ بِالرَّجُلِ الْفَاجِرِ

“Terkadang/boleh jadi Allah menolong agama ini dengan orang yang fajir/pelaku maksiat”[3]

Kita tidak perlu kaget dengan hadits ini, karena bahkan terkadang Allah menolong agama ini dengan orang kafir seperti Abu Thalib paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ibnu Batthal rahimahullah berkata menjelaskan hadits ini,

وقوله: (إن الله يؤيد هذا الدين بالرجل الفاجر) يشتمل على المسلم والكافر، فيصح أن قوله: (لا نستعين بمشرك) خاص فى ذلك الوقت

“Sabda beliau, ‘Terkadang/boleh jadi Allah menolong agama ini dengan orang yang fajir alias pelaku maksiat’, mencakup orang muslim dan orang kafir, sabda beliau shohih yaitu ‘kita tidak perlu meminta bantuan kepada orang musyrik”, maka hadits ini khusus pada waktu tersebut [tidak bertentangan, pent]”[4]

Ibnu Hajar Al-Asqalaniy rahimahullah menjelaskan hadits ini,

جزم بن المنير والذي يظهر أن المراد بالفاجر أعم من أن يكون كافرا أو فاسقا ولا يعارضه قوله صلى الله عليه وسلم إنا لا نستعين بمشرك

“Ibnul Munir menegaskan bahwa pendapat terkuat yang dimaksud Al-fajir adalah lebih umum dari kafir atau fasik dan tidak bertentangan dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ‘kita tidak perlu meminta bantuan kepada orang musyrik.”[5]

Semoga kita tersadar

Dan Allah selalu menjaga hati kita.

Wallahu musta’an.

@Pogung-Lor, Yogyakarta tercinta
penyusun:   Raehanul Bahraen


Jika Beragama Mengikuti Kebanyakan Orang
Ustadz Said Yai Ardiansyah Lc, MA
Tolok Ukur Kebenaran Adalah Secara Syar'i
Siapakah yang Pantas Disebut Ulama ( Orang Alim ) ?
Kebodohan Akan Menghalangi Seseorang Untuk Menerima Kebenaran. Bahwasanya Hati Nurani Setiap Orang Lebih Menyukai Dan Menginginkan Kebenaran Ketimbang Kebathilan.
Kebenaran Tidak Diukur Dengan Banyaknya Orang Yang Mengikutinya.Berpegang Pada Suara Mayoritas Adalah Kaidah Kaum Jahiliyah.
Membahas Politik Di Hadapan Masyarakat Awam
Ciri-ciri Ulama Ahlusunnah Dan Ulama Rabbani Pelita Ummat
Dakwah Bil Kitabah, Bukan Dominan Bil Lisan. Dakwah Bil Youtube, Berpotensi Negatif Untuk Jadi Alat Provokasi. Rahasia Produktivitas Menulis Para Ulama Salaf.
Belajar Agama Hanya Untuk (Profesi Dakwah,Ustadz) Mencari Dunia ?
 [IT] Azab Para Da’i yang Tidak Menjalankan Nasihatnya Sendiri,
4 Tipe Ustadz Dalam Berdakwah. 4 Tipe Manusia Dalam Beramal
Zuhud, Bayaran Dalam Dakwah, Dan Upah Khatib Jum’at
[OOT] Kaidah dan Landasan Para Juru Dakwah